Eceng gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solm) merupakan gulma yang sangat cepat
berkembang. Apabila tidak dikendalikan akan mengakibatkan masalah lingkungan. Selain
memberikan dampak negatiI, eceng gondok juga memberikan dampak positiI antara lain sebagai bahan baku pupuk organik. Kandungan N, P, K dalam kompos eceng gondok masing-masing hadala 0,4 N, 0,114 P dan 7,53 K sedangkan C-organik adalah 47,61 bahan kering (Wahyu, 2008) . Kandungan hara N, P dan S sangat menentukan kualitas bahan organik. Nisbah C/N dapat digunakan untuk memprediksi laju mineralisasi bahan organik (Heal at al., 1997). Bahan organik akan termineralisasi jika nisbah C/N dibawah nilai kritis 25 30, dan jika diatas nilai kritis akan terjadi imobilisasi N, untuk mineralisasi P nilai kritis C/P sebesar 200-300, dan untuk mineralisasi S nilai kritis sebesar 200-400 (Stevenson, 1982). akan terhambat. Lignin adalah senyawa polimer pada jaringan tanaman berkayu, yang mengisi rongga antar sel tanaman, sehingga menyebabkan jaringan tanaman menjadi keras dan sulit untuk dirombak oleh organisme tanah. Pada jaringan berkayu, kandungan lignin bisa mencapai 38 (Stevenson, 1982). Perombakan lignin akan berpengaruh pada kualitas tanah dalam kaitannya dengan susunan humus tanah. Dalam perombakan lignin ini, di samping jamur (Iungi-ligninolytic) juga melibatkan kerja enzim (antara lain enzim lignin peroxidase, manganeses peroxidase, laccases dan ligninolytic) (Hammel, 1997). !0342548,3 Bahan organik yang masih mentah dengan nisbah C/N tinggi, apabila diberikan secara langsung ke dalam tanah akan berdampak negatip terhadap ketersediaan hara tanah. Bahan organik langsung akan disantap oleh mikrobia untuk memperoleh energi. Populasi mikrobia yang tinggi, akan memerlukan hara untuk tumbuh dan berkembang, yang diambil dari tanah yang seyogyanya digunakan oleh tanaman, sehingga mikrobia dan tanaman saling bersaing merebutkan hara yang ada. Akibatnya hara yang ada dalam tanah berubah menjadi tidak tersedia karena berubah menjadi senyawa organik mikrobia. Kejadian ini disebut sebagai immobilisasi hara. Untuk menghindari imobilisasi hara, bahan perlu dilakukan proses pengomposan terlebih dahulu. Proses pengomposan adalah suatu proses penguraian bahan organik dari bahan dengan nisbah C/N tinggi (mentah) menjadi bahan yang mempunyai nisbah C/N rendah (kurang dari 15) (matang) dengan upaya mengaktiIkan kegiatan mikrobia pendekompuser (bacteri, Iungi, dan actinomicetes). Dalam proses pengomposan, perlu diperhatikan : (a) Kelembaban. Kelembaban agar dijaga pada kondisi tidak terlalu kering maupun basah atau tergenang; (b) Aerasi timbunan. Kondisi tidak terlalu anaerob dan tidak terlalu aerob. Terlalu aerob udara bebas masuk ke dalam timbunan dan N banyak yang menguap sebagai NH3; (c) Temperatur. Temperatur dijaga agar tidak terlalu tinggi; (d) Suasana. Asam-asam hasil proses dekomposisi akan menyebabkan pH turun, untuk netralisasi perlu dilakukan pembalikan timbunan; (e) Penambahan kapur. Netralisasi juga dapat dilakukan dengan penambahan bahan kapur, dolomit atau abu; (I) Hara. Untuk mempercepat dan meningkatkan kualitas kompos dapat dilakukan penambahan pupuk N dan P; (g) Struktur bahan. Struktur bahan dibuat tidak terlalu kasar dengan dipotong-potong; (h) Timbunan. Tinggi timbunan tidak terlalu tinggi ( 1,5 m); (i) Atap. Untuk mencegah sinar matahari langsung dan hujan perlu diberikan atap. Ada beberapa prinsip cara pengomposan antara lain: (1) ditimbun pada permukaan tanah yang telah dipadatkan (kraal methode), (2) Ditimbun pada galian tanah (50-75 cm), separo di dalam tanah (50-75 cm) dan separo di atas permukaan (Heat & trench methode), (3) Langsung pada bak penampungan kotoran ternak (Bengalore methode), (4) menggunakan kotak pengomposan dari pagar beton yang tertutup (anaerob) selama 18 hari dan seterusnya diberikan aerasi dari lobang-lobang bagian dasar kotak (Baccari-Italia methode) (Rusmarkam, 2001). Dewasa ini pembuatan kompos semakin berkembang dengan diperkaya dengan mikroorganisme yang dapat mempercepat dekomposisi seperti Trichoderma sp. (Sugito et al., 1995). Pada akhir-akhit ini, telah banyak digunakan teknologi eIektiI mikroorganisme (EM-4) yang merupakan permentant (pengurai) limbah organik menjadi pupuk organik, yang mengandung bacteri Lactobacillus, ragi, actomycete, dan jamur pengurai selulosa yang dapat membantu proses dekomposisi (Anwar, 1999). Dilaporkan penggunaan Em-4 dapat mempercepat proses dekomposisi (Ritongga et al., 1999).
Eceng gondok atau Eichhornia crassipes adalah salah satu jenis tumbuhan air mengapung. Eceng gondok memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi sehingga tumbuhan ini dianggap sebagai gulma yang dapat merusak lingkungan perairan. Eceng gondok dengan mudah menyebar melalui saluran air ke badan air lainnya. Eceng gondok hidup mengapung di air dan kadang- kadang berakar dalam tanah. Tingginya sekitar 0,4 - 0,8 meter. Tidak mempunyai batang. Daunnya tunggal dan berbentuk oval. Eceng gondok tumbuh di kolam- kolam dangkal, tanah basah dan rawa, aliran air yang lambat, danau, tempat penampungan air dan sungai. Tumbuhan ini dapat mentolerir perubahan yang ektrim dari ketinggian air, laju air, dan perubahan ketersediaan nutrien, pH, temperatur dan racun-racun dalam air Pertumbuhan eceng gondok yang cepat terutama disebabkan oleh air yang mengandung nutrien yang tinggi, terutama yang kaya akan nitrogen, IosIat dan potasium. Kandungan garam dapat menghambat pertumbuhan eceng gondok seperti yang terjadi pada danau-danau di daerah pantai AIrika Barat. Selain itu juga, tanaman eceng gondok menyebar ke sungai- sungai, rawa-rawa, dan danau-danau di seluruh Indonesia dengan pertumbuhannya sangat cepat yaitu sekitar 3 per harinya. Jadi ketersediaan eceng gondok sangat melimpah untuk dijadikan sebagai bahan baku pembuatan bio oil.