Anda di halaman 1dari 5

IJTIHAD UMAR IBN KHATHTHAB RA Oleh: Asep Sobari, Lc.

Biografi Singkat Umar ibn al-Khaththab ibn Nufail ibn Abd al-`Uzza. Nasabnya tersambung dengan nasab Rasulullah saw. pada kakek kedelapan, Ka`ab ibn Luay.1 Umar ra. lahir di Mekah, 13 tahun setelah tahun gajah (`am al-fil).2 Ibu Umar ra. adalah Hantamah binti Hasyim ibn al-Mughirah dari Bani Makhzum.3 Ini berarti, Umar ra. masih terbilang sepupu Abu Jahl ibn Hisyam ibn al-Mughirah dari pihak ibu. Sejak kecil Umar ra. harus menjalani jalur kehidupan yang sangat keras dan serba terbatas. Selain keluarganya yang sangat sederhana, sang ayah yaitu al-Khaththab yang berwatak kasar memaksanya untuk menggembala unta atau kambing demi menyambung hidup. Hal ini pernah diakui Umar ra. sendiri, Dulu aku menggembala unta milik alKhaththab di lembah ini. Aku hanya mengenakan baju wol. Ayahku sangat kasar. Dia tidak segan membebaniku dengan pekerjaan yang sangat berat dan memukulku jika tidak dapat menyelesaikannya dengan baik. Saat itu tidak ada sesiapa yang dapat menjadi tempatku mengadu, selain Allah.4 Namun demikian Umar ra. tidak mengenal kata menyerah. Watak keras hati yang diwarisinya menumbuhkan ketegaran dan keteguhan untuk mencapai setiap yang diinginkannya, meskipun tidak lazim. Dalam kondisi sempit tersebut, Umar ra. menunjukkan sifat suka berkompetisi dan berprestasi. Ini terbukti dengan kemampuannya membaca dan menulis. Padahal menurut al-Baladzuri, hingga permulaan dakwah Islam, di Mekah hanya ada 17 orang Quraisy yang mampu membaca dan menulis.5 Kredibilitas Keilmuan Umar ra. Ketika menginjak usia dewasa, Umar ra. tumbuh sebagai sosok terpelajar dalam batas paradigma jahiliyahdan menguasai banyak kecakapan. Tampaknya alasan inilah yang menempatkan Umar ra. dipandang layak mewarisi tradisi keluarga Bani `Adi sebagai negosiator (safir) Quraisy. Al-Muhibb al-Thabari menuturkan, Umar ra. adalah tokoh penting Mekah dan ditunjuk sebagai negosiator Quraisy di masa jahiliyah, baik untuk mendamaikan antara sesama klan Quraisy maupun saat berdiplomasi dengan pihak luar.6

1 2

Al-Thabaqat al-Kubra, Ibn Sa`ad, vol. 1 hal. 19. Tahdzib al-Asma wa al-Lughat, al-Nawawi, vol. 1 hal. 488. 3 Al-Thabaqat, Khalifah ibn Khayyath, hal. 55. 4 `Umar ibn al-Khaththab, Dr. Ali Muhammad al-Shallabi, Dar al-Ma`rifah-Beirut, cet. ke-6, hal. 17. 5 Futuh al-Buldan, al-Baladzuri, vol. 3 hal. 580. 6 Al-Riyad al-Nadhirah fi Manaqib al-`Asyarah, al-Muhibb al-Thabari, hal. 132.

Setelah memeluk Islam, semangat belajar Umar ra. semakin menjadi-jadi. Islam, sebagai risalah ilmu, membangun pandangan baru terhadap ilmu dan membuka cakrawala baru yang sangat sesuai dengan semangat keingintahuan Umar ra. Mencari ilmu adalah ibadah yang wajib dilakukan setiap muslim dan mengangkatnya pada derajat yang tinggi di sisi Allah swt.; mencari ilmu menempatkan pelakunya di jalan Allah dan para ulama adalah pewaris sejati para nabi. Karena itulah, Umar ra. berusaha selalu dekat dengan Nabi saw. agar dapat menambah ilmu dan pengamalannya. Sesekali Umar ra. tidak dapat menghadiri majelis Rasulullah saw. karena alasan-alasan mendesak, seperti mencari nafkah. Namun demikian ia tetap berusaha mengikuti pelajaran dengan cara bergantian dengan tetangganya. Al-Bukhari dan Muslim menuturkan pernyataan Umar ra. terkait kebiasaannya ini, Aku punya seorang sahabat dari kalangan Anshar. Jika aku tidak hadir maka dialah yang akan menyampaikan berita kepadaku. Sebaliknya, jika dia yang tidak hadir maka akulah yang akan menyampaikan berita kepadanya.7 Meskipun konteks riwayat tersebut lebih menunjukkan satu kasus tertentu, namun dalam penjelasannya, al-Nawawi mengisyaratkan tindakan tersebut merupakan kebiasaan rutin yang substansinya adalah kegigihan kedua sahabat tersebut agar tidak ketinggalan pelajaran dari Rasulullah saw. Ini menunjukkan anjuran agar selalu mengikuti majelis ilmu dan anjuran menghadirinya secara bergantian jika tidak mungkin menghadirinya sendiri.8 Cara belajar seperti ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang benar-benar bersemangat dan tekun. Kondisi badan yang lelah setelah bekerja seharian tidak menghalangi untuk tetap belajar dan menyerap ilmu, meskipun terkadang baru dimulai setelah larut malam, seperti yang tergambar dalam riwayat di atas. Ketekunan dan kesabaran yang luar biasa juga ditunjukkan Umar ra. ketika berusaha mendalami pelajaran-pelajaran yang dianggap sangat penting. Al-Baihaqi meriwayatkan, Umar ibn Khaththab mempelajari surah al-Baqarah selama 12 tahun. Ketika tamat, dia segera menyembelih seekor unta.9 Karenanya, tidaklah mengherankan jika kemudian Umar ra. tampil sebagai sahabat utama yang sangat diperhitungkan dan diakui keilmuannya, termasuk oleh Nabi saw. sendiri. Rasulullah saw. berkata kepada para sahabat, Ikutilah dua orang sesudahku, Abu Bakar dan Umar.10 Rasulullah saw. juga menuturkan, Ketika tidur, [aku mimpi] diberi sewadah susu. Aku pun meminumnya hingga tanda-tanda kekenyangan tampak pada kuku-kuku [tangan]ku. Kemudian selebihnya kuberikan kepada Umar ibn Khaththab.

7 8

Shahih al-Bukhari, no. 4532 dan Shahih Muslim, no. 2705. Al-Minhaj bi Syarh Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, al-Nawawi, vol. 5 hal. 236. 9 Syu`ab al-Iman, al-Baihaqi, dari riwayat Malik ibn Anas, vol. 4 hal. 467. 10 Sunan al-Tirmidzi, no. 3595.

Para sahabat bertanya, Lantas apa takwil mimpimu itu, wahai Rasulullah?. Nabi saw. menjawab, Ilmu.11 Umar ra. Sebagai Mujtahid Setelah diangakat sebagai Khalifah, peran Umar ra. semakin menonjol, terlebih lagi seiring perluasan wilayah Islam yang begitu pesat, maka muncullah berbagai persoalan baru yang menuntut upaya-upaya yang lebih intensif untuk menyelesaikannya. Faktorfaktor inilah yang mengangkat ijtihad-ijtihad Umar ra. menjadi fenomena yang sangat menyejarah. Sebenarnya tidak ada yang janggal dalam penetapan suatu kebijakan baru melalu proses ijtihad. Apalagi yang melakukannya adalah Umar ra. yang dijelas-jelas seorang mujtahid. Namun sebagian kalangan menyalahartikan beberapa produk ijtihad Umar ra. ketika secara lahir menyalahi keterangan teks-teks agama. Persoalan inilah yang memunculkan spekulasi bahwa Umar ra. sengaja meninggalkan teks yang jelas (sharih) karena tuntutantuntutan kontekstual yang dihadapinya. Penilaian spekulatif ini sangat naif, karena pertanyaan mendasar yang muncul kemudian adalah, mungkinkah ijtihad dilakukan tanpa landasan teks?! Artinya, selama kebijakankebijakan Umar ra. itu diakui sebagai ijtihad, maka tentu tidak mengabaikan teks sebagai kerangka dasarnya. Karena mujtahid adalah seorang ulama dengan kapasitas keilmuan yang mumpuni untuk menyimpulkan hukum-hukum baru berdasarkan pemahamannya terhadap teks. Untuk lebih konkrit, beberapa produk ijtihad Umar ra. berikut dapat diangkat sebagai contoh. Membatalkan Hak Muallaf? Berawal dari kisah `Uyainah ibn Hishn dan al-Aqra` ibn Habis yang datang kepada Abu Bakar ra. untuk minta sebidang tanah milik negara. Pemberian seperti ini biasa diterima mereke berdua sejak zaman Rasulullah saw. maka Abu Bakar pun memberikannya. Namun setelah minta pertimbangan Umar ra. ternyata Umar ra. menolak dan membatalkan pemberian tersebut dengan alasan yang jelas, Dulu Rasulullah saw. menjadikan kalian berdua sebagai muallaf karena saat itu kedudukan Islam masih lemah. Tapi kini kedudukan Islam telah kuat, maka pergi dan bekerjalah sekuat tenaga kalian.12 Muallaf adalah satu dari delapan ashnaf yang berhak menerima bagian zakat. Allah swt. berfirman, Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orangorang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk [memerdekakan] budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Al-Taubah: 60).

Shahih al-Bukhari, no. 80, Sunan al-Tirmidzi, no. 2209, dan Fadhail al-Khulafa al-Rasyidin, Abu Nu`aim al-Ashbahani, vol. 1 hal. 115 no.64 12 Dasar kisah ini diriwayatkan al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, vol. 6 hal. 1075.

11

Umar ra. tentu tahu betul teks ini sehingga ketika membatalkan pemberian tanah kepada `Uyainah dan al-Aqra` jelas menjadikan ayat ini sebagai dasar pertimbangannya pula. Sebetulnya dalam kasus ini Umar ra. sama sekali tidak membatalkan hak muallaf yang ditetapkan dengan teks yang jelas (al-nash al-sharih) di atas, namun Umar ra. berpandangan bahwa kedua tokoh Fazarah dan Tamim tersebut tidak lagi termasuk muallaf sehingga tidak berhak mendapat pemberian. Bagi Umar ra. status muallaf yang diberikan Rasulullah saw. kepada mereka lebih karena posisi Islam saat itu yang masih lemah, sehingga perlu meredam kekuatan kabilah-kabilah tersebut agar tidak merongrong Islam dengan cara menyenangkan hati para pembesarnya. Namun seiring dengan menguatnya posisi Islam di zaman Abu Bakar ra., maka alasan tersebut tidak lagi relevan. Alhasil, tokoh-tokoh kabilah tersebut tidak dapat lagi dianggap sebagai muallaf. Tidak Memotong Tangan Pencuri? Dari sejumlah data yang dihimpun, Prof. Dr. Akram al-Umari mencatat dua kasus pencurian yang terjadi di masa Umar ra. dan keduanya tidak dikenai hukuman hudud atau potong tangan. Kasus pertama adalah budak-budak milik Hathib yang mencuri seekor unta untuk dikonsumsi dan kasus lainnya adalah seorang lelaki yang mencuri harta dari Baitul Mal (kas negara). Pada kasus pertama, budak-budak tersebut tidak dipotong tangan karena pencurian tersebut terjadi di masa paceklik hebat yang melanda Madinah dan sekitarnya (`am ramadah) sehingga mereka kelaparan dan terpaksa mencuri. Sedangkan pencuri kedua juga tidak dipotong tangannya melainkan hanya didera, karena pada dasarnya setiap orang punya hak dari Baitul Mal.13 Potong tangan adalah hukuman hudud yang ditetapkan Allah swt. dalam firman-Nya, Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (al-Maidah: 38). Ayat ini menjelaskan, alasan pemberlakuan hukuman potong tangan adalah pencurian (al-sariqah). Alasan inilah yang tidak terpenuhi dalam dua kasus yang dihadapi Umar ra. di atas, karena keduanya tidak dapat dianggap sebagai pencurian murni mengingat ada faktor-faktor lain yang mendorong dan mengaburkannya. Kasus pencurian pertama lebih disebabkan keterpaksaan dan kondisi darurat (dharurah) yang tentu punya konsekuensi hukum tersendiri yang berbeda dengan kondisi normal, sehingga tidak dapat dianggap sebagai kasus pencurian (al-sariqah). Dalil-dalil syar`i menunjukkan, dalam kondisi darurat benda yang haram pun dapat menjadi halal, sebatas untuk mengatasi kedaruratan.

13

`Ashr al-Khilafah al-Rasyidah, Akram Dhiya al-`Umari, hal. 162-163. Lihat juga, Umar ibn Khththab, Ali Muhammad al-Shallabi, hal. 285.

Sedangkan pada kasus kedua, orang tersebut mencuri harta dari Baitul Mal atau kas negara. Ini juga tidak dapat dikatakan sebagai pencurian murni, karena dalam konsep ekonomi Islam, setiap rakyat punya hak atas Baitul Mal, termasuk orang yang mencuri tersebut. Alhasil, dia tidak dapat sepenuhnya dianggap sebagai pencuri karena ada syubhat, yaitu percampuran antara harta negara dan haknya sendiri, sehingga dia tidak dihukum hudud (potong tangan) melainkan dihukum ta`zir. Pengelolaan Tanah Sawad Tanah Sawad Iraq dikuasai oleh pasukan muslim melalui peperangan, sehingga sewajarnya dibagikan kepada setiap tentara yang terlibat sebagai rampasan perang (ghanimah). Namun Umar ra. tidak membagikannya sebagai ghanimah melainkan memasukkannya kedalam kas negara sebagai tanah Kharaj. Perubahan kebijakan ini dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan. Tanah Sawad sangat luas, sehingga jika dibagikan maka setiap tentara akan mendapat bagian yang cukup luas ditambah tiga orang petani Sawad. Hal ini justru akan merugikan negara, karena pasukan muslim akan lebih sibuk mengurus lahan pertanian, pahadal mereka tidak cukup ahli dalam bidang tersebut. Belum lagi kekuatan militer mereka akan berkurang, sementara musuh dari timur dan barat (Persia dan Byzantium) terus mengancam. Selain itu, tampaknya Umar ra. sangat mempertimbangkan ketahanan ekonomi negara dalam jangka panjang. Ketika membahas persoalan ini bersama para sahabat senior di Madinah, Umar ra. menjelaskan pertimbangannya tersebut, Kalau bukan karena mengingat generasi muslim yang akan datang, maka setiap daerah yang ditaklukkan sudah tentu akan kubagi-bagikan sebagaimana yang dilakukan Rasulullah saw. terhadap tanah Khaibar.14 Selanjutnya Umar ra. menguatkan pendapatnya dengan mengutip beberapa ayat dalam surah al-Hasyr (ayat 7-10) yang menjelaskan pengelolaan ghanimah dan orang-orang yang berhak menerimanya. Setelah itu Umar ra. berkata, Demi Allah, setiap orang muslim berhak atas harta ini baik dia diberi maupun tidak, hingga penggembala di pegunungan `Adn. Pendapat ini akhirnya diterima oleh seluruh dewan syura15 sehingga menjadi ijma` (konsensus) para sahabat kala itu. Jadi jelas, kebijakan Umar ra. tidak membagikan tanah Sawad sebagai ghanimah bukan pembatalan teks atau pelanggaran terhadap sunnah Nabi saw. Lagi pula, ijma` para sahabat menunjukkan bahwa mereka tidak menganggap tindakan Rasulullah saw. tersebut sebagai keharusan yang mutlak. Sejarah membuktikan, kota Mekah ditaklukan Rasulullah saw. dalam satu misi peperangan, tapi beliau tidak membagi-bagikan tanah Mekah kepada pasukannya sebagai ghanimah. Ini menunjukkan pembagian tersebut boleh dilakukan dan boleh juga tidak.16[]

14 15

`Ashr al-Khilafah al-Rasyidah, hal. 197. Ibid. 16 Umar ibn al-Khaththab, hal. 251.

Anda mungkin juga menyukai