Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Menarik tidaknya kehidupan sehari-hari di sekeliling kita, tidak lain karena kita
mempunyai cara pandang tertentu. Kita bisa saja mengatakan suatu peristiwa itu tidak
menarik. Orang mati bersimbah darah di depan kita, bisa jadi bukan hal yang perlu
dibicarakan. Begitu pula sebaliknya, orang kentut adalah sebuah peristiwa yang perlu
dibesar-besarkan. Begitulah kira-kira hukum yang berlaku di dunia ini.
Pengertian antropologi hukum menurut Koentjaraningrat, antropologi adalah
ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka
warna, bentuk Iisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan. Dari deIinisi
tersebut, dapat disusun pengertian sederhana antropologi, yaitu sebuah ilmu yang
mempelajari manusia dari segi keanekaragaman Iisik serta kebudayaan (cara-cara
berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu
dengan yang lainnya berbeda-beda.
Sedangkan yang dimaksud dengan kebudayaan hukum adalah yang menyangkut
aspek-aspek hukum, aspek-aspek yang digunakan oleh kekuasaan masyarakat untuk
mengatur anggota-anggota masyarakat agar tidak melanggar kaidah-kaidah sosial yang
telah ditetapkan oleh masyarakat bersangkutan.
Harus disadari bahwa hukum lahir dan berkembang dari sebuah kebudayaan,
sehingga akan menjadi logis bahwa tidak ada hukum yang seragam, karena tidak ada
kebudayaan yang bersiIat seragam. Hukum yang berlaku bagi masyarakat Batak tentu
saja akan berbeda dengan hukum yang berlaku pada masyarakat Minang, dan tentu saja
akan berbeda dengan hukum yang berlaku pada masyarakat Jawa dan Sunda, atau
bahkan hukum yang berlaku pada masyarakat Eskimo berbeda dengan hukum yang
berlaku bagi masyarakat Indian di Amerika. Untuk negara sebesar dan seluas Indonesia
tentunya memberlakukan hukum secara seragam terhadap masyarakat yang memiliki
berbagai ragam kebudayaan di Indonesia akan menjadi tidak adil.
Dalam perspektiI antropologi hukum, hukum lahir dari kebudayaan. Melihat hal
tersebut di atas tentunya menyadarkan kepada kita akan peran Antropologi Hukum
sebagai sebuah perspektiI untuk melihat berbagai macam corak hukum yang lahir dan
berkembang pula dari berbagai corak dan ragam kebudayaan. Mempelajari Antropologi

Hukum berarti kita melihat sebuah realitas, kenyataan atas kehidupan hukum yang
sesungguhnya berjalan di masyarakat.
Namun, kajian di sini berbeda dengan kajian-kajian antropologi hukum
sebelumnya, yang lebih meIokuskan pada ruang-ruang masyarakat yang sederhana,
sehingga kesannya lebih cenderung pada hukum dengan suku-suku yang terpencil, dan
tidak bisa masuk pada kelompok masyarakat yang kompleks. Kajian ini, akan mencoba
untuk memotret kehidupan masa kini yang sudah modern.
Oleh karena itu, mungkin orang akan banyak mengira penuh dengan hujatan
atau celaan. Tapi makalah ini berusaha untuk mengkaji secara empatis terhadap orang-
orang yang melakukan pelanggaran terhadap hukum dalam pengertian luas. Bukan
sekadar hukum positiI, tapi juga hukum-hukum tradisional. Sebab, ada pendapat yang
mengatakan di sana ada kelompok masyarakat, di sana juga ada hukum atau dengan
kata lain, 'Di mana ada hukum, di sana ada pelanggar.
Pelanggar adalah kata benda yang menjadi subyek atas kata kerja melanggar.
Kata ini penting bagi sebuah kajian tersendiri di samping aspek-aspek lain dalam
persoalan hukum. Sebab, banyak orang lebih tertarik pada sebuah hukum itu sendiri.
Seperti halnya yang terjadi dalam kasus Tanjung Priuk di tahun 2010 tepatnya
tanggal 14 April, yang sebelumnya di tahun 1984 pernah terjadi dan juga disebabkan
oleh adanya persinggungan dengan keyakinan agama. Dimana aparat Satpol PP yang
hendak memindahkan makam Mbah Priuk seorang tokoh penyebar agama Islam yang
dimakamkan di Tanjung Priuk, harus berhadapan dengan massa yang hendak
mempertahankan keberadaan makam mbah Priuk tersebut yang berakibat timbulnya
korban tewas, dan luka-luka, serta banyak kendaraan polisi yang dibakar massa.

B.Rumusan Masalah
Berdasarkan pendahuluan tersebut, maka perumusan masalahnya yaitu:
Bagaimanakah kasus kerusuhan Tanjung Priuk jika dilihat dari konteks Antropologi
Hukum?

.%ujuan Makalah
1. Agar dapat mengetahui penilaian mengenai kasus Tanjung Priuk dilihat dari
konteks Antropologi Hukum.
2. Untuk mengetahui keterkaitan antara hukum negara dengan hukum rakyat dalam
konteks Antropologi Hukum.

BAB II
PEMBAHASAN

Tanjung Priuk identik dengan laut, dengan kawasan laut, serta suhu yang
menyengat. Panas lokasi tersebut tampaknya menggambarkan bagaimana panasnya
kondisi yang ada di daerah tersebut. Tercatat setidaknya sudah dua kali terjadi peristiwa
kerusuhan besar berskala nasional di Tanjung Priuk. Pertama, kerusuhan tahun 1984
yang mengakibatkan puluhan orang tewas dan sebagian orang hilang. Peristiwa kedua
terjadi pada 14 April 2010 yang mengakibatkan setidaknya 3 orang meninggal dan
ratusan orang terluka.
Pemicunya sama, yaitu persinggungan dengan keyakinan agama. Di tahun 1984,
kerusuhan berdarah dipicu oleh kemarahan warga terhadap seorang aparat yang
memasuki masjid tanpa membuka alas kaki.
Peristiwa kedua ini terjadi ketika aparat Satpol PP yang hendak memindahkan
makam Mbah Priuk seorang tokoh penyebar agama Islam yang dimakamkan di
Tanjung Priuk, yang ada di komplek lahan milik PT Pelindo II. Mbah Priuk adalah
nama lain dari Habib Hassan bin Muhamad al Hadad, penyiar Islam dari Sumatera yang
pertama kali menamakan kawasan di utara Jakarta itu sebagai Tanjung Priuk.
Akibatnya aparat Satpol PP pun harus berhadapan dengan massa yang hendak
mempertahankan keberadaan makam mbah Priuk tersebut. KonIlik antara kedua belah
pihak pecah hingga menimbulkan korban tewas dan luka-luka, serta banyak kendaraan
polisi dibakar massa. Bahkan kerusuhan itu malah meluas sampai ke Rumah Sakit
Koja.
Ketika peristiwa Tanjung Priuk meledak tahun 1984, publik tidak banyak yang
tahu karena Pers yang terkontrol ketat tidak menyiarkan peristiwa itu apa adanya.
Namun, kemarin Perang Tanjung Priuk menjadi tontonan. Inilah perang yang terjadi di
masa demokrasi dan kebebasan. Publik menyaksikan betapa negara, dengan segala
kelengkapan dan kewenangannya ternyata tidak mencintai rakyatnya.
Di sisi yang lain, publik pun bisa menyaksikan betapa warga negara telah
memiliki kebringasan yang mengerikan juga. Mereka bisa memamerkan senjata tajam
dan segala peralatan perang yang mungkin dipergunakan sebagai senjata, termasuk
meledakan bom molotov.

Apa yang menyebabkan negara dan rakyatnya sendiri terlibat pertarungan berdarah
yang mengerikan layaknya seperti musuh di medan perang?
Ini semuanya terjadi karena beberapa sebab. Pertama, tidak terlihat peningkatan
yang sungguh-sungguh pada komitmen negara mencintai rakyatnya. Negara, bila terjadi
konIlik kepentingan dengan warga lebih cenderung memperlakukan rakyat sebagai
musuh yang harus disingkirkan.
Kedua, betapa buruknya negara menjalankan resolusi problem. Makam Mbah
Priuk itu, menurut keterangan Wakil Gubernur DKI Prijanto, tidak digusur tetapi
hendak direnovasi sebagai tempat kramat. Tetapi niat baik itu tidak dipahami karena
komunikasi yang buruk.
Ketiga, terjadi distrust yang parah terhadap peraturan karena semakin hari
semakin jelas bahwa penegakan hukum di negeri ini sangatlah manipulatiI. MaIia
hukum yang terbongkar belakangan ini bisa menjelaskan betapa meluasnya manipulasi
itu.
Lalu, yang tidak kalah pentingnya adalah buruknya civic education. Negara lalai
mendidik warga agar memiliki disiplin. Termasuk lembaga-lembaga pendidikan. Dan,
yang juga lalai menjalankan civic education adalah partai politik.
Para penegak hukum pada kasus itu hanya semata-mata berorientasi pada
pendekatan legal-positivistik dengan hanya menonjolkan sisi penggunaan kekuasaan
dan sama sekali tidak mempertimbangkan pendekatan sosio-legal yang berdimensi
keadilan bagi masyarakatnya. Sehingga, akibat dari penegakan hukum seperti itu hanya
mendapatkan tantangan dan penolakan oleh masyarakat yang berakibat pada terjadinya
krisis kepercayaan terhadap penegakan hukum.
Persoalan mendasar ketidakadilan penegakan hukum yang banyak
dipermasalahkan masyarakat selama ini memang berakar pada pemahaman para
penegak hukum yang sempit terhadap penerapan hukum Iormal yang berlaku
sebagaimana yang dipahaminya terbatas hanya sebagai penerapan hukum yang bersiIat
prosedural semata, tanpa mempertimbangkan sisi rasa keadilan masyarakat yang lebih
bersiIat substantiI, dengan ciri khasnya yang selalu dinamis dan berubah seiring dengan
berubahnya kepentingan individu-individu manusianya yang ada di dalam masyarakat
tersebut. Bahkan, perubahan yang terjadi dalam masyarakat itu berjalan lebih cepat atau
tunggang langgang dibandingkan dengan perubahan hukum yang sangat statis dalam
mengatur kepentingan masyarakat tersebut. Oleh sebab itu, maka dalam pandangan

sosiologi hukum dikenal adanya istilah bahwa hukum itu berjalan terpincang-pincang
di belakang peristiwanya dalam masyarakat (et rect inkt acter de feiten aan).

Dalam konteks antropologi hukum, maka kita dapat melihat dua aturan hukum
yang saling berhadapan, yaitu hukum negara dan hukum rakyat. Hukum negara dengan
segala alat kelengkapan negara yang berupaya memindahkan makam, berhadapan
dengan hukum rakyat yang diakui hidup bersama masyarakat di kawasan Priuk
tersebut.
Dalam hal terjadinya conflict of laws ini, maka aparat penegak hukum, baik itu
aparat kepolisian maupun aparat Satpol PP yang hendak menegakkan ketertiban
wilayah DKI seharusnya melihat keberadaan hukum-hukum rakyat ini. Hukum rakyat
atau juga hukum yang hidup di masyarakat tentunya harus dipandang sebagai sebuah
keniscayaan dan meletakkannya dalam kedudukan yang seimbang dengan keberadaan
hukum negara. Masyarakat sebagai pendukung keberadaan hukum rakyat tentunya juga
harus melihat keberadaan sebuah aturan hukum negara yang mencoba melakukan
Iungsi pengaturan dalam ketatanegaraan.
Hukum rakyat umumnya walau tidak dapat dikatakan mutlak, bersiIat tidak
tertulis atau unwritten, akan tetapi ia menjadi ruh bagi masyarakat. Ia mengatur
kehidupan dan diakui keberadaannya menjadi jantungnya kehidupan hukum di
masyarakat yang bersangkutan. Hukum-hukum rakyat tersebut dapat berbentuk
religious law yang sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran agama. Makam tidak sekedar
digambarkan atau dibayang sebagai objek mati yang dapat dipindahkan ke tempat lain.
Dalam masyarakat timur yang berIikir dengan konteks magis religius, maka makam
memiliki makna-makna religiusitas yang tinggi.
Makam dari seorang ulama besar akan dihormati, karena ia memberikan simbol-
simbol dan makna atas sebuah nilai religiusitas. Di tanah makam tersebut masyarakat
menempatkan makna dan simbol-simbol religius. Bagi masyarakat timur makna
religiusitas adalah makna yang tinggi, mencoba untuk mengganggu makna-makna
religius dapat diartikan sebagai pengganggu tatanan dan nilai sosial dan budaya
masyarakat yang bersangkutan. Ketika mendengar bahwa makam tersebut akan
dipindahkan (dikemudian hari dijelaskan bahwa satpol PP tidak hendak membongkar
makam tetapi hanya mencoba melakukan perbaikan makam, bukan memindahkan),
maka masyarakat merasa bahwa terdapatnya unsur penggangu tatanan nilai yang
selama ini melingkupi mereka. Unsur pengganggu tersebut patut dilawan dengan cara

apapaun karena telah mengganggu nilai-nilai religius yang dianut oleh masyarakat yang
berIikir secara magis religius.
Ketika terjadi sengketa maka pendekatanpun sesungguhnya dapat dilakukan
dengan dua model, yaitu model pendekatan damai yang dimungkinkan mencari titik
temu diantara para pihak secara damai, dan model pendekatan Iisik yang terkadang
menjauhi penyelesaian sengketa secara damai. Namun, dalam hal ini rupanya kedua
belah memilih jalan kedua yaitu penyelesaian dengan cara kekerasan. Penyelesaian
dengan cara kekerasan ini mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit, korban harta
hingga nyawa.
Untuk itu maka aparat penegak hukum harus memahami bahwa dalam
masyarakat yang plural (majemuk) seperti Indonesia ini, maka berlaku pula hukum
yang plural. Hukum tidak saja datang dari pemegang kekuasaan negara, melainkan juga
berasal dari pemegang otoritas kekuasaan yang hidup di masyarakat. Pelibatan
kekuatan diantara kedua belah pihak sebagai salah satu pilihan sesuangguhnya sudah
harus diIikirkan karena dampak negatiI yang diperoleh jauh lebih besar dibanding
dengan dampak positiI yang diperoleh. Manusia perlu dilihat dalam sosok mahluk yang
berIikir dan berbudaya, dan bukan hanya dilihat dalam hitungan jumlah kuantitas.
Memperlakukan makam Mbah Priuk tidak sekedar dilihat dalam bentuk jumalah
manusia pendukung keberadaan makam, melainkan juga dilihat dari aspek manusia dan
budaya yang melingkupi area makam tersebut.













BAB III
PENU%UP

A.ESIMPULAN
Dalam konteks antropologi hukum, terdapat dua aturan hukum yang saling
berhadapan, yaitu hukum negara dan hukum rakyat. Dimana dalam kasus ini, hukum
negara dengan segala alat kelengkapan negara yang berupaya memindahkan makam,
berhadapan dengan hukum rakyat yang diakui hidup bersama masyarakat di kawasan
Priuk tersebut.
Hukum rakyat umumnya walau tidak dapat dikatakan mutlak, bersiIat tidak
tertulis atau unwritten, akan tetapi ia menjadi ruh bagi masyarakat. Ia mengatur
kehidupan dan diakui keberadaannya menjadi jantungnya kehidupan hukum di
masyarakat yang bersangkutan. Hukum-hukum rakyat tersebut dapat berbentuk
religious law yang sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran agama. Sehingga makam tidak
sekedar digambarkan atau dibayang sebagai objek mati yang dapat dipindahkan ke
tempat lain. Tapi justru makam itu memiliki makna-makna religiusitas yang tinggi.
Dalam masyarakat yang plural (majemuk) seperti Indonesia berlaku hukum
yang plural. Bahwa hukum tidak saja datang dari pemegang kekuasaan negara,
melainkan juga berasal dari pemegang otoritas kekuasaan yang hidup di masyarakat.
Pelibatan kekuatan diantara kedua belah pihak sebagai salah satu pilihan
sesuangguhnya sudah harus diIikirkan karena dampak negatiI yang diperoleh jauh lebih
besar dibanding dengan dampak positiI yang diperoleh. Manusia perlu dilihat dalam
sosok mahluk yang berIikir dan berbudaya, dan bukan hanya dilihat dalam hitungan
jumlah kuantitas.
Adapun hal hal yang menyebabkan negara dan rakyatnya sendiri terlibat
pertarungan berdarah yang mengerikan layaknya seperti musuh di medan perang:
1. Tidak terlihat peningkatan yang sungguh-sungguh pada komitmen negara mencintai
rakyatnya
2. Betapa buruknya negara menjalankan resolusi problem
3. Terjadi distrust yang parah terhadap peraturan karena semakin hari semakin jelas
bahwa penegakan hukum di negeri ini sangatlah manipulatiI.
4. Buruknya civic education

B.SARAN
Hal yang dapat diambil dari antropologi hukum, adalah diharapkan dapat
memunculkan kesadaran atas kenyataan adanya keberagaman hukum karena
beragamnya budaya. Beragamnya hukum tersebut jangan dimaknakan sebagai
pertentangan hukum (conflict of laws), tetapi dianggap sebagai khazanah kekayaan
hukum yang akan mampu memperkuat serta memperbaharui hukum nasional. Selain itu
akibatnya adalah memunculkan sikap toleransi untuk menghargai umat manusia yang
beragam pola Iikir, karakter, pemahaman, dan tentunya juga beragam hukum.

























DAF%AR PUS%AA

1. Soekanto, Soerjono. 1970. $osiologi suatu Pengantar. FH UI Press: Jakarta.
2. Adikusuma, Hilman. 2004. Pengantar Antropologi Hukum. itra Aditya:
3. www.Iokkylaw.com
4. www.arramuse.com/blog/.../antropologi-hukum.html

Anda mungkin juga menyukai