Anda di halaman 1dari 15

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DAERAH UNTUK MENCAPAI TUJUAN DESENTRALISASI Pendahuluan Desentralisasi daerah mempunyai tujuan administratif dan tujuan

ekonomis. Tujuan administratif mendekatkan dan menyediakan pelayanan lebih baik, dan memperbesar kedekatan dan kepemilikan masyarakat, sehingga memperbesar akuntabilitas pemerintahan (Sandee, 2009)1. Tujuan desentralisasi ekonomi adalah meningkatkan kemampuan daerah membiayai dirinya menyelenggarakan urusan kesejahteraan masyarakat, termasuk deregulasi, dan bentukbentuk public-privat partnership lainnya. Prinsip desentralisasi di Indonesia diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, dan meningkatkan daya saing pemerintah daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keanekaragaman daerah. (Mardiasmo, 2009:562) 2. Kebijakan Umum Perimbangan Keuangan di Indonesia dilakukan dengan dalam konteks semangat desentralisasi. Perimbangan keuangan dilakukan melalui transfer/hibah dari Pusat kepada Daerah dan didukung dengan penyerahan kewenangan perpajakan kepada daerah. Sesuai esensi otonomi daerah, maka sebagian besar dukungan dana dari APBN berbentuk block grants (bebas digunakan oleh daerah). Block grants juga didukung dengan specific grants, yg berfungsi untuk mengawal prioritas nasional dan kesetaraan kualitas layanan publik antar daerah. Selaras dengan peningkatan kebutuhan pendanaan daerah, Pemerintah Pusat terus mendorong upaya kemandirian pendanaan melalui penguatan local taxing power dan transfer diupayakan terus meningkat dari tahun ke tahun. Untuk mendorong ekspansi pembangunan daerah guna mendorong perekonomian, daerah dapat melakukan pinjaman3 keadilan, kekhususan, potensi, dan

Sandee, H. (2009). Small Entreprises and Decentralization: some essons from Java in Decentralization and Regional Autonomy in Indonesia: Implementation and Challenges, Holtzappel, C.J.G, and Ramstedt, M. (ed). Singapore; Institutes of Southeast Asian Studies Mardiasmo (2009). Kebijakan desentralisasi Fiskal di Era Reformasi: 2005-2008, dalam Era baru kebijjakan fiskal: pemikiran, konsep, dan Implementasi. Abimanyu, A. dan Megantara, A. (ed). Jakarta, PT.Kompas Media Nusantara Dr. Marwanto Harjowiryono (Dirjend PKKemenkeu). Upaya Pemerintah dalam Menata Perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah. Disampaikan dalam Seminar Nasional Ekonomi dan Keuangan. Yogyakarta, 16 Mei 2011

Dari kebijakan umum tersebut nampaknya penguatan kemampuan fiskal daerah menjadi fokus, termasuk upaya peningkatan jumlah transfer keuangan. Pada dasarnya Kebijakan Fiskal adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mendapatkan dana-dana dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah untuk membelanjakan dananya tersebut dalam rangka melaksanakan pembangunan. Atau dengan kata lain, kebijakan fiscal adalah kebjakan pemerintah yang berkaitan dengan penerimaan atau pengeluaran Negara. Di era desentralisasi, sebenarnya daerah sudah diberi diskresi pengelolaan APBD, yaitu keleluasaan mengalokasikan dananya sesuai aturan perundangan. Harapan dari diskresi pengalokasian belanja daerah tersebut adalah kualitas pelayanan publik yang lebih baik. Percepatan dan penambahan dana transfer daerah juga diharapkan meningkatkan kemandirian daerah untuk kesejahteraan dan kualitas pelayanan publik. Kebijakan fiskal berarti kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mendapatkan dana-dana dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah untuk membelanjakan dananya tersebut dalam rangka melaksanakan pembangunan. Atau dengan kata lain, kebijakan fiscal adalah kebjakan pemerintah yang berkaitan dengan penerimaan atau pengeluaran Negara. Gambaran kebijakan fiskal pemerintah melalui dana transfer ke darah sebagai berikut.

Sumber: Marwanto, 20114

Dr. Marwanto Harjowiryono (Dirjend PKKemenkeu). Upaya Pemerintah dalam Menata Perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah. Disampaikan dalam Seminar Nasional Ekonomi dan Keuangan. Yogyakarta, 16 Mei 2011

Namun hingga evaluasi tahun 2010, ukuran agregat yang menunjukkan pencapaian tujuan meningkatkan kemandirian daerah untuk kesejahteraan dan kualitas pelayanan publik tersebut belum nampak dan tingkat capaian antar daerah sangat variatif. Temuan dari Tim Peneliti KementrianKeuangan, hingga tahun 2010 sejak adanya desentralisasi fiskal, alokasi belanja daerah belum menunjukkan adanya pengelolaan yang tepat guna, dimana pendekatan dalam pengambilan keputusan mengenai belanja daerah belum tertata secara sistematik.5 Hal ini ditunjukkan dengan adanya kecenderungan penggunaan belanja daerah untuk kegiatan rutin dan ketergantungan pada dana transfer sangat besar. Dikuatkan oleh data-data hasil penelitian tersebut di atas, ditengarai kebijakan desentralisasi fiskal belum dapat mencapai tujuannya, mendorong kemandirian daerah meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah dan mengatasi ketimpangan horisontal. Hal ini dibuktikan dengan rendahnya proporsi PAD terhadap total pendapatan maupaun belanja, serta tingginya gap kemampuan fiskal anatar daerah, maupun gap pendapatan per kapita antara daerah.6 Mengapa kemandirian daerah rendah? Kertas kerja ini akan menggali jawaban atas pertanyaan tersebut. Indikasi Kemandirian Daerah Kemandirian daerah adalah kemampuan daerah untuk membiayai penyelenggaraan urusan daerah. Bird, dan Vallancourt (2000)7, Halim (2002) 8mengukur tingkat kemandirian daerah dengan membandingkan tingkat proporsi PAD terhadap total pendapatan daerah atau total belanja daerah. Musgrave dan Musgrave (1991) mengukur kemandirian daerah dengan menggunakan derajad desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah melalui formula; (1) proporsi PAD terhadap pendapatan; (2) proporsi PAD terhadap total belanja; (3) proporsi PAD terhadap PDRB; (4) proporsi PAD terhadap PDRB per capita. Keempat parameter tersebut
5

Tim TADF (2010). Laporan Penbelitian kebijakan Pengelolaan Pendapatan dalam Rangka Peningkatan Kualitas Belanja dan Kemandirian Daerah, dalam Prosiding Diseminasi Buku Kedua, Laporan Akhir TADF (Tim Asistensi Kementrian Keuangan untuk Desentralisasi Fiskal). Jakarta: Kementrian Keuangan Republik Indonesia. Tim TADF (2010). Laporan Penbelitian kebijakan Pengelolaan Pendapatan dalam Rangka Peningkatan Kualitas Belanja dan Kemandirian Daerah, dalam Prosiding Diseminasi Buku Kedua, Laporan Akhir TADF (Tim Asistensi Kementrian Keuangan untuk Desentralisasi Fiskal). Jakarta: Kementrian Keuangan Republik Indonesia. Birth, Richard M. and Vallacourt, F. (2000). Fiscal Decentralization in Developing Countries. Jakarta: Pt. Gramedia Pustaka Utama Halim, A. (2002). Bunga Rampai Keuangan Daerah. Jogjakarta: UUP AMP YKPN

jika kurang dari 50% menunjukkan bahwa kemandirian daerah relatif rendah, demikian sebaliknya. Hasil penelitian TADF kemandirian daerah dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010, mendeskripsikan profil kemandirian daerah dengan data-data berikut. Elemen
(1)

Hasil
(2)

Keterangan
(3)

1. rata-rata proporsi PAD terhadap total pendapatan daerah provinsi, kota dan kabupaten 2. proprosi PAD terhadap belanja

8,72%

berarti kemandirian daerah masih rendah

3.

proporsi PAD terhadap PDRB

7,09%, dengan range 68% berarti kemandirian daerah masih rendah (Jawa tengah), dan terendah Variabel belanja : (1) belanja barang dan jasa, dan adalah 5% (papua) belanja modal; (2) belanja pegawai dan belanja tak terduga; (3) belanja hibah, bantuan sosial, bagi hasil, dan bantuan keuangan. hanya jenis belanja barang, jasa dan modal yang mempunyai pengarush signifikan positif terhadap IPM, IPM sebagai Titik pijak peningkatan kesejahteraan adalah kualitas pelayanan publik. Hasil dari pelayan publik diukur dengan perubahan IPM belanja pegawai cenderung terus naik. Semua bariabel belanja tsb di atas, mempunyai pengaruh yang positif untuk kenaikan PDRB di tingkat kabupaten/kota, dantidak demikian untuk level provinsi Range ketimpangan pada ketimpangan antar daerah semakin besar. tahun 2006 sebesar 2,2 kebijakan desentralisasi fiskal belum dapat mencapai trilyun, dan tahun 2010 tujuannya, mendorong kemandirian daerah memburuk sebesar 3,9 trilyun meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah dan tahun 2010 s mengatasi ketimpangan horisontal.

Peningkatan kemandirian daerah diartikan sebagai peningkatan kemampuan daerah untuk (1) meningkatkan proporsi PAD dengan Total pendapatan Daerah; (2) proporsi belanja untuk penyelenggaraan pelayanan publik dan kesejahteraan masayarakat, terutama pro growth, pro iob, pro poor, pro environment9. Dengan kata lain, kemandirian daerah akan terlihat dalam kinerja daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintah, yang diukur dengan indikator besaran PDRB, keberpihakan belanja daerah pro people & pro poor dan pemberdayaan masyarakat, serta peningkatan kualitas pelayanan publik. Kemandirian daerah secara langsung atau tidak langsung terkait dengan isu kemampuan pengelolaan keuangan daerah.
9

Pengarusutamaan dalam menyusun indikator sasaran pembangunan dalam RPJMN 2010-2015

Mengapa kemandirian daerah di Indoneisa rendah? Hasil penelitian Tim TADF mengindikasikan faktor penyebabnya adalah:
1.

perbedaan sumber dan kemampuan keuangan daerah, sehingga perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan kreativitas daerah dalam merencanakan program dan kegiatan untuk mencapai tujuan normatif ditengah keterbatasan yang ada.

2. Perbedaan komitmen yang kuat dan konsisten dari kepala daerah untuk mengembangkan

kreativitas daerah memanfaatakan sinergitas dana transfer.10 Penyebab lain tidak efektinya pengelolaan keuangan daerah adalah tingginya angka korupsi di daerah. Hal ini tercermin dari adanya kebijakan dari Pemerintah agar Pemerintah Daerah diminta serius membuat rencana aksi pemberantasan korupsi, jika tidak, anggaran terancam dipangkas11. Politik Anggaran untuk Peningkatan Kemandirian Daerah Berbicara kemampuan pengelolaan keuangan daerah, untuk meningkatkan kinerja daerah atau kemandirian daerah, sebenarnya berbicara tentang anggaran publik dan politik anggaran. Anggaran publik menggambarkan apa yang dilakukan pemerintah dnegan melihat pada bagaimana pemerintah membelanjakan uangnya. Irene Rubbin, seorang ahli politik anggaran, menegaskan anggaran publik tidak berbeda dengan anggaran lainnya. Yakni bagaimana membuat pilihan antara kemungkinankemungkinan pengeluaran, keseimbangan dan proses memutuskannya. Akan tetapi, anggaran publik memiliki tipikal yang berbeda, seperti bersifat terbuka, melibatkan berbagai aktor dalam penyusunannya yang memiliki tujuan berbedabeda, mempergunakan dokumen anggaran sebagai bentuk akuntabilitas publik, dan keterbatasan yang harus diperhatikan (budget constraint). Anggaran publik bukan sekedar dokumen, tetapi secara intrinsik bersifat politis,12 karena: (1) anggaran merefleksikan pilihan tentang apa yang ingin dilakukan oleh pemerintah dan mana yang tidak; (2) anggaran merefleksikan prioritas; (3) anggaran relatif merefleksikan proporsi keputusan yang dibuat ujuan-tujuan daerah dan
10

11

12

Tim TADF (2010). Laporan Penbelitian kebijakan Pengelolaan Pendapatan dalam Rangka Peningkatan Kualitas Belanja dan Kemandirian Daerah, dalam Prosiding Diseminasi Buku Kedua, Laporan Akhir TADF (Tim Asistensi Kementrian Keuangan untuk Desentralisasi Fiskal). Jakarta: Kementrian Keuangan Republik Indonesia., hal 18 Deputi Bidang Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan Bappenas Bambang Sutedjo mengakui saat ini pungutan liar (pungli) masih terjadi dalam proses pelayanan kepada masyarakat di banyak daerah, dalam acara acara Peluncuran Pedoman Umum Rencana Aksi Daerah (RAD) Pemberantasan Korupsi di Hotel Sahid, Jakarta, Kamis (9/12/2010). Rubin, Irene.s (2006).The Politics of Public Budgetting. Washington: CQ Press, p.1

pemilihan, untuk efisiensi, efektivitas dan tujuan-tujuan publik yang lebih luas; (4) anggaran menyediakan alat akuntabilitas yang kuat untuk masyarakat yang ingin mengetahui bagaimana pemerintah membelanjakanuangnya dan apakah pemerintah secara umum telah mengikuti preferensi mereka, sebagai sarana penghubung preferensi masyarakat dan outcome pemerintah, ini sebgai alat yang kuat untuk implementasi demokrasi; (5)anggaran merefleksikan preferensi warganegara tentang bentuk dan level yang berbeda atas pajak, anggaran merefleksikan bagaimana pemerintah meredistribusikan kesejahteraan ke atas dan ke bawah melalui sistem perpajakan; (6) anggaran secara nasional dapat mempengaruhi ekonomi, kebijakan fiskal mempengaruhi tingkat pengangguran; (7) anggaran merefleksikan hubungan kekuasaan atas individu dan organisasi yang berbeda ( antara aktor anggaran, cabang pemerintahan, warganegara pada umumnya, dan kelompok interes khusus) untuk mempengaruhi outcome. Anggaran bersifat politik karena sebagai keputusan kebijakan yang khusus merefleksikan skope pemerintah, distribusi kesejahreaan, keterbukaan pemerintah pada kelompok kepentingan, dan akuntabilitas pemerintah kepada publik secara luas. Makna politik dalam anggaran publik dalam literatur setidaknya ada lima cara utama untuk memandang13, yaitu:
1. Reformism: reformasi orientasi, yang berpendapat seharusnya anggaran didasarkan pada

tahnik efisiensi, mengatasi benturan pendapat antara pejabat politis dan staf profesional mengatasi keterbatasan anggaran antara keputusan anggaran yang bersifat tehnik, dan ketusuan anggaran yang bersifat politik secara tepat
2. Incremantalis bargaining: melihat penganggaran sebagai arena negosiasi diantara

kelompok aktor birokrat, staf anggaran, kepala eksekutif, dan legislator, yang bertemu tiap tahun untuk tawar menawar, termasuk kelompok kepentingan. Proses terbuka, siapa saja bisa terlibat dan berpotensi menang, sehingga potensi konflik dapat dikendalikan arena setiap orang dapat menang dan tidak ada yang menang terlalu banyak
3. Interest group determinism: menempatkan yang kaya dan memiliki power lebih

berpotensi menang, lebih berpotensi onflik, karena ada kelompok yang lebih lemah
4. Process: proses penganngaran itu sendiri adalah pusat dan fokus politik anggaran, dimana

dengan anggaran khusus berusaha mencapai tujuan yang hendak mereka capai. Proses politik dalam penganggaran meliputi kemampan kelok kepentingan mem[engaruhi

13

Rubin, Irene.s (2006).The Politics of Public Budgetting. Washington: CQ Press, p.28-29

anggaran, peran publik dalam keputusan anggaran, keterbukaan proses pembuatan keputusan anggaran
5. Policy making: politik anggaran fokus pada debat kebijakan, termasuk debat tentang

peran anggaran. Isu utama adalah level belanja, kebijakan pajak, kemuan meneruskan pinjaman untuk membiayai ekonomi dalam saat resesi. Penganggaran merefleksikan kebijakan untuk memoderasi siklus ekonomi. Pandangan politik dalam proses ini biasanya menghasilkan trade off, antar pilihan kebijakan. Dari kelima pandangan politik anggaran ini menunjukkan adanya pertarungan power dan kepentingan dalam proses penganggaran. Dalam proses pertarungan, peran kontrol diperlukan untuk menjaga agar keputusan penganggaran cukup mewakili preferensi warga masyarakat pada umumnya. V.O Key menyebutnya sebagai masalah dasar penganggaran. Yaknil dengan keterbatasan sumber daya, atas dasar apa kita mengalokasikan X dollar untuk aktivitas A daripada untuk Aktivitas B? (Key 1940, h1138).14 Menurut Rong Wang, setidaknya terdapat tiga pendekatan besar politik anggaran dalam literatur internasional, yakni pendekatan pilihan publik, kelompok kepentingan, dan teori hierarki.15 Dari berbagai pendekatan yang ada, Fozzard menyatakan bahwa secara rasional, nyaris tidak ada satu pendekatan pengalokasian anggaran yang sempurna. Karena tidak ada proses kelembagaan yang kokoh secara rasional, maka alokasi anggaran ditempatkan sebagai pilihan publik (public choice).16 Pilihan publik kerap ditempatkan sebagai politik anggaran, atas nama berbagai kepentingan publik yang beragam sebagai media yang sarat dengan pertarungan politik perebutan sumber daya antar kelompok kepentingan. Apakah politik anggaran atas nama pilihan publik ini sudah tercermin dalam kebijakan anggaran selama ini?
Potret Kebijakan Anggaran Daerah

Secara prosedural kerangka hukum yang tersedia mengakui politik anggaran sebagai salah satu pendekatan dalam penyusunan anggaran. Pendekatan Politik Anggaran pertama adalah keberadaan fungsi anggaranDPRD dalam proses pembahasan anggaran dan kedua, penjabaran

14 15

16

Key, V.O (1940) Te Lack of a Budget Theory American Political Science Review 34 (6), 11371144 Rong Wang (2002), Political Dimensions of County Government Budgeting in China: a case study. IDS Working Paper. Brighton Sussex. Cullis, John and Phillip Jones .(1998). Public Finance and Public Choice, Oxford University Press,Oxford

visi misi kepala daerah terpilih terpilih sebagai dasar penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggung jawab, Pendapatan Daerah memegang peranan yang sangat penting, karena melalui sektor ini dapat dilihat sejauh mana suatu daerah dapat membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang menjadi urusan rumah tangganya. Besar kecilnya jumlah dana yang diperlukan sangat tergantung pada luas wilayah dan keadaan demografi, jumlah penduduk, kepadatan penduduk, kompleksitas kebutuhan penduduk serta hal-hal lainnya yang sangat mempengaruhi pertumbuhan sosial ekonomi daerah tersebut. 1. Pendapatan daerah Untuk tahun 2007-2011, rata-rata jumlah PAD hanya sekitar 17% dan Lain-lain pendapatan hanya 10% (Tabel 1) dari total pendapatan, sementara Dana Perimbangan (Daper) mencapai 73%, sebagaimana dalam tabel berikut. Tabel 1. Pendapatan Daerah

Sumber: Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah Daerah (APBD) 2011, Kementerian
Keuangan RI, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, www.djpk.depkeu.go.id

Tabel 2. Persentase Sumber Pendapatan Daerah

Sumber: Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah Daerah (APBD) 2011, Keuangan RI, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, www.djpk.depkeu.go.id

Kementerian

Dari tabel di atas memperlihatkan bahwa meskipun DAPER mempunyai proporsi paling besar, akan tetapi kecenderungannya semakin menurun dari tahun ke tahun. Jika di TA 2007 nilainya mencapai 78%, maka pada tahun-tahun sesudahnya semakin menurun hingga
8

menjadi 68% di TA 2011. Kondisi sebaliknya terjadi untuk PAD, di mana nilai proporsinya cenderung mengalami kenaikan, dari 13% di TA 2007 menjadi 20% di TA 2011. Adapun untuk lain-lain pendapatan nilai proporsinya cenderung lebih berfluktuasi sepanjang TA 2007 hingga TA 2011, dengan nilai terendah sebesar 7% di TA 2008 dan nilai tertinggi sebesar 12% di TA 2011. Tabel 3. Jenis Dana Perimbangan

Sumber: Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah Daerah (APBD) 2011, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, www.djpk.depkeu.go.id

Kementerian Keuangan RI,

Tabel 4. Persentase Jenis Dana Perimbangan

Sumber: Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah Daerah (APBD) 2011, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, www.djpk.depkeu.go.id

Kementerian Keuangan RI,

Total Dana Perimbangan konsisten bertambah selama periode 2007 2011. Dalam lima tahun, Total Dana Perimbangan telah meningkat sebesar 45%. Hal ini sejalan dengan peningkatan Dana Alokasi Umum sebesar 42% selama 2007-2011 dan Dana Alokasi Khusus sebesar 36%. Mengapa pertumbuhan kelompok Pendapatan Asli Daerah tidak mampu mengimbangi laju pertumbuhan kelompok pendapatan daerah dari Dana Perimbangan? Mengapa otonomi daerah justru membuat ketergantungan keuangan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat semakin tinggi? Salah satu temuan penelitian FITRA tentang pengelolaan keuangan daerah menemukan bahwa proses pengumpulan yang tertutup dan kesalahan dalam
9

pengelolaan. Tidak banyak daerah yang mampu mengelola potensi berbagai jenis pendapatan daerah secara maksimal, sehingga mampu secara nyata dan bertahap mewujudkan kemandirian keuangan daerah. Bahwa kondisi dan permasalahan yang ditemui dalam Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah masing-masing daerah adalah tidak sama, karena menyangkut tersedianya sumber daya, tingkat kemajuan serta kemampuan sumbersumber yang ada. Dalam rangka upaya pendayagunaan aparatur, termasuk didalamnya para pejabat dan staf yang mengelola keuangan dan pendapatan daerah, perlu diberikan peningkatan kemampuan dan ketrampilan untuk menggali potensi sumber Pendapatan Daerah yang ada serta mengelolanya dengan transparan dan akuntabel. Dari data DJPK Kemenkeu tentang data APBN 2011 terdapat 226 dari 524 kabupaten/kota/provinsi atau sebesar 43% yang pendapatan dari retribusi lebih besar dari pendapatan pajak dan Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan maupun lain-lain PAD yang sah. Ini menunjukkan daerah juga masih mengandalkan restribusi daerah yang dibayarkan langsung oleh publik terhadap pelayanan yang diberikan. Artinya, daerah kurang memiliki ruang untuk mendongkrak pendapatan daerah. Yang terjadi, inisiatif daerah kerap membebani masyarakat dengan berbagai restribusi layanan dan menerapkan pajakpajak yang tidak memberikan iklim yang kondusif bagi investasi di Daerah. 2. Belanja Daerah Kebijakan alokasi anggaran pada sisi belanja tidak terlalu jauh berbeda, bahkan jauh dari upaya tujuan otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan mendekatkan pelayanan publik. Porsi belanja pegawai di daerah telah menjadi beban yang berat bagi fiscal daerah. Kebijakankebijakan pemerintah pusat yang tidak memperhatikan implikasi terhadap beban anggaran daerah, menjadi penyebab terbatasnya ruang gerak fiskal daerah. Pengangkatan PNS menjadi Sekdes, kenaikan gaji pegawai berturutturut 15% dan 5 %, serta rekruitmen PNS setiap tahun, berimplikasi membengkaknya peruntukan DAU hanya untuk belanja Pegawai. Ratarata 70% sampai 80% DAU habis hanya untuk membayar gaji pegawai17
17

Tim TADF (2010). Laporan Penbelitian kebijakan Pengelolaan Pendapatan dalam Rangka Peningkatan Kualitas Belanja dan Kemandirian Daerah, dalam Prosiding Diseminasi Buku Kedua, Laporan Akhir TADF (Tim Asistensi Kementrian Keuangan untuk Desentralisasi Fiskal). Jakarta: Kementrian Keuangan Republik Indonesia.

10

Total belanja meningkat sebesar 83% dari tahun 2007 sampai tahun 2011 yang kemungkinan besar disebabkan karena makin banyaknya jumlah daerah, disamping alasan logis bertambahnya kebutuhan pemerintah daerah. Tabel 5. Jenis Belanja

Sumber: Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah Daerah (APBD) 2011, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, www.djpk.depkeu.go.id

Kementerian Keuangan RI,

Tabel 6. Persentase Jenis Belanja

Sumber: Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah Daerah (APBD) 2011, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, www.djpk.depkeu.go.id

Kementerian Keuangan RI,

Dari keempat-besar jenis belanja tersebut, Belanja pegawai, belanja barang dan jasa serta belanja lainnya meningkat dalam nilai yang relatif konstan, sementara belanja modal menurun sekitar 8%. Sebagian besar belanja daerah digunakan untuk belanja pegawai sebesar 58%, meningkat tajam dibandingkan belanja pegawai tahun lalu sebesar 45%. Tabel 7. Persentase Belanja Pegawai

Sumber: Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah Daerah (APBD) 2011, Kementerian Keuangan RI, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, www.djpk.depkeu.go.id

11

Berbeda halnya dengan belanja pegawai, belanja modal mengalami penurunan 8% yaitu menjadi Rp 106Triliun di Tahun 2011. Tabel 8. Persentase Belanja Modal

Sumber: Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah Daerah (APBD) 2011, Kementerian Keuangan RI, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, www.djpk.depkeu.go.id

Persentase belanja untuk fungsi-fungsi pelayanan umum, pendidikan, kesehatan relatif meningkat. Sementara alokasi untuk fungsi ekonomi seperti perkebunan dan penanaman modal relatif menurun. Alokasi untuk fungsi pelayanan umum merupakan alokasi terbesar untuk tiap tahunnya yaitu mencapai 36% dari total belanja. Tabel 9. Persentase belanja per fungsi

Sumber:

Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah Daerah (APBD) 2011, Kementerian Keuangan RI, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, www.djpk.depkeu.go.id

Gambaran diatas menandakan kuatnya birokrasi dalam kebijakan penganggaran. Kebijakan anggaran masih bersifat incremental, siapapun kepala daerahnya anggaran untuk birokrasi selalu memperoleh kanaikan setiap tahunnya, terbukti pelayanan umum (sebagaian besar menyangkut pelayanan administratif, jadi pengguna belanja adalah aparatur) selalu menempati porsi paling besar. Beratnya beban fiskal daerah terhadap belanja pegawai, juga berkosntribusi pada rendahnya alokasi dan komitmen Pemerintah Daerah untuk mengalokasikan anggaranvyang bersentuhan langsung terhadap kebutuhan, seperti pendidikan dan kesehatan. Untuk sector kesehatan misalnya, Ratarata APBD hanya mengalokasikan 8% belanjanya untuk sector kesehatan, dengan ratarata separuhnya habis untuk belanja tidak langsung yang bersifat rutin. Demikian juga dengan anggaran Pendidikan, meskipun Pemda sudah cukup banyak yang mengalokasikan anggaran pendidikan melebih 20% sesuai konstitusi, akan tetapi jika dibedah lebih jauh, lebih besar dialokasikan untuk belanja tidak langsung seperti pegawai.
12

Ratarata 70% belanja sektor pendidikan lebih banyak dialokasi kan belanja tidak langsungnya18. Gambaran potret APBD 2011 menunjukan, jargon pengarusutamaan pembangunan APBD 2011 dari seluruh daerah di Indonesia. Kesimpulan dan Rekomendasi Dari gambaran di atas tersirat kebijakan anggaran masih jauh memenuhi amanat pasal 23 konstitusi, yaitu penggunaan anggaran pendapatan dan belanja negara untuk sebesar-besar nya kemakmuran rakyat. Perlu ada reorientasi politik anggaran daerah. Politik anggaran adalah penetapan berbagai kebijakan tentang proses anggaran yang mencakup berbagai pertanyaan: (1). bagaimana pemerintah membiayai kegiatannya?; (2) bagaimana uang publik didapatkan, dikelola dan disdistribusikan?; (3) siapa yang diuntungkan dan dirugikan?; (4) peluang-peluang apa saja yang tersedia baik untuk penyimpangan negatif maupun untuk meningkatkan pelayanan publik. (Noer Fauzi & R Yando Zakaria dalam BIGS-TIFA 2006)19. Paradigma anggaran masih dilihat sebagai domain birokrasi, dengan mengalokasikan tanpa memperhatikan kebutuhan dari warganya. Perubahan mendasar system keuangan negara dan paradigma ekonomi yang pro rakyat merupakan keniscayaan untuk mewujudkan pasal 23 konsitusi. Alokasi belanja daerah lebih banyak untuk menggerakkan mesin birokrasi daripada untuk kepentingan rakyat. Politik anggaran kita belum berada dalam arah yang benar. Buktinya, porsi belanja pegawai menempati porsi terbesar dalam APBD, jauh dari harapan rakyat. Dengan demikian intervensi dan kajian lebih lanjut adalah bagaimana mengembangkan model negara mempunyai posisi yang penting, berinteraksi secara intensif dengan masyarakat melalui mekanisme konstitusional,administratif dan kewargaan (civic), menjamin pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial-melalui fungsi alokasi, distribusi dan redistribusi anggaran publik.
18

pro

poor, pro job dan pro growth hanyalah sebatas jargon yang tidak relevan dengan kenyataan

Akibatnya, banyak tujuan

pembangunan, seperti pengurangan penduduk miskin, pengangguran, dan infrastruktur, masih

www.djpk.depkeu.go.id. Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah Daerah (APBD) 2011, Kementerian Keuangan RI, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan,
19

Pratikno, (2010). Politik Anggaran dalam Desnetralisasi dan Otonomi Daerah

13

Politik anggaran pemerintah tidak seharusnya dikendalikan oleh ketersediaan anggaran (budget driven). Upaya menjaga dan mempertahankan kesinambungan fiskal bukan menjadi tujuan, tetapi hanya alat untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. Dalam konteks ini, tujuan pembangunan ditetapkan secara terukur dan realistik. Bagaimanakah visi sejahtera, demokratis dan berkeadilan dituangkan dalam target kinerja yang terukur dan tercerminkan dalam pos anggaran APBN/APBD? Berdasar gambaran di atas rekomendasi sebagai bahan kajian lebih lanjut sebabai berikut:
1. Perlu ditinjau ulang penerapan sistem transfer bersyarat (conditional transfer) dalam

perencanaan dan evaluasi hasilnya, dengan memasukkan

indikator perkembangan

kemandirian daerah, termasuk dalam penetapan alokasi Dana Insentif Daerah atau program lain yang sejenis. Hal ini untuk memacu inisitaif daerah meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masayarakat daerah 2. Selain itu kebijakan pusat terkait kenaikan gaji pegawai dan jumlah pegawai rasional di daerah perlu juga ditinjau ulang dan mempertimbangkan kondisi dan kemampuan daerah, supaya tidak kontraproduktif dalam pemanfaatan dana transfer untuk peningkatan kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. 3. Penegakan pengawasan untuk menegakkan kontrol penggunaan anggaran daerah untuk menurunkan tingkat korupsi dan mafia anggaran. Penegakan pengawasan dan kontrol oleh lembaga pemerintah maupun oleh masayarakat. 4. Pengawasan anggaran oleh masyarakat memerlukan adanya deliberasi informasi tentang anggaran dan kebijakannya serta kepedulian masyarakat untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai warganegara yang dijamin oleh konstitusi. DAFTAR ACUAN Birth, Richard M. and Vallacourt, F. (2000). Fiscal Decentralization in Developing Countries. Jakarta: Pt. Gramedia Pustaka Utama Cullis, John and Phillip Jones .(1998). Public Finance and Public Choice, Oxford University Press,Oxford Deputi Bidang Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan Bappenas Bambang Sutedjo mengakui saat ini pungutan liar (pungli) masih terjadi dalam proses pelayanan kepada masyarakat di banyak daerah, dalam acara acara Peluncuran Pedoman Umum Rencana Aksi Daerah (RAD) Pemberantasan Korupsi di Hotel Sahid, Jakarta, Kamis (9/12/2010). Halim, A. (2002). Bunga Rampai Keuangan Daerah. Jogjakarta: UUP AMP YKPN
14

Key, V.O (1940) Te Lack of a Budget Theory American Political Science Review 34 (6), 11371144 Mardiasmo (2009). Kebijakan desentralisasi Fiskal di Era Reformasi: 2005-2008, dalam Era baru kebijjakan fiskal: pemikiran, konsep, dan Implementasi. Abimanyu, A. dan Megantara, A. (ed). Jakarta, PT.Kompas Media Nusantara Marwanto Harjowiryono (Dirjend PKKemenkeu). Upaya Pemerintah dalam Menata Perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah. Disampaikan dalam Seminar Nasional Ekonomi dan Keuangan. Yogyakarta, 16 Mei 2011 Pratikno, (2011). Politik Anggaran dalam Desnetralisasi dan Otonomi Daerah, Bahan Paparan Rong Wang (2002), Political Dimensions of County Government Budgeting in China: a case study. IDS Working Paper. Brighton Sussex Rubin, Irene.s (2006).The Politics of Public Budgetting. Washington: CQ Press, p.1 Sandee, H. (2009). Small Entreprises and Decentralization: some essons from Java in Decentralization and Regional Autonomy in Indonesia: Implementation and Challenges, Holtzappel, C.J.G, and Ramstedt, M. (ed). Singapore; Institutes of Southeast Asian Studies Tim TADF (2010). Laporan Penbelitian kebijakan Pengelolaan Pendapatan dalam Rangka Peningkatan Kualitas Belanja dan Kemandirian Daerah, dalam Prosiding Diseminasi Buku Kedua, Laporan Akhir TADF (Tim Asistensi Kementrian Keuangan untuk Desentralisasi Fiskal). Jakarta: Kementrian Keuangan Republik Indonesia. www.djpk.depkeu.go.idAnggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah Daerah (APBD) 2011, Kementerian Keuangan RI, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan,

15

Anda mungkin juga menyukai