Anda di halaman 1dari 9

MENATA HUBUNGAN ANTARA PROVINSI DENGAN

KABUPATEN DAN KOTA UNTUK MEWUJUDKAN


KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Oleh: Fajar Iswahyudi
(NIM : 11/323206/PMU/7083)

Abstract
Based on several facts about decentrali:ation processes, reports and surveys, it was
shown that decentrali:ation failed to give welfare for the citi:ens. Decentrali:ation
processes depend on how the actors (province and district) interact to each other.
However, this interaction still looks for best approach and disputes can be still be found
in the relationship between actors. To solve this intercation problem, it is necessary to
find the best methods of interaction. Network Management is one of the methods
deemed to be the solutions for these problems. Network Management suggests two
strategies. Game Management and Network Structuring. For solving the problems,
games management strategies suggest all actors to refine and re-think the common
grounds of decentrali:ation purposes whereas in several disputes among the actors
need third parties as mediators for solving their problems. Network Structuring
suggests reshaping decentrali:ed structure. Province should have a higher position than
the district. To do that, it is necessary to revise the decentrali:ation law.

Keywords: decentralization, relationship, province, district, network management,
game management, network structuring.

PENDAHULUAN
Laporan Evaluasi tentang evaluasi daerah otonom hasil pemekaran 1999-2009 yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 120-127/2011 menunjukan
rapor buruk untuk indikator kesejateraan masyarakat, pemerintahan yang baik,
pelayanan publik dan daya saing. Dengan nilai yang tertinggi 64,7 dari angka maksimal
100 (INA, 2011).
Media masa nasional, Kompas, terbitan Senin, 10 Oktober 2011 mengemukakan hasil
survei terkini tentang kinerja Pemerintah. Dalam hasil survei tersebut terungkap bahwa
responden dalam hal ini masyarakat, menyatakan tidak puas (81,8) terhadap kinerja
Pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan umum. Sedangkan sisanya sebesar 16
merasa puas dan 2,2 menyatakan tidak tahu (Kompas, 2011).
Dua Iakta tersebut cukup memprihatinkan, karena hal ini sedikit banyak membuktikan
bahwa desentralisasi belum mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu mensejahterakan
masyarakat.
Pelaksanaan desentralisasi tidak terlepas peran serta aktor-aktor pelaksananya.
Setidaknya ada dua aktor utama dalam pelaksanaan desentralisasi, yaitu Provinsi dan
Kabupaten dan Kota. Hubungan sinergitas diantara keduanya dalam mencapai tujuan
desentralisasi sangat dibutuhkan. Untuk itu bagaimana hubungan ini dibangun sangat
menentukan pencapaian tujuan desentralisasi.
Sayangnya saat ini hubungan antara kedua aktor masih belum menemukan bentuk
terbaiknya. Banyak permasalahan yang timbul, seperti beberapa kasus yang timbul
beberapa waktu yang lalu. Permasalahan antara Pemerintah Provinsi Jawa Tengah
dengan Pemerintah Kota Surakarta tentang penggunaan aset daerah (Ian, 2011),
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dengan Pemerintah Kota Semarang tentang

pembangunan inIrastruktur (Py, 2009), Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara dengan


Pemerintah Kota Manado tentang mutasi pegawai (Gn, 2011).
Tulisan singkat ini mencoba merumuskan penyelesaian masalah hubungan yang terjadi
antara Provinsi dengan Kabupaten dan Kota. Sekaligus merumuskan bentuk terbaik
mengenai pola hubungan diantara aktor utama tersebut. Kedua hal tersebut dirumuskan
dengan menggunakan pendekatan Manajemen Jaringan.

HUBUNGAN PROVINSI DENGAN KABUPATEN DAN KOTA
The 1999 "big bang" decentrali:ation had the effect of fragmenting government in an
uncoordinated and some what chaotic fashion (ADB, 2011:22). Apa yang disampaikan
oleh Asian Development Bank dalam laporannya tersebut kiranya dapat
mengkonIirmasi kondisi hubungan antara Provinsi dengan Kabupaten dan Kota yang
terjadi selama ini. Tidak dikoordinasi dan cenderung kacau.
Sejak adanya desentralisasi pada tahun 1999 yang ditandai dengan dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah
meruntuhkan hubungan hierarkikal antara Provinsi dengan Kabupaten dan Kota
(Mubarak, dkk., 2006; Haris, 2005 dalam Pratikno, 2010). Pratikno menyatakan bahwa,
Label Daerah Tingkat`, yaitu Provinsi sebagai Daerah Tingkat I dan Kabupaten/Kota
sebagai Daerah Tingkat II juga dihapuskan untuk mempertegas model relasi yang lebih
horisontal antara Provinsi dengan Kabupaten (2010:111).
Sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah menunjukan subordinasi dalam setiap tingkatan pemerintahan.
Tingkatan Pemerintah Pusat kemudian diikuti oleh Pemerintah Tingkat I (Provinsi) dan
Pemerintah Tingkat II (Kotamadya). Posisi subordinasi juga menggambarkan hirarki
kewenangan yang berjenjang, dari yang paling tinggi atau stratejik ditingkat Pemerintah
Pusat dan beberapa kewenangan stratejik lain ada di Provinsi, hingga kewenangan yang
teknis operasional di Kabupaten dan Kota (Hariyono, 2003). Dalam tabel 1
digambarkan perkembangan kebijakan otonomi daerah menurut rejim politik yang
melingkupi.
%,-el 1
Hu-ung,n Ant,r, Rejim Politik Deng,n Ke-ij,k,n Otonomi D,er,

Periodis,si Rejim
Politik
Und,ng Und,ng Otonomi H,kek,t
Otonomi
Perjuangan Kemerdekaan
(1945-1949)
Demokrasi UU Nomor 1 Tahun 1945
UU Nomor 22 Tahun 1948
Otonomi Luas
Pasca Kemerdekaan
(1950-1959)
Demokrasi UU Nomor 1 Tahun 1957 Otonomi luas
Demokrasi Terpimpin
(1959-1965)
Otoritarian Perpres Nomor 6
Tahun1959
UU Nomor 18 Tahun 1965
Otonomi
Terbatas
Orde Baru
(1965-1998)
Otoritarian UU Nomor 5 Tahun 1974 Sentralisasi
Pasca Orde Baru
(1998-Sekarang)
Demokrasi UU Nomor 22 Tahun 199
UU Nomor 25 Tahun 1999
UU Nomor 32 Tahun 2004
Otonomi Luas
Sumber: diolah dari Djoharwinarlien (2003)

Kewenangan yang bersiIat hierarkikal kemudian menghilang manakala dikeluarkan


Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur
hubungan lebih kearah koordinatiI yang bersiIat horisontal (gambar 1). Posisi yang
lebih horisontal seperti ini cenderung melemahkan posisi Provinsi dalam menjalankan
Iungsinya sebagai koordinator dan pengawas pembangunan Kabupaten dan Kota
diwilayahnya (EIIendi, 2010). Fungsi yang sesuai dengan apa yang diamanahkan dalam
Pasal 38 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah beberapa
kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan
Daerah. Yang kemudian dipertegas dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tantang Tata
Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai
Wakil Pemerintah Diwilayah Provinsi. Mengingat hubungan antara Provinsi dengan
Kabupaten dan Kota merupakan hubungan koordinatiI dan pengawasan, bukan
hubungan antara bawahan dengan atasan (Hariyono, 2003) atau hierarkikal yang
menggambarkan kewenangan.

,m-,r 1.
Hu-ung,n Di,nt,r, Ber-,g,i %ingk,t,n Pemerint,,n (Effendi, 2010)

Permasalahan timbul ketika upaya Provinsi dalam menjalankan Iungsinya
bersinggungan dengan kewenangan yang dimiliki oleh Kabupaten dan Kota. Dimana
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
Kabupaten dan Kota memiliki kewenangan penuh untuk menjalankan urusan wajib
diwilayahnya. Dengan adanya kewenangan tersebut maka Kabupaten dan Kota berhak
untuk menentukan bagaimana pelaksanaan urusan wajib tersebut, tanpa harus melalui
koordinasi Provinsi. Ditambah lagi adanya Ienomena ego kedaerahan yang muncul
menambah kompleksitas hubungan ini (Warsono, 2010). Ego kedaerahan ini muncul
sebagai simbolisme pemahaman tentang yang salah desentralisasi oleh Kepala Daerah
(Syahrir AB dalam Djoharwinarlien, 2003). Sering kali persinggungan ini menjadi
konIlik terbuka antar Provinsi dengan Kabupaten dan Kota.
Jika setiap Kabupaten dan Kota memiliki pandangan yang sama maka pelaksanaan,
pembangunan demi mencapai kesejahteraan masyarakat akan terhambat. Pembangunan
menjadi tidak terkoordinasi dan kacau, seperti yang digambarkan oleh laporan ADB
pada bagian sebelumnya. Mengingat keterkaitan antar daerah dalam satu wilayah
merupakan aspek penting dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
(Widaningrum, 2010) dan juga desentralisasi. Untuk itu Iungsi Provinsi dalam
melaksanakan koordinasi dan Pengawasan menjadi penting.



PEMERINTAH PUSAT
PEMERINTAH PROVINSI
PEMERINTAH KABUPATEN DAN KOTA

MANAJEMEN JARINGAN SEBAGAI LANGKAH SOLUTIF


Berangkat dari adanya Ienomena pergeseran posisi Provinsi terhadap Kabupaten dan
Kota menjadi horisontal yang menimbulkan permasalahan. Maka diperlukan sebuah
pendekatan teori organisasi untuk mencari bentuk hubungan yang baik. Salah satu
pendekatan teori organisasi yang dapat dikemukakan adalah Manajemen Jaringan.
Menurut Kickert et. al. manajemen jaringan (Network Management) adalah:
Mutual adjustment oI behaviour oI actors with diverse objectives and ambitions wih
regard to tackling problems within a given Irame work oI interorganizational
relationship (1999:44).
Menurut Pratikno (2010) pendekatan manajemen jaringan dapat dideIinisikan sebagai
upaya untuk: (1) mengelola relasi aktor yang otonom; (2) menjaga interdependensi dan
kerjasama; (3) mengelola sumberdaya bersama; dan (4) memaksimalkan kemanIaatan
bersama.
Menilik karakteristik hubungan antara Provinsi dengan Kabupaten dan Kota
bahwasannya upaya yang dilakukan dalam manajemen jaringan telah sesuai dengan
kabutuhan untuk merumuskan bentuk hubungan yang baik. Berikut beberapa
argumentasi yang dapat menjelaskan hal tersebut:
Pertama, upaya untuk mengelola relasi aktor yang otonom. Para aktor yaitu Provinsi,
Kabupaten dan Kota sejatinya merupakan daerah yang otonom. Sesuai dengan apa yang
diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Para aktor diberikan kewenangan untuk menjalankan roda pembangunan
berdasarkan urusan wajib yang diterima. Jika tidak dikelola dengan baik maka akan
terjadi konIlik diantara para aktor. Untuk itu diperlukan upaya untuk mengelola
hubungan antar aktor yang otonom ini.
Kedua, upaya untuk menfaga interdependensi dan kerfasama. Mengingat keterbatasan
sumberdaya yang dimiliki oleh para aktor. Para aktor sejatinya memiliki ketergantungan
satu dengan yang lainnya. Sehingga para aktor bersedia untuk melakukan kerjasama.
Upaya untuk menjaga interdependensi dan kerja sama antara Provinsi, Kabupaten dan
Kota perlu dilakukan mengingat para aktor tersebut memiliki keterbatasan sumberdaya.
Namun sebelumnya perlu dilakukan langkah-langkah untuk membentuk
interdependensi dan kerjasama jika hubungan ini belum terjalin diantara aktor.
Ketiga, upaya untuk mengelola sumberdaya bersama. Sumberdaya yang dimiliki oleh
para aktor hendaknya perlu dikelola secara bersama. Untuk itu diperlukan upaya untuk
mengelola sumberdaya terbatas yang dimiliki oleh Provinsi, Kabupaten dan Kota secara
bersama-sama. Demi mensiasati keterbatasan sumberdaya yang terbatas ini.
Keempat, upaya untuk memaksimalkan kemanfaatan bersama. Hubungan antara
Provinsi, Kabupaten dan Kota perlu diarahkan untuk mencapai azas kemanIaatan
bersama. Karena tujuan dibentuknya Provinsi, Kabupaten dan Kota setidaknya sama
yaitu mensejahterakan masyarakat.
Pertanyaannya kemudian bagaimana manajemen jaringan ini diimplementasikan?
Setidaknya ada dua cara atau strategi dalam menerapkan manajemen jaringan yaitu
Game Management dan Network Structuring (Pratikno, 2010).
Menurut Klijn dan Teisman (1999:101) dalam Pratikno, Game Management
merupakan an ongoing, sequentaial chain of (strategic) action between different
players (actors), governed by the players perception and by existing formal and
informal rules, which develop around issues or decisions in which the actor are
interested(2010:123). Atau dengan kata lain Game Management merupakan proses
yang berjalan secara sequensial diantara para aktor, yang dibangun berdasarkan persepsi
para aktor dan adanya aturan Iormal dan inIormal untuk mencapai tujuan tertentu.
Game Management bertujuan untuk menyatukan persepsi para aktor dan menyelesaikan
persoalan-persoalan hubungan organisasional antar pelaku jaringan. Struktur dan

konstelasi dalam jaringan bersiIat given atau dengan kata lain Iaktor struktur aktor-aktor
didalamnya sudah tercipta atau ada (Klijn dan Koppenjan, 2000:141 dalam Pratikno,
2010).
Sedangkan Network Securiting (NS) memIokuskan kepada upaya mengubah struktur
jaringan. Dengan membangun asumsi karakteristik kelembagaan jaringan akan
mempengaruhi dan bahkan menentukan peluang-peluang bagi kerjasama antar aktor
(Klijn dan Koppenjan, 2000). Tujuannya adalah mengubah karakteristik kelembagaan
jaringan.
Berbeda dengan Game Management yang mengembangkan strategi-strategi dalam level
pembangunan interaksi antar aktor, strategi-strategi dalam Network Structuring
dimaksudkan untuk membuka ruang dan memIasilitasi berlangsungnya proses-proses
kerjasama untuk jejaring.
%,-el 2
Str,tegi M,n,jemen 1,ring,n

Level/Strategi Persepsi/Interpretasi Aktor/Fasilitas Institusi/Norma
Game
Management
Coventating:
Mengeksplorasi
persamaan dan
perbedaan persepsi
antar aktor, dan
menjajagi untuk
menselaraskan
tujuan
Selective (de)
activation:
Memobilisasi
kekuatan aktor
yang miskin
sumberdaya dan
medemobilisasi
peran aktor yang
mendominasi
sumberdaya
Aranging:
Membangun,
menjaga, dan
mengubah Iormat
relasi jangka pendek
yang bisa
mendorong interaksi
dalam kelompok
Network
Structuring
ReIraming:
Mengubah persepsi
para aktor dalam
jaringan yang akan
mengkerangkai aktor
dalam menentukan
nilai apa yang
dikedepankan
Network (de)
activation:
Melibatkan aktor-
aktor baru atau
mengubah posisi
dari aktor yang
ada; Memobilisasi
koalisi-koalisi baru
Reconstitutionalism:
Mengubah
kebijakan, aturan
dan sumberdaya
dalam jaringan
secara Iundamental
Sumber: Diolah dari Klijn dan Teisman (1999) dalam Pratikno (2010:124)

Game Management dan Network Structuring merupakan sebuah proses yang saling
berkaitan satu dengan yang lain. Dalam kaitannya dengan pembentukan hubungan
antara Provinsi, Kabupaten dan Kota, Game Management dan Network Structuring
dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut:
Game Management. Para aktor hendaknya bersedia untuk mengeskplorasi persamaan-
persamaan yang ada. Hal yang paling mudah namun sukar untuk dilakukan adalah
mengeksplorasi persamaan tujuan. Pada titik ini para aktor hendaknya perbedaan-
perbedaan yang ada pada setiap aktor mampu dieliminasi. Ego sektoral hendaknya perlu
disingkirkan. Setidaknya ada dua cara aplikasi Game Management dalam merumuskan
hubungan antara Provinsi, Kabupaten dan Kota.
Pertama, mengingat kembali tufuan bersama yang akan dicapai. Game Management
menghendaki adanya kesadaran bersama dalam membangun hubungan. Kesadaran akan
tujuan bersama yang akan dicapai. Juga mengenai peran dan tanggung jawab masing-
masing pihak dalam mencapai tujuan tersebut. Untuk itu Provinsi, Kabupaten dan Kota
perlu disadarkan kembali mengenai tujuan adanya desentralisasi, yaitu untuk

mensejahterakan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat secara bersama yang tidak


bersiIat parsial kedaerahan.
Perhitungan untuk atau rugi secara moneter hendaknya perlu dikesampingkan terlebih
dahulu. Mengingat ada kepentingan masyarakat yang lebih besar yang harus
diutamakan.
Salah satu yang dapat ditempuh adalah mengeIektiIkan Iorum-Iorum pertemuan antar
perangkat daerah untuk membahas permasalahan-permasalahan daerah yang bersiIat
strategis. Untuk menghindari ego kedaerahan yang muncul perlu dihadirkan perangkat
masyarakat atau civil society dalam pertemuan tersebut.
Kedua, meminta pihak ketiga untuk menfadi mediator. Game Management cara pertama
tidak mudah untuk dilakukan. Untuk itu dalam melaksanakan Game Management
terkadang diperlukan aktor pendukung. Aktor pendukung ini menjalankan peran sebagai
mediator. Mediator ini bertanggung jawab untuk mencapai tujuan dari masing-masing
pihak secara bersama-sama (Susskind and Cruishank, 1987:162 dalam Kickert et. al,
1999). Pihak yang menjadi mediator adalah pihak yang tidak terlibat dalam hubungan
dan cenderung tidak memiliki tujuan yang dapat mengganggu proses mediasi (Kickert
et. al, 1999).
Kaitannya dengan hubungan antara Provinsi dengan Kabupaten dan Kota adalah: ketika
hubungan yang dibangun cenderung memiliki kecenderungan konIlik, karena adanya
ego kedaerahan yang melingkupi maka perlu ditunjuk mediator. Melihat struktur tata
pemerintahan maka pihak yang wajib menjadi mediator adalah Pemerintah Pusat.
Adapun aktivitas yang dapat dilakukan oleh mediator adalah (Kickert et. al, 1999):
Pertama, memastikan hubungan telah terjalin yang ditunjukan saling terbukanya pihak-
pihak yang dimediasi. Mediator dapat memanggil para aktor untuk memastikan adanya
kesadaran bersama mengenai peran dan tanggung-jawab masing-masing aktor (Moore,
1986; Forester, 1989: 93-95 dalam Kickert et. al, 1999). Sehingga masing-masing aktor
memahami Iungsinya dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.
Pemerintah Pusat hendaknya mengundang Provinsi, Kabupaten dan Kota untuk
bertemu. Untuk menyadarkan peran dan tanggung jawabnya masing-masing pihak
dalam proses pembangunan. Juga mengingatkan kembali bahwasannya tujuan yang
hendak dicapai bersama adalah kesejahteraan masyarakat.
Kedua, mengawasi pelaksanaan prosedur yang telah ada, mengusulkan prosedur dan
mengusulkan hal-hal yang bersiIat subtantiI dalam rangka mediasi (Susskind dan
Chruishank, 1987 dalam Kickert et. al, 1999). Pemerintah Pusat hendaknya meneliti dan
mengawasi apakah peran masing-masing aktor telah dijalankan sesuai aturan. Dan,
mengusulkan bentuk prosedur baru dalam membina hubungan agar masing-masing
pihak dapat berhubungan dengan baik.
Ketiga, mengusulkan sumberdaya mana saja yang dapat dipergunakan untuk
menyelesaikan konIlik dan mengusulkan bagaimana cara memanIaatkannya(More, 1986
dalam Kickert et. al, 1999). Pemerintah Pusat diharapkan mampu memahami kebutuhak
asumberdaya yang harus dialokasikan untuk melaksanakan dan menyelesaikan konIlik.
Juga mengetahui tentang kondisi sumberdaya yang dimiliki Provinsi, Kabupaten dan
Kota. Sehingga bisa mengusulkan alokasi sumberdaya dari masing masing aktor dan
bagaimana cara memanIaatkannya.
Keempat, mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan solusi yang dapat dilakukan
(Susskind dan Chruishank, 1987, Forester, 1989 dalam Kickert et. al, 1999). Pemerintah
Pusat perlu mencari dan merumuskan bentuk-bentuk solusi yang tepat. Dengan tetap
mempertimbangkan proporsi alokasi sumberdaya dan peran masing-masing pihak
dalam melaksanakan solusi tersebut.
Kelima, melakukan konIrontasi para aktor secara langsung untuk menarik para aktor
dari persepsi dan keinginan yang membelenggu. Sehingga mempersulit pencarian solusi

dan cenderung mempertajam konIlik (More, 1986, Susskind dan Chruishank, 1987
dalam Kickert et. al, 1999). Pemerintah Pusat sebagai mediator hendaknya mampu
memberikan pandangan terhadap permasalahan dalam lingkup yang lebih luas.
Sehingga Provinsi, Kabupaten dan Kota mau keluar dari kumkuman ego kedaerahan.
Keenam, memastikan para aktor komitmen terhadap hasil dan kesepakatan (Susskind
dan Chruishank, 1987 dalam Kickert et. al, 1999). Pemerintah Pusat perlu memastikan
Provinsi, Kabupaten dan Kota berkomitmen mengenai hasil kesepakatan yang telah
disetujui.
Network Structuring.Pendekatan ini dilakukan dengan mengubah kebijakan dalam
jaringan secara Iundamental. Agar kebijakan yang ada mampu mendukung hubungan
antara para aktor secara lebih baik. Perubahan kebijakan ini sangat terkait dengan pola
hubungan antar aktor. Pada titik-titik mana dari kebijakan tersebut dapat menimbulkan
permasalahan dalam hubungan antar aktor. Sehingga diperlukan analisis yang tepat
dalam rangka pelaksanaan Network Structuring secara baik.
Adanya permasalahan yang timbul antara Provinsi dengan Kabupaten dan Kota
diwilayahnya timbul dari adanya pergeseran posisi Provinsi menjadi lebih sejajar
dengan Kabupaten dan Kota. Yang ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah. Untuk itu perlu ditinjau kembali posisi horisontal ini, apakah ada
alternatiI lain yang menunjang pola hubungan yang lebih baik. Salah satu alternatiI
yang menarik untuk didiskusikan adalah merubah hubungan yang bersiIat horisontal
menjadi bersiIat vertikal. Dengan menarik seluruh atau sebagian wewenang yang
dimiliki oleh Kabupaten dan Kota ke Provinsi.
Pola hubungan semacam ini pernah dilakukan pada masa diberlakukannya Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1974. Provinsi menjadi perumus strategis pembangunan dan
Kabupaten dan Kota sebagai unit pelaksana lebih teknis. Dengan posisi seperti ini
Provinsi dapat bersinergi dengan Kabupaten dan Kota dilingkungannya. Sekaligus dapat
melakukan koordinasi dan pengawasan secara eIektiI.
Mengambil beberapa contoh implementasi desentralisasi yang dilakukan oleh China dan
India yang berhasil mengimplementasikan desentralisasi kepada satuan pemerintahan
setingkat Provinsi. EIIendi (2010) berpendapat bahwa pemberian kewenangan tersebut
kepada Kabupaten dan Kota adalah pilihan yang kurang tepat. Karena kesuksesan India
dan China salah satunya disebabkan oleh keberhasilan meletakkan kewenangan
pemerintahan kepada Provinsi. China dan India berpandangan bahwa Provinsi
merupakan unit ekonomi yang besar untuk dapat berkembang (EIIendi, 2010). Untuk itu
desentralisasi hendaknya diimplementasikan pada Provinsi (EIIendi, 2010).
Hal senada juga disampaikan Hariyono (2003) yang menyatakan bahwa salah satu jalan
yang ditempuh untuk menyelesaikan hubungan yang disharmoni antara Provinsi dengan
Kabupaten dan Kota perlu dibentuk hubungan hierarkikal secara vertikal, dengan
menempatkan Provinsi lebih tinggi dibandingkan Kabupaten dan Kota. Untuk itu revisi
Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah perlu melihat kondisi ini.

KESIMPULAN
Desentralisasi menurut pandangan masyarakat sebagai pihak yang paling merasakan
dampaknya masih kurang memuaskan. Hal ini mengindikasikan bahwa kinerja para
aktor utama desentralisasi (Provinsi, Kabupaten dan Kota) masih jauh dari yang
diharapkan. Salah satu yang menyebabkan adalah para aktor tersebut kurang bersinergi
satu dengan yang lain. Dan sinergi ini mustahil dibentuk tanpa adanya pola hubungan
yang baik diantara para aktor.
Hubungan antara Provinsi dengan Kabupaten dan Kota mengalami pergeseran
disebabkan oleh desentralisasi kepada Kabupaten dan Kota. Tadinya hubungan antara

Provinsi dan Kabupaten dan Kota bersiIat hierarkikal dari atas ke bawah. Dengan
adanya desentralisasi ini hubungan antara Provinsi dengan Kabupaten dan Kota menjadi
horisontal. Provinsi bertindak sebagai koordinator dan pengawas kegiatan pembangunan
didaerahnya. Sedangkan Kabupaten dan Kota bertindak sebagai eksekutor atau
pelaksana pembangunan diwilayahnya. Kabupaten dan Kota merasa memiliki hak
sepenuhnya untuk mengelola pembangunannya tanpa harus berhubungan dengan
Provinsi. Pada titik ini gesekan kemudian timbul.
Penyelesian masalah tersebut dilakukan dengan metode manajemen jaringan yang
diimplementasikan melalui dua pendekatan utama, yaitu dengan Game Management
dan Network Structuring.
Game Management dilakukan dengan menyadarkan Provinsi, Kabupaten dan Kota
kepada tujuan desentralisasi yaitu mensejahterakan masyarakat. Sehingga para aktor
tersebut dapat merumuskan penyelesaian solusi secara bersama sekaligus membentuk
pola hubungan yang baik. Jika telah terjadi hubungan yang tidak baik atau bahkan
konIlik maka diperlukan peran mediator untuk membantu menyelesaikan.
Network Structuring dapat dilakukan dengan menarik desentralisasi ke Provinsi. Hal ini
dikarenakan hubungan yang hierarkikal dari atas kebawah mampu mendukung praktek
pembangunan pada masa sebelumnya. Beberapa best practice dinegara lain menunjukan
kesuksesan penyelenggaraan Desentralisasi di tingkat Provinsi. Mengingat Provinsi
merupakan entitas ekonomi yang besar karena gabungan dari entitas ekonomi
Kabupaten dan Kota dibawahnya. Dengan demikian maka hubungan antara Provinsi
dengan Kabupaten dan Kota akan kembali secara hierarkikal dari atas kebawah.


REFERENSI
Asian Development Bank, 2010, Special Evaluation Study July 2010 Asian
Development Bank Support for Decentrali:ation in Indonesia, Jakarta
Djoharwinarlien, Sri, 2003, Otonomi: Peluang Atau Beban Daerah? dalam
Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Abdul GaIIar Karim (Editor),
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
EIIIendi, SoIyan, 2010, Reformasi Tata Kepemerintahan. Menyiapkan Aparatur
Negara Untuk Mendukung Demokratisasi Politik dan Ekonomi Terbuka, Yogyakarta,
Gadjah Mada University Press
Gn, 2011, WaliKota dan Gubernur Harus Duduk Bersama, Beritamanado.com 6
September 2011 diakses dari http://beritamanado.com/berita-utama/waliKota-gubernur-
harus-duduk-bersama/50721/ tanggal 11 Oktober 2011
Hariyono, Sugeng, 2003, Posisi Gubernur Dalam Sistim Pemerintahan Daerah: Kasus
UU Nomor 22 Tahun 1999 dalam Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di
Indonesia, Abdul GaIIar Karim (Editor), Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ian, 2011, Tolak Bangun Mall, Gubernur Bibit Waluyo Bilang WaliKota Solo Bodoh',
Rimanews.com diakses dari http://www.rimanews.com/read/20110627/32958/tolak-
bangun-mall-gubernur-bibit-waluyo-bilang-waliKota-solo-bodoh tanggal 11 Oktober
2011
INA, 2011, Kinerfa Daerah Baru Jeblok, KPPOD.org 29 April 2011 diakses dari
http://www.kppod.org/index.php?viewarticle&catid4:berita&id536:kinerja-daerah-
baru-jeblok&tmplcomponent&print1&page
Kickert, W.J.M. dan J.F.M. Koppenjan, 1999, Public Management and Network
Management: An Overview dalam Managing Complex Network. Strategies for Public
Sector, Kickert, Walter J.M., Erik-Hans Klijn, dan Joop F.M. Koppenjan (editor),
London: Sage Publication Ltd., London

Kompas 11 Oktober 2011, Jefak Pendapat Kompas. Tersandera Sikap Politikus-


Birokrasi, Kompas
Pratikno, 2010, Peningkatan Kapasitas Berjejaring Dalam Tata-Pemerintahan Yang
Demokratis dalam Reformasi Aparatur Negara Ditinfau Kembali, Wahyudi
Kumorotomo dan Ambar Widaningrum (Editor), Yogyakarta: Penerbit Gava Media
Py, 2009, Konflik Gubernur Jateng dan Sukawi Berlanfut, Jakartapress.com 4
September 2009 diakses dari http://jakpress.com/www.php/news/id/8717/KonIlik-
Gubernur-Jateng-dan-Sukawi-Berlanjut.jp tanggal 11 Oktober 2011 tanggal 11 Oktober
2011
Warsono, Hardi, 2010, Kolaborasi Dan Kerjasama Antar Daerah dalam Reformasi
Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik, Agus Pramusinto dan Erwan Agus
Purwanto (Editor), Yogyakarta: Penerbit Gava Media
Widaningrum, Ambar, 2010, Desentralisasi, Kapasitas Daerah dan Pengelolaan
Jaringan Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik dalam Reformasi Aparatur Negara
Ditinfau Kembali, Wahyudi Kumorotomo dan Ambar Widaningrum (Editor),
Yogyakarta: Penerbit Gava Media

Anda mungkin juga menyukai