Anda di halaman 1dari 6

Pembangunan Berkelanjutan dan Pengaruhnya terhadap Lingkungan

(Tanggapan atas Artikel Subhabrata Boby Banerjee - Sustability Development and the Reinvention of Nature-)

Pembangunan Berkelanjutan dan Pengaruhnya terhadap Negara Berkembang onsep dan praktik tentang pembangunan berkelanjutan terus mengalami perdebatan dalam dua dekade belakangan ini. Salah satunya dipicu oleh tingginya tingkat kerusakan alam dan lingkungan hidup yang di antaranya diakibatkan oleh rajinnya perusahaan dalam mengeksploitasi alam, utamanya industri ekstraktif. Kegiatan yang dilakukan perusahaan tersebut juga tanpa alasan karena dengan aktivitasnya diharapkan laju pertumbuhan ekonomi dan akumulasi kapital di wilayah negara-negara berkembang dapat terus mengalami kemajuan yang positif. Isitilah pembangunan berkelanjutan ini yang pada akhirnya lebih ditujukan bagi negara-negar berkembang yang selalu dinilai oleh banyak pihak--terutama oleh negara maju--memiliki masalah sosial, ekonomi dan lingkungan yang permanen. Lingkungan selanjutnya menjadi satu acuan penting untuk dicermati karena selain dieksploitasi tanpa henti, dampak yang terjadi ternyata bukan hanya berimplikasi negatif bagi negara yang bersangkutan namun telah mencapai tingkatan global. Perubahan iklim dan pemanasan global yang terjadi sebagai akibat menurunkan jumlah luasan hutan di negara berkembang adalah contoh nyatanya.

Rusaknya lingkungan seperti deforestasi dan kebakaran hutan adalah contoh masalah yang paling serius dalam beberapa tahun terakhir bagi dunia.

Dalam artikelnya berjudul Sustainability Development and the Reinvention of Nature, Subhabrata Bobby Banerjee (1999) menyatakan bahwa pembangunan yang terjadi di negara-negara berkembang ternyata lebih memprioritaskan kepada pembangunan kinerja ekonomi dan mengabaikan penanganan terhadap masalah-masalah sosial dan lingkungan seperti pengangguran, kemiskinan, kerusakan lingkungan dan buruknya akses informasi yang dimiliki oleh warga masyarakat. Lebih jauh juga terlihat adanya ketergantungan dari negara berkembang kepada negara maju mengakibatkan negara berkembang rela memberikan aset yang dimilikinya sebagai bagian dari perjanjian kerjasama dengan negara maju. Terkait dengan hal ini, tanggapan atas artikel Banerjee ini akan mencakup tiga hal, yaitu pertama; lingkungan sebagai dampak dari proses pembangunan berkelanjutan, kedua; adaptasi teknologi yang terkait dengan lingkungan, dan ketiga; penemuan kembali alam sebagai implikasi logis dari majunya peradaban umat manusia.

Alam dan Lingkungan menjadi aset yang paling dikorbankan untuk kepentingan akumulasi kapital bagi kepentingan negara maju karena apa yang dihasilkan oleh alam di negara berkembang memang terlihat nyata dalam memberikan daya dukung kehidupan bagi masyarakat di negara maju. Lebih dari itu, aktivitas industri yang ada ternyata membutuhkan daya dukung alam dan energi ekstraktif di dalamnya agar proses produksi dapat terus berjalan tanpa henti. Dan oleh karenanya beragam bahan bakar fosil kemudian diserap dari perut bumi untuk dapat menggerakan mesin-mesin produksi yang ada. Di Indonesia, fakta menyatakan bahwa sebetulnya apa yang telah terjadi dengan alam dan lingkungan yang tereksploitasi ada sejak masa penjajahan Portugis, Belanda hingga Jepang yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 400 tahun. Lepas dari upaya penyebaran ideologi yang dilakukan oleh ketiga negara tersebut, apa yang dilakukan mereka didasari niat untuk memonopoli dan mengeksploitasi hasil rempah-rempah serta hasil bumi lain yang melimpah di Indonesia. Eksploitasi itupun terus berlangsung hingga kini, di mana alam di Indonesia rusak akibat kegiatan perusahaan yang beroperasi tanpa henti. Negara maju memang membayar--dalam bentuk pajak serta dana pungutan lainnya sebagai bentuk akumulasi kapital dan peningkatan pertumbuhan ekonomi bagi Indonesia--atas apa yang dilakukannya selama perusahaan tersebut beroperasi. Namun, dampak negatif yang dirasakan ternyata jauh lebih dahsyat dari dampak positif yang dihadirkan. Rusaknya lingkungan seperti deforestasi dan kebakaran hutan adalah contoh masalah yang paling serius dalam beberapa tahun terakhir bagi dunia. Catatan Greenpeace dan kumpulan data dari FAO menyatakan bahwa laju deforestasi hutan di Indonesia ratarata mencapai 2,8 juta hektar per tahunnya. Itu berarti bahwa kalau kecenderungan ini tidak dihentikan maka dalam kurun waktu 10-15 tahun ke depan, Indonesia bisa menjadi wilayah yang gundul tanpa hutan. Bahkan rilis terakhir dari Greenpeace yang mengadopsi pernyataan PBB dan dimuat di the Jakarta Post (12/06/06) menyatakan bahwa pada tahun 2022 apabila tidak ada tindakan yang radikal terkait dengan penanganan hutan, maka hutan di seluruh dunia akan hilang. mengapa? Karena memang tidak ada aktivitas dan perhatian serius terkait dengan upaya menahan laju deforestasi hutan. Di tengah sibuknya pembahasan dunia tentang masalah perubahan iklim dan pemanasan global, harusnya pemerintah Indonesia juga lebih peduli dan tanggap atas apa yang telah terjadi. Hutan di Indonesia dan juga Amazone di Brazil selalu diharapkan dapat menjadi respirator dunia yang mampu memberikan keseimbangan atas emisi dan dampak gas rumah kaca. Bila pada kenyataannya hutan di Indonesia tidak dapat memberikan kontribusi yang optimal bagi penanganan masalah ini, maka prediksi Al Gore yang dikatakannya dalam Oprah Winfrey Show (Global Warming 101, Metro TV, 10/06/06) benar. Pernyataan tersebut mengatakan bahwa yang menyatakan bahwa pada tahun 2050, sebagian besar wilayah Pantai Barat AS akan hilang tersapu ombak dan Kota Shanghai akan tenggelam sebagai akibat dari naiknya air laut karena mencairnya es di kutub utara dan kutub selatan sebagai akibat dari pemanasan global, akan terbukti dengan nyata! Rusaknya lingkungan karena pengaruh akumulasi kapital ternyata memang memiliki asumsi dasar yang kuat. Banerjee yang telah menyitir hingga 70 defenisi tentang pembangunan berkelanjutan, kemudian tetap memilih definisi dari Bruntland (1987) yang menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan sebuah proses perubahan yang memang mengeksploitasi sumberdaya, kebutuhan akan investasi langsung, berorientasi pada pembangunan teknologi dan perubahan fungsi-fungsi

kelembagaan. Dalam proses tersebut, diharapkan selanjutnya adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan perbaikan lingkungan secara menyeluruh. Sehingga terdapat korelasi yang positif antara pembangunan berkelanjutan, pertumbuhan ekonomi dan perbaikan lingkungan. Dengan kata lain Bruntland menyatakan bahwa untuk mendapatkan kinerja ekonomi yang mapan, alam dan lingkungan memang harus dieksploitasi, dan dengan hal itu maka harapan akan kesejahteraan masyarakat memang bisa terwujud. Namun, pendapat tersebut nampaknya harus dikaji lagi, karena eksploitasi yang berlebihan terhadap lingkungan ternyata bukan saja memberikan sisi negatif bagi lingkungan itu sendiri namun juga memberikan beban berlebihan bagi keuangan negara. Mengapa demikian? Indonesia adalah contoh negara yang bukan saja mengalami kerugian secara lingkungan namun juga kehilangan banyak materi yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Hutan yang terus dieskploitasi tanpa henti bukan saja menghadirkan banyak tekanan dari dunia internasional dan oleh karenanya maka produk dari Indonesia dibatasi untuk beredar di pasaran internasional, namun lebih dari itu kerugian atas rusaknya hutan juga berdampak bagi penerimaan negara. Bisa dihitung, berapa pendapatan potential yang hilang bagi negara ini akibat dari pembalakan liar yang berdampak dengan hadirnya beragam bencana? Satu contoh saja, Oxfam International dalam laporannya berjudul Summary for Policy Makers Climate Variability and Their Implication to Indonesia 2007 menyebutkan total kerugian Indonesia akibat El Nino mencapai 1 milyar dollar AS atau setara dengan sembilan trilyun rupiah! Angka ini belum ditambahkan dengan dengan hadirnya bencana, tanah longsor dan banjir dan biaya untuk upaya perbaikannya. Ironisnya, setelah kehilangan banyak uang akibat dari masalah pembalakan, pemerintah justru kembali harus mengeluarkan biaya ekstra untuk melakukan proses pemulihan seperti memadamkan api ketika kebakaran hutan terjadi dan biaya untuk penghijauan hutan kembali. Masih dalam laporan yang sama dari Oxfam Internasional disebutkan bahwa akibat kerusakan lingkungan yang terjadi karena pembalakan liar, peladangan berpindah dan akibat aktivitas operasi perusahaan, negara ini harus mengeluarkan uang hingga lima trilyun rupiah tiap tahunnya. Empat trilyun rupiah digunakan untuk penghijauan kembali, 700 milyar rupiah untuk pemadaman kebakaran yang secara tradisi terjadi setiap tahunnya, dan 300 milyar rupiah untuk penanganan bencana lain yang juga mengeuarkan banyak dana. Dan dana tersebut akan terus mengalir setiap tahunnya hingga bisa dipastikan bahwa hutan Indonesia dapat pulih kembali. Untuk mencapai tingkatan pulih pun, kita tidak tahu dibutuhkan waktu berapa lama. Yang jelas, sepanjang hal tersebut belum terwujud, maka uang ekstra akan terus mengalir dan yang pasti akan hal itu akan terus memberatkan APBN negara ini. Pendirian Banerjee yang sejalan dengan pendapat Bruntland memang tampak nyata dan realitasnya memang demikian adanya, namun Associate Professor dari RMIT Meulborne ini mungkin lupa bahwa alam dan lingkungan bila terus dieksploitasi tanpa henti pada akhirnya tidak akan mampu melakukan pemulihan atas siklus kehidupannya. Peningkatan pertumbuhan ekonomi memang sangat diharapkan untuk mampu meningkatkan kinerja ekonomi bagi negara berkembang. Pun demikian, bila alam dan lingkungan yang kemudian menjadi sasaran utama untuk meningkatkan akumulasi kapital tersebut terus dieksploitasi tanpa henti, maka yang terjadi adalah kerugian besar bagi negara. Harusnya Banerjee juga turut menyatakan bahwa alam memiliki siklus hidup dan dengan hal tersebut maka proses akumulasi kapital yang

Indonesia adalah contoh negara yang bukan saja mengalami kerugian secara lingkungan namun juga kehilangan banyak materi yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi.

ada sebaiknya juga memperhatikan siklus alam tersebut sehingga kerusakan alam dapat terhindarkan. Dibutuhkan waktu jeda dari setiap siklus yang ada agar alam dan lingkungan bisa terus tampil optimal. Seperti apa yang dilakukan oleh Irwandi Yusuf--Gubernur NAD saat ini--mungkin bisa menjadi bahan renungan. Di tengah upayanya untuk tetap menjaga kemurnian unsur alam di wilayah kerjanya, Gubernur NAD dari unsur independen ini malah mengeluarkan program yang disebut Jeda Tebang. Irwandi menyatakan bahwa seluruh perusahaan yang mengeksploitasi hutan di Aceh harus memahami siklus alam. Artinya tidak bisa lagi perusahaan melakukan penebangan hutan. Dibutuhkan siklus jeda, atau waktu dimana tidak ada penebangan hutan sama sekali dengan tujuan untuk dapat memberikan kesempatan bagi alam agar dapat melakukan pemurnian kembali unsur-unsur haranya. Cara-cara ini harusnya bisa memberikan isnpirasi nyata, bahwa alam ternyata memang membutuhkan rehat dan tidak bisa dieksploitasi secara radikal. Lingkungan dan Adaptif terhadap Teknologi Penempatan alam dan industrialisasi--representasi dari akumulasi kapital--memang diakui Banerjee sebagai sebuah hal yang kontradiktif. Negara berkembang ingin cepat memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang mapan karena selain tuntutan dan desakan masyarakat yang telah melihat secara nyata cepatnya laju peradaban umat manusia saat ini yang direpresentasikan oleh tingginya tingkat kemajuan teknologi, juga daya saing global menekankan bahwa kemajuan teknologi mutlak harus dimiliki oleh setiap negara agar kompetitif dan berdaya guna. Hal ini juga kemudian berimplikasi logis untuk dapat menarik minat investor dalam menanamkan modalnya di negara yang bersangkutan. Bagi Indonesia, Foreign Direct investment (FDI) adalah tujuan utama ketika proses penguasaan teknologi ini berjalan karena jenis investasi ini yang kemudian akan menggerakkan sektor riil dan mampu menyerap banyak tenaga kerja. Bila kenyataannya demikian, maka pendapatan per kapita masyarakat akan meningkat dan berkorelasi positif terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi. Kita akan selalu mengingat bagaimana upaya Bacharudin Yusuf Habibie yang begitu ambisius agar Indonesia mampu menjadi yang terdepan dalam penguasaan teknologi yang kemudian dipresentasikan dengan hasil produksi pesawat CN-235 dan N-250. Saat itu, nuansa penguasaan teknologi begitu kuat, dan karenanya memang berimplikasi positif bagi iklim investasi di Indonesia dan sejurus kemudian Indonesia diprediksi menjadi macan Asia baru di samping Korea Selatan dan Thailand. Pembangunan berkelanjutan yang dideskripsikan oleh Banerjee sebagai sebuah proses perubahan pun juga dituntut adaptif terhadap teknologi. Bila alam dan lingkungan telah mengalami kerusakan yang cukup parah, penggunaan teknologi harusnya juga lebih diarahkan untuk proses pemurniaan unsur-unsur alam tersebut yang kembali dapat memberikan daya dukung yang optimal bagi kehidupan umat manusia. Namun, kenyataannya hal ini banyak diabaikan oleh negara-neagar berkembang seperti China dan India. Kedua negara ini adalah contoh bagaimana teknologi yang kemudian diolah untuk memberikan daya dukung yang positif bagi pertumbuhan ekonomi ternyata berimplikasi negatif bagi lingkungan. China dan India dituduh oleh banyak pihak sebagai emiter gas rumah kaca terbesar yang menyebabkan munculnya perubahan iklim dan pemanasan global. Rangkuman data menyebutkan, China dan

India termasuk dalam sepuluh besar negara penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar. China bahkan akan segera melampaui AS dalam tahun ini atau tahun depan. Lingkungan menjadi terabaikan manakala penguasaan akan teknologi telah memiliki ekspektasi yang cukup tinggi dan rumitnya lagi orientasi yang dikembangkan juga bertolak belakang. China dan India mungkin berpikir bahwa pengusaan akan teknologi secara langsung akan berkorelasi positif terhadap perbaikan alam dan lingkungan yang ada, namun kenyataan menunjukkan hal yang sebaliknya. Teknologi nampaknya tidak bisa bersahabat dengan alam karena dua hal ini menawarkan dimensi yang berbeda. Di China, perusahaan yang menggunakan energi batubara dalam proses produksinya awalnya mendapatkan restu dari pemerintah setempat. Ironisnya, emisi atas batubara justru memberikan dampak buruk bagi lingkungan. Kejadian ini yang belakangan membuat kebijakan China berubah di mana setiap perusahaan yang beroperasi di China dianjurkan untuk tidak lagi mengunakan batubara dan berusaha untuk mengurangi emisi karbon. Dalam kaitannya dengan hal ini, Banerjee lebih memberikan kajian yang praktis dan sistematis di mana kemudian logika berpikir umat manusia harus dibalik dengan mendahulukan kepentingan alam dan kemudian memberikan kesempatan bagi teknologi untuk dapat memberikan daya dukungnya secara optimal. Contoh yang diberikan Banerjee yaitu seputar penggunaan bioteknologi untuk kepentingan penyediaan pangan bagi kebutuhan masyarakat di saat lahan pertanian semakin sulit untuk ditemukan merupakan hal yang bisa dicermati. Lingkungan harus mendapat kajian utama terlebih dahuku sebelum proses introduksi itu dilaksanakan. Lingkungan dalam hal ini bukan saja terkait dengan unsur alam namun juga manusia di dalamnya. Bila kajian tersebut tidak dikedepankan, apa yang terjadi di Bulukumba, Sulawesi Selatan bisa menjadi contohnya. Sebagai wilayah percontohan untuk komoditas kapas yang menggunakan teknologi transgenik (Genetically Modified Organism), banyak petani yang kemudian merusak tanamannya karena hasil yang diperoleh jauh dari apa yang dijanjikan oleh perusahaan yang telah membina mereka. Meskipun dengan dimensi yang berbeda--karena GMO justru diduga kuat potensi menimbulkan rusaknya keanekaragaman hayati dan fungsi tubuh--namun introduksi yang tidak memahami lingkungan di dalamnya nampaknya juga memberikan dampak buruk. Ungkapan Banejee selanjutnya bisa menjadi acuan kritis bahwa seharusnya pembangunan yang berhasil akan terjadi bila proses transformasi yang ada memang memberikan daya dukung yang positif bagi lingkungan dan proses itu sendiri harus mampu mengontrol kehidupan umat manusia secara keseluruhan. Dengan kata lain proses dan transfer teknologi yang saat ini tengah terjadi hendaknya memang harus memahami lingkungan dan mampu memberikan daya dukung positif bagi kehidupan masyarakat secara luas Menemukan Kembali Alam Alam dan lingkungan secara nyata telah mengalami degradasi, dan upaya untuk pemulihannya membutuhkan waktu dan komitmen yang kuat. Banyak pihak, terutama kalangan perusahaan yang pesimis bahwa alam akan mampu melakukan pemulihan sehingga bisa tampil seperti awal sebelum dihajar oleh mesin produksi dan kenyataan yang demikian. Meskipun demikian, sebagian perusahaan yang telah membuat ulah dengan rusaknya alam tersebut ternyata juga memiliki tanggung jawab sosial sebagai upaya untuk pemurnian kembali alam.

Penemuan kembali alam dalam kerangka pembangunan berkelanjutan mungkin saja untuk dilakukan.

Banerjee mencatat bahwa banyak perusahan saat ini yang berusaha menemukan kembali alam dengan jalan menggunakan bioteknologi untuk mendongkrak kembali kemampuan alam. Meskipun penggunaan senyawa kimia dalam bioteknologi tersebut tampak dihalalkan, upaya untuk mereduksi senyawa kimia tersebut juga terus dilakukan dengan selalu memadukannya dengan unsur-unsur penyeimbang dari alam. Inti dari hal ini adalah bagaimana teknologi tersebut kemudian dapat terkontrol dengan nyata oleh manusia. Penemuan kembali alam dalam kerangka pembangunan berkelanjutan mungkin saja untuk dilakukan. Selain adanya teknologi yang mampu mengikuti gaya alam, keberadaannya yang terkontrol justru memberikan dampak positif. Apalagi bila proses transformasinya memang memahami kondisi lokalitas dan memahami juga kearifan lokal yang ada. Secara garis besar patut dicermati seperti apa yang diungkapkan Banerjee (dalam Bullard, 1992) dalam kesimpulan akhirnya bahwa pembangunan berkelanjutan bukan hanya semata mengandalkan unsur ekonomi dan akumulasi kapital semata namun lebih dari itu, konsep ini juga secara nyata dapat memberikan otonomi khusus bagi setiap anggota masyarakat untuk berproses hingga dapat menemukan kembali unsur lingkungan baru. Tampak jelas juga diungkapkan bahwa ternyata pembangunan berkelanjutan tidak bisa hanya mengandalkan unsur ekonomi untuk mencapai kemajuan. Dibutuhkan dukungan dari kinerja sosial dan lingkungan untuk memberikan dampak positif terhadap semua kemajuan itu. Tanpa itu semua, maka upaya yang telah dirintis selama sekian puluh tahun akan hancur dalam sekejap. Indonesia dengan krisis moneternya tahun 1998 adalah contoh nyata. Akhirnya, bisa dipahami selanjutnya bahwa pembangunan berkelanjutan bukan hanya terkait dengan aktivitas ekonomi dan akumuasi kapital semata, namun juga terkait dengan proses sosial dan pemahaman atas kinerja lingkungan di dalamnya. Penilaian atas kinerja ekonomi tidak bisa dilakukan secara mandiri, karena apapun kemajuan yang dicapai dalam bidang ekonomi menjadi tidak berarti manakala pilar lain menjadi terabaikan. Contoh yang telah tersebut di atas mungkin bisa menjadi bahan renungan bahwa dalam proses pembangunan berkelanjutan, penguatan tiga pilar--ekonomi, sosial dan lingkungan--mutlak harus dilakukan secara nyata. Bila demikian halnya, akan semakin mudah mewujudkan kemitraan tiga pihak antara pemrintah, swasta dan masyarakat sebagai unsur-unsur utama yang wajib terlibat dalam prose pembangunan berkelanjutan ini Jakarta, 30 Juli 2007

Reza Ramayana , Lingkar Studi CSR

Lingkar Studi CSR Rukan Permata Senayan No.A/6 Jln.Tentara Pelajar, Patal Senayan - Jakarta 12210, Indonesia Telp. (021) 579 40610, Fax. (021) 579 40611 www.csrindonesia.com, e-mail: office@csrindonesia.com

Anda mungkin juga menyukai