Anda di halaman 1dari 13

Penerimaan Diri ($01..059,3.

0 pada Remaja
Tunanetra di Panti Bina Netra Bandung

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir dan Syarat Kelulusan Matakuliah Wawancara









Riasri Nurwiretno
209000053





Fakultas Falsafah dan Peradaban
Program Studi Psikologi
Universitas Paramadina
2011

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemampuan penglihatan sangat berpengaruh terhadap aktivitas kehidupan
manusia sehari-hari. Orang yang memiliki kemampuan penglihatan jelas dapat
memperoleh inIormasi lebih banyak dibanding mereka yang mengalami hambatan
dalam penglihatan. Tidak hanya proses pembelajaran yang terpengaruh, namun terdapat
beberapa aspek lain yang juga terpengaruh oleh hambatan penglihatan. Aspek-aspek
yang terkena pengaruh/dampak hambatan penglihatan tersebut meliputi aspek kognisi,
kompetensi sosial, keterampilan sosial, bahasa serta orientasi dan mobilitas. Oleh
karena itu, inIormasi-inIormasi tersebut akan sangat sulit dikuasai oleh remaja yang
mengalami hambatan penglihatan atau tunanetra. (Nawawi, dkk, 2009).
Dalam Iase perkembangan, remaja adalah masa peralihan dari masa anak ke masa
dewasa yang mengalami perkembangan dalam beberapa aspek/ Iungsi untuk memasuki
masa dewasa. Pada masa remaja, individu melakukan penyesuaian sosial kepada
individu lain atau kelompok agar dapat diterima oleh individu dan menjadi bagian
dalam kelompok. Menurut teori Erikson (dalam Papalia, 2007), masa remaja merupakan
masa yang dipenuhi dengan krisis identitas, yakni pencarian dan pembentukan identitas
diri. Namun, pada kenyataannya dalam proses tersebut remaja yang tunanetra ternyata
mengalami berbagai hambatan. Salah satu hal penting yang terkait dengan pencarian
dan pembentukan identitas diri adalah penerimaan terhadap diri sendiri.
Penerimaan diri adalah suatu sikap yang menunjukan rasa puas terhadap diri
sendiri, baik yang mencakup segala kelebihan dan kekurangan diri. Penerimaan diri
memiliki peranan yang penting dalam pembentukan konsep diri dan kepribadian yang
positiI. Semakin baik seorang individu dapat menerima dirinya, maka semakin baik
penyesuaian diri dan penyesuaian sosialnya. Remaja yang tunanetra tentu akan
merasakan suatu pukulan batin yang sangat berat, sehingga tidak sedikit dari tunanetra
mengalami goncangan jiwa, Irustasi dan putus asa.
Karena itu, adanya suatu peneriman diri menjadi bagian penting yang dibutuhkan
oleh para remaja tunanetra dalam menghadapi ketunanetraan yang dialaminya.

Penerimaan diri yang baik akan membantu remaja yang tunanetra untuk menjalin
hubungan social yang lebih baik. Hal inilah yang mendasari penelitian ini untuk
mengetahui secara mendalam bagaimana penerimaan diri seorang remaja tunanetra di
Panti Bina Netra Bandung?

1.2 Tujuan
Makalah berjudul 'Penerimaan Diri (Self Acceptance) pada Remaja Tuna Netra di
Panti Bina Netra Bandung ini disusun dengan tujuan :
1. Melihat gambaran penerimaan diri seorang remaja tuna netra di Panti Bina
Netra Bandung.
2. Mengetahui keadaan emosional seorang remaja tuna netra di Panti Bina Netra
Bandung dalam melakukan proses penerimaan diri.
3. Mengetahui Iaktor-Iaktor yang mempengaruhi proses penerimaan diri seorang
remaja tuna netra di Panti Bina Netra Bandung.

















BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Remaja
Menurut Papalia, dkk (2007), remaja merupakan masa transisi perkembangan
antara anak-anak dan dewasa yang melibatkan perubahan Iisik, kognitiI dan psikososial.
Menurut Erikson, masa remaja merupakan masa yang dipenuhi dengan krisis identitas.
Remaja seringkali diidentiIikasi sebagai periode transisi antara masa anak-anak ke
masa dewasa, atau masa usia anak belasan tahun. Umumnya remaja menunjukkan
tingkah laku tertentu seperti susah diatur, mudah terangsang perasaannya, dan
sebagainya (Sarwono, 2007).

2.2 Tunanetra
Tunanetra adalah istilah umum yang digunakan kepada seseorang dengan kondisi
mengalami gangguan atau hambatan penglihatan. Tunanetra menurut Conor (dalam
Nawawi, 2009) mempunyai batasan dalam penglihatan. Batasan tunanetra dari
kacamata medis apabila ketajaman penglihatannya tidak lebih dari 20/20 meskipun
menggunakan kacamata pembesar dan bidang penglihatannya tidak melebihi sudut
pandang 20 derajat. Batasan penglihatan untuk anak tunanetra dalam bidang pendidikan
lebih memIokuskan pada pentingnya Iungsi penglihatan terhadap proses pendidikan,
seperti tidak dapat secara optimal menyesuaikan metode , materi pelajaran dan
lingkungan belajar yang umumnya dapat digunakan oleh orang yang melihat.
Secara umum ketunanetraan atau hambatan penglihatan (visual impairment)
dapat diklasiIikasikan menjadi dua kategori besar, yaitu buta total (totally blind) dan
kurang lihat (Low Jision) (Friend dalam Nawawi, 2009). Seorang yang mengalami low
vision menurut WHO apabila: a) memiliki kelainan penglihatan meskipun telah
dilakukan usaha pengobatan, b) mempunyai ketajaman penglihatan kurang dari 6/18
ketajaman cahaya, c) luas penglihatannya kurang dari 10 derajat dari titik Iiksasi.
Seseorang dikatakan low vision jika mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas-
tugas visual, namun dapat meningkatkan kemampuan dalam menyelesaikan tugas-tugas
tersebut dengan menggunakan strategi visual pengganti, alat-alat bantu low vision, dan
modiIikasi lingkungan (Corn dan Koenig dalam Nawawi, dkk, 2009).

Orang yang termasuk low vision adalah mereka yang mengalami hambatan
visual ringan sampai berat. Seseorang dikatakan menyandang low vision atau kurang
lihat apabila ketunanetraannya masih cenderung memIungsikan indera penglihatannya
dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Saluran utama yang dipergunakanya dalam
belajar adalah penglihatan dengan mempergunakan alat bantu, baik yang
direkomendasikan oleh dokter maupun tidak. Jenis huruI yang dipergunakan sangat
bervariasi tergantung pada sisa penglihatan dan alat bantu yang dipergunakannya.
Latihan orientasi dan mobilitas diperlukan oleh siswa low vision untuk mempergunakan
sisa penglihatannya.
Totaly Blind (buta total) adalah seseornag yang memiliki hambatan/ tidak
berIungsinya indera penglihatan, dimana mata tidak mampu mengolah rangsangan
cahaya atau dalam istilah kedokteran disebut dengan visus 0, yaitu tidak dapat melihat
dan tidak dapat melihat gerakan tangan pada jarak kurang satu meter. Seseorang
dikatakan buta (blind) jika mengalami hambatan visual yang sangat berat atau bahkan
tidak dapat melihat sama sekali. Kadang-kadang di lingkungan sekolah juga digunakan
istilah functionally blind atau educationally blind untuk kategori kebutaan ini.
Penyandang buta total mempergunakan kemampuan perabaan pendengaran sebagai
saluran utama dalam belajar. Orang seperti ini biasanya mempergunakan huruI Braille
sebagai media membaca dan memerlukan latihan orientasi dan mobilitas (Nawawi,
2009).
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa tunanetra adalah seseorang
yang karena sesuatu hal tidak dapat menggunakan matanya sebagai saluran utama
dalam memperoleh inIormasi dari lingkungannya. Adanya ketunanetraan pada
seseorang, secara otomatis ia akan mengalami keterbatasan. Keterbatasan itu adalah
dalam hal:
(1) memperolah informasi dan pengalaman baru,
(2) dalam interaksi dengan lingkungan, dan
(3) dalam bergerak serta berpindah tempat (mobilitas).



2.3 Penerimaan Diri


2.3.1 Definisi Penerimaan Diri
Penerimaan diri merupakan sikap positiI terhadap dirinya sendiri, ia dapat
menerima keadaan dirinya secara tenang, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Mereka bebas dari rasa bersalah, rasa malu, dan rendah diri karena keterbatasan diri
serta kebebasan dari kecemasan akan adanya penilaian dari orang lain terhadap keadaan
dirinya (Maslow dalam Hjelle dan Ziegler, 1992).
Sedangkan menurut Perls (dalam Schultz, 1991) penerimaan diri berkaitan
dengan orang yang sehat secara psikologis yang memiliki kesadaran dan penerimaan
penuh terhadap siapa dan apa diri mereka.
Allport (dalam Hjelle dan Ziegler, 1992) menjelaskan bahwa penerimaan diri
merupakan sikap yang positiI, yang ketika individu menerima diri sebagai seorang
manusia. Ia dapat menerima keadaan emosionalanya (depresi, marah, takut, cemas, dan
lain-lain) tanpa mengganggu orang lain.
Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh diatas penerimaan diri merupakan
sikap positiI terhadap dirinya sendiri, dapat menerima keadaan dirinya secara tenang
dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, serta memiliki kesadaran dan
penerimaan penuh terhadap siapa dan apa diri mereka, dapat menghargai diri sendiri
dan menghargai orang lain, serta menerima keadaan emosionalnya (depresi, marah,
takut, cemas, dan lain-lain) tanpa mengganggu orang lain.

2.3.2 Faktor yang mempengaruhi Penerimaan Diri
Hurlock (1974) mengemukakan tentang Iaktor-Iaktor yang mempengaruhi
dalam penerimaan diri adalah :
a. Adanya pemahaman tentang diri sendiri.
b. Adanya hal yang realistik.
c. Tidak adanya hambatan di dalam lingkungan.
d. Sikap-sikap anggota masyarakat yang menyenangkan.
e. Tidak adanya gangguan emosional yang berat.
I. Pengaruh keberhasilan yang dialami, baik secara kualitatiI maupun kuantitatiI.
g. IdentiIikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik.
h. Adanya perspektiI diri yang luas.

i. Pola asuh dimasa kecil yang baik.


j. Konsep diri yang stabil.

2.3.3 Karakteristik Penerimaan Diri
Menurut Sheere (dalam Cronbach, 1963) ciri-ciri seseorang yang mau menerima
diri adalah :
a. Mempunyai keyakinan akan kemampuannya untuk menghadapi kehidupannya.
b. Menganggap dirinya berharga sebagai seseorang manusia yang sederajat dengan
orang lain.
c. Berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya.
d. Menerima pujian dan celaan secara objektiI.
e. Tidak menyalahkan dirinya akan keterbatasan yang dimilikinya ataupun
mengingkari kelebihannya.
Sedangkan menurut Allport (dalam Hjelle & Zeigler, 1992) cirri-ciri seseorang
yang mau menerima diri yaitu sebagai berikut :
a. Memiliki gambaran yang positiI tentang dirinya.
b. Dapat mengatur dan dapat bertoleransi dengan rasa Irustasi dan kemarahannya
c. Dapat berinteraksi dengan orang lain tanpa memusuhi mereka apabila orang lain
beri kritik.
d. Dapat mengatur keadaan emosi mereka (depresi, kemarahan).

Jadi kesimpulan karakteristik penerimaan diri dari kedua tokoh di atas yaitu
seseorang yang mau menerima dirinya sendiri mempunyai keyakinan akan
kemampuannya untuk menghadapi kehidupannya, menganggap dirinya berharga
sebagai seseorang manusia yang sederajat dengan orang lain, berani memikul tanggung
jawab terhadap perilakunya, dapat menerima pujian dan celaan secara objektiI. Serta
dapat berinteraksi dengan orang lain tanpa memusuhi mereka apabila orang lain beri
kritik, dapat mengatur keadaan emosi mereka (depresi, kemarahan). Dapat menerima
keadaan dirinya atau yang telah mengembangkan sikap penerimaan terhadap
keadaannya dan menghargai diri sendiri.

BAB III
ETODOLOGI

3.1 Rancangan etode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode pendekatan kualitatiI.
Pengumpulan data dilakukan dengan proses wawancara.

3.2 Responden penelitian
Penelitian ini mengambil satu orang responden sebagai sumber data. Karakteristik
responden dalam penelitian ini, yaitu:
a. Remaja tuna netra
b. Mengikuti kelas rehabilitasi sosial atau pendidikan Iormal di Panti Bina Netra
Widya Guna

3.3 Teknik Pengambilan Responden
Dalam penelitian ini dilakukan teknik pengambilan sampel berupa metode
!urposive sampling yang termasuk kedalam non probability sampling, artinya
responden sengaja dipilih berdasarkan karakteristik yang telah ditetapkan dan sesuai
dengan tujuan penelitian.

3.4 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Panti Bina Netra Widya Guna. Panti Bina Netra Widya
Guna beralamatkan di Jalan Padjajaran No. 52, Bandung 40171. Pengambilan data
dilakukan di Asrama Putri Cempaka. Lokasi tersebut dipilih untuk memenuhi
karakteristik responden dalam penelitian ini.




BAB IV
LAPORAN VERBATI

4.1 Biodata interviewee
Nama : Harti
Jenis kelamin : Perempuan
Tempat/tanggal lahir : Padalarang, 09 Maret 1999
Status : Remaja penyandang totally blind
Alamat rumah : Padalarang
Alamat sekarang : Jalan Padjajaran No. 52, Bandung 40171

4.2 Proses wawancara
Hari/Tanggal : Selasa, 24 Mei 2011
Waktu : 15.00 s/d 15.24 WIB
Tempat : Ruang tamu Asrama Putri Cempaka,
Panti Bina Netra, Bandung

4.3 Rapport (pendekatan dalam Wawancara
Sebelum proses wawancara dimulai, responden sedang berada di dalam kamar
bersama temannya-temannya. Saya memanggilnya keluar, lalu ia berjalan kearah ruang
tamu. Pada awal proses wawancara, kami saling berkenalan, berbincang terlebih dahulu
tentang identitas diri responden, baru kemudian membahas perihal ketunanetraan yang
dialami responden. Selama proses wawancara, responden awalnya menunjukkan atensi
yang kurang, hal ini terlihat dari jawaban singkat yang dilontarkannya. Kemudia proses
wawancara berlanjut, hingga di satu titik dimana responden mulai sedikit banyak
bercerita tentang dirinya.

4.4 Interpretasi
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan, diketahui bahwa responden
mengalami proses sebelum benar-benar mampu menerima keadaan dirinya. Diawali dari
penerimaan kenyataan bahwa dirinya adalah individu dengan totally blind sejak lahir.
Responden mengaku bahwa pada awalnya hal tersebut mempengaruhi keadaan

emosionalnya, 'aa..gimana ya, gak bisa felasinnya sih. aa..merasa sedih sih, yaudah
tapinyaa mah..sabar afa gitu.` (baris 66-68). Perasaan sedih inilah yang muncul saat
pertama kali responden mengetahui keadaan dirinya.
Responden awalnya juga merasakan suatu kebingungan serta berusaha mengerti
akan keadaan yang sedang dialaminya. Namun, selanjutnya responden mampu
menghadapi kenyataan bahwa dirinya sebagai seorang individu yang tunanetra.
'Nah, kenapa ufug-ufug saya disuruh sekolah disini gitu, saya fuga gatau gitu.
Oh mungkin, saya tuh tunanetra, gitu. Iya mikirnya saya mah itu, gitu`. (baris 85-87)
Responden mulai menyadari dan menerima keadaannya dirinya, memiliki kesadaran
dan penerimaan penuh terhadap siapa dan apa diri mereka. Hingga saat ini responden
selalu berusaha berpikir positiI terhadap dirinya sendiri, menghargai dirinya dan
oranglain, serta menerima keadaan dirinya secara tenang dengan segala kelebihan dan
kekurangan yang dimiliki. '!erasaan saya sih seneng.` (baris 96). Kemudian dengan
mampu menghadapi perasaan sedih yang dirasakannya, responden juga dapat menerima
keadaan emosionalnya (perasaan sedih) tanpa mengganggu orang lain.
'Sekarang-sekarang ini masih suka sedih gak sih, aduh aku kekurangannya ini nih,
gitu?
'Aduh..ndak, udaah. Kalo udah, udah fadinya gini yaa udah gak sedih lagi sih.
Kayak, yaa..kalo takdirnya begini, nasibnya begini, yaudah..`
(baris 126-131)
Dalam hubungan social dengan teman sebaya, responden dapat berhubungan
baik dengan teman-temannya di Panti Bina Netra. Meskipun berdasarkan kisah yang
diceritakan, responden pernah merasa tidak diterima dengan cukup baik di lingkungan
sekitar rumahnya. Menghadapi hal tersebut, respon hanya bisa menerimanya tanpa
merasa terhina atau berniat untuk memberontak.
'Dulu mah waktu di rumah, temen-temen pada bisik-bisik gitu, Teh.
Ngomongin saya, tunanetra gitu.. yaudah atuh saya mah kalo di rumah farang maen,
males gitu denger anak-anaknya Teh, saya mah di rumah afa..`
(baris 196-200)
Berdasarkan karakteristik penerimaan diri, responden menunjukkan bahwa ia
telah mampu menerima pujian dan celaan secara objektiI serta dapat berinteraksi
dengan orang lain tanpa memusuhi mereka apabila orang lain beri kritik.

Dalam melakukan kegiatan sehari-hari responden tidak merasa kesulitan, namun


ada pekerjaan-pekerjaan tertentu yang masih belum dapat dilakukannya sendiri, seperti
ke tempat-tempat sekitar panti yang jaraknya cukup jauh, serta untuk urusan
rumahtangga belum mampu menyetrika sendiri.
'Enggak.. tapi kalo nyetrika belum bisa, Teh.. (baris 259)
!anaas, atuh takut saya..` (baris 261)
'Bisa, uuh udah pada bisa.
Saya mah pengen banget, Teh..
udah gak kuat ah, (baris 263-265)
'Iya nyolokinnya takut kesetrum, pan..eh, trus, nyimpen setrikaannya gak tau
ditaro dimana.` (baris 267-268)
Responden juga mengidentiIikasikan dirinya dengan orang yang memiliki
penyesuaian diri yang baik, yakni Fitri, salah satu teman sebayanya di Panti Bina Netra.
'Itu sih, saya suka ikut-ikutan Fitri, Fitri Cempaka.` (baris 221)
'a kalo Fitri nulis, saya ikut nulis, gitu..` (baris 223)
Disamping kemampuannya dalam penerimaan diri, responden juga menyatakan
harapan-harapannya. Memiliki keinginan untuk dapat jalan-jalan, serta harapan
terbesarnya adalah suatu saat nanti penglihatannya seperti orang normal lainnya.
'Iya.. Saya mah, Teh.. pengen bangeet nyak bisa lihat, sedikit gitu Teh.. '
(baris 186-188)
'Iya, Teh.. Harti pengen banget atuh bisa lari-larin gitu yak bareng temen, hee..
suka becanda-becanda gitu sama temen.` (baris 191-195)











BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas serta dikaitkan dengan pengertian dan karakteristik
penerimaan diri, maka dapat dikatakan bahwa responden telah mampu menunjukkan
suatu penerimaan diri yang baik. Beberapa hal yang mempengaruhi responden dalam
proses penerimaan diri seperti pemahamannya tentang dirinya sendiri sebagai individu
tunanetra, dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa merasa kesulitan,
mengidentiIikasi dirinya dengan orang lain yang memiliki penerimaan diri yang baik,
mampu menghadapi keadaan emosional, serta memiliki konsep diri dan cita-cita.

5.2 Saran
Mengingat bahwa pada masa remaja, pengaruh teman sebaya merupakan salah
satu Iaktor utama dalam Iase perkembangan masa tersebut. Karena itu, agar didapatkan
suatu proses serta hubungan social yang optimal dibutuhkan panduan atau pantauan dari
pihak lain, terutama orang yang lebih tua. Dalam hal ini, dibutuhkan peranan besar dari
seorang guru atau Bapak/Ibu asrama untuk membantu hal tersebut. Diharapkan pihak-
pihak terkait di Panti Bina Netra lebih aware terhadap perkembangan putra-putrinya,
baik secara Iisik, maupun psikologis.









DAFTAR PUSTAKA

Cronbach, Lee. (1963). Educational !sychology, 2
nd
Edition. New York: Harcourt,
Brace & World

Hjelle & Ziegler. (1992). !ersonality Theories, 3
rd
Edition. New York: McGraw Hill

Hurlock, Elizabeth B. (1974). Developmental !sychology. New York: McGraw Hill

Nawawi, Ahmad, dkk. (2009). Pentingnya Orientasi dan Mobilitas Bagi Tunanetra.
Diakses dari makalah dalam
file.upi.edu/Direktori/FI!/JUR.!END.../GayaJalanTunanetra.pdf tanggal 1
Mei 2009

Papalia, Diane E, Old., (2009). Feldman. Human Development. !erkembangan
Manusia. Ed. 10. Buku ke -2. Terj. Marwendy, Brian. Jakarta: Salemba
Humanika.

Sarwono, Sarlito W. (2007). !sikologi Remafa. Jakarta: PT. RajagraIindo Persada

Schulz, David & Hollander. (1991). The Illustration Sport Record Book. New York:
Signet

Anda mungkin juga menyukai