Anda di halaman 1dari 8

SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA

Sistem pemerintahan adalah sistem yang dimiliki suatu negara dalam mengatur
pemerintahannya.
Sesuai dengan kondisi negara masing-masing, sistem ini dibedakan menjadi:
1. !residensial
2. !arlementer
3. Komunis
4. Demokrasi liberal
5. liberal
6. kapital
Sistem pemerintahan mempunyai sistem dan tujuan untuk menjaga suatu kestabilan
negara itu. Namun di beberapa negara sering terjadi tindakan separatisme karena sistem
pemerintahan yang dianggap memberatkan rakyat ataupun merugikan rakyat. Sistem
pemerintahan mempunyai Iondasi yang kuat dimana tidak bisa diubah dan menjadi statis.
Jika suatu pemerintahan mempunya sistem pemerintahan yang statis, absolut maka hal itu
akan berlangsung selama-lamanya hingga adanya desakan kaum minoritas untuk memprotes
hal tersebut.
Secara luas berarti sistem pemerintahan itu menjaga kestabilan masyarakat, menjaga
tingkah laku kaum mayoritas maupun minoritas, menjaga Iondasi pemerintahan, menjaga
kekuatan politik, pertahanan, ekonomi, keamanan sehingga menjadi sistem pemerintahan
yang kontinu dan demokrasi dimana seharusnya masyarakat bisa ikut turut andil dalam
pembangunan sistem pemerintahan tersebut.Hingga saat ini hanya sedikit negara yang bisa
mempraktikkan sistem pemerintahan itu secara menyeluruh.
Secara sempit, Sistem pemerintahan hanya sebagai sarana kelompok untuk
menjalankan roda pemerintahan guna menjaga kestabilan negara dalam waktu relatiI lama
dan mencegah adanya perilaku reaksioner maupun radikal dari rakyatnya itu sendiri.

SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA


MENURUT UUD 1945

Pengertian Sistem Pemerintahan
!ada prinsipnya sistem pemerintahan itu mengacu pada bentuk hubungan antara
lembaga legislatiI dengan lembaga eksekutiI (Sri Soemantri, 1981:76). Sir Walter Bagehot
(1955) kemudian membedakan antara sistem pemerintahan parlementer dan sistem
pemerintahan presidensial. Meskipun sebenarnya Bagehot hanya sekedar mencoba untuk
memperbandingkan antara sistem yang berlaku di Inggris dan di Amerika Serikat, namun
pembedaan ini lalu menjadi klasiIikasi pokok bagi sistem pemerintahan itu sendiri.
Namun demikian uraian tentang sistem pemerintah Indonesia di sini akan sedikit
diperluas. Tidak hanya meliputi hubungan antara !residen yang merupakan lembaga
eksekutiI dengan Dewan !erwakilan Rakyat (D!R) sebagai lembaga legislatiI semata. Uraian
di sini juga akan meliputi penjelasan sekedarnya tentang lembaga-lembaga ketatanegaraan
Indonesia yang lain.
Perbandingan antara Indische Staatsregeling dengan UUD 1945
Rupanya secara umum telah diyakini bahwa sistem pemerintahan Indonesia menurut
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) itu adalah sistem presidensial. Keyakinan ini
secara yuridis samasekali tidak berdasar. Tidak ada dasar argumentasi yang jelas atas
keyakinan ini.
Apabila diteliti kembali struktur dan sejarah penyusunan UUD 1945 maka tampaklah
bahwa sebenarnya sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 itu adalah sistem
campuran. Namun sistem campuran ini bukan campuran antara sistem presidensial model
Amerika Serikat dan sistem parlementer model Inggris. Sistem campuran yang dianut oleh
UUD 1945 adalah sistem pemerintahan campuran model Indische Staatsregeling (konstitusi`
kolonial Hindia Belanda) dengan sistem pemerintahan sosialis model Uni Sovyet.

Semua lembaga negara kecuali Majelis !ermusyawaratan Rakyat (M!R), merupakan
turunan langsung dari lembaga-lembaga pemerintahan Hindia Belanda dahulu, yang
berkembang melalui pengalaman sejarahnya sendiri sejak zaman VOC. Sementara itu, sesuai
dengan keterangan Muhammad Yamin (1971) yang tidak lain adalah pengusulnya, M!R itu
dibentuk dengan mengikuti lembaga negara Uni Sovyet yang disebut Sovyet Tertinggi.
Secara ringkas, maka apabila lembaga-lembaga pemerintahan Hindia Belanda menurut
Indische Staatsregeling dan lembaga-lembaga negara Indonesia menurut UUD 1945 tersebut
disejajarkan, maka akan tampak sebagai berikut:
Majelis !ermusyawaratan Rakyat Sovyet Tertinggi
!residen/Wakil !residen Gouverneur Generaal/
Luitenant Gouverneur Generaal
Dewan !ertimbangan Agung Raad van Nederlandsch-Indie
Dewan !erwakilan Rakyat Jolksraad
Badan !emeriksa Keuangan Algemene Rekenkamer
Mahkamah Agung Hooggerechtshof van Nederlandsch-Indie
Hubungan antara Presiden dengan DPR
Alur berpikir seperti terurai di atas dapatlah membantu kita untuk memahami
mengapa !residen menurut UUD 1945 (sebelum amandemen) itu memiliki kekuasaan yang
luar biasa besar. Hal ini dapat dimengerti, sebab Gouverneur Generaal, yang kekuasaannya
ditiru oleh UUD 1945 dalam bentuk kekuasaan !residen itu, adalah viceroy Belanda. Di
tangan Gouvernuer Generaal-lah, kekuasaan tertinggi atas Hindia Belanda itu terletak. Atas
dasar itulah maka dapat dimengerti bahwa !residen menurut UUD 1945 (sebelum
amandemen) itu relatiI omnipotent.
Di lain pihak, D!R yang merupakan turunan Jolksraad-pun tidak dapat melepaskan
diri dari siIat-siIat Jolksraad itu sendiri. Jolksraad pada masa penjajahan Belanda itu
dibentuk sebagai wakil` rakyat Hindia Belanda, yang berhadapan dengan Gouverneur
Generaal yang mewakili Mahkota Belanda itu. Fungsi Jolksraad dengan demikian pertama-
tama adalah sebagai lembaga pengawas pemerintahan kolonial Hindia Belanda, bukan
sebagai lembaga legislatiI. Lembaga legislatiI Hindia Belanda tetaplah Gouverneur Generaal
itu sendiri. !ola hubungan ini diikuti oleh UUD 1945 (sebelum amandemen). D!R pertama-
tama adalah lembaga pengawas !residen, dan bukan lembaga legislatiI. Lembaga legislatiI
menurut UUD 1945 adalah !residen (bersama dengan D!R).
Namun dalam Sidangnya pada tanggal 19 Oktober 1999 M!R membatasi kekuasaan
!residen, dan mengalihkan kekuasaan legislatiI dari !residen bersama D!R tersebut kepada
D!R (bersama !residen). Konstruksi konstitusional ini lebih mirip dengan konstruksi model
Inggris. Kekuasaan legislatiI di Inggris sepenuhnya ada di tangan !arliament, meskipun
pengesahan secara nominal tetap ada di tangan Raja. !residen dengan demikian bertindak
sebagai the royal gouvernment, dan D!R bertindak sebagai the loyal opposition.
4 Kedudukan MPR
!ada awalnya M!R mempunyai Iungsi yang presis sama dengan Iungsi Sovyet
Tertinggi di Uni Sovyet atau Majelis Nasional di Republik Tiongkok (yang masih lestari
berlaku di Taiwan dan Republik Rakyat Cina itu). M!R seperti halnya Sovyet Tertinggi
maupun Majelis Nasional merupakan pelaksana Kedaulatan Rakyat. Dalam rangka itu M!R
membuat Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang akan menjadi pedoman kerja
pemerintahan selama lima tahun ke depan.
Akan tetapi M!R pada prinsipnya tidak dapat menyelenggarakan pemerintahan yang
sebenarnya merupakan kewenangannya itu. Untuk itu maka M!R memberikan mandat
pemerintahan itu kepada Kepala Negara (yang bergelar !residen itu). Itu sebabnya maka
maka Kepala Negara merupakan Mandataris M!R, yang tunduk dan bertanggung jawab
kepada M!R. Hal inilah yang mendasari kewenangan !residen untuk melaksanakan tugas
pemerintahan di Indonesia itu. Hal ini mirip dengan sistem di Uni Sovyet pula. Sovyet
Tertinggi menyerahkan mandat pemerintahan kepada !residium Sovyet Tertinggi, yang
bersiIat kolektiI itu (Denisov, A. dan M. Kirichenko, 1960).
Lebih jauh, dengan demikian tidaklah tepat apabila dikatakan bahwa !residen itu
berIungsi sebagai Kepala Negara seperti halnya sistem presidensial model Amerika Serikat
(Thomas James Norton, 1945). Berdasarkan !enjelasan Umum UUD 1945, M!R memegang
kekuasaan negara yang tertinggi. Untuk kemudian M!R mengangkat Kepala Negara yang
bergelar !residen itu. Dengan demikian jabatan yang menjalankan pemerintahan itu adalah
Kepala Negara, sedangkan !residen itu hanyalah gelar dari Kepala Negara Indonesia semata.
Sebaliknya tidak tepat pula apabila dikatakan bahwa !residen Indonesia itu juga merangkap
sebagai Kepala !emerintahan seperti !erdana Menteri Inggris (William A. Robson, 1948 dan
Wade, E.C.S & GodIrey !hillips, 1970). Hal ini mengingat bahwa !residen Indonesia itu
mendapat mandat pemerintahan dari !emegang Kedaulatan Rakyat, dan bukan dari !arlemen.
Namun politik hukum Indonesia sejak Masa ReIormasi telah mengubah sistem
ketatanegaraan Indonesia secara signiIikan. Ada upaya untuk melakukan amerikanisasi
sistem pemerintahan Indonesia. Sejak awal masa ReIormasi, ada upaya nyata untuk
menghapus eksistensi M!R ini, dan diubah menjadi sistem pemerintahan model Amerika
Serikat. !ada ini muncul lembaga negara yang samasekali baru, yaitu Dewan !erwakilan
Daerah. Secara politis, lembaga ini merupakan akomodasi dari hilangnya Fraksi Daerah
dalam susunan M!R. Akan tetapi dari sudut kelembagaan itu sendiri, lembaga baru ini
menjadi semacam lembaga Senate dalam susunan Congress di Amerika Serikat. Dengan
demikian susunan M!R itu sendiri terdiri atas D!R dan D!D, mirip dengan susunan
Congress, yang terdiri atas Senate dan House of Representatives itu. Bedanya, D!D di
Indonesia itu tidak diberi kewenangan apapun, kecuali hanya memberi usulan dan
pertimbangan. Sesuatu yang sangat tidak eIisien dan eIektiI. Masalahnya mengapa Indonesia
harus mengacu pada sistem Amerika Serikat? Entahlah. Seringkali muncul pertanyaan ironik:
mengapa sistem pemerintahan Indonesia tersebut tidak mengacu saja pada Uganda atau
Nepal misalnya, sebagai sesama negara yang berdaulat?
5 Eksistensi Penasehat Presiden
ReIormasi sistem pemerintahan Indonesia di Masa ReIomasi seperti terurai di atas
ditandai pula dengan sebuah dagelan konstitutiI. Melalui Amandemen Keempat pada tanggal
10 Agustus 2002 Dewan !ertimbangan Agung (D!A) sebagai lembaga pemasehat !residen
dihapus. Namun pada saat yang sama dibentuklah Dewan !ertimbangan !residen (D!!).
Masalahnya, perbedaan antara kedua lembaga ini hanya pada istilah Agung` dan istilah
!residen` semata. Tidak lebih, tidak kurang. Hal ini menunjukkan bahwa perancang
perubahan ini samasekali tidak mengacu pada sejarah lembaga prestisius ini, dan rupanya
juga tidak pernah mempelajari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1967, tentang Dewan
!ertimbangan Agung itu sendiri.
!erlu diketahui bahwa lembaga pemasehat Kepala Negara semacam ini merupakan
suatu lembaga kenegaraan purba yang telah ada sejak masa Romawi dahulu. !ara kaisar
Romawi itu senantiasa didampingi oleh sekelompok penasehat yang tergabung dalam Curia
Regis. Lembaga pendamping Kepala Negara ini tetap bertahan hingga dewasa ini di pelbagai
negara. Di Inggris terdapat !rivy Council yang merupakan pendamping Kepala Negara
Inggris (King/Queen). !ada masa sebelum Revolusi !erancis dikenal lembaga conseil du roy,
yang pada masa Napoleon diganti menjadi conseil detat. Di Belanda terdapat Raad van
State, dan di Malaysia serta di Brunai dikenal lembaga Dewan Rafa.
!ada hakekatnya bersama dengan kepala negara, lembaga penasehat ini merupakan
sistem pemerintahan purba. Sistem pemerintahan ini baru memiliki sistem pemerintahan
pembanding sejak munculnya teori Trias !olitika, yang diterapkan di Amerika Serikat atas
dasar Konstitusi Amerika Serikat itu sendiri. !ada saat membentuk sistem organisasi
dagangnya VOC-pun juga mengikuti pola ini. Gouverneur Generaal mengendalikan reksa
dagangnya di seberang lautan (over:ee) bersama dengan Raad van Indie (Kleintjes, !h.,
1932 & Schrieke, J.J., 1938-1939). !ada masa pemerintahan jajahan Hindia Belanda lembaga
ini berubah nama menjadi Raad van Nederlandsch-Indie. Sedemikian prestisius dan
terhormatnya kedudukan lembaga pendamping Gubernur Jenderal ini, sehingga Kleintjes
(1932) menempatkan Raad van Nederlandsch-Indie ini sejajar dengan jabatan Gubernur
Jenderal itu sendiri.
Inilah rupanya yang mendasari Ketetapan M!RS nomor XX/M!RS/1966, tentang
Memorandum D!R-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata
Urutan !eraturan !erundangan Republik Indonesia, menempatkan D!A sejajar dengan
!residen sebagai sesama lembaga tinggi negara. Akan tetapi apapun posisinya, baik D!A
maupun D!! merupakan lembaga pendamping !residen. Tidak ada perubahan Iungsi
sedikitpun antara keduanya. Hal ini tampak jelas dalam pengaturan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1963 tersebut di atas. Jadi, tidak ada dasar akademik yang signiIikan sedikitpun untuk
menghapus D!A dan mengubahnya menjadi D!! itu. Tidak lebih daripada sekedar dagelan
konstitusional itu tadi.
Sistem Keuangan Negara
Adapun mengenai Badan !emeriksa Keuangan (B!K) jelas lembaga kenegaraan ini
mengambil alih Iungsi Algemeene Rekenkamer. Bahkan Indische Comptabilietswet (ICW)
dan Indische Bedrifvenswet (IBW) tetap lestari menjadi acuan kerja B!K sampai munculnya
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004, tentang !erbendaharaan Negara. Bahkan Soepomo sendiri secara
eksplisit mengatakan bahwa badan ini '... dulu dinamakan Rekenkamer, ...' (Muhammad
Yamin, 1971:311).
Selanjutnya, kedudukan B!K ini terlepas dari pengaruh dan kekuasaan !emerintah.
Akan tetapi tidak berdiri di atas !emerintah. Lebih jauh hasil pemeriksaan B!K itu
diberitahukan kepada D!R (Bonar Sidjabat, 1968:9-10; Muhammad Yamin, 1971:308-311).
Artinya, B!K hanya wajib melaporkan hasil pemeriksaannya kepada D!R. Dengan demikian
B!K merupakan badan yang mandiri, serta bukan bawahan D!R. Hal yang sama dijumpai
pula pada hubungan kerja antara Algemeene Rekenkamer dengan Jolksraad.
Kekuasaan Kehakiman
Sama halnya dengan B!K, Mahkamah Agung juga mengambil alih Iungsi
Hooggerechtshof van Nederlandsch-Indie. Ketentuan-ketentuan tentang kekuasaan
kehakiman warisan Hindia Belanda diambil alih pula ke dalam sistem hukum tentang
kekuasaan kehakiman Indonesia beberapa waktu lamanya sampai terbentuk ketentuan yang
baru. Bedanya, pada masa penjajahan Belanda dahulu, terdapat dualisme susunan kekuasaan
kehakiman ini. Ada Europeesche Rechtsspraak yang menangani pelbagai perkara golongan
Eropa, dan ada pula Indische Rechtssspraak yang menangani perkara-perkara golongan
inlanders (pribumi). Kelak pada masa penjajahan Jepang, dualisme ini dihapus.
Selain itu, pada masa penjajahan Belanda, badan peradilan agama merupakan badan
peradilan khusus yang tidak berdiri sendiri. Artinya, pada !engadilan Landraad ada jabatan
!enghoeloe yang menangani perkara-perkara agama Islam, atas nama Ketua Landraad
setempat. Hal ini tetap berlangsung di !engadilan Negeri di masa Kemerdekaan. !erkara-
perkara agama itu masih memerlukan fiat eksekusi dari Ketua !engadilan Negeri manakala
hendak dilakukan eksekusi. Hal ini baru berakhir tahun 1989 dengan munculnya Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang !eradilan Agama. Sejak itu Badan !eradilan Agama
menjadi badan peradilan khusus yang berdiri sendiri, sejajar dengan badan peradilan Umum.
!ada masa ReIormasi, muncul dua lembaga kehakiman yang baru. Kedua lembaga
kehakiman tersebut adalah Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, yang muncul pada
Amandemen Ketiga pada tanggal 9 November 2001. Komisi Yudisial tersebut diharapkan
dapat mengatasi permasalahan yang menyangkut mafia peradilan, sesuatu yang
keberadaannya antara ada dan tiada itu. Sementara itu Mahkamah Konstitusi merupakan
suatu lembaga antitesa atas buruknya kinerja lembaga peradilan itu sendiri yang berpuncak
pada Mahkamah Agung itu.

Anda mungkin juga menyukai