Anda di halaman 1dari 7

KERUSAKAN EKOSSTEM MANGROVE

KERUSAKAN EKOSSTEM MANGROVE,


DAMPAK DAN PEMECAHANNYA
(Studi Kasus Di Kabupaten Demak)
Oleh : Budi Sulistyawan (NM. K4A008008)


A. PENDAHULUAN

Menurut Snedaker (1978), hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang
tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di
suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi
tanah anaerob. Secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan
yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara
sungai) yang tergenang pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas
tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Sedangkan ekosistem mangrove merupakan
suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan
factor lingkungannya di dalam suatu habitat mangrove.
Hutan mangrove memiliki produktivitas primer yang paling tinggi. Hutan mangrove
dapat memberikan konstribusi besar terhadap detritus organic yang sangat penting sebagai
sumber energi bagi biota diperairan sekitarnya. Proses dekomposisi daun mangrove
menciptakan rantai makanan detritus yangkomplek, sehingga memperkaya produktivitas
hewan bentos yang hidup di dasar perairan. Kehadiran organisme decomposer yang
melimpah merupakan sumbermakanan bagi berbagai jenis larva ikan, udang, dan biota
lainnya yang sudah beradaptasi sebagai pemakan dasar. Detritus yang dihasilkan tidak
hanya menjadi dasar bagi pembentukan rantai makanan di ekosistem mangrove, tetapi juga
penting sebagai sumber makanan dan nutrient bagi biota di perairan pantai yang berada
dekat dengan estuaria. Berdasarkan hasil-hasil studi dibeberapa daerah pantai juga
menunjukkan bahwa keberadaan hutan mangrove sangat memberikan manfaat pada
masyarakat pesisir, baik yang didapat melalui peningkatan hasil tangkapan, perolehan kayu
bakau yang mempunyai nilai ekspor tinggi dan keamanan pantainya.
Wilayah pesisir tersebut merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat dan
laut, ke arah darat meliputi bagian tanah baik yang kering maupun yang terendam air laut,
dan masih dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik laut seperti pasang surut, ombak dan gelombang
serta perembesan air laut, sedangkan ke arah laut mencakup bagian perairan laut yang
dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar
dari sungai maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat. Wilayah pesisir
adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas kearah darat meliputi bagian
daratan, baik kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut
seperti angin laut, pasang surut, perembesan air laut yang dicirikan oleh jenis vegetasi yang
khas. Wilayah pesisir juga merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan.
Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline) maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam
batas (boundaries), yaitu batas sejajar garis pantai (longshore) dan batas tegak lurus
terhadap garis pantai (crossshore). Batas wilayah pesisir kearah laut mencakup bagian atau
batas terluar daripada daerah paparan benua (continental shelf) dimana ciri-ciri perairan ini
masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air
tawar, maupun proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti
penggundulan hutan dan pencemaran.
Kerusakan hutan mangrove telah terjadi di Kabupaten Demak hingga saat ini masih
terus terjadi dan kian parah. Kerusakan ini terjadi sebagaian besar karena disebabkan
pengelolaan wilayah pesisir yang kurang tepat. Kondisi ini harus mendapatkan perhatian
serius agar kelestarian hutan mangrove. Berdasarkan kodisi tersebut di atas, maka kajian ini
mengambil kajian studi kasus di wilayah pesisir Kabupaten Demak yakni ingin mengetahui
factor apa yang menjadi penyebab kerusakan hutan mangrove dan apa dampak yang
ditimbulkan serta bagaimana upaya-upaya pemecahannya.

B. KERUSAKAN EKOSSTEM MANGROVE DAMPAK DAN PEMECAHANNYA D
KABUPATEN DEMAK
Kabupaten Demak adalah salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang terletak pada
643'26" - 709'43" LS dan 11048'47" BT dan terletak sekitar 25 km di sebelah timur Kota
Semarang. Demak dilalui jalan negara (pantura) yang menghubungkan Jakarta-Semarang-
Surabaya-Banyuwangi. Kabupaten Demak memiliki luas wilayah seluas 1.149,77 km,
yang terdiri dari daratan seluas 897,43 KM, dan lautan seluas 252,34 km. Sedangkan
kondisi tekstur tanahnya, wilayah Kabupaten Demak terdiri atas tekstur tanah halus (liat)
dan tekstur tanah sedang (lempung). Dilihat dari sudut kemiringan tanah, rata-rata datar.
Dengan ketinggian permukaan tanah dari permukaan air laut (sudut elevasi) wilayah
Kabupaten Demak terletak mulai dari 0 M sampai dengan 100 m. Kabupaten Demak
mempunyai pantai sepanjang 34,1 km, terbentang di 13 desa yaitu desa Sriwulan, Bedono,
Timbulsloko dan Surodadi (Kecamatan Sayung), kemudian Desa Tambakbulusan
Kecamatan Karangtengah, Desa Morodemak, Purworejo dan Desa Betahwalang
(Kecamatan Bonang) selanjutnya Desa Wedung, Berahankulon, Berahanwetan, Wedung
dan Babalan (Kecamatan Wedung). Sepanjang pantai Demak ditumbuhi vegetasi mangrove
seluas sekitar 476 Ha.

Secara ekologis hutan mangrove telah dikenal mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan
manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Ekosistem mangrove bagi
sumberdaya ikan dan udang berfungsi sebagai tempat mencari makan, memijah,
memelihara juvenil dan berkembang biak. Bagi fungsi ekologi sebagai penghasil sejumlah
detritus dan perangkap sedimen. Hutan mangrove merupakan habitat berbagai jenis satwa
baik sebagai habitat pokok maupun sebagai habitat sementara. Bagi fungsi ekonomis dapat
bermanfaat sebagai sumber penghasil kayu bangunan, bahan baku pulp dan kertas, kayu
bakar, bahan arang, alat tangkap ikan dan sumber bahan lain seperti tannin dan pewarna.
Arang dari jenis Rhizophora spp mempunyai nilai panas yang tinggi dan asapnya sedikit.
Mangrove juga mempunyai peran penting sebagai pelindung pantai dari hempasan
gelombang air laut. Disamping itu sebagai peredam gelombang dan angin badai, penahan
lumpur, perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran permukaan (Bengen, 1999).
Beberapa faktor yang menjadi penyumbang terbesar kerusakan ekosistem mangrove di
pesisir Kabupaten Demak adalah: pertambakan, penebangan, reklamasi/ konversi lahan
menjadi pemukiman dan sedimentasi, serta pencemaran lingkungan.
1. Pertambakan
Konversi ekosistem mangrove menjadi tambak merupakan faktor utama penyebab
hilangnya hutan mangrove dunia, tidak terkecuali di pesisir Kabupaten Demak. Di kawasan
ini tambak merupakan pemandangan umum, baik tambak udang dan bandeng maupun
tambak garam. Pada musim penghujan, tambak garam yang bersalinitas tinggi biasanya
juga diubah menjadi tambak bandeng.
Tambak-tambak ikan dan udang di kawasan ini dikelola secara intensif hingga jauh ke arah
daratan. Hampir semua pantai yang mengalami sedimentasi membentuk dataran lumpur
dan memiliki ekosistem mangrove diubah menjadi areal tambak.
2. Penebangan
Pencurian kayu untuk bangunan rumah maupun kayu bakar dan juga merupakan bahan
pembuat arang yang baik.
3. Reklamasi/ konversi lahan menjadi pemukiman.
Reklamasi pantai untuk kepentingan industri dan pelabuhan telah banyak dilakukan di
pantai utara Jawa. Di Kabupaten Demak, reklamasi pantai untuk kegiatan usaha relatif
masih terbatas. Dibeberapa tempat dibangun rumah, TP dan tempat wisata.
4. Sedimentasi

Sedimentasi merupakan faktor dinamis yang dapat mendorong terbentuknya ekosistem
mangrove, namun sedimentasi dalam skala besar dan luas dapat merusak ekosistem
mangrove karena tertutupnya akar nafas dan berubahnya kawasan rawa menjadi daratan.
Sedimentasi di pesisir Kabupaten Demak di beberapa tempat memungkinkan terus
bertambah luasnya daratan ke arah laut sehingga terbentuk tanah timbul, dan
memungkinkan pertumbuhan ekosistem mangrove.
5. Abrasi
Abrasi pantai akan merusak hutan mangrove, namun hutan mangrove dapat mencegah
terjadinya abrasi karena hutan mangrove mengikat tanah dengan kuat.
6. Pencemaran lingkungan.
Pencemaran dari limbah pertanian dan limbah rumah tangga serta industry menyumbang
pencemaran yang cukup tinggi sehingga akan meracuni mangrove. Bahan pencemar seperti
minyak, sampah, dan limbah industry dapat menutupi akar mangrove sehingga mengurangi
kemampuan respirasi dan osmoregulasi tumbuhan mangrove, dan pada akhirnya
menyebabkan kematian.
Dampak dari kerusakan ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Demak adalah
Pengubahan fungsi hutan mangrove menjadi fungsi lain secara tidak wajar akan
mengakibatkan timbulnya keadaan yang tidak sesuai dengan kaifah pembangunan yang
berkelanjutan. Alih fungsi hutan mangrove saat ini banyak digunakan untuk pembukaan
areal tambak baru, tempat rekreasi, pelabuhan dan lain-lain ternyata menurut para ahli dan
pemerhati lingkungan hidup berpendapat bahwa dari segi ekonomi makro, alih fungsi hutan
mangrove menjadi areal tambak tidak akan memberikan hasil yang lebih besar jika
dibandingkan dengan membiarkan ekosistem mangrove sebagai habitat biota secara
alamiah. Alih fungsi mangrove maka akan merusak siklus rantai makanan bagi seluruh biota
ekosositem mangrove yang juga berkaitan dengan biota yang di depannya yakni padang
lamun dan terumbu karang, karena anda interaksi yang sangat kuat dari ketiga ekosistem
tersebut. Apabila fungsi-fungsi hutan mangrove akibat alih fungsi maka otomatis akan akan
mengganggu bahkan merusak kedua ekosisitem lain. Pada akhirnya menurunnya daya
dukung lingkungan terhadap kehidupan manusia karena menurunnya sumber daya hayati
seperti stok ikan, kepiting dan lain-lain.
Pemecahan masalah terhadap kerusakan ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Demak
adalah restorasi ekositem mangrove. Restorasi diperlukan apabila ekosistem telah
terdegradasi dan berubah jauh, tidak dapat memperbaharui diri secara alami untuk kembali
ke kondisi semula, serta tidak dapat melaksanakan fungsi sebagaimana mestinya, sehingga
memerlukan pengelolaan dan perlindungan Tujuan utama restorasi mangrove adalah
mengelola struktur, fungsi, dan proses-proses ekologi pada ekosistem tersebut, serta
mencegahnya dari kepunahan, fragmentasi atau degradasi lebih lanjut Ekosistem mangrove
di Jawa mengalami penurunan sangat drastis, akibat tingginya tekanan pertambahan
penduduk yang berimplikasi pada besarnya kegiatan pertambakan, penebangan hutan,
reklamasi dan sedimentasi, serta pencemaran lingkungan, sehingga perlu dilakukan
restorasi untuk mengembalikan karakteristik dan fungsi ekosistem ini. Hutan mangrove yang
rusak dapat melakukan penyembuhan sendiri melalui suksesi sekunder dalam periode 15-
30 tahun, dengan syarat sistem hidrologi pasang-surut tidak berubah, dan tersedia biji
(propagul) atau bibit. Tindakan sengaja dengan restorasi buatan seringkali diperlukan untuk
memastikan berhasilnya proses penyembuhan alami tersebut.
Kegagalan restorasi mangrove dapat disebabkan kesalahan pemahaman pola hidrologi,
perubahan arus laut, tipe tanah, pemilihan spesies, penggembalaan hewan ternah, sampah,
kelemahan manajemen, dan ketiadaan partisipasi masyarakat. Di pesisir Kabupaten Demak,
partisipasi kelimpok-kelompok tani dalam manajemen pengelolaan mangrove sangat
menentukan keberhasilan restorasi mangrove. Masyarakat diwajibkan menjaga kelestarian
mangrove, sebagi imbalannya mereka mendapatkan manfaat ekologi seperti perlindungan
garis pantai dan terjaganya biodiversitas ikan, serta manfaat ekonomi secara langsung
berupa produk kayu Rhizophora dan bibit Rhizophora yang dijual untuk kepentingan
program restorasi. Kawasan ini merupakan salah satu salah pusat pembibitan Rhizophora
terbesar di Jawa.
Salah satu strategi penting yang saat ini sedang banyak dibicarakan orang dalam konteks
pengelolaan sumbedaya alam, termasuk ekosistem hutan mangrove adalah pengelolaan
berbasis masyarakat (Community Based Management) yang mengandung arti keterlibatan
langsung masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam di suatu kawasan. Mengelola di
sisi mengandung arti, masyarakat ikut memikirkan, memformulasikan, merencanakan,
mengimplemetasikan, mengevaluasi maupun memonitorinya, sesuatu yang menjadi
kebutuhannya. Dengan istilah community-based management itu juga mengandung arti
suatu pendekatan (approach), dalam hal ini pendekatan dari bawah (bottom-up approach),
sebagai kebalikannya pendekatan dari atas (top-down approach). Dasar pemikiran atau
landasan berpijak pada pemberdayaan mangrove bagi kesejahteraan masyarakat pesisir
berbasis masyarakat adalah keberlanjutan (sustainability) usaha pemanfaatan dan
pelestarian hutan mangrove, baik ditinjau dari aspek sosial-ekonomi maupun aspek
lingkungan hidup, dan bersifat merakyat (bottom up).
Sifat merakyat ini merupakan bentuk implementasi dari kebutuhan, kemampuan dan
kesepakatan masyarakat sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan yang ada. Program
ini bertujuan untuk:
1. Mengembangkan suatu bentuk pengelolaan pesisir terpadu dimana masyarakat menjadi
pelaku utama dalam pemanfaatan lahan mangrove sebagai areal pertambakan secara
berkelanjutan.
2. Menumbuhkan tanggung jawab masyarakat dengan cara meningkatkan kepedulian dan
partisipasi mereka dalam menjaga dan melestarikan sumberdaya alam di lingkungan
mereka.

C. KESMPULAN DAN SARAN
Kabupaten Demak mempunyai pantai sepanjang 34,1 km, terbentang di 13 desa yaitu desa
Sriwulan, Bedono, Timbulsloko dan Surodadi (Kecamatan Sayung), kemudian Desa
Tambakbulusan Kecamatan Karangtengah, Desa Morodemak, Purworejo dan Desa
Betahwalang (Kecamatan Bonang) selanjutnya Desa Wedung, Berahankulon,
Berahanwetan, Wedung dan Babalan (Kecamatan Wedung). Sepanjang pantai Demak
ditumbuhi vegetasi mangrove seluas sekitar 476 Ha.
Beberapa faktor yang menjadi penyumbang terbesar kerusakan ekosistem mangrove di
pesisir Kabupaten Demak adalah: pertambakan, penebangan, reklamasi/ konversi lahan
menjadi pemukiman dan sedimentasi, serta pencemaran lingkungan. Akibat kerusakan
mangrove maka otomatis akan akan mengganggu bahkan merusak kedua ekosisitem lain
dan pada akhirnya menurunkan daya dukung lingkungan terhadap kehidupan manusia
karena menurunnya sumber daya hayati seperti stok ikan, kepiting dan lain-lain. Pemecahan
masalah terhadap kerusakan ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Demak adalah
restorasi ekositem mangrove dengan keterlibatan langsung masyarakat dalam mengelola
sumberdaya alam di suatu kawasan. Dasar pemikiran atau landasan berpijak pada
pemberdayaan mangrove bagi kesejahteraan masyarakat pesisir berbasis masyarakat
adalah keberlanjutan (sustainability) usaha pemanfaatan dan pelestarian hutan mangrove,
baik ditinjau dari aspek sosial-ekonomi maupun aspek lingkungan hidup, dan bersifat
merakyat (bottom up).

D. DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D. 1999. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.
PKSPL. PB. Bogor.
Setyawan, A.D. dkk. 2004. Tumbuhan mangrove di Jawa: 2. Restorasi. Biodiversitas 5 (2):
105-118.
Setyawan, A.D. K. Winarno. 2006. Permasalahan Konservasi Ekosistem Mangrove di
Pesisir Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Biodiversitas 7 (2): 159-163.
Snedaker. 1978. Mangrove; their values and perpetuation. National Resources. 14:6-13.







SUMBER : http://budisulist.blogspot.com/2009/11/kerusakan-ekosistem-mangrove.html

Anda mungkin juga menyukai