Anda di halaman 1dari 2

In Tak terkategori on 23 April 2008 at 8:23 am

Demokrasi apa yang cocok dengan bangsa yang majemuk dan heterogen seperti Indonesia ? Pertanyaan ini seringkali muncul dalam setiap kesempatan diskusi terbatas. Mencari-cari bentuk demokrasi yang pas dan sesuai dengan keadaan negara kita. Dari zaman orde lama hingga orde reformasi, Indonesia mengalami dan merasakan sedikitnya 2 (dua) model demokrasi yang sangat menonjol. Soekarno dengan konsep demokrasi terpimpinnya, dilanjutkan lagi dengan Soeharto yang juga membawa model demokrasi yang menurutnya lebih canggih dari yang sebelumnya dan dinamakan demokrasi Pancasila. Dan di era reformasi, prototipe demokrasi masih dalam tahap menuju penyempurnaan. Entah sampai kapan kita harus menunggu. Kembali ke persoalan model demokrasi tadi. Demokrasi Terpimpin yang dipelopori oleh Bung Karno berdasarkan pada catatan-catatan dari para peneliti justru menemukan bahwa pada era tersebut demokrasi bertumbuh dengan baik. Era kebebasan dibingkai sangat bagus dengan semangat negara yang baru saja lepas dari penjajahan (merdeka). Konflik politik yang terjadi tidak terlalu signifikan lagi. Masa keemasan demokrasi ini berlangsung sekian lama sampai blok barat dibuat gerah. Pada saat itu demokrasi menjadi hal yang sangat istimewa hingga intervensi asing ikut bermain guna mengacaukan stabilitas nasional yang berujung pada pergantian kepemimpinan nasional. Pada tahap Demokrasi Pancasila yang dipelopori oleh Pak Harto. Keadaan telah berubah seratus delapan puluh derajat. Dengan jargon stabilitas politik maka benih-benih demokrasi yang sebelumnya sudah mulai mekar terpaksa harus dibonsai. Hal-hal yang berbau orde lama dianggap tidak layak lagi digunakan. Pengkerdilan demokrasi ini berlanjut selama 32 tahun kepemimpinan beliau, dan akhirnya mencapai titik didihnya sekaligus melahirkan orde reformasi. Pada dua model demokrasi di atas, ada satu persamaan yang mungkin bisa menjadi perdebatan yakni masing-masing melahirkan individu yang sangat kuat dalam setiap lini pemerintahan sehingga menjadikan mereka seperti manusia setengah dewa. Kembali pada pertanyaan diatas ? Kita berkaca pada pengalaman sebelumnya, demokrasi yang sedang bertumbuh di era reformasi kembali ingin menjadi primadona ditengah-tengah masyarakat yang semakin kritis. Namun impian serta harapan terkadang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Untuk itulah protitipe demokrasi yang layak untuk dikembangakan dalam kondisi global seperti ini adalah demokrasi minimalis. Artinya kita tidak perlu kembali ke masa orde lama atau baru. Demokrasi minimalis bisa meredam model demokrasi barat yang sangat liberal sebaliknya kita tidak perlu mengenyampingkan nilai-nilai universal dari demokrasi itu sendiri. Kecenderungan kita dalam menerapkan demokrasi adalah berkaca pada demokrasi barat. Salah satu indikatornya adalah proses pergantian kepemimpinan dalam setiap level harus melalui pemilihan langsung. Nah apa yang didapat, nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat hancur berantakan. Bahkan ada komunitas-komunitas tertentu yang telah sekian lama hidup berdampingan dengan aman dan rukun sekarang malah menjadi musuh bebuyutan. Dalam

kondisi seperti ini, pemerintahan tidak bisa berbuat apa-apa kecuali hanya menjadi pemadam kebakaran dari setiap konflik yang terjadi. Sebaliknya pembukaan kran demokrasi ala barat dengan harapan bisa melahirkan kepemimpinan dalam setiap level pemeritahan yang akuntabel dan kapabel serta tingkat keterwakilan masyarakat yang lebih luas justru tidak terbukti. Kepemimpinan seperti ini malah cenderung kompromistis dan tidak tegas serta wakil rakyat yang sangat jauh dari konstituen. Jangankan menjalankan program pemerintah, urusan politik saja belum stabil. Jangankan mau urus rakyat, terpilih saja belum pasti. Fenomena seperti inilah yang justru terjadi dengan pengembangan demokrasi yang lebih condong ke barat. Selanjutnya terserah anda mau pilih model yang mana ?

View 3 Comments

Anda mungkin juga menyukai