Anda di halaman 1dari 57

163 / vol. 35 no.

4 Juli - Agustus 2008

CDK
Cermin Dunia Kedokteran
ISSN: 0125-913 X http://www.kalbe.co.id/cdk

Artikel :
185 Croup (Laringotrakeobronkitis)
Anton B. Darmawan

190 Pengaruh Bising terhadap

Konsentrasi Belajar Murid Sekolah Dasar


M. Arief Purnanta, Soepomo Soekardono, BU Djoko Rianto, Anton Christanto

197 Kelangsungan Hidup Lima Tahun

Kanker Ovarium yang Dikelola di RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta


Max Rarung

203 Assisted Hatching


Dini Budhiarko, Caroline Tan Sardjono, Ferry Sandra

Berita Terkini :
211 Risiko obat-obat bebas (OTC) 216 Kaitan antara common cold dengan infeksi telinga 218 Tramadol untuk Penanganan Ejakulasi Dini 220 Sertraline untuk Leishmaniasis

Profil :
229 dr. Asri : Dokter Umum,

Ahli Vasektomi dan Kesadaran Pentingnya KB

Petunjuk untuk Penulis


CDK menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, bisa berupa tinjauan kepustakaan ataupun hasil penelitian di bidang-bidang tersebut, termasuk laporan kasus. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh CDK; bila pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah berisi 2000 - 3000 kata ditulis dengan program pengolah kata seperti MS Word, spasi ganda, font Euro-stile atau Times New Roman 10 pt. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel / skema / grafik / ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelasjelasnya dan telah dimasukkan dalam program MS Word. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirement for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh : 1. Basmajian JV, Kirby RL.Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore, London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. 2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanism of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974 ; 457-72. 3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 64: 7-10. Jika pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirim ke redaksi dalam bentuk softcopy / CD atau melalui e-mail ke alamat :

daftar isi
content
Editorial 182 English Summary 184

Artikel
Croup (Laringotrakeobronkitis) 185
Anton B. Darmawan

Pengaruh Bising terhadap 190 Konsentrasi Belajar Murid Sekolah Dasar


M. Arief Purnanta, Soepomo Soekardono, BU Djoko Rianto, Anton Christanto

Kelangsungan Hidup Lima Tahun 197 Kanker Ovarium yang Dikelola di RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Max Rarung

Assisted Hatching 203


Dini Budhiarko, Caroline Tan Sardjono, Ferry Sandra

Berita Terkini
Risiko obat-obat bebas (OTC) 211 Pedoman baru penanganan hipertensi resisten 212 Penuaan biologis ditunda oleh fitness aerobik 213 Terbukti : kaitan antara common cold 216 dengan infeksi telinga Dermatitis atopik berkaitan dengan keganasan 217 Tramadol untuk Penanganan Ejakulasi Dini 218 Sertraline untuk Leishmaniasis 220 Efek Trisiklik vs SSRI terhadap substansia alba otak 221 WHO menerbitkan laporan tentang 222 skala global TB yang resisten terhadap obat Lingkar pinggang besar pada wanita 223 meningkatkan resiko kematian Makan pagi menjaga remaja tetap ramping 224 Informatika Kedokteran 226 Profil 230 Praktis 232 Laporan Khusus 234 Kegiatan Ilmiah 241 Gerai 242 Resensi Buku 243

Redaksi CDK Jl. Letjen Suprapto Kav. 4 Cempaka Putih, Jakarta 10510 E-mail: cdk.redaksi@yahoo.co.id Milis: http://groups.yahoo.com/group/milisCDK Tlp: (021) 4208171. Fax: (021) 42873685
Korespondensi selanjutnya akan dilakukan melalui e mail; oleh karena itu untuk keperluan tersebut tentukan contact person lengkap dengan alamat e-mailnya.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga tempat kerja si penulis.

Agenda 245 RPPK 248

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

181

editorial
Selamat berjumpa lagi dengan topik bahasan yang berbeda; kali ini sebagian mengenai
masalah penyakit telinga, hidung dan tenggorokan. Di antaranya yang menarik ialah penelitian mengenai pengaruh bising terhadap prestasi belajar anak sekolah dasar; meskipun merupakan penelitian pendahuluan, hasilnya patut menjadi perhatian. Artikel mengenai stem cell yang berasal dari Stem Cell Institute tetap kami tampilkan agar sejawat bisa tetap mengikuti perkembangan penelitian stem cell yang akan makin penting di masa mendatang Beberapa perubahan tampilan majalah Cermin Dunia Kedokteran masih kami hadirkan untuk membuat majalah ini lebih menarik untuk dibaca; tanggapan dari para pembaca sangat kami harapkan Selamat membaca,

Redaksi

182

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

CDK
Cermin Dunia Kedokteran
ISSN: 0125-913 X http://www.kalbe.co.id/cdk Alamat Redaksi Gedung KALBE Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4 Cempaka Putih, Jakarta 10510 Tlp: 021-4208171 Fax: 021-4287 3685 E-mail: cdk.redaksi@yahoo.co.id Milis: http://groups.yahoo.com/group/milisCDK Web: http://www.kalbe.co.id/cdk Nomor Ijin 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976 Penerbit Kalbe Farma Pencetak PT. Temprint

redaksi kehormatan
Prof. Drg. Siti Wuryan A Prayitno, SKM, MScD, PhD Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta Prof. Dr. Abdul Muthalib, SpPD KHOM Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta Prof. Dr. Djoko Widodo, SpPD-KPTI Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonsia/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta Prof. DR. Dr. Charles Surjadi, MPH Pusat Penelitian Kesehatan Unika Atma Jaya Jakarta Prof. DR. Dr. H. Azis Rani, SpPD, KGEH Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta Prof. DR. Dr. Sidartawan Soegondo, SpPD, KEMD, FACE Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta DR. Dr. Abidin Widjanarko, SpPD-KHOM Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Kanker Dharmais, Jakarta DR. Dr. med. Abraham Simatupang, MKes Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia, Jakarta Prof. Dr. Sarah S. Waraouw, SpA(K) Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado Prof. DR. Dr. Rully M.A. Roesli, SpPD-KGH Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung Dr. Aucky Hinting, PhD, SpAnd Bagian Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya Prof. DR. drg. Hendro Kusnoto, SpOrt. Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, Jakarta DR. Dr. Yoga Yuniadi, SpJP Sub Dept. Kardiologi, Dept. Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSP Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta Prof. DR. Dra. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Prof. Dr. Faisal Yunus, PhD, SpP(K) Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/SMF Paru RS Persahabatan, Jakarta Prof. DR. Dr. Rianto Setiabudy, SpFK Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Dr. R.M. Nugroho Abikusno, MSc., DrPH Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta Prof. DR. Dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS Fakultas KedokteranUniversitas Udayana Denpasar, Bali Prof. DR. Dr. Ignatius Riwanto, SpB(K) Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/ RS Dr. Kariadi, Semarang Dr. Tony Setiabudhi, SpKJ, , PhD Universitas Trisakti/ Pusat Kajian Nasional Masalah Lanjut Usia, Jakarta Prof. DR. Samsuridjal Djauzi, SpPD, KAI Sub Dept. Alergi-Imunologi, Dept. Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta Dr. Prijo Sidipratomo, SpRad(K) Departemen Radiologi FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta Prof. DR. Dr. Johan S. Masjhur, SpPD-KEMD, SpKN Departemen Kedokteran Nuklir Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung Dr. Hendro Susilo, SpS(K) Dept. Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RS Dr. Soetomo, Surabaya Prof. DR. Dr. Darwin Karyadi, SpGK Institut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat Dr. Ike Sri Redjeki, SpAn KIC, M.Kes Bagian Anestesiologi & Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

susunan
Pemimpin Umum Dr. Erik Tapan Ketua Penyunting Dr. Budi Riyanto W. Manajer Bisnis Nofa, S.Si, Apt.

redaksi

Ketua Pengarah Dr. Boenjamin Setiawan, PhD

Dewan Redaksi Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto Zahir, MSc. Dr. Michael Buyung Nugroho Dr. Karta Sadana Dr. Sujitno Fadli Drs. Sie Johan, Apt. Ferry Sandra, Ph.D. Budhi H. Simon, Ph.D. Tata Usaha Dodi Sumarna

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

183

ENGLISH SUMMARY

Five-year survival rate among ovarian cancer patients in Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta
Max Rarung
Dept of Obstetrics and Gynecology, Faculty of Medicine, Sam Ratulangi University, Prof Dr R D Kandou Hospital, Manado, Indonesia

zona drilling, and zona slithing using tyrode acid, laser, pronase and PZD (partial zona dissecting). The implementation of assisted hatching method certainly increases the implantation rate. However, there are increased risks to be aware of, such as the increase risk of monozygotic twins or embryo degeneration.
Cermin Dunia Kedokt. 2008; 35(4): 203-209

Clinical decision and health service improvement support system


Rizaldy Pinzon
Dept. of Neurology, Bethesda Hospital, Yogyakarta, Indonesia

Objective : To evaluate the 5-year survival rates of patients with ovarian malignancy. Place : Obstetrics and Gynecology Department, Oncology Division of FKUI/ RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta. Method : To analyze survival time with Kaplan-Meier curve dan Log rank test, and multivariance analysis with cox regression using retrospective data. Subject : All ovarium cancer cases managed in 1990 and evaluated 5 years later. Result : Among 73 cases of ovarium cancer, the youngest was 13 years and the oldest 90 years. Stage of disease, histopathology and time of surgery influenced survival rate (p=<0,5;CI 95 %). In multivariance analysis, stage of disease and time of surgery were significant (p=<0,05). Stadium Is 5-year survival rate was 95,2 %. Risk of stadium IV was 151,7 times compared to stadium I. Overall survival after 2,6 years (965 days) was 51,1 %; after 5 years 45 %. Conclusion : Survival of ovarium cancer patients was influenced by stage of disease and optimal time of surgery. Key Words : ovarium cancer, 5 year survival rate, stage of disease, optimal time of surgery.
Cermin Dunia Kedokt. 2008; 35(4): 197-202

Assisted Hatching
Dini Budhiarko, Caroline Tan Sardjono,Ferry Sandra
Stem Cell and Cancer Institute, Kalbe Pharmaceutical Company, Indonesia

Abstract The process when an embryo protrudes from zona pelucida is known as the hatching process. This process is a critical stage in the embryonic development because an embryo must pass the hatching process before it can be implanted to endometrium and grown to a fetus. If this critical process fails, then the implantation will not occur and the pregnancy will not survive; the fetus dies and degenerates. The hatching process incorporates several mechanisms that can be manipulated to facilitate the process. The methods commonly known in the assisted hatching methods include zona thinning,

Abstract Information technology (IT) is finding its way into daily clinical work. IT is primarily seen as a tool for providing quality of service, cutting cost and promoting efficiency in every aspect of health care, but improvements of patients' safety are also a driving force. IT-solutions can be utilized both at an administrative and a clinical level, supporting everything from documentation, distribution and patient data storing to workflows, monitoring and decision making. Medical decision support systems are computer programs designed to improve the process and outcome of clinical decision making. An effective decision support system must have accurate data, user-friendly interface, reliable knowledge base, and good inferencing mechanism. This article describes the current use of decision support system and the current evidence of its effectiveness. Our review suggests that there is a chance of using IT to improve the quality of care and maintaining safe practice. Key Words: decision support system clinical decision making evidence based medicine.
Cermin Dunia Kedokt. 2008; 35(4): 226-229

184

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

HASIL PENELITIAN

Croup (Laringotrakeobronkitis)
Anton B. Darmawan
Bagian THT Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman-RSUD Margono Soekarjo, Purwokerto, Jawa Tengah

PENDAHULUAN Croup atau laringotrakeobronkitis akut (LTBA) merupakan penyakit peradangan akut di daerah subglotis larings, trakea, dan bronkus1,2 Penyakit ini merupakan penyebab tersering obstruksi saluran nafas atas pada anak-anak 3-6 dan biasanya ditandai dengan suara serak, batuk kering seperti menggonggong, dan stridor inspirasi.5,7,8 Croup sering diderita anak usia 6 bulan sampai 6 tahun. Puncak insidensi croup kurang lebih 4,6 kasus per 100 anak usia 1 sampai 2 tahun; dan kurang lebih 1,3%-5% anak penderita croup diharuskan rawat inap.3 Ada beberapa peneliti yang mengatakan bahwa di Amerika Serikat croup sering diderita oleh anak usia 1-6 tahun dengan rata-rata usia 18 bulan.9 Puncak insidensi kurang lebih 5 kasus per 100 anak pada tahun kedua kehidupan anak.7,8 Di Rumah Sakit Anak Westmead, New South Wales Australia dalam satu tahun terdapat kurang lebih 1200 kunjungan croup, dan 20 % di antaranya diharuskan rawat inap10 Di luar negeri penelitian-penelitian tentang croup juga sering dilakukan, menunjukkan bahwa kasus croup sering dijumpai di klinik ataupun di rumah sakit.
Tabel 1. Angka kejadian croup di beberapa rumah sakit di luar negeri.

ETIOLOGI Croup terutama disebabkan oleh parainfluenza virus tipe 1, 2, dan 37,8,9, yaitu pada kurang lebih 50 - 75% kasus11. Malhotra dan Krilov mengisolasi parainfluenza virus pada kurang lebih 65% penderita croup.9 Selain parainfluenza virus, virus influenza tipe A, adenovirus, enterovirus, dan respiratory syncytial virus juga ditemukan pada penderita croup.7,8,9 Menurut Ewig, measles virus dapat menyebabkan croup berat terutama pada anak kurang dari dua tahun. Gejala croup terjadi paling sering dua hari setelah exanthem, tetapi dapat terjadi sebelum erupsi kulit. Herpes simplex virus menyebabkan prolonged croup khususnya jika dihubungkan dengan gingivostomatitis.8 Bakteri juga dapat ditemukan pada penderita croup, jika terjadi infeksi sekunder. Umumnya Streptococcus pyogenes, S. pneumoniae, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, dan Moraxella catarrhalis.9 Setelah infeksi virus berlangsung, dapat terjadi infeksi bakteri sekunder oleh organisme yang berasal dari hidung. Pada biakan bakteri yang paling sering ditemukan yaitu Streptococcus hemolyticus, Streptococcus viridans, Staphylococcus aureus, dan Pneumococcus.1 PATOGENESIS Infeksi virus pada croup dimulai dari nasofarings dan menyebar ke epitel respiratorius larings dan trakea. Inflamasi difus, eritema, dan udem berkembang di larings dan dinding trakea, sehingga gerakan pita suara terganggu. Daerah subglotis merupakan bagian yang paling sempit pada saluran nafas anak. Area subglotis ini dikelilingi oleh kartilago, dan setiap pembengkakan di daerah tersebut akan berpengaruh terhadap jalan nafas dan menyebabkan pengurangan aliran udara secara bermakna. Penyempitan jalan nafas menyebabkan stridor inspirasi, dan pembengkakan atau udem di daerah pita suara menyebabkan suara serak.7,9 Dengan berlanjutnya penyakit, lumen trakea menjadi tersumbat oleh sekret yang semula encer lalu kental, dan menjadi krusta, sehingga penderita menjadi lebih sulit bernafas. Usaha mengeluarkan krusta tersebut dengan cara membatukkan, menghasilkan suara batuk yang khas seperti menggonggong/bergema (croupy).1,9

No

Peneliti

Tempat Penelitian

Periode

Jumlah pasien
397 267 648 264 58 1298

1 2 3 4 5 6

Donaldson et al. (2003) Chin et al. (2002) Neto GM et al. (2002) Luria JW et al. (2001) Weber JE et al. (2001)

RS William Beaumont, AS RS Anak Westmead, Australia RS Anak Eastern Ontario, Kanada RS Anak Medical Center, Cincinnatti, AS Hurley Medical Center, Michigan, AS

1/1/1999 - 31/12/ 1999 1/2/2000 31/7/2000 1/10/1998 31/12/2000 1/9/1995 31/12/1997 1/9/1997 1/3/1998 1/10/1996 30/6/1999

Rittchier dan Ledwith (2000) RS Anak Denver, Colorado, AS

Data di atas menunjukkan bahwa angka kejadian croup di luar negeri masih cukup tinggi, sedangkan di Indonesia tidak didapatkan data yang jelas.

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

185

HASIL PENELITIAN
DIAGNOSIS Croup biasanya diawali dengan gejala infeksi saluran nafas atas ringan, seperti demam, pilek, dan batuk ringan.4,7,9 Selanjutnya dapat terjadi obstruksi saluran nafas akibat inflamasi daerah subglotis, dengan gejala suara serak, batuk kering seperti menggonggong (croupy/barky cough), dan stridor inspirasi dengan atau tanpa demam, bahkan respiratory distress.8,9,10 Pemeriksaan klinik dapat menemukan adanya nasofaringitis. Meskipun croup merupakan self-limiting disease, tetapi jika udem subglotis berlanjut akan terjadi kesulitan bernafas, yang ditandai adanya stridor inspirasi. Retraksi supraklavikula, suprasternal, dan interkostal dapat juga terjadi tergantung dari derajat distres respirasinya.7,11 Pada pemeriksaan analisis gas darah didapatkan tekanan parsial CO2 meningkat, tekanan parsial O2 menurun dan pH darah bergeser ke arah asam. Laringoskopi langsung harus dipertimbangkan pada croup yang tidak membaik dan untuk menyingkirkan penyebab obstruksi lainnya.1,7 Pada laringoskopi langsung tampak daerah subglotis berwarna kemerahan difus, licin, dan udem serta adanya sekret kental.1,9 Daerah glotis dan supraglotis dapat berwarna kemerahan tetapi umumnya dalam batas normal. Pipa endotrakea dan alat trakeostomi harus tersedia sebelum laringoskopi dilakukan.1 Ledwith & Rittichier (2000), mengklasifikasikan croup menjadi tiga yaitu: (1) Ringan, jika terdapat batuk menggonggong, tanpa adanya atau riwayat stridor atau retraksi, (2) Sedang, jika ditemukan adanya serak, batuk menggonggong dan riwayat atau adanya stridor inspirasi saat istirahat dan atau retraksi, (3) Berat, jika terdapat gangguan status mental, retraksi berat dan sianosis.4 Westley (1978), mendesain skor croup yang sampai saat ini masih digunakan untuk mengklasifikasikan croup menjadi croup ringan, sedang, dan berat. Croup ringan jika skor croup < 2, sedang jika skor croup 2-7, dan berat jika skor croup 8-17.15 (Tabel 3)
Tabel 3. Skor croup dari Westley 15
Inspiratory stridor - None - At rest, with stethoscope - At rest, no stethoscope Level of consciousness - Normal - Altered Air entry - Normal - Decreased - Severely limited Cyanosis - None - Agitated - At rest Retractions - None - Mild - Moderate - Severe 0 1 2 3 0 4 5 0 1 2 0 5 0 1 2

Gambar 1. Perbandingan gambaran larings normal dengan penderita croup 8.

Pemeriksaan foto polos leher menunjukkan adanya steeple sign, yaitu penyempitan jalan nafas di area subglotis yang terlihat pada penampakan anteroposterior. Daerah hipofarings terlihat lebih lebar pada penampakan lateral.7,8,9 tetapi gambaran radiologis tersebut hanya ditemukan pada 50% kasus; banyak kasus croup yang gambaran radiologisnya dalam batas normal.

Gambar 2. Kiri : Gambaran daerah subglotis normal pada foto polos leher anteroposterior. Kanan: Penyempitan subglotis (steeple sign) akibat udem pada foto polos leher anteroposterior. (Krilov & Malhotra, 2001) 9

Diagnosis Banding Untuk menegakkan diagnosis croup perlu dipikirkan penyakitpenyakit lain sebagai diagnosis banding, seperti, epiglotitis akut, dan benda asing larings.9
CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

186

HASIL PENELITIAN
1. Epiglotitis akut Epiglottitis akut biasanya terjadi pada anak yang lebih tua daripada penderita croup yaitu antara 3-6 tahun biasanya disebabkan oleh H.influenzae. Gejala klinis epiglottitis akut berupa nyeri tenggorok (sore throat), nyeri menelan (odinofagia) yang mengakibatkan sulit menelan (disfagia), suara berubah (muffled voice atau hot potato voice), demam sampai menggigil, dan sesak nafas karena sumbatan jalan nafas. Anak lebih suka posisi duduk, dagu lebih maju dan leher hiperekstensi untuk menjaga agar jalan nafas tetap terbuka.8,15 Kesulitan menelan yang berlebihan mengakibatkan hipersalivasi atau drooling. Sumbatan jalan nafas yang berat mengakibatkan stridor inspirasi. Pada epiglottitis akut tidak dijumpai batuk seperti menggongong.9 Dari pemeriksaan klinis didapatkan suhu tubuh meningkat, takikardi (>100x/mnt), nyeri leher (neck tenderness), dan pembesaran kelenjar limfe leher (cervical lymphadenopathy). Pada pemeriksaan laringoskopi tampak epiglottis bengkak dan berwarna merah terang (cherry-red epiglottis). Pemeriksaan radiologi foto polos soft tissue leher dengan posisi lateral biasanya menunjukkan pembengkakan epiglottis (thumb sign).9,14,15 2. Laringitis difteri Laringitis difteri mempunyai masa inkubasi 1-7 hari. Penderita mengeluh badan lemas, panas subfebris, batuk menggonggong yang timbul mendadak diikuti suara serak dan terasa seperti luka di tenggorok. Pada pemeriksaan dijumpai keadaan umum penderita tampak lemah, suara serak, sesak dengan gejala sumbatan jalan nafas yang progresif berupa stridor inspirasi.1,11 Pada pemeriksaan orofarings tampak selaput putih keabuan pada tonsil, dan dinding farings. Larings tampak kemerahan, dan ditutupi selaput putih keabuan seperti pada farings. Membran melekat erat dan bila dilepaskan mudah berdarah. Pada beberapa kasus, didapatkan limfadenitis dan menyerupai gambaran leher banteng (bull neck).1 3. Benda asing larings Aspirasi benda asing biasanya terjadi pada anak umur 6 bulan - 2 tahun. Jika terdapat riwayat tersedak, batuk paroksismal dan tidak ada tanda infeksi kemungkinan benda asing di laring perlu dipikirkan. Pemeriksaan rontgen serta endoskopi akan memperjelas diagnosis.8,9 4. Udem angioneurotik Udem larings karena proses alergi, mungkin disebabkan karena alergi obat, reaksi transfusi, gigitan serangga, makanan atau bahan yang diinhalasi. Gejala udem larings karena alergi bersifat progresif, dimulai dengan suara serak, berlanjut dengan tanda-tanda peningkatan sumbatan jalan nafas seperti stridor, retraksi, takipneu, dan sianosis.1 Udem larings oleh karena alergi biasanya akut, dengan riwayat baru saja kontak dengan alergen. Biasanya ditemukan juga urtikaria atau angioudem di daerah lain seperti wajah, bibir, tangan dan kaki.1 PENGOBATAN Pengobatan croup tergantung dari stadiumnya; bertujuan untuk mengurangi udem, melunakkan sekret, dan melancarkan jalan nafas.11,14 Prinsip utama pengobatan croup adalah manajemen jalan nafas.7,9 Saat ini standar pengobatan croup meliputi: (1) humidifikasi, meskipun sedikit bukti bahwa pengobatan ini efektif, (2) epinefrin rasemik, dan (3) steroid.16 1. Humidifikasi (mist therapy) Humidifikasi mempunyai efek melunakkan sekret atau mengurangi viskositas sekret sehingga lebih mudah dikeluarkan, selain itu juga mempunyai efek mengurangi inflamasi.3,7,9 Terdapat beberapa jenis terapi humidifikasi yaitu hot mist dan cool mist. Pada hot mist therapy dulu digunakan ketel croup (croup kettles) atau tenda croup (croup tents). Tetapi karena efek pemanasan tersebut dapat membakar wajah, anak menjadi gelisah sehingga mengakibatkan hiperventilasi dan pada akhirnya memperburuk sumbatan jalan nafas maka saat ini hot mist ditinggalkan dan beralih ke cool mist therapy.3 2. Epinefrin rasemik Epinefrin rasemik merupakan campuran 1:1 d-isomer dan l-isomer epinefrin. Mekanisme aksi epinefrin adalah pada reseptor a adrenergik; terbukti menyebabkan vasokonstriksi dan mengurangi udem. Pengurangan udem mukosa larings akan meningkatkan diameter jalan nafas sehingga stridor inspirasi dan retraksi akan berkurang. Mula kerja epinefrin dalam 10-30 menit, dan durasi maksimal aksi kurang lebih 2 jam.7,8,9,11 Dosis 0,5 ml larutan epinefrin rasemik 2,25% dilarutkan dalam 4,5 ml larutan salin.8 Pendapat lain menganjurkan dosis 0,250,75 ml larutan 2,25% epinefrin rasemik dalam 2,5 ml larutan salin yang diberikan secara nebuliser selama kurang lebih 20 menit.7,9 Jika larutan epinefrin rasemik tidak tersedia dapat digunakan campuran 5 ml l-isomer epinefrin dan larutan salin (1:100).9 Epinefrin rasemik baik untuk mengobati croup derajat sedang dan berat. Penderita yang telah diterapi dengan epinefrin rasemik aman untuk dipulangkan jika dalam 3 jam, tidak terdapat stridor saat istirahat, udara yang masuk normal, kesadaran baik atau jika skor croup <2. 8,9 Jika terdapat stridor persisten atau skor croup > 2, penderita harus dirawat.8

188

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

HASIL PENELITIAN
3. Kortikosteroid Sebelum steroid digunakan secara luas untuk pengobatan croup, lebih dari 15% penderita croup harus dirawat di rumah sakit.4 Sejak adanya penelitian meta analisis tentang penggunaan steroid pada penanganan croup, saat ini penggunaan steroid merupakan terapi standar.8 Steroid mempunyai efektifitas yang baik untuk pengobatan croup derajat ringan, sedang maupun berat.4 Mekanisme aksi kortikosteroid masih belum jelas; diduga sebagai antiinflamasi, sehingga menurunkan udem subglotis dan memperbaiki gejala klinik.7,8 Penelitian meta-analisis Ausejo dkk. menyebutkan bahwa steroid efektif memperbaiki gejala croup dalam 6 - 12 jam setelah pengobatan. Dari penelitian tersebut juga didapatkan perbaikan skor croup secara bermakna, penurunan penggunaan adrenalin sebagai terapi tambahan, dan penurunan angka perawatan di rumah sakit.5 Preparat yang sering dipakai untuk pengobatan croup yaitu deksametason dan budesonid. Deksametason merupakan steroid dengan efek antiinflamasi yang poten dan efek terapi jangka panjang karena mempunyai waktu paruh 36 sampai 54 jam.4 Dosis deksametason 0,6 mg/kg bb. (maksimal 10 mg); tetapi penelitian Geelhoed membuktikan bahwa dosis deksametason 0,15 mg/ kg bb sama efektifnya.17 Deksametason dapat diberikan secara oral, parenteral ataupun secara nebuliser.17-20 Pemberian oral sama efektifnya dengan pemberian intramuskular dalam mengobati croup sedang sampai berat. Keuntungan pemberian secara oral yaitu lebih mudah didapat dan diberikan, selain itu nyeri dan risiko yang berhubungan dengan penyuntikan dapat dihindari.4,17 Budesonid diberikan secara nebuliser, mempunyai efek yang lebih cepat daripada deksametason peroral yaitu kurang lebih 2 sampai 4 jam. Keuntungan lain nebuliser budesonid yaitu efek sistemik minimal, penderita lebih cepat keluar dari unit rawat darurat, dan mengurangi lamanya perawatan di rumah sakit. Dosis budesonid 2 mg dilarutkan dalam 4 ml larutan salin; dapat diulang dengan dosis 1 mg budesonid dilarutkan dalam 2 ml larutan salin tiap 12 jam.21,22 Kombinasi budesonid nebuliser dengan deksametason peroral mempunyai efek yang lebih cepat daripada budesonid saja.23 4. Heliox Merupakan campuran helium dan oksigen. Helium merupakan gas dengan densitas dan viskositas rendah; dapat menurunkan tahanan aliran udara, meningkatkan aliran udara dan menurunkan kerja otot pernafasan.6,7,9 Kombinasi helium dengan oksigen akan meningkatkan oksigenasi darah. Pasien croup berat yang menghirup campuran gas helium dan oksigen akan menjadi nyaman dan tidak memerlukan intubasi.9 5. Intubasi endotrakeal atau Trakeostomi Intubasi atau trakeostomi jarang dilakukan sejak penggunaan steroid secara luas. Intubasi endotrakeal atau trakeostomi dilakukan pada pasien croup berat yang tidak responsif terhadap pengobatan sebelumnya. Keputusan melakukan intubasi endotrakeal atau trakeostomi berdasar pada kriteria klinik adanya hiperkarbia dan gagal nafas mengancam termasuk peningkatan stridor inspirasi, frekuensi respirasi, denyut jantung, adanya retraksi, tanda-tanda sianosis atau terjadi perubahan status mental.1,7,9 Karena udem larings, maka pipa endotrakeal yang digunakan sebaiknya dua ukuran lebih kecil daripada yang digunakan untuk anak sehat untuk mencegah penekanan berlebihan pada trakea yang dapat berakibat nekrosis dan stenosis subglotis.7
KEPUSTAKAAN
1. 2. 3. 4. 5. 6. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara 1994. Cherry JD, Fugin RD. Textbook of Pediatric Infectious Diseases 2nd ed. Philadelphia:WB Saunders Co, 1987: 237-247. Neto GM, Kentab O, Klassen TP, Osmond MH. A Randomized controlled trial of mist in the acute treatment of moderate croup. Acad Emerg Med 2002; 9: 873-879. Rittichier KK, Ledwith CA. Outpatient treatment of moderate croup with dexamethasone intramuscular versus oral dosing. Pediatrics 2000; 106: 1344-1348. Ausejo M, Saenz A, Kellner JD, Johnson W, Moher D, Klassen TP, et al. The effectiveness of glucocorticoids in treating croup: meta-analysis. BMJ 1999; 319: 595-600. Weber JO, Chudnofsky CR, Younger JG, Lakin GL, Boczar M, Wilkerson MD, et al. A randomized comparison of helium-oxygen mixture (Heliox) and racemic epinephrine for the treatment of moderate to severe croup. Pediatrics 2001; 107: 1-4. Rosekrans JA. Viral croup: Current diagnosis and treatment. Mayo Clin Proc 1998; 73: 1102-1107. Ewig JM. Croup. Pediatric Annals 2002; 31: 125-130. Krilov LR, Malhotra A. Viral croup. Pediatric Rev 2001; 22: 5-12.

7. 8. 9.

10. Chin R, Browne GJ, Lam LT, McCaskill ME, Fasher B, Hort J. Effectiveness of a croup clinical pathway in the management of children with croup presenting to an emergency department. J Paediatr Child Health 2002; 38: 382-387. 11. Bailey BJ. Head and Neck Surgery-Otolaryngolgy 2nd ed. Lippincott-Raven, Philadelphia, New York, 1998. 12. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear, Nose, and Throat Diseases: a pocket reference 2nd rev. ed. Thieme Medical Publ. Inc, New York, 1994. 13. Rudolph, AM, Kamli RK. Rudolphs Fundamentals of Pediatrics 2nd ed. Appleton and Lange USA 1998. 14. Hodge KM, Ganzal TM. Diagnostic and therapeutic efficiency in croup and epiglottitis. Laryngoscope 1987; 97: 621-625. 15. Westley CR, Cotton EK, Brook JG. Nebulized racemic epinephrine by IPPB for the treatment of croup: a double blind study. Am J Dis Child 1978; 132: 484-487. 16. Frantz TD, Rasgon BM, Querenberry CP Jr. Acute epiglottitis in adults: analysis of 129 cases. JAMA 1994; 272: 1358-1360. 17. Nakamura H, Tanaka H, Matsuda A, Fukushima E, Hasegawa M. Acute epiglottitis: a review of 80 patients. J Laryngol Otol 2001; 115: 31-34 18. Donaldson D, Poleski D, Kripple E, Filips K, Reetz L, Pascual RG, et al. Intramuscular versus oral dexamethasone for the treatment of moderate to severe croup: a randomized double blind trial. Acad Emerg Med 2003; 10: 16-21. 19. MacDonald WBG, Geelhoed GC. Management of childhood croup. Thorax 1997; 52: 757-759. 20. Luria JW, DiGuilio GA, Gonzales JA. Oral dexamethasone led to fewer treatment failures than did nebulized dexamethasone or placebo in children with mild croup. ACP Journal Club 2002. 21. Luria JW, Gonzales JA, DiGuilio GA, McAneney CM, Olson JJ, Ruddy RM. Effectiveness of oral or nebulized dexamethasone for children with mild croup. Arch Pediatr Adolesc Med 2001; 155: 1340-1345. 22. Godden CW, Campbell MJ, Hussey M, Cogwell JJ. Double blind placebo controlled trial of nebulized budesonide for croup. Arch Dis Child 1997; 76: 155-158. 23. Johnson DW, Jacobson S, Edney PC, Hedfield P, Mundy ME, Schuk S. A comparison of nebulized budesonide, intramuscular dexamethasone, and placebo for moderately severe croup. N Engl J Med 1998; 339: 498-503.

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

189

HASIL PENELITIAN

Pengaruh Bising
terhadap Konsentrasi Belajar Murid Sekolah Dasar
M. Arief Purnanta, Soepomo Soekardono, BU Djoko Rianto, Anton Christanto
SMF Teliga Hidung danTenggorok RS Dr Sardjito-Fakultas Kedkteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia

PENDAHULUAN Bising didefinisikan sebagai bunyi tidak dikehendaki yang merupakan aktivitas alam atau buatan manusia.1 Suara yang dihasilkan oleh suatu sumber bunyi bagi seseorang atau sebagian orang merupakan suara yang disenangi, namun bagi beberapa orang lainnya justru dianggap sangat mengganggu. Bising yang didengar sehari-hari berasal dari banyak sumber baik dekat maupun jauh.2 Pada tahun-tahun terakhir ini diberitakan bahwa sekitar 14,7 juta penduduk Amerika Serikat terpajan kebisingan yang mengancam pendengaran karena pekerjaan, sedangkan 13,5 juta orang tanpa disadari terpajan kebisingan pada tingkat berbahaya, seperti bising dari pesawat terbang, truk, bis, mobil, sepeda motor, alat-alat musik, pemotong rumput dan alat-alat dapur.3 Menurut Kryter (1996), tingkat kebisingan di jalan raya dapat mencapai 70-80 dB, sedangkan di sekitar jalur kereta api mencapai 90 dB dan di sepanjang jalur take off pesawat dapat mencapai 110 dB.5 Basirudin (2003) pada penelitiannya mendapatkan bahwa rerata intensitas bising kendaraan bajaj adalah sebesar 91 dB dan survai Shield (2005) melaporkan bahwa 86% sumber bising di lingkungan sekolah adalah berasal dari mobil.6,7 Hal ini dapat merepresentasikan intensitas bising di jalan raya, dengan volume kendaraan yang sangat padat dengan jenisnya yang beragam. Pada suasana kelas yang tenang dan jauh dari jalan raya tingkat kebisingannya mencapai 40-50 dB; sama dengan yang dilaporkan Jonsdotir (2002) bahwa sebagian besar ruangan kelas mempunyai tingkat kebisingan 50 dB.8 Di bidang THT, bising ini tidak hanya berdampak pada gangguan pendengaran, tetapi dapat juga berdampak pada gangguan komunikasi.11 Menurut Atmosoewarno (2003), komunikasi verbal (lisan) merupakan sarana informasi dan komunikasi yang paling efektif.12

Suara juga dapat digunakan untuk mengekspresikan berbagai keadaan emosional manusia, untuk meningkatkan kemampuan intelektual, spiritual dan sosial, sehingga suara guru yang tidak mengalami gangguan dibutuhkan untuk menyampaikan informasi yang jelas kepada murid-muridnya. Sekolah harusnya masuk ke Zona B berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 718/MEN.KES/PER/XI/1987 tentang kebisingan yang berhubungan dengan kesehatan4. Persyaratan untuk zona B ditetapkan sebesar 45 dB (maksimum yang dianjurkan) sampai 55 dB (maksimum yang diperbolehkan).4 Sayangnya, distribusi lokasi SD cukup tersebar, mulai dari daerah perkotaan sampai pedesaan, dari pinggir jalan raya sampai ke tengah perumahan, bahkan di sekitar jalur kereta api dan jalur take off pesawat terbang.13 Akibat kepadatan volume kendaraan di perkotaan dan pinggir jalan raya yang lebih padat dibandingkan di pedesaan dan di perkampungan, dapat diasumsikan bahwa tingkat kebisingannya juga lebih tinggi. Menurut Gabriel (1990) tingkat kebisingan jalan pada umumnya adalah 60 dB sampai 80 dB dengan rata-rata 70 dB.1 Berdasarkan hal tersebut di atas dapat disusun perumusan masalah sebagai berikut: 1. Tingkat kebisingan sekolah di sekitar jalan raya meningkat akibat arus transportasi. 2. Kebisingan dapat mengganggu komunikasi dalam proses belajar mengajar. 3. Kebisingan dapat mengganggu konsentrasi belajar murid. Pertanyaan penelitian yang ingin dijawab: apakah tingkat konsentrasi belajar murid sekolah di sekitar jalan raya lebih dipengaruhi bising lingkungan dibanding murid sekolah yang jauh dari jalan raya? Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pengaruh bising lingkungan terhadap tingkat konsentrasi belajar murid yang bersekolah di sekitar jalan raya dibanding murid sekolah yang jauh dari jalan raya.

190

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

HASIL PENELITIAN
Bising Bising didefinisikan sebagai bunyi yang tidak dikehendaki yang merupakan aktivitas alam atau buatan manusia.1 Pengertian lain adalah bunyi yang tidak diinginkan dan dirasa menggangu pendengaran.23 Bising secara subyektif adalah suara yang tidak disukai atau tak diinginkan.2 Batasan bising di atas lebih diarahkan kepada bising sehari-hari yang sumbernya berbeda, misalnya lalu lintas darat, laut, udara, keramaian di stasiun, dan pasar. Pengaruh bising terhadap kesehatan jasmani terbagi menjadi dua : 1) Bising yang berpengaruh pada indra pendengaran. 2) Bising yang berpengaruh bukan pada indra pendengaran.24 Akibat langsung yang dirasakan pada tempat yang bising ialah : 1) Sukar mendengar atau menangkap pembicaraan orang lain. 2) Terdengar suara nyaring atau berdengung di kepala/telinga selama beberapa jam setelah meninggalkan lingkungan kerja yang bising. 3) Ketulian sementara, yaitu telinga terasa tersumbat setelah meninggalkan lingkungan bising.25 Bising yang masuk di ruangan kelas mengakibatkan murid sulit mendengar dan berkonsentrasi terhadap pelajaran yang diberikan oleh guru.27 Survei Shield dan Dockrell di London (2005) pada 142 sekolah dasar, menemukan 65% sekolah dasar terpajan bising melebihi standar WHO (55 dB) ; 86% dari sumber bising tersebut berasal dari jalan raya, sedangkan sumber bising jalan raya tersebut 85% disebabkan oleh suara mesin mobil, disusul 55% dari bising pesawat udara yang melintas di atas lingkungan sekolah. Sutherland dan Lubman (2001) menyatakan bahwa lebih dari 60% kegiatan belajar-mengajar di kelas melibatkan pendengaran, partisipasi dan pembicaraan antar guru dan murid, oleh sebab itu intensitas suara pada saat berbicara harus lebih besar 15 dB dari intensitas bising lingkungan agar dapat didengar oleh lawan bicara.28 Jonsdotir (2002) mendapatkan bahwa rerata intensitas suara guru pada saat mengajar adalah sebesar 69,5 dB dari 65 dB yang direkomendasikan oleh American Speech-LanguageHearing Association (ASHA).8 Apabila bising ruangan kelas lebih bising dari suara guru maka dapat dipastikan informasi pelajaran yang disampaikan kepada murid menjadi terhambat. Tingkat kebisingan terbagi dalam beberapa kategori yaitu: menulikan, sangat pekak, kuat, sedang, tenang dan sangat tenang1 ; lingkungan sekolah seharusnya dalam kategori tingkat kebisingan tenang sampai dengan sedang. (Gabriel 1990) Dampak Kebisingan Kids (1998) cit. Geary (1998) pada penelitian di Munich Airport melaporkan bahwa kebisingan pesawat sangat mempengaruhi proses belajar mengajar di sekolah yakni pada kemampuan membaca (learning ability) dan cognitive ability.31 Penelitian Lang (1998) pada Cornell University Study menjelaskan bahwa pada anak usia kelas III dan IV didapatkan dampak kesehatan dan psikologis tingkah laku yang dapat berlanjut sepanjang hidupnya; akan terjadi stres dan diikuti oleh gejala/keadaan lain seperti kenaikan tekanan darah karena kenaikan hormon stres (epinefrin, norepinefrin, kortisol). Kebisingan juga berpengaruh pada proses membaca, mendengar dan bicara.32 Tes Konsentrasi Belajar Tes konsentrasi belajar pada penelitian ini menggunakan metode tes angka acak yang biasa dipakai dalam penelitian lain sejenis.44,45 Tes Konsentrasi Angka Acak cara ini menggunakan selembar kertas berisi angka 1 sampai 60 yang disusun secara acak. Pengelompokan angka acak ini secara garis besar terbagi menjadi dua yaitu kelompok angka ganjil yang berada di sebelah kiri dan angka genap di sebelah kanan dan disusun acak. Pada anak-anak diberikan 1 lembar kertas berisi kumpulan angka-angka acak ini; mereka diminta agar melingkari angka 1 pada lembar tes tersebut kemudian dihubungkan dengan garis ke angka 2 dan seterusnya hingga waktu tes berakhir. Tes diberikan secara individual dengan waktu 1 menit. Tingkat konsentrasi belajar dinilai dari jumlah angka acak yang dapat dihubungkan dengan benar dalam waktu 1 menit. Profil Sekolah Dasar di Kota Yogyakarta Jumlah SD baik negeri maupun swasta di Propinsi DIY berjumlah 2.135 sekolah dengan 14.666 ruang kelas, sedangkan di Kota Yogyakarta, jumlah SD sebanyak 225. Ruang kelas biasanya berukuran 5 x 10-15 meter dengan jumlah murid tiap kelas rata-rata sebanyak 33,4 orang. Pada saat proses belajar mengajar, tidak satupun sekolah dasar yang menyediakan alat pengeras suara sebagai alat bantu mengajar.13 Bentuk bangunan SD hampir sama yaitu memiliki sejumlah jendela atau bahkan 1/3 atas temboknya terdiri dari jendela terbuka. Jendela ini berfungsi sebagai ventilasi udara, tetapi sayangnya bising dari luar ruangan lebih mudah masuk ke dalam ruangan kelas. Terdapat juga halaman yang berfungsi untuk tempat upacara, arena olah raga dan arena bermain.13

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

191

HASIL PENELITIAN
Sebagian besar sekolah berada di daerah dengan tingkat kebisingan sedang (55%). Sekitar 30% sekolah terletak di daerah dengan kepadatan lalu lintas yang cukup ramai (jalan raya), sisanya terletak di daerah yang agak jauh dari keramaian (pemukiman/jalan kecil). Jalan yang termasuk ramai seperti Prawirotaman, Kolonel Sugiyono, AM Sangaji, Wolter Monginsidi dan sebagainya, sedangkan jalan yang termasuk sepi seperti jalan Pasiraman, SD Tegal Mulyo, jalan Bener dan sebagainya. Daftar jumlah sekolah dasar dan alamatnya dapat dilihat pada lampiran.13 Kerangka Konsep B. Populasi dan Sampel Sampel penelitian ini adalah murid yang terpajan maupun tidak terpajan bising lingkungan, yang belajar di sekolah dasar di wilayah Kota Yogyakarta dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi tertentu. Cara pengambilan sampel adalah secara penunjukan langsung sekolah dasar yang memenuhi syarat yaitu SD yang berada di sekitar jalan raya berdasarkan distribusi kecamatan di kota Yogyakarta.47 Sekolah kontrol ditentukan secara langsung pada sekolah yang berada jauh dari pinggir jalan raya. Kriteria sekolah sampel sesuai dengan kriteria Sutherland dan Lubman yaitu; sekolah dengan jarak dari pinggir jalan raya sejauh kurang dari 150 meter dan langsung berhadapan dengan jalan raya dengan intensitas bisingnya minimal 50 dB.28 Kriteria sekolah kontrol adalah sekolah dengan jarak dari pinggir jalan raya sejauh lebih dari 150 meter dengan intensitas bisingnya kurang dari 50 dB.28 Besar sampel pada penelitian ini ditentukan berdasarkan rumus perbedaan rerata 2 populasi seperti dibawah ini:

Gambar 6: Skema kerangka konsep

METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian kohort merupakan penelitian epidemiologik analitik non-eksperimental yang mengkaji hubungan antara faktor risiko dengan efek. Pada penelitian ini desain penelitian yang digunakan adalah kohort prospektif yaitu subyek penelitian diamati dalam kurun waktu tertentu terhadap suatau faktor risiko kemudian dipelajari efek yang terjadi, (Gambar7).46

n adalah jumlah sampel, : 5%, tingkat kemaknaan 5% ditetapkan oleh peneliti untuk tingkat kesalahan tipe I (besarnya peluang untuk menolak H0 pada sampel, padahal pada populasi H0 benar), sebagai tingkat kemaknaan statistik yang diinginkan; : 20% ditetapkan oleh peneliti untuk kesalahan tipe II (besarnya peluang untuk tidak menemukan perbedaan yang bermakna dalam sampel, padahal pada populasi perbedaan itu ada); power atau kekuatan yang mempunyai nilai (1-) = 80%, yang berarti penelitian ini mempunyai peluang sebesar 80% untuk mendeteksi perbedaan penurunan konsentrasi belajar, apabila perbedaan tersebut memang ada di populasi.48 Diperoleh data X1 (rata-rata hasil kemampuan membaca pada kondisi bising tinggi = 100,6; X2 (rata-rata hasil kemampuan membaca pada kondisi bising rendah = 105,2; Simpang baku kemampuan membaca pada kondisi bising tinggi adalah 10. Data ini diperolah dari penelitian Haines et al. (2001).14 Jumlah sampel yang diperoleh berdasarkan perhitungan besar sampel minimal untuk masing-masing kelompok adalah 103. Dengan demikian, jumlah total sampel (subyek) penelitian yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah 206 orang. C. Kriteria Inklusi dan Ekslusi Kriteria inklusi kelompok terpajan: 1. Murid yang belajar di SD yang terletak di sekitar jalan raya dengan rata-rata tingkat kebisingan lebih 50 dB. 2. Telah belajar selama minimal 3 tahun di sekolah tersebut. 3. Bersedia mengikuti penelitian.

Gambar 7. Diagram alur penelitian

192

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

HASIL PENELITIAN
Kriteria inklusi kelompok kontrol: 1. Murid yang belajar di SD yang terletak jauh dengan jalan raya dengan rata-rata tingkat kebisingan kurang dari 50 dB. 2. Telah belajar selama minimal 3 tahun di sekolah tersebut. 3 Bersedia mengikuti penelitian. Kriteria eksklusi kelompok terpajan dan kontrol: 1. Tempat tinggal di sekitar jalan raya. 2. Terdapat infeksi telinga tengah kronik. D. Prosedur Penelitian Pengukuran tingkat kebisingan lingkungan menggunakan Sound level meter yang diukur pada saat murid sedang mengerjakan tes konsentrasi. Alat ukur bising yang digunakan adalah precision sound level meter (SLM) merek NTI minianalyzer dengan tingkat ketepatan sebesar 0,1 dB. Pengukuran dilakukan di tiap ruangan kelas 4 yang dipakai dalam penelitian ini, sedangkan pengukuran konsentrasi belajar dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu pada awal tahun dan akhir tahun pelajaran. F. Instrumen Pengumpulan Data 1. Murid sekolah dasar yang telah memenuhi kriteria inklusi, dan orang tua murid setuju mengikuti penelitian dan telah menandatangani informed consent dibagi menjadi kelompok terpajan dan kelompok kontrol. Pengambilan data identitas, jenis kelamin, umur dan pendidikan orang tua, diambil melalui pengisian kuesioner. 2. Pengukuran tingkat kebisingan dilakukan di ruangan kelas SD saat proses belajar mengajar berlangsung dengan menggunakan precision sound level meter (SLM) merek NTI minianalyzer. 3. Pengukuran tingkat konsentrasi murid diambil dari 2 kali hasil tes konsentrasi. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karekteristik Subyek Pemilihan subyek pada penelitian ini diupayakan secara kompromis agar mendapatkan pasien atau subyek yang homogen tetapi cukup realistik, sehingga hasil dapat digeneralisasi untuk populasi yang lebih luas. Subyek penelitian ini dipilih dari murid sekolah dasar yang terletak di daerah pinggir jalan raya dan yang jauh dari pinggir jalan raya serta berada dalam wilayah Kota Yogyakarta. Dalam memilih subyek penelitian peneliti berusaha memenuhi syarat-syarat: (1) Spesifik dan jelas sehingga benar-benar membatasi subyek yang harus dikeluarkan karena tidak memenuhi kriteria minimal; (2) Sensitif sehingga menghindari kesalahan subyek yang seharusnya masuk malah dikeluarkan; (3) Pasti (tidak mendua) sehingga bisa dilakukan secara seragam oleh segenap tim peneliti. Subyek pada penelitian ini sebanyak 212 orang, dibagi 2 kelompok, 106 orang dalam kelompok murid yang terpajan bising dan berasal dari 5 sekolah, dan 106 orang dalam kelompok murid yang tidak terpajan bising dan berasal dari 6 sekolah. Data demografi dan karakteristik umum pasien dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2 Data karakteristik umum subyek penelitian

Gambar 8: Skema prosedur penelitian

E. Variabel dan Batasan Variabel Variabel bebas dalam penelitian ini adalah tingkat kebisingan lingkungan sekolah yang merupakan tempat subyek penelitian belajar, yaitu sekolah yang berada di sekitar jalan raya (jarak dari pinggir jalan sejauh kurang dari 150 meter) dan langsung berhadapan dengan jalan, sesuai dengan kriteria Sutherland dan Lubman (2001), dengan tingkat kebisingan ruangan kelas di atas 50 dB untuk sekolah dengan kategori bising dan di bawah 50 dB untuk kategori sekolah tidak bising.4,28 Yang dimaksud dengan jalan raya pada penelitian ini adalah jalan yang dapat dilalui oleh segala jenis kendaraan secara rutin, terutama kendaran umum seperti bis kota. Variabel tergantung adalah konsentrasi belajar yang diambil dari hasil tes konsentrasi awal tahun ajaran dan akhir tahun ajaran, selain dari pada itu diukur pula variabel bebas lain seperti jenis kelamin dan pendidikan orang tua karena mungkin dapat mengganggu hasil penelitian.

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

193

HASIL PENELITIAN
Dalam tabel 2 dapat dilihat penyebaran karekteristik subyek pada kedua kelompok merata, semua variabel pada kedua kelompok, mempunyai nilai p > 0,05 (tabel 2). Dengan demikian subyek pada kedua kelompok penelitian ini adalah homogen. B. Pengukuran Tingkat Kebisingan Rerata hasil pengukuran intensitas bising pada sekolah dasar yang terpajan bising jalan raya sebesar 57,2 dB (SD 3,9), sedangkan di sekolah dasar yang tidak terpajan bising jalan raya adalah sebesar 48,3 dB (SD 2,4). Kedua kelompok layak dibandingkan karena berdasarkan uji t, perbedaan rerata intensitas bising antara kedua kelompok tersebut adalah bermakna (p=0,001). (tabel 3).
Tabel 3. Data intensitas bising ruang kelas (dB)

C. Skor Tes Konsentrasi Hasil tes konsentrasi dilakukan dua kali yaitu pada awal (tabel 4) dan akhir tahun ajaran (tabel 5). Pada awal tahun ajaran, dibandingkan skor konsentrasi siswa pada kelompok sekolah yang terpajan bising dan yang tidak terpajan bising. Terdapat perbedaan bermakna p = 0.047 (p <0.05). (tabel 4).
Tabel 4. Hasil Pengukuran skor konsentrasi pada awal tahun ajaran.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa intensitas bising di sekolah dasar yang terletak jauh dari jalan raya sudah mendekati ambang batas maksimum yang diperkenankan, sedangkan untuk sekolah dasar yang dekat dengan jalan raya nilainya melebihi ambang batas yang diperkenankan; hanya sebagian kecil (15%) sekolah dasar yang berada jauh dari jalan raya.13 Artinya bila dilakukan generalisasi hasil penelitian ini maka mungkin sekitar 85% sekolah dasar di Kota Yogyakarta mempunyai tingkat kebisingan melebihi batas ambang kebisingan lingkungan yang diperkenankan. Hasil ini serupa dengan penelitian Croskey & Devens (1975) cit. Jonsdotir (2003) yang hanya menemukan 1 dari 9 sekolah yang memenuhi kriteria tingkat kebisingan 40-50 dB.49 Hal serupa diperoleh dari penelitian Sanders (1965) cit. Jonsdotir (2003) : 75% sekolah TK mempunyai tingkat kebisingan lebih dari 65 dB.49 Penelitian Modley (1989) di SD Austria menemukan rerata intensitas ruang kelas sebesar 65,3 (47,5 - 81,3) dB.50 Idealnya pengukuran tingkat kebisingan sekolah dilakukan selama aktivitas belajar mengajar berlangsung. Pada penelitian ini pengukuran bising ruang kelas berlangsung sekitar 5-10 menit pada masing-masing ruangan kelas, pada jam yang hampir bersamaan di semua sekolah yaitu pada pukul 9-11 pagi. Asumsinya pada jam-jam tersebut keadaan jalan raya sudah mulai stabil (tidak terjadi lonjakan akibat saat berangkat sekolah, berangkat kerja dan sebagainya, sebaliknya setelah jam tersebut sudah mulai terjadi arus pulang dari sekolah maupun kantor). Dengan asumsi tersebut diharapkan rerata bising minimal dapat ditentukan. Bising sekolah dapat lebih tinggi dari rerata bising yang diperoleh pada penelitian ini.

Setelah 2 semester, pada akhir tahun ajaran, siswa yang sama pada SD yang sama kembali menjalani tes konsentrasi. Hasil skor tes konsentrasi ke dua ternyata naik pada dua kelompok SD baik yang terpajan bising maupun yang tidak terpajan bising dibandingkan skor tes konsentrasi pada awal tahun ajaran, perbedaan kedua skor konsentrasi pada 2 kelompok tersebut tetap berbeda bermakna (p = 0.001). (tabel 5).
Tabel 5. Hasil Pengukuran skor konsentrasi pada akhir tahun ajaran

Tabel 4 dan tabel 5 menunjukkan bahwa hasil tes konsentrasi pada awal semester dan akhir semester pada kelompok tidak terpajan bising lebih baik dibandingkan kelompok terpajan bising. Bising meningkatkan kadar dopamin korteks prefrontal sehingga terjadi hambatan pada kontrol voluntary terhadap pemusatan perhatian sehingga proses pemusatan perhatian akan terganggu.36 Tingkat konsentrasi akan meningkat berdasarkan latihan dan pengalaman,43 sehingga pada 2 kelompok tersebut terdapat kenaikan tingkat konsentrasi pada akhir semester dibandingkan awal semester. Kelompok tidak terpajan bising mengalami kenaikan yang lebih tinggi dibandingkan kelompok yang terpajan bising. Hal ini dapat dijelaskan dengan teori bahwa bising menghambat proses pemusatan perhatian.36

194

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

HASIL PENELITIAN
D. Hubungan antara lama pajanan bising disekolah dengan tingkat konsentrasi Hubungan antara faktor risiko bising (variabel bebas) dengan tingkat konsentrasi (variabel tergantung) pada studi kohort dapat ditentukan dengan mencari nilai risiko relatif. Risiko relatif (RR) disebut pula rasio risiko dapat diketahui dengan membandingkan tingkat konsentrasi subyek penelitian dengan faktor risiko bising dengan tingkat konsentrasi kelompok tanpa faktor risiko (tidak bising). Tabel 2x2 menunjukkan hasil pengamatan pada studi kohort. Pada awal tahun ajaran baru, didapatkan Risiko relatif 2,2 artinya kelompok sekolah yang terpajan bising mempunyai risiko akan mempunyai tingkat konsentrasi yang kurang, sebesar 2,2 kali dibandingkan dengan sekolah yang tidak terpajan bising (tabel 6).
Tabel 6. Kategori tingkat konsentrasi berdasarkan hasil tes konsentrasi 1

E. Hubungan antara tingkat konsentrasi dengan beberapa variabel perancu Variabel perancu (confounding) adalah jenis variabel yang berhubungan (asosiasi) dengan variabel bebas dan berhubungan dengan variabel tergantung, tetapi bukan merupakan variabel antara. Identifikasi variabel perancu ini amat penting karena akan bisa berakibat salah kesimpulan. Variabel perancu dalam penelitian ini adalah jenis kelamin, lama studi, pendidikan ortu dan les privat. Pada tinjauan pustaka selain pajanan bising ternyata keempat variabel perancu ini dapat mempengaruhi tingkat konsentrasi siswa SD. Variabel perancu tersebut tidak dapat disingkirkan dengan desain penelitian sehingga dilakukan teknik statistik analisis multivariat. Dengan tehnik ini dapat dilihat peran masing masing variabel bebas, termasuk perancu, terhadap tingkat konsentrasi siswa SD yang dinilai dua kali dalam kurun waktu 2 semester, yakni pada awal tahun ajaran (tingkat konsentrasi 1) dan akhir tahun ajaran (tingkat konsentrasi 2). (tabel 8).
Tabel. 8. Hubungan antara tingkat konsentrasi dengan variabel perancu

Pada akhir tahun ajaran, didapatkan Risiko relatif 18 artinya pelajar di kelompok sekolah yang terpajan bising mempunyai risiko kurang konsentrasi, 18 kali dibandingkan dengan pelajar di kelompok sekolah yang tidak terpajan bising (tabel 7).
Tabel 7. Kategori tingkat konsentrasi berdasarkan hasil tes konsentrasi 2

Risiko dalam hal ini pajanan bising di sekolah terhadap tingkat konsentrasi pada awal dan akhir tahun naik (RR 2,22 menjadi 18). Ada teori yang menyatakan bahwa bising akan menyebabkan kenaikan kadar dopamin pada korteks prefrontal yang selanjutnya menyebabkan gangguan fungsi memori. Asumsinya bising akan menyebabkan siswa mengeluarkan banyak energi untuk memilih dan berkonsentrasi pada salah satu stimulus yang ada untuk diproses lebih lanjut di memori. Gangguan memori ini akan berdampak sulit meningkatkan konsentrasi, sehingga kelompok terpajan bising cenderung tidak dapat meningkatkan skor konsentrasi selama 2 semester. Penelitian Hanies et al. (2001) pada sekolah-sekolah di sekitar bandara menyatakan bahwa lama pajanan bising pesawat terbang dalam jangka waktu 1 tahun akan meningkatkan gangguan perhatian atau konsentrasi karena tidak ada proses adaptasi.14 Lama pajanan bising jalan raya di lingkungan sekolah selama 2 semester berpengaruh meningkatkan risiko kurang konsentrasi pada murid.

Pada tabel 8 terlihat pada tingkat konsentrasi 1 hanya lama studi yang mempunyai hubungan bermakna (p < 0,05). Sesuai dengan pendapat Wickens cit. Veenstra (1995), faktor usia ikut berpengaruh dalam kemampuan konsentrasi individu karena kemampuan konsentrasi tumbuh dan berkembang sesuai dengan usia individu.42 Untuk tingkat konsentrasi 2 hanya jenis kelamin yang memiliki hubungan yang bermakna. Hal tersebut sesuai pendapat Saminah (1997), perbedaan jenis kelamin anak seringkali menunjukkan perbedaan karakteristik belajar anak. Anak perempuan akan lebih cepat memasuki tahap keremajaannya dibandingkan anak laki laki. Anak perempuan lebih cepat mengenal hidup teratur sehingga kesan umum anak perempuan lebih mudah diatur dan lebih mudah mandiri.51

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

195

HASIL PENELITIAN
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Bising dan lamanya pajanan bising jalan raya pada lingkungan sekolah berpengaruh terhadap penurunan tingkat konsentrasi belajar murid. B. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjut dengan waktu penelitian yang lebih lama dan pengukuran tingkat bising lingkungan sekolah dilakukan sepanjang jam pelajaran berlangsung. Mengingat tingginya risiko relatif pada kelompok sekolah yang terpajan bising dalam menurunkan konsentrasi, maka dalam menentukan lokasi sekolah perlu dipertimbangkan faktor kebisingan lingkungan sekitar.
DAFTAR PUSTAKA 1. Gabriel I.F. Bioakustik. Fisika Kedokteran, Departemen Fisika Universitas Udayana Denpasar Bali. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1990; 89-90. 2. Fox MS. Industrial Noise Exposures and Hearing Loss. Dalam Ballenger JJ, eds. Disease of Nose, Throat and Ear. Philladelphia: Lea Fabiger, 1989; 13: 1062-82. 3. Holmes G, Singh BR. Theodore L. Handbook of Environmental Management and Technology. John Wiley & Sons Inc. New York, 1993:415-426. 4. Wiyadi MS. Kurang Dengar karena Kebisingan sebagai Salah Satu Penyakit akibat Kerja. Kumpulan Naskah Ilmiah Pertemuan Ilmiah Tahunan PERHATI, Malang 1996: 100-111. 5. Kryter KD. Handbook of Hearing and the Effect of Noise. New York Academic Press. 1996. 6. Basirudin J. Pengaruh Bising dan Getaran Bajaj pada Sistem Pendengaran dan Keseimbangan Pengemudinya. Disertasi. Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. 2003. 7. Shield BM, Dockrell JE. Environmental Noise and Childrens Academic Attainments. ASA/CAA 05 Meeting. Vancouver, Canada, 2005. Available at http//www.google.com. 8. Jonsdotir VI. Cordless Amplifying System in Classroom: A Descriptive Study of Teachers and Students Opinion. J Voice 2002; 27:29-36. 9. Lubman D. Americas Need for Standards and Guidelines to Ensure Satisfactory Classroom Acoustic. Acoustical Society of Americas 133rd Meeting Lay Language Papers. State College. Philadelphia, USA. 1997. Available at http//www.google.com. 10. Alberti PW. Noise and the ear. In Kerr AG eds. Scott-Brown Otolaryngology 6th ed. ButterworthHeinemann. Oxford, 1997; 2(11):1-34. 11. Roestam AW. Program Konservasi Pendengaran di Tempat Kerja. Cermin Dunia Kedokt.. 2004; 144:29-33. 12. Atmosoewarno S. Peran Indera Pendengar dalam Kehidupan Manusia. Kumpulan Makalah Seminar Pendengaran pada Usia Lanjut Dalam Rangka Purna Tugas Prof. DR. Dr. Soewito SpTHT-K. Yogjakarta. 2003. 13. Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kota Madya Yogyakarta. Buku Informasi Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kota Madya Yogyakarta. 2004. 14. Haines MM, Stansfeld SA, Job RFS, Berglund, Head J, A Follow-up Study of Effect of Chronic Aircraft Noise Exposure on Child Stress Responses and Cognition. Int J Epidemiol 2001; 30:839-849. 15. Stanfeld SA, Berqlund B, Clark C, Barrio IL, Fisher P, Ohrstrom E, Haines MM, Hygge S, Van Kamp I, Berry BF. Aircraft and Road Traffic Noise and Childrens Cognition and Health: A Crossnational Study. Lancet 2005; 365: 1942-1949. 16. Sanz SA, Garcia AM, Garcia A. Road Traffic Noise Around Schools: A Risk for Pupils Performance? Int Arch Environ Health. 1993; 65(3):205-7. 17. Guyton AC, Hall JE. Indera Pendengaran dan Indera Kimia Pengecapan serta Penciuman. Dalam Buku Ajar Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. EGC 1997:1339-1354. 18. Bailey BJ. Head and Neck Surgery-Otolaryngology. CD-ROM. 2nd ed. Lippincot Williams Willkins. 1998. 19. Soepardi E, Iskandar N. Gangguan Pendengaran (Tuli). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher ed. V. Balai Penerbit FK UI Jakarta, 2002; 5: 12-15. 20. Kerr AG. Examination of the Ear: Audiometry. Scott-Browns Otolaryngology 6th Ed .Butterworth Heinemann, 1997; 3(1): 24. 21. Felten DL, Felten SY. A Regional and Systemic Overview of Fungsional Neuroanatomy. Dalam Fauber SD, (ed): Neuro Rehabilitation, A Multisensory Approach. Philadelphia:WB Saunders Co. 1982. 22. Khavid M. OMSK pada Anak Sekolah Dasar di Kabupaten Bantul Yogyakarta Kajian Terhadap Prestasi Belajar. Karya akhir program studi penyakit THT, PPDS I. FK-UGM. 1991. 23. Arifiani N. Pengaruh kebisingan terhadap Kesehatan Tenaga Kerja. Cermin Dunia Kedokt. 2004;144:24-28. 24. Soetjipto. Noise Induced Hearing Loss pada Pekerja-pekerja Beberapa Pabrik Tekstil di Semarang. Konas V Perhati. Semarang, 1977. 25. Manurung M. Kebisingan. Kumpulan Maklah/Bahan Penyuluhan Ergonomi bagi Produsen dan Konsumen Mebelair tahun 1994, Balai Hiperkes Banjarmasin, 1994. 26. Djoko SS, Taufik S, Sukardjo. Kebisingan di Tempat Pelayanan Umum di Dua Kota Kabupaten Wilayah Eks Karesidenan Surakarta. Kumpulan Makalah Ilmiah Pertemuan Ilmu Tahunan PERHATI, Malang 1996:395-401. 27. Dockrell JE, Shield BM, Rigby K. Acoustic Guidelines and Teacher Strategies for Optimising Learning Conditions in Classrooms for Children with Hearing Problems. Chapter 23. Access: Achieving clear employing sound solutions. 2004. Available at: http//www.google.com. 28. Sutherland LC, Lubmann D. The Impact of Classroom Acoustic in Scholastic Achievement. 17th Meeting of the International Commission for Acoustics, Rome, Italy, 2001. Available at: http//www.google.com. 29. Oedono T. Penatalaksanaan Penyakit Akibat Lingkungan Kerja di Bidang THT. Kumpulan Makalah Ilmiah Pertemuan Ilmiah Tahunan PERHATI, Malang, 1996:91-99. 30. Ballantyne J, Grones J, Disease of Ear, Nose and Throat. In Kerr AG eds. Scott-Brown Otolaryngology 6th ed. Butterworth-Heinemann. Oxford 1997; 2 (11) : 551-618 31. Geary J. Mad About Noise: Cover Story. TIME.com. US ed, July 27; 1998: 152 (4): 1-6. Available at http//www.google.com. 32. Lang SS. Airport Noise is Harmful to the Health and Wellbeing of Children and May Cause Life Long Problem; Cornell Study Show. Cornell University News. 1998: 1-2. 33. Suryabrata S. Psikologi Pendidikan. Fajar Interpratama Offset. Jakarta. 2002. 34. Soemantri, A.G. Hubungan Anemi Kekurangan Zat Besi dengan Konsentrasi dan Prestasi Belajar, Tesis untuk memperoleh gelar Master dalam Ilmu Kedokteran, UNDIP, Semarang, 1978. 35. Miedema HME. Noise & Health: How Does Noise Affect Us? The 2001 International Congress and Exhibition on Noise Control Engineering. Netherland, 2001. 36. Smith AP, Whitney H, Owens D, Sturgess W, Nutt D. Noise, Central Nora- drenaline and Lapses of Attention. In: Proceedings of the 7th International Congress on Noise as a Public Health Problem; Sydney: Noise Effects, 1998. 37. Mashari. Faktor-Faktor Prognostik yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Anak Tuna Rungu di SDLB-B Kalibayem. Karya Akhir PPDS THT. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2000. 38. Solso RL. Cognition - 4theds, Orlando, Harcount Brace and Company, 1991. 39. Eysenck MW. A Handbook of Cognitive Psychology, Hillsdale Lawrance Erlbaum Associates Publisher, 1984. 40. Helmi AF. Strategic Adaptasi yang Efektif dalam Situasi Kepadatan Sosial, Tesis, Tidak diterbitkan, UGM, 1995 41. Matlin MW. Cognition (4thed.), Orlando, Harcount Brace and Company, 1998. 42. Veenstra J. Attention in preschool children with and without sign of ADHD, 1995, Available: http//www.ubroug.nl/eldoc/dis/ppsw/j.veenestra/index.htm 43. Anderson JR. Cognitive psychology and its implications, New York, Worth Publisher, 1995. 44. Krisdinamurti Y. Konsentrasi belajar dalam hubungannya dengan anemi pada anak sekolah di pedasaan, Puslitbang Gizi, Bogor, 1980. 45. Endang S. Pengaruh pemberian makanan tambahan terhadap konsentrasi belajar siswa sekolah dasar. Tesis. Tidak diterbitkan. Ilmu Gizi dan Kesehatan, UGM, 2004. 46. Tambunan T, Soetomenggolo TS, Passat J, Agusman IS. Penelitian Kohort. Dalam Sastroasmoro S, Ismeael S eds. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Jakarta, 1995. 47. Sastroasmoro S, Ismail S. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis, Bagian Ilmu Penyakit Anak, FK UI, Jakarta. 1995. 48. Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan Besar Sampel. Dalam Sastroasmoro S, Ismeael S eds. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Jakarta. 1995. 49. Jonsdotir VI. The voice an occupational tools: a study of teachers classroom speech and the effect of amplification. Academic Dissertation. University of Tampere. Tampere, 2003. 50. Modley A. Acoustic condition in mainstream classroom. J Brit Assoc Teach Deaf, 1989; 13:48-54. 51. Saminah. Permasalahan Anak dengan Gangguan Pemusatan Perhatian di Sekolah. dalam : Kumpulan Naskah Seminar Kesulitan Belajar dan Gangguan Pemusatan Perhatian. Lustrum I Pusat Pengkajian dan Pengamatan Tumbuh Kembang Anak. Yogyakarta, 1997.

196

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

HASIL PENELITIAN

Kelangsungan Hidup Lima Tahun

Kanker Ovarium
yang Dikelola di RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo,Jakarta
Max Rarung
Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Rumah Sakit Prof Dr R D Kandou, Manado

ABSTRAK Tujuan : Untuk mengetahui sejauh mana kelangsungan hidup kasus kanker ovarium yang telah dikelola, selanjutnya dipantau selama 5 tahun. Tempat : Divisi Onkologi Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI /RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta. Rancangan : Retrospektif dengan pendekatan analisis survival time menggunakan Kaplan-Meier survival curve dan Log rank test, serta analisis multivariat dengan Cox regression. Subjek penelitian : Semua kasus test, regression. kanker ovarium yang telah dikelola pada tahun 1990 dan ditelusuri sampai 5 tahun kemudian. Hasil : Dari 73 kasus histopa kanker ovarium, termuda 13 tahun dan tertua 90 tahun. Pada analisis setiap variabel, stadium penyakit, jenis histopatologi dan optimalisasi operasi mempengaruhi kelangsungan hidup secara bermakna (p0,05;CI 95%). Pada analisis multivariat hanya stadium penyakit dan optimalisasi operasi yang bermakna (p0,05). Kelangsungan hidup stadium I keseluru setelah 5 tahun adalah 95,2 %. Risiko pada stadium IV sebesar 151,7 kali dari peluang pada stadium I. Secara keseluruhan kelangsungan hidup setelah 2,6 tahun (965 hari) adalah 51,1 %. Setelah 5 tahun sebesar 45 %. Kesimpulan : Kelangsungan hidup pasien kanker ovarium sangat ditentukan oleh stadium penyakit dan optimalisasi operasi. Kata kunci : Kanker ovarium, kelangsungan hidup 5 tahun, stadium penyakit, optimalisasi operasi.

PENDAHULUAN Kanker ovarium adalah suatu keganasan organ indung telur yang kejadiannya kedua tersering setelah kanker serviks. Berbeda dengan kanker serviks, penyakit ini tidak mempunyai tanda-tanda awal yang khas.1,2,3 Karena berkembang secara tersembunyi maka kanker ini dianggap sebagai the silent lady killer.1,4 Di negara maju pun seperti AS, kanker ovarium cukup banyak, diperkirakan 21.000 kasus baru setiap tahun. Umumnya terdiagnosis pada stadium lanjut.5 Kasus tersebar di seluruh kelompok umur, sekitar 4 % di bawah 20 tahun dan 40 % setelah 50 tahun.6 Di Indonesia, salah satu kendala adalah kurangnya kesadaran menjalani pemeriksaan berkala sehingga umumnya ditemukan setelah pada stadium lanjut.7. Sampai saat ini penanganan kanker ovarium adalah pembedahan dan sitostatika atau radiasi sebagai ajuvan.8,9. Tindakan pembedahan yang optimal akan memberikan hasil yang lebih baik terlebih bila dilakukan pada stadium awal10. Faktor lain yang mempengaruhi prognosis kanker ini antara lain : umur, jenis histopatologik, sisa massa tumor dan jenis pengobatan.11,12 Keberhasilan penanganan kanker ovarium dilihat dari tingkat kelangsungan hidup / kesintasan (survival) 5 tahun.13

Di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta sampai saat ini diterapkan tiga dasar pengobatan kanker ovarium seperti di atas.14 Hasil yang dicapai dapat dilihat dari tingkat kelangsungan hidup kasus kanker ovarium setelah dikelola berdasar pada dua atau tiga prinsip tadi. Tingkat kelangsungan hidup dipengaruhi pula oleh stadium penyakit, umur, jenis histopatologi serta optimalisasi pengobatannya. Telaah kelangsungan hidup 5 tahun kasus kanker ovarium yang telah di kelola di departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/ RSUPN Cipto Mangunkusumo belum ada. Oleh karena itu kajian retrospektif kelangsungan hidup 5 tahun kasus kanker ovarium masih diperlukan. Sekaligus untuk mengetahui pula beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya kelangsungan hidup pasien. Selain itu diharapkan pula memberikan gambaran hasil penanganan penyakit ini pada tingkat yang berbeda, serta memberi sumbangan pemikiran dalam memilih atau menentukan penatalaksanaan kanker ovarium secara optimal untuk selanjutnya.

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

197

HASIL PENELITIAN
BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif dengan pendekatan analitik pada kasus kanker ovarium yang di kelola di Divisi Onkologi Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Diambil semua kasus yang dikelola pada tahun 1990, dan ditelusuri sampai 5 tahun kemudian; selanjutnya dilihat kelangsungan hidup/kesintasannya. Data disusun berdasarkan variabel umur, paritas, stadium penyakit, jenis histopatologik, bentuk penanganan serta kelangsungan hidupnya. Data dianalisis untuk survival time menggunakan Kaplan-Meier survival curve dan Logrank test. Selanjutnya dianalisis secara multivariate kesintasan kumulatif rasio risiko berdasar Cox regression.
Gambar 1. Kesintasan berdasar umur

Batasan :
Kanker ovarium : berdasarkan hasil / gambaran histopatologi. Pembedahan : optimal : bila dilakukan HTSOB + omentektomi + pengangkatan KGB. Tidak optimal : tidak seperti di atas. Sitostatika : Berdasar pada panduan Divisi Onkologi Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI / RSUPN Cipto Mangunkusumo. Optimal : pemberian sitostatika 6 seri Tidak optimal : < 6 seri. Hidup : setelah 5 tahun masih hidup, tanpa memperhitungkan residif / tidak. Variabel : kelangsungan hidup, umur, paritas, jenis histopatologi, jenis operasi, jenis sitostatika. Paritas : 1. nullipara dan 2. non-nullipara. Histopatologi : 1. epithel 2. non-epithel.

Berdasar metode Kaplan-Meier, ternyata kelompok umur 20-40 tahun mempunyai survival terbaik; survival setelah 1 tahun 77,4 % dan pada masa 5 tahun 55,9 %. Terburuk pada kelompok umur < 20 tahun; survival setelah 1 tahun 50 %. Pada uji statistik perbedaan ini tidak bermakna.(p=0,34; CI 95 %) (Gb.1).

Tujuan penelitian : 1. Untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup 5 tahun kanker ovarium yang telah dikelola. 2. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup pasien kanker ovarium. HASIL Dari 536 kasus baru kanker ginekologik, didapatkan 73 (13,61%) kanker ovarium. Karakteristik biologik dan klinis :
Usia : terbanyak > 40 tahun (32 kasus - 43,8 %). Umur < 20 tahun ada 8 kasus (11,0%). Rentang umur 13-90 tahun. Paritas : Po 33 kasus (45,2%). Stadium : I : 21 kasus (28,8 %); II : 6 kasus (8,2%); III : 36 kasus (49,3%) dan IV : 10 kasus (13,7%) Jenis Histopatologi : epithel 50 kasus (70,4%) ; non epithel 21 kasus (29,5%). Pengobatan : - Operasi : optimal : 24 kasus (32,9%) tidak optimal : 49 kasus (67,1%) - Sitostatika : optimal : 28 kasus (38,4%); tidak optimal : 45 kasus (61,6%). Hidup : 24 kasus (32,9 %) masih hidup setelah 5 tahun; umumnya kasus stadium I. Kematian 33 kasus (45,2%). Kelompok paksa pulang 16 kasus( 21,9%); umumnya telah pada kondisi buruk.

Gambar 2. Kesintasan berdasar paritas

Kelompok non-nullipara lebih baik survivalnya (Gb. 2). Survival setelah 1 tahun sebesar 83 % dibanding nullipara sebesar 62,2 %, dan survival 5 tahun 51 % dibanding 38,5 %. Akan tetapi perbedaan tersebut tidak bermakna. (p=0,21;CI 95 %).

Gambar 3. Kesintasan berdasar stadium

198

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

HASIL PENELITIAN
Survival stadium I (garis biru) sampai masa 5 tahun adalah 95,2 % - sangat baik; pada stadium II dan III (garis merah) sebesar 20,9 %. Pada Stadium IV (garis hijau) survival setelah 5 bulan hanya 17,2 %. Perbedaan ini sangat bermakna. (p=0,000; CI 95 %). Survival hidup pada kelompok sitostatika optimal setelah 1 tahun sebesar 85,5 % dan setelah 5 tahun 55,6 % (Gb. 6). Hasil ini lebih baik dari non optimal sebesar 61,1 % pada masa 1 tahun dan hanya 37,5 % pada 5 tahun. Akan tetapi perbedaan ini tidak bermakna.(p=0,06;CI 95 %).

Gambar 4. Kesintasan berdasar hasil histopatologi

Pada kelompok epithelial setelah 1 tahun survivalnya 81 % dan untuk 5 tahun 53,6 % (Gb.4); lebih baik dari jenis non-epithel yang hanya 56 % untuk 1 tahun dan 30 % untuk 5 tahun. Perbedaan ini bermakna.(p=0,03;CI 95 %).

Gambar 7.Kesintasan kumulatif seluruh variabel

Analisis kesintasan kumulatif dengan metode Kaplan-Meier pada seluruh variabel, menghasilkan peluang hidup pasien kanker ovarium dengan variabel yang saling mempengaruhi ini, setelah 965 hari (2,64 tahun) sebesar 51,5 % dan setelah 5 tahun tingkat survivalnya sebesar 45 %.

Analisis multivariat dengan Cox Regression Analisis multivariat yang mempengaruhi kelangsungan hidup kanker ovarium dan besarnya peluang risiko berdasar cox regression dapat dilihat pada tabel 1 :
Tabel 1. Analisis multivariat kesintasan kumulatif (cox regression)

Gambar 5. Kesintasan berdasar pada pembedahan optimal

Operasi optimal menghasilkan survival hidup 1 tahun 86,3 % dan setelah 5 tahun 60,9 % (Gb. 5). Pada kelompok non optimal survival 1 tahun hanya 63,7 % dan setelah 5 tahun 36,4 %. Perbedaan ini bermakna. (p=0,04; CI 95 %).

Gambar 6. Kesintasan berdasar pemberian sitostatika CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

199

HASIL PENELITIAN
Tabel 1 memperlihatkan hanya faktor stadium penyakit dan optimalnya operasi yang berpengaruh bermakna terhadap kesintasan kumulatif (p=0,00 dan p=0,05) secara bersama-sama. Faktor lainnya: umur, paritas, jenis histopatologi, sitostatika tidak berpengaruh (p0,05). Didapatkan pula bahwa stadium sangat berpengaruh dan menentukan kelangsungan hidup. Dibanding stadium I, stadium lainnya mempunyai hazard ratio 45,69 dan 151,73. Pada kelompok variabel lainnya tidak menunjukkan perbedaan nyata. (hazard ratio <1) DISKUSI Kanker ovarium adalah salah satu keganasan organ kandungan yang sangat mematikan. Usaha menurunkan tingkat kematian melalui usaha diagnosis penyakit lebih awal, tindakan operasi dan pemberian sitostatika lebih optimal telah banyak dilakukan. Keberhasilannya perlu dievaluasi melalui tingkat kelangsungan hidup 5 tahun setelah dikelola. Penatalaksanaan lengkap kanker ovarium meliputi pembedahan, pemberian sitostatika dan atau radiasi. Penelitian ini memaparkan beberapa karakteristik biologis antara lain umur, termuda 13 tahun dan tertua 90 tahun. Terbanyak kelompok umur > 40 tahun (43,8 %). Peningkatan usia harapan hidup seorang wanita memperbesar risiko menderita kanker ovarium. Beberapa penulis menyatakan bahwa kanker ovarium dapat ditemukan di semua kelompok umur.15,16,17 Diperkirakan > 50 % kasus kanker ovarium terjadi pada umur 65 tahun atau lebih.18 Kelompok nullipara / tidak mempunyai anak sebesar 45,2 %. Tingginya kasus nullipara pada penelitian ini menyokong pendapat bahwa seringnya ovulasi mempunyai kecenderungan menderita kanker ovarium.19,20. Pada saat dikelola, penyakit telah berada pada stadium lanjut (III + IV sebesar 63,01 %). Hal ini memperkuat pendapat bahwa kanker ovarium terdiagnosis setelah berada pada stadium lanjut.21,22 Secara histopatologi terbanyak adalah jenis epithelial yaitu 70,4 %. Kasus yang menjalani pembedahan optimal hanya 32,9 % dan yang menerima sitostatika secara optimal sebagai ajuvan, sebanyak 38,4 %. Young10 mengemukakan bahwa pembedahan yang adekuat akan menyokong dan memperpanjang kelangsungan hidup penderita kanker ovarium. Barber5 menyatakan pula bahwa residu tumor setelah pembedahan sangat penting untuk prognosis penyakit serta tingkat keberhasilan sitostatika. Dikatakan bahwa residu < 2 cm akan memberi efek maksimal. Penulis lain, Gadducci dkk23 menyatakan bahwa residu tumor <1 cm akan sangat memperbaiki respons sitostatika dan kelangsungan hidup. Kasus yang bertahan hidup sampai 5 tahun pada umumnya masih pada stadium I (95,2 %). Jumlah kasus yang tetap hidup sampai 5 tahun sebanyak 40 orang (54,8 %). Pada analisis untuk kelangsungan hidup dengan menggunakan kurva Kaplan-Meier dan Logrank untuk kelompok umur (gb.1), didapatkan 20-40 tahun mempunyai survival yang lebih baik. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh immunitas seluler yang baik pada masa reproduksi. Tetapi perbedaannya tidak bermakna (p=0,34;CI 95 %). Pada variabel paritas, tampaknya non-nulliparitas mempunyai survival yang lebih baik. Kelangsungan hidup kelompok nonnulliparitas pada 1 tahun pertama mencapai 83 % dan setelah 5 tahun sebesar 51%; walaupun dibanding nulliparitas ternyata tidak bermakna.(p=0,21;CI 95 %). Survival 5 tahun pada setiap kelompok stadium ternyata sangat berbeda bermakna (Gb 3). Kelangsungan hidup 5 tahun stadium I sebesar 95,2 %. Survival yang terburuk pada stadium IV - hanya 17,2 % pada 5 bulan. Hasil ini lebih rendah dari laporan Ozols dkk14 yaitu sebesar 20 % setelah 6 bulan. Setelah 1 tahun tidak ditemukan lagi kasus stadium IV. Pada stadium II+III tingkat kelangsungan hidup setelah 1 tahun sebesar 70,7 % dan pada 5 tahun hanya 20,9 %. Stadium penyakit sangat menentukan kelangsungan hidup 5 tahun. Hasil dari ketiga kelompok menunjukkan perbedaan sangat bermakna (p=0,000; CI 95 %). Pada variabel histopatologi (gb. 4) tampak bahwa kelompok epithelial lebih baik survivalnya. Setelah 1 tahun kelangsungan hidupnya 81 %, dan setelah 5 tahun 53,6 % dibanding dengan 56 % dan 30 % pada kelompok non-epithelial. Perbedaan ini bermakna (p=0,03;CI 95 %). Saat pembedahan yang optimal memberi survival yang lebih baik (Gb.5). Carter dkk22 menyatakan untuk memperbaiki survival, residu tumor harus < 1cm. Setelah 1 tahun kelangsungan hidupnya 86,3 % dibanding 63,7 % pada kelompok tidak optimal. Demikian juga setelah 5 tahun kelangsungan hidup kelompok pembedahan optimal sebesar 60,9 % dibanding 36,4 %. Perbedaannya cukup bermakna (p=0,04). Hasil ini menunjukkan bahwa optimalisasi tindakan pembedahan sangat mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup kanker ovarium. Moore DH dkk.24 menyatakan pembedahan harus disertai ajuvan sitostatika agar kelangsungan hidup 5 tahun mencapai >90 % pada stadium awal. Demikian pula pemberian sitostatika optimal memberi hasil yang lebih baik yaitu 85,5 % dibanding 61,1 % untuk kelangsungan hidup 1 tahun dan 55,6 % dibanding 37,5 % setelah 5 tahun (Gb.6). Walaupun perbedaan ini tidak cukup bermakna (p= 0,06). Analisis kesintasan/survival dengan metode Kaplan-Meier untuk seluruh variabel secara bersama-sama dihubungkan dengan kejadian (event) kematian, menunjukkan bahwa kelangsungan

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

201

HASIL PENELITIAN
hidup setelah 2 tahun sebesar 51,5 % dan setelah 5 tahun sebesar 45 %. Penulis lain14, menemukan hasil 40 % setelah 5 tahun pengamatan. Secara kumulatif ternyata stadium penyakit, pembedahan optimal serta jenis histopatologi saling mempengaruhi sehingga menghasilkan kelangsungan hidup yang lebih rendah dibandingkan hasil masing-masing variabel tersebut. Analisis multivariat beberapa variabel yang mempengaruhi kelangsungan hidup pasien kanker ovarium dan besarnya peluang risiko berdasarkan Cox regression (tabel 1) menunjukkan bahwa hanya faktor stadium penyakit dan optimalisasi tindakan pembedahan yang berpengaruh bermakna terhadap kesintasan kumulatif secara bersama-sama (p=0,000 dan 0,05). Variabel lainnya tidak berpengaruh (p=>0,05). Jenis histopatologi secara tunggal memberi pengaruh positif pada kelangsungan hidup kanker ovarium; tetapi secara kumulatif tidak berpengaruh. Stadium penyakit adalah variabel yang sangat berpengaruh; makin tinggi stadiumnya, makin buruk kelangsungan hidupnya. Peluang risiko untuk stadium II dan III sebesar 45,69 kali, dan stadium IV 151,73 kali; perbedaan yang sangat bermakna (p=0,00 dan p=0,00). Stadium awal (I) sangat menentukan kelangsungan hidup pasien kanker ovarium. KESIMPULAN Dari analisis kelangsungan hidup setiap variabel, hanya stadium penyakit, optimalisasi pembedahan dan jenis histopatologi yang mempengaruhi serta meningkatkan survival kanker ovarium ini secara bermakna. Pada analisis kumulatif semua variabel, didapat kelangsungan hidup pada 2 tahun sebesar 51,5 % dan setelah 5 tahun 45 %. Pada analis multivariat, hanya stadium penyakit dan optimalisasi pembedahan yang mempengaruhi kelangsungan hidup secara bermakna. Ditemukan pula stadium lanjut memperburuk survival. Risiko stadium IV 151,7 kali risiko pada stadium I.
7. 8. 9. Danzinger K. Screening Producers for Ovarian Cancer.www.cancersafe.com/ test/test.asp. Blackledge G, Chan KK. Management of Ovarian Cancer. Butterworth Co. Publ. Ltd.1986, 1-13 Chi DS, Hoskins WJ. Primary Surgical Management of Advanced Ephitelial Ovarian Cancer. In : Rubin SC, Sutton GP. Ovarian Cancer. 2nd.ed. Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia,2001

10. Young RS. Initial Therapy for Early Ovarian Carcinoma. Cancer 1987 ; 60 : 2092-9. 11. Stier EA, Barabas RR, Curtis JP. Laparotomy to Complete Staging of Presumed Early Ovarian Cancer. Obstetr. Gynecol. 1996;87(5): 737-9 12. Benedet JL, Hacker NF, Ngan HYS. Cancer of the Ovary. Staging Classifications and Clinical Practice Guidlines of Gynecologic Cancer by FIGO Committee on Gynecologic Oncologic and IGCS Guidelines Commitee. 2nd ed. Nov.2003 13. Allan AD, Williams AO. Ovarian Cancer. In : Sciarra JJ, Steege JF, Depp R, eds. Gynecology and Obstetrics. Vol 1. Philadelphia : Lippincot-Raven Publ.1997 14. Laila N, Syamsuddin S. Kanker Ovarium. Sub Divisi Onkologi Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI, Jakarta 1991. 15. Charles D, Sarah K. Reported Ovarian Cancer Screening Among of Population Based Sample in Washington State. The American College of Obstetric and Gynecology Vol 96 : 1, July 2000 16. Look KJ. Epidemiology, Etiology and Screening of Ovarian Cancer. In : Rubin SC, Sutton GP. Ovarian Cancer. 2nd.ed. Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia, 2001 17. Boyd J. Molecular Genetics of Hereditary Ovarian Cancer. In : Rubin SC, Sutton GP. Ovarian Cancer. 2nd.ed. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia, 2001 18. Ozols RF, Rubin SC, Dembo AJ, Robby SJ. Ephitelial Ovarian Cancer. In : Hoskin WJ, Perez CA, Young RC, Principles and Practice of Gynecology Oncology. JB Lippincott Co, Philadelphia 1992 19. Jones HW, Jones GS. Epithelial Tumor of the Ovary. In : Jones HW III, Colston AW, Burnett LS. Novaks Textbook of Gynecology 11th ed. Baltimore : Williams and Wilkins, 1988 : 543 20. Cure H. Dose Intensity in the Treatment of Advanced Epithelial Ovarian Cancer. In : Gershenson DM, Mc Guire WR, Gose M, Quinn MA, Thomas G.Eds : Gynecologic Cancer Controversies in Management. Elsevier, Churchill, Livingstone, Philadelphia. 2004 21. Olt GJ, Cain J. Quality of Life Issues in Ovarian Cancer. In : Rubin SC, Sutton GF. Ovarian Cancer. 2nd ed. Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia.2001 22. Carter J. Primary Surgery for Ovarian Cancer. In : Gershenson DM, Mc Guire WR, Gose M, Quinn MA, Thomas G. eds. Gynecologic Cancer Controversies in Management. Elsevier, Churchill, Livingstone, Philadelphia, 2004 23. Gadducci A, Sartori E,Landoni F. Relationship between Time Interval from Primary Surgery to start of Taxane-plus Platinum Based Chemotherapy and Clinical Outcome of Patient with Advanced Epithelial Ovarium Cancer. Result of Multicenter Retrospective Italian Study. J Clin Oncol. 2005; 23:751-758. 24. Moore DH. Primary Surgical Management of Early Epithelial Ovarian Carcinoma. In : Rubin SC, Sutton GP. Ovarian Cancer. 2nd.ed. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia. 2001

KEPUSTAKAAN 1. 2. Rumowicz CD. Ovarian Cancer. Mediguide to Oncology. Vol 7.1987. Berek JS. Ephitelial Ovarian Cancer. In : Berek JS, Hacker FN. Practical Gynecologic Oncology.2nd ed. Baltimore Maryland : Williams and Wilkins. 1994. Morran CP, Cutis JP, Townsend DE. Tumours Of Ovary : Neoplasms derived from Coelonic Epithelium. Synopsis of Gynecologic Oncology. 4th ed. Churchill Livingstone, New York.1993. Fairas Eisner RP, Berek JS. Gynecologic Cancer. In : Casciato DA, Lowitz BB, eds. Manual of Clinical Oncology. 4th ed. Philadelphia : JB Lippincott Co., 2000. Barber HRK. Ovarian Cancer. Diagnosis and Surgical Management In : Barber HRK. Gynecologic Cancer. London : Churchill Livingstone, Inc.1984 : 119-26 Susan E, Mackey WT. Ovarian Screening. J. Clin. Oncol. 1995;13 (March):783-93

3.

4.

5.

6.

202

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

TINJAUAN PUSTAKA

Assisted Hatching
Dini Budhiarko, Caroline Tan Sardjono, Ferry Sandra
Stem Cell and Cancer Institute, Kalbe Pharmaceutical Company, Indonesia

ABSTRAK Hatching adalah proses keluarnya embrio dari zona pelucida. Proses tersebut merupakan kunci utama pada pertumbuhan embrio. Setelah melalui proses hatching embrio akan berimplantasi pada endometrium dan tumbuh menjadi fetus. Bila proses hatching pada embrio tahap blastosit ini gagal maka implantasi dan kehamilan tidak akan terjadi dan embrio akan mengalami degenerasi atau mati. Assisted hatching adalah mekanisme buatan yang dilakukan untuk membantu proses hatching. Mekanisme buatan tersebut merupakan upaya untuk meningkatkan keberhasilan terjadinya implantasi dan kehamilan. Assisted hatching dapat dilakukan dengan metode zona thinning (penipisan zona), zona drilling (pengeboran zona), dan zona slithing (penyayatan zona). Beberapa reagen dan perlengkapan yang digunakan dalam assisted hatching antara lain asam tyrode, laser, pronase, dan PZD (partial zona dissecting). Perlu diperhatikan bahwa sekalipun melalui penerapan assisted hatching persentase implantasi dan kehamilan dapat meningkat, prosedur ini juga dapat menyebabkan terjadinya embrio kembar monozygot atau degenerasi pada embrio. Kata kunci : assisted hatching, asam tyrode, laser, pronase, and partial zona dissecting (PZD) PENDAHULUAN Memiliki keturunan merupakan salah satu ciri mahluk hidup. Untuk dapat memiliki keturunan diperlukan sel gamet (ovum dan sperma) serta seperangkat alat reproduksi yang memprasaranai proses pembentukan, pematangan sel gamet, proses fertilisasi, hingga terjadinya kehamilan sampai akhirnya fetus dilahirkan. Pada organ yang terlibat dan proses yang berjalan seringkali terjadi hambatan atau permasalahan. Salah satu permasalahan yang menyebabkan seseorang sulit atau tidak bisa memiliki keturunan secara alami adalah tidak terjadinya fertilisasi antara sel telur dan sperma. Untuk mengatasi masalah tersebut maka berkembanglah teknologi reproduksi berbantu (assisted reproduction technology) yang bertujuan untuk menghasilkan zigot dari fertilisasi antara sel telur dan sel sperma secara in vitro. Zigot yang dihasilkan kemudian dikultur dan ditransfer kembali ke dalam uterus pada saat embrio berumur 3 hari [1]. Embrio tersebut diharapkan akan berkembang dan tumbuh, mencapai tahap blastosit, mengalami hatching, berimplantasi, terjadi kehamilan dan diakhiri dengan adanya kelahiran. Namun dari jumlah embrio yang ditransfer, jumlah embrio yang berimplantasi masih rendah dan tingkat kehamilan yang terjadi lebih rendah dari tingkat implantasi. Rendahnya implantasi tersebut disebabkan karena embrio yang ditransfer gagal dalam proses hatching (tidak dapat keluar dari zona pelucidanya)[2]. Maka muncul suatu gagasan untuk membantu proses hatching dengan tujuan untuk meningkatkan jumlah embrio yang berimplantasi dan kehamilan yang terjadi. Hatching Zona pelucida terbentuk pada awal folikel antral, dihasilkan dari interaksi antara oosit dan sel-sel granulosa. Zona pelucida terdiri dari 3 lapis glikoprotein yang membungkus oosit, yaitu ZP1, ZP2, dan ZP3 [3,4]. Zona tersebut berfungsi untuk melindungi dan menjaga sel telur. Pada saat fertilisasi zona pelucida melindungi dan membatasi jumlah sperma yang masuk ke dalam sel telur sehingga hanya 1 sperma saja yang dapat membuahi sel telur [5]. Setelah terjadi pembuahan (fertilisasi), sel telur akan menjadi zigot dan mengalami pembelahan membentuk blastomerblastomer. Pada fase ini zona pelucida berfungsi sebagai pembatas untuk menjaga kesatuan embrio saat embrio belum mengalami kompaksi (pre-compacted). Blastomer-blastomer tersebut dilindungi agar tidak menyebar, tetap saling berdekatan dan berinteraksi satu sama lain sampai terbentuk ikatan yang kompleks [2,6]. Setelah mengalami kompaksi maka sel-sel bagian paling luar akan mensekresikan suatu cairan. Dominasi cairan tersebut mendesak sel-sel di bagian dalam sampai terkumpul di satu sisi. Ruang yang terisi cairan tersebut dinamakan blastocoel, sel-sel bagian tepi dinamakan sel-sel trophectoderm dan sel-sel di bagian tengah disebut inner cell mass. Embrio dengan struktur seperti tersebut di atas dinamakan blastosit [1, 5]. Pada tahap blastosit embrio akan mengalami pertambahan ukuran dan volume sehingga mendesak zona pelucida. Keluarnya embrio dari zona pelucida yang melapisinya disebut dengan hatching (Gambar 1).

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

203

TINJAUAN PUSTAKA
Hatching merupakan kunci utama pada pertumbuhan embrio. Setelah melalui proses ini maka embrio akan berimplantasi pada endometrium dan tumbuh menjadi fetus. Jika embrio pada tahap blastosit ini gagal untuk hatching maka implantasi dan kehamilan tidak akan pernah terjadi dan embrio tersebut akan mengalami degenerasi atau mati [1, 7]. Hasil flushing (pengambilan ovum/embrio dengan mengalirkan cairan pada oviduct sehingga ovum/embrio akan terbawa dan kemudian diisolasi) embrio sapi pada tahap hatching dari bagian uterus yang dilakukan secara berkala selalu disertai dengan zona pelucida yang kosong. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa zona pelucida tidak mengalami pelisisan. Selain itu pengukuran yang juga dilakukan secara berkala pada volume total embrio dan ketebalan zona pelucida sapi selama embrio mengalami pertambahan ukuran dan volume (embrio expansion) memperlihatkan penipisan zona pelucida adalah merupakan pengaruh dari dalam embrio akibat adanya daya dorong[8,9]. Hal ini menunjukkan bahwa pada hamster proses hatching sangat ditentukan oleh faktor ekstrinsik sedangkan pada sapi faktor yang berperan dalam proses hatching adalah faktor intrinsik. Pada embrio mencit, zona pelucida diluruhkan oleh sintesis enzim tripsin yang dihasilkan oleh sel-sel tropechtoderm (Lin et. al. 2001), enzim tersebut dikenal dengan nama stripsin [10]. Enzim yang sama menurut Gordon et. al. (1993) dan Sawada et. al. (1990) dapat dibentuk pada seluruh permukaan sel blastosit manusia, sehingga disimpulkan bahwa proses hatching dipengaruhi oleh faktor intrinsik [6]. Pada embrio manusia yang dihasilkan dari proses bantuan reproduksi buatan (assisted reproduction) baik In Vitro Fertilization (IVF) atau Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI), embrio akan ditransfer pada saat berumur 3 hari [11, 12]. Untuk membedakan apakah umur embrio yang ditransfer mempengaruhi tingkat implantasi dan kehamilan, Utsunomiya et. al. (2004) membandingkan hasil implantasi dari embrio umur 3 hari (usia embrio yang biasanya ditransfer) dan embrio umur 5-6 hari (embrio tahap blastosit). Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa tidak ada perbedaan pada tingkat implantasi dan kehamilan yang terjadi dari umur embrio yang ditransfer[13]. Embrio-embrio yang dihasilkan melalui proses IVF diseleksi berdasarkan morfologi dan kecepatan awal pembelahan pada saat embrio dikultur secara in vitro, dari hasil tersebut ditentukan embrio yang akan ditransfer. Penilaian embrio dilakukan sebagai berikut: tingkat 1 adalah embrio yang tidak mengalami kerusakan (embrio yang utuh) dengan ukuran dan bentuk blastomer yang sama (homolog), tingkat 2 adalah embrio dengan kerusakan <20% dan blastomer yang homolog, tingkat 3 adalah embrio dengan kerusakan berkisar antara 20-50% dan ukuran serta bentuk blastomer yang dimilikinya tidak sama (non homolog), tingkat 4 adalah embrio dengan kerusakan > 50% dan blastomer yang non-homolog (Fong et. al. 2001, Mantoudis et. al. 2001). Embrio yang dipilih untuk kemudian ditransfer ke dalam uterus adalah embrio yang termasuk dalam kategori 1 dan 2 dari 4 tingkatan yang digunakan sebagai penilaian dan waktu pembelahan yang sesuai dengan tahapan[11,12].

Gambar 1. Embrio dan zona pelucida yang telah kosong setelah terjadinya proses hatching. (a) Blastosit setelah proses hatching; (b) Blastosit yang akan ber-implantasi dengan penonjolan sitoplasma sel-sel trophectoderm; (c) proses hatching; (d, e, f) macam-macam bentuk bukaan dari zona pelucida yang telah kosong [8].

Hatching terjadi karena adanya pengaruh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah faktor yang mempengaruhi zona pelucida yang berasal dari embrio. Faktor tersebut berupa pertambahan ukuran dan volume dari blastosit yang mendesak zona pelucida serta sekresi enzim oleh sel trophectoderm. Sedangkan faktor ekstrinsik adalah faktor yang ditimbulkan dari saluran reproduksi (in vivo), berupa sekresi enzim yang akan berperan dalam penipisan dan pelisisan zona pelucida [8], Kiefer & Sailing 2002, Elhelw et. al. 2004). Namun mekanisme pasti proses hatching tersebut masih belum diketahui, hingga kini masih dipelajari apakah kedua faktor harus berinteraksi atau hanya salah satu faktor saja yang berpengaruh. Hal tersebut disebabkan adanya mekanisme hatching yang berbeda pada proses yang terjadi secara alami (in vivo hatching) pada tiap spesies [8, 9]. Pada hamster terlihat bahwa keluarnya embrio dari zona pelucida yang membungkusnya tidak bergantung pada aktivitas embrio (faktor intrinsik), namun lebih bergantung pada aktivitas sel endokrin uterus yang mengkontrol sekresi enzim protease (faktor ekstrinsik)[9]. Sedangkan pada sapi mekanisme yang terjadi berbeda dengan yang terjadi pada hamster. Pada sapi proses hatching yang terjadi tidak bergantung pada reaksi dari lysins yang dihasilkan oleh sel-sel uterus.

204

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

TINJAUAN PUSTAKA
Pada satu kali proses transfer embrio, embrio yang ditransfer berjumlah antara 2-3 embrio, untuk meningkatkan kemungkinan terjadinya implantasi dan kehamilan. Namun demikian keberhasilan implantasi dan terjadinya kehamilan masih rendah [14]. Penyebab rendahnya tingkat implantasi dan kehamilan diperkirakan karena adanya hambatan dalam proses hatching embrio. Hal tersebut merupakan salah satu faktor yang membatasi efisiensi reproduksi manusia yang berkaitan dengan reproduksi berbantu (assisted reproduction, Fong et. al. 1998, [15]). Assisted hatching Assisted hatching adalah proses buatan yang dilakukan untuk membantu keluarnya embrio dari zona pelucida (hatching)[6]. Assisted hatching merupakan upaya untuk meningkatkan terjadinya implantasi dan kehamilan dengan memastikan bahwa embrio yang ditransfer dapat keluar dari zona pelucida [16,17]. Konsep tersebut pertama kali dikemukakan oleh Cohen pada tahun 1990. Cohen melakukan assisted hatching dengan sistem zona drilling menggunakan asam tyrode pada embrio umur 3 hari[18]. Tingkat implantasi pada embrio dengan metode tersebut lebih tinggi dibandingkan tingkat implantasi pada embrio kontrol, embrio yang mengalami proses hatching secara alami, sehingga pada embrio hasil IVF dilakukan teknik assisted hatching untuk meningkatkan efisiensi dari implantasi[18]. Pada awalnya assisted hatching pada manusia dilakukan hanya pada embrio yang dihasilkan dari wanita-wanita yang termasuk dalam kategori sebagai berikut: berumur > 35 tahun dan atau mendapat stimulasi dengan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dengan dosis tinggi (> 10 mIU/ml antara hari 2 dan 4), pernah mengalami kegagalan implantasi pada siklus IVF termasuk ICSI (Intracytoplasmic Sperm Injection) yang dilakukan sebelumnya, memiliki kualitas embrio yang rendah (tingkat 3 dan 4), dan zona pelucida yang tebal (> 15_m) [12, 17]. Namun demikian ternyata embrio dengan kategori dan perkembangan yang baik juga tetap mempunyai potensi mengalami kegagalan dalam implantasi yang disebabkan kesulitan pada proses hatchingnya. Hasil penelitian Nishio et. al. (2006) memperlihatkan bahwa 54,5% embrio manusia hasil IVF, ternyata mengalami kesulitan dalam proses hatching[19]. Menurut Ebner et. al. (2002) embrio mamalia yang dikultur secara in vitro akan mengalami perubahan arsitektur zona pelucidanya. Zona pelucida mengalami pertambahan ketebalan atau kekerasannya dan penurunan elastisitas[3]. Hal tersebut karena tidak adanya lisin dan molekul-molekul lain yang disekresikan oleh sel-sel pada saluran reproduksi yang berfungsi untuk membantu proses hatching. Selain itu, ketebalan zona pelucida akan bertambah seiring dengan pertambahan umur dan penurunan kualitas dari embrio [20]. Berdasarkan penelitian Fong et. al. (2001) dan Marakis et. al. (2006) kesulitan hatching pada blastosit dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu : 1) expanded blastosit awal dengan zona yang tidak mengalami pembukaan 2) blastosit dengan tahapan awal hatching (zona mulai terbuka) tapi sel-sel trophectoderm menarik zona ke arah dalam sehingga zona tertutup kembali 3) blastosit yang tertahan pada tahapan awal hatching, pembukaan zona pelucida terhenti sehingga proses hatching tertahan 4) blastosit yang telah melalui 50% tahapan hatching tapi kemudian proses tersebut terhenti. Blastosit-blastosit yang gagal untuk keluar dari zona (hatching) tersebut akan mengalami degenerasi atau mati [11, 15]. Metode assisted hatching Metode bantuan dalam proses hatching dikelompokkan menjadi 3 yaitu : zona thinning, zona drilling, dan zona slitting. Zona thinning (penipisan zona) adalah suatu teknik yang dilakukan dengan tujuan menipiskan ketebalan zona pelucida. Metode ini dapat dilakukan secara biokimia menggunakan reaksi enzim pronase, asam tyrode ataupun secara mekanik menggunakan laser [9,17]. Zona drilling (pengeboran zona) adalah bantuan yang diberikan dengan tujuan membuat lubang pada zona pelucida. Metode ini menggunakan laser atau secara kimia menggunakan asam tyrode[17]. Zona slitting (penyayatan zona) dilakukan dengan menyayat zona, lebih dikenal dengan partial zona dissecting (PZD)[7]. Menurut Blake et. al. 2001, penipisan zona (zona thinning) merupakan metode yang lebih baik dibanding dengan pengeboran zona (zona drilling). Pada zona drilling lubang yang dihasilkan menghilangkan perlindungan zona pelucida dan menyebabkan terjadinya kontak langsung antara blastomer dengan lingkungannya. Hal tersebut menimbulkan, risiko infeksi, sehingga diperlukan penggunaan antibiotik pada saat dilakukan kultur embrio [9]. Enzim Pronase Enzim pronase digunakan untuk menipiskan atau menghilangkan zona pelucida. Embrio yang mengalami kesulitan untuk hatching saat dimonitor pada hari ke 5-8 dapat diselamatkan dengan memaparkannya pada pronase selama 1.5 menit. Embrio-embrio tersebut akan keluar dari zona pelucidanya secara sempurna 4-5 jam setelah perlakuan. Dari 54.5% embrio (100% = 44 embrio) yang mengalami kesulitan untuk hatching, 80% berhasil hatching. Selama embrio-embrio yang mengalami kesulitan untuk hatching tersebut tidak mengalami degenerasi maka cara ini (pemaparan embrio pada pronase) dapat menyelamatkan embrio-embrio tersebut[11]. Penggunaan pronase sebagai zona thinning dapat meningkatkan tingkat implantasi (33%) dengan terjadinya kehamilan sebesar 53% dari blastosit tanpa zona pelucida yang ditransfer pada perempuan-perempuan dengan kegagalan IVF lebih dari 2 kali[17]. Dalam proses thinning pemaparan dengan pronase dengan dosis 10 IU/ml dilakukan pada suhu 37C[11].

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

205

TINJAUAN PUSTAKA
Lamanya pemaparan tersebut bergantung pada tujuan, menipiskan zona atau menghilangkan zona secara keseluruhan. Pada pemaparan selama 60 detik blastosit akan mengalami penipisan zona pelucida[17]. Namun pada pemaparan selama 1.5 menit, blastosit akan kehilangan seluruh lapisan zona pelucidanya[11]. Penipisan ataupun penghilangan zona pelucida ini meningkatkan keberhasilan terjadinya implantasi [11, 17]. Laser Metode assisted hatching dengan menggunakan non-contact UV laser pertama kali dikembangkan oleh Antinori et. al. (1996, Gambar 2). Metode tersebut menggantikan metode sebelumnya yang dikenal dengan contact UV laser. Berbeda dengan contact UV laser yang memerlukan holding dan cutting tools (micropipettes atau optical fibre), metode non-contact UV laser tidak memerlukan peralatan tersebut. Efek yang ditimbulkan pada zona pelucida (shape dan orientation) didapat dengan mengatur parameter laser (energi per pulse, banyaknya pengulangan pulse) atau dengan menggerakkan presisi microscope stage. Keuntungan sistem non-contact laser adalah tidak adanya kontak dan pemaparan yang minimal terhadap laser, juga pengaturan pada tiap penggunaannya yang lebih mudah [21]. Menurut Jones et. al. (2006) sinar laser yang digunakan sebaiknya sinar dengan panjang gelombang yang tidak dapat diserap DNA sehingga tidak merusak DNA dan panas yang dihasilkan hanya bersifat lokal di daerah yang dituju[18]. Waktu yang diperlukan untuk melakukan assisted hatching dengan metode ini sekitar 20 detik[17]. Diameter lubang yang sama dapat dihasilkan dari penggunaan jenis laser yang berbeda Octax laser shot system[19], ZILOS-tk zona infrared laser optical system[15], dan 1,48 mikrometer infrared diode laser[11], yaitu berkisar antara 5-10_m. Embrio dipaparkan pada laser sebanyak 2-3 kali tergantung pada ketebalan zona pelucida, dengan lamanya masingmasing pemaparan 0,5 mili detik[15,19]. Kelebihan penggunaan laser dalam assisted hatching adalah waktu yang diperlukan relatif singkat[17] dan dihasilkan lubang dengan ukuran yang konsisten (Gambar 2) [17, 18, 20]. Mantoudis et.al. (2001) membandingkan 3 macam bentuk yang dihasilkan dari penggunaan laser sebagai assisted hatching, yaitu total, partial, dan quarter. Pada total laser, zona pelucida secara total ditembus oleh laser sehingga terbentuk lubang. Sedangkan pada partial laser, laser hanya menembus setengah ketebalan zona pelucida. Quarter laser menyerupai partial laser, hanya menembus setengah ketebalan zona, perbedaannya terletak pada luasnya daerah yang dibuat. Partial laser hanya merupakan satu kali tembakan laser, namun quarter laser merupakan beberapa kali tembakan laser. Perbedaan ke 3 bentuk tersebut ternyata dapat meningkatkan persentase kehamilan yang terjadi dengan urut-urutan kehamilan klinikal 5,2% (4/77), 18,3% (29/158) dan 22,1% (19/87) [12]. Asam tyrode Salah satu teknik pengeboran zona pelucida (zona drilling) dapat dilakukan dengan menggunakan asam tyrode. Larutan asam tyrode yang digunakan memiliki pH 2,2-2,6 [18] atau 2,5-2,8 [22]. pH tersebut merupakan pH yang umum digunakan untuk menghilangkan zona pelucida pada IVF dan melisiskan blastomer pada preimplantation genetic diagnosis/PGD[18]. Menurut Balaban et. al. (2002) pengeboran dengan metode ini membutuhkan waktu 40 detik [17] dan lubang yang dihasilkan cenderung besar, berukuran 2040_m[9]. Penggunaan asam tyrode sebagai zona drilling pada assisted hatching pertama kali diprakarsai oleh Cohen pada tahun 1992. Cara ini berhasil meningkatkan keberhasilan implantasi embrio yang dihasilkan dibandingkan dengan embrio tanpa perlakukan[17]. Risiko yang perlu dipertimbangkan dalam penggunaan teknik drilling dengan menggunakan asam tyrode ini adalah risiko kerusakan pada sel blastomer di dalam zona pelucida akibat pemaparan embrio pada larutan asam. Selain itu, lubang yang dihasilkan dengan metode ini relatif besar sehingga menimbulkan risiko terjadinya premature hatching atau keluarnya blastomer dari zona pelucida sebelum waktunya [17]. Pemaparan pada pH rendah pada asam tyrode yang digunakan juga dapat menimbulkan efek toksik pada embrio dan dapat berakibat kematian embrio[9,17,18]. Proses metode ini adalah dengan menahan embrio menggunakan holding pipet, sementara micropipete dengan diameter 10-12 mikro yang berada pada arah berlawanan (arah jam 3) menyemprotkan larutan asam tyrode pada zona pelucida hingga terbentuk lubang[23]. Lubang yang dihasilkan dari metode ini tidak bisa distandarisasi karena volume larutan yang disemprotkan dan waktu pemaparan sangat bergantung pada operator. Lubang yang dihasilkan juga bervariasi antara 10-13_m pada daerah dekat permukaan blastomere dan 15-8_m pada permukaan zona (lapisan paling luar dari zona) [18].

Gambar 2. Mekanisme penggunaan laser pada assisted hatching (a). Prinsip zona drilling menggunakan laser, (b). Lubang pada zona pellucid [21].

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

207

TINJAUAN PUSTAKA
Zona Dissection Metode ini umumnya dikenal dengan Partial Zona Dissection (PZD). Pada awalnya metode ini digunakan pada assisted reproduction untuk membantu sperma melewati zona pelucida pada saat masuk ke dalam sel telur. Metode tersebut kemudian berkembang menjadi Subzonal Sperm Injection (SUZI) dan terakhir disempurnakan menjadi Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI). Menurut Balaban et. al. 2002 penggunaan metode ini dalam assisted hatching memerlukan waktu kurang lebih 40 detik. Keterbatasan metode tersebut adalah sulitnya membuat lubang dengan ukuran yang sama pada setiap kali perlakuan sehingga didapatkan hasil yang bervariasi [17]. Sayatan dibuat dengan cara menahan embrio dengan holding pipet kemudian pada arah yang berlawanan dilakukan injeksi menggunakan injection pipet untuk menembus bagian zona pelucida. Zona pelucida kemudian digesekkan pada holding atau petri dish sampai zona terpotong. Lyu et. al. (2005) memperkenalkan cara baru untuk membuat sayatan pada embrio, dikenal dengan controlled zona dissection (CZD). Perbedaan cara ini terletak pada sudut yang dibuat pada mulut holding pipet sehingga terbentuk sudut 65. Selain itu ujung pipet injeksi tidak dibuat runcing melainkan tumpul. Sudut yang dibuat memudahkan untuk menggulirkan embrio sehingga lebarnya sayatan dapat dibuat lebih panjang dibandingkan dengan cara yang biasa dilakukan. Ujung pipet injeksi yang dibuat tumpul menjadi lebih aman bagi blastomer sehingga mengurangi kemungkinan untuk melukai blastomer[24] (Gambar 30). CZD dibedakan menjadi 2 berdasarkan ukurannya, long zona dissection (LZD) dengan ukuran 100 _m dan moderate zona dissection (MZD) dengan ukuran antara 55--65 _m. LZD merupakan pengembangan dari MZD yang dibuat untuk mengatasi kegagalan hatching pada embrio yang telah mengalami MZD. Kegagalan tersebut disebabkan karena ukuran inner cell mass yang besar sehingga masih tetap terhambat walaupun sudah dilakukan assisted hatching. Embrio dengan LZD memiliki tingkat keberhasilan hatching yang lebih tinggi dibanding MZD. Namun tingkat implantasi yang dihasilkan dengan LZD masih harus diuji secara klinik [24]. Risiko dari Prosedur Assisted Hatching Assisted hatching merupakan metode yang dapat membantu pasien IVF yang memiliki embrio dengan keadaan-keadaan yang seringkali menyebabkan kesulitan untuk terjadinya hatching secara spontan. Namun, perlu diperhatikan bahwa assisted hatching tidak hanya meningkatkan persentase implantasi dan kehamilan tapi juga meningkatkan risiko terjadinya hal yang tidak diinginkan, yaitu degenerasi embrio dan terbentuknya kembar monozygot [16, 25]. Monozygotic twinning adalah dua zigot yang memiliki materi genetik yang sama / kembar identik karena berasal dari 1 zigot. Monozygotic twinning terjadi karena inner cell mass terbagi 2 pada saat proses hatching. Diasumsikan sebagian inner cell mass tertahan dan terbagi 2 pada saat melalui lubang yang dibuat dengan assisted hatching [25]. Pada kelahiran yang terjadi secara alami persentase terjadinya monozygotic twinning diperkirakan sekitar 0,42% [16, 25].
DAFTAR PUSTAKA 1. 2. Plachot M. The blastocyst. Human Reproduction 2000; 15: 49--58. Fong C-Y, Bongso A., Ng S-C., et. al. Blastocyst transfer after enzymatic treatment of the zona pellucida: Improving in-vitro fertilization and understanding implantation. Human Reproduction 1998; 13: 2926--2932. Ebner T, Moser M., Yaman C., et. al. Prospective hatching of embryos developed from oocytes exhibiting difficult oolemma penetration during ICSI. Human Reproduction 2002; 17: 1317--1320. Kiefer SM, Sailing P. Proteolytic processing of human zona pellucida proteins. Biology of Reproduction 2002; 66: 407--414. Shostak S. 1991. Embryology: An introduction to developmental biology. Harper Collins, New York: xiii + 778 hlm. Elhelw BA, El Sadek MM, El Nomrosy KM. Assisted hatching: Routine or selective application in IVF. Middle East Fertility Society J 2004; 9: 198--201. Ng EHY, Naveed F, Lau EYL et. al. A randomized double-blind controlled study of the efficacy of laser-assisted hatching on implantation and pregnancy rates of frozen-thawed embryo transfer at the cleavage stage. Human Reproduction 2005; 20: 979--985. Lin S-P, Lee R K-K, Tsai Y-J. In vivo hatching phenomenon of mouse blastocyst during implantation. J Assist Reprod and Genetics 2001; 18: 341-345. Blake DA, Forsberg AS, Johansson BR. et. al. Laser zona pellucida thinningan alternative approach to assisted hatching. Human Reproduction 2001; 16:1959--1964.

3.

4. 5. Gambar 3. Cara kerja dan hasil dari controlled zona dissection. (a) pipet injeksi ditusukkan pada zona pelucida; (b) pembuatan lebar sayatan; (c) LZD yang dihasilkan; (d) inner cell mass yang besar tertahan pada bukaan yang dihasilkan dengan MZD; (e) blastosit yang sedang hatching pada sayatan yang dihasilkan LZD; (f) zona yang kosong setelah proses hatching [24]. 6. 7.

Perbedaan antara PZD dan CZD terletak pada bentuk sayatan yang dihasilkan. Hasil dari PZD pada assisted hatching berupa sayatan yang bersilangan + dengan ukuran masing-masing sayatan 20-30 _m. Sedangkan sayatan pada CZD berupa satu garis melintang.

8. 9.

208

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

TINJAUAN PUSTAKA
10. Montag M, Koll B, Holmes P, et. al. Significance of the number of embryonic cells and the state of th zona pellucida for hatching of mouse blastocyst in vitro versus in vivo. Biology Reproduction, 2000; 62: 1738--1744. 11. FongC-Y, Bongso A, Sathaananthan H et. al. Ultrastructural observations of enzimatically treated human blastocyst: zona-free blastocyst transfer and rescue of blastocyst with hatching difficulties. Human Reproduction 2001; 16: 540--546. 12. Mantoudis E, Podsiadly BT, Gorgy A, et. al. A comparison between quarter, partial, and total laser assisted hatching in selected infertility patients. Human Reproduction 2001; 16: 2181--2186. 13. Utsunomiya T, Ito H, Nagaki M, et. al. A prospective, randomized study: day 3 versus hatching blastocyst stage. Human Reproduction 2004; 19: 1598--1603. 14. Magli MC, Gianaroli L, Ferraretti AP et. al. Rescue of implantation potential in embryos with poor prognosis by assisted zona hatching. Human Reproduction 1998; 13: 1331--1335. 15. Marakis E, Angeli I, Agapitou K et. al. Laser versus mechanical assisted hatching: A prospective study of clinical outcomes. Fertil. Steril. 2006; 86: 1596--1600. 16. Allegra A, Sammartano F, Scaglione P et. al. Monozygotic bichorionic twinning after transfer of a single frozen/thawed embryo that has undergone quarter laser-assisted zona thinning: A case report. J Assisted Reprodand Gyenetics 2005; 22: 437--441. 17. Balaban B, Urman B, Alatas C et. al. A comparison of four different techniques of assisted hatching. Human Reproduction 2002; 17: 1239--1243. 18. Jones AE, Wright G, Kort HI et. al. Comparison of laser-assisted hatching and acidified Tyrodes hatching by evaluation of blastocyst development rates in sibling embryos: a prospective randomice trial. Fertili. Steril 2006; 85: 487--491. 19. Nishio E, Moriwaki T, Yoshi K, et. al. Chemical removal of zona pellucida versus laser assisted hatching after repeated failures of assisted reproductive technology. Reproductive Medicine and Biology 2006; 5: 263--267. 20. Bider D, Livshits A, Yonish M, et. al. Assisted hatching by zona drilling of human embryos in women of advanced age. Human Reproduction 1997; 12: 317--320. 21. Antinori S, Selman HA, Caffa B et. al. Zona opening of human embryos using a non-contact UV laser for assisted hatching in patients with poor prognosis of pregnancy. Human Reproduction 1996; 11: 2488--2492. 22. Zenrique HC, Wheeler MB, Beebe DJ. A microfluid method for removal of the zona pellucida from mammalian embryos. Lab Chip, 2005; 5: 108-110. 23. Gabrielsen A, Agerholm I, Toft B et.al. Assisted hatching improves implantation rates on cryopreserved-thawed embryos. A randomized prospective study. Human Reproduction 2004; 19: 2258--62. 24. Lyu QF, Wu LQ, Li YP et.al. An improved mechanical technique for assisted hatching. Human Reproduction 2005; 6: 1619--1623. 25. Sills ES, Moomjy M, Zaninovic N et. al. Human zona pellucida micromanipulation and monozygotic twinning frequency after IVF. Human Reproduction 2000; 15: 890--895.

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

209

BERITA TERKINI

Risiko obat-obat bebas (OTC)


Para ahli memperingatkan bahwa peningkatan akses pada obat bebas risikonya lebih besar daripada manfaatnya. Mereka menyarankan bahwa obat-obat bebas harus di bawah pengawasan ketat dan pasien harus didorong untuk melaporkan setiap kejadian/efek yang tidak diinginkan. Obat-obatan saat ini dibagi ke dalam 2 kelas yaitu:
yang memerlukan resep dan tidak perlu resep. Obat resep dikontrol sedangkan obat bebas (over the counter/OTC). diberi kelonggaran. Pihak pengawas (misalnya BPOM) harus menimbang manfaat kemudahan akses terhadap kerugian potensial akibat penggunaan tidak terkontrol dan tidak tepat, sebelum memutuskan klasifikasi suatu obat. Setelah diklasifikasikan, mereka menjadi subyek untuk tinjauan ulang keamanan. Pasien, dokter dan apoteker mendapatkan manfaat bila obat tersedia secara bebas. Contohnya, pasien dapat menelpon apotek kapanpun dibandingkan menunggu bertemu dokter, tidak perlu menunggu penulisan resep untuk penyakit ringan dan apoteker dapat menggunakan keterampilan profesionalnya lebih baik. Perusahaan obat dan apotek dapat memanfaatkan secara komersil klasifikasi obat bebas. Namun demikian, ada kekhawatiran, misalnya bahaya potensial pasien yang keliru mendiagnosis dan menggunakan obat bebas yang salah akan terlambat diagnosisnya. Juga tidak ada kesempatan untuk menekankan cara penggunaan yang aman seperti yang dilakukan saat memberikan obat resep. Regulasi dapat mengurangi potensi bahaya obat bebas dengan mengkhususkan konsentrasi, dosis atau ukuran kemasan sehingga apoteker dapat memberikannya tanpa resep. Namun demikian beberapa obat seperti statin mungkin kurang efektif dalam dosis rendah dibandingkan dosis yang biasanya diresepkan. Belanja melalui internet saat ini juga membuat keputusan pembelian obat langsung lebih mudah tanpa melibatkan dokter atau apoteker. Royal Pharmaceutical Society of Great Britain memperkirakan 2 juta orang Inggris mendapatkan obat melalui cara seperti ini.

Jadi, apa yang diperlukan untuk meningkatkan keamanan obat-obat OTC ?


Keamanan obat OTC harus dievaluasi secara berkala, walaupun sulit dipraktekkan. Karena para profesional kesehatan tidak dilibatkan, laporan efek samping hanya mengandalkan masyarakat. Pihak regulator harus juga menanyakan bukti lebih jelas mengenai manfaat dosis obat OTC jika lebih rendah dibandingkan yang biasa diresepkan. (NFA)
Sumber : http://www.bma.org

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

211

BERITA TERKINI

Pedoman baru penanganan hipertensi resisten


Faktor gaya hidup dan rekomendasi pengobatan adalah topik di dalam pedoman penanganan hipertensi resisten yang dikeluarkan oleh American Heart Association (AHA) April 2008. Regimen dosis ganda, waktu pemberian dan kepatuhan pasien terhadap pengobatan juga ditampilkan dalam pedoman yang dipublikasikan secara online pada jurnal Hypertension.

Pasien dikatakan hipertensi resisten, jika tekanan darah mereka tetap di atas target walaupun telah menggunakan 3 macam obat; atau tekanan darah tinggi terkontrol tapi diperlukan 4 atau lebih obat.
Studi mendapatkan bahwa 30% orang dengan tekanan darah tinggi termasuk hipertensi resisten; faktor umur dan obesitas merupakan 2 faktor utama kondisi ini, yang makin banyak ditemukan di Amerika sehubungan dengan perbaikan kesejahteraan. Orang dengan hipertensi resisten memiliki risiko kardiovaskular dan sering mempunyai kondisi kesehatan yang menyulitkan usaha mengelola tekanan darah mereka. Menurut komite AHA, tahap pertama adalah untuk menentukan apakah seseorang benar-benar mengalami hipertensi resisten, yang tidak sama dengan hipertensi tidak terkontrol. Penanganan hipertensi resisten membutuhkan pertimbangan faktor gaya hidup yang berkontribusi pada masalah, diagnosis dan penanganan penyebab sekunder dan penggunaan obat multipel secara efektif. Faktor gaya hidup mencakup berat badan, asupan garam dan konsumsi alkohol. Obesitas dikaitkan dengan tingginya tekanan darah dan penurunan berat badan dapat menurunkan tekanan darah dan mengurangi jumlah obat yang diperlukan untuk mengontrol tekanan darah. Diet ketat asupan garam biasa dilakukan pada pasien hipertensi resisten dan dapat membantu menurunkan tekanan darah. Asupan alkohol berlebihan juga berkaitan dengan hipertensi resisten. Penelitian menunjukkan mengurangi konsumsi alkohol juga dapat membantu menurunkan tekanan darah. Komite juga mendaftar sejumlah kondisi kesehatan yang dapat menyumbang pada hipertensi resisten, temasuk : Obstructive Sleep Apnea (OSA), Penyakit ginjal parenkim, Aldosteronisme primer dan Stenosis arteri ginjal.

Obat dimasukkan ke dalam area ketiga oleh komite. Penggunaan obat-obat yang meningkatkan tekanan darah seperti obat-obat anti inflamasi (NSAID) harus dikurangi atau dihindari, jika mungkin, pada pasien-pasien hipertensi resisten. Komite mencatat bahwa diuretik sering kurang dimanfaatkan pada pasien hipertensi resisten. Menurut mereka, beberapa pasien dapat memanfaatkan penambahan antagonis reseptor mineralokortikoid (ARM) pada regimen penanganan mereka. ARM dapat menangani aldosteronisme primer yang ditemukan pada sekitar 20% penderita hipertensi resisten. Menurut ketua komite, Dr. David A. Calhoun, profesor pada Vascular Biology and Hypertension Program di Universitas Alabama, Birmingham, manfaat ARM dalam menangani hipertensi resisten baru-baru ini telah dikonfirmasi. Penggunaan ARM memerlukan pemantauan biokimia, khususnya kadar kalium (potasium) karena adanya risiko hiperkalemi. (NFA)
Sumber : Hypertesion online, MedlinePlus

212

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

BERITA TERKINI

Penuaan biologis ditunda oleh fitness aerobik


Menurut analisis yang dipublikasikan dalam British Journal of Sport Medicine edisi 10 April 2008, dengan mempertahankan fitness aerobik sampai usia pertengahan dan meneruskan gaya hidup ini sampai usia tua, orang dapat menunda umur biologisnya sampai 12 tahun.
Penulis mengindikasikan bahwa ini merupakan harapan bagi para orang tua. Tampaknya ada cukup bukti bahwa mempertahankan asupan oksigen maksimal akan meningkatkan kehidupan sehingga para lanjut usia sehat tetap dapat mandiri. Efek positif lainnya dapat menurunkan risiko penyakit serius, waktu pemulihan lebih singkat setelah cedera atau sakit dan menurunkan risiko terjatuh dengan mempertahankan kekuatan otot, keseimbangan dan koordinasi. (NFA)
Sumber : Br J Sport Med 2008; 0:1-5 doi:10.1136/bjsm.2007.044800

Olahraga aerobik meningkatkan konsumsi oksigen tubuh yang diperlukan untuk membangkitkan energi melalui proses metabolisme. Contoh olahraga aerobik adalah jogging dan bersepeda. Namun demikian, kekuatan aerobik maksimum seseorang diprediksikan mulai turun pada awal usia pertengahan sekitar 5 mL/kg/menit setiap dekade. Pada pria biasa usia 60 tahunan, kekuatan aerobik maksimal akan menurun menjadi sekitar 25 mL/kg/menit, hampir setengah kekuatan pada usia 20 tahun. Jika kemampuan turun di bawah 18 mL/kg/menit (pada pria) atau 15 mL/kg/menit (pada wanita), akan sangat sulit untuk melakukan aktivitas harian tanpa kelelahan berat.
Namun, menurut bukti yang ditunjukkan dalam artikel di atas, olahraga aerobik rutin dapat mencegah atau membalikkan penurunan ini. Artikel ini mengkombinasikan data dari banyak sumber berbeda untuk menyimpulkan bahwa dengan peningkatan kapasitas aerobik, penuaan biologis seseorang dapat diperlambat. Secara khusus, penelitian menunjukkan bahwa olahraga aerobik intensif tinggi jangka panjang, meningkatkan kekuatan aerobik maksimum sebesar 25%. Ini setara dengan perolehan 6 mL/kg/menit atau diekstrapolasi menjadi 10-12 tahun biologis.

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

213

BERITA TERKINI

Terbukti : kaitan antara common cold dengan infeksi telinga


Sebuah studi baru selama 5 tahun di Universitas Texas Medical Branch mengkonfirmasi hubungan dekat antara dua penyakit umum pada anak-anak yaitu flu dan infeksi telinga. Laporan dalam jurnal Clinical Infectious Disease edisi 15
Maret 2008 mengkonfirmasi kecurigaan hubungan dekat kedua penyakit ini; juga mengidentifikasi virus berkaitan dengan angka lebih tinggi pada infeksi telinga. Dr. Tasnee Chronmaitree, dokter spesialis penyakit infeksi anak yang menjadi peneliti utama, mengatakan bahwa pemahaman bagaimana virus dan infeksi telinga berkaitan akan membantu kita menemukan jalan untuk mencegah infeksi telinga. Infeksi telinga adalah faktor di belakang resitensi antiobiotika, sebuah isu yang mengganggu. Dia telah mempelajari infeksi telinga (otitis media) lebih dari 2 dekade. Menurutnya, orang tua dapat memberikan perlindungan terbaik bagi anaknya dengan menghindari paparan dari anak yang sakit dan memastikan anak-anak mereka sudah divaksinasi influenza. Dia menyarankan bahwa anak akan berkurang paparannya terhadap virus bila mereka mengurangi berhubungan dengan temanteman mereka. Chronmaitree dkk. melibatkan 294 anak-anak berumur 6 bulan sampai 3 tahun selama hampir 1 tahun. Peneliti mendokumentasikan sekitar 1.300 kejadian flu dan 61% angka komplikasi infeksi telinga termasuk adanya cairan dalam telinga tengah, yang dapat menyebabkan masalah pendengaran. Para peneliti juga mengidentifikasi tipe virus penyebab flu (adenovirus), virus pernapasan dan coronavirus yang kebanyakan didapatkan pada infeksi telinga. Lebih lanjut dijelaskan pentingnya orangtua mengusahakan lebih melindungi anak dari flu karena sekarang diketahui bahwa flu (common cold) adalah prekursor infeksi telinga. Hindari paparan dari anak atau orang dewasa sakit, hindari main di tempat umum (jika mungkin) dan jika tidak mungkin, pilih tempat dengan lebih sedikit orang lain. Juga direkomendasikan penggunaan vaksin influenza, satu-satunya yang tersedia untuk infeksi virus pernapasan, saat ini untuk anak di bawah 6 bulan. Obat antivirus juga dapat mencegah infeksi telinga yang berkaitan dengan influenza. Chronmaitree dkk. akan melanjutkan mempelajari peranan virus pada infeksi telinga untuk menemukan cara pencegahan penyakit. National Institute of Health (NIH) melanjutkan pendanaan sehingga memungkinkan peneliti mempelajari anak-anak yang lahir dengan variasi genetik sehingga lebih mudah mendapatkan infeksi telinga dan interaksi gen dengan lingkungannya. (NFA)
Sumber : Clinical Infectious Disease, 15 Maret 2008.

216

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

BERITA TERKINI

Dermatitis atopik berkaitan dengan keganasan


Dermatitis atopik diderita oleh lebih kurang 20% anak-anak dan 1-3% orang dewasa di negara berkembang. Menurut studi saat ini, pasien dengan dermatitis atopik lebih berisiko menderita keganasan seperti limfoma, melanoma kulit dan kanker kulit nonmelanoma.

Felix Arellano dkk dari Risk Management Resources Espaa, telah melaporkan hasil suatu studi pasien dermatitis atopik di Inggris. Dengan menggunakan database Health Improvement Network (THIN) di Inggris, peneliti membandingkan kejadian kanker pada pasien dermatitis atopik dengan kejadian kanker pada orang yang tidak menderita dermatitis atopik.
Studi tersebut mencatat kejadian kanker secara umum, seperti tingkat kejadian limfoma, melanoma dan kanker kulit nonmelanoma pada kedua populasi pasien. Dari 4.456.008 pasien yang terlibat dalam studi tersebut, 232.309 pasien atau 5,2% menderita dermatitis atopik. Hasilnya menunjukkan bahwa 129.972 pasien yang lebih kurang setengahnya adalah wanita, didiagnosis kanker selain kanker kulit nonmelanoma. Tingkat kejadian kanker secara keseluruhan (selain kanker kulit nonmelanoma), limfoma, melanoma dan kanker kulit nonmelanoma masingmasing adalah 42,42, 1,7, 1,72 dan 11,69 per 10.000 orang per tahun. Pada pasien yang menderita dermatitis atopik, Dr.Arellamo mencatat bahwa tingkat kejadian kanker meningkat dengan usia khususnya pada populasi wanita, meskipun secara umum, kejadian pada pria lebih tinggi dibanding wanita dalam setiap usia. Hasil studi tersebut menunjukkan ada peningkatan risiko kanker secara keseluruhan dan subtipe kanker limfoma pada pasien yang menderita dermatitis atopik. Hasil studi ini sebaiknya tidak hanya diketahui oleh dokter kulit tetapi juga oleh semua profesi medis untuk lebih ketat mengontrol pasien yang menderita dermatitis atopik. Menurut Dr.Arellano, kemungkinan peningkatan risiko terjadinya keganasan tersebut adalah karena stimulasi kronik sistem imun oleh antigen menyebabkan terjadinya mutasi pro-onkogenik secara acak yang dapat menyebabkan peningkatan risiko berkembangnya kanker. Secara keseluruhan, tercatat lebih kurang 40% peningkatan risiko kanker meliputi limfoma, melanoma kulit, dan kanker kulit nonmelanoma pada pasien dengan dermatitis atopik dibandingkan dengan pasien tanpa penyakit tersebut.

Menurut Dr. Arellano, penemuan bahwa tingkat kejadian melanoma lebih tinggi pada pasien dermatitis atopik adalah mengejutkan karena dermatitis atopik dikaitkan dengan penurunan jumlah nevi melanotik. Peningkatan risiko melanoma pada pasien atopik dapat dijelaskan jika penentu melanoma lain seperti jenis kulit, warna mata dan rambut, riwayat sunburn, dan riwayat keluarga melanoma juga dimasukkan dalam pertimbangan studi tersebut. Tetapi karena hal tersebut tidak dimasukkan, maka hasil studi tersebut sebaiknya diinterpretasikan dengan hati-hati dan kaitan antara dermatitis atopik dan melanoma sebaiknya dieksplorasi lebih lanjut dalam studi analisis dengan kontrol faktor risiko yang lengkap untuk melanoma dan validasi diagnosis melanoma. (EKM)
Referensi : Petroi I. Atopic dermatitis patients may have increased risk of malignancies. Dermatology Times Feb 2008. http://www.modernmedicine.com/modernmedicine/content/printContentPopup.jsp?id=492819

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

217

BERITA TERKINI

Tramadol untuk Penanganan Ejakulasi Dini


Ejakulasi dini (PE) merupakan masalah seksual yang paling sering terjadi pada laki-laki.

PE mengenai 25-40% laki-laki. PE mempunyai ciri-ciri kurangnya kontrol volunter ( kontrol yang disadari ) terhadap ejakulasi. Sebagian besar laki-laki mengalami PE setidaknya sekali dalam hidupnya. Sering laki-laki dewasa muda mengalami PE pada saat melakukan hubungan intim untuk yang pertama kalinya, namun selanjutnya mereka belajar mengontrol ejakulasi. Bukti terakhir menunjukkan bahwa intravaginal ejaculation latency time (IELT) rata-rata pada laki-laki usia 18-30 tahun adalah 6.5 menit. Seorang laki-laki disebut menderita PE jika persentil IELT <2.5 (IELT <1.5 menit). PE dapat disebabkan oleh depresi sementara, stres masalah keuangan, ekspektasi yang tidak realistis terhadap penampilan diri, riwayat represi seksual, atau kurangnya kepercayaan diri.
PE merupakan masalah mendunia yang tidak memiliki acuan penanganan yang disetujui secara luas. Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) merupakan antidepresan yang digunakan secara luas dalam penanganan PE. Namun penggunaan SSRIs dan antidepresan lainnya belum mendapatkan FDA approved (off label). Banyak penelitian dilakukan untuk mengetahui agen farmakologi yang paling tepat untuk penanganan PE. Berikut ini disampaikan uji klinik mengenai tramadol dalam penanganan PE. 1. Salem dkk melakukan studi efikasi tramadol dalam penanganan PE. Dalam studi ini IELT digunakan sebagai parameter. Single-blind, placebo-controlled, crossover, stopwatch monitored two-period study dilakukan pada 60 pasien dengan riwayat PE sepanjang hidupnya. Disebut PE jika IELT <2 menit pada 80% hubungan intim yang dilakukan. Tramadol HCl 25 mg diberikan pada 30 pasien sebelum melakukan hubungan intim dan plasebo diberikan pada 30 pasien lainnya selama 8 minggu. Obat ditelan 1-2 jam sebelum melakukan aktivitas seksual dan setidaknya hubungan intim harus dilakukan 1 kali/minggu. Setelah periode 8 minggu, grup yang awalnya mendapat plasebo kemudian ditukar dan mendapatkan tramadol, begitu juga pada grup yang satunya; penukaran tersebut dilakukan selama 8 minggu. Antara dua periode 8 minggu dipisahkan oleh periode 1 minggu saat seluruh pasien tidak mengkonsumsi tramadol ataupun plasebo. IELT diukur dengan stop watch setiap kali melakukan hubungan intim dan hasilnya dilaporkan oleh pasien atau pasangan seksualnya. IELT awal (rata-rata SD) sebelum terapi adalah 1.17 0.39 menit. Pada akhir periode terapi, IELT rata-rata meningkat secara bermakna pada pasien saat mendapatkan tramadol, yaitu 7.37 2.53 menit (P<0.0001). IELT rata-rata pada pasien saat mendapatkan plasebo adalah 2.010.71 menit. Para pasien melaporkan kepuasan mereka akan hasil terapi terhadap kontrol ejakulasi. Kesimpulan : tramadol, obat anti inflamasi yang sudah terbukti keamanannya, menunjukkan potensinya sebagai terapi untuk menangani PE. 2. Safarinejad dan Hosseini melakukan studi evaluasi efikasi dan keamanan tramadol dalam menunda ejakulasi pasien PE. 64 laki-laki dengan PE secara acak diberi 50 mg tramadol (grup 1, n = 32) atau plasebo (grup 2, n = 32) kira-kira 2 jam sebelum melakukan hubungan intim, selama 8 minggu. Sebelum terapi, dilakukan evaluasi mengenai : riwayat PE, pemeriksaan fisik, IELT, International Index of Erectile Function, dan tes Meares-Stamey. Efikasi kedua terapi yang diberikan, dinilai berdasarkan respon pasien terhadap International Index of Erectile Function, dan IELT. 57 pasien (89%) berhasil menyelesaikan seluruh terapi. IELT rata-rata meningkat dari 19 detik menjadi 243 detik setelah pemberian tramadol, sedangkan IELT rata-rata untuk plasebo meningkat dari 21 detik menjadi 34 detik (p<0.001). Frekuensi rata-rata hubungan intim dalam seminggu meningkat dari 1.07 menjadi 2.3 setelah pemberian tramadol dan dari 1.1 menjadi 1.3 setelah pemberian plasebo (p<0.05). Nilai domain kepuasan setelah melakukan hubungan intim berdasarkan International Index of Erectile Function, meningkat dari 10 menjadi 14 setelah pemberian tramadol dan dari 11 menurun menjadi 10 setelah pemberian plasebo (p<0.05). Tidak terdapat penghentian terapi akibat efek samping tramadol maupun plasebo, namun efek samping akibat pemberian tramadol lebih banyak dibandingkan dengan plasebo (p<0.05). Kesimpulan : tramadol memperlihatkan hasil yang lebih baik secara bermakna dalam IELT dan kepuasan hubungan intim dibandingkan dengan plasebo. (VKS)
Referensi : 1. Premature Ejaculation. www.wikipedia.com 2. Salem EA et al. Tramadol HCL has Promise in On-Demand Use to Treat Premature Ejaculation. J Sex Med 2008;5:188193. www. blackwell-synergy.com 3. Safarinejad MR., Hosseini SY. Safety and efficacy of tramadol in the treatment of premature ejaculation: a double-blind, placebocontrolled, fixed-dose, randomized study. J Clin Psychopharmacol. 2006;26(1):27-31. www.ncbi.nlm.nih

218

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

BERITA TERKINI

Beberapa menit adalah yang paling memuaskan


Tidak perlu waktu panjang untuk memuaskan istri di tempat tidur. Sebuah survai oleh ahli terapi seksual menyimpulkan waktu optimal untuk berhubungan seks hanya 3-13 menit.

Sertraline untuk Leishmaniasis


Leishmaniasis adalah sejenis penyakit yang penyebabnya adalah protozoa atau parasit Leishmania donovani. Pasien yang terjangkit penyakit leishmaniasis ini banyak yang mengalami depresi karena sulitnya pengobatan.

Temuan ini akan dipublikasikan di dalam Journal of Sexual Medicine edisi Mei 2008, yang menjelaskan bahwa ketahanan adalah kunci untuk kehidupan seks yang hebat. Waktu tersebut tidak menghitung foreplay dan para ahli mengatakan hubungan seksual yang bertahan antara 1-2 menit sebagai terlalu pendek.
Lima puluh anggota the Society for Sex Therapy and Research di Amerika dan Kanada disurvai oleh Corty, seorang profesor psikologi dan mahasiswanya Jenny Guidani di Penn State Erie, The Behrend College. Tiga puluh empat anggota atau 68% merespon, walaupun mengatakan bahwa waktu optimal tergantung pada pasangannya. Peneliti Eric Corty berharap mengubah pandangan mereka yang percaya bahwa jika Anda benar-benar ingin memuaskan istri Anda, Anda harus bertahan selamanya. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa baik pria dan wanita menginginkan foreplay dan berhubungan seks lebih lama. Dr. Irwin Goldstein, editor Journal of Sexual Medicine mengemukakan dari studi atas 1.500 pasangan (2005), ditemukan waktu rata-rata untuk berhubungan badan adalah 7,3 menit. Marianne Brandon, seorang ahli psikologi klinis dan direktur Wellminds Wellbodies mengatakan sulit bagi orang tua maupun orang muda untuk berhubungan badan lebih lama. Corty berharap dapat memberikan ide para ahli terapi bahwa anggapan normal dan memuaskan tergantung para pasangan. (NFA)
Yahoo news, 2 April 2008.

Baru-baru ini jurnal Antimicrobial & Chemotherapy edisi


Februari 2008, memuat hasil penelitian obat antidepresan golongan SSRI sertraline terhadap penyakit tersebut pada binatang yang dilakukan di India. Telah diketahui bahwa sertraline mempunyai efek penghambatan terhadap parasit jenis tersebut pada hewan coba, sekaligus dalam penelitian tersebut untuk mengetahui seberapa jauh kekuatan sertraline dalam membunuh parasit tersebut. Hasil yang didapatkan bahwa sertraline dapat membunuh prosmatigot dari Leishmania donovani dan amastigot secara intraseluler dengan konsentrasi penghambatan 50% (IC50) adalah 2,2 dan 2,3 mg/L. Obat juga efektif menghilangkan parasit yang berada di limfa sebesar 72% dan di hati sebanyak 70% melalui pengobatan per oral. Ternyata mekanisme kerja sertraline dalam membunuh parasit adalah dengan mematikan promastigot parasit yang diukur secara intraseluler melalui kadar ATP dan konsumsi oksigen. Sertraline menginduksi kadar ATP dalam sitoplasma serta konsumsi O2 yang akan meningkatkan proses apoptosis terhadap parasit tersebut. Meskipun masih terkesan awal, hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa sertraline sepertinya menjanjikan untuk digunakan sebagai terapi oral leishmaniasis. (IDS)
Referensi: 1. Oral therapy with sertraline, a selective serotonin reuptake inhibitor, shows activity against Leishmania donovani. J Antimicrob Chemother 2008 Feb 13. 2. http://en.wikipedia.org/wiki/Leishmaniasis

220

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

BERITA TERKINI

Beberapa menit adalah yang paling memuaskan


Tidak perlu waktu panjang untuk memuaskan istri di tempat tidur. Sebuah survai oleh ahli terapi seksual menyimpulkan waktu optimal untuk berhubungan seks hanya 3-13 menit.

Sertraline untuk Leishmaniasis


Leishmaniasis adalah sejenis penyakit yang penyebabnya adalah protozoa atau parasit Leishmania donovani. Pasien yang terjangkit penyakit leishmaniasis ini banyak yang mengalami depresi karena sulitnya pengobatan.

Temuan ini akan dipublikasikan di dalam Journal of Sexual Medicine edisi Mei 2008, yang menjelaskan bahwa ketahanan adalah kunci untuk kehidupan seks yang hebat. Waktu tersebut tidak menghitung foreplay dan para ahli mengatakan hubungan seksual yang bertahan antara 1-2 menit sebagai terlalu pendek.
Lima puluh anggota the Society for Sex Therapy and Research di Amerika dan Kanada disurvai oleh Corty, seorang profesor psikologi dan mahasiswanya Jenny Guidani di Penn State Erie, The Behrend College. Tiga puluh empat anggota atau 68% merespon, walaupun mengatakan bahwa waktu optimal tergantung pada pasangannya. Peneliti Eric Corty berharap mengubah pandangan mereka yang percaya bahwa jika Anda benar-benar ingin memuaskan istri Anda, Anda harus bertahan selamanya. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa baik pria dan wanita menginginkan foreplay dan berhubungan seks lebih lama. Dr. Irwin Goldstein, editor Journal of Sexual Medicine mengemukakan dari studi atas 1.500 pasangan (2005), ditemukan waktu rata-rata untuk berhubungan badan adalah 7,3 menit. Marianne Brandon, seorang ahli psikologi klinis dan direktur Wellminds Wellbodies mengatakan sulit bagi orang tua maupun orang muda untuk berhubungan badan lebih lama. Corty berharap dapat memberikan ide para ahli terapi bahwa anggapan normal dan memuaskan tergantung para pasangan. (NFA)
Yahoo news, 2 April 2008.

Baru-baru ini jurnal Antimicrobial & Chemotherapy edisi


Februari 2008, memuat hasil penelitian obat antidepresan golongan SSRI sertraline terhadap penyakit tersebut pada binatang yang dilakukan di India. Telah diketahui bahwa sertraline mempunyai efek penghambatan terhadap parasit jenis tersebut pada hewan coba, sekaligus dalam penelitian tersebut untuk mengetahui seberapa jauh kekuatan sertraline dalam membunuh parasit tersebut. Hasil yang didapatkan bahwa sertraline dapat membunuh prosmatigot dari Leishmania donovani dan amastigot secara intraseluler dengan konsentrasi penghambatan 50% (IC50) adalah 2,2 dan 2,3 mg/L. Obat juga efektif menghilangkan parasit yang berada di limfa sebesar 72% dan di hati sebanyak 70% melalui pengobatan per oral. Ternyata mekanisme kerja sertraline dalam membunuh parasit adalah dengan mematikan promastigot parasit yang diukur secara intraseluler melalui kadar ATP dan konsumsi oksigen. Sertraline menginduksi kadar ATP dalam sitoplasma serta konsumsi O2 yang akan meningkatkan proses apoptosis terhadap parasit tersebut. Meskipun masih terkesan awal, hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa sertraline sepertinya menjanjikan untuk digunakan sebagai terapi oral leishmaniasis. (IDS)
Referensi: 1. Oral therapy with sertraline, a selective serotonin reuptake inhibitor, shows activity against Leishmania donovani. J Antimicrob Chemother 2008 Feb 13. 2. http://en.wikipedia.org/wiki/Leishmaniasis

220

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

BERITA TERKINI

Efek Trisiklik vs SSRI terhadap substansia alba otak


Antidepresan trisiklik sepertinya sudah tak aman lagi digunakan oleh pasien lansia. Hasil laporan dari pusat riset di UK yang dimuat pada Stroke edisi Maret 2008 menunjukkan adanya efek samping tromboemboli vena idiopatik, akibat pemakaian antidepresan trisiklik.

Sejak tahun 1980-an, sebenarnya sudah diketahui bahwa 2 golongan antidepresan yaitu golongan trisiklik dan golongan MAO (monoamine oxidase) inhibitor meskipun efektif tetapi banyak menimbulkan efek samping serius sehingga penggunaannya membutuhkan pemantauan yang ketat oleh dokter.
Penelitian terhadap antidepresan trisiklik kembali dilakukan pada pasien lansia, menggunakan MRI (magnetic resonance imaging) secara serial untuk melihat apakah trisiklik akan meningkatkan risiko terjadinya kelainan serebral. Ternyata ditemukan bahwa antidepresan trisiklik dapat meningkatkan progresifitas terjadinya lesi di area putih pasien lansia. Hal ini berhubungan dengan kejadian depresinya; selain itu, progresifitas lesi tersebut mengindikasikan berbagai efek samping lain seperti hipotensi. Dr. David C. Steffens, dari Universitas Duke di Durham, North Carolina meneliti 1.829 pasien dewasa, berusia 65 tahun atau lebih pengguna antidepresan trisiklik pada saat baseline dan 5 tahun kemudian dengan menggunakan pemindai MRI. Pada beberapa kasus, gejala depresinya berhubungan dengan adanya lesi dari hasil pemeriksaan MRI, yang sebabnya sampai saat ini belum diketahui dengan jelas.

Hasil penelitian ini menunjukkan efek pemakaian trisiklik pada pasien depresi terhadap area substansia alba pasien dan efek samping yang sering dikeluhkan oleh pasien pengguna antidepresan golongan trisiklik, berbeda sekali dengan pengguna SSRI. Antidepresan golongan SSRI telah diketahui memiliki efek menurunkan agregasi trombosit. Pada penelitian terapi SSRI hanya ditemukan sedikit sekali efek jelek pada substasia alba. (IDS)

Referensi:
1. Antidepressant Treatment and Worsening White Matter on Serial Cranial Magnetic Resonance Imaging in the Elderly. Stroke 2008;39:857-862. 2. Safety of antidepressants in the elderly. Expert Opinion on Drug Safety 2003; 2( 4): 367-383. 3. Antidepressant drug use and risk of venous thromboembolism. Pharmacotherapy 2008; 28(2):144-50

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

221

BERITA TERKINI

WHO menerbitkan laporan tentang skala global TB yang resisten terhadap obat
TB yang resisten terhadap obat bertanggung jawab untuk satu dari setiap 20 kasus TB baru yang didiagnosis di seluruh dunia, dan angka ini mendekati satu dari setiap lima kasus di beberapa wilayah di bekas Uni Soviet. Hal ini berdasarkan laporan yang diterbitkan oleh WHO.

Laporan ini berjudul Anti-Tuberculosis Drug Resistance in


the World, memperkirakan terjadi kurang lebih 500.000 kasus TB yang resisten terhadap obat baru setiap tahun, atau kurang lebih 5% dari sembilan juta kasus TB baru setiap tahun. Laporan tersebut mencakup data yang dikumpulkan antara 2002 dan 2006 dari 90.000 orang yang hidup dengan TB di 81 negara. Laporan tersebut mencatat angka tertinggi TB yang lebih resisten terhadap beberapa obat lini pertama (TB-MDR). Juga ditemukan bahwa TB yang sangat resisten terhadap obat (TB-XDR), yang resisten terhadap dua jenis obat lini pertama yang paling manjur dan beberapa obat lini kedua yang tersedia, sudah dicatat di 45 negara di dunia. Ini adalah pertama kalinya survei tersebut mencakup analisis TB-XDR. Di Baku, Azerbaijan, TB-MDR menyumbang 22,3% dari semua kasus TB baru yaitu tingkat tertinggi yang pernah tercatat. Persentase TB-MDR di antara kasus TB baru adalah 19% di Moldova; 16% di Donetsk, Ukraina; 15% di wilayah Tomsk di Rusia; dan 15% di Tashkent, Uzbekistan. Persentase tersebut melampaui tingkat TB-MDR tertinggi yang dilaporkan WHO dalam laporan TB 2004. Temuan ini juga menunjukkan hubungan antara HIV dan TB-MDR. Pada orang yang koinfeksi HIV/TB di Latvia dan Ukraina, ditemukan bahwa TB-MDR adalah hampir dua kali lebih umum dibandingkan dengan pada orang yang mempunyai TB dan HIV-negatif. Sebagai tambahan, WHO mengatakan bahwa di Afrika sub-Sahara, HIV/AIDS memicu penyebaran TB secara bermakna. Menurut Mario Raviglione, direktur Departemen StopTB WHO, situasinya akan lebih cepat tidak terkendali karena keberadaan HIV, yang mengakibatkan orang lebih rentan terhadap TB. Tingginya tingkat TB yang resisten terhadap obat juga ditemukan di Cina dan India. Tetapi, Cina mempermasalahkan data tersebut, mengatakan bahwa 94% pasien TB sudah menyelesaikan pengobatan TB putaran pertama di negaranya. Sebagai tambahan, laporan tersebut menyoroti keberhasilan pengendalian TB di Estonia dan Latvia, yang dianggap pusat TB yang resisten terhadap obat 13 tahun lalu. Investasi yang bermakna dan upaya yang terusmenerus dilakukan untuk mengendalikan TB-MDR telah membantu menstabilkan tingkat TB di negara tersebut, dan tingkat laporan juga menurun.

Walaupun laporan ini adalah hasil survei TB resisten terhadap obat yang terbesar, informasi statistik hanya tersedia dari separuh negara di dunia, dan hanya ada informasi dari enam negara di Afrika. Banyak negara di Afrika sub-Sahara tidak dapat melaporkan data karena ketiadaan kapasitas laboratorium untuk mendiagnosis TB resisten terhadap obat. Raviglione mengatakan bahwa mungkin sejumlah orang dengan TB yang resisten terhadap obat dan bahkan di seluruh wilayah jangkitan sudah terlewatkan. Kami tidak tahu situasi di Afrika dia mengatakan, menambahkan bahwa apabila TB-MDR sudah masuk ke Afrika dan bergabung dengan AIDS, maka hal ini akan menjadi malapetaka. WHO memperkirakan bahwa kurang lebih 4,8 miliar dolar AS diperlukan untuk seluruh pengendalian TB di negara berpenghasilan rendah dan menengah tahun ini, lebih dari 2,5 miliar dolar AS yang tersedia saat iin. Reaksi TB yang resisten terhadap obat memerlukan serangan langsung, Raviglione mengatakan, menambahkan, Apabila negara dan komunitas internasional saat ini tidak berhasil menangani hal ini secara giat, kita akan kalah. Dia menambahkan, Sebagai tambahan terhadap perlawanan khusus pada TB yang resisten terhadap obat dan menyelamatkan jiwa, program di seluruh dunia harus segera meningkatkan kinerjanya untuk mendiagnosis semua kasus TB secara cepat dan mengobati mereka hingga sembuh, yang merupakan cara terbaik untuk mencegah pengembangan resistensi terhadap obat. Tido von Schoen-Angerer, direktur eksekutif Campaign for Access to Essential Medicines Medecins Sans Frontieres, mengatakan, Kami saat ini sudah kehilangan arah sama sekali, menambahkan bahwa hanya 30.000 orang dengan TB-MDR yang menerima pengobatan tahun lalu. TB-MDR adalah ancaman bagi setiap orang di bumi, menurut Mark Harrington, direktur eksekutif Treatment Action Group. TB adalah ancaman bagi setiap orang yang berpergian dengan kereta api atau pesawat. (NFA)
Sumber : WHO Releases Report on Global Scale of Drug-Resistant TB The Kaiser Daily HIV/AIDS Report, 28 Februari 2008

222

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

BERITA TERKINI

Lingkar pinggang besar pada wanita meningkatkan risiko kematian


Menurut studi besar di Amerika, wanita dengan banyak lemak perut meninggal lebih awal akibat penyakit jantung dan kanker dibandingkan wanita lain, tidak tergantung berat badannya.

Temuan ini dilaporkan dalam Circulation edisi 1 April 2008; menambah bukti bahwa jika berkaitan dengan risiko kesehatan, berat total tidak sepenting lemak perut.
Studi terdahulu menemukan bahwa orang dengan tipe bentuk apel tampaknya berisiko arteriosklerosis, tekanan darah tinggi dan diabetes. Obesitas perut juga telah dikaitkan dengan kanker tertentu seperti kanker ginjal dan kanker kolon. Dalam studi baru, para peneliti di National Institute of Health and Harvard Medical School menemukan bahwa wanita paruh baya dan lansia obesitas perut (lingkar pinggang 89 cm) tampaknya lebih banyak meninggal akibat penyakit jantung atau kanker selama studi dibandingkan wanita yang lebih ramping. Di antara 44.000 wanita Amerika yang diteliti selama 16 tahun, obesitas perut menaikkan 2 kali lipat kematian akibat penyakit jantung atau stroke, dibandingkan wanita yang lingkar pinggangnya < 71 cm. Jika dikaitkan dengan kematian akibat kanker, wanita dengan ukuran pinggang terbesar risikonya 63% lebih tinggi dibandingkan wanita kebanyakan. Studi ini juga menemukan risiko pinggang besar tidak tergantung indeks massa tubuh (IMT) keseluruhan. Nyatanya, di antara wanita dengan berat badan normal yang lingkar pinggangnya 89 cm risiko kematian akibat stroke dan penyakit jantung tetap lebih besar. Hasil ini menekankan pentingnya tetap ramping di usia pertengahan, menurut pimpinan penelitian Dr. Cuilin Zhang dari National Institute of Child Health and Human Development. Walaupun mempertahankan berat ideal harus terus dilakukan untuk pencegahan penyakit kronis dan kematian prematur, sama pentingnya untuk mempertahankan ukuran pinggang dan mencegah obesitas perut. Kelebihan lemak perut diperkirakan tidak sehat karena efek metaboliknya. Terlalu banyak lemak di daerah tubuh ini tampaknya meningkatkan kadar kolesterol, meningkatkan resistensi insulin (prekursor diabetes tipe 2) dan menyebabkan inflamasi luas dalam tubuh yang berkontribusi pada penyakit jantung dan kanker tertentu. (NFA)

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

223

BERITA TERKINI

Makan pagi menjaga remaja tetap ramping


Sebuah survai tentang pola makan di Amerika menemukan bahwa makan pagi membantu para remaja menurunkan berat badan, seperti dikutip The Independent. Berita ini diperoleh dari penelitian Maureen Timlin dkk. dari divisi Epidemiologi dan Kesehatan Komunitas di Universitas Minnesota. Studi ini dipublikasikan dalam jurnal Pediatrics.

Studi ini adalah studi kohort pada remaja, untuk meneliti


apakah frekuensi makan pagi berkaitan dengan perubahan indeks massa tubuh jika diperhitungkan sebagai faktor yang mungkin mempengaruhi berat badan. Dalam studi ini, peneliti mengamati 4.746 pelajar dari 31 sekolah menengah dan tinggi antara tahun 1998 dan 1999. Untuk menentukan adakah kaitan antara makan pagi dan berat badan, para peneliti melihat hubungan antara frekuensi makan pagi dan indeks massa tubuh (IMT) di satu saat tertentu dan kemudian antara dua saat. Pengujian kedua secara prospektif lebih baik untuk menguji kaitan ini dan peneliti memilih menguji kaitan antara frekuensi makan pagi pada survey dan perubahan IMT selama 5 tahun. Mereka meneliti 3 kelompok : yang makan pagi tiap hari, yang tidak pernah makan pagi dan yang makan pagi tidak teratur (antara 1 sampai 6 hari seminggu); disesuaikan dengan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi berat badan.

Studi menemukan bahwa frekuensi makan pagi (harian, kadang-kadang dan tidak pernah) berbanding terbalik dengan IMT. Hal ini berarti bahwa orang-orang yang makan pagi lebih sering memiliki angka IMT lebih rendah dibandingkan yang jarang makan pagi atau tidak pernah, dengan memperhitungkan umur, gender, ras, status sosial ekonomi, latihan dan penggunaan alkohol. Pola ini mirip ketika para penaliti memperhitungkan faktor-faktor diet (total kalori, rasio lemak jenuh dan tak jenuh, item masing-masing makanan). Namun hasilnya menjadi tidak bermakna jika faktor kekuatiran terhadap berat badan dan perilaku makan terganggu diperhitungkan. Laporan ini merupakan studi kohort sehingga tidak dapat dibuktikan adanya hubungan kausal; untuk itu perlu studi lanjutan. Tetapi temuan ini mendukung pentingnya makan pagi teratur pada remaja. (NFA)
Sumber : Pediatrics 2008; 121 : e638-e645, Medical News Today, 10 Maret 2008

224

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

INFORMATIKA KEDOKTERAN

Sistem Pendukung Keputusan Klinis dan Perbaikan Kualitas Pelayanan Kesehatan


Rizaldy Pinzon
SMF Saraf RS Bethesda Yogyakarta

PENDAHULUAN Dalam tugasnya sehari-hari para praktisi kesehatan seringkali dihadapkan pada berbagai masalah dan ketidakpastian. Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pemberian pelayanan kesehatan seringkali belum optimal. Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa hanya kurang lebih setengah dari indiaktor kualitas pelayanan kesehatan yang dapat terpenuhi(1). Salah satu penelitian(2) memperkirakan terdapat 98.000 kematian akibat kesalahan tindakan medis (medical error). Penelitian lebih baru oleh Jayawardena dkk memperlihatkan bahwa kesalahan peresepan terjadi pada 7,53 per 1000 peresepan, dan 50% di antaranya merupakan kesalahan fatal dan dapat membahayakan pasien(3). Kesalahan medis dapat terjadi mulai dari proses diagnosis, terapi, dan rehabilitasi pasien. Kesalahan medis dapat pula terjadi pada sistem laboratorium(4). Berbagai fakta di atas mengindikasikan belum optimalnya pelayanan kesehatan. Sistem pendukung keputusan klinis dipergunakan sebagai salah satu perangkat untuk mengatasi berbagai masalah tersebut. Sistem pendukung keputusan klinis akan memberikan informasi, penilaian, dan rekomendasi yang digunakan untuk pengambilan keputusan pada pasien individual(5). Pokok bahasan ini akan secara lebih lengkap membahas sistem pendukung keputusan klinis. Sistem pendukung keputusan klinis menggunakan teknologi informasi untuk mendukung proses klinis, diagnosis, pemeriksaan penunjang, menuju terapi dan perawatan pasien. PEMBAHASAN Sistem Pendukung Keputusan Klinis Sistem pendukung keputusan klinis (Clinical Decision Support Systems) adalah sistem pengetahuan aktif yang menggunakan 2 atau lebih data pasien untuk kemudian memberikan saran pelayanan yang spesifik(5). Pada umumnya sistem pendukung keputusan klinis ini dikembangkan dengan mengintegrasikan pengetahuan medik, data pasien, dan sistem mesin untuk didapatkan sebuah saran medis yang spesifik.

Sistem pendukung keputusan klinis memiliki 4 fungsi utama, yaitu: (1) administratif, mendukung proses dokumentasi dan koding klinis, prosedur, dan rujukan pasien, (2) mengelola kompleksitas, menjaga agar pasien tetap ada di jalur protokol yang benar, misalnya: protokol kemoterapi yang memerlukan jangka waktu pelayanan yang lama, (3) pengendalian biaya, mencegah pemeriksaan berlebihan, dan pemeriksaan ulang yang tidak perlu, dan (4) mendukung keputusan klinis, mendukung diagnosis klinis, dan proses terapi yang sesuai dengan bukti-bukti ilmiah terkini, standar pelayanan medik yang baik, dan mendukung best practice(5). Keuntungan penggunaan sistem pendukung keputusan klinis Keunggulan penggunaan sistem pendukung keputusan klinis adalah: (1) meningkatkan keamanan pasien, dengan mengurangi medication error, dan kejadian efek samping yang tidak perlu, serta mengurangi tes yang tidak perlu, (2) meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, meningkatkan pelaksanaan clinical pathway dan evidence-based clinical practice guideline, dan menfasilitasi penggunaan bukti-bukti ilmiah pendukung terbaik dalam pelayanan kepada pasien, (3) meningkatkan efisiensi pelayanan kesehatan dengan mengurangi biaya yang tidak perlu, mengurangi duplikasi tes, mengurangi variasi dan pemborosan peresepan(5). Kajian Bates(6) menunjukkan bahwa penggunaan sistem pendukung keputusan klinis berperan dalam menurunkan error peresepan yang melebihi dosis maksimum dan mencegah munculnya efek samping yang fatal akibat alergi obat . Bukti ilmiah penggunaan sistem pendukung keputusan klinis Sistem pendukung keputusan klinis saat ini digunakan secara luas dalam berbagai pengelolaan penyakit. Beberapa penelitian mengevaluasi hasilguna penerapannya. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan efektivitas penggunaan sistem komputer untuk memperbaiki praktek peresepan(7), mengurangi medication error(3,8,9), dan meningkatkan kepatuhan terhadap pelaksanaan standar pelayanan (clinical practice guideline)(10).

226

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

INFORMATIKA KEDOKTERAN
Namun beberapa penelitian lain menunjukkan pula bahwa penggunaan sistem pendukung keputusan klinis tidak bermanfaat dalam memperbaiki kualitas pelayanan. Salah satu di antaranya adalah penelitian penggunaan sistem pendukung keputusan klinis dalam pengelolaan hipertensi di pusat pelayanan primer(11). Dilakukan uji klaster acak dan kontrol pada 27 dokter umum, dengan 614 pasien hipertensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada penurunan risiko absolut secara bermakna akibat pemakaian computer based clinical decision support system tersebut. Contoh lain adalah penelitian penggunaan sistem pendukung keputusan klinis dalam pengelolaan penyakit jantung di pusat pelayanan primer(12). Penelitian ini menggunakan rancangan uji acak dengan kontrol pada dokter umum dan farmasis, dengan subyek 706 pasien gagal jantung dan penyakit jantung iskemik rawat jalan. Intervensi yang diberikan adalah evidence based cardiac care suggestion yang telah disepakati oleh panel dokter jantung dan penyakit dalam setempat. Subyek penelitian diikuti selama 1 tahun, tercatat data 3.419 kunjungan. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna dalam hal kualitas hidup, ketaatan pada regimen terapi, utilisasi pelayanan kesehatan, biaya, dan kepuasan terhadap pelayanan. Para dokter melihat guideline tersebut sebagai alat bantu yang bermanfaat, namun membatasi praktek mereka, dan tidak banyak membantu dalam pengambilan keputusan yang bersifat individual. Kontroversi efektivitas penggunaan sistem pendukung keputusan klinis dalam pelayanan kesehatan dicoba untuk dijawab dengan sebuah kajian sistematis terkini terhadap berbagai uji klinik terdahulu oleh Kawanoto, dkk(13). Kajian sistematis dilakukan pada 70 penelitian terdahulu. Sistem pendukung keputusan klinis terbukti meningkatkan pelayanan klinik pada 68% studi. Analisis regresi multipel menunjukkan 4 ciri yang signifikan untuk sebuah sistem agar dapat meningkatkan mutu pelayanan yaitu: (1) sebagai bagian yang otomatis dalam alur kerja klinisi (p< 0,00001), (2) sistem memberikan rekomendasi tertentu dan bukan hanya assessment (p=0,0187), (3) sistem ada di tempat dan pada saat pengambilan keputusan diperlukan (p=0,0263), dan (4) sistem yang berbasis komputer (p=0,0294). Pada 32 uji klinik dengan yang memiliki keempat ciri tersebut, 94% di antaranya menunjukkan adanya perbaikan mutu praktek klinik. memKajian sistematis yang lebih baru oleh Chaudhry, perlihatkan bahwa teknologi informasi medis (termasuk sistem pendukung keputusan klinis) memiliki peran cukup besar untuk meningkatkan kepatuhan terhadap standar pelayanan medik, mampu memantau penggunaan obat, dan mengurangi risiko kesalahan pengobatan. Kajian Blumenthal dan Glaser(15) menyatakan bahwa ada harapan besar akan perbaikan kualitas pelayanan kesehatan akibat penggunaan teknologi informasi kesehatan. dkk(14)

Pada bidang pelayanan obat di rumahsakit, kajian Rommers dkk(16) memperlihatkan bahwa bukti ilmiah yang ada mendukung penggunaan sistem pemesanan dan peresepan obat yang terkomputerisasi untuk mengurangi kesalahan peresepan. Hambatan penggunaan teknologi informasi dalam praktek klinik Bates dan Gawande(6) mengidentifikasi 3 faktor penghambat utama dalam penerapan teknologi informasi pada praktek klinik sehari-hari, yaitu: (1) hambatan finansial, pengembangan sistem pendukung keputusan klinis memerlukan biaya tersendiri, dan perlu biaya tambahan untuk mengevaluasi secara berkala hasil guna sistem tersebut, (2) belum adanya standar, belum ada standar data apa saja yang direkomendasikan oleh organisasi profesi tertentu untuk dimasukkan dalam sistem pendukung keputusan klinis. Saat ini sistem yang ada masih sangat bervariasi, (3) hambatan kultural, penggunaan teknologi informasi belum dipandang sebagai suatu hal yang penting bagi para dokter dan manajer kesehatan. Penelitian Haberman, dkk(17) menunjukkan bahwa ketaatan pengisian status rekam medis yang terkomputerisasi juga masih rendah. Pada situasi di negara berkembang seperti Indonesia, menurut pandangan penulis hambatan lain adalah penguasaan teknologi informasi oleh para praktisi pelayanan kesehatan. Kesimpulan Sistem pendukung keputusan klinis (Clinical Decision Support Systems) adalah sistem pengetahuan aktif yang menggunakan 2 atau lebih data pasien untuk kemudian memberikan saran pelayanan yang spesifik. Penggunaannya telah meluas dalam beberapa tahun terakhir ini. Bukti-bukti ilmiah yang ada masih sangat bervariasi, namun mendukung peningkatan mutu pelayanan klinik. Hal ini terutama teramati untuk kasus keamanan tindakan terapi dan mencegah kesalahan pengobatan.

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

227

INFORMATIKA KEDOKTERAN
KEPUSTAKAAN 1. McGlynn EA, Asch SM, Adams J, Keesey J, Hicks J, DeCristofaro A et al. The quality of health care delivered to adults in the United States. N Engl J Med. 2003, 348: 2635-45. 2. Agency for Healthcare Policy and Research. Patient Fact Sheet: Tips to Help Prevent Medical Errors. AHRQ 00-P038. US. Department of Health and Human Services, Washington, DC. February 15, 2000. 3. Jayawardena S, Eisdorfer J, Indulkar S, Prescription Errors and the Impact of Computerized Prescription Order Entry System in a Community-based Hospital, Am J Ther. 2007;14(4): 336-40 4. Plebani M. Errors in Laboratory Medicine and Patient Safety: The Road Ahead, Clin Chem Lab Med. 2007; 45(6): 700-7 5. Hunt DL, Haynes RB, Hanna SE, Smith K. Effects of computer-based clinical decision support systems on physician performance and patient outcomes: a systematic review. JAMA 1998; 280: 1339-46. 6. Bates DW, Gawande AA, Improving Patient Safety with Information Technology, N Engl J Med. 2003; 348: 2526-2534 7. Walton RT, Harvey E, Dovey S, Freemantle N. Computerised advice on drug dosage to improve prescribing practice. Cochrane Database Syst Rev; 2001, 1: CD002894. 8. Bates DW, Teich JM, Lee J, Seger D, Kuperman GJ, Ma'Luf N, et al. The impact of computerized physician order entry on medication error prevention. J Am Med Inform Assoc. 1999; 6: 313-21 9. Kaushal R, Shojania KG, Bates DW. Effects of computerized physician order entry and clinical decision support systems on medication safety: a systematic review. Arch Intern Med. 2003;163: 1409-16. 10. Balas EA, Weingarten S, Barb CT, Blumenthal D, Boren SA, Brown GD. Improving preventive care by prompting physicians. Arch Intern Med 2000;160: 301-8 11. Montgomery A, Fajey T, Evaluation of computer based clinical decision support system and risk chart for management of hypertension in primary care: randomised controlled trial. BMJ 2000; 5:10-14 12. Tierney WM, Overhage JM, Murray MD et al. Effects of computerized guidelines for managing heart disease in primary care. J Gen Intern Med. 2003 (Dec);18(12):967-76 13. Kawamoto K, Haullian CA, dkk, Improving clinical practice using clinical decision support systems: a systematic review of trials to identify features critical to success. BMJ 2005; 330:765 14. Chaudhry B, Wang J, Wu S, Maglione M, dkk. Systematic Review: Impact of Health Information Technology on Quality, Efficiency, and Costs of Medical Care. Ann Intern Med. 2006;144:742-752 15. Blumenthal D, Glaser JP, Information Technology Comes to Medicine. N Engl J Med. 2007; 356;24: 2527-34 16. Rommers MK, Teepe Twiss M, Guchelaar HJ, Preventing adverse drug events in hospital practice: an overview. Pharmacoepidemiol Drug Saf. 2007 Jul 3 17. Haberman S, Rotas M, Perlman K, Feldman JG. Variations in compliance with documentation using computerized obstetric records. Obstet Gynecol. 110(1); 141(5)

228

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

PROFIL

dr. Asri : Dokter Umum, Ahli Vasektomi dan Kesadaran Pentingnya KB


Oleh Ari Satriyo Wibowo

Meski hanya mengantongi ijazah dokter umum, dia


memiliki kiprah besar di lingkungan BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) Pusat khususnya di bidang vasektomi sebagai salah satu upaya untuk menurunkan angka kematian ibu. Apalagi, sejak 2003 vaksektomi masuk dalam Program Nasional BKKBN bersama tubektomi, IUD dan susuk. Dialah dr. Asri yang sehari-hari menempati Klinik Profamilia di lantai dasar gedung PKMI (Perkumpulan Kontrasepsi Mantap Indonesia) di kawasan Kramat Sentiong, Jakarta Pusat. Lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara tahun 1981, dr. Asri mengawali karir sebagai dokter umum di bagian pengurusan SIM Polda Metro Jaya. Sebagai pegawai negeri sipil di sana, suami dari Retno Gayati itu kemudian belajar tentang demografi, pemasangan spiral (IUD) dan belajar berbagai alat KB. Disinilah kesadarannya muncul bahwa bila program KB tidak dijalankan dengan sungguh-sungguh maka suatu ketika akan terjadi ledakan penduduk di Indonesia. Itu akan membuat kemiskinan makin merebak dan citacita menjadi negara sejahtera akan susah terwujud. Demi mewujudkan gagasannya, pria kelahiran Padang, 15 Februari 1949 itu mula-mula meminta izin atasannya untuk mendatangi asrama-asrama Polri milik Polda MetroJaya untuk memberikan pelayanan KB. Karena berada di lingkungan asrama maka pasien ibu-ibu yang dilayaninya pun banyak. Kemudian pada tahun 1989, ia mengikuti pelatihan di PKMI Pusat dan mendapat pelatihan vasektomi tanpa pisau dari dr. Abijat asal Thailand. Setahun kemudian ketika gedung PKMI Pusat di Jl. Kramat Sentiong diresmikan pada 1990 untuk pengembangan kontrasepsi mantap tubektomi dan vasektomi, Ketua PKMI Prof. Dr. Abdul Bari Saefuddin, SpOG (K) memintanya untuk bergabung dan dr. Asri pun tidak keberatan untuk menjadi provider KB. PKMI kemudian mengirim surat permohonan ijin ke BKKBN Pusat, Puskes ABRI, Mabes Polri dan selanjutnya Polda Metro Jaya.

Ijin akhirnya keluar dengan catatan dr. Asri tetap bekerja di Polda Metro Jaya selama satu hari dan sisanya di PKMI. Di PKMI dr. Asri melakukan pendidikan, penyuluhan, pelatihan kepada tenaga medis dan bidan serta melakukan kunjungan rutin ke berbagai pelosok Indonesia dari Aceh Nangrodarusalam hingga ke Papua. Disamping itu, dr. Asri masih dipercaya menjadi konsultan vasektomi di BKKBN, Unicef, klinik Raden Saleh dan sebagainya. Vasektomi Vasektomi sudah dikenal kurang lebih 100 tahun yang lalu. Vasektomi sebagai cara kontrasepsi, pertama kali dilakukan para ahli di India pada tahun 1954. Pada tahun 1974, Prof. Dr. Li Shun Qiang dari Cina mengambangkan tehnik bedah minor tanpa menggunakan pisau bedah untuk melakukan vasektomi yang disebut No Scalpel Vasectomy/vasektomi tanpa pisau dengan hasil pebedahan yang halus dan kerusakan jaringan yang sangat minimal. Sejak tahun 1986 hingga sekarang tehnik ini digunakan di seluruh dunia termasuk di Indonesia.

230

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

PROFIL
Vasektomi secara harfiah berarti menghambat jalur transportasi sel benih. Saluran benih ada dua buah sesuai dengan jumlah buah zakar dan terdapat di dalam kantung buah zakar (skrotum). Agar saluran benih dapat dihambat maka kantung buah zakar harus dibuka melalui suatu operasi kecil dengan pembiusan lokal. Jadi vasektomi adalah pemotongan sebagian (0.5 cm 1 cm) saluran benih sehingga terdapat jarak diantara ujung saluran benih bagian sisi testis dan saluran benih bagian sisi lainnya yang masih tersisa dan pada masingmasing kedua ujung saluran yang tersisa tersebut dilakukan pengikatan sehingga saluran menjadi buntu/ tersumbat. Akibat dari pemotongan dan pengikatan saluran benih ini, maka sel benih yang diproduksi pada buah zakar tidak bisa keluar dan terbendung pada saluran benih bagian sisi testis yang diikat. Pria yang menjalani vasektomi tetap mempunyai gairah birahi dan sifat kejantanan. Batang zakar tetap bisa tegang (ereksi) pada saat birahi. Cairan mani tetap memancar (ejakulasi) pada saat sanggama, tetapi cairan mani tersebut tidak mengandung sel benih sehingga hubungan senggama suami istri yang dilkukan oleh laki-laki yang menjalani vasektomi tidak menyebabkan kehamilan pada istrinya. Efek inilah yang dimanfaatkan sebagai cara kontrasepsi mantap pria. Sel benih yang terbendung pada saluran yang diikat akan mati setelah kurang lebih 100 hari. Sebaliknya fungsi buah zakar (testis) dalam memproduksi sel benih dan fungsi-fungsi lainnya tetap berjalan. Tenaga Vasektomi Tidak Berkembang Hingga kini jumlah tenaga medis yang mampu melakukan operasi vasektomi masih terbatas. Sejak tahun 1994, menurut dr. Asri, sudah banyak dokter umum, dokter spesialis dan calon dokter yang dilatihnya untuk melakukan operasi vasektomi tanpa pisau. Kreativitas dr. Asri dalam melatih pantas dipuji. Demi memberikan gambaran operasi seperti keadaan yang sebenarnya, ia menciptakan model sendiri. Skrotum dan testis dibuat dari balon (tanpa udara) dan kelerang. Saluran benih diciptakannya dari pentil ban sepeda. Setelah peserta melakukan percobaan vasektomi maka model itu pun rusak dan langsung dibuang. Namun, meski berbagai pelatihan dilakukan dr. Asri dalam kenyataannya kader tenaga vasektomi tidak kunjung bertambah. Mengapa? Gagalkah dr. Asri dalam memberikan pelatihan? Ternyata, hal itu lebih kepada sistem yang ada di Indonesia yang mewajibkan segala masalah komplikasi harus dirujuk ke dokter spesialis. Sayangnya, bagi dokter spesialis, operasi vasektomi dianggap terlalu sederhana untuk ditekuni. Sementara, para dokter umum yang hendak mempraktikkan selalu diliputi rasa ketakutan dan rasa tidak percaya diri karena koleganya para dokter spesialis selalu berujar, nanti kalau terjadi komplikasi, akhirnya kami-kami juga yang menangani. Hal yang sama dituturkan dr. Ari pula. Sekalipun vasektomi tergolong minor surgery (yang hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menitan), bila belum lancar, bisa menimbulkan perdarahan dan infeksi, ujar pria yang dikaruniai dua anak itu. Alhasil, khusus masalah vasektomi dr. Asri masih menjadi andalan banyak pihak. Meski mengaku tidak memiliki catatan akurat tentang pasien yang ditanganinya, sejak tahun 1990 hingga sekarang ia sudah menangani sekitar 5.000 pasien. Bahkan, sejak tahun 2005 setelah vasektomi masuk dalam program Nasional BKKBN jumlah pasien yang ditanganinya bisa mencapai 1.000 orang per tahun.

Apakah pasien yang telah divasektomi dapat dipulihkan kembali? Operasi rekanalisasi, menurut dr. Asri sampai saat ini tingkat keberhasilannya mencapai 99 %. Namun, tingkat keberhasilan untuk menghamili (fertility rate) hanya 50%, ujar pria yang menjabat sebagai Ketua Bidang Pelatihan dan Pengembangan Kontrasepsi Mantap Pria di PKMI itu.` Meskipun banyak melayani peserta (akseptor KB) yang kurang mampu, dr Asri tetap berkarya dalam tindakan dan aktif dalam penyuluhan keluarga berencana. Ini semua karena beliau tidak menganggap penghargaan finansial sebagai yang utama. Cita-citanya untuk melihat Indonesia yang lebih sejahtera ada dibalik semua itu. Melalui pelaksanaan Program KB yang terarah maka kualitas hidup masyarakat dapat ditingkatkan, kematian ibu hamil dapat dicegah dan bagi pria yang istrinya sudah memasuki usia risiko kehamilan maka vasektomi merupakan bukti cinta suami kepada keluarganya.

Sesudah Vasektomi Sebelum Vasektomi

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

231

LAPORAN KHUSUS

PKB PERABOI 2008


Telah
diselenggarakan PKB PERABOI (Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia) pada tanggal 24-26 April 2008 di hotel Grand Mahkota Pontianak dengan tema Peningkatan Peran Bedah Onkologi dalam Penanggulangan Kanker di Era Globalisasi dihadiri oleh sekitar 300 peserta dokter bedah onkologi dan bedah umum. Beberapa topik yang menarik di antaranya adalah : 1) Taxanes, In the management of breast cancer oleh Dr. Kunta Setiaji, SpB(K)Onk menjelaskan peranan taxan pada kanker payudara stadium lanjut yang diteliti secara luas dalam 10 tahun terakhir, baik sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Taxan sebagai terapi tunggal Pada pasien yang belum terpapar dengan antrasiklin didapatkan Docetaxel lebih baik dibandingkan Antrasiklin, Paclitaxel sebanding dengan Antrasiklin, Paclitaxel lebih baik dibandingkan regimen CMFP Sedangkan pada pasien yang telah gagal dengan terapi antrasiklin didapatkan Docetaxel lebih baik dibandingkan kombinasi mitomycin/vinorelbine, methotrexate/5-FU dan vinorelbine/5-FU Taxan sebagai terapi kombinasi Didapatkan kumpulan uji klinik sbb: D>AC, AD > FAC, DAC> FAC, ED > FEC, AP >> FAC, AP = AC dan EP = EC Manfaat taxan juga dilaporkan berdasarkan beberapa hasil uji klinik dengan kesimpulan : Meningkatkan dosis paclitaxel 175, 210 dan 250 mg/m2 dalam interval 21 hari tidak memberikan manfaat; dosis optimal pada kanker payudara 175 mg/m2. Pemberian Paclitaxel secara mingguan dosis 80 mg/m2 lebih baik dalam meningkatkan respon dan TTP dibandingkan pemberian secara 3 minggu dengan dosis 175 mg/m2 ; dan pemberian secara mingguan menurunkan efek samping netropeni dan neuropati.

Peningkatan dosis Docetaxel hingga 100 mg/m2 akan


meningkatkan efektivitas dinilai dari time to progression dan harapan hidup pasien meskipun berkorelasi dengan peningkatan efek samping demam netropeni dan neuropati. Pemberian docetaxel secara mingguan dengan dosis 40 mg/m2 juga lebih bermanfaat dibandingkan pemberian setiap 3 minggu dengan menurunkan efek samping terutama demam netropeni dan neuropati. Perbandingan docetaxel dengan paclitaxel sebagai terapi tunggal pada lini kedua kanker payudara didapatkan juga docetaxel lebih unggul dibandingkan paclitaxel meskipun disertai peningkatan efek samping terutama netropeni. Terakhir disampaikan tingkatan pilihan regimen yang lebih superior yang dapat digunakan sebagai terapi ajuvan pada kanker payudara adalah : - Regimen standar : CMF 6x, AC 4x - Regimen superior : 1. CAF/CEF atau FAC/FEC atau AC-> CMF atau E-> CMF 2. AC-> P, atau AC ->D atau TAC atau FEC -> 3. AC dose danse -> P 2) Anthracycline based chemotherapy in breast cancer oleh Dr. Fransiska Badudu SpB(K)Onk Antrasiklin yang telah dikembangkan di pertengahan tahun 1970 an tetap menjadi terapi dasar pada kanker payudara, sebagai terapi tunggal dicapai respon rata rata > 40 % dan sebagai kombinasi dapat dicapai hingga > 70 %. Efek samping utama yang diperhatikan adalah kardiotoksik. Skema terapi antrasiklin pada kanker payudara metastasis adalah : I. Pasien pertama mendapatkan antrasiklin kombinasi taxane dan dilanjutkan setelah mengalami rekurensi dengan pemberian capecitabine II. Pasien pertama mendapatkan antrasiklin kombinasi non taxane dilanjutkan setelah mengalami rekurensi dengan pemberian taxane tunggal atau kemoterapi kombinasi dengan berbasis taxane (capecitabine +

234

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

LAPORAN KHUSUS
taxane, gemcitabine + taxane, paclitaxel+ bevacizumab) III. Pasien pertama tidak berbasis antrasiklin dan tidak berbasis taxane, dilanjutkan setelah mengalami rekurensi dengan mendapatkan antrasiklin tunggal atau taxane tunggal atau antrasiklin kombinasi taxane atau capecitabine taxane, paclitaxel bevacizumab. 3) Isu strategi pemakaian terapi hormon pada kanker payudara oleh Dr. Sutjipto SpB(K)Onk Terapi antiestrogen merupakan terapi utama pada pasien kanker payudara dengan reseptor estrogen positif, pilihan terapi anti estrogen adalah blokade reseptor estrogen (tamoxifen), blokade sintesis estrogen (aromatase inhibitor: letrozole dll) dan supresi ovarium dengan ablasi (operasi/ radiasi) atau pemberian LHRH agonis (Goserelin/ Buserelin) Tamoxifen merupakan terapi standar sebelum adanya terapi hormonal aromatase inhibitor yang diberikan selama 5 tahun; kelemahan tamoxifen adalah resistensi setelah 5 tahun dan meningkatkan risiko kanker endometrium, emboli paru dan stroke Hasil studi Up Front aromatase inhibitor ATAC dan BIG-98 mengindikasikan: Aromatase inhibitor monoterapi superior dari tamoxifen dan AI kombinasi tamoxifen tidak lebih baik dibandingkan tamoxifen tunggal ( ATAC) Uji klinik lanjutan (ARNO/ABCSG dan IES) menunjukkan terapi sekuensial (Tamoxifen 2 tahun AI 3 tahun) lebih superior daripada pemberian tamoxifen berkelanjutan selama 5 tahun BIG 1-98 akan mengklarifikasi keuntungan dari sekuensial terapi antara AI-> tamoxifen atau tamoxifen -> AI vs AI saja Kelemahan terapi hormonal aromatase inhibitor adalah meningkatkan insiden hiperkolesterolemi, kehilangan massa tulang, meningkatkan risiko fraktur, meningkatkan kejadian artralgia dan arthritis dibandingkan pemberian tamoxifen. 4) Taxotere as neoadjuvant treatment for primary breast cancer oleh Dr. Eddy H. Tanggo Menjelaskan berbagai uji klinik Docetaxel sebagai terapi neoadjuvant pada kanker payudara Uji klinik oleh Hutcheon dkk (n=145) dilaporkan pada ASCO 2000, docetaxel tunggal tetap efektif pada pasien yang tidak respon dengan terapi berbasis antrasiklin dengan pCR: 44% dan cCR : 55%, dan pada kelompok pasien yang respon dengan terapi antrasiklin (CVAP) 4 siklus dan dilanjutkan dengan pemberian docetaxel tunggal secara sekuensial 4 siklus dicapai respon klinis hingga 94% dan secara bermakna meningkatkan respon patologis serta meningkatkan progression free survival. Uji klinik fase II (n: 25) oleh Hurley dkk. dilaporkan pada ASCO 2000, docetaxel (75 mg/m2) kombinasi dengan cisplatin (70 mg/m2) sebagai neoadjuvan pada kanker payudara stadium lokal lanjut 4 siklus dicapai ORR hingga 96 % dengan CR sebesar 52% Uji klinik fase II (n=16) lain oleh Hurley dkk dilaporkan pada ASCO 2001, menggabungkan docetaxel (70 mg/m2) kombinasi Cisplatin ( 70 mg/m2) dan herceptin dicapai ORR hingga 100 % 3 uji klinik fase II kombinasi Doxorubicin (50 mg/m2) atau Epirubicin (100 mg/m2) kombinasi Docetaxel (75 mg/m2) interval 2 atau 3 minggu dengan tamoxifen dicapai ORR 68-93% Kesimpulan dari kumpulan uji klinik tersebut menunjukkan docetaxel sebagai kemoterapi neoajuvan aktif dan dapat ditoleransi dengan baik, uji klinik untuk menentukan regimen optimal masih berlangsung; uji klinik NSABP B-27 membandingkan AC 4x _ operasi dengan AC 4x _ docetaxel 4 x _ operasi dengan AC 4x _ operasi _ docetaxel 4x. Kumpulan uji klinik tersebut juga menunjukkan docetaxel kombinasi antrasiklin paling menjanjikan sebagai ajuvan terapi. (ARI)

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

235

LAPORAN KHUSUS

Simposium Frontier of Cancer Research


Mochtar Riady Institute for Nanotechnology, 10 - 11 Mei 2008
Latar Belakang Simposium yang bertemakan Frontier of Cancer Research ini merupakan bagian dari acara resmi pembukaan Mochtar Riady Institute for Nanotechnology. Acara tersebut digelar pada tanggal 10 - 11 Mei 2008, bertempat di Universitas Pelita Harapan. Acara yang menghadirkan pembicara ternama dari berbagai negara ini dipenuhi oleh para peserta yang terdiri dari kalangan pers, mahasiswa, dan klinisi. Berikut disampaikan beberapa topik menarik mengenai targeted therapy untuk penanganan kanker : Recent Trends in Colorectal Cancer Management Oleh : Michael Boyer, MD, PhD (Sydney Cancer Centre, Faculty of Medicine, University of Australia) Kanker kolorektal merupakan salah satu jenis kanker tersering di negara Barat dan relatif lebih jarang di Asia walaupun insidennya semakin meningkat. Di Indonesia sendiri, terdapat sekitar 18.000 pasien baru yang didiagnosis kanker kolorektal tiap tahunnya. Dalam 20 tahun terakhir, angka survival mengalami peningkatan (50% - 65%) akibat peningkatan deteksi (darah samar feses dan/atau kolonoskopi), pengenalan terapi ajuvan, dan perkembangan terapi sistemik yang lebih efektif. Dibandingkan regiman 5-FU/LV, regimen FOLFOX4 memberikan peningkatan Progression Free Survival (PFS) (6 bulan - 8,2 bulan; p=0,0003), Overall Survival (OS) (14,7 bulan - 16,2 bulan; p=0,17), dan Response Rate (RR) (22% - 51%; p=0,0001). Regimen kemoterapi yang mengandung oxaliplatin atau irinotecan menurunkan risiko rekurensi sebesar 20%. Saat ini, berbagai penelitian menilai efektifitas penambahan targeted therapy dengan target epidermal growth factor receptor atau pada proses angiogenesis. Cara memblok jalur penghantaran sinyal (signaling pathway) ada 2, yaitu dengan memblok reseptor (antibodi monoklonal) atau dengan memblok tirosin kinase. Pada kanker kolorektal, kebanyakan studi umumnya menggunakan antibodi monoklonal. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa terapi molekular + kemoterapi memberikan sedikit manfaat dalam meningkatkan survival. Dengan terapi saat ini, median survival pasien kanker kolorektal lanjut sekitar 2 tahun. Targeted Therapy for Lung Cancer Oleh : Michael Millward, MD, PhD (Cancer Council Professor of Clinical Cancer Research, Head of Departement Medical Oncology, University of Western Australia) Kanker paru jenis non-small cell merupakan jenis tersering dari seluruh kanker paru. Dibutuhkan terapi yang efektif, onset cepat, ditoleransi dengan baik, dan yang menggunakan pengetahuan tentang mekanisme molekular kanker paru. EGFR Signalling terlihat pada > 80% pasien kanker jenis ini. Terapi anti-angiogenesis, bevacizumab, hanya memperlihatkan sedikit peningkatan efektifitas (median OS : paclitaxel vs paclitaxel + bevacizumab : 10,2 bulan vs 12,5 bulan). Studi klinis dengan multi-targeted tyrosine kinase inhibitors sorafenib dan AZD2171 tidak menunjukkan efektifitas dan terjadi toksisitas. Berdasarkan hasil studi hingga kini, penggunaan targeted therapy ataupun identifikasi sub-grup molekular, tidak memberikan manfaat pada kanker paru jenis small cell.

236

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

LAPORAN KHUSUS
Targeted Therapy for Breast Cancer Oleh : John Wong, MD, PhD (Vice President National University Singapore / Dean of Yong Loo Lin Faculty of Medicine, National University Singapore) Saat ini, kemampuan menganalisa jalur intrinsik menghasilkan terciptanya obat baru yang secara spesifik mentargetkan langkah penting yang mempengaruhi survival sel kanker. Penggunaan Aromatase Inhibitor (AI) (misalnya, anastrozole, letrozole, dan exemestane) memberikan sedikit penurunan rekurensi dibanding tamoksifen, dan meningkatkan survival lebih tinggi setelah pemberian tamoksifen selama 2-5 tahun. Saat ini masih tidak jelas AI yang mana yang paling memberikan benefit, dan juga masih tidak diketahui manfaat da efek samping pemberian AI > 5 tahun. Saat ini, AI termasuk terapi ajuvan pada pasien ca payudara post-menopause dengan reseptor hormon positif sebagai terapi awal atau setelah pemberian tamoksifen selama 2,3, atau 5 tahun. Trastuzumab merupakan antibodi monoklonal humanised yang berikatan dengan HER2 (Human Epidermal Receptor 2) pada permukaan sel kanker. Sekitar 15 % - 20 % pasien kanker payudara mengalami overekspresi HER2/neu. Dibandingkan kemoterapi saja, trastuzumab menurunkan relaps dan kematian sebesar 52% dan 33%. Sebagai neoajuvan, trastuzumab meningkatkan pathological complete response (paclitaxel vs paclitaxel + trastuzumab : 25% vs 65,2%; p=0,016). Trastuzumab umumnya ditoleransi dengan baik, dan mempunyai efek samping serius berupa kardiotoksisitas (7%). Lapatinib merupakan obat dengan target Her2-neu dan EGFR yang kini telah diakui untuk kasus metastatik yang progresif dengan trastuzumab. Karena merupakan inhibitor tirosin kinase small molecule, lapatinib dapat menembus sawar darah-otak dan terlihat aktif terhadap metastasis di susunan saraf pusat. Bevacizumab, suatu anti-angiogenesis, terlihat meningkatkan RR dan PFS dibandingkan kemoterapi saja, dan telah diakui sebagai terapi lini pertama. Antibodi monoklonal lainnya, pertuzumab, sedang dalam perkembangan aktif. Dalam 30 tahun terakhir, terlihat perkembangan terapi kanker payudara secara nyata dengan perkembangan obat baru. Targeted agents mulai berkembang sebagai obat generasi baru dalam penanganan kasus kanker. The Global Burden of Cancer and the Promise of Nanotechnology Oleh : Joe B. Harford, PhD (Director, Office for International Affairs, National Cancer Institute) Penyakit kanker telah membunuh pasien lebih banyak dibandingkan gabungan penyakit TBC, AIDS, dan malaria. Kematian akibat kanker berbeda di tiap negara, dan lebih tinggi terutama pada negara yang kurang maju (less developed). Tiga ciri khas penyakit kanker yang ditemukan di negara kurang maju, menurut Harford adalah : late presentation, late presentation, dan late presentation (tumor ditemukan dalam stadium lanjut). Potensi nanotechnology dalam dunia kedokteran, khususnya dalam penanganan kanker, saat ini mulai terealisasi. Peran nanotechnology dalam tatalaksana kanker yaitu dalam hal : - perkembangan zat imaging dan diagnostik yang dapat mendeteksi kanker sedini mungkin. - sistem yang memungkinkan penilaian real-time efektifitas terapi dan pembedahan sehingga dapat mempercepat perubahan terapi. - targeted device yang dapat berpenetrasi langsung ke sel kanker. - zat yang dapat mengevaluasi perubahan molekular dan mencegah lesi pre-kanker menjadi kanker. - menangani gejala kanker yang berdapak negatif terhadap kualitas hidup pasien. - research tool yang memungkinkan identifikasi cepat suat target baru untuk dikembangkan secara klinis dan memprediksi resistensi terhadap obat. Saat ini, di Amerika Serikat, telah dikembangkan The U.S Governments National Nanotechnology Initiative yang menghabiskan dana sekitar 1 milyar dolar Amerika / tahun. Suatu analisis memperkirakan, bahwa pada tahun 2014, sekitar 16% barang / obat di sektor kesehatan dan life science adalah hasil nanotechnology. (LHS)

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

237

LAPORAN KHUSUS

Topik yang dibawakan antara lain adalah : SESI 1 Hari ke 1 1. Diuretika pada kasus oliguria (Dr.Chandra Irwanadi) Pemakaian diuretika (meskipun masih menjadi perdebatan) seperti loop diuretika masih dipergunakan pada gagal ginjal akut yang disertai oliguria. Pemberian diuretika untuk kasus di atas dapat diberikan secara oral, intravena dan intravena berkesinambungan (menggunakan pump). Setiap jenis diuretika sesuai dengan tempat dan cara kerjanya akan memberikan efek samping yang berbeda sehingga harus digunakan secara hati-hati dan bijaksana dalam pemberian dan pengobatan diuretika ini. 2. Obat vasoaktif, kaitannya dengan gangguan fungsi ginjal (Dr.Jodi Sidharta) Obat vasoaktif sering digunakan untuk meningkatkan cardiac output (CO) dan tekanan arterial rerata untuk menghasilkan peningkatan aliran darah ginjal untuk mencegah kerusakan ginjal terutama pada saat kritis. Dopamine dosis renal banyak digunakan banyak digunakan pada kondisi klinis walaupun kegunaannya dalam pencegahan dan pengobatan gagal ginjal akut masih kontroversi. Penelitian tentang obat vasoaktif dan pengaruhnya terhadap ginjal pada banyak uji klinik menunjukkan tidak ada bukti menguntungkan terhadap perlindungan ginjal dan tidak ada random dengan kotrol yang memberi bukti secara statistik bermakna dari hasil pengobatan selain dari penggunaan dopamine dosis rendah, itupun hanya terbukti dalam meningkatkan produksi urin dan aliran darah ke ginjal, akan tetapi tidak bisa mencegah penurunan fungsi atau kematian pasien gagal ginjal akut (GGA) atau pasien GGA, belum jelas benar apakah peranan perbaikan hemodinamik mutlak untuk proteksi ginjal. Sedangkan data untuk Dobutamine, suatu analalog dopamine tentang pernyataan yang menyatakan kegunaannya untuk proteksi ginjal juga masih sedikit. 3. Penggunaan Manitol: dampaknya pada fungsi ginjal. (Prof.DR.dr. M.Sjabani) Manitol dilaporkan meningkatkan osmolaritas filtrasi glomerulus, menarik cairan intraseluler ke ekstraseluler, menurunkan hematokrit serta meningkatkan viskositas darah. Pada klinik, indikasi pemberian Manitol adalah : menurunkan tekanan intrakranial dan terapi edema serebri, menurunkan tingginya tekanan intraokuler yang tidak dapat diturunkan dengan obat lain, memacu ekresi urin yang mengandung substansi toksik, diuresis pada gagal ginjal fase oliguria dan terapi rhabdomiolisis, mengatasi sindroma disequilibrium pada pasien dialisis.

The 8th Jakarta Nephrology and Hypertension Course,


Hotel Borobudur Jakarta, 23-24 Mei 2008
The 8th Jakarta Nephrology and Hypertension Course
yang berlangsung dari tanggal 23-24 Mei 2008 seperti tahun sebelumnya dilangsungkan di Hotel Borobudur, Jakarta. Acara yang dibuka oleh DR.Dr.Suhardjono, SpPD-KGH, KGer sebagai ketua PERNEFRI ini mengambil 2 tema, dimana pada hari pertama tema yang diangkat adalah : Pengaruh Obat Pada Ginjal, sedangkan pada hari kedua pilihan tema yang diambil adalah: Poluria, Mekanisme dan Penanggulangannya. Dengan mengikuti rangkaian acara simposium pada kali ini diharapkan para peserta yang hadir lebih mempunyai kemampuan untuk mengetahui dan menghindari akibat yang tidak diinginkan dari obat terhadap ginjal. Selain itu peserta dapat mengetahui serta mampu mengatasi poliuria dan hal-hal yang berhubungan dengan poliuria tersebut. Setiap harinya acara dibagi menjadi menjadi 3 sesi, dimana untuk 2 sesi pertama setiap sesi dibawakan 3 materi oleh 3 pembicara yang berbeda. Untuk sesi ketiga diisi dengan presentasi kasus dan diskusi panel, pada sesi ini diharapkan para peserta aktif untuk ikut terlibat dalam menentukan diagnosis kasus yang dibawakan serta mengemukakan pendapat mengenai penanganan yang seharusnya dilakukan pada pasien tersebut.

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

239

LAPORAN KHUSUS

SESI 2 Hari ke 1 1. Dampak NSAID pada ginjal (Dr.Rubin Surachno) NSAID menganggu fungsi ginjal melalui efek penghambatan terhadap prostaglandin ginjal. Prostaglandin diproduksi di berbagai tempat di ginjal dan berfungsi untuk mempertahankan homeostasi dan perfusi ginjal. Efek gangguan NSAID terhadap ginjal dapat mengakibatkan gangguan ginjal vasomotor, sindroma nefrotik dengan nefritis tubulo intersitialis, retensi garam dan air, hiperkalemia, hipernatremia. Masih menjadi pertanyaan apakah pemakaian jangka panjang NSAID akan menimbulkan gagal ginjal kronik yang progresif serta ireversibel. 2. Antibiotika nefrotoksik: penggunaan pada gangguan fungsi ginjal (Dr.Shofa Chasani) Beberapa antibiotika yang sering menyebabkan gangguan ginjal antara lain golongan aminoglikosida, golongan beta laktam, vancomisin, sulfonamide, kotrimoksazol, aciclovir, amphotericin B, rifampicin. Obat antibiotika dapat menginduksi kerusakan ginjal melalui berbagai cara antara lain berkurangnya natrium dan air, perubahan aliran darah dan obstruksi ginjal. Pada penderita PGK yang telah menjalani dialisis maka perlu perubahan dosis dikarenakan adanya kehilangan obat melalui darah yang dapat mempengaruhi efikasi dari obat tersebut. 3. Penggunaan antiplatelet pada pasien dengan penyakit ginjal kronik (DR.Dr.Suhardjono) Aspirin sebagai pencegahan trombosit vaskular, infark jantung maupun stroke telah banyak digunakan di banyak klinik ginjal, akan tetapi belum banyak studi mengenai efektivitas, keuntungan dan kerugiannya. Dari suatu studi pada pasien HD, pemberian aspirin mengakibatkan 14,7% dengan kejadian perdarahan sebanyak 36 kali (10,3 episode/100 pasien-tahun). Oleh karena risiko ini maka pertimbangan yang baik pada pasien PGK dengan HD pemebrian aspirin tidak hanya didasarkan pada manfaatnya akan tetapi juga mempertimbangkan kemungkinan risiko atau komplikasi perdarahannya. SESI 1 Hari ke 2 1. Keseimbangan air (Dr.Parlindungan Siregar) Keseimbangan cairan tubuh adalah tercapainya osmolalitas plasma yang tetap (mencapai set point). Osmolalitas plasma yang tercapai berkat pengaturan yang dilakukan oleh regulasi osmotik an regulasi volume yang berlangsung secara simultan, pengaturan ini melibatkan berbagai hormon seperti hormon antidiuretik (ADH) dan hormon Natriuretik (ANP, BNP).

2. Poliuria pada gangguan hormonal (Dr.Pranawa) 3. Oliguria pada gagal ginjal akut (DR.Dr.Bimanesh Sutarjo) Fase poliuria pada GGA mengindikasikan permulaan perbaikan ginjal dan kembali ke fungsi normal atau menandakan adanya kerusakan ginjal yang berat. Penyebab terjadinya poliuria adalah terganggunya resorbsi natrium, diuresis osmotik oleh ureum, ganguan respon sel tubulus terhadap ADH (anti diuretic hormone), hidrasi berlebihan saat fase oliguria dan pembilasan solut dalam tubulus di medula. Oleh karena fase poliuria dapat masif dan berkepanjangan maka diperlukan pemantauan produksi urin ketat dan pemeriksaan elektrolit darah. SESI 2 Hari ke 2 1. Poliuria pasca kraniotomi (Dr. Julius July) Poliuria pasca prosedur kraniotomi merupakan kondisi yang sering diketemukan pada kasus bedah saraf, penyebab tersering adalah karena Cerebral Salt Wasting Syndrome (CSWS) dan neurogenik Diabetes Incipidus (DI). 2. Poliuria, Hiponatremia dan hipokalemia (Prof.DR.dr.Ketut Suwitra) Pada PGK poliuria bisa terjadi dalam bentuk water diuresis yaitu pada keadaan diabetes incipidus neurogenik atau solute diuresis yaitu pada keadaan post obstruktive diuresis atau pada Sodium Wasting Nephropathy. Hiponatremia pada PGK bisa terjadi akibata kehilangan Na berlebih (misal pada sodium wasting nephropathy) dan pada sindroma nefrotik. Hipokalemia pada pasien PGK bisa terjadi lewat renal atau ekstrarenal, lewat renal biasanya akibat pemakaian diuretika berlebih atau akibat sekresi mineralkortikoid. Kehilangan ekstrarenal paling sering terjadi melalui GIT. 3. Poliuria pada penggunaan obat-obatan (Dr.Ginova Nainggolan) Obat tranqulizer yang mengandung lithium sering mengakibatkan poliuria dan dapat mengaggu kerja ginjal sehingga penggunaannnya khususnya pada pasien psikiatri yang sering mendapat obat jenis ini harus berhati-hati dan bijaksana. (DHS)

240

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

KEGIATAN ILMIAH
Seminar Awam IKCC Kontroversi Minum pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK), RS Haji Jakarta, 19 April 2008
Pada penderita penyakit ginjal kronik (PGK), air minum yang di konsumsi dibatasi jumlahnya. Oleh karena itu seringkali muncul pertentangan pendapat mengenai minum pada pasien PGK. Hal ini disebabkan karena pada pasien PGK ginjal sudah tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Berkaitan dengan hal ini, IKCC bekerjasama dengan RS. Haji Jakarta pada hari Sabtu 19 April 2008 menyelenggarakan seminar bertemakan Kontroversi Minum pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) dengan pembicara DR. Dr. H. Bimanesh Sutardjo, SpPD-KGH.

Grand Opening Mochtar Riady Institute for Nanotechnology, Universitas Pelita Harapan Karawaci, 12 Mei 2008
Berbeda dengan kedokteran konvensional (yang sering disebut dengan istilah Kedokteran Reaktif) saat ini telah diperkenalkan Kedokteran P4 (4P Medicine) yang meliputi: Prediktif, Personalisasi, Preventif dan Partisipatif. Demikian disampaikan pembicara tamu, Dr Leroy Hood MD, Ph.D., President and cofounder, Institute for System Biology, USA, saat berbicara pada acara Grand Opening Mochtar Riady Institute for Nanotechnology (MRIN) di Gedung MRIN Lippo Karawaci. Acara yang berlangsung semarak & meriah ini dihadiri oleh DR Mochtar Riady (Founder MRIN), James T. Riady (Founder Yayasan Pelita Harapan), Prof Susan Tai (President MRIN), Prof. DR. Ing. BJ Habibie (Honorary Chairman of The Scientific Advisory Board of MRIN), Kusmayanto Kadiman Ph.D (Menristek), Bahctiar Chamsah (Mensos), Scientific Advisory Board Member MRIN (Prof. Laurentius A. Lesmana, SpPD-KGEH, Prof Ali Sulaiman, SpPDKGEH, dll.), Gumilar Somantri (Rektor UI), Usman Chatib Warsa (mantan Rektor UI), Fauzi Bowo (Gubernur DKI), Rano Karno (wakil Bupati Tangerang), Prof. Amin Soebandrio, Surya Paloh, dan lain-lain.

3rd Seminar of Obesity, Hotel Aryaduta Jakarta, 19-20 April 2008


Kegiatan tahunan yang dilaksanakan oleh Departemen Nutrisi FKUI merupakan yang ke-3, berlangsung di Hotel Aryaduta Jakarta. Tema yang diangkat kali ini adalah Managing Plateau Phase in Obesity. Seminar ini dihadiri oleh kurang lebih 250-300 peserta dokter gizi medik dan dokter umum. Acara dibuka oleh Dr. Sri Sukmaniah, MSc, SpGK sebagai kepala departemen Nutrisi FKUI.

HUT IV IKCC: Hidup Mandiri dengan Ginjal Transplantasi, RS PGI Cikini, 31 Mei 2008
Sekitar 150 orang memadati Aula RS PGI Cikini di Hari Sabtu 31 Mei 2008. Tak heran, karena acara HUT ke-4 IKCC ini diperingati dengan meriah. Acara dimulai dengan kata sambutan dari RS PGI Cikini, Dr Tunggul D Situmorang SpPD-KGH yang dilanjutkan dengan Ibu Indah, selaku Ketua Umum IKCC. Acara cukup meriah karena dipandu oleh MC kondang Mr. Kris Biantoro. Setelah acara sulap bersama pesulap IKCC, Bung Cahaya, tampil dengan memukau, Mr. Kris Biantoro yang bercerita mengenai suka dan duka dalam 'menjadi' ginjal di negeri orang. Setelah itu muncullah bintang acara kali ini yang Dr Tunggul Situmorang yang membawakan presentasi mengenai "Hidup Mandiri dengan Ginjal Tranplantasi". Setelah presentasi Dr Tunggul, tampil berturut-turut memberi kesaksian, penerima/resipien dan pemberi/donatur ginjal yang operasinya dilakukan di RS PGI Cikini sekitar 4 tahun yang lalu. Akhir acara ditutup dengan perayaan sederhana berupa bernyanyi disertai pemotongan kue ulang tahun. Selamat Ulang IKCC, lanjutkan misimu untuk terus mendampingi mereka yang kurang beruntung dengan organ ginjal.

Lokakarya HLUN 2008 "Menuju Lanjut Usia Sehat", Gedung Depsos RI, Rabu 28 Mei 2008
Jumlah penduduk Lansia di Indonesia secara relatif memang sedikit namun secara absolut sudah termasuk banyak. Demikian penjelasan Prof Tri Budi Rahardjo, salah satu anggota Komnas Lansia pada Lokakarya Sehari dalam rangka Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) 2008. Tema acara yang diselenggarakan di Gedung Depsos tersebut adalah "Menuju Lanjut Usia Sehat". Sekitar 150 peserta yang memenuhi ruangan Aneka Bhakti di jalan Salemba Jakarta, terkesima dengan presentasi menarik dari para nara sumber seperti: Prof Tri Budi W Rahardjo, Drs. Titus Kurniadi, DR Dr C Heriawan Soejono, Dr Handrawan Nadesul, Prof Iwan Darmansjah, dll.

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

241

GERAI

Kalbe Farma berpartisipasi dengan membuka stan pameran pada acara PKB PERABOI (Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia) tanggal 24-26 April 2008 di hotel Grand Mahkota Pontianak. Produk yang diekspos adalah : Leucogen, Rexta, Brexel dan Kalbamin. Tampak para pengunjung stan Kalbe seperti pada foto (kirikanan) : DR. Dr. Eddy H Tango Sp.B (K) Onk, RS Dr Soetomo Surabaya, Dr. Dimyati Achmad Sp.B (K) Onk, RS Hasan Sadikin Bandung, Dr. Joni Fauzi, Head LOB Explorer Kalbe Farma, Dr. Togar S Sp.B (K) Onk, RS PGI Cikini Jakarta, Dr. Azdi Albar Sp.B (K) Onk, RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta, Bp. Fuad Hamzah, GSM LOB Explorer Onco Kalbe Farma.

Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS menerima Leadership Award dari the American Academy of Anti-Aging Medicine (A4M). Beliau merupakan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan salah satu anggota redaktur kehormatan majalah CDK.

Stan Kalbe Farma dalam acara The 8th Jakarta Nephrology and Hypertension Course (JNHC) yang berlangsung dari tanggal 23-24 Mei 2008 di Hotel Borobudur, Jakarta menampilkan produk : Nefrofer, Triofusin, Kalbamin dan CAPD.

Kalbe Nutritionals merupakan sponsor utama pada kegiatan 3rd Seminar of Obesity, Hotel Aryaduta Jakarta, 19-20 April 2008. Kali ini mereka ambil bagian dalam simposium makan siang (Entrasol Diet Nutrition) dan stan pameran.

242

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

RESENSI BUKU

Buku biografi plus "Oei Ban Liang : Pelopor Bioteknologi, Begawan Kimia dan Sosok Guru yang Humanis",
terbitan CDK 2008
Siapa yang tidak mengenal Prof. Oei Ban Liang, Guru Besar Kimia dari Institut Teknologi Bandung (ITB)? Pak Oei dikenal sebagai dosen yang ulet, pantang menyerah sekalipun banyak rintangan yang menghadang.
(kutipan dari Kata Pengantar Prof. Dr. Ir. Djoko Santoso M.Sc, Rektor ITB)
Kesemua hal di atas itulah yang menggerakkan hati dr Boenjamin Setiawan, Chairman dan Founder Grup Kalbe Farma untuk memprakarsai penulisan biografi Prof. Oei Ban Liang Ph.D. Dalam sambutannya, Dr Boen menjelaskan tujuan peluncuran buku biografi Oei Ban Liang adalah memberikan penghargaan kepada para akademisi yang telah banyak mencurahkan tenaga dan pikiran untuk memajukan dunia akademis yang saat ini jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga: Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand dan sebagainya. Dalam buku setebal 175 halaman ini, bisa dibaca riwayat hidup Begawan Kimia Indonesia. Dimulai dari masa kecil hingga dewasa (Bagian I), kemudian masuk ke bagian II. Masa Pengabdian, bagian III. Menjadi Pelopor di Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi. PAU adalah suatu badan bentukan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia guna mendukung pendidikan pasca sarjana di sepuluh universitas terkemuka dengan peralatan modern dan canggih di semua bidang studi (hal. 65). Selanjutnya di Bagian IV, dijelaskan mengenai Menyongsong Masa Depan. Pada bab ini, bisa dibaca pandangan dan pikiran Prof Oei (78 tahun) tentang masa depan Kimia Indonesia, Bioteknologi Indonesia dan pelbagai penelitian dipandang dari sudut kualitas dan kreatifitas. Meskipun buku ini cukup tebal, namun dengan gaya penulisan yang cukup kreatif dan inovatif, membaca buku biografi ini tidak hanya seperti membaca riwayat hidup seseorang yang memberi banyak inspirasi saja.

Pengakuan ini tidak hanya datang dari lingkungan ITB


saja. Prof. Ir. Satryo Soemantri Brodjonegoro, PhD, Direktur Jendral Pendidikan Tinggi pun mengakui Pak Oei sebagai sosok yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ilmu kimia di Indonesia. Konsistensi Prof. Oei dalam menggeluti ilmu kimia perlu dijadikan contoh bagi generasi berikut atau penerusnya, jelas Prof Soemantri.

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

243

RESENSI BUKU
Dengan kekayaan kosa kata serta ilmu yang dimiliki oleh Ari Wibowo (penyusun), banyak diselipkan istilah-istilah, kalimat bahkan cerita yang kadangkala tidak terpikir oleh kita semua. Tentu ini bisa membuat pembaca menjadi lebih penasaran untuk menyelesaikan buku tersebut. Misalnya untuk melukiskan bagaimana penuhnya perhatian serta cinta kasih Pak Oei dalam membimbing murid-muridnya, Ari bercerita mengenai perjalanan sang Kapak, Gergaji, Palu dan Nyala Api bersama-sama. "Ada banyak hati yang cukup keras untuk melawan kemurkaan dan amukan kemarahan demi harga tinggi. Tapi jarang ada hati yang tahan melawan nyala api cinta kasih yang hangat. Betapa arif bijak ada dalam sebuah kelembutan dan kehangatan, seperti api mencairkan hati yang dingin, tulis Ari di halaman 164. Buku ini juga dilengkapi dengan pelbagai kesan dan pesan dari para murid dan rekan sejawat seperti: Prof (Riset) Dr Soefjan Tsauri, Debbie Sofie Retnoningrum Ph.D, Soetrisno Ph.D, Dr Harjoto Djojosubroto, Dr Isnaini, Dr. Endang Kumolowati, Prof. Dr. H. Abd. Rauf Patong, Prof. Dr. Ami Soewandi.J.S., Dr. Darmadi Gunarso, Prof. Dr. Chandrawati Cahyani, Ernawati Arifin Giri Rachman Ph.D., Dr. Sofyan Yatim, Dr Florentina Maria Titin S, Dr. Tri Panji, Prof Hilda Zulkifli, Ph.D., Ir. Yenny Ciawi Ph.D, Megawati Santoso Ph.D., dan Prof. dr. Rully M.A. Roesli, SpPD PhD KGH, sebagai dokter yang merawat Prof Oei saat ini yang telah menjalani hemodialisis (sejak tahun 2002). Kita semua berharap bahwa dengan terbitnya buku biografi plus-plus ini semua pihak bisa terinspirasi dari uletnya perjuangan Prof Oei serta sabarnya dalam membimbing. Yang tertarik ingin memiliki buku ini, bisa segera mengontak Medical Representative Kalbe Farma terdekat. Buku ini dicetak dalam jumlah terbatas. Sampai ketemu pada penerbitan berikutnya...

244

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

AGENDA

er nda lear 8 Ka c 2 0 0 a
LI JU
: : : :

4th Asian Congress of Pediatric Infectious Disease


Tanggal Tempat Event Topik Kalangan Sekretariat : : : : : : 02 Juli 2008 - 05 Juli 2008 JW Marriott Hotel, Surabaya, Indonesia 4th Asian Congress of Pediatric Infectious Disease 4th Asian Congress of Pediatric Infectious Disease Pediatrician, ACPID member 4th ACPID & 14th KONIKA 2008 Congress Secretariat Indonesian Pediatric Society (IPS) East Java Branch Departement of Pediatrics, Medical Faculty Airlangga University Dr Soetomo Hospital Jl. Prof. Dr. Moestopo 6-8, Surabaya 60286, Indonesia secretariat@konika-acpid.com 62-31-5501748, 62-31-5015218 62-31-5015218 www.konika-acpid.com or www.asianpids.org

Email Phone Fax URL

: : : :

14th Indonesian Congress of Pediarics (KONIKA 2008) The 8th Asian Conference on Clinical Pharmacy 2008: Toward Harmonisation of Education and Practice of Asian Clinical Pharmacy
Tanggal Tempat Kalangan Sekretariat 01 Juli 2008 - 04 Juli 2008 Hyatt Regency Surabaya Hotel, Surabaya, Indonesia Apoteker, Student, Clinical Pharmacy The 8th Asian Conference on Clinical Pharmacy Faculty of Pharmacy Airlangga University Dharmawangsa Dalam Surabaya 60286, Indonesia accp8.indonesia@ gmail.com or joen_70@yahoo.com +62 31 5033710 +62 31 5020514 www.accp8.org Tanggal Tempat Kota Kalangan Sekretariat : : : : : 05 Juli 2008 - 09 Juli 2008 Shangri-La Hotel, Surabaya Surabaya Spesialis Anak, Spesialis lain, GP Perawat, , Mahasiswa 4th ACPID & 14th KONIKA 2008 Congress Secretariat Indonesian Pediatric Society (IPS) East Java Branch Departement of Pediatrics, Medical Faculty Airlangga University Dr Soetomo Hospital Jl. Prof. Dr. Moestopo 6-8, Surabaya 60286, Indonesia secretariat@konika-acpid.com 62-31-5501748, 5015218 32-31-5015218 www.konika-acpid.com or www.asianpids.org

Email Phone Fax URL

: : : :

Email Phone Fax URL

: : : :

KONAS PDPI 2008 : Respiratory Diseases & Related Disorders


Tanggal Tempat Kalangan Sekretariat Email Phone Fax URL : : : : : : : : 02 Juli 2008 - 05 Juli 2008 Hotel Horizon, Bandung Dokter Paru, Internis, Dokter Umum, Residen PT Blesslink Rema Jl. Sunda No. 50A, Bandung 40112 blesslinkbdo@cbn.net.id 022-4262063 022-4262065 www.klikpdpi.com

2nd International Congress on Stem Cells and Tissue Formation 2008


Tanggal Tempat Kalangan Sekretariat : : : : 06 Juli 2008 - 09 Juli 2008 International Congress Center Dresden, Germany Academic, Student, Industry GWT-TUD GmbH Geschftsfhrung: Prof. Dr.-Ing. Sylvia Rohr, Reinhard Sturm Chemnitzer Str. 48b 01187 Dresden Deutschland info2008@stemcellcongress-dresden.de. 0351-87 34 17 20 Ms Hilke Marina Petersen or Mr Felix Manthei http://www.stemcellcongress-dresden.de

Email Phone Contact Person URL

: : : :

KONAS PERDOSKI XII 2008


Tanggal Tempat Kalangan Sekretariat : : : : 02 Juli 2008 - 05 Juli 2008 Hotel Aston, Palembang Dokter Kulit & Kelamin, Anggota PERDOSKI Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin UNSRI/RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang Jl. Jend. Sudirman KM. 3,5 Palembang 30126 Email Phone Fax URL : : : : konas12perdoski@yahoo.com 0711 315524 0711 314172 www. konas12perdoski.worldpress.com

Konker XI PAPDI & PIT ke 2 PB PAPDI


Tanggal Tempat Kalangan Sekretariat : : : : 10 Juli 2008 - 13 Juli 2008 Hotel Bumi Minang, Padang Spesialis Penyakit Dalam, Dokter Umum, Residen Panitia Konker XI PAPDI & PIT ke 2 PB PAPDI Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Unand/ RS Dr. M. Djamil konkerpapdipadang@yahoo.co.id 0751-37771 0751-37771 Dr. Eifel Faheri

Email Phone Fax Contact Person

: : : :

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

245

AGENDA
Diabetes, Obesity and Cardiovaskular LINK 2008
Tanggal Tempat Kalangan Sekretariat Email Phone Fax URL : : : : : : : : 11 Juli 2008 - 12 Juli 2008 Wisma Nusantara, Jakarta Dokter Spesialis & Dokter Umum Graha Pratama Building 4th Fl Jl. Raya Mangga Besar 137-139 Jakarta pb@persadia.org 021-601 0500 ext 7267 021-6220 0137 www.kalbe.co.id/calendar Email Phone Fax Contact Person Catatan : : : : : :

Simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular VII (2008)


Tanggal Tempat Kalangan Sekretariat : : : : 25 Juli 2008 - 27 Juli 2008 Hotel Borobudur, Jakarta Dokter Spesialis, Dokter Umum Sekretariat Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM skpd_jkt@yahoo.co.id (021) 31934636 (021) 3161467 Mumun / Ella / Ayu / Jaya Workshop : 21 - 24 Juli 2008 www.kardiologi-ui.com

Emergency Cardiovascular Disease in Daily Practice


Tanggal Tempat Kalangan Sekretariat Email Phone Contact Person URL : : : : : : : : 12 Juli 2008 - 13 Juli 2008 National Cardiovascular Center Harapan Kita Auditorium, Jakarta Mahasiswa Kedokteran, Dokter Umum, Dokter Spesialis PJN Harapan Kita Jl. S.Parman Kav. 87 Lantai 4 kardiologi.pld@gmail.com 5684085 Ibu Rini www.kardiologi-ui.com

URL

The IX World Conference on Clinical Pharmacology and Therapeutics (CPT 2008)


Tanggal Tempat Kalangan Sekretariat : : : : 27 Juli 2008 - 01 Agustus 2008 Quebec City Convention Centre, Quebec City, Canada Clinical Pharmacology, Clin. Pharmacy, Toxicology Conference Secretariat Marie Lanouette CPT2008 Conference Manager National Research Council Canada Building M-19, 1200 Montreal Road Ottawa, ON K1A 0R6 Canada cpt2008@nrc-cnrc.gc.ca +1 (613) 993-0414 +1 (613) 993-7250 http://www.cpt2008.org

Email

: : : :

MABI 2008 : Optimalisasi Peranan Ahli Bedah dalam Penanggulangan Penyakit kanker
Tanggal Tempat Kota Kalangan Sekretariat Email Phone Fax Contact Person Catatan : : : : : : : : : : 13 Juli 2008 - 15 Juli 2008 Hotel Aston, Palembang Palembang Dokter Bedah, Residen Departemen Bedah FK Unsri-RS Moh. Hoesin Jl. Jend. Sudirman Km 3,5 Palembang 30126 mabiplg@pharma-pro.com/risna@pharma-pro.com +62 711 360 690 +62 711 360 690 Evi (0813 7021 0850)/Risna (0813 8399 8827) Workshop : 11-12 Juli 2008

Phone Fax URL

eHEALTH India 2008


Tanggal Tempat Negara Kota Kalangan Sekretariat Email Phone : : : : : : : : : : 29 Juli 2008 - 31 Juli 2008 Pragati Maidan, New Delhi, India India New Delhi Doctor, Medical Student, IT Practitioner CSDMS e-lets dipanjan@csdms.in +91-9968251626 Dipanjan Banerjee http://www.eindia.net.in/2008/ehealth/index.asp

APHM International Healthcare Conference & Exhibition 2008


Tanggal Tempat Kalangan Sekretariat : : : : 14 Juli 2008 - 16 Juli 2008 Kuala Lumpur Convertion Centre, Kuala Lumpur, Malaysia Doctor, Government, Nurse Association of Private Hospitals of MalaysiaNo. 43, 2nd Floor, Jalan Mamanda 9, Ampang Point, 68000 Ampang, Selangor Darul Ehsan, Malaysia majmin8@pd.jaring.my 603-4251 7032 603- 4251 7031 http://www.aphmconferences.org

Contact Person URL

Email Phone Fax URL

: : : :

246

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

RPPIK

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran


Dapatkah sejawat menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
Jawablah B jika benar, S jika salah

(Laringotrakeobronkitis)
Anton Darmawan

Croup

1. Croup ditandai dengan batuk kering, suara serak dan stridor inspirasi. 2. Croup terutama diderita oleh anak usia 1 2 tahun. 3. Croup terutama disebabkan oleh Klebsiella pneumoniae 4. Infeksi pada croup dimulai dari laring 5. Kesulitan bernafas pada croup disebabkan oleh pembengkakan saluran nafas 6. Croup merupakan penyakit yang progresif dan potensial fatal 7. Croup perlu dibedakan dari laringitis difteri 8. Terapi humidifikasi pada croup terbukti efektif 9. Terapi kortikosteroid sangat berguna memperpendek masa sakit croup 10. Deksametason oral sama efektifnya dengan pemberian parenteral

Pengaruh Bising
terhadap Konsentrasi Belajar Murid Sekolah Dasar
M. Arief Purnanta, Soepomo Soekardono, BU Djoko Rianto, Anton Christanto

1. Bising dapat bersifat subyektif 2. Bising di kelas terutama berasal dari industri 3. Bising maksimum yang diperbolehkan di ruang kelas 55 dB 4. Sistim pendengaran pada dasarnya mengubah energi gelombang menjadi sinjal kimiawi 5. Area pusat pendengaran di otak disebut area Wernicke 6. Korteks yang berperan dalam fungsi pendengaran terletak di lobus oksipitalis 7. Bising yang menulikan berada di atas 110 dB 8. Suara radio yang kuat berada di kisaran 80 110 dB 9. Temporary threshold shift disebut patologis jika pemulihannya melebihi 16 jam 10. Rerata intensitas suara guru harus 15 dB di atas intensitas bising sekitar
JAWABAN : 1.B 2.S 3.B 4.S 5.B 6.S 7.B 8.S 9.B 10.B

248

JAWABAN : 1.S

2.B

3.S

4.S

5.B

6.S

7.B

8.S

9.B

10.B

CDK 163/vol.35 no.4/Juli - Agustus 2008

Anda mungkin juga menyukai