konstelasi dalam jaringan bersiIat given atau dengan kata lain Iaktor struktur aktor-aktor
didalamnya sudah tercipta atau ada (Klijn dan Koppenjan, 2000:141 dalam Pratikno,
2010).
Sedangkan Network Securiting (NS) memIokuskan kepada upaya mengubah struktur
jaringan. Dengan membangun asumsi karakteristik kelembagaan jaringan akan
mempengaruhi dan bahkan menentukan peluang-peluang bagi kerjasama antar aktor
(Klijn dan Koppenjan, 2000). Tujuannya adalah mengubah karakteristik kelembagaan
jaringan.
Berbeda dengan Game Management yang mengembangkan strategi-strategi dalam level
pembangunan interaksi antar aktor, strategi-strategi dalam Network Structuring
dimaksudkan untuk membuka ruang dan memIasilitasi berlangsungnya proses-proses
kerjasama untuk jejaring.
%,-el 2
Str,tegi M,n,jemen 1,ring,n
Level/Strategi Persepsi/Interpretasi Aktor/Fasilitas Institusi/Norma
Game
Management
Coventating:
Mengeksplorasi
persamaan dan
perbedaan persepsi
antar aktor, dan
menjajagi untuk
menselaraskan
tujuan
Selective (de)
activation:
Memobilisasi
kekuatan aktor
yang miskin
sumberdaya dan
medemobilisasi
peran aktor yang
mendominasi
sumberdaya
Aranging:
Membangun,
menjaga, dan
mengubah Iormat
relasi jangka pendek
yang bisa
mendorong interaksi
dalam kelompok
Network
Structuring
ReIraming:
Mengubah persepsi
para aktor dalam
jaringan yang akan
mengkerangkai aktor
dalam menentukan
nilai apa yang
dikedepankan
Network (de)
activation:
Melibatkan aktor-
aktor baru atau
mengubah posisi
dari aktor yang
ada; Memobilisasi
koalisi-koalisi baru
Reconstitutionalism:
Mengubah
kebijakan, aturan
dan sumberdaya
dalam jaringan
secara Iundamental
Sumber: Diolah dari Klijn dan Teisman (1999) dalam Pratikno (2010:124)
Game Management dan Network Structuring merupakan sebuah proses yang saling
berkaitan satu dengan yang lain. Dalam kaitannya dengan pembentukan hubungan
antara Provinsi, Kabupaten dan Kota, Game Management dan Network Structuring
dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut:
Game Management. Para aktor hendaknya bersedia untuk mengeskplorasi persamaan-
persamaan yang ada. Hal yang paling mudah namun sukar untuk dilakukan adalah
mengeksplorasi persamaan tujuan. Pada titik ini para aktor hendaknya perbedaan-
perbedaan yang ada pada setiap aktor mampu dieliminasi. Ego sektoral hendaknya perlu
disingkirkan. Setidaknya ada dua cara aplikasi Game Management dalam merumuskan
hubungan antara Provinsi, Kabupaten dan Kota.
Pertama, mengingat kembali tufuan bersama yang akan dicapai. Game Management
menghendaki adanya kesadaran bersama dalam membangun hubungan. Kesadaran akan
tujuan bersama yang akan dicapai. Juga mengenai peran dan tanggung jawab masing-
masing pihak dalam mencapai tujuan tersebut. Untuk itu Provinsi, Kabupaten dan Kota
perlu disadarkan kembali mengenai tujuan adanya desentralisasi, yaitu untuk
dan cenderung mempertajam konIlik (More, 1986, Susskind dan Chruishank, 1987
dalam Kickert et. al, 1999). Pemerintah Pusat sebagai mediator hendaknya mampu
memberikan pandangan terhadap permasalahan dalam lingkup yang lebih luas.
Sehingga Provinsi, Kabupaten dan Kota mau keluar dari kumkuman ego kedaerahan.
Keenam, memastikan para aktor komitmen terhadap hasil dan kesepakatan (Susskind
dan Chruishank, 1987 dalam Kickert et. al, 1999). Pemerintah Pusat perlu memastikan
Provinsi, Kabupaten dan Kota berkomitmen mengenai hasil kesepakatan yang telah
disetujui.
Network Structuring.Pendekatan ini dilakukan dengan mengubah kebijakan dalam
jaringan secara Iundamental. Agar kebijakan yang ada mampu mendukung hubungan
antara para aktor secara lebih baik. Perubahan kebijakan ini sangat terkait dengan pola
hubungan antar aktor. Pada titik-titik mana dari kebijakan tersebut dapat menimbulkan
permasalahan dalam hubungan antar aktor. Sehingga diperlukan analisis yang tepat
dalam rangka pelaksanaan Network Structuring secara baik.
Adanya permasalahan yang timbul antara Provinsi dengan Kabupaten dan Kota
diwilayahnya timbul dari adanya pergeseran posisi Provinsi menjadi lebih sejajar
dengan Kabupaten dan Kota. Yang ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah. Untuk itu perlu ditinjau kembali posisi horisontal ini, apakah ada
alternatiI lain yang menunjang pola hubungan yang lebih baik. Salah satu alternatiI
yang menarik untuk didiskusikan adalah merubah hubungan yang bersiIat horisontal
menjadi bersiIat vertikal. Dengan menarik seluruh atau sebagian wewenang yang
dimiliki oleh Kabupaten dan Kota ke Provinsi.
Pola hubungan semacam ini pernah dilakukan pada masa diberlakukannya Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1974. Provinsi menjadi perumus strategis pembangunan dan
Kabupaten dan Kota sebagai unit pelaksana lebih teknis. Dengan posisi seperti ini
Provinsi dapat bersinergi dengan Kabupaten dan Kota dilingkungannya. Sekaligus dapat
melakukan koordinasi dan pengawasan secara eIektiI.
Mengambil beberapa contoh implementasi desentralisasi yang dilakukan oleh China dan
India yang berhasil mengimplementasikan desentralisasi kepada satuan pemerintahan
setingkat Provinsi. EIIendi (2010) berpendapat bahwa pemberian kewenangan tersebut
kepada Kabupaten dan Kota adalah pilihan yang kurang tepat. Karena kesuksesan India
dan China salah satunya disebabkan oleh keberhasilan meletakkan kewenangan
pemerintahan kepada Provinsi. China dan India berpandangan bahwa Provinsi
merupakan unit ekonomi yang besar untuk dapat berkembang (EIIendi, 2010). Untuk itu
desentralisasi hendaknya diimplementasikan pada Provinsi (EIIendi, 2010).
Hal senada juga disampaikan Hariyono (2003) yang menyatakan bahwa salah satu jalan
yang ditempuh untuk menyelesaikan hubungan yang disharmoni antara Provinsi dengan
Kabupaten dan Kota perlu dibentuk hubungan hierarkikal secara vertikal, dengan
menempatkan Provinsi lebih tinggi dibandingkan Kabupaten dan Kota. Untuk itu revisi
Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah perlu melihat kondisi ini.
KESIMPULAN
Desentralisasi menurut pandangan masyarakat sebagai pihak yang paling merasakan
dampaknya masih kurang memuaskan. Hal ini mengindikasikan bahwa kinerja para
aktor utama desentralisasi (Provinsi, Kabupaten dan Kota) masih jauh dari yang
diharapkan. Salah satu yang menyebabkan adalah para aktor tersebut kurang bersinergi
satu dengan yang lain. Dan sinergi ini mustahil dibentuk tanpa adanya pola hubungan
yang baik diantara para aktor.
Hubungan antara Provinsi dengan Kabupaten dan Kota mengalami pergeseran
disebabkan oleh desentralisasi kepada Kabupaten dan Kota. Tadinya hubungan antara
Provinsi dan Kabupaten dan Kota bersiIat hierarkikal dari atas ke bawah. Dengan
adanya desentralisasi ini hubungan antara Provinsi dengan Kabupaten dan Kota menjadi
horisontal. Provinsi bertindak sebagai koordinator dan pengawas kegiatan pembangunan
didaerahnya. Sedangkan Kabupaten dan Kota bertindak sebagai eksekutor atau
pelaksana pembangunan diwilayahnya. Kabupaten dan Kota merasa memiliki hak
sepenuhnya untuk mengelola pembangunannya tanpa harus berhubungan dengan
Provinsi. Pada titik ini gesekan kemudian timbul.
Penyelesian masalah tersebut dilakukan dengan metode manajemen jaringan yang
diimplementasikan melalui dua pendekatan utama, yaitu dengan Game Management
dan Network Structuring.
Game Management dilakukan dengan menyadarkan Provinsi, Kabupaten dan Kota
kepada tujuan desentralisasi yaitu mensejahterakan masyarakat. Sehingga para aktor
tersebut dapat merumuskan penyelesaian solusi secara bersama sekaligus membentuk
pola hubungan yang baik. Jika telah terjadi hubungan yang tidak baik atau bahkan
konIlik maka diperlukan peran mediator untuk membantu menyelesaikan.
Network Structuring dapat dilakukan dengan menarik desentralisasi ke Provinsi. Hal ini
dikarenakan hubungan yang hierarkikal dari atas kebawah mampu mendukung praktek
pembangunan pada masa sebelumnya. Beberapa best practice dinegara lain menunjukan
kesuksesan penyelenggaraan Desentralisasi di tingkat Provinsi. Mengingat Provinsi
merupakan entitas ekonomi yang besar karena gabungan dari entitas ekonomi
Kabupaten dan Kota dibawahnya. Dengan demikian maka hubungan antara Provinsi
dengan Kabupaten dan Kota akan kembali secara hierarkikal dari atas kebawah.
REFERENSI
Asian Development Bank, 2010, Special Evaluation Study July 2010 Asian
Development Bank Support for Decentrali:ation in Indonesia, Jakarta
Djoharwinarlien, Sri, 2003, Otonomi: Peluang Atau Beban Daerah? dalam
Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Abdul GaIIar Karim (Editor),
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
EIIIendi, SoIyan, 2010, Reformasi Tata Kepemerintahan. Menyiapkan Aparatur
Negara Untuk Mendukung Demokratisasi Politik dan Ekonomi Terbuka, Yogyakarta,
Gadjah Mada University Press
Gn, 2011, WaliKota dan Gubernur Harus Duduk Bersama, Beritamanado.com 6
September 2011 diakses dari http://beritamanado.com/berita-utama/waliKota-gubernur-
harus-duduk-bersama/50721/ tanggal 11 Oktober 2011
Hariyono, Sugeng, 2003, Posisi Gubernur Dalam Sistim Pemerintahan Daerah: Kasus
UU Nomor 22 Tahun 1999 dalam Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di
Indonesia, Abdul GaIIar Karim (Editor), Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ian, 2011, Tolak Bangun Mall, Gubernur Bibit Waluyo Bilang WaliKota Solo Bodoh',
Rimanews.com diakses dari http://www.rimanews.com/read/20110627/32958/tolak-
bangun-mall-gubernur-bibit-waluyo-bilang-waliKota-solo-bodoh tanggal 11 Oktober
2011
INA, 2011, Kinerfa Daerah Baru Jeblok, KPPOD.org 29 April 2011 diakses dari
http://www.kppod.org/index.php?viewarticle&catid4:berita&id536:kinerja-daerah-
baru-jeblok&tmplcomponent&print1&page
Kickert, W.J.M. dan J.F.M. Koppenjan, 1999, Public Management and Network
Management: An Overview dalam Managing Complex Network. Strategies for Public
Sector, Kickert, Walter J.M., Erik-Hans Klijn, dan Joop F.M. Koppenjan (editor),
London: Sage Publication Ltd., London