Anda di halaman 1dari 18

SENGKETA HARTA BERSAMA BERUPA RUMAH YANG DIPEROLEH MELALUI KREDIT DAN ALTERNATIF PENYELESAIANNYA

Oleh :Drs. H. Firdaus Muhamm ad Arwan, SH. MH. (Hakim PTA Pontianak)

A. PENDAHULUAN Pada umumnya masyarakat berpenghasilan rendah terutama yang tinggal di kota-kota besar selalu dihadapkan kepada kesulitan memiliki rumah yang layak. Kecilnya penghasilan mereka tidak memungkinkan membeli rumah secara tunai karena harganya mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Kalaupun mereka dapat memilikinya kebanyakan diperoleh melalui angsuran atau yang lazim dikenal dengan rumah KPR (Kredit Perumahan Rayat). Tidak sedikit dari mereka yang telah berumah tangga bertahun-tahun dan telah dikaruniai anak belum juga memilki rumah, sehingga harus tinggal di rumah kontrakan yang seringkali harus berpindah-pidah. Dengan pertimbangan, daripada uangnya untuk membayar sewa rumah serta repotnya berpindah-pindah, mereka memandang Untuk rumah KPR lebih efisien apabila uangnya digunakan untuk membayar angsuran rumah. memudahkan urusan, pada diatasnamakan rumah salah tangga satu umumnya dari suami berjalan kepemilikan isteri dan harmonis

kebanyakan atas nama pihak yang dipotong gajinya untuk membayar angsuran. Ketika mereka kepemilikan rumah KPR seperti itu tidak menimbulkan permasalahan di antara mereka, namun ketika perceraian harus terjadi, sedangkan masa angsurannya belum selesai seringkali menimbulkan permasalahan dalam pembagian harta bersama. Menghadapi sengketa harta bersama berupa rumah KPR ini, Mukhtar Zamzami1 memberikan solusi penyelesaian dengan cara salah satu pihak dibebani membayar kepada pihak lain separoh dari
1

Mukhtar Zamzami, 2008, Beberapa Permasalahan Harta Bersama (Makalah), disampaikan pada Rakernas Mahkamah Agung R.I. di Jakarta tanggal 4-7 Agustus 2008, h.6.

jumlah uang angsuran yang telah dibayarkan. Dengan cara seperti ini berarti yang dipandang sebagai harta bersama adalah jumlah uang angsuran yang secara nyata telah dibayarkan kepada pihak ketiga dan masing-masing berhak atas separohnya. Selanjutnya bagi pihak yang dibebani membayar berhak kewajiban membayar sisa angsuran. Secara sepintas cara penyelesaian seperti ini adil dan praktis karena pihak yang memperoleh rumah, tinggal membayar kepada pihak lain, dan rumahpun akan menjadi miliknya. Namun cara ini dapat menimbulkan ketidakadilan apabila harga rumah pada saat terjadi perceraian sudah jauh lebih tinggi dibanding harga pada saat diperoleh, misalnya harga rumah pada saat diperoleh Rp.100.000.000,- sedangkan pada saat perceraian sudah mencapai Rp.200.000.000,-. Apabila angsuran yang sudah dibayar Rp. 50.000.000,- (50%), maka pihak yang menerima bayaran (misalnya isteri) hanya mendapat Rp.25.000.000,- atau mendapat 1/8 dari nilai rumah, padahal hak yang mestinya diterima sebesar bagian ( x 50%). Cara pembagian seperti ini jelas sangat merugikan siteri dan sebaliknya sangat menguntungkan suami. Suami yang hanya bermodalkan Rp.100.000.000,- yaitu Rp.25.000.000 yang menjadi bagiannya + Rp.25.000.000,- yang dibayarkan kepada isteri + Rp.50.000.000,- sisa angsuran, tetapi suami mendapatkan rumah senilai Rp.200.000.000,-. Ini berarti suami mendapat keuntungan Rp. 100.000.000,-. Selain cara di atas, Mukhtar Zamzami2 juga menawarkan cara lain melalui dua alternatif yaitu: kedua pihak sepakat melunasi hutang dengan beban kewajiban masing-masing separoh dari jumlah hutang, atau diover-creditkan kepada orang lain kemudian hasil penjualannya dibagi dua, namun kedua cara ini oleh Muhtar Zamzami disyaratkan adanya kesepakatan kedua belah pihak sehingga bukan mutlak sebuah decision hakim.
2

mendapatkan rumah dengan

Mukhtar Zamzami, Ibid.

Dengan

adanya

syarat

tersebut,

berarti

putusan

hakim

digantungkan kepada para pihak. Artinya jika tidak ada kesepakatan, maka hakim tidak bisa menjatuhkan putusan dengan salah satu cara dari dua alternatif tersebut. Berkenaan dengan sengketa harta bersama berupa rumah KPR ini, penulis menawarkan cara lain yang diharapkan mampu memberikan rasa keadilan bagi kedua belah pihak. B. BEBERAPA BENTUK PERJANJIAN YANG MENDASARI

KEPEMILIKAN BARANG. Dalam mengadili sengketa harta bersama rumah KPR, hakim terlebih dahulu harus menentukan kepemilikan rumah tersebut, apakah telah menjadi milik suami isteri atau masih menjadi milik penjual. Guna mengetahui sifat kepemilikan rumah KPR perlu dikemukakan beberapa bentuk perjanjian yang terkait dengan hak perolehan atas barang, antara lain: jual beli, pinjam meminjam, sewa menyewa, sewa beli, jual beli angsuran, dan leasing. a. Jual Beli Jual beli merupakan salah satu jenis perjanjian bernama yang di dalam KUHPerdata di atur dalam pasal 1457 1546, yaitu suatu perjanjian di mana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan hak miliknya atas sesuatu barang, sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan membayar sejumlah uang sebagai harganya. 3 Perjanjian jual beli telah dianggap ada apabila kedua belah pihak telah sepakat tentang barang dan harga. Kewajiban utama penjual adalah menyerahkan barang serta menjamin bahwa pembeli dapat memiliki barang dengan aman dan tenteram dan bertanggung jawab atas cacat yang tersembunyi. Adapun kewajiban pembeli adalah membayar harga pada waktu dan tempat yang disepakati.

R. Soebekti, 1979, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa.h.135

Menurut undang-undang, benda yang dibeli harus diserahkan pada waktu ditutupnya perjanjian dan di tempat barang itu berada, dan mulai saat itulah resiko atas barang menjadi tanggung jawab pembeli. Namun dalam praktik, apalagi pada saat sekarang di mana jual beli dapat dilakukan lintas negara, maka ketentuan demikian sudah tidak dianut. Sebagaimana sifat perjanjian yang terbuka, kedua belah pihak dapat memperjanjikan maupun sendiri cara tentang cara-cara melakukan bebas pembayaran penyerahannya. Mereka

menentukan sendiri sesuai yang diinginkan sehingga ketentuan yang ada dalam undang-undang hanya berlaku apabila para pihak tidak menentukan lain. Berkenaan dengan permasalahan yang dibahas, maka yang perlu diperhatikan adalah kapan pembeli menjadi pemilik barang. Pasal 1458 KUHPerdata menyatakan, hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpidah kepada si pembeli, selama belum dilakukan penyerahan (pasal 612, 613 dan 616 KUHPerdata). Khsusus mengenai kepemilikan benda tidak bergerak yang diperoleh atas dasar jual beli terdapat ketentuan khusus yang diatur dalam pasal 616 jo. pasal 620 KUHPerdata yaitu dengan cara mendaftarkan peralihan hak milik pada kantor pertanahan. Selama belum didaftarkan, maka kepemilikannya itu belum sempurna. b. Pinjam Meminjam Perjanjian pinjam meminjam dibedakan dalam dua jenis yaitu pinjam meminjam dengan objek barang yang dapat diganti atau barang yang habis pakai, misalnya uang, makanan atau yang sejenis, dan pinjam meminjam dengan objek barang yang tidak dapat diganti atau barang tidak habis pakai. Perjanjian jenis pertama ini oleh Soebekti4 digunakan sebutan pinjam meminjam, sedangkan jenis kedua dinamakan pinjam pakai.

R. Soebekti, 1995, Aneka Perjanjian, Bandung, Citra Aditya Bakti. h. 119

Perbedaan pokok antara keduanya terletak pada kepemilikan dan pengembalian barang pinjaman. Jika objek perjanjian merupakan barang yang tidak dapat diganti atau tidak habis pakai, maka barang tetap menjadi milik pemberi pinjaman (1741 BW) dan itu setelah selama habis masa masa pinjaman si peminjam pinjaman harus harus mengembalikannya dalam keadaan seperti semula. Oleh karena peminjaman, penerima memelihara barang sebaik-baiknya seolah-olah miliknya sendiri atau yang dikenal dengan sebutan seorang bapak rumah yang baik. Jika objeknya perjanjian berupa barang yang dapat diganti atau habis pakai, maka barang yang diserhakan menjadi milik penerima pinjaman, sedangkan pemberi pinjaman berhak atas pengembalian barang dengan jumlah dan kualitas yang sama. Dalam perjanjian pinjam uang seringkali disertai perjanjian pembayaran bunga sehingga jumlah yang dikembalikan lebih besar daripada yang dipinjamkan. Hal demikian memang dibenarkan menurut ketentuan KUHPerdata, namun menurut hukum Islam temasuk riba dan hukumnya haram. c. Sewa menyewa Sewa menyewa merupakan bentuk perjanjian di mana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama waktu tertentu, sedangkan pihak pemakaian pada waktu yang ditentukan. 5 Perjanjian sewa menyewa tidak bertujuan untuk memberikan kepemilikan, melainkan hanya untuk pemakaian. Apabila pihak yang diserahi barang itu tidak ada kewajiban membayar suatu harga, maka perjanjian semacam ini disebut pinjam pakai. Kewajiban pihak yang menyewakan adalah meyerahkan barang, memelihara barang yang disewakan agar dapat dipakai untuk keperluan dimaksud, dan memberikan ketenteraman dari
5

yang lain

menyanggupi akan membayar harga yang ditetapkan untuk

R. Soebekti, Op cit, h.137

barang

yang

disewakan

selama

berlangsungnya

persewaan.

Adapun kewajiban penyewa adalah memakai barang secara baik atau secara patut, membayar harga sewa, menanggung resiko karena kesalahan atau kelalaiannya dan mengembalikan barang sewaan.6 Perjanjian sewa menyewa bukan memberikan hak kebendaan, melainkan hak perseorangan sehingga karenanya penyewa tidak boleh menjual, atau menggadaikan benda yang disewa, bahkan menyewakan kepada orang lain pun tidak dibolehkan. d. Sewa Beli dan Jual Beli Angsuran Sewa beli merupakan perjanjian di mana harga barang dapat dicicil, sedangkan barangnya seketika dapat diserahkan kepada pembeli. Meskipun barang telah diserahkan kepada pembeli, tetapi hak kepemilikannya masih ada pada penjual sehingga pembayarannya selama masa angsuran dianggap sebagai sewa sampai seluruh harga dipenuhi. Kepemilikan atas barang baru berpindah kepada pembeli pada saat angsuran terakhir telah dibayar. Karena pembeli belum menjadi pemilki atas barang yang dibeli, maka ia tidak diperbolehkan menjualnya atau bertindak hukum lain yang dipersyaratkaan maka pembeli menjadi pemilik dan telah melakukan barang, Jika tidak seperti hal itu pidana menggandaikan, dilakukan, penggelapan. Sri Gambir Melati Hatta7 menyebut sewa beli dengan beli sewa dengan alasan bahwa niat utama para pihak adalah peralihan hak, bukan sekedar penikmatan atas objek perjanjian atau sewa saja. Oleh karena itu Sri Gambir lebih menekankan menghipotikkan lain-lain.

R. Soebekti, Ibid, h. 42-43, Yahya Harahap, 1986, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung, Alumni.h.223-231 Sri Gambir Melati Hatta, 1999, Beli Sewa Sebagai Per janjian Tak Bernama: Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, Bandung, Alumni. h.3

kepada

pembeliannya

bukan

kepada

sewanya

meskipun

pengertiannya sama. Terhadap alasan yang dikemukakan oleh Sri Gambir di atas, penulis perlu memberikan perbandingan dengan jenis perjanjian yang disebut koop en verkoop op afbetaling atau yang lebih populair dengan sebutan jual beli cicilan atau jual beli angsuran. Dalam perjanjian jual beli angsuran, hak kepemilikan atas objek perjanjian sudah berpindah sejak penyerahan barang, namun harganya dapat dicicil. Pada dasarnya dari sisi pelaksanaan perjanjian antara sewa beli dan jual beli cicilan tidak berbeda tetapi dari sisi hak kepemilikan dan akibat hukumnya sangat berbeda. Perbedaan antara keduanya, dalam perjanjian sewa beli meskipun barang sudah diserahkan tetapi hak kepemilikannya belum berpindah kepada pembeli, dan baru berpindah setelah dilunasi seluruh harga, sedangkan dalam jual beli angsuran, hak milik sudah berpindah sejak penyerahan barang. Adapun persamaan antara keduanya, penjual sama-sama telah menyerahkan barang dan pembeli belum membayar seluruh harga barang karena pembayarannya dilakukan secara angsuran. Akibat dari perbedaan atas kepemilikan itu, maka berbeda pula akibat hukumnya. Dalam jual beli, oleh karena pembeli sudah menjadi pemilik barang, maka ia bebas bertindak hukum atas barang, misalnya: menjual, menggadaikan, menyewakan dan lainlain, sedangkan dalam sewa beli karena pembeli belum menjadi pemilik barang, maka ia tidak boleh bertindak hukum atas barang tersebut. e. Leasing Leasing merupakan perjanjian berkenaan dengan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang untuk digunakan atau dimanfaatkan oleh lessee (penyewa) dalam jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Perjanjian ini mirip dengan sewa menyewa.

Soebekti8

menyatakan

bahwa

leasing

pada

dasarnya lessee,

merupakan perjanjian sewa menyewa di mana lessor (pemberi sewa) menyerahkan barang untuk dimafaatkan oleh usaha atau sewa pakai. Sobjek perjanjian leasing pada umumnya antara perusahaan dengan perusahaan, sedang objeknya pada mulanya berupa alatalat berat atau mesin-mesin pabrik, namun kemudian berkembang ke barang-barang lain seperti rumah, mobil dan lain-lain. Ada dua jenis leasing yakni operating lease dan financial lease. Perbedaan antara keduanya adalah jika dalam operating lease barang yang diserahkan lessor kepada lesee berupa barang jadi, sedangkan dalam financial lease barangnya dipesan sendiri oleh lesse atas pembiayaan lessor. Selain itu dalam operating lease pemeliharaannya dalam financial menjadi tanggung lease pemeliharaan jawab lessor sedangkan dan asuransinya pada sehingga karenanya leasing disebut juga perjanjian sewa guna

umumnya menjadi tanggung jawab lessee. Baik dalam operating lease dan financial lease sering disertai dengan hak opsi bagi penyewa untuk membeli setelah berakhirnya masa perjanjian dengan harga murah atau dengan kondisi yang ringan . 9 Karena ada pada perjanjian lessor. leasing merupakan perjanjian sewa menyewa, maka selama masa leasing kepemilikan benda tetap Lessse semata-mata hanya memilki hak memanfaatkan barang, atau menurut istilah Sobekti1 0 sebagai pemilik ekonomis karena mendapatkan manfaat dari barang, sedang resikonya ditanggung oleh lessor. Perbedaan antara leasing dengan sewa beli terletak pada peralihan hak milik. Dalam leasing kepemilikan barang sampai akhir perjanjian tetap di tangan lessor, sedangkan dalam sewa beli kepemilikan barang telah berpindah kepada pembeli sejak dilakukan pembayaran angsuran terakhir.
8 9

R. Seobekti, Op cit, h. 55 R. Seobekti, Ibid, h.56 10 Ibid.

Namun

dalam

dunia

bisnis

saat

sekarang

telah

terjadi

pergeseran pengertian leasing di mana perolehan barang seperti mobil atau motor yang didasarkan atas perjanjian sewa beli juga disebut leasing. Terhadap leasing seperti ini oleh Kurnia 1 1 dimasukkan dalam financial lease. Lebih lanjut Kurnia 1 2 mengemukakan bahwa financial lease dalam praktik saat ini merupakan suatu bentuk sewa di mana kepemilikan barang berpindah dari pihak pemberi sewa kepada penyewa. Bila dalam masa akhir sewa pihak penyewa tidak dapat melunasi sewanya, barang tersebut tetap milik pemberi sewa (perusahaan leasing) karena akadnya dianggap sebagai akad sewa. Sedangkan bila pada masa akhir sewa pihak penyewa dapat melunasi cicilannya, barang tersebut menjadi milik penyewa. Biasanya pengalihan pemilikan ini menurut Kurnia didasarkan atas alasan hadiah pada akhir penyewaan, atau pemberian cumacuma, atau janji dan alasan lainnya. Menurut penilaiannya dalam financial lease terdapat dua proses akad sekaligus yakni sewa sekaligus beli sehingga karenanya leasing dalam bentuk ini sering disebut sewa-beli. Praktik yang terjadi di masyarakat berkenaan perolehan mobil atau motor pada umumnya BPKB dan STNK sudah atas nama pembeli, namun perjanjiannya seringkali bertitel leasing atau sewa beli dengan disertai berbagai klausul untuk melindungi kepentingan penjual dari keadaan yang tidak diinginkan. Sri Gambir 1 3 dalam penelitiannya menemukan berbagai klausul ketika pembeli tidak memenuhi pembayaran angsuran, antara lain: 1) Penjual berhak menarik kembali barang dan perjanjiannnya dianggap batal serta uang angsurannya dianggap sebagai sewa.
11

Kurnia, Hukum Seputar Leasing (htp://ayok.wordpress.com/2006/12/21/ hukum- leasing/) 12 Ibid. 13 Sri Gambir Melati Hatta, Op cit, h.170-189

10

2) Penjual berhak menarik gaji/upah pembeli. 3) Penjual berhak mengenakan denda. 4) Penjual berhak menuntut pembayaran sekaligus dan seketika atas sisa angsuran dan denda. Selain klausul-klausul di atas Sri Gambir juga menemukan klausul-klausul yang sangat merugikan pembeli, misalnya: 1) Pemberian kuasa mutlak kepada penjual untuk bebas bertindak atas barang. 2) Pelepasan pembatalan perjanjian melalui hakim. 3) Perjanjian bernilai eksekutorial. Dalam banyak kasus masih ditemukan klausul-klausul lain, misalnya larangan bagi pembeli untuk memindahtangankan barang, penjual bebas memasuki rumah pembeli untuk menarik barang, penjual berhak menyita barang lain milik pembeli dalam hal barang objek perjanjian tidak dapat ditemukan, dan lain-lain. Memperhatikan beberapa karakter dari perolehan mobil atau motor seperti ini mengakibatkan tidak jelasnya bentuk perjanjian, apakah termasuk sewa beli atau jual beli angsuran. Jika termasuk sewa beli tentunya kepemilikan barang masih atas nama penjual tidak ata nama pembeli, tetapi kenyataannya BPKB dan STNK sudah atas nama pembeli. Jika termasuk jual beli angsuran tentunya tidak dibenarkan adanya klausul-kalusul seperti itu. Mahkamah Agung1 4 dalam beberapa putusannya antara lain: putusan Nomor 1243K/Pdt/1983 tanggal 19 April 1985, dan Nomor 935K/Pdt/1985 tanggal 30 September 1986 berpendapat bahwa oleh karena STNK dan BPKB sudah atas nama pembeli, maka kepemilikan barang sudah beralih kepada pembeli. Putusan ini memberikan pengertian bahwa perjanjian semacam itu dikonstruksikan sebagai perjanjian jual beli agsuran. Dengan mendasarkan kepada putusan Mahkamah Agung tersebut, maka dalam hal terjadi sengketa harta bersama berupa mobil atau motor yang diperoleh berdasarkan leasing ataupun
14

Sri Gambir Melati Hatta, 1999, 207

11

sewa beli, sedangkan STNK dan BPKB-nya sudah atas nama pembeli, maka yang dinyatakan sebagai harta bersama adalah barang tersebut serta hutang sisa angsuran, bukan jumlah uang angsuran yang telah dibayarkan. C. KEPEMILIKAN RUMAH KPR DAN STATUSNYA SEBAGAI HARTA BERSAMA Ada dua kemungkinan yang mendasari perolehan rumah KPR yaitu sewa beli atau jual beli angsuran (cicilan). Jika rumah itu diperoleh berdasarkan perjanjian sewa beli, maka kepemilikannya baru beralih dari penjual kepada pembeli setelah dilunasinya seluruh angsuran. Selama masih dalam masa angsuran, kepemilikan rumah itu masih menjadi milik penjual, sehingga karenanya tidak mungkin dilakukan pembagian harta bersama. Jika perolehan rumah itu didasarkan kepada jual beli angsuran atau jual beli cicilan, maka rumah itu sudah menjadi milik suami isteri sehingga tidak ada halangan hukum untuk membagikannya. Dengan telah beralihnya kepemilikan rumah kepada suami isteri, maka rumah itu telah menjadi harta bersama dan masing-masing pihak berhak atas separohnya, sedangkan terhadap hutang sisa angsurannya merupakan hutang bersama dan menjadi tanggung jawab bersama. Muhtar Zamzami1 5 melansir adanya pendapat salah satu Pengadilan Tinggi Agama yang menyatakan bahwa rumah yang diperoleh melalui pembayaran secara angsuran sedang angsurannya belum lunas, rumah dan tanah tersebut belum bisa dibagi karena belum sempurna kepemilikannya. Penulis sependapat dengan pendapat Pengadila Tinggi Agama tersebut apabila perolehan rumah itu didasarkan atas perjanjian sewa beli karena rumah dan tanah itu baru menjadi milik pembeli apabila seluruh angsurannya telah dibayar. Akan tetapi tidak demikian halnya apabila rumah itu diperoleh berdasarkan pejanjian jual beli secara angsuran atau cicilan.

15

Mukhtar Zamzami, 2008, h.6

12

Rumah yang diperoleh melalui jual beli angsuran atau cicilan, meskipun angsurannya belum lunas bahkan baru dibayar satu kali sekalipun, namun kepemilikannya sudah sempurna. Perjanjian seperti ini dalam hukum Islam dikenal dengan bai bitsamanin ajil dibolehkan. Apabila dalam perjanjian tersebut terdapat klausul yang menyatakan pembeli tidak boleh memindahtangankan kepada pihak lain, maka klausul demikian harus dipandang batal dan tidak dapat menghilangkan sifat kepemilikan pembeli. D. ALTERNATIF PENYELESAIAN Ketika mengadili suatu perkara, hakim senantiasa harus berupaya menemukan hukumnya suatu peraturan dan berorientasi kepada atau rasa keadilan kepada masyarakat. Tidak cukup bagi hakim sekedar menerapkan bunyi lafal perundang-undangan berpegang formalitas sifat terbukanya perjanjian, tetapi harus memperhatikan nilai-nilai keadilan masyarakat. Untuk menemukan nilai keadilan dalam suatu hukum, hakim harus dapat menangkap nilai-nilai filosofis dan sosiologis yang terkandung di dalamnya melalui berbagai metode penafsiran serta memperhatikan asas-asas hukum, bahkan jika dipandang perlu menciptakan hukum baru (judge made law). Sudah menjadi karakter, bahwa hukum (peraturan) seringkali tertinggal jika dibandingkan dengan dinamika sosial. Meskipun pada saat dibuatnya hukum (peraturan) sudah memperhatikan berbagai aspek yang diharapkan mampu mewujudkan keadilan, namun dalam perekembangannya hukum seringkali tidak mampu mengimbangi laju perkembangan masyarakat. Oleh karena itu dalam memutus perkara hakim tidak cukup hanya berperan sebagai corong undang-undang (la buche de la loi), melainkan senantiasa harus memperhatikan hukum dan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat. Diakui, tidak mudah menjatuhkan putusan yang dapat memberikan kepuasan bagi kedua belah pihak, bahkan hampir setiap putusan hakim selalu dihadapkan kepada dua pandangan yang yang

13

berbeda. Putusan yang dipandang adil oleh penggugat, besar kemungkinan dipandang tidak adil oleh tergugat, demikian pula sebaliknya. Walaupun hakim telah berupaya menjatuhkan putusan seadil-adil mungkin, namun pandangan demikian selalu saja terjadi, apalagi jika hakimnya kurang memiliki pengetahuan dan kurang terampil dalam menerapkan hukum. Ketika mengadili sengketa harta bersama berupa rumah KPR, cara penyelesaian yang dilakukan oleh hakim dapat menempuh cara berikut: 1. Rumah KPR dan Hutang atas Sisa Angsuran Ditetapkan Sebagai Harta Bersama Untuk menetapkan status rumah KPR sebagai harta bersama, terlebih dahulu harus diperhatikan bentuk dan isi perjanjian yang mendasari perolehan rumah tersebut guna mengetahui apakah sudah menjadi milik pasangan suami isteri atau masih menjadi milik pihak ketiga (penjual). Hal ini dapat dilihat dari sertifikat hak milik atas tanah, apakah sudah atas nama pembeli atau masih atas nama penjual. Dalam memperhatikan perjanjian, hakim tidak cukup hanya memperhatikan bentuk dan isi perjanjian secara formal atas dasar kebebasan berkontrak, melainkan harus memperhatikan asas kepatutan, keseimbangan dan kewajaran. Apabila dalam suatu perjanjian terdapat klausula yang bertentangan dengan asas-asas hukum Pada dengan atau prinsip-prinsip syariah, maka hakim harus menyatakan bahwa klausul tersebut batal. umumnya kepemilikan rumah KPR didasarkan atas telah disepakatinya perjanjian tersebut serta telah perjanjian jual beli angsuran (bai bi tsamanin ajil) sehingga diserahkannya rumah itu kepada pembeli, maka kepemilikan rumah berikut tanahnya telah berpindah kepada pembeli dan sertifikat hak milikpun sudah atas nama pembeli. Dengan telah berpindahnya kepemilikan rumah KPR kepada pembeli, maka rumah itu telah berstatus sebagai harta bersama

14

dan masing-masing berhak jawab bersama. 2. Pembebanan Sisa Agsuran

atas

separohnya. Adapaun sisa

angsurannya merupakan hutang bersama dan menjadi tanggung

Selain ketepatan dalam menilai isi perjanjian, hakim dalam menjatuhkan putusan sedapat mungkin berupaya menyelesaikan sengketa dengan tuntas, artinya putusan yang dijatuhkan sedapat mungkin tidak menimbulkan persoalan baru karena pada dasarnya tujuan seseorang mengadukan perkaranya ke pengadilan adalah untuk menuntaskan sengketanya. Ada dua cara yang dapat ditempuh dalam membebankan sisa angsuran: a. Dibebankan Kepada Kedua Belah Pihak. Pasal 91 ayat (2) jo pasal 93 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa termasuk harta bersama adalah hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga. Dengan memperhatikan ketentuan tersebut, maka sudah sewajarnya apabila kedua belah pihak dibebani membayar sisa angsuran sebagai konsekuensi tanggung jawab mereka, tanpa perlu menggantungkan adanya kesepakatan para pihak. Yang menjadi permasalahan adalah apabila sisa angsuran dibebankan kepada kedua belah pihak, hal demikian berpotensi terjadinya kesimpangsiuran waktu pembayaran. Bisa saja pada saat yang sama keduanya sama-sama berkehendak untuk membayar dan pada saat yang sama pula keduanya samasama tidak berkehendak untuk membayar. Untuk mengatasi permasalahan ini, hakim dapat menetapkan pembagian waktu pembayaran angsuran secara periodik. Misalnya, ketika sisa angsuran itu masih 10 kali pembayaran, maka dapat ditetapkan bagi suami membayar lima kali angsuran pertama, dan bagi isteri membayar lima kali angsuran berikutnya.

15

Keadaan lain yang perlu menjadi pertimbangan hakim adalah kemungkinan timbulnya kemacetan angsuran akibat keengganan salah satu pihak untuk membayar. Keengganan ini dapat terjadi akibat adanya iktikad tidak baik yang dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa meskipun ia tidak membayar toh angsuran pasti dibayar oleh pihak lawan karena telah dipotong langsung dari gajinya. Untuk mengatasi permasalahan dapat ini, hakim klausul melalui yang pertimbangan hukumnya membuat

menyatakan, apabila salah satu pihak

lalai atau enggan

membayar (misalnya sekian kali berturut-turut), maka pihak lain dapat mengambil alih pembayaran itu dan pengambilalihan tersebut akan diperhitungkan pada saat eksekusi. Dengan masih adanya kemungkinan diilakukannya perhitungan pada saat eksekusi, cara ini diakui tidak praktis namun cukup memberikan rasa keadilan bagi kedua belah pihak. b. Dibebankan Kepada Salah Satu Pihak. Cara yang lebih praktis dapat ditempuh dengan membebankan kepada salah satu pihak yang selama ini membayar angsuran dengan diberikan kompensasi bagian lebih besar sebanding dengan nilai yang dibayarkan. Dengan cara ini, maka bagian masing-masing pihak ditetapkan berdasarkan prosentase dari uang angsuran yang dibayarkan. Misalnya, apabila uang angsuran yang belum dibayar pada saat terjadi peceraian sebesar 50%, maka pihak yang dibebani membayar sisa angsuran mendapat tambahan sebesar 50% dari nilai rumah. Dengan demikian, maka bagian yang diterimanya sebesar x 50% (angsuran yang telah dibayarkan sebelum cerai) + 50% (sisa angsuran) = 75%, sedangkan bagi yang tidak dibebani membayar sisa angsuran diberikan bagian 25%.

16

Cara

penyelesaian

ini

sangat

praktis,

namun

masih

mengandung kelemahan apabila diterapkan pada kasus yang harga rumah pada saat terjadi perceraian telah mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Misalnya, harga rumah pada saat diperoleh Rp.100.000.000,sedangkan harga pada saat perceraian sudah mecapai Rp.200.000.000,-. Apabila dalam kasus ini pembagiannya dilakukan dengan cara kedua, maka pihak yang dibebani membayar angsuran akan mendapat bagian yang sangat besar tidak sebanding dengan uang yang dibayarkan. Untuk lebih jelasnya dapat diikuti contoh berikut. Harga rumah pada saat diperoleh sebesar Rp.100.000.000,sedang harga saat perceraian Rp.200.000.000,-. Jika angsuran yang telah dibayar 50%, dan sisa angsurannya dibebankan kepada suami (misalnya), maka suami akan mendapat 75% x Rp.200.000.000,-. = Rp.150.000.000,- sementara isteri hanya mendapat bagian 25% x Rp.200.000.000,-. = Rp.50.000.000,Pembagian demikian ini pasti dipandang tidak adil oleh isteri karena suami yang hanya membayar Rp. 100.000.000,- tetapi ia mendapat bagian Rp.150.000.000,-. berarti diuntungkan Rp.50.000.000,-. Semakin besar sisa agsuran yang belum dibayar, maka akan semakin besar keuntungan yang diperoleh suami. Oleh karena itu cara penyelesaian kedua ini hanya tepat apabila diterapkan terhadap rumah yang harganya konstan. 3. Pemilihan Alternatif Yang Tepat Dengan memperhatikan kelebihan dan kekurangan dari dua cara penyelesaian di atas, maka dapat dipilih cara mana yang lebih tepat. Apabila dalam pemeriksaan persidangan hakim telah menemukan fakta yang menunjukkan terjadinya perubahan harga yang sangat signifikan, kiranya cara pertamalah yang lebih tepat, namun jika harga rumah itu relatif konstan, maka cara kedualah yang lebih efektif.

17

E. KESIMPULAN Kepemilikan rumah KPR yang belum lunas angsurannya seringkali menimbulkan permasalahan hukum ketika terjadi perceraian yang diikuti dengan pembagian harta bersama. Berkenaan dengan itu, maka hakim ketika menjatuhkan putusan harus tepat dalam menerapkan hukum serta cermat dalam mempertimbangkan rasa keadilan. Meskipun sifat hukum perjanjian itu terbuka, namun dalam menilai suatu perjanjian hakim tidak cukup hanya melihat formalitas bentuk dan isi perjanjian, melainkan harus mempertimbangkan asas kepatutan, keseimbangan dan kewajaran. Dalam menghadapi sengketa harta bersama rumah KPR yang belum lunas angsurannya, hakim terlebih dahulu harus memperhatikan perjanjian yang mendasari perolehan rumah. Apabila berdasarkan perjanjian tersebut rumah itu sudah menjadi milik suami isteri, maka rumah itu dinyatakan sebagai harta bersama dan masing-masing pihak berhak atasnya. Adapun mengenai hutang sisa angsuranya menjadi tanggung jawab bersama. Cara yang ditempuh dalam melakukan pemmbagian dapat memlilih dari dua cara yang dipandang tepat yaitu : 1. Terhadap rumah yang nilai jualnya mengalami kenaikan signifikan cara yang ditempuh dengan menetapkan masing-masing suami isteri berhak atas separoh nilai rumah dan masing-masing berkewajiban membayar separoh dari sisa angsuran. 2. Terhadap rumah yang nilai jualnya tidak mengalami kenaikan (konstan), cara yang ditempuh dengan menyerahkan rumah itu kepada salah satu pihak dengan dibebani kewajiban membayar sisa angsuran dan kepadanya dihukum untuk membayar kepada pihak lain sesuai hak yang dimilikinya berdasarkan perhitungan (prosentase) besaran angsuran yang telah dibayar sebelum cerai.

18

F. DAFTAR PUSTAKA 1. Abdul Kadir Muhammad, 1986, Hukum Perjanjian, Bandung, Alumni. 2. Achmad Sanusi, 1991, Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, Bandung, Tarsito. 3. Kurnia, Hukum Seputar Leasing, (http://ayok.wordpress.com/ 12/21/2006/hukum-lesing) 4. Mukhtar Zamzami, 2008, Beberapa Permasalahan Harta Bersama (Makalah), disampaikan dalam Rakernas Mahkamah Agung R.I. tanggal 04-07 Agustus 2008 di Jakarta. 5. M. Yahya Harahap, 1986, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung, Alumni. 6. R. Soebekti, 1979, Intermasa. Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta,

7. ., 1995, Aneka Perjanjian, Bandung, C itra Aditya Bakti. 8. ............, 1979, Hukum Perjanjian, Bandung, Intermasa 9. ., R. Tjitrosudibio, 1994, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya Paramita 10.R. Wiryono Prodjodikoro, 2000, Asas-asas Hukum perjanjian, Bandung, Mandar Maju 11.Sri Gambir Melati Hatta, 1999, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia. Bandung, Alumni, 12.Sudikno Mertokusumo, 2004, Penemuan Pengantar, Yogyakarta, Liberty, Hukum Sebuah

13..., 1992, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Jakarta, Citra Aditya, 14.Susanto Happy, Pembagian Perceraian, Visi Media. Harta Gono-Gini Saat Terjadi

Anda mungkin juga menyukai