Anda di halaman 1dari 12

0

Makalah Akhir sebagai salah satu pra syarat


Ujian Akhir Semester
Mata kuliah Lembaga EksekutiI dan Birokrasi:
Kebijakan 'Remunerasi dalam Departemen Keuangan Tahun 2008







Yudhanty Parama sany
0906591000


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Program studi ilmu Politik
Salemba
Desember
2009




I. Pendahuluan
Dalam situasi sosial yang terus berubah, kajian terhadap proIesionalisme aparat birokrasi
pemerintahan yang sesuai dengan tuntutan perubahan zaman memang harus terus dilakukan.
Perubahan yang menjadi acuan semangat pembaruan etos kerja birokrasi dapat dipandang dari
sisi internal birokrasi dan sisi eksternal birokrasi. Adapun Iaktor internal birokrasi bersangkut-
paut dengan cita-cita ideal birokrasi masa depan. Orientasi birokrasi pemerintahan yang dititik-
beratkan pada unsure pelayanan publik, idealnya menempatkan diri sebagai abdi masyarakat
yang selau siap untuk melayani bukan dilayani. Peran birokrasi yang demikian, akan lebih
mudah terpenuhi dengan adanya elemen komunikasi dua arah yang konstruktiI, dengan
menghindari komunikasi hegemoni dan otoriter yang cenderung berlaku searah.
Max Weber menempatkan birokrasi pada posisi yang paling terkemuka, disamping agama,
atau kemungkinana interaksi diantara keduanya dengan perekonomian. Ia menempatkan
kapitalisme sebagai satu-satunya sendi yang menjadi landasan bagi rancang bangu model
demokrasi Barat sejak kebangkitannya hingga dalam bentuknya yang sekarang ini.
1
Betapa
pentingnya birokrasi ini dapat dilihat dari kompleksitas tugas-tugasnya yang selanjutnya akan
menyebabkan membesarnya ukuran birokrasi, atau pen-tambunan birokrat.
2
Birokrat dalam hal
ini merupakan suatu perangkat instrumental untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan publik
yang telah dihasilkan oleh lembaga-lembaga pembuat keputusan politik. Sebagai kekuatan
instrumental, birokrasi memperlihatkan suatu tipe ideal dan standar bahwa ia bersiIat netral
dalam proses politik yang akan melahirkan satu kebijakan publik. Akan tetapi, di lain pihak
birokrasi memiliki peran politik yang besar karena posisinya di pusat kekuasaan yang akan
menentukan keputusan-keputusan pokok dalam hal pembuatan peraturan dan penerapan
peraturan tersebut oleh stuktur pemerintahan.
3


1
Stanislav Andreski. Max Weber. Kapitalisme, Birokrasi dan Agama. Yogyakarta; Tiara Wacana. 1996. Hal 1
2
Max Weber. 'Bureaucracy and Political Leadership dalam Reinhard Benddix. Ed. State and Society. Boston:
Little and Brown 1968 hal 300
3
Joseph LaPalombara. An Overview oI Bureaucracy and Political Development, dalam Joseph LaPalombara. Ed
Beraucracy and Political Development. New Jersey: Pricenton University Press. 1971. Hal 1-17


Dalam konteks Indonesia, birokrasi lalu dihubungkan dengan peranannya dalam
pembangunan. Peranan birokrasi terlihat begitu dominan dalam pengelolaan aspek-aspek
administratiI dari pembangunan. Keberhasilan untuk mecapai tujuan dan sasaran kebijakan
pembangunan, sangat ditentukan oleh sejauh mana kemampuan administrtiI birokrasi. Namun,
hal yang tidak dapat dibantah adalah proses pembangunan itu sendiri sehingga menyebabkan
perkembangan Iisik birokrasi. Pada satu sisi, birokrasi berkembang lebih besar sehingga tugas-
tugas birokrasi pun menjadi besar dan kompleks. Wujud birokrasi yang besar dan kompleksitas
dari tugas-tugasnya, pada sisi yang lain, mereIleksikan intervensi total pemerintah yang berkuasa
ke dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat. Kehidupan individual kita hampir tak
memiliki ruang yang tersisa dari jamahan jerat-jerat birokrasi.
Oleh karena itu, birokrasi kemudian tidak dapat dilepaskan begitu saja dari konteks
hubungan kekuasaan antara pembuat keputusan pollitik dan masyarakat yang merupakan sasaran
akhir dari pelaksanaan segala kebijakan publik.
4
Bahkan, birokrasi justru mempengaruhi
pembangunan politik. Keberadaan dan kepentingan lembaga-lembaga birokrasi, baik secara
langsung maupun tidak langsung, mempengaruhi perkembangan lembaga-lembaga politik.
5

Dinamika yang berlangsung di tengah masyarakat Indonesia pada dasawarsa 1990-an
mengingatkan agar sistem orde baru segera mengadakan reIormasi guna memperbaiki kondisi
kemacetan sistem politik terhadap dinamika masyarakatnya sendiri. Namun, hal tersebut
diabaikan sama sekali sehingga terjadi krisis moneter yang mengawali krisis-krisis selanjutnya
yang lebih besar. Ketika itu, birokrasi dan supra sturktur politik tak lagi mampu
mengkomunikasikan desakan reIormasi yang demikian kuat mendorong mahasiswa untuk
melakukan aksi demonstrasinya yang menuntut agar Presiden Soeharto mengundurkan diri dari
kursi pemerintahan. Bertitik tolak dari pengunduran diri Presiden Soeharto tersebut, dimulailah
zaman reIormasi dengan kepemimpinan B.J Habibie. Program reIormasi yang dijalankan
tentunya memusatkan perhatiannya kepada perubahan-perubahan mendasar pada sistem politik
Orde Baru yang tidak lagi sesuai dengan dinamika masyarakat Indonesia. ReIormasi, dalam hal
ini berusaha untuk mewujudkan perubahan-perubahan secara bertahap dalam struktur

4
Lihat Steven Thomas Seitz. Bureaucracy, Policy and the Public. St Louis: CV Mosby Company. 1978. Hal 103
5
Fred W. Riggs.Bureaucracy and Political Development: a Paradoxial view dalam Joheph LaPalombara, Op cit.
hal 120-167


masyarakat. Pada akhirnya, reIormasi perlu mengagendakan sistem politik yang adil bagi semua
warga negara sehingga terbuka peluang politik dan ekonomi.
II. Permasalahan
Dengan kondisi seperti yang telah dijelaskan di atas, maka sebaiknya birokrasi pemerintahan
Indonesia sangat perlu mengadakan perubahan baik tatanan, sistem maupun sikap dan perilaku
aparatnya. Perubahan tersebut dapat diwujudkan dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara. Kini, keduduakan birokrasi pemerintahan sangat perlu ditinjau kembali. Posisi
birokrasi yang tidak netral mengakibatkan kurang maksimalnya pelayanan kepada masyarakat.
Padahal masyarakat tanpa kecuali berhak memperoleh pelayanan yang sama dari birokrasi. Oleh
karena itu untuk mendukung peningkatan pelayanan terhadap publik, beberapa instansi terkait
salah satunya yaitu Departemen Keuangan, mengambil jalan untuk melakukan reIormasi
birokrasi didalamnya. Salah satu usaha reIormasi birokrasi yang dilakukan di Departemen
Keuangan adalah dengan melakukan 'remunerasi.
6
Hal ini dilakukan untuk meningkatkan
kinerja para pegawai dilingkungan Departemen Keuangan. Namun, banyak pihak yang
meragukan apakah reIormasi di Departemen Keuangan berjalan sesuai dengan rencana, apa lagi
kebijakan 'Remunerasi tersebut menuai banyak protes dari kalangan lainnya. Dalam makalah
ini mencoba membahas bagaimana kebijakan 'Remunerasi mempengaruhi kinerja para birokrat
di Departemen Keuangan.
III.Pembahasan
ReIormasi Birokrasi merupakan perubahan signiIikan elemen-elemen birokrasi, antara lain
kelembagaan, sumber daya manusia aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas aparatur,
pengawasan, dan pelayanan publik. Hal penting dalam reIormasi birokrasi adalah perubahan
mind-set dan culture-set serta pengembangan budaya kerja. ReIormasi Birokrasi diarahkan pada
upaya-upaya mencegah dan mempercepat pemberantasan korupsi, secara berkelanjutan, dalam
menciptakan tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa (good governance), pemerintah
yang bersih (clean government), dan bebas Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).

6
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) 2005, arti remunerasi adalah imbalan.


Meluasnya praktik-praktik KKN dalam kehidupan birokrasi publik. KKN tidak hanya telah
membuat pelayanan birokrasi menjadai amat sulit dinikmati secara wajar oleh masyarakatnya,
tetapi juga membuat masyarakat harus membayar lebih mahal pelayanan yang diselenggarakan
oleh swasta. Rendahnya kemampuan birokrasi merespon krisis ekonomi memperparah krisis
kepercayaan terhadap birokrasi publik. Masyarakat yang mengharapkan birokrasi public dapat
member respon yang teoat dan cepat terhadap krisis yang terjadi menjadi amat kecewa ternyata
tindakan birokrasi cenderung reaktiI dan tidak eIektiI.
Bangunan bernama 747,8di Indonesia
Birokrasi Indonesia dewasa ini, masih terikat pada akar historisnya yaitu era kolonial dan elit
jawa, seperti yang dikemukakan oleh Donald K. Emerson:
%he origin of Indonesias modern administrative elite can be traced back, past the colonial era,
to the retinues of Javanese royalte, although its earlier aristocratic and Javanese image has
been democrati:ed and nationali:ed to accord with the nation a civil service working in the
public interest, the old legacy remain.
Berdasarkan pernyataan emerson di atas, sesungguhnya kondisi birokrasi pemerintahan
Indonesia di era Orde Baru merupakan percampuran atau perpaduan antara karakteristik
birokrasi modern yang legal-rasional dengan karakteristik birokrasi yang berakar dalam sejarah.
SiIat modern pada birokrasi pemerintahan sekarang terlihat pembagian tugas dan kewenangan
serta adanya proIesionalisme. Akan tetapi, di dalamnya masih terdapat prktek-praktek yang
berakar dari sejarah seperti adanya hubungan pertemanan atau koncoisme serta masih
terdapatnya posisi seseorang yang tidak sesuai dengan keahliannya.
Birokrasi Indonesia yang tidak bisa dipisahkan dair Iaktor historis tersebut atau biasa disebut
seabai birokrasi patrimonial. Dengan demikian, wajah birokrasi yang tampil adalah hubungan
'bapak buah-anak buah (patron client). Dalam konsep tersebut, birokrasi menjadi sangat kuat
dan dominan, sehingga Iungsi utama birokrasi sebagai unsur pelayanan masyarakat menjadi
terabaikan. Kondisi ini diperparah ketika memasuki masa orde baru dimana birokrasi menjadi
instrumen politik penguasa dengan mewajibkan semua pegawai negeri mengjadi anggota
KORPRI yang kemudian beraIiliasi dengan Golongan Karya (Golkar) sebagai mesin politik


Orde Baru. Dengan kondisi demikian, maka tidak ada pilihan lain bagi pegawai negeri yang
tidak lain adalah aparat birokrasi untuk memilih dan berpihak pada Golkar.
Memang untuk memahami bagaimana model birokrasi Indonesia, kita tidak hanya melihat
dari segi kultural semata, tapi juga melihat segi strukturalnya. Apabila pendekatan historis yang
berakar dari budaya masa lampau terus dipertahankan, rasanya akan sulit bagi para birokrat
untuk melaksanakan tugasnya secara proIesional. Untuk dapat memahami bagaimana
sesungguhnya model birokrasi, kita dapat melihat sebuah model teroritis yang bisa menganalisis.
Priyo Budi Santoso
7
menyebut model tersebut sebagai model bureaucratic Polity (Politik
Birokratik). Karl D Jackson menjelaskan model tersebut sebagai suatu sistem dimana kekuasaan
dan partisipasi dalam pengambilan keputusan terbatas hanya berlaku bagi para penguasa negara,
terutama para perwira militer dan pejabat tinggi birokrasi, termasuk para teknokrat. Dalam hal
ini, militer dan birokrasi tidak bertanggung jawab kepada kekuatan-kekuatan politik lain seperti
partai-partai politik, kelompok-kelompok kepentingan atau organisasi kemasyarakatan. Berbagai
tindakan yang di desain untuk mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah berasal dari
dalam elit itu sendiri tanpa banyak memerlukan partisipasi atau mobilisasi massa. Kekuasaan
tidak diakibatkan oleh artikulasi kepentingan sosial dan geograIi di sekitar masyarakat.
8

Dalam melaksanakan peran dan Iungsinya, ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk
mellhat aktivitas birokrasi. Pendekatan pertama adalah pendekatan administratiI, yaitu
menggunakan pendekatan tata administrasi yang diawali oleh pematangan struktur kekuasaan,
pembagian tugas, spesialisasi, koordinasi, dan jenjang pengawasan. Pendekatan kedua adalah
pendekatan psikologi sosial, yang berhubungan erat dengan perilaku manusia selaku unsur
birokrasi dalam struktur organisasi pemerintahan, baik perilaku individu dalam kelompok Iormal
dan inIormal maupun perilaku internal dan eksternal organisasi pemerintahan.
9

Berkaitan dengan Ienomena perilaku birokrasi, kita melihat bahwa sejumlah hal tidak dapat
dipisahkan dari individu selaku aparat pemerintah, yakni persepsi, nilai, pengetahuan, motivasi
yang dimiliki guna melaksanakan Iungsi, tugas dan tanggung jawabnya melalui pelayanan

7
ualam Birokrasi Pemerintah Orde Baru. Perspektif Kultural dan Struktural. PT RajaGraIindo Persada. Jakarta.
1993
8
Priyo Budi Santoso dalam Birokrasi Pemerintah Orde Baru. Perspektif Kultural dan Struktural. PT RajaGraIindo
Persada. Jakarta. 1993 hal 30
9
Tjahja Supriatna. Birokrasi, Pemberdayaan dan Pengentasan kemiskinan. Humaniora Utama Press. Bandun. 1997
6

publik. Menurut tipe ideal birokrasi dari Max Weber, birokrasi pemerintahan bukanlah kekuatan
politik melainkan sebagai instrument politik. Artinya birokrasi itu harus berIungsi sebagai agen,
bukannya sebagai master.
10
Dalam hal ini, artinya para birokrat pemerintah memiliki tugas
untuk melayani kebutuhan publik.
Sebagaimana dikatakan oleh Saul M.Katz, di negara-negara yang belum maju,
pemerintahnya harus membawakan peranan sentral di dalam pembangunan nasional. Penguasaan
pemerintah atas sumber-sumber daya alam yang terbatas jumlahnya, kemampuan-kemampuan
manajerialnya untuk memobilisasi dan dan daya serta kapasitas organisasi yang dimilikinya,
merupakan alasan-alasan cukup kuat untuk memberi peranan yang besar dan luas kepada
pemerintah dalam bertindak sebagai penggerak pembangunan nasional.
11

Namun dalam pengimplemetasiannya, kinerja birokrat kadang kala tidak sesuai dengan
pengharapan dari masyarakat. Kedudukan yang dominan dan menentukan di tangan birokrat
pemerintahan, sehingga segala urusan pelayanan dan kebutuhan masyarakat menjadi sangat
tergantung kepada birokrat. Dengan ketergantungan tersebut, tidak tertutup kemungkinan
terjadinya kolusi atau penyalahgunaan wewenang untuk setiap urusan/keperluan. Dalam
hubungan inilah, 'power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely menjadi Iakta dan
mendapat tempat dalam kekuasaan yang dominan.
Selama kurang lebih tiga puluh dua tahun, birokrasi era orde baru menunjukkan
keberpihakannya secara terang-terangan kepada pemerintah dan kepada salah kekuatan politik,
sehingga keputusan pollitiknya sering kali bersiIat politici:ed. Birokrasi yang demikian sudah
jelas akan memihak, tidak mau dikontrol dan tidak mau menerima kritik. Birokrasi pemerintahan
yang semakin kuat dan menentukan cenderung melakukan penyalahgunaan jabatan, wewenang
dan kekuasaan.
Peristiwa-peristiwa yang saling terkait ini telah menyadarkan kita semua bahwa suatu
perbaikan yang signiIikan terhadap kepemimpinan birokrasi pemerintahan sudah tidak bisa di
tunda lagi dan tuntutan reIormasi harus di tanggapi dengan sungguh-sungguh dalam
mewujudkan suatu pemerintahan yang bersih, kuat dan berwibawa.

10
MiItah Thoha, 'Beberapa Aspek Kebijakan Birokrasi, Media Wdya Mandala, Yogyakarta, 1991, hal 52
11
Uli Sintong Siahaan. 'ReIormasi Birokrasi menuju Pemerintahan yang bersih, kuat dan berwibawa dalam
Birokrasi da Perubahan Sosial Politik. Pusat Pengkajian dan Pelayanan Sekertariat Jenderal DPR RI. Jakarta. 1998.
7


Reformasi Birokrasi Departeman Keuangan
Semangat mewujudkan ew Public Management (NPM) mulai termuncul ketika disadari
bahwa organisasi sektor publik diidentikkan dengan tidak produktiI, tidak eIisien, selalu merugi,
rendah kualitas miskin inovasi dan kreativitas, sarang KKN, berbelit-belit dan lain sebagainya.
Karakteristik utama NPM adalah perubahan lingkungan birokrasi lingkungan birokrasi yang
didasarkan pada aturan baku menuju sistem manajemen publik yang lebih Ileksibel dan lebih dan
lebih berorentasi pada kepentingan publik. Konsep ini yang dalam konteks ke-Indonesia-an saat
ini lebih dikenal dalam istilah ReIormasi Birokrasi.
ReIormasi Birokrasi dihadapkan pada upaya mengatasi in-eIisiensi, in-eIektivitas, tidak
proIesional, tidak netral, tidak disiplin, tidak patuh pada aturan, rekrutmen PNS tidak transparan,
belum ada perubahan mind-set, KKN yang marak di berbagai jenjang pekerjaan, abdi masyarakat
belum terbangun, pemerintahan belum akuntabel, transparan, partisipatiI, dan kredibel,
pelayanan publik belum berkualitas dan pelayanan publik prima belum terbangun secara luas.
Strategi ReIormasi Birokrasi melalui upaya-upaya peningkatan kualitas pelayanan publik,
percepatan pemberantasan korupsi, peningkatan kinerja SDM aparatur, manajemen kepegawaian
berbasis kinerja, remunerasi dan meritokrasi, diklat berbasis kompetensi, penyelesaian status
tenaga honorer, pegawai harian lepas (PHL), dan pegawai tidak tetap (PTT), serta deregulasi dan
debirokratisasi.
ReIormasi Birokrasi di Departemen Keuangan saat ini mencakup tiga pilar, meliputi:
penataan organisasi, perbaikan proses bisnis, dan peningkatan manajemen sumber daya manusia
(SDM). Penataan organisasi meliputi modernisasi dan pemisahan, penggabungan, serta
penajaman Iungsi. Perbaikan proses bisnis meliputi analisa dan evaluasi jabatan, analisa beban
kerja, dan penyusunan standard operating procedure (SOP). Sementara peningkatan manajemen
SDM meliputi penyelenggaraan pendidikan dan latihan berbasis kompetensi, pembangunan
assessment center, penyusunan pola mutasi, peningkatan disiplin dan pengintegrasian Sistem
InIormasi Manajemen Pegawai (SIMPEG).
8

ReIormasi birokrasi Departemen Keuangan adalah perubahan Iundamental dari Departemen
Keuangan yang dulu sangat tertutup menjadi terbuka. Tujuannya ada dua. Pertama, menciptakan
aparatur negara yang bersih, proIesional, dan bertanggung jawab. Kedua, menciptakan birokrasi
yang eIisien dan eIektiI sehingga dapat memberikan pelayanan publik yang prima. Contoh paling
spektakuler adalah dikeluarkannya 6.475 Standard Operating Procedures (SOP), yang mengatur
dengan rinci mekanisme pelayanan, lama pelayanan, serta berapa biaya pelayanan. ReIormasi
renumerasi juga dilakukan dengan basis kinerja, sehingga kini terdapat 27 grade, dengan rentang
terendah Rpxxx (grade 27) dan tertinggi Rpxxx (grade 1).
ReIormasi birokrasi yang terjadi dalam Departemen Keuangan, menerapkan salah satu
bentuk reIormasi yaitu sistem remunerasi. Seperti yang telah disebutkan di atas remunerasi
menjadi salah satu produk dari reIormasi birokrasi di Indonesia. Dalam NPM, sistem remunerasi
dapat menjadi suatu konsekuesi, kondisi yang membuat pegawai termotivasi. Akan tetapi sistem
remunerasi yang tidak berdasarkan kinerja yang berkeadilan, baik individu maupun organisasi
dapat menimbulkan kecemburuan.
Pada prinsipnya, sistem remunerasi yang berbasis kompetensi harus mempertimbangkan
secara seimbang imbalan yang diberikan kepada input dan output. Input dalam hal ini adalah
bagaimana seseorang melakukan sesuatu pekerjaan untuk dapat mencapai tujuan kinerja. Hal ini
berkaitan dengan kompetensi apa yang perlu dikuasai oleh orang tersebut. Untuk itulah, perlu
diberikan imbalan untuk kompetensi apa yang telah dikuasai oleh orang tersebut sesuai dengan
yang dipersyaratkan. Begitu juga dengan output, adalah apa hasil kerja yang dicapai oleh orang
tersebut dalam pekerjaannya. Output ini adalah target kinerja yang dihasilkan oleh orang
tersebut, sehingga perlu diberikan imbalan apabila orang tersebut mampu untuk mencapainya.

Sistem remunerasi yang berbasis kompetensi harus secara seimbang mempertimbangkan tiga
Iaktor dalam penetapan imbalan yang diberikan sebagai total pendapatan yang diterima oleh
setiap orang, yaitu: satu; Jabatan atau Posisi: adalah nilai dari kontribusi yang diberikan oleh
Iungsi jabatan atau posisi bagi organisasi, yang umumnya dapat dilihat dari 3 (tiga) hal yaitu,
tuntutan kemampuan, pemecahan masalah dan tanggung jawab. Faktor inilah yang menentukan
besarnya gaji dasar yang diterima orang sebagai imbalan terhadap jabatan atau posisi yang
didudukinya. Dua; Kompetensi Individual: adalah kompetensi yang dimiliki dan dibawa oleh
9

orang untuk melakukan pekerjaannya seperti yang dipersyaratkan. Faktor ini biasanya
diperhitungkan dalam imbalan sebagai tambahan pendapatan yang diterima dalam bentuk
tunjangan atau insentiI. Tiga; Kinerja adalah prestasi atau hasil kerja yang ditunjukkan baik
secara individu, tim ataupun organisasi, yang berhasil mencapai target kinerja yang ditetapkan
oleh organisasi. Faktor ini biasanya diperhitungkan dalam imbalan dalam bentuk insentiI atau
bonus. Pemberian remunerasi kepada pegawai disesuaikan dengan yang disebutkan diatas,
sehingga terjadi peningkatan kinerja pelayanan publik.

Penilaian kinerja merupakan suatu kegiatan yang sangat penting karena dapat digunakan
sebagai ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai misinya. Untuk organisasi
pelayanan public, inIormasi mengenai kinerja tentu sangat berharga untuk menilai seberapa jauh
pelayanan yang diberikan oleh organisasi itu memenuhi harapan dan memuaskan penguna jasa.
Dengan melakukan penilaian terhadap kinerja maka upaya untuk memperbaiki kinerja bisa
dilakukan secara lebih terarah dan sistematis. InIormasi mengenai kinerja juga menjadi penting
untuk menciptakan tekanan bagi para pejabat penyelenggara pelayanan untuk melakukan
perubahan-perubahan dalam organisasi. Dengan adanya inIormasi mengenai kinerja maka
benchmarking dengan mudah bisa dilakukan dan dorongan untuk memperbaiki kinerja bisa
diciptakan.

Dalam bentuk birokrasi ideal menurut weber yang telah disebutkan di atas, reIormasi yang
terjadi di Departemen Keuangan melalui kebijakan pemberian remunerasi juga harus didukung
dengan pengaturan organisasi dan pembentukan sturktur yang berimbang. Sehingga setiap
pegawai yang ingin mendapatkan remunerasi harus terlebih dahulu meningkatkan kinerjanya.
Oleh karena itu, pada dasarnya pemberian remunerasi pada setiap pegawai dalam Departemen
Keuangan dilakukan bukan sebagai suatu pemborosan keuangan namun untuk mendorong
peningkatan kinerja pegawai dan pada akhirnya pelayanan terhadap public bisa ditingkatkan.

Keputusan untuk melakukan remunerasi di Departemen Keuangan, sebagai salah satu
departemen utama keuangan negara, dilakukan untuk menjaga stabilitas keuangan negara agara
tidak banyak terdapat kasus-kasus korupsi, kolusi dan nepotisme dalam departemen tersebut.
Sehingga kebijakan yang nantinya akan dibuat, berpihak pada keinginan rakyat bukan keinginan
0

para stakeholder, dalam hal ini bisa saja pengusaha asing maupun investor swasta yang ingin
menguasai sumber daya alam negara dengan memenangkan tender secara tidak adil.

Kesimpulan:
Penerapan remunerasi sebagai salah satu cara peningkatan kinerja birokrat terutama
dalam Departemen Keuangan, walaupun remunerasi bukanlah menjadi satu-satunya cara dalam
rangka reIormasi birokrasi. Namun, remunerasi mampun untuk men-stimulus pegawai untuk
bekerja dengan lebih baik lagi. Sehingga publik bisa dilayani dengan lebih baik tanpa adanya
tumpangan keinginan dari pihak-pihak yang tidak berkepentingan.
Penerapan remunerasi bukanlah satu-satunya cara untuk me-reIormasi dalam birokrasi,
namun penerapan ini harus dibarengi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia dan
manajemen perusahaan. Dalam hal ini, Departemen Keuangan sebagai bagian dari pemerintah
dan dekat dengan kekuasaan memang harus melakukan reIormasi dalam birokrasi untuk
meningkatkan pelayanan publik dan juga meningkatkan kinerja pegawai untuk lebih konsentrasi
pada keinginan masyarakat yang menginginkan peningkatan pelayanan agar cepat dan tidak
berbeli-belit.












DAFTAR PUSTAKA
W. Riggs Fred.Bureaucracy and Political Development: a Paradoxial view dalam Joheph
LaPalombara, Op cit. hal 120-167

LaPalombara, Joseph. An Overview oI Bureaucracy and Political Development, dalam Joseph
LaPalombara. Ed Beraucracy and Political Development. New Jersey: Pricenton University
Press. 1971. Hal 1-17

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). PT Gramedia. Jakarta. 2005
Budi Santoso, Priyo Birokrasi Pemerintah Orde Baru. Perspektif Kultural dan Struktural. PT
RajaGraIindo Persada. Jakarta. 1993 hal 30

Weber, Max. 'Bureaucracy and Political Leadership dalam Reinhard Benddix. Ed. State and
Society. Boston: Little and Brown 1968 hal 300

Thoha, MiItah 'Beberapa Aspek Kebijakan Birokrasi, Media Wdya Mandala, Yogyakarta,
1991, hal 52

Andreski, Stanislav. Max Weber. Kapitalisme, Birokrasi dan Agama. Yogyakarta; Tiara
Wacana. 1996. Hal 1

Thomas Seitz, Steven. Bureaucracy, Policy and the Public. St Louis: CV Mosby Company.
1978. Hal 103

Supriatna, Tjahja. Birokrasi, Pemberdayaan dan Pengentasan kemiskinan. Humaniora Utama
Press. Bandun. 1997

Sintong Siahaan, Uli. 'ReIormasi Birokrasi menuju Pemerintahan yang bersih, kuat dan
berwibawa dalam Birokrasi da Perubahan Sosial Politik. Pusat Pengkajian dan Pelayanan
Sekertariat Jenderal DPR RI. Jakarta. 1998.

Anda mungkin juga menyukai