Anda di halaman 1dari 17

Filsafat dan Agama

Agama, pada awal tahap perkembangannya kerap terjebak pada pola-pola penghayatan yang sempit . Ayat-ayat dalam kitab suci diterjemahkan secara kaku dan sangat tekstual. Tidak semua orang boleh memegang dan membaca Kitab Suci. Interprestasi sabda Tuhan, dari teks suci ke penjabaran dalam kehidupan seharihari didominasi oleh kepentingan petinggi agama, dan semakin kacau ketika kepentingan penguasa negara ikut turut campur. Akibatnya fatal! Ketaatan pemeluk agama memang kuat, tapi fanatisme sempit yang cenderung anarkis juga meningkat, dan tiba-tiba saja muka tuhan terlihat begitu bengis dan bodoh! Hampir semua agama mempunyai masa kegelapannya masing-masing. Kebodohan manusia dalam mengartikan sebuah pesan yang datang dari Tuhan sekalipun, bisa berbahaya hasilnya. Kebodohan dan kebengisan agama bisa dikikis sedikit demi sedikit ketika agama mulai berani membuka diri terhadap kajian keilmuan lain yang ada di dunia ini. Salah satu jembatan yang menghubungkan pesan dari Tuhan dalam agama dengan penerapannya di kehidupan sehari-hari adalah filsafat. Filsafat sering diartikan sebagai sebuah hal yang rumit, penuh kata-kata yang sulit dimengerti, dan susah untuk dipelajari. Tapi sebenarnya, ketika orang sudah memahami pola keilmuan dalam filsafat, filsafat justru memberikan sebuah cara untuk menyederhanakan tahap-tahap pemikiran manusia agar lebih mudah dalam menelaah inti sari dari sebuah permasalahan. Filsafat berasal dari bahasa yunani Philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang pencinta kebijaksanaan atau ilmu. Filsafat mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis. Hal ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari prosesproses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Maka, untuk studi falsafi mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa. Proses berpikir filsafat dilakukan dalam 3 bagian yang meliputi ; Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi. Ontologi membahas tentang masalah keberadaan sesuatu yang dapat dilihat dan dibedakan secara empiris. Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut pandang: 1. kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak? 2. Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum. Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis. Epistemologi adalah tema yang mengkaji tentang pengetahuan (episteme secara harafiah berarti pengetahuan). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan. Epistomologi atau Teori Pengetahuan berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung

jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis. Sedangkan aksiologi adalah tema yang membahas tentang masalah nilai atau norma sosial yang berlaku pada kehidupan manusia. Bisa dikatakan juga bahwa aksiologis merupakan penerapan secara nyata dari proses dialektika ilmu pengetahuan. Tiga pemikiran filsafat diatas dapat diterapkan untuk menelaah hakikat terdalam dari ajaran - ajaran agama yang ada di muka bumi. Misalnya untuk melihat hubungan antara sifat Tuhan dengan kebenaran ajaran yang diwartakanNya. Secara ontologis, Tuhan merupakan ada yang menguasai segala ada lain di alam semesta ini. Secara epistimologis, sebagai ada tertinggi, maka Tuhan haruslah mempunyai sifat Maha sebagai kebalikan dari ada lain di alam semesta yang mempunyai sifat terbatas. Sifat Maha tersebut adalah syarat mutlak agar sebuah ada layak disebut sebagai Tuhan. Secara aksiologis, akan dilihat apakah ajaran yang bersumber dari Tuhan yang Maha Tak Terbatas tersebut, mempunyai sifat dan karakteristik sama dengan sumbernya, ketika dipraktekan di tengah kehidupan sehari hari ( baca selengkapnya di posting terdahulu dalam blog ini ). Pemikiran filosofis mempunyai dasar yang netral dalam memandang Tuhan dan agama, karena sumber pemikiran filosofis yang sejati bersumber pada akal sehat dan hati nurani yang bersih. Ilmu-ilmu eksakta sering gagal dalam memahami Tuhan dan Agama. Filsafat dapat menjembatani antara misteri agama dengan kajian keilmuan yang kongkret dan kritis. Dengan demikian, agama muncul dengan muka baru yang lebih ramah dan manusiawi. Tapi banyak pula lembaga-lembaga agama yang phobia dengan Filsafat. Bahkan tidak sedikit yang menganggap bahwa semua pengetahuan dan ilmu selain agama tidak ada gunanya serta sesat belaka! Kebodohan orang-orang tersebut memandang sempit ilmu filsafat sebagai perusak kemurnian agama. Ada juga muncul kekhawatiran yang tidak beralasan bahwa dengan mempelajari filsafat, akan menarik seseorang ke arah atheisme. Pemikiran ini sangat bertolak belakang dengan fakta keilmuan yang ada. Filsafat justru mendekatkan manusia pada pemikiran inti dari agama yang semurni-murninya. Filsafat dapat menyingkap selubung misteri dari ajaran agama, agar makin mudah dipahami manusia. Filsafat juga memberikan alasan yang masuk akal disamping alasan keimanan, untuk mempercayai serta menjalankan sebuah agama. Kadang muncul sebuah pertanyaan yang menggelitik hati. Kebohoan tersebut sebuah budaya yang muncul dengan sendirinya karena sifat yang introfet atau sengaja dibodohkan secara institusi untuk menghindari melihat sisi yang sebenarnya dari ajaran agama yang dianutnya??? Tidak berpikir secara filosofis dalam menjalankan agama berarti memisahkan akal sehat dan hati nurani dari agama. Agama akan jalan ditempat, nyaman dengan status quo dan bangga berada di era dark ages. Agama akan berkutat pada kebenaran semu yang terus dipaksakan untuk dipercayai tanpa dasar yang jelas. Pemaksaan kebenaran semu secara ini diabil dengan dsar-dasar yang subyektif, yaitu dengan teks-teks dari kitab sucinya sendiri. bagaimana bisa teks suci sebuah agama dapat digunakan sebagai epistimologi pemikiran, kalau secara ontologis belum dapat dijelaskan hakekat kebenarannya secara kongkret?

Usaha pencarian kebenaran itu akan semakin bodoh dan terlihat putus asa dari hari ke hari. Pada tahap berikutnya, agama yang memaksakan kebenarnya secara subyektif tersebut akan menyerang teks-teks ajaran agama lain dengan tujuan memperlihatkan bahwa agamanya benar dan agama lain salah. Tapi sekali lagi dengan katalisator yang tidak masuk akal. Kebenaran teks agama lain dinilai dengan tolok ukur teks agamanya sendiri yang nyata-nyata memang saling bertentangan. Hal tersebut cuma akan menunjukan kenyataan adanya perbedaan dari dua ajaran agama, bukan menujukan pada kenyataan tentang ajaran mana yang benar dan mana yang salah. Pemaksaan kebenaran juga sering dilakukan dengan mencomot ayat dalam ajaran agama lain secara tekstual, dan dicarikan pemaknaan yang dipaksakan untuk mengakui kebenaran dari sebuah agama tertentu. Sebuah paradoks yang lucu. Untuk menyatakan agamanya benar, kadang mereka mencari kesalahan-kesalahan dari ajaran lain, tapi kadang pula mereka mencari dalam ayat-ayat agama orang lain tersebut yang sekiranya kalau diartikan secara ngawur, bisa dijadikan bukti pembenar dari ajaran agamanya sendiri. Belum puas dengan cara-cara diatas, mereka memaksakan kebenaran agama dengan menghubung-hubungkan feneomena ilmiah dengan teks agama. Misalnya; telaah ilmiah tentang matahari sebagai sumber cahaya dihubungkan secara aneh dengan sebuah ayat yang memuat kata sinar matahari didalamnya, lalu membuat kesimpulan bahwa ajaran agamanya hebat dan benar karena telah mengetahui hal tersebut jauh sebelum para ilmuan-ilmuan sekuler mengetahuinya. Sebuah kesimpulan yang anti logika. Primus-primus yang berdiri sendiri sendiri dan tidak saling berhubungan, dipaksakan untuk mengarah pada satu konklusi tertentu. Banyak terjadi bahwa fenomena-fenomena alam yang dipakai sebagai alat pembenaran tersebut bukan berasal dari telaah ilmiah yang nyata tetapi dari berita-berita bohong atau berita yang sengaja direkayasa untuk membohongi publik ( baca posting tentang hoax ). Bila cara yang dipakai untuk mencari kebenaran dari Tuhan dan agama adalah caracara konyol seperti yang ada di atas, maka akan menghasilkan umat beragama yang berwawasan sempit, bodoh, dan fanatik. Kegagalan mereka sendiri dalam mencari kebenaran yang sejati dari agamanya, akan menimbulkan sikap yang selalu memusuhi terhadap ajaran agama lain dan selalu berusaha mencari kejelekankejelekan subyektif dari ajaran agama lain. Bila hal tersebut terus dipupuk secara melembaga, saya ucapkan selamat datang diera mundur yang anti peradaban. Hanya orang yang bosan dengan peradaban yang melembagakan dan melestarikan kebodohan. Agama dan filsafat bisa bersanding dengan mesra dan saling melengkapi satu dengan yang lain. Dua-duanya bisa semakin kokoh dan saling mencerahkan. Sebagai perumpamaan bahwa Agama itu adalah peta dan filsafat itu adalah obor. Manusia yang berjalan di lorong-lorong gelap kehidupan ini, bila hanya berbekal peta mereka masih bisa berjalan tanpa tersesat, tapi mungkin akan banyak tersendung atau menabrak sesuatu di jalan. Bila hanya mengandalkan peta tanpa penerangan obor, jalan terlihat terang sehingga dapat terhindar dari tersandung atau menabrak, tapi ada kemungkinan tersesat. Bila digunakan dua-duanya, maka manusia akan bisa berjalan lancar dan tanpa tersesat melintasi gelapnya jalan kehidupannya.

Apakah Zaman dari masa ke masa, lebih baik atau lebih buruk ....?

Jan 18, '08 3:08 AM for everyone

Apakah Zaman dari masa ke masa, Lebih Baik atau lebih Buruk,...? Manusia selalu berharap masa depan sebagai masa yang lebih baik; teknologi yang lebih maju, kehidupan yang lebih nyaman dan lebih memudahkan. Demikianlah yang terjadi hingga saat ini. Tahun demi tahun, manusia mengembangkan teknologi dengan izin Allah sehingga hidup manusia lebih nyaman dan mudah. Setelah ribuan tahun menunggang kuda, saat ini manusia mengendarai kendaraan yang lebih cepat. Telepon genggam yang dulu cuma ada di novel atau film fiksi ilmiah kini sudah mewabah sampai kalangan masyarakat bawah. Informasi yang dulu harus tersimpan dalam tulisan di atas kertas kini mudah tersebar lewat jaringan informasi. Secara lahir, manusia menemukan kenyamanan, kemudahan, dan kebaikan dari zaman yang terus maju. Namun hakikatnya tidak demikian. Satu hari dilalui, satu hari pula jatah kelangsungan dunia ini berkurang. Satu hari dilalui, semakin dekatlah akhir dunia. Satu zaman berlalu, zaman berikutnya adalah lebih buruk dari yang lalu. Zaid bin Wahab mendengar Abdullah bin Masud radhiallahu anhu berkata, Tidaklah datang kepada kalian suatu hari (zaman) kecuali ia lebih buruk dari hari (zaman) sebelumnya (dan hal ini akan berlangsung terus) sampai datang hari kiamat kelak. Zubair bin Adi menceritakan bahwa ia dan teman-temannya datang menemui Anas bin Malik serta mengadu tentang sikap Al-Hajjaj. Maka Anas bin Malik radhiallahu anhu berkata, Tidak datang suatu zaman melainkan orang-orang yang sesudahnya lebih jelek dari sebelumnya hingga kalian menemui Rabb kalian. Dan aku dengar hal ini dari Nabi kalian.(Riwayat Ahmad, Al-Bukhari, dan At-Tirmidzi) Pernyataan dua sahabat ini bisa membuat bingung orang zaman sekarang. Apakah Ibnu Masud dan Anas bin Malik berkata demikian karena mereka tidak merasakan kemudahan zaman modern? Apakah karena mereka tidak merasakan zaman Umar bin Abdul Aziz yang lebih makmur dan aman? Tentu bukan karena hal itu. Ibnu Masud sendiri meneruskan ucapannya tentang zaman di atas, Saya tidak mengatakan bahwa zaman yang telah lewat itu menggambarkan kesejahteraan hidup dan banyaknya harta yang dirasakan oleh orang-orang yang hidup pada zaman itu. Yang saya maksudkan adalah bahwa tidaklah datang kepada kalian suatu hari (zaman) kecuali hari (zaman) itu lebih sedikit ulamanya dibanding hari (zaman) sebelumnya". Ibnu Hajar menerangkan pernyataan Anas bin Malik dalam Fathul Bari, Sebagian ulama menanggapi bahwa zaman dalam pernyataan beliau adalah generasi. Artinya, ada suatu generasi yang lebih baik dari generasi lain. Dalam hal ini, zaman Al-Hajjaj adalah zaman saat masih banyak sahabat (Nabi) yang masih hidup, sedangkan zaman Umar bin Abdul Aziz adalah zaman saat para sahabat (Nabi) sudah tiada. Dan zaman ketika para sahabat masih hidup adalah lebih baik daripada zaman

sesudahnya berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang telah dikemukakan sebelumnya, Sebaik-baik generasi adalah generasiku (Riwayat AlBukhari dan Muslim). Riwayat dari Masruq menegaskan penafsiran tentang buruknya zaman dengan ketiadaan ulama. Ibnu Hajar mengatakan, Dan dari jalan Asy-Syabi, dari Masruq, bahwa beliau berkata, Tidaklah datang kepada kalian suatu zaman kecuali ia lebih jelek dari zaman sebelumnya. Saya tidak mengatakan bahwa seorang pemimpin yang memimpin pada zaman yang telah lewat lebih baik dari seorang pemimpin sesudahnya dan tidak mengatakan suatu tahun lebih baik dari tahun yang lain, akan tetapi yang saya maksudkan adalah para ulama dan fuqaha kalian pergi meninggalkan kalian (wafat) dan kalian pun tidak mendapatkan pengganti mereka lagi, kemudian datang suatu kaum yang mengeluarkan fatwa menurut pendapat mereka sendiri. Bukan Teknologinya Zaman memang terus maju dan semakin baik dalam hal teknologi. Beberapa negara terus maju dan semakin baik dalam hal ekonomi. Hal ini membuat sebagian kita keliru dalam memandang kebaikan, terutama yang menyangkut umat Islam. Sebagian kalangan umat Islam lalu menyangka bahwa kebaikan umat ini adalah jika umat ini juga maju dalam hal teknologi dan ekonomi. Lalu, dihasunglah umat ini untuk menyelami ilmu-ilmu dunia dengan memberikan porsi kecil perhatian terhadap agama. Akibatnya, dunia begitu diperhatikan, agama dilalaikan. Ironisnya, sebagian dai juga menyerukan kepada umat untuk memberi perhatian yang demikian besar terhadap ilmu dunia. Terbukanya dunia bagi umat malah sudah pernah dicemaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Kenyataannya, kecemasan itu pun mempunyai bukti. Saat umat bergelimang dengan kejayaan, kelalaian terhadap akhirat mengancam.Saat umat membuka diri kepada ilmu dunia, racun-racun pemikiran menyusup ke jalan kebenaran. Contoh nyata adalah ketika umat ini mulai belajar filsafat Yunani, maka mulai bermunculanlah pemikiran-pemikiran sesat yang menggerogoti umat ini. Dunia memang jangan dilupakan. Tapi, tidak juga kemudian diprioritaskan. Lebih keliru lagi jika kemudian dunia jadi pengukur kebaikan umat ini. Memang good looking jika bisa maju dalam teknologi, namun baik bukanlah hanya dalam tampilan yang kelihatan oleh umat-umat yang lain. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda yang artinya, Sebaik-baik manusia adalah manusia pada generasiku, kemudian yang sesudahnya, kemudian yang sesudahnya. (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim). Jelas, sebaik-baik umat adalah para sahabat. Mereka pulalah yang Allah izinkan untuk meluaskan Islam di penjuru dunia, membuka negeri-negeri, mengusir kegelapan kekufuran dan mendatangkan cahaya kebenaran. Mereka pulalah yang Allah izinkan untuk menaklukkan Rum dan Persia. Mereka yang sederhana, berasal dari pelosok gurun, mengalahkan Rum dan Persia yang berteknologi tinggi. Teknologi mereka tak maju tapi kebaikan agama merekalah yang menjadi modal bagi datangnya pertolongan Allah. Akhir Dunia Buruknya zaman yang datang kemudian karena semakin berkurangnya ahli agama adalah suatu kepastian.akan sedikit dan kebodohan terhadap agama merajalela. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, yang artinya,

Sesungguhnya menjelang datangnya hari kiamat, akan ada hari-hari (yang pada hari itu) diturunkannya kejahilan dan dihilangkannya ilmu agama. (Riwayat Al-Bukhari) Berangsur-angsur orang yang ahli agama Hilangnya ilmu ini adalah dengan wafatnya para ulama sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa, Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu agama dengan serta merta dari hambahambaNya, tetapi Dia mencabut ilmu dengan mematikan para ulama. (Riwayat AlBukhari) Keburukan masa depan ini akan terus berlangsung dan bertambah hingga orang-orang tak lagi mengerti tentang syariat. Mereka tak mengetahui salat, zakat, puasa, ataupun syariat lainnya. Rasulullah menceritakan peristiwa masa depan ini, Akan hancur Islam ini seperti hancurnya kain yang telah usang, sehingga tidak diketahui orang lagi apa itu puasa, apa itu shalat, apa itu ibadah haji, dan apa itu zakat. Dan diterbangkanlah Kitab Allah pada suatu malam, sehingga tidak ada lagi yang tinggal di bumi satu ayat pun, dan tinggallah beberapa golongan laki-laki dan wanita yang telah berusia lanjut dan lemah, yang berkata, Kami mendapati bapak-bapak kami dahulu mengucapkan kalimat ini: "La ilaha illallah, maka kami mengucapkan kalimat tersebut. (Riwayat Ibnu Majah, Al-Albani menshahihkan dalam Shahih Jamiush Shaghir) Pesimis atau putus asa tentulah bukan yang diharapkan dari kebenaran cerita masa depan ini. Penghormatan terhadap ilmu agama dan keadilan kita dalam bersikap terhadapnya itulah diinginkan. Kebersamaan dengan para ulama adalah hal yang penting agar kita tetap merasakan kebaikan dalam masa-masa yang semakin buruk. Toh, para ulamalah yang dimaksudkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam sabdanya, Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang menegakkan kebenaran. Tidak membahayakan mereka orang yang mencela mereka. Hingga datanglah urusan Allah (angin yang mencabut nyawa kaum muslim sebelum kiamat). Kalaulah Allah menetapkan zaman semakin buruk karena semakin sedikitnya orang yang paham agama, maka tak ada pilihan lain bagi kita kecuali bergabung dengan yang sedikit itu. Masih ada kejayaan Islam sebelum akhir dunia nanti sebagaimana dijanjikan Allah. Dan itu semua dimulai dari kembalinya kita kepada agama. Kembali memprioritaskan ilmu agama, mengamalkannya, dan mendakwahkannya.

1.Manfaat nya adalah untuk mencari kebenaran, namun kebenaran filsafat dan dan kebenaran ilmu masih tetap saja bersifat relatif sebagi proses yang tidak pernah selesai, maksudnya bahwa kebenaran yang didapatkan oleh filsafat dan ilmu tidak selesai dan terus berproses dan menjadi , yang dalam hukum dialektika dan seterusnya sebagai tanda bahwa manusia, pemikiranya dan ciptaanya bersifat relatif sedangkan kebenaran itu sendiri identik dengan pencipta kebenaran yang maha benar hanyalah Allah SWT.

BAB 2 - Ilmu Pengetahuan dan Agama


Hubungan antara Ilmu Pengetahuan dan Agama Telah kita kaji hubungan antara sisi manusiawi manusia dan sisi hewaninya. Dengan kata lain, hubungan antara kehidupan budaya serta spiritual manusia dan kehidupan materialnya. Kini sudah jelas bahwa sisi manusiawi manusia itu eksistensinya independen dan bukanlah sekadar cermin kehidupan hewaninya. Juga sudah jelas bahwa ilmu pengetahuan dan agama merupakan dua bagian pokok dari sisi manusiawi manusia. Kini marilah kita telaah keterkaitan yang terjadi atau yang dapat terjadi antara dua segi dari sisi manusiawi manusia itu. Di dunia Kristiani, sayangnya, bagian-bagian tertentu dari Perjanjian Lama mengajukan gagasan, bahwa terjadi kontradiksi antara ilmu pengetahuan dan agama. Dasar dari gagasan iniyang sangat merugikan ilmu pengetahuan dan agama adalah Kitab Kejadian, Perjanjian Lama. Dalam meriwayatkan "Kisah Adam dan Pohon Terlarang". Kitab Kejadian, Bab II, ayat 16-17 mengatakan: Dan Tuhan Allah memberikan perintah kepada lelaki itu, dengan mengatakan, "Dari setiap pohon di surga, engkau boleh leluasa makan (buahnya). Namun untuk pohon pengetahuan tentang baik dan buruk, engkau tidak boleh makan (buahnya). Karena kalau engkau makan (buah) dari pohon itu, engkau pasti akan mad." Dalam Bab II, ayat 1-7 dikatakan: Kini naganya lebih canggih ketimbang binatang buas sawah yang diciptakan Tuhan Allah. Dan dia berkata kepada wanita itu, "Ya, Tuhan telah berfirman, engkau tak boleh makan dari setiap pohon di surga?" Dan wanita itu berkata kepada sang naga, "Kita boleh makan buah dari pohon-pohon di surga. Namun untuk buah dari pohon yang ada di tengah-tengah surga, Tuhan telah berfirman, engkau tidak boleh makan buah itu, juga tak boleh menyentuhnya, agar engkau tidak mati." Dan sang naga berkata kepada sang wanita, "Tentu saja engkau dilarang, karena Tuhan tahu bahwa begitu engkau makan (buah itu), maka kedua matamu akan terbuka, dan engkau pun akan seperti dewa, tahu mana yang baik dan mana yang buruk." Dan ketika sang wanita tahu bahwa pohon itu baik untuk makanan, dan bahwa pohon itu menyedapkan pandangan matanya, dan sebuah pohon yang dibutuhkan untuk membuat orang jadi arif, wanita itu pun memetik buah dari pohon itu, kemudian memakannya, dan juga

memberikan kepada suaminya, dan sang suami pun memakannya. Dan mata mereka pun terbuka, dan mereka mendapati diri mereka telanjang. Lalu mereka menjahit daun-daun ara untuk pakaian mereka. Dalam ayat 22-23 dalam Bab yang sama dikatakan: Dan Tuhan Allah berfirman, "Lihatlah, lelaki itu menjadi seperti Kami, tahu yang baik dan yang buruk. Dan kini, jangan sampai dia mengulurkan tangannya, lalu memetik (buah) dari pohon kehidupan, kemudian makan (buah itu), dan hidup abadi."[1] Menurut konsepsi tentang manusia, Tuhan, ilmu pengetahuan dan kedurhakaan ini, Tuhan tidak mau kalau manusia sampai tahu yang baik dan yang buruk. Pohon Terlarang adalah pohon pengetahuan. Manusia baru dapat memiliki pengetahuan kalau dia menentang perintah Tuhan (tidak menaati ajaran agama dan para nabi). Namun karena alasan itulah manusia terusir dari surga Tuhan. Menurut konsepsi ini, semua isyarat buruk merupakan isyarat ilmu pengetahuan, dan nalar merupakan iblis sang pemberi isyarat. Sebaliknya, dari Al-Qur'an Suci kita menjadi mengetahui bahwa Allah mengajarkan semua nama (realitas) kepada Adam, dan kemudian menyuruh para malaikat untuk sujud kepada Adam. Iblis mendapat kutukan karena tak mau sujud kepada khalifah Allah (Adam) yang mengetahui realitas. Hadis-hadis Nabi menyebutkan bahwa Pohon Terlarang adalah pohon keserakahan, kekikiran dan hal-hal seperti itu, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan sisi hewani Adam, bukan berhubungan dengan sisi manusiawi Adam. Iblis selalu mengisyaratkan hal-hal yang bertentangan dengan akal dan hal-hal yang dapat memenuhi hasrat rendah (hawa nafsu). Yang mencerminkan iblis di dalam diri manusia adalah hasrat seksual, bukan akal. Beda dengan semua ini, yang kita temukan dalam Kitab Kejadian sungguh-sungguh sangat mengherankan. Konsepsi ini telah membagi sejarah budaya Eropa selama 1500 tahun yang baru lalu menjadi dua periode, yaitu "Zaman Agama" dan "Zaman Ilmu Pengetahuan", dan telah menempatkan ilmu pengetahuan dan agama saling bertentangan satu sama lain. Sebaliknya, sejarah budaya Islam dibagi menjadi "Periode Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Agama" dan Teriode Ketika Ilmu Pengetahuan dan Agama Mengalami Kemunduran". Kaum Muslim hendaknya menjauhkan diri dari konsepsi yang salah ini, sebuah konsepsi yang membuat ilmu pengetahuan, agama dan ras manusia mengalami kerugian yang tak dapat ditutup. Kaum Muslim juga jangan secara membuta menganggap kontradiksi antara ilmu pengetahuan dan agama sebagai fakta yang tak terbantahkan. Bagaimana kalau kita melakukan studi analisis terhadap masalah ini, kemudian kita lihat apakah kedua segi dari sisi manusiawi manusia ini hanya ada pada periode atau zaman tertentu, dan apakah manusia pada setiap zaman nasibnya adalah hanya menjadi setengah manusia, dan selalu menderita akibat keburukan yang terjadi karena kebodohan atau karena kedurhakaan. Seperti akan kita ketahui, setiap agama tentunya didasarkan pada pola pikir tertentu dan konsepsi khusus tentang kosmos (jagat raya). Tak syak lagi, banyak konsepsi dan

interpretasi tentang dunia, meskipun boleh jadi menjadi dasar dari agama, tidak dapat diterima karena tidak sesuai dengan prinsip rasional dan prinsip ilmu pengetahuan. Karena itu, pertanyaannya adalah apakah ada konsepsi tentang dunia dan interpretasi tentang kehidupan yang rasional dan sekaligus sesuai dengan infrastruktur sebuah agama yang sangat pada tempatnya? Jika ternyata konsepsi seperti itu memang ada, maka tak ada alasan kenapa manusia sampai dianggap untuk selamanya ditakdirkan mengalami nasib buruk akibat kebodohan atau kedurhakaan. Hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama dapat dibahas dari dua sudut pandang. Sudut pandang yang pertama adalah kita lihat apakah ada sebuah agama yang konsepsinya melahirkan keimanan dan sekaligus rasional, atau semua gagasan yang ilmiah itu bertentangan dengan agama, tidak memberikan harapan dan tidak melahirkan optimisme. Pertanyaan ini akan dibahas nanti dalam "Konsepsi Tentang Kosmos". Sudut pandang kedua yang menjadi landasan dalam membahas hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan adalah pertanyaan tentang bagaimana keduanya ini berpengaruh pada manusia. Apakah ilmu pengetahuan membawa kita ke satu hal, dan agama membawa kita kepada sesuatu yang bertentangan dengan satu hal itu? Apakah ilmu pengetahuan mau membentuk (karakter) kita dengan satu cara dan agama dengan cara lain? Atau apakah agama dan ilmu pengetahuan saling mengisi, ikut berperan dalam menciptakan keharmonisan kita semua? Baiklah, kita lihat sumbangan ilmu pengetahuan untuk kita dan sumbangan agama untuk kita. Ilmu pengetahuan memberikan kepada kita cahaya dan kekuatan. Agama memberi kita cinta, harapan dan kehangatan. Ilmu pengetahuan membantu menciptakan peralatan dan mempercepat laju kemajuan. Agama menetapkan maksud upaya manusia dan sekaligus mengarahkan upaya tersebut. Ilmu pengetahuan membawa revolusi lahiriah (material). Agama membawa revolusi batiniah (spiritual). Ilmu pengetahuan menjadikan dunia ini dunia manusia. Agama menjadikan kehidupan sebagai kehidupan manusia. Ilmu pengetahuan melatih temperamen (watak) manusia. Agama membuat manusia mengalami pembaruan. Ilmu pengetahuan dan agama sama-sama memberikan kekuatan kepada manusia. Namun, kekuatan yang diberikan oleh agama adalah berkesinambungan, sedangkan kekuatan yang diberikan oleh ilmu pengetahuan terputus-putus. Ilmu pengetahuan itu indah, begitu pula agama. Ilmu pengetahuan memperindah akal dan pikiran. Agama memperindah jiwa dan perasaan. Ilmu pengetahuan dan agama sama-sama membuat manusia merasa nyaman. Ilmu pengetahuan melindungi manusia terhadap penyakit, banjir, gempa bumi dan badai. Agama melindungi manusia terhadap keresahan, kesepian, rasa tidak aman dan pikiran picik. Ilmu pengetahuan mengharmoniskan dunia dengan manusia, agama menyelaraskan manusia dengan dirinya. Kebutuhan manusia akan ilmu pengetahuan maupun agama telah menarik perhadan kaum pemikir religius maupun pemikir sekular. Dr. Muhammad Iqbal berkata: "Dewasa ini manusia membutuhkan tiga hal: Pertama, interpretasi spiritual tentang alam semesta. Kedua, kemerdekaan spiritual. Ketiga, prinsip-prinsip pokok yang

memiliki makna universal yang mengarahkan evolusi masyarakat manusia dengan berbasiskan rohani." Dari sini, Eropa modern membangun sebuah sistem yang realistis, namun pengalaman memperlihatkan bahwa kebenaran yang diungkapkan dengan menggunakan akal saja tidak mampu memberikan semangat yang terdapat dalam keyakinan yang hidup, dan semangat ini ternyata hanya dapat diperoleh dengan pengetahuan personal yang diberikan oleh faktor supranatural (wahyu). Inilah sebabnya mengapa akal semata tidak begitu berpengaruh pada manusia, sementara agama selalu meninggikan derajat orang dan mengubah masyarakat. Idealisme Eropa tak pernah menjadi faktor yang hidup dalam kehidupan Eropa, dan hasilnya adalah sebuah ego yang sesat, yang melakukan upaya melalui demokrasi yang saling tidak bertoleransi. Satu-satunya fungsi demokrasi seperti ini adalah mengeksploitasi kaum miskin untuk kepentingan kaum kaya. Percayalah, Eropa dewasa ini paling merintangi jalan kemajuan akhlak manusia. Sebaliknya, dasar dari gagasan-gagasan tinggi kaum Muslim ini adalah wahyu. Wahyu ini, yang berbicara dari lubuk hati kehidupan yang paling dalam, menginternalisasi (menjadikan dirinya sebagai bagian dari karakter manusia dengan cara manusia mempelajarinya atau menerimanya secara tak sadarpen.) aspek-aspek lahiriahnya sendiri. Bagi kaum Muslim, basis spiritual dari kehidupan merupakan masalah keyakinan. Demi keyakinan inilah seorang Muslim yang kurang tercerahkan pun dapat mempertaruhkan jiwanya. "Reconstruction of Religious Thought in Islam" (Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam). Will Durant, penulis terkenal "History of Civilization" (Sejarah Peradaban), meskipun dia bukan orang yang religius, berkata: "Beda dunia kuno atau dunia purba dengan dunia mesin baru hanya pada sarana, bukan pada tujuan. Bagaimana menurut Anda jika ternyata ciri pokok seluruh kemajuan kita adalah peningkatan metode dan sarana, bukan perbaikan tujuan dan sasaran?"[2] Dia juga mengatakan: "Harta itu membosankan, akal dan kearifan hanyalah sebuah cahaya redup yang dingin. Hanya dengan cintalah, kelembutan yang tak terlukiskan dapat menghangatkan hati."[3] Kini kurang lebih disadari bahwa saintisisme (murni pendidikan ilmiah) tidak mencetak manusia seutuhnya. Saintisisme melahirkan setengah manusia. Pendidikan seperti ini hanya menghasilkan bahan baku untuk manusia, bukan manusia jadi. Yang dapat dihasilkan pendidikan seperti ini adalah manusia unilateral, sehat dan kuat, namun bukan manusia multilateral dan bajik. Semua orang kini menyadari bahwa zaman murni ilmu pengetahuan sudah berakhir. Masyarakat sekarang terancam dengan terjadinya kekosongan idealistis. Sebagian orang bemiaksud mengisi kekosongan ini dengan murni filsafat, sebagian lainnya merujuk kepada sastra, seni dan ilmu-ilmu humanitarian (ilmu-ilmu yang mempromosikan kesejahteraan manusia pen.). Di negeri kami (Iranpen.) ada usulan agar kekosongan tersebut diisi dengan sastra yang penuh kebajikan, khususnya sastra sufi karya Maulawi, Sa'di dan Hafiz. Para

pendukung rencana ini lupa bahwa sastra ini sendiri mendapat ilham dan agama dan dan semangat agama yang penuh kebajikan, semangat yang menjadikan agama menarik perhatian, yaitu semangat Islam. Kalau tidak, mengapa sastra modern, meski ada klaim lantang bahwa sastra modern itu humanistis, begitu hambar, tak ada roh dan daya tariknya. Sesungguhnya kandungan manusiawi dalam sastra sufi kami, merupakan hasil dan konsepsi Islami sastra tersebut tentang alam semesta dan manusia. Seandainya roh Islam dikeluarkan dari mahakarya-mahakarya ini, maka yang tersisa hanyalah kerangkanya saja. Will Durant termasuk orang yang menyadari adanya kekosongan itu. Menurutnya, hendaknya sastra, filsafat dan seni mengisi kekosongan itu. Dia berkata: "Kerusakan atau kerugian yang dialami oleh sekolah dan perguruan tinggi kita, sebagian besar adalah akibat teori pendidikannya Spencer.[4] Definisi Spencer mengenai pendidikan adalah bahwa pendidikan membuat manusia menjadi selaras dengan lingkungannya. Definisi ini tak ada rohnya, dan mekanis sifatnya, serta lahir dari filsafat keunggulan mekanika. Setiap otak dan jiwa yang kreatif menentang definisi ini. Akibatnya adalah sekolah dan perguruan tinggi kita hanya diisi dengan ilmu-ilmu teoretis dan mekanis, sehingga tak ada mata pelajaran sastra, sejarah, filsafat dan seni, karena mata pelajaran seperti ini dianggap tak ada gunanya. Yang dapat dicetak oleh suatu pendidikan yang murni ilmu pengetahuan hanyalah alat. Pendidikan seperti ini membuat manusia tak mengenal keindahan dan tak mengenal kearifan. Akan lebih baik bagi dunia seandainya saja Spencer tidak menulis buku."[5] Sangat mengejutkan, meskipun Will Durant menganggap kekosongan ini pertamatama sebagai kekosongan idealistis yang terjadi akibat pemikiran yang salah dan akibat tak ada kepercayaan kepada tujuan manusia, namun dia masih saja berpendapat bahwa problem ini dapat dipecahkan dengan sesuatu yang non-material, sekalipun mungkin imajinatif belaka. Menurutnya, menyibukkan din dengan sejarah, seni, keindahan, puisi dan musik dapat mengisi sebuah kekosongan. Kekosongan ini ada karena manusia memiliki naluri mencari ideal dan kesempurnaan. Dapatkah Ilmu Pengetahuan dan Agama Saling Menggantikan Tempat Masingmasing? Telah kita ketahui bahwa antara agama dan ilmu pengetahuan tak ada pertentangan. Yang terjadi justru keduanya saling mengisi. Sekarang timbul satu pertanyaan lagi: Mungkinkah keduanya mengisi tempat masing-masing? Pertanyaan ini tidak perlu dijawab secara terperinci, karena kita sudah tahu peran masing-masing (agama dan ilmu pengetahuan). Jelaslah bahwa ilmu pengetahuan tak dapat menggantikan peran agama, karena agama memberikan kasih sayang, harapan, cahaya dan kekuatan. Agama meninggikan nilai keinginan kita, di samping membantu kita mewujudkan tujuan kita, menyingkirkan unsur egoisme dan individualisme jauhjauh dari keinginan dan ideal kita, dan meletakkan keinginan dan ideal kita itu di atas fondasi cinta dan hubungan moral serta spiritual. Selain menjadi alat bagi kita, pada dasarnya agama mengubah hakikat kita. Begitu pula, agama juga tak dapat menggantikan peran ilmu pengetahuan. Melalui ilmu pengetahuan kita dapat mengenal alam, kita dapat mengetahui hukum alam, dan kita pun dapat mengenal siapa diri kita sendiri.

Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa akibat dari memisahkan antara ilmu pengetahuan dan agama, telah terjadi kerugian yang tak dapat ditutup. Agama haras dipahami dengan memperhatikan ilmu pengetahuan, sehingga tidak terjadi pembauran agama dengan mitos. Agama tanpa ilmu pengetahuan berakhir dengan kemandekan dan prasangka buta, dan tak dapat mencapai tujuan. Kalau tak ada ilmu pengetahuan, agama menjadi alat bagi orang-orang pandai yang munafik. Kasus kaum Khawarij pada zamah awal Islam dapat kita lihat sebagai satu contoh kemungkinan ini. Contoh lainnya yang beragam bentuknya telah kita lihat, yaitu pada periode-periode selanjutnya, dan masih kita saksikan. Ilmu pengetahuan tanpa agama adalah seperti sebilah pedang tajam di tangan pemabuk yang kejam. Juga ibarat lampu di tangan pencuri, yang digunakan untuk membantu si pencuri mencuri barang yang berharga di tengah malam. Itulah sebabnya sama sekali tak ada bedanya antara watak dan perilaku orang tak beriman dewasa ini yang berilmu pengetahuan dan orang tak beriman pada masa dahulu yang tidak berilmu pengetahuan. Lantas, apa bedanya antara Churchill, Johnson, Nixon dan Stalin dewasa ini dengan Fir'aun, Jenghis Khan dan Attila pada zaman dahulu? Dapatlah dikatakan bahwa karena ilmu pengetahuan adalah cahaya dan juga kekuatan, maka penerapannya pada dunia material ini tidaklah khusus. Ilmu pengetahuan mencerahkan dunia spiritual kita juga, dan konsekuensinya memberikan kekuatan bagi kita untuk mengubah dunia spiritual kita. Karena itu, ilmu pengetahuan dapat membentuk dunia dan manusia juga. Ilmu pengetahuan dapat menunaikan tugasnya sendiri, yaitu membentuk dunia dan juga tugas agama, yaitu membentuk manusia. Jawabannya adalah bahwa semua ini memang benar, namun masalah pokoknya adalah bahwa ilmu pengetahuan adalah alat yang penggunaannya tergantung kepada kehendak manusia. Apa saja yang dilakukan oleh manusia, dengan bantuan ilmu pengetahuan dia dapat melakukannya dengan lebih baik. Itulah sebabnya kami katakan bahwa ilmu pengetahuan membantu kita mencapai tujuan dan melintasi jalan yang kita pilih. Jadi, alat digunakan untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Sekarang pertanyaannya adalah, dengan dasar apa tujuan itu ditetapkan? Seperti kita ketahui, pada dasarnya manusia adalah binatang. Sisi manusiawinya merupakan kualitas (kemampuan) yang diupayakannya. Dengan kata lain, kemampuankemampuan manusiawi yang dimiliki oleh manusia perlu ditumbuh-kembangkan secara bertahap dengan agama. Pada dasarnya manusia berjalan menuju tujuan egoistis dan hewaninya. Tujuan ini material dan individualistis sifatnya. Untuk mencapai tujuan ini, manusia memanfaatkan alat yang ada pada dirinya. Karena itu, dia membutuhkan kekuatan pendorong. Kekuatan pendorong ini bukan tujuannya dan juga bukan alatnya. Dia membutuhkan kekuatan yang dapat meledakkannya dari dalam, dan mengubah kemampuan terpendamnya menjadi tindakan nyata. Dia membutuhkan kekuatan yang dapat mewujudkan revolusi dalam hati nuraninya dan memberinya orientasi baru. Tugas ini tidak dapat dilaksanakan dengan pengetahuan tentang hukum yang mengatur manusia dan alam beserta isinya. Namun tugas ini baru dapat dilaksanakan jika dalam jiwa manusia tertanam kesucian dan arti penting nilainilai tertentu. Untuk tujuan ini manusia harus memiliki beberapa kecenderungan yang mulia. Kecenderungan seperti ini ada karena cara pikir dan konsepsi tertentu tentang alam semesta dan manusia. Cara pikir dan konsepsi ini, serta muatan dimensi dan

bukti cara pikir dan konsepsi tersebut, tidak dapat diperoleh di laboratorium dan, seperti akan kami jelaskan, berada di luar jangkauan ilniu pengetahuan. Sejarah masa lalu dan sekarang telah memperlihatkan betapa buruk akibat yang ditimbulkan oleh pemisahan antara ilmu pengetahuan dan agama. Kalau ada agama namun tak ada ilmu pengetahuan, maka arah upaya kaum humanitarian adalah sesuatu yang tidak banyak membawa hasil atau tidak membawa hasil yang baik. Upaya ini sering menjadi sumber prasangka dan obskurantisme (sikap yang menentang ilmu pengetahuan dan pencerahanpen.), dan terkadang hasilnya adalah konflik yang membahayakan. Kalau ilmu pengetahuan ada namun agama tidak ada, seperti yang terjadi pada sebagian masyarakat modern, maka segenap kekuatan ilmu pengetahuan digunakan untuk tujuan menumpuk harta sendiri, memperbesar kekuasaan sendiri, dan untuk memuaskan nafsu berkuasa dan nafsu mengeksploitasi. Dua atau tiga abad yang baru lalu dapat dipandang sebagai periode mendewakan ilmu pengetahuan dan mengabaikan agama. Banyak intelektual mengira bahwa segenap problem yang dihadapi manusia dapat dipecahkan dengan ilmu pengetahuan, namun pengalaman telah membuktikan sebaliknya. Dewasa ini semua intelektual sepakat bahwa manusia membutuhkan agama. Meskipun agama itu tidak religius, namun yang jelas di luar ilmu pengetahuan. Sekalipun pandangan Bertrand Russel, materialistis, namun dia mengakui bahwa: "Kerja yang semata-mata bertujuan memperoleh pendapatan, maka kerja seperti itu tak akan membawa hasil yang baik. Untuk tujuan ini harus diadopsi profesi yang menanamkan pada individu sebuah agama, sebuah tujuan dan sebuah sasaran."[6] Dewasa ini kaum materialis merasa terpaksa mengklaim diri sebagai kaum yang secara filosofis materialis dan secara moral idealis. Dengan kata lain, mereka mengatakan bahwa mereka adalah kaum materialis dari sudut pandang teoretis, dan kaum spiritualis dari sudut pandang praktis dan idealistis. Bagaimanapun juga, problemnya tetap: mana mungkin seorang manusia secara teoretis materialis dan secara praktis spiritualis? Pertanyaan ini harus dijawab oleh kaum materialis sendiri. George Sarton, ilmuwan dunia yang termasyhur, penulis buku yang terkenal, "History of Science" (Sejarah Ilmu Pengetahuan), ketika menguraikan ketidakberdayaan ilmu pengetahuan mewujudkan hubungan antar umat manusia, dan ketika menegaskan kebutuhan mendesak akan kekuatan agama, berkata: "Di bidang-bidang tertentu, ilmu pengetahuan berhasil membuat kemajuan yang hebat. Namun di bidang-bidang lain yang berkaitan dengan hubungan antar umat manusia, misalnya bidang politik nasional dan internasional, kita masih menertawakan diri kita." George Sarton mengakui bahwa kayakinan yang dibutuhkan oleh manusia adalah keyakinan yang religius. Menurutnya, kebutuhan ini merupakan satu di antara tiga serangkai yang dibutuhkan oleh manusia: seni, agama dan ilmu pengetahuan. Katanya,

"Seni mengungkapkan keindahan. Seni adalah kenikmatan hidup. Agama berarti kasih sayang. Agama adalah musik kehidupan. Ilmu pengetahuan berarti kebenaran dan akal. Ilmu pengetahuan adalah had nurani umat manusia. Kita membutuhkan ketiganya: seni, agama dan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan mutlak diperlukan, meskipun tidak pernah memadai." (George Sarton, Six Wings: Men of Science in the Renaissance, hal. 218. London, 1958)
[1] Petikan dari The Holy Bible, 1611 M. The British and Foreign Bible Society, London. [2] The Pleasures of Philosophy, h. 240. [3] The Pleasures of Philosophy, h. 114 (New York, 1953). [4] Filosof Inggris abad ke-19 yang termasyhur. [5] The Pleasures of Philosophy, h. 168,169 (New York, 1953). [6] Bertrand Russell, Marriage and Morals, h. 102 (London, 1929).

Masa Depan Lebih Suram Font Size Friday, 22 Syawal 1428


Shirathal Mustaqim - Vol. 5, No. 4

Manusia selalu berharap masa depan sebagai masa yang lebih baik; teknologi yang lebih maju, kehidupan yang lebih nyaman dan lebih memudahkan. Demikianlah yang terjadi hingga saat ini. Tahun demi tahun, manusia mengembangkan teknologi dengan izin Allah sehingga hidup manusia lebih nyaman dan mudah. Setelah ribuan tahun menunggang kuda, saat ini manusia mengendarai kendaraan yang lebih cepat. Telepon genggam yang dulu cuma ada di novel atau film fiksi ilmiah kini sudah mewabah sampai kalangan masyarakat bawah. Informasi yang dulu harus tersimpan dalam tulisan di atas kertas kini mudah tersebar lewat jaringan informasi. Secara lahir, manusia menemukan kenyamanan, kemudahan, dan kebaikan dari zaman yang terus maju. Namun hakikatnya tidak demikian. Satu hari dilalui, satu hari pula jatah kelangsungan dunia ini berkurang. Satu hari dilalui, semakin dekatlah akhir dunia. Satu zaman berlalu, zaman berikutnya adalah lebih buruk dari yang lalu.

Zaman yang Semakin Buruk


Zaid bin Wahab mendengar Abdullah bin Masud radhiallahu anhu berkata, Tidaklah datang kepada kalian suatu hari (zaman) kecuali ia lebih buruk dari hari (zaman) sebelumnya (dan hal ini akan berlangsung terus) sampai datang hari kiamat kelak. Zubair bin Adi menceritakan bahwa ia dan teman-temannya datang menemui Anas bin

Malik serta mengadu tentang sikap Al-Hajjaj. Maka Anas bin Malik radhiallahu anhu berkata, Tidak datang suatu zaman melainkan orang-orang yang sesudahnya lebih jelek dari sebelumnya hingga kalian menemui Rabb kalian. Dan aku dengar hal ini dari Nabi kalian.(Riwayat Ahmad, Al-Bukhari, dan At-Tirmidzi) Pernyataan dua sahabat ini bisa membuat bingung orang zaman sekarang. Apakah Ibnu Masud dan Anas bin Malik berkata demikian karena mereka tidak merasakan kemudahan zaman modern? Apakah karena mereka tidak merasakan zaman Umar bin Abdul Aziz yang lebih makmur dan aman? Tentu bukan karena hal itu. Ibnu Masud sendiri meneruskan ucapannya tentang zaman di atas, Saya tidak mengatakan bahwa zaman yang telah lewat itu menggambarkan kesejahteraan hidup dan banyaknya harta yang dirasakan oleh orang-orang yang hidup pada zaman itu. Yang saya maksudkan adalah bahwa tidaklah datang kepada kalian suatu hari (zaman) kecuali hari (zaman) itu lebih sedikit ulamanya dibanding hari (zaman) sebelumnya. Ketika para ulama telah pergi meninggalkan kita, maka manusia semuanya menjadi sama kemampuannya. Mereka pun tidak lagi memerintahkan yang maruf dan melarang dari yang munkar, maka pada saat itulah mereka binasa. Ibnu Hajar menerangkan pernyataan Anas bin Malik dalam Fathul Bari, Sebagian ulama menanggapi bahwa zaman dalam pernyataan beliau adalah generasi. Artinya, ada suatu generasi yang lebih baik dari generasi lain. Dalam hal ini, zaman Al-Hajjaj adalah zaman saat masih banyak sahabat (Nabi) yang masih hidup, sedangkan zaman Umar bin Abdul Aziz adalah zaman saat para sahabat (Nabi) sudah tiada. Dan zaman ketika para sahabat masih hidup adalah lebih baik daripada zaman sesudahnya berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang telah dikemukakan sebelumnya, Sebaik-baik generasi adalah generasiku (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim). Riwayat dari Masruq menegaskan penafsiran tentang buruknya zaman dengan ketiadaan ulama. Ibnu Hajar mengatakan, Dan dari jalan Asy-Syabi, dari Masruq, bahwa beliau berkata, Tidaklah datang kepada kalian suatu zaman kecuali ia lebih jelek dari zaman sebelumnya. Saya tidak mengatakan bahwa seorang pemimpin yang memimpin pada zaman yang telah lewat lebih baik dari seorang pemimpin sesudahnya dan tidak mengatakan suatu tahun lebih baik dari tahun yang lain, akan tetapi yang saya maksudkan adalah para ulama dan fuqaha kalian pergi meninggalkan kalian (wafat) dan kalian pun tidak mendapatkan pengganti mereka lagi, kemudian datang suatu kaum yang mengeluarkan fatwa menurut pendapat mereka sendiri.

Bukan Teknologinya
Zaman memang terus maju dan semakin baik dalam hal teknologi. Beberapa negara terus maju dan semakin baik dalam hal ekonomi. Hal ini membuat sebagian kita keliru dalam memandang kebaikan, terutama yang menyangkut umat Islam. Sebagian kalangan umat Islam lalu menyangka bahwa kebaikan umat ini adalah jika umat ini juga maju dalam hal teknologi dan ekonomi. Lalu, dihasunglah umat ini untuk menyelami ilmu-ilmu dunia dengan memberikan porsi kecil perhatian terhadap agama. Akibatnya, dunia begitu diperhatikan, agama dilalaikan. Ironisnya, sebagian dai juga

menyerukan kepada umat untuk memberi perhatian yang demikian besar terhadap ilmu dunia. Terbukanya dunia bagi umat malah sudah pernah dicemaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Kenyataannya, kecemasan itu pun mempunyai bukti. Saat umat bergelimang dengan kejayaan, kelalaian terhadap akhirat mengancam.Saat umat membuka diri kepada ilmu dunia, racun-racun pemikiran menyusup ke jalan kebenaran. Contoh nyata adalah ketika umat ini mulai belajar filsafat Yunani, maka mulai bermunculanlah pemikiran-pemikiran sesat yang menggerogoti umat ini. Dunia memang jangan dilupakan. Tapi, tidak juga kemudian diprioritaskan. Lebih keliru lagi jika kemudian dunia jadi pengukur kebaikan umat ini. Memang good looking jika bisa maju dalam teknologi, namun baik bukanlah hanya dalam tampilan yang kelihatan oleh umat-umat yang lain. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda yang artinya, Sebaik-baik manusia adalah manusia pada generasiku, kemudian yang sesudahnya, kemudian yang sesudahnya. (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim). Jelas, sebaik-baik umat adalah para sahabat. Mereka pulalah yang Allah izinkan untuk meluaskan Islam di penjuru dunia, membuka negeri-negeri, mengusir kegelapan kekufuran dan mendatangkan cahaya kebenaran. Mereka pulalah yang Allah izinkan untuk menaklukkan Rum dan Persia. Mereka yang sederhana, berasal dari pelosok gurun, mengalahkan Rum dan Persia yang berteknologi tinggi. Teknologi mereka tak maju tapi kebaikan agama merekalah yang menjadi modal bagi datangnya pertolongan Allah.

Akhir Dunia
Buruknya zaman yang datang kemudian karena semakin berkurangnya ahli agama adalah suatu kepastian.akan sedikit dan kebodohan terhadap agama merajalela. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, Sesungguhnya menjelang datangnya hari kiamat, akan ada hari-hari (yang pada hari itu) diturunkannya kejahilan dan dihilangkannya ilmu agama. (Riwayat Al-Bukhari) Berangsur-angsur orang yang ahli agama Hilangnya ilmu ini adalah dengan wafatnya para ulama sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa, Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu agama dengan serta merta dari hamba-hambaNya, tetapi Dia mencabut ilmu dengan mematikan para ulama. (Riwayat Al-Bukhari) sallam Keburukan masa depan ini akan terus berlangsung dan bertambah hingga orang-orang tak lagi mengerti tentang syariat. Mereka tak mengetahui salat, zakat, puasa, ataupun syariat lainnya. Rasulullah menceritakan peristiwa masa depan ini, Akan hancur Islam ini seperti hancurnya kain yang telah usang, sehingga tidak diketahui orang lagi apa itu puasa, apa itu shalat, apa itu ibadah haji, dan apa itu zakat. Dan diterbangkanlah Kitab Allah pada suatu malam, sehingga tidak ada lagi yang tinggal di bumi satu ayat pun, dan tinggallah beberapa golongan laki-laki dan wanita yang telah berusia lanjut dan lemah,

yang berkata, Kami mendapati bapak-bapak kami dahulu mengucapkan kalimat ini: "La ilaha illallah, maka kami mengucapkan kalimat tersebut. (Riwayat Ibnu Majah, Al-Albani menshahihkan dalam Shahih Jamiush Shaghir) Pesimis atau putus asa tentulah bukan yang diharapkan dari kebenaran cerita masa depan ini. Penghormatan terhadap ilmu agama dan keadilan kita dalam bersikap terhadapnya itulah diinginkan. Kebersamaan dengan para ulama adalah hal yang penting agar kita tetap merasakan kebaikan dalam masa-masa yang semakin buruk. Toh, para ulamalah yang dimaksudkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam sabdanya, Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang menegakkan kebenaran. Tidak membahayakan mereka orang yang mencela mereka. Hingga datanglah urusan Allah (angin yang mencabut nyawa kaum muslim sebelum kiamat). Kalaulah Allah menetapkan zaman semakin buruk karena semakin sedikitnya orang yang paham agama, maka tak ada pilihan lain bagi kita kecuali bergabung dengan yang sedikit itu. Masih ada kejayaan Islam sebelum akhir dunia nanti sebagaimana dijanjikan Allah. Dan itu semua dimulai dari kembalinya kita kepada agama. Kembali memprioritaskan ilmu agama, mengamalkannya, dan mendakwahkannya. (ibnu abihi)

Anda mungkin juga menyukai