Anda di halaman 1dari 12

Adakah Obat untuk HIV/AIDS Saat Ini?

Ditulis oleh Safri Ishmayana pada 11-07-2005

AIDS merupakan penyakit yang paling ditakuti pada saat ini. HIV, virus yang menyebabkan penyakit ini, merusak sistem pertahanan tubuh (sistem imun), sehingga orang-orang yang menderita penyakit ini kemampuan untuk mempertahankan dirinya dari serangan penyakit menjadi berkurang. Seseorang yang positif mengidap HIV, belum tentu mengidap AIDS. Banyak kasus di mana seseorang positif mengidap HIV, tetapi tidak menjadi sakit dalam jangka waktu yang lama. Namun, HIV yang ada pada tubuh seseorang akan terus merusak sistem imun. Akibatnya, virus, jamur dan bakteri yang biasanya tidak berbahaya menjadi sangat berbahaya karena rusaknya sistem imun tubuh. Karena ganasnya penyakit ini, maka berbagai usaha dilakukan untuk mengembangkan obatobatan yang dapat mengatasinya. Pengobatan yang berkembang saat ini, targetnya adalah enzimenzim yang dihasilkan oleh HIV dan diperlukan oleh virus tersebut untuk berkembang. Enzimenzim ini dihambat dengan menggunakan inhibitor yang nantinya akan menghambat kerja enzimenzim tersebut dan pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan virus HIV. HIV merupakan suatu virus yang material genetiknya adalah RNA (asam ribonukleat) yang dibungkus oleh suatu matriks yang sebagian besar terdiri atas protein. Untuk tumbuh, materi genetik ini perlu diubah menjadi DNA (asam deoksiribonukleat), diintegrasikan ke dalam DNA inang, dan selanjutnya mengalami proses yang akhirnya akan menghasilkan protein. Proteinprotein yang dihasilkan kemudian akan membentuk virus-virus baru.

Gambar 1A Struktur Virus HIV

Gambar 1B Daur hidup HIV Obat-obatan yang telah ditemukan pada saat ini menghambat pengubahan RNA menjadi DNA dan menghambat pembentukan protein-protein aktif. Enzim yang membantu pengubahan RNA menjadi DNA disebut reverse transcriptase, sedangkan yang membantu pembentukan protein-protein aktif disebut protease. Untuk dapat membentuk protein yang aktif, informasi genetik yang tersimpan pada RNA virus harus diubah terlebih dahulu menjadi DNA. Reverse transcriptase membantu proses pengubahan RNA menjadi DNA. Jika proses pembentukan DNA dihambat, maka proses pembentukan protein juga menjadi terhambat. Oleh karena itu, pembentukan virus-virus yang baru menjadi berjalan dengan lambat. Jadi, penggunaan obat-obatan penghambat enzim reverse transcriptase tidak secara tuntas menghancurkan virus yang terdapat di dalam tubuh. Penggunaan obat-obatan jenis ini hanya menghambat proses pembentukan virus baru, dan proses penghambatan ini pun tidak dapat menghentikan proses pembentukan virus baru secara total.

Obat-obatan lain yang sekarang ini juga banyak berkembang adalah penggunaan penghambat enzim protease. Dari DNA yang berasal dari RNA virus, akan dibentuk protein-protein yang nantinya akan berperan dalam proses pembentukan partikel virus yang baru. Pada mulanya, protein-protein yang dibentuk berada dalam bentuk yang tidak aktif. Untuk mengaktifkannya, maka protein-protein yang dihasilkan harus dipotong pada tempat-tempat tertentu. Di sinilah peranan protease. Protease akan memotong protein pada tempat tertentu dari suatu protein yang terbentuk dari DNA, dan akhirnya akan menghasilkan protein yang nantinya akan dapat membentuk protein penyusun matriks virus (protein struktural) ataupun protein fungsional yang berperan sebagai enzim.

Gambar 2 (klik untuk memperbesar) Gambar 2 menunjukkan skema produk translasional dari gen gag-pol dan daerah di mana produk dari gen tersebut dipecah oleh protease. p17 berfungsi sebagai protein kapsid, p24 protein matriks, dan p7 nukleokapsid. p2, p1 dan p6 merupakan protein kecil yang belum diketahui fungsinya. Tanda panah menunjukkan proses pemotongan yang dikatalisis oleh protease HIV (Flexner, 1998). Menurut Flexner (1998), pada saat ini telah dikenal empat inhibitor protease yang digunakan pada terapi pasien yang terinfeksi oleh virus HIV, yaitu indinavir, nelfinavir, ritonavir dansaquinavir. Satu inhibitor lainnya masih dalam proses penelitian, yaitu amprenavir. Inhibitor protease yang telah umum digunakan, memiliki efek samping yang perlu dipertimbangkan. Semua inhibitor protease yang telah disetujui memiliki efek samping gastrointestinal. Hiperlipidemia, intoleransi glukosa dan distribusi lemak abnormal dapat juga terjadi.

Gambar 3 (klik untuk memperbesar) Gambar 3 menujukkan lima struktur inhibitor protease HIV dengan aktivitas antiretroviral pada uji klinis. NHtBu = amido tersier butil dan Ph = fenil (Flexner, 1998). Uji klinis menunjukkan bahwa terapi tunggal dengan menggunakan inhibitor protease saja dapat menurunkan jumlah RNA HIV secara signifikan dan meningkatkan jumlah sel CD4 (indikator bekerjanya sistem imun) selama minggu pertama perlakuan. Namun demikian, kemampuan senyawa-senyawa ini untuk menekan replikasi virus sering kali terbatas, sehingga menyebabkan terjadinya suatu seleksi yang menghasilkan HIV yang tahan terhadap obat. Karena itu, pengobatan dilakukan dengan menggunakan suatu terapi kombinasi bersama-sama dengan inhibitor reverse transcriptase. Inhibitor protease yang dikombinasikan dengan inhibitor reverse transkriptase menunjukkan respon antiviral yang lebih signifikan yang dapat bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama (Patrick & Potts, 1998). Dari uraian di atas, kita dapat mengetahui bahwa sampai saat ini belum ada obat yang benarbenar dapat menyembuhkan penyakit HIV/AIDS. Obat-obatan yang telah ditemukan hanya menghambat proses pertumbuhan virus, sehingga jumlah virus dapat ditekan. Oleh karena itu, tantangan bagi para peneliti di seluruh dunia (termasuk Indonesia) adalah untuk mencari obat yang dapat menghancurkan virus yang terdapat dalam tubuh, bukan hanya menghambat pertumbuhan virus. Indonesia yang kaya akan keanekaragaman hayati, tentunya memiliki potensi yang sangat besar untuk ditemukannya obat yang berasal dari alam. Penelusuran senyawa yang berkhasiat tentunya memerlukan penelitian yang tidak sederhana. Dapatkah obat tersebut ditemukan di Indonesia? Wallahu alam. Pustaka:

1. Flexner, C. 1998. HIV-Protease Inhibitor. N. Engl. J.Med. 338:1281-1293 2. Patrick, A.K. & Potts, K.E. 1998. Protease Inhibitors as Antiviral Agents. Clin. Microbiol. Rev. 11: 614-627.

CAPRINA RUNGGU

http://aids-ina.org/modules.php?name=FAQ&myfaq=yes&id_cat=1&categories=HIVAIDS
Pertanyaan
Apa itu HIV? Bagaimana virus HIV bisa menimbulkan rusaknya sistem kekebalan manusia ? Dimanakah virus HIV ini berada ? Apakah CD4 itu ? Apa fungsi sel CD4 ini sebenarnya ? Apa gejala orang yang terinfeksi HIV menjadi AIDS? Bagaimana HIV menjadi AIDS? 3.

Jawaban Apa itu HIV?


Diperbaharui terakhir: 0000-00-00 HIV ada singkatan dari Human Immunodeficiency Virus. Virus yang menyebabkan rusaknya/melemahnya sistem kekebalan tubuh manusia. [ Kembali ke atas ]

Bagaimana virus HIV bisa menimbulkan rusaknya sistem kekebalan manusia ?


Diperbaharui terakhir: 0000-00-00 Virus HIV membutuhkan sel-sel kekebalan kita untuk berkembang biak. Secara alamiah sel kekebalan kita akan dimanfaatkan, bisa diibaratkan seperti mesin fotocopy. Namun virus ini akan merusak mesin fotocopynya setelah mendapatkan hasil copy virus baru dalam jumlah yang cukup banyak. Sehingga lama-kelamaan sel kekebalan kita habis dan jumlah virus menjadi sangat banyak. [ Kembali ke atas ]

Dimanakah virus HIV ini berada ?


Diperbaharui terakhir: 0000-00-00 HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial mengandung virus HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu. Sedangkan cairan yang tidak berpotensi untuk menularkan virus HIV adalah cairan keringat, air liur, air mata dan lain-lain [ Kembali ke atas ]

Apakah CD4 itu ?


Diperbaharui terakhir: 0000-00-00 CD 4 adalah sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah putih manusia,

terutama sel-sel limfosit. CD 4 pada orang dengan sistem kekebalan yang menurun menjadi sangat penting, karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam memerangi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD 4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol) [ Kembali ke atas ]

Apa fungsi sel CD4 ini sebenarnya ?


Diperbaharui terakhir: 0000-00-00 Sel yang mempunyai marker CD4 di permukaannya berfungsi untuk melawan berbagai macam infeksi. Di sekitar kita banyak sekali infeksi yang beredar, entah itu berada dalam udara, makanan ataupun minuman. Namun kita tidak setiap saat menjadi sakit, karena CD4 masih bisa berfungsi dengan baik untuk melawan infeksi ini. Jika CD4 berkurang, mikroorganisme yang patogen di sekitar kita tadi akan dengan mudah masuk ke tubuh kita dan menimbulkan penyakit pada tubuh manusia [ Kembali ke atas ]

Apa gejala orang yang terinfeksi HIV menjadi AIDS?


Diperbaharui terakhir: 2010-03-03 Bisa dilihat dari 2 gejala yaitu gejala Mayor (umum terjadi) dan gejala Minor (tidak umum terjadi): Gejala Mayor: - Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan - Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan - Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan - Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis - Demensia/ HIV ensefalopati Gejala MInor: - Batuk menetap lebih dari 1 bulan - Dermatitis generalisata - Adanya herpes zostermultisegmental dan herpes zoster berulang - Kandidias orofaringeal - Herpes simpleks kronis progresif - Limfadenopati generalisata - Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita - Retinitis virus sitomegalo Kasus Dewasa: Bila seorang dewasa (>12 tahun) dianggap AIDS apabila menunjukkan tes HIV positif dengan strategi pemeriksaan yang sesuai dengan sekurang-kurangnya 2 gejala mayor dan 1 gejala minor, dan gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV. [ Kembali ke atas ]

Bagaimana HIV menjadi AIDS?


Diperbaharui terakhir: 2009-06-15 Ada beberapa Tahapan ketika mulai terinfeksi virus HIV sampai timbul gejala AIDS: 1. Tahap 1: Periode Jendela - HIV masuk ke dalam tubuh, sampai terbentuknya antibody terhadap HIV dalam darah - Tidak ada tanda2 khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat - Test HIV belum bisa mendeteksi keberadaan virus ini - Tahap ini disebut periode jendela, umumnya berkisar 2 minggu - 6 bulan 2. Tahap 2: HIV Positif (tanpa gejala) rata-rata selama 5-10 tahun: - HIV berkembang biak dalam tubuh - Tidak ada tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat - Test HIV sudah dapat mendeteksi status HIV seseorang, karena telah terbentuk antibody terhadap

HIV -Umumnya tetap tampak sehat selama 5-10 tahun, tergantung daya tahan tubuhnya (rata-rata 8 tahun (di negara berkembang lebih pendek) 3. Tahap 3: HIV Positif (muncul gejala) - Sistem kekebalan tubuh semakin turun - Mulai muncul gejala infeksi oportunistik, misalnya: pembengkakan kelenjar limfa di seluruh tubuh, diare terus menerus, flu, dll - Umumnya berlangsung selama lebih dari 1 bulan, tergantung daya tahan tubuhnya 4. Tahap 4: AIDS - Kondisi sistem kekebalan tubuh sangat lemah - berbagai penyakit lain (infeksi oportunistik) semakin parah

Virus HIV Lebih Pintar Dari yang Kita Bayangkan


Ditulis oleh Silvia Iskandar pada 27-03-2003

Ketika para ilmuwan menemukan bahwa penyebab AIDS adalah virus, mereka berpikir dapat memusnahkan AIDS dari muka bumi ini dengan menciptakan vaksinnya. Namun setelah sekian lama penelitian AIDS berlangsung, sampai sekarang belum ada juga vaksin yang sanggup melatih sistem imunitas tubuh kita untuk mencegah masuknya virus HIV. Mekanisme terinfeksinya sebuah sel oleh virus HIV-1 adalah sebuah proses yang melibatkan beberapa molekul yang bekerja secara sistematik. Pada bungkus virus ada lapisan protein gula (glycoprotein) yang mempunyai bagian yang dikenali antibodi (epitope, yang memicu netralisasi) dan bagian lain yang dikenali receptor dan CD4 .(yang menyebabkan sel terinfeksi).

Glycoprotein yang membungkus virus dikenali oleh molekul CD4 pada sel yang kemudian menyebabkan co-receptor (CXCR4 atau CCR5) pada sel juga mengikat virus tersebut dan dimulailah proses penyampaian sinyal (bahwa ada tamu asing yang datang) ke dalam sel. Sinyal inilah yang kemudian memberi aba- aba bahwa si sel telah terinfeksi dan akan segera dimanipulasi oleh virus untuk proses replikasinya. Tubuh kita pun berusaha menetralisir virus itu dengan memproduksi antibodi yang dapat mengenali virus tersebut secara spesifik. Bagian pada virus di mana antibodi dapat melekat secara spesifik, disebut epitope. Proses melekatnya virus (antigen) dan antibodi yang diproduksi tubuh ini dapat dibayangkan seperti kunci dan anak kunci yang hanya cocok dengan pasangannya. Berbagai tes klinis menunjukkan bahwa vaksin tidak dapat menolong para pasien yang telah terinfeksi, sebagian besar dari pasien yang telah menerima vaksin pun, tetap menunjukkan gejala AIDS dan hal ini menyebabkan para ilmuwan menduga bahwa virus HIV mempunyai kemampuan untuk terus-menerus memutasikan dirinya sehingga antibodi yang sudah terbentuk tidak dapat mengenalinya lagi dan infeksi berlangsung terus tanpa bisa dihentikan. Laporan riset yang dimuat di Nature edisi bulan ini membuktikan hipotesa ini. Plasma darah pasien yang terinfeksi menunjukkan kekebalan terhadap antibodi yang diproduksi tubuh. Setelah diselidiki, sequence protein dari bungkus glycoprotein virus memang mengalami perubahan. Mutasi ini tersebar sepanjang gen, beberapa bersifat konservatif : diwariskan ke generasi berikutnya , namun bagian yang dikenali receptor (bagian yang menyebabkan awal terjadinya infeksi) justru mempertahankan karakter intrinsiknya. Xiping Wei dkk 1) juga mengemukakan bahwa beberapa mutasi yang terakumulasi menyebabkan perubahan struktur bungkus glycoprotein sedemikian rupa sehingga menutupi epitope virus, bagian yang seharusnya dikenali antibodi dan dapat memicu proses netralisasi. Hasil riset lain yang meneliti hal yang serupa dengan meninjau dari segi termodinamika 2), menunjukkan bahwa ada perubahan entropi yang besar pada sisi yang dikenali receptor. Nilai entropi yang sangat negatif menunjukkan bahwa terjadi penyelubungan permukaan atau adanya protein yang terlipat. Virus HIV tampaknya cukup licik untuk mempertahankan kemampuannya mengikat diri dengan receptor sel sementara memutasi bagian yang berhubungan dengan antibodi sehingga dapat menghindari proses netralisasi tubuh. Mimpi para ilmuwan untuk menaklukkan AIDS dengan imunisasi mungkin hanya tinggal mimpi.[SI] Referensi : 1. Antibody Neutralization and Escape by HIV-1, Xiping Wei et al. Nature 422, 307312(2003) 2. HIV-1 Evades Antibody-mediated Neutralization through Conformational Masking of Receptor-Binding Sites, Peter D.Kwong et al. Nature 420, 678-682(2002)

HIV, Kapankah bisa ditanggulangi?


Kata Kunci: Aids, HIV, terapi gen, terapi kimia, vaksin, Zidovudin Ditulis oleh Andi Utama pada 22-09-2003 AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). Penularan HIV dapat melalui hubungan sex dengan penderita AIDS, pemakaian jarum suntik bekas yang telah digunakan untuk pasien AIDS, dan lahir dari ibu atau meminum susu ibu penderita AIDS.

Virus HIV yang terinfeksi menyerang sistem imun di dalam tubuh manusia sehingga berakibat fatal. Sampai saat ini belum ditemukan obat maupun vaksin penangkalnya. Namun berbagai usaha tengah dilakukan dalam upaya penemuan obat/vaksin tersebut. Sejarah AIDS Penyakit AIDS, pertama kali ditemukan pada awal tahun 1980-an. Kebanyakan penderitanya adalah pria gay, sehingga pada waktu itu dinamakan gay compromise syndrome atau gay-related immune deficiency. Pada Juli 1982, jumlah kasus di Amerika Serikat dilaporkan berjumlah 452 orang. Pada akhir 1982, dilaporkan seorang anak yang yang menerima transfusi darah menderita AIDS dan akhirnya meninggal dunia. Kejadian ini menimbulkan dugaan bahwa AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh agen penular (infectious agent). Setelah itu juga diketahui bahwa penyakit ini tidak hanya terjadi di Amerika, dan tidak hanya terjadi pada gay tapi juga pada laki-laik dan perempuan yang normal. Pada bulam Mei 1983, grup peneliti dari Institute Pasteur, Prancis yang diketuai oleh Luc Montagnier berhasil mengisolasi virus yang diduga menjadi penyebab AIDS, dan virus ini kemudian diberi nama lymphadenophaty-associated virus (virus perusak limpa). Setahun berikutnya, Robert C. Gallo dan kawan-kawan dari National Cancer Institute, Amerika berhasil mengisolasi virus penyebab AIDS yang dinamakan HTLV-III (Human T cell Lymphotropic Virus, type 3). Dengan diisolasinya virus ini, semua orang optimis kalau AIDS bisa segera diatasi dengan menggunakan vaksin. Bahkan pada saat itu, sekretaris Healt and Human Service, Amerika Serikat, Margaret Hecker mengatakan bahwa vaksin yang siap uji akan diperoleh dalam dua tahun mendatang. Namun kenyataannya tidah semudah itu dan terbukti sampai sekarang belum ada vaksin yang ampuh. Karena virus LAV dan HTLV-III adalah sama, pada tahun 1986, komite internasional untuk taksonomi virus (the International Committee on the Taxonomy of Viruses) sepakat untuk tidak memakai nama LAV atau HTLV-III, dan memberi nama baru yaitu HIV. Dua puluh tahun telah berlalu sejak ditemukannya HIV. Dalam rangka peringatan 20 tahun penelitian HIV, pada bulan Juli 2003 jurnal Nature Medicine menerbitkan edisi khusus yang menfokuskan pada HIV. Penerbitan ini bersamaan dengan International AIDS Society Conference on HIV Pathogenesis and Treatment yang diadakan di Paris pada Juli 2003 yang lalu. Penelitian mengenai HIV dimulai sejak tahun 1983, dimana grup peneliti Prancis yang diketuai oleh Luc Montagnier menduga bahwa ada hubungan antara retrovirus dengan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Setahun berikutnya, Robert C. Gallo dan kawankawan berhasil mengisolasi retrovirus dari pasien AIDS. Virus ini kemudian diberi nama HIV (Human Immunodeficiency Virus). Sampai saat ini, lebih dari 20 juta jiwa telah meninggal karena AIDS. Dan sekarang diperkirakan penderita AIDS berjumlah lebih dari 42 juta. Jumlah ini terus bertambah dengan kecepatan 15,000 pasien per hari. Jumlah pasien di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara sendiri diperkirakan berjumlah sekitar 5,6 juta.

Sejak penemuannya, ribuan peneliti di seluruh dunia telah ikut berperan dalam penelitian HIV. Lebih dari 125 ribu artikel tentang HIV telah dipublikasi, namun masalah AIDS masih belum terpecahkan. Terapi kimia Berbagai cara pengobatan telah diterapkan untuk penyembuhan penyakit AIDS. Yang banyak dipraktekan secara klinis sampai saat ini adalah pengobatan dengan obat kimia (chemotherapy). Obat-obat ini biasanya adalah inhibitor enzim yang diperlukan untuk replikasi virus itu sendiri, seperti inhibitor enzim reverse transcriptase atau protease. Zidovudin, atau yang lebih dikenal dengann AZT, adalah obat AIDS yang pertama kali digunakan. Obat yang merupakan inhibitor enzim reverse transciptase ini mulai digunakan sejak tahun 1987. Setelah itu dikembangkan inhibitor protease seperti indinavir, ritonavir dan nelfinavir. Sampai saat ini Food and Drug Administration (FDA), Amerika telah mengizinkan penggunaan sekitar 20 jenis obat-obatan. Pada umumnya, pemakaian obat-obat ini adalah dengan kombinasi satu sama lainnya. Hal ini disebabkan karena pemakaian obat tunggal, selain tidak efektif juga menyebabkan mudah munculnya virus yang resisten terhadap obat tersebut. Pemakaian obat kombinasi ini menjadi standar pengobatan AIDS saat ini, dan cara ini dinamakan highly active antiretroviral threapy (HAART). Dengan HAART ini biasanya 4 sampai 6 pil yang diminum 3 kali sehari. Jumlah yang banyak dan frekuensi yang sering ini sangat memberatkan pasien baik dari segi fisik maupun ekonomi. Karena keberatan ini, terkadang pasien lupa meminumnya dan kelupaan ini akan menjadi fatal karena virus akan berkembangbiak lagi. Terapi gen Pendekatan lain yang dilakukan adalah terapi gen (gene therapy). Artinya, pengobatan dilakukan dengan mengintroduksikan gen anti-HIV ke dalam sel yang terinfeksi HIV. Gen ini bisa berupa antisense (DNA yang mempunyai barisan komplementari) dari salah satu enzim yang diperlukan untuk replikasi virus tersebut atau ribozyme yang berupa antisense RNA yang memiliki kemampuan untuk menguraikan RNA yang menjadi target. Antisense yang diintroduksikan dengan vektor akan menjalani proses transkripsi menjadi RNA bersamaan dengan messenger RNA virus (mRNA). Setelah itu, RNA antisense ini akan berinteraksi dengan mRNA dari enzim tersebut dan mengganggu translasi mRNA sehingga tidak menjadi protein. Karena enzim yang diperlukan untuk replikasi tidak berhasil diproduksi, otomatis HIV tidak akan berkembangbiak di dalam sel. Sama halnya dengan antisense, ribozyme juga menghalangi produski suatu protein tapi dengan cara menguraikan mRNAnya. Pendekatan yang dilakukan melalui RNA ini juga bagus dilihat dari segi imunologi, karena tidak mengakibatkan respon imun yang tidak diinginkan. Hal ini berbeda dengan pendekatan melalui protein yang menyebabkan timbulnya respon imun di dalam tubuh. Untuk keperluan terapi gen ini, dibutuhkan sistem pengantar gen (gene delivery) yang efesien, yang akan membawa gen hanya kepada sel yang telah dan akan diinfeksi oleh HIV. Selain itu, sistem harus bisa mengekspresikan gen yang dibawa dan tidak mengakibatkan

efek yang berasal dari virus itu sendiri. Untuk memenuhi syarat ini, HIV itu sendiri penjadi pilihan utama. Pemikiran untuk memanfaatkan virus HIV sebagai vektor dalam proses gen transfer ini diwujudkan pertama kali pada tahun 1991 oleh Poznansky dan kawan-kawan dari DanaFarber Cancer Institute, Amerika. Setelah itu penelitian tentang penggunaan HIV sebagai vektor untuk terapi gen berkembang pesat, sesuai dengan perkembangan penelitian HIV itu sendiri. Wenzhe Ho dari The Children Hospital of Philadelphia bekerjasama dengan Julianna Lisziewicz dari National Cancer Institute berhasil menghambat replikasi HIV di dalam sel dengan menggunakan anti-tat, yaitu antisense tat protein (enzim yang esensial untuk replikasi HIV). Sementara itu, beberapa grup juga berhasil menghambat perkembangbiakan HIV dengan menggunakan ribozyme. Hal lain yang penting dalam sistem ini adalah tingkat ekspresi gen yang stabil. Dari hasil percobaan dengan tikus, sampai saat ini telah berhasil dibuat vektor yang bisa mengekspresikan gen dengan stabil dalam jangka waktu yang lama pada organ seperti otak, retina, hati, dan otot. Walaupun belum sampai pada aplikasi secara klinis, aplikasi vektor HIV untuk terapi gen bisa diharapkan. Hal ini lebih didukung lagi dengan penemuan small interfering RNA (siRNA) yang berfungsi menghambat expressi gen secara spesifik. Prinsipnya sama dengan antisense dan ribozyme, tapi siRNA lebih spesifik dan hanya diperlukan sekitar 20 bp (base pair/pasangan basa), sehingga lebih mudah digunakan. Baru-baru ini David Baltimore dari University of California, Los Angeles (UCLA) berhasil menekan infeksi HIV terhadap sel T (human T cell) dengan menggunakan siRNA terhadap protein CCR5 yang merupakan co-reseptor HIV. Dalam penelitian ini, HIV digunakan sebagai sistem pengantar gen. Vaksin Selain itu juga dilakukan usaha untuk pengembangan vaksin untuk pencegahan terhadap infeksi HIV. Diantaranya yang cukup memberi harapan adalah kandidat vaksin dari rekombinant protein gp120, protein selaput (envelope protein) virus HIV. Dari hasil percobaan menggunakan simpanse, didapatkan bahwa vaksin ini mencegah simpanse dari infeksi HIV. Kandidat vaksin ini dikembangkan oleh VaxGen Inc., perusahaan yang bergerak di bidang produk biologi untuk penyakit menular yang berpusat di Australia. Setelah terbukti keampuhannya pada simpanse, kandidat vaksin yang bernama AIDSVAX ini kemudian memasuki pengujian klinis melalui beberapa fase pada manusia. Pengujian klinis lolos untuk pada fase 1, dimana yang diuji adalah tingkat keamanan dan dosisnya. Begitu juga untuk fase 2, yaitu pengujian dalam skala besar terhadap tingkat stimulasi antibodinya. Namun sayang sekali, AIDSVAX ini tidak bisa lolos dalam fase 3. Dalam fase ini dilakukan pengujian skala besar terhadap ketahanan manusia yang telah divaksinasi terhadap serangan virus HIV. Walaupun demikian, usaha pengembangan vaksin masih tetap dilaksanakan. Tentunya kita berharap obat dan vaksin HIV bisa ditemukan segera. Penutup

Masalah AIDS adalah masalah yang masih panjang dan membutuhkan waktu yang lama untuk pemecahannya. Ini sangat berat terutama bagi penderita AIDS itu sendiri. Bagi yang belum terinfeksi tentunya selalu berusaha supaya tidak terinfeksi dengan menghindari perbuatan yang memberi peluang terinfeksi HIV.
Dr. Andi Utama Peneliti Puslit Bioteknologi-LIPI Divisi Publikasi ISTECS-Japan

Sumber : Berita Iptek

Anda mungkin juga menyukai