Anda di halaman 1dari 4

Pada zaman pergerakan dan perjuangan mencapai kemerdekaan, media massa yakni surat

kabar memegang peranan yang amat penting. Selain sebagai media komunikasi antara para
politisi pejuang dengan rakyat, media massa merupakan senjata ampuh untuk menggalang
massa. Media massa dengan kekuatan tulisannya mampu mempengaruhi opini masyarakat
untuk menentang segala kebijakan pemerintah kolonial yang merugikan rakyat Indonesia.
Pasca proklamasi kemerdekaan, media massa memegang peranan yang amat penting dalam
usaha penyebarluasan berita proklamasi ke seluruh rakyat Indonesia.
Tak dapat dipungkiri bahwa ada kepentingan-kepentingan politik yang melatarbelakangi
lahirnya suatu berita. Hal ini terjadi cukup signiIikan pada masa Orde Baru. Ariel Heryanto
dalam Hill (2011:34) mencatat bahwa media massa, termasuk pers khususnya media
elektronik, jadi alat penting dalam memelihara dan membantu beranakpinaknya legitimasi
Orde Baru....Ini bisa dipahami sebagai lembaga budaya pers Indonesia telah mengalami
masa-masa keji penuh badai dalam perjalanan sebuah negara (Orde Baru).
Soeharto tahu betul kekuatan pers dalam suatu pemerintahan negara. Besar, bahkan sangat
besar pengaruhya. Opini publik akan memunculkan suatu aksi yang bisa menentang atau
bahkan menggulingkan pemerintahannya. Untuk itulah ia mengambil kebijakan menerbitkan
Undang-undang no 11 tahun 1966 mengenai pers. Intinya adalah bahwa apabila dipandang
perlu, media massa bisa disetir pemerintah.
Sepertinya, Soeharto memanIaatkan peristiwa G30S dan kerusuhan 1 Oktober 1965 sebagai
usaha awal untuk melakukan politik pencitraan lewat pers. Sentimen masyarakat yang
terlanjur antipati terhadap komunis, segera ditindaklanjuti dengan aksi pelarangan terbit
terhadap 29 surat kabar yang terindikasi sebagai kubu pendukung komunis. Dan ironisnya,
kubu ini menamakan dirinya sebagai Badan Pendukung Soekarno (BPS). Fakta ironis yang
semakin menguntungkan citra Soeharto di kalangan rakyat.
Salah satu kebijakan pers Soeharto yang nantinya akan menjadi bomerang adalah
penghibahan beberapa pasangan surat izin kepada koran-koran semacam Harian KAMI dan
Mahasiswa Indonesia. Kedua surat kabar ini terlibat dalam aksi militan mahasiswa yang
anti-PKI-Soekarno. Perlu dicatat bahwa penggerak utama kedua surat kabar ini adalah para
mahasiswa, orang-orang yang tercerahkan. Artinya, mereka adalah orang-orang yang
mendapatkan pendidikan dan ide-ide baru yang mampu mempengaruhi pola pikir dan aksi
mereka. Mahasiswa merupakan subjek yang labil dan cenderung sulit untuk dikontrol. Muda,
bersemangat, gigih dalam memperjuangkan keyakinannya, mungkin kata-kata yang tepat
untuk menggambarkan kondisi mahasiswa saat itu.
Pada tahun 1970an, pers di Indonesia dapat dibagi menjadi enam jenis, yakni :
1) Kelompok harian Orde Baru radikal, contohnya adalah Harian KAMI dan Mahasiswa
Indonesia, Pedoman, Nusantara, Indonesia Raya.
2) Surat-surat kabar terkemuka dengan angka sirkulasi tinggi dengan sikap politis yang
hati-hati. Contohnya adalah harian Protestan Sinar Harapan dan Katholik Kompas.
3) Surat kabar yang beorientasi pada penancapan akar angkatan bersenjata di kalangan
rakyat. Contohnya, Berita Yudh dan Angkatan Bersenjata, Suara Karya (merupakan
organ Golkar).
4) Surat kabar radikal yang berhaluan nasionalis, seperti El Bahar, Merdeka, Suluh
Marhaen.
5) Surat kabar yang mewakili aspirasi kaum Muslimin Indonesia, yakni Abadi Jihad dan
Duta Masyarakat.
6) Kelompok terakhir adalah surat kabar apolitis dan bergaya hiburan seperti Pos Kota.
Dari uraian diatas jelas, pada tahun 1970an, seperti ada usaha untuk memperjuangkan
kepentingan masing-masing kelompok melalui pers.
Pada awalnya, terjadi konsolidasi cukup baik antara pemerintah dengan pers khususnya
pers mahasiswa. Namun, pada tahun 1970an, hubungan baik ini mulai terganggu. Pada
periode 1970-an ini mulai mengemuka peran gerakan mahasiswa sebagai 'kekuatan
moral (moral Iorce), yakni kalangan intelektual yang penuh idealisme dan berusaha
mengoreksi berbagai penyimpangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, namun
bukan bagian dari kelompok elite politik yang ingin mendapatkan kekuasaan. Dalam
beberapa kasus, rezim bertindak akomodatiI, namun juga bisa keras menghadapi tuntutan
gerakan mahasiswa ini.
Sejak 1974, konsolidasi kekuasaan negara sudah usai, dan protes-protes mahasiswa yang
dianggap membahayakan seperti peristiwa Malari-- ditindak dengan keras. Gerakan
mahasiswa tahun 1977-1978 menunjukkan kekuatan Negara Orde Baru makin dominan,
dan kekuatan masyarakat makin melemah. Hal ini terlihat dari tak adanya sambutan dari
kelompok-kelompok politik lain terhadap upaya mahasiswa untuk melakukan perubahan
politik, termasuk kecaman mereka atas terpilihnya Soeharto sebagai Presiden untuk
ketiga kalinya.
Kontrol terhadap Dewan Mahasiswa (DM) dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa
(MPM) juga makin ketat diberlakukan, dengan dikeluarkannya Surat Keputusan
Pemerintah No. 028/1974, setelah meledaknya peristiwa Malari 1974. SK ini memberi
wewenang yang lebih besar kepada pimpinan perguruan tinggi untuk mengontrol
mahasiswa.
Pada 19 April 1978, sebagai bagian dari upaya depolitisasi kampus dan meredam
aktivitas politik mahasiswa, konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi
Kemahasiswaan (NKK/BKK) diterapkan secara resmi oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan DR. Daoed JoesoeI, melalui Surat Keputusan Menteri P dan K No.
01/V/1978. NKK/BKK ini baru diakhiri secara Iormal oleh Mendikbud ProI. DR. Fuad
Hassan pada 28 Juli 1990, dengan keluarnya Surat Keputusan No. 403/U/1990 tentang
Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT). Dari serangkaian peristiwa ini jelas terlihat
bahwa mahasiswa merupakan organ penting dalam perpolitikan Orde Baru.
Pemberedelan surat kabar pada masa Orde Baru terbagi menjadi dua jenis, yakni yang
bersiIat sementara dan permanen. Sebuah surat kabar biasanya akan mendapat peringatan
atau dicabut surat izinnya lantaran mengkritisi kebijakan pemerintah. Namun, seringkali
pencabutan surat izin disertai dengan alasan dan penilaian yang tidak jelas, Contoh kasus
adalah harian Suara Karya yang notabene didalangi oleh Golkar, yang menerima
peringatan dari Departemen Penerangan. Padahal, wakil presiden Sudharmono masuk
dalam jajaran redaksi.
Pada praktiknya, apa yang boleh atau tidak boleh diterbitkan pers Indonesia pada masa
Orde Baru lahir dari sebuah telepon. Budaya telepon dari pemerintah kepada redaksi
untuk meredam berita-berita yang sensitiI dan merugikan pemerintah. Aksi tidak resmi ini
ternyata ampuh untuk menundukkan para redaksi surat kabar. Budaya telepon ini pun
diungkapkan Rosihan Anwar dalam bukunya berjudul Petite History. Terkadang, redaksi
diperintah untuk tidak menghapus suatu berita hanya lebih dieufemismekan atau
diperhalus bahasanya.
Pada intinya, kekuatan pers pada masa Orde Baru amat besar pengaruhnya namun tidak
mempunyai kuasa untuk mempengaruhi. Segala bentuk kegiatan pers, harus dibawah
kontrol mentri Penerangan. Boleh dikatakan bahwa yang menjadi kepala redaksi adalah
mentri Penerangan. Djamaludin Adinegoro dalam Anwar (2009:13-14) mengatakan
bahwa Pers yang sehat hanya akan subur tumbuhnya dan terjamin perkembangannya
menurut sewajarnya dalam suasana yang bebas dan tidak tertekan. Kalau Iakta tidak
boleh diberitakan secara sebenarnya, obyektiI, aktuil, tak dicampuradukkan dengan opini,
kalau dilarang pula kritik yang :akelifk (konstruktiI),.....maka kehidupan pers tidak ada
jaminan lagi akan menjadi sehat.
Ada istilah pers yang unik, yakni Pers yang bebas dan bertanggungfawab.Pada masa
Orde Baru, pers Indonesia memang bebas. Namun, pertanggungjawaban ditujukan pada
pihak mana?. Bukan kebenaran publik tapi pada pemerintah. Pers diwajibkan untuk
bertanggung jawab atas semua berita yang diterbitkan kepada pemerintah. Konsekuensi
dari pertanggungjwaban ini adalah disetujui untuk terbit atau malah diberedel.
Pers dan politik amat dekat, namun hal itu wajar. Rosihan Anwar, wartawan senior
Indonesia mengatakan, $aya sebagai Pemimpin Redaksi 'Pedoman` waktu itu
berpedoman pada denisi pakar komunikasi Amerika, Prof. Lucien Pye yang berkata 'A
fournalist knows about politics, but its not of politics.Wartawan itu paham akan politik,
tapi tidak aktif sebagai politikus. Pandangan ini mungkin bisa dijadikan pedoman bagi
pers Indonesia saat ini agar lebih bersiIat objektiI dan tidak ditumpangi oleh kepentingan
politik. Pers harus mampu bertanggung jawab secara moril dan materiil terhadap berita
yang diungkapkan.
Anwar, Rosihan. 2009. $efarah Kecil, Petite History Indonesia Jilid 2. Jakarta: Kompas
Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai