Tenaga Kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat
untuk menunjang Penyelenggaraan Pendidikan. Yang termasuk kedalam tenaga kependidikan
adalah:
Kepala Satuan Pendidikan
epala Satuan Pendidikan yaitu orang yang diberi wewenang dan tanggung jawab untuk
memimpin satuan pendidikan tersebut. epala Satuan Pendidikan harus mampu melaksanakan
peran dan tugasnya sebagai edukator, manajer, administrator, supervisor, leader, inovator,
motivator, figur dan mediator stilah lain untuk epala Satuan Pendidikan adalah:
epala Sekolah
Rektor
Direktur, serta istilah lainnya.
Pendidik
Pendidik atau di ndonesia lebih dikenal dengan pengajar, adalah tenaga kependidikan
yang berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan dengan tugas khusus sebagai profesi
pendidik. Pendidik mempunyai sebutan lain sesuai kekhususannya yaitu:
O Guru
O Dosen
O onselor
O Pamong belajar
O widyaiswara tutor
O instruktur
O fasilitator
O Ustadz, dan sebutan lainnya.
Tenaga Kependidikan lainnya
rang yang berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan,
walaupun secara tidak langsung terlibat dalam proses pendidikan, diantaranya:
O Wakil-wakil/Kepala urusan umumnya pendidik yang mempunyai tugas tambahan dalam
bidang yang khusus, untuk membantu epala Satuan Pendidikan dalam
penyelenggaraan pendidikan pada institusi tersebut. Contoh: Kepala Urusan Kurikulum
O Tata usaha, adalah Tenaga ependidikan yang bertugas dalam bidang administrasi
instansi tersebut. Bidang administrasi yang dikelola diantaranya;
4 Administrasi surat menyurat dan pengarsipan,
4 Administrasi epegawaian,
4 Administrasi Peserta Didik,
4 Administrasi euangan,
4 Administrasi nventaris dan lain-lain.
O Laboran, adalah petugas khusus yang bertanggung jawab terhadap alat dan bahan di
Laboratorium.
O Pustakawan
O Pelatih ekstrakurikuler,
O Petugas keamanan (penjaga sekolah), Petugas kebersihan, dan lainya.
Tak seorang pun dapat membantah bahwa guru berada di garda depan dalam upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa. Mereka telah melahirkan banyak dokter, insinyur, menteri,
bahkan presiden. Tidak heran apabila guru dielu-elukan sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa.
Zaman memang telah berubah. Pergeseran nilai menyergap di segenap lapis dan lini
kehidupan masyarakat. Nilai-nilai keluhuran budi dan cerahnya akal budi (nyaris) luntur tergerus
oleh derasnya arus modernisasi dan globalisasi yang cenderung memanjakan nilai
konsumtivisme, materialisme, dan hedonisme. Banyak orang yang makin cuek dan masa bodoh
terhadap keagungan nilai kejujuran, keuletan, atau kebersahajaan. Sukses seseorang pun
semata-mata dinilai dari kemampuannya menumpuk harta, tanpa memedulikan dari mana harta
itu diperoleh.
Dalam kondisi zaman yang makin memberhalakan gebyar duniawi semacam itu, profesi
guru pun makin tidak dilirik dan diminati generasi muda. Secara sosial, pamor guru pun
semakin redup. alau hanya mengandalkan penghasilannya sebagai guru, hampir mustahil
seorang guru bisa hidup layak di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang kian gencar
memanjakan nafsu keduniawian. Jangan heran apabila banyak guru yang terpaksa nyambi jadi
tukang ojek, penjual rokok ketengan, atau calo, sekadar untuk bisa mengikuti "ombyaking
zaman.
Sinyalemen tentang meredupnya pamor guru sebenarnya sudah lama terdengar,
bahkan gaungnya masih sering menggema hingga sekarang. Sosok guru menjadi objek yang
gampang mengundang perhatian, tanggapan, dan penilaian tersendiri dari berbagai kalangan.
Hal ini sangatlah beralasan, sebab gurulah yang berada di garda depan dalam "barikade
pendidikan sebagai pengajar, pembimbing, pelatih, dan pendidik yang langsung bersentuhan
dan bergaul dengan peserta didik sehari-hari di sekolah. Gurulah yang dinilai sangat dominan
dalam mewarnai "kanvas pendidikan. Tidaklah berlebihan jika terjadi sesuatu yang tidak beres
dalam gerak dan dinamika pendidikan, orang beramai-ramai menuding guru sebagai biangnya.
eberadaan guru kalau boleh ditamsilkan seperti lampu bangjo. ehadirannya sangat
penting dan amat dibutuhkan untuk memperlancar arus lalu lintas. etika guru mampu
menjalankan tugasnya dengan baik, profesional, penuh dedikasi, disiplin, kreatif, inovatif,
wibawa, dan mumpuni di bidangnya, orang menganggap hal itu sebagai hal yang biasa, bahkan
menjadi sebuah keniscayaan. Ya, memang seharusnya dalam menjalankan tugas-tugas
profesinya, guru harus memiliki landasan idealisme semacam itu. Lampu bangjo pun akan
diperlakukan seperti itu. Tak seorang pun pengendara yang akan berteriak-teriak ketika lampu
bangjo berfungsi dengan baik. Namun, ketika sang guru melakukan penyimpangan dan
kesalahan sedikit saja, hal itu dianggap sebagai noda dan "dosa tak terampuni. Gugatan dan
hujatan pun terus mengalir (nyaris) tanpa henti. Hampir sama dengan para pengendara yang
berteriak-teriak, bahkan mungkin mengumpat, ketika lampu bangjo mati.
Secara jujur memang harus diakui, apresiasi masyarakat terhadap profesi guru pun
mulai berkurang. Pamor guru makin meredup di tengah atmosfer peradaban yang gila dan
kacau. Gurulah yang harus menanggung beban ketika mutu pendidikan merosot, meruyaknya
perkelahian antarpelajar, merajalelanya dekadensi moral dan involusi budaya, atau kian
keringnya aplikasi nilai-nilai kesalehan hidup di atas panggung kehidupan sosial.
Persoalannya sekarang, mengapa pamor guru meredup? Mengapa sosok yang selalu
disanjung puji dan dielu-elukan lewat lirik "Hymne Guru bagaikan "pelita dalam kegelapan itu
seakan-akan sudah tak berdaya lagi menghadapi arus budaya global yang demikian dahsyat
menggerus nilai-nilai luhur hakiki? Mengapa guru tidak lagi menjadi profesi yang
membanggakan, bahkan konon guru hanya tinggal menunggu saat-saat kematiannya? Bisa jadi
masih ada setumpuk tanda tanya yang bisa ditimbun untuk mempertanyakan keberadaan guru
yang makin tersisih oleh dinamika dan hiruk-pikuk zaman.
Banyak fakta yang bisa diungkap untuk menggambarkan bahwa saat ini profesi guru
benar-benar tengah mengalami degradasi nilai yang cukup serius. asus guru disatroni
muridnya saat pembagian rapor atau pengumuman kelulusan, stigma guru sebagai pembual
dan penjual kecap di kelas, atau kasus guru nyambi yang menelantarkan murid-muridnya,
merupakan deret keprihatinan yang layak direnungkan dan dicari penyebabnya, sehingga bisa
ditemukan solusinya. Jika kondisi semacam itu terus dibiarkan, jelas sangat tidak
menguntungkan bagi citra dan kredibilitas guru sebagai figur yang dijuluki sebagai "pahlawan
butuh tanpa tanda jasa itu.
Ada beberapa faktor yang bisa menjadi penyebab meredupnya pamor guru. Pertama,
terjadinya pergeseran nilai, etika, moral, dan budaya akibat kuatnya arus modernisasi dan
globalisasi yang melanda masyarakat kita. Tayangan film yang mengintrodusir adegan-adegan
kekerasan, brutal, sadis, dan berbau porno, baik melalui tayangan TV maupun media hiburan
yang lain, setidak-tidaknya telah ikut memicu munculnya sikap agresif, sadis, dan brutal, kering
dari sentuhan nilai kemanusiaan dan kearifan dalam kepribadian pelajar kita. mbasnya, mereka
tidak peduli lagi batas-batas kesopanan, kesusilaan, dan tata krama, sehingga berakibat pada
menurunnya rasa hormat terhadap guru mereka sendiri.
Kedua, mulai tumbuhnya sikap permisif (serba boleh) di sebagian besar masyarakat kita
terhadap segala macam bentuk perilaku kejahatan, amoral, dan anomali sosial. asus-kasus
semacam penodongan, perampokan, pemerkosaan, korupsi, manipulasi, dan "antek-antek-nya
dinilai sebagai kasus yang wajar terjadi di tengah peradaban gila dan kacau ini. Akibatnya,
masyarakat yang diharapkan dapat menjadi kekuatan kontrol terhadap segala perilaku
menyimpang menjadi lemah. Masyarakat hanya sekadar melimpahkan tanggung jawabnya
kepada pihak yang berwenang saja. Demikian juga masyakarat kita dalam memandang perilaku
menyimpang yang melanda pelajar kita. Masyarakat kita *yang pasti tidak semuanya demikian
lho, ya* telah menganggap sebagai hal yang galib terjadi jika seorang pelajar merokok atau
tidak hormat lagi kepada guru atau orang tua.
Ketiga, masih kuatnya anggapan bahwa guru adalah pribadi yang harus selalu tampil
perfeksionis, tanpa cacat dan cela, berbudi luhur dan mulia bagaikan seorang resi yang hidup di
sebuah institusi pertapaan tempoe doeloe yang mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk
kepentingan kemanusiaan tanpa pamrih. Anggapan semacam itu justru menjadi "bumerang
bagi guru itu sendiri. Mereka jadi serba salah dalam bersikap dan bertingkah laku, sempit ruang
geraknya, dan setiap sepak terjangnya selalu berada dalam bingkai sorotan dan pengawasan
dari berbagai pihak.
Keempat, guru dinilai telah gagal menanamkan dan mengakarkan nilai-nilai luhur dan
budi pekerti dalam jiwa siswa didik di sekolah sehingga menjadi brutal dan tak bermoral.
Gurulah yang dinilai paling bertanggung jawab terhadap kegagalan itu. Penilaian semacam itu
jelas akan menggiring publik luas pada opini bahwa guru bukan lagi sebagai profesi luhur yang
senantiasa menjadikan dedikasi, loyalitas, dan berjuang tanpa pamrih sebagai basis
pengabdiannya.
Kelima, memudarnya wibawa guru di mata peserta didik. Banyak pengamat menyatakan
bahwa wibawa guru merupakan kata kunci untuk melahirkan generasi yang cerdas secara
intelektual, emosional, sosial, dan spiritual. Pernyataan semacam itu jelas masuk akal sebab
jika wibawa guru hilang, mustahil segala macam bentuk penanaman dan pengakaran nilai-nilai
yang berlandas tumpu pada ajaran-ajaran luhur dan suci bisa diwujudkan secara riil oleh
peserta didik.
Dan keenam, tingkat kesejahteraan guru yang dinilai masih timpang jika dibandingkan
dengan beratnya beban dan tanggung jawab yang harus dipikulnya. Alasan klasik inilah yang
konon menjadi pemicu banyak guru yang nyambi di luar profesinya untuk menambah
penghasilan. Akibatnya, proses belajar-mengajar jadi kacau dan tersendat-sendat, siswa didik
berada dalam kondisi tidak siap belajar, hancur pula pamor sang guru.
Mengingat keberadaan guru begitu penting dan dibutuhkan dalam dunia pendidikan,
maka sikap dan tindakan bijak dari berbagai pihak sangat diperlukan dalam menyikapi
meredupnya pamor guru. Di pundak gurulah nasib anak-anak bangsa negeri ini dipertaruhkan.
Jangan biarkan kondisi yang tidak kondusif menelikung tugas dan profesi guru. rang tua,
tokoh-tokoh masyarakat, dan pemerintah yang dikenal sebagai pilar penyangga roda
pendidikan, harus bersinergi, saling introspeksi, dan senantiasa memiliki "kemauan baik untuk
mengangkat pamor guru.
Paling tidak, ada empat agenda penting dan mendesak untuk menyelamatkan pamor
guru agar mampu menjalankan kiprahnya sebagai "pencerah peradaban. Pertama, perlu
tindakan tegas terhadap berbagai media hiburan yang menafikan dan menihilkan sisi edukatif
sehingga meracuni jiwa dan kepribadian pelajar kita. Tentu saja dengan cara yang arif dan
persuasif, tidak dengan cara mengangkat pedang dan brutal yang tidak jauh berbeda dari cara-
cara preman. Nihilnya hiburan-hiburan yang menyesatkan, paling tidak, sudah mampu ikut
berkiprah membantu guru dalam menanamkan dan mengakarkan berbagai macam nilai kepada
siswa didik.
Kedua, masyarakat harus mampu menjadi kekuatan kontrol terhadap segala macam
bentuk tindak kejahatan dan tingkah amoral lainnya, termasuk kenakalan remaja. Hal ini sangat
penting dan urgen untuk direalisasikan dalam tataran praksis, sebab anak yang terbiasa hidup
dalam lingkungan yang sarat dengan tindak kejahatan, mereka juga akan belajar jadi penjahat.
Ketiga, perlu diciptakan sebuah imaji atau citra bahwa guru adalah manusia biasa yang
tidak bisa luput dari khilaf dan dosa. Citra semacam itu justru akan mampu menumbuhkan sikap
guru yang manjing-ajur-ajer, adaptif, mengabdi tanpa beban, dan merasa dimanusiawikan. Dus,
tak perlu lagi dicitrakan sebagai sosok perfeksionis yang pantang berbuat salah. ni tidak lantas
berarti bahwa guru mesti ditolerir ketika melakukan kesalahan yang melawan hukum.
Keempat, pemerintah mesti benar-benar serius dan menepati janjinya yang telah
memiliki "kemauan politik untuk meningkatkan kesejahteraan guru seperti yang tertuang dalam
UU No. 14 /2005 tentang Guru dan Dosen. Pemerintah tidak boleh setengah hati, apalagi
menyiasatinya dengan Ujian Sertifikasi Guru yang pada kenyataannya justru menimbulkan
masalah baru, bukan solusi jitu untuk menaikkan kesejahteraan guru.
Yang dialami sebagaian besar guru di ndonesia cukup mewakili keseluruhan keluarga
besar tenaga kependidikan yang ada di negeri kita yang tercinta ini. arena itu akankah ada
perubahan dalam pendidikan kita jika orang-orang yang ada didalamnya tidak merasa betah
sedikitpun dalam melaksanakan tugasnya. Bukan hanya karena tidak mendapatkan dukungan
dari masyarakat luas tetapi juga adanya tekanan yang didapat dari atas akan membuat semakin
terpuruknya pendidikan ndonesia dalam hal peningkatan kualitas tenaga kependidikan.