1. Anatomi
Kornea merupakan 1/6 bagian pembungkus bola mata yang bening dan berbentuk kaca
arloji terletak di dataran depan bola mata. Akibat kejernihan kornea maka sinar dapat diteruskan
atau dibiaskan ke dalam bola mata. Kornea merupakan komponen utama sistem optik mata
dimana 70 pembiasan sinar dilakukan olehnya. Untuk Iungsinya ini kornea harus mempunyai
permukaan yang licin. Permukaan ini akan lebih licin bila terdapat Iilm air mata di depan kornea.
Sinar yang masuk ke dalam bola mata dibiaskan oleh kornea untuk diIokuskan pada makula
lutea. Bila terjadi perubahan walaupun kecil pada permukaan kornea, akan mengakibatkan
gangguan pembiasan sinar dan berkurangnya tajam penglihatan secara nyata. Turunnya tajam
penglihatan dapat terjadi akibat edem kornea, inIiltrasi sel radang ke dalam kornea, vaskularisasi
dan terbentuknya jaringan parut pada kornea.
1
Gambar 1 Anatomi mata
2
Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 0,54 mm di tengah, sekitar 0,65 mm di tepi,
dan diameternya sekitar 11,5 mm. Dari anterior ke posterior, kornea mempunyai lima lapisan
yang berbeda-beda:
1
1. Lapisan epitel. Sel basal melekat erat dengan membran basal kornea. Sel basal dan
membran basal epitel kornea mempunyai daya regenerasi.
2. Lapisan bowman, yang merupakan bagian stroma kornea dan membentuk membran tipis
yang homogen. Membran bowman tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Stroma, merupakan bagian kornea yang paling tebal atau 90 dari tebalnya kornea.
Stroma terdiri atas sel stroma atau keratosit dan serat kolagen yang tersusun sangat
teratur. Stroma kornea tidak mempunyai daya regenerasi. Bila terjadi kerusakan stroma
maka akan membentuk jaringan parut yang keruh pada kornea.
4. Mambran descemet, lapisan elastik kornea yang bersiIat transparan.
5. Lapisan endotel, terdiri atas satu lapis sel gepeng heksagonal.
Gambar 2 Lapisan Kornea
2
Sumber-sumber nutrisi untuk kornea adalah pembuluh-pembuluh darah limbus, humor
aquaeus, dan air mata. Kornea superIisial juga mendapatkan oksigen sebagian besar dari
atmosIer. SaraI-saraI sensorik kornea didapat dari percabangan pertama (oItalmika) dari nervus
kranialis V (trigeminus).
3
2. Definisi
Keratitis merupakan kelainan akibat tejadinya inIiltrasi sel radang pada kornea yang akan
mengakibatkan kornea menjadi keruh. Akibat terjadinya kekeruhan pada media kornea ini, maka
tajam penglihatan akan menurun. Mata akan merah yang terjadi akibat injeksi pembuluh darah
perikorneal yang dalam atau injeksi siliar. Keratitis selain disebabkan oleh inIeksi dapat juga
diakibatkan beberapa Iaktor lainnya seperti mata yang kering, keracunan obat, alergi ataupun
konjungtivitis kronis.
1
Kelainan mata yang diakibatkan oleh inIeksi virus herpes simpleks meliputi bleparitis,
konjungtivitis, keratitis, uveitis, dan glaukoma sekunder. Keratitis herpes simpleks merupakan
radang kornea yang disebabkan oleh inIeksi virus Herpes simpleks tipe 1 maupun tipe 2. Namun,
maniIestasi penyakit pada mata lebih banyak disebabkan oelh virus Herpes Simpleks tipe 1.
4
Keratitis pungtata merupakan keratitis yang terkumpul di daerah membran Bowman
dengan inIiltrat berbentuk bercak-bercak halus. Keratitis ini disebut juga dengan 'Thygeson`s
disease karena ditemukan pertama kali oleh dr. Phillip Thygeson di Amerika. Keratitis pungtata
disebabkan oleh hal yang tidak spesiIik dan dapat terjadi pada moluskum herpes simpleks,
kontagiosum, akne rosasea, herpes zoster, bleIaritis, keratitis neuroparalitik, inIeksi virus, dry
eyes, vaksinia, trakoma dan trauma radiasi, trauma, lagoItalmus, keracunan obat seperti
neomisin, tobramisin dan bahan pengawet lain.
5
3. Epidemiologi
Di negara-negara barat 90 dari populasi orang dewasa dilaporkan memiliki antibodi
terhadap herpes simpleks. Namun demikian, hanya kurang dari 1 yang menimbulkan kelainan
pada mata. Sebagian besar bersiIat subklinis dan tidak terdiagnosis.
4
Frekuensi keratitis herpes simpleks di Amerika Serikat sebesar 5 di antara seluruh
kasus kelainan mata. Di negara- negara berkembang insidensi keratitis herpes simpleks berkisar
antara 5,9-20,7 per 100.000 orang tiap tahun. Di Tanzania 35-60 ulkus kornea disebabkan oleh
keratitis herpes simpleks.
4
4. Gejala Klinis
InIeksi herpes simpleks bersiIat reinIeksi endogen. InIeksi primer biasanya ringan dan
dalam banyak kasus, tanpa gejala. Setelah pasien mulai memproduksi antibodi, inIeksi menjadi
laten di ganglia sensori. HSV-1 tetap laten di ganglia trigeminal dan HSV-2 di ganglia sakral.
Virus menjadi diaktiIkan kembali cedera sekunder terhadap rangsangan tertentu, termasuk
demam, stres Iisik atau emosional, paparan sinar ultraviolet, dan aksonal. InIeksi rekuren
cenderung kurang parah karena imunitas selular dan humoral yang ada dari eksposur
sebelumnya.
4,5,6,7
Secara umum gejala klinis keratitis pungtata superIisial meliputi: IotoIobia, mata merah,
injeksi perikornea, mata sakit dan berair, sering kali ada perasaan seolah-olah benda asing
terperangkap di mata, penglihatan kabur, adanya inIiltrat maupun deIek kornea dan yang sangat
spesiIik adanya insensibilitas kornea.
8,9
Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi epitel,
berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus diwaspadai terhadap
keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya pada: herpes zoster oItalmikus,
keratitis akibat pemaparan dan mata kering, pengguna lensa kontak, keratopati bulosa, dan
keratitis kronik.
4
Pasien dengan keratitis pungtata superIisial biasanya datang dengan keluhan iritasi
ringan, adanya sensasi benda asing, mata berair, penglihatan yang sedikit kabur, dan silau
(IotoIobia) . Lesi pungtata pada kornea dapat dimana saja tapi biasanya pada daerah sentral.
Daerah lesi biasanya meninggi dan berisi titik-titik abu-abu yang kecil. Keratitis epitelial
sekunder terhadap bleIarokonjungtivitis staIilokokus dapat dibedakan dari keratitis pungtata
superIisial karena mengenai sepertiga kornea bagian bawah. Keratitis epitelial pada trakoma
dapat disingkirkan karena lokasinya dibagian sepertiga kornea bagian atas dan ada pannus.
Banyak diantara keratitis yang mengenai kornea bagian superIisial bersiIat unilateral atau dapat
disingkirkan berdasarkan riwayatnya.
5
Penderita akan mengeluh sakit pada mata karena kornea memiliki banyak serabut nyeri,
sehingga amat sensitiI. Kebanyakan lesi kornea superIisialis maupun yang sudah dalam
menimbulkan rasa sakit dan IotoIobia. Karena kornea berIungsi sebagai media untuk reIraksi
sinar dan merupakan media pembiasan terhadap sinar yang masuk ke mata maka lesi pada
kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama apabila lesi terletak sentral pada
kornea.
5
FotoIobia yang terjadi biasanya terutama disebabkan oleh kontraksi iris yang meradang.
Dilatasi pembuluh darah iris adalah Ienomena reIleks yang disebabkan iritasi pada ujung serabut
saraI pada kornea. Pasien biasanya juga berair mata namun tidak disertai dengan pembentukan
kotoran mata yang banyak kecuali pada ulkus kornea yang purulen.
5
. Klasifkasi Keratitis Herpes Simpleks
Keratitis diklasiIikasikan dalam lapis yang terkena seperti keratitis superIisial dan
proIunda atau interstisial. Keratitis superIisial akan memberikan kelainan pada uji Iluorosein dan
kelainan pada uji plasido.
Keratitis superIisial dapat berupa pungtata, dendritik, dan geograIik.
Keratitis dendritika merupakan proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang diakibatkan oleh
perbanyakan virus dan menyebar sambil menimbulkan kematian sel serta membentuk deIek
dengan gambaran bercabang.
1,4,6
Gambar 3 Keratitis dendritik
5
Keratitis dendritika dapat berkembang menjadi keratitis geograIika, hal ini terjadi akibat
bentukan ulkus bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi 4;4d. Dengan demikian
gambaran ulkus menjadi seperti peta geograIi dengan kaki cabang mengelilingi ulkus. Keratitis
herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis herpes zoster, pada herpes
zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel yang dikelilingi mucus plaques; selain
itu, bentuk dendr14rm lebih kecil.
4
. Infeksi herpes
simpleks primer pada mata jarang ditemukan dan biasanya bermanifestasi sebagai
blefarokonjungtivitis unilateral dengan karakteristik yaitu ditemukannya vesikel pada
palpebra, konjungtivitis folikular, preaurikular adenopathi, dan kadang-kadang keratitis
pungtat
3,8
.
Virus ini disebarkan melalui axon saraf menuju badan sel nervus trigeminus dan
menetap (masa laten) sampai aktif kembali (rekurens) pada keadaan-keadaan tertentu
seperti :
3,8,9
1. Stres psikis
2. Terpapar sinar untraviolet yang berlebihan
3 Demam
4 Menstruasi
Trauma termasuk trauma akibat pembedahan
Obat imunosupresi lokal atau sistemik
Pada keratitis rekurens, umumnya unilateral, namun lesi bilateral dapat terjadi pada
4- kasus dan paling sering pada pasien atopik
3
.
4. Lesi Keratitis Herpes Simpleks
Lesi keratitis herpes simpleks dapat dibagi dalam beberapa bentuk, yaitu :
3
1. Ulkus dendritik.
Lesi paling khas adalah ulkus dendritik. Ini terjadi pada epitel kornea, memiliki pola
percabangan linear khas dengan tepian kabur, memiliki bulbus-bulbus terminalis pada
ujungnya.
2. Ulserasi geografik
Ulserasi geografik adalah sebentuk kelainan dendritik menahun yang mana lesi
dendritiknya lebih lebar, dan tepian ulkus tidak kabur. Sensasi kornea seperti halnya
dendritik, juga menurun.
3. Kekeruhan subepitelial
Bentuknya hampir sama dengan defek epitelial asli, namun sedikit lebih besar, terlihat
di daerah tepat di bawah lesi epitel. Biasanya lesi subepitelial tidak menetap lebih dari
satu tahun.
4. Lesi perifer kornea
Lesi ini umumnya linear dan menunjukkan kehilangan epitel sebelum stroma kornea di
bawahnya mengalami infiltrasi.
Gambar 2. Dendritic keratitis
8
Gambar 3. Corneal ulcer
8
Gambar 4. Corneal ulcer stained with Iluorescein
8
5. Gejala Klinis
Gejala pertama umumnya iritasi, fotofobia, dan mata berair. Bila kornea bagian pusat
yang terkena, terjadi sedikit gangguan penglihatan. Karena anestesi kornea umumnya
timbul pada awal infeksi, gejala mungkin minimal dan pasien mungkin tidak datang
berobat. Gejala klinis lain yang dapat muncul adalah mata merah, nyeri, dan merah pada
kelopak mata
8
.
6. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan adanya ulkus dendritik atau geografik khas,
dan sensasi kornea yang menurun atau hilang sama sekali
3
. Selain itu, dapat juga
dilakukan pemeriksaan laboratorium seperti :
8
1. Pewarnaan giemsa
2. Pewarnaan papanicolaou
3. Kultur virus
4. Serologi
. Polymerase chain reaction (PCR
7. Diagnosis DiIerensial
Diagnosis Diferensial keratitis herpes simpleks antara lain
1. Keratitis jamur stadium awal, yang mana juga dapat dijumpai gambaran lesi
dendritik, tetapi tanpa disertai hipoestesia
1
.
Gambar 5. Permulaan Keratitis Jamur
11
2. Keratitis herpes zoster.
Virus herpes zoster dapat memberikan infeksi pada ganglion Gaseri saraf trigeminus.
Gejala yang muncul adalah rasa sakit pada daerah yang terkena badan terasa hangat,
disertai penglihatan berkurang, dan merah. Pada kelopak mata akan terlihat vesikel
dan infiltrat pada kornea. Vesikel tersebar sesuai dengan dermatom yang dipersarafi
saraf trigeminus yang dapat progresif dengan terbentuknya jaringan parut. Daerah
yang terkena tidak melewati garis meridian
1
.
Gambar 6. Epithelial deIect and melting secondary to varicella-zoster virus inIection
12
Gambar 7. Slit-beam study shows the excavation oI a corneal ulcer secondary to herpes zoster
12
Gambar 8. Vesicles in a dermatomal pattern in acute herpes zoster inIection
12
Gambar 9. Herpes zoster ophthalmicus
12
Gambar 10. Herpes zoster ophthalmicus with Hutchinson sign
12
8. Penatalaksanaan
Terapi keratitis HSV hendaknya bertujuan menghentikan replikasi virus di dalam
kornea, sambil memperkecil efek merusak respons radang
3
.
1. Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial karena virus
berlokasi di dalam epitel. Debridement juga mengurangi beban antigenik virus pada
stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea, namun epitel terinfeksi mudah
dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus. Obat
siklopegik seperti atropin 1 atau homatropin diteteskan ke dalam sakus
konjungtiva dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap hari dan
diganti penutupnya sampai defek korneanya sembuh (umumnya dalam 2 jam)
3
.
2. Terapi obat
Agen anti virus topikal yang dipakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine,
trifluridine, vidarabine, dan acyclovir. Trifluridine dan acyclovir jauh lebih efektif
untuk kelainan pada stroma. Idoxuridine dan trifluridine sering menimbulkan reaksi
toksik. Acyclovir oral digunakan untuk pengobatan penyakit herpes mata berat,
khususnya pada orang atopik yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit
agresif (eczema herpeticum). Replikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya
bila terbatas pada epitel kornea, umumnya sembuh sendiri dan pembentukan jaringan
parut minimal. Penggunaan kortikosteroid sebaiknya dihindari karena berpotensi
merusak. Bila tetap digunakan, umumnya untuk mengendalikan episode keratitis
berikutnya, dengan kemungkinan terjadi replikasi virus yang tidak terkendali dan efek
samping lain seperti superinfeksi bakteri, dan fungi, glaukoma, serta katarak.
Kortikosteroid topikal dapat pula mempermudah perlunakan kornea, yang
menimbulkan risiko perforasi. 1ika memang perlu menggunakan kortikosteroid topikal
karena hebatnya respon peradangan, maka perlu ditambahkan obat antivirus
secukupnya untuk mengendalikan replikasi virus
3
.
3. Terapi bedah
Keratoplasti penetrans mungkin diindikasikan untuk rehabilitasi penglihatan pasien
yang mempunyai parut kornea berat namun hendaknya dilakukan beberapa bulan
setelah penyakit herpes non aktif. Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau
superinfeksi bakteri atau fungi mungkin memerlukan keratoplasti penetrans darurat
3
.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S. Anatomi Dan Fisiologi Mata Dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI, 2004, 4-6.
2. http://onset.unsw.edu
3. Biswell R. Kornea. Dalam : Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P. J Kornea. OItalmologi
Umum (Alih bahasa : Tambajong J, Pendit BU). Jakarta: Widya Medika, 2000.129-38.
4. Ilyas S. Tukak Kornea Sentral Dalam Kedaruratan Dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI, 2000, 74.
5. Kanski JJ. Viral Keratitis. In: Clinical ophthalmology. Third Edition. Butterworth
Heinemann. England. 1994: 108-15.
6. Herpes Simpleks Keratitis. http://www.revoptom.com.
7. Jim C. Excerpt From Keratitis, Herpes Simpleks. http://www.emedicine.com
8. Graham RH. Herpes Simpleks. http://www.emedicine.com
9. Holland EJ, Brilakis HS, Schwartz GS. Herpes Simpleks Keratitis. In: Cornea, Surgery OI
The Cornea And Conjungtiva. Second Edition, Volume 1 B. Elsevier Mosby. The United
Kingdom. 2005: 1043-74.
10.Alexandrakis G. Keratitis Fungal. http://emedicine.com
11.Srinivasan M. Fungal Keratitis. Curr Opin Ophthalmol 2004; 15 : 321-5.
12.Roque MR. Herpes Zoster. http://www.emedicine.com