Anda di halaman 1dari 4

Siapa saja harus tetap ingat, konflik adat adalah konflik di antara saudara.

Dengan demikian, tidak mesti tindakan kekerasan kolektif dipakai memecahkan permasalahan di adat. --------------------------

''Menghukum'' Mayat, Cara Mengatasi Konflik Adat?


Oleh I Wayan Artika Naas benar nasib mayat I Wayan Satra, warga Tempekan Sema, Banjar Siladan, Desa Tamanbali, Bangli. Setelah meninggal mayatnya ibarat mainan. Lantaran menunggu negosiasi kedua belah pihak yang berseteru, mayatnya digeletakkan begitu saja di pinggir jalan, sebelah timur tunon Siladan hanya beralaskan bambu tempat pengusungan mayat ala Bangli (Bali Post, 16 Februari 2006). -----------------------------Pulau ini memang cantik, damai, dan eksotik. Pulau ini, Bali, memang dipuja dan dikagumi. Setidaknya itulah citra yang dikonstruksi dari luar. Selebihnya Bali pun tidak luput dari sisi gelap itu. Sebuah buku mengenai sejarah konflik Bali baru saja diterjemahkan, ''Sisi Gelap Bali''. Buku tersebut dan mulai diberitakannya secara terbuka berbagai konflik adat di Bali ke muka publik, baik di tingkat lokal maupun di luar Bali (nasional dan di luar negeri), membuka mata kita bahwa Bali sama sekali ''tidak seindah aslinya''. Konflik kontemporer Bali terjadi di antara saudara. Hal ini sering disebut konflik adat. Menurut hasil penelitian Dr. I Wayan Rai, M.S. (dari IKIP Negeri Singaraja), model konflik adat di Bali adalah antara mayoritas melawan minoritas. Adat adalah kolektivitas yang sangat kuat dan bisa bertindak apa saja terhadap kelompok kecil. Biasanya kelompok ini dinilai bertentangan dengan kebersamaan adat. Jadi, mereka harus diberangus. Apakah sistem adat yang demikian kejam terhadap minoritas itu, anak kandungnya sendiri, harus dipertahankan dengan cara-cara yang selama ini dipilih? Dalam kasus I Wayan Satra (alm), mengapa mayat yang menerima hukumannya? Setelah seseorang jadi mayat pun di Bali, mayoritas itu tetap ingin menunjukkan kuasanya kepada yang sudah tidak berdaya. Pengucilan dari komunitas dan perlakuan kasar terhadap mayat (larangan mengubur mayat seseorang di

kuburan tertentu) adalah hukuman-hukuman yang paling mengerikan di Bali. Kita tidak tahu, apa logika hukuman semacam ini. Yang pasti, legalitas komunal selalu diusung bersama untuk menegakkan sistem adat.

Komunalisme Adat Di tengah konteks sistem adat, sebuah soal yang paling mendasar adalah adanya konsep ''orang dalam'' dan ''orang luar/orang lain''. Konsep orang dalam adalah orang-orang yang secara administrasi adat hidup di wilayah desa adat tertentu. Biasanya mereka terikat secara historis. Orang luar atau orang lain adalah siapa saja yang bukan mereka. Orang lain boleh saja ada di tengah wilayah desa adat, misalnya pendatang. Pada konteks ini sistem adat sering tidak mempedulikannya. Artinya, kelompok ini tetap saja disikapi bersama sebagai orang lain/orang luar. Sementara itu, dalam komunalisme adat tidak dikehendaki adanya orang lain. Jadi, adalah tanggung jawab bersama untuk tetap satu. Jika muncul keinginan lain, mungkin merasa tidak puas dengan kenyataan-kenyataan adat, sehingga merasa lain dengan komunalitas tersebut, terhadap yang bersangkutan diberi dua pilihan. Apakah tetap menjadi bagian komunalitas adat atau melepaskan diri dari komunalitas adat. Kebergantungan orang Bali terhadap koloni adatnya menyebabkan orang Bali hidup dalam pemujaan kebersamaan. Mungkin hal ini bagi sebagian orang, paksaan. Mungkin juga kerelaan sebagai konsekuensi hegemoni komunal terhadap individu. Yang pasti, hingga saat ini, sistem adat tetap bertahan bukan karena keunggulan dan visionernya tetapi lebih kepada pola pikir orang Bali dalam memandang hidup bersama, yakni selaku kelompok masyarakat yang sangat komunal. Kebersamaan adalah hal yang diutamakan. Di Bali, kebersamaan tersebut dikatakan adat. Sangat teologis dan bernilai agama. Konflik-konflik adat di Bali -- seperti hasil penelitian Dr. I Wayan Rai, M.S. -sebagai konflik mayoritas melawan minoritas, sudah waktunya mulai dipikirkan bagaimana caranya agar adat bertindak lebih arif dalam mengatasi atau menyikapi persoalan-persoalan orang Bali saat ini. Kenapa konflik harus diselesaikan dengan konflik juga? Bahkan, sering berkepanjangan atau menjadi konflik terbuka atau konflik fisik. Mestinya, ketika seseorang menjadi bagian dari komunalitas tersebut, harus tetap mengingat asal-usul diri mereka, bahwa dirinya juga adalah individu yang lemah. Setiap orang yang lebur atas nama warga adat, tetap harus santun dan melihat yang mereka hadapi dalam suatu konflik adalah individu yang sangat lemah. Dengan pemikiran sederhana seperti ini, komunalitas adat tidak merasa benar dan bebas melawan atau memberangus lawan konfliknya, yakni kelompok minoritas. Siapa saja harus tetap ingat, konflik adat adalah konflik di antara saudara. Dengan demikian, tidak mesti tindakan kekerasan kolektif dipakai memecahkan permasalahan di adat. Atas nama adat, mengapa orang Bali sedemikian tega? Bahkan terkadang bisa anarkis. Bahkan, sampai seseorang jadi mayat pun, harus dihukum? Ditelantarkan, dibanting, dihadang, bahkan dilarang penguburannya. Seberapa besarkah kerugian yang diderita oleh warga suatu desa adat akibat

dikuburkannya seseorang, yang dinilai tidak sejalan dengan adat, atau ia dianggap wakil kelompok kecil adat, yang berlaku tidak sejalan dengan adat? Lantas, mengapa adat lumpuh jika berhadapan dengan orang lain?

Kuburan Umum Jika kasus-kasus pelarangan penguburan mayat tetap ada di Bali, sudah waktunya Bali memiliki biro jasa yang bisa mengatasi munculnya persoalanpersoalan ini. Sudah waktunya di Bali dibangun jasa penguburan sehingga seseorang yang meninggal sama sekali bebas dari ketergantungan belas kasihan adat. Sudah waktunya juga di Bali, pada titik-titik tertentu, dibangun kuburankuburan umum milik pemerintah daerah, yang netral. Siapa saja bisa menguburkan mayatnya di sini. Demikian pula halnya harus dipikirkan adanya ketentuan yang mengatur bahwa tidak boleh ada gangguan terhadap mayat orang Bali, karena mayat sudah tidak berdaya. Dalam sistem adat, orang Bali juga harus arif, tidak boleh berlaku bebas, mentang-mentang demi adat. Yang perlu dipikirkan juga adalah, bagaimana caranya kita bisa mempertanggungjawabkan bahwa suara, atau tindakan tertetu benar-benar adalah representasi semua warga adat. Yang terjadi selama ini sering kali hanya pengatasnamaan adat, pengatasnamaan komunalitas itu. Jika sekelompok individu mengalami kasus adat janganlah menjatuhkan hukuman kepada mayat yang bersangkutan atau mayat yang dinilai identik sebagai wakil kelompok bersangkutan. Penguburan tetap bisa dilakukan. Itu adalah persoalan dan jalan menghadap Tuhan. Sangat pribadi dan jangan hambat perjalanan terakhir tersebut. Jangan campur-adukkan hidup dan mati untuk mengatasi persoalan atau konflik adat. Penguburan mayat dan kematian di adat Bali harus dilihat sebagai persoalan, yang harus ditempatkan pada tempatnya sendiri. Sementara itu, cara-cara pemecahkan konflik adat adalah tugas orang-orang yang masih hidup. Penulis, dosen IKIP Negeri Singaraja

CUACA

ACARA TV & RADIO

Radio Global FM 99,15 (LIVE)

Anda mungkin juga menyukai