Anda di halaman 1dari 5

HIKAYAT KERIS GANDRING DAN TERBUNUHNYA

TUNGGUL AMETUNG

http://pustakapujangga.com/?p=467

Malam suram, tiada hadir secerca bintang pun wajah molek bulan.
Ken Angrok dengan tubuh kesatria menunggangi kuda hitam,
menembus alam tanpa bayangan. Menderu terjang tiada keraguan,
seringkikan binatang. Menakut-nakuti kawanan srigala yang biasa
bertengger di bukit kapur tua.
Hanya dedaun buta saksi geraknya. Dan angin dingin senafasan
tersengal nafsu Angrok. Lewat sentakan kencang, menghabiskan
malam panggang tanpa percakapan di tengah perjalanan. Bathin
menggerutu nalarnya mendidih. Menguap sekabut pegunungan
merapi yang mengepul seasap tobong terbakar.
Sampailah di jalanan pesisir lautan diam, batuan karang terinjak
bersimpan dendam. Langkahnya terus maju menerjang, hadirkan
nasibnya demi dapati ketentuan. Betapa darahnya bergolak serupa
pemuda lajang tercuri hatinya, ditawan bingkai kalbu seorang
wanita. Ia masih dihantui wajah cantik yang telah diperistri takdir
jahannam.
Telah jauh dari tapal batas kota, pula tinggalkan bencah pasir
memasuki gapura dusun. Teramat sunyi, darahnya tambah naik
melampaui batas kerinduan sepi. Yang beterbangan setarikan awan-
gemawan dijelmakan hujan amarah. Ia hentikan langkah kudanya di
depan pendapa Empu Gandring. Sedang rumput-rumput bunga
mengitari, awalnya penuh damai.
Tersentak kedatangan sang penakluk. Dengan kaki tegap turun dari
kuda tanpa sungkan membuang segan, Angrok menghadap Pu
Gandring. Sang Empu sudah tahu gelagat alam kurang sedap. Yang
dikabarkan kembang prabusetmata atas sederet alisnya, seperti
kumis kucing mengincar mangsa.
Ki Empu mencium musibah kan menimpa, pada dirinya juga
pemuda tanggung yang datang tanpa sungkem.
Tapi benarkah demikian? Mari diteruskan mengikuti rekamanku kala
terjaga. Ini sentakan telak menyadarkan. Bukan alur juntrung
menghempas, tapi hakikat hikayat melampaui logika penembusan
sejarah. Tanpa kesopanan Angrok berucap:
Buatkan aku sebilah keris terbaik kesaktiannya. Carikan batu granit
demi mutu tempaan dalam, sebelum besi baja kau semat dikulitnya.
Ciptakan luk tujuh, itu bilangan hari kisah kejayaan dunia.
Gagangnya carikan kayu cendana yang tumbuh di tengah malam
purnama. Jangan lupa rendam dengan kembang tujuh rupa,
disamping taburan garam dari samudera Hindia.
Aku berharap keris tersebut tiada menandingi, setiap orang
melihatnya terkesima hingga kaki-kakinya membatu setelah
kesemutan. Perhatikan juga jangan lama. Setengah tahun cukup
kukira. Rampung tidak aku kemari mengambilnya. Jikalau tak
menurut, tentu sudah hafal siapa diriku, dan yang akan kuperbuat
demi kemanusiaan kelak. Maka persiapkan keharusanmu, sebelum
kunamai pengecut yang mempecundangi bakat luhur abadi.
Ki Empu minta tambahan waktu. Sebab dengan masa sesingkat itu,
sebilah keris ampuh belumlah utuh. Namun perbincangan
bertelingakan satu. Angrok tetap bersikeras ditepati. Dialog tidak
imbang, mencederai telinga pun menjulingkan mata. Takdir berubah
cepat. Angrok tinggalkan perkara tidak mudah bagi Empu juga
dirinya. Yang teridam hanyalah dendam merebut Ken Dedes ke
dalam pelukan.
Angrok dapat dibilang kurang gagah dibanding Tunggul Ametung.
Tapi ketampanannya sanggup menyedot gravitasi para wanita, bagi
memandang teriris hatinya. Semangatnya membara, menuntut
keinginan jauh melampaui orang-orang sejaman.
Dengan raut kusam, Ki Empu melihat punggung Angrok tinggalkan
pendapa. Seolah baru disergap malaikat maut dari segala arah, atas
todongan gairah terus membuncah. Lalu Ki Empu bersemedi,
menata bathiniah demi sebilah keris sakti gagasan pemuda brandal.
Siapa pembuat keris, apa benar Empu Gandring? Setiap pesanan
khusus ialah sang pemesan penciptanya. Empu hanya menampilkan
energi pemesan, diselusupkan dalam sebuah karya.
Denting batuan granit setempaan kekukuhan niat Angrok merebut
Dedes. Olesan minyak di lempengan baja, cermin kejernihan Angrok
menangkap situasi, mensiasati nasibnya menaiki gelanggang
pergolakan. Setiap luk keris putaran berfikirnya Angrok dalam
menyikapi tragedi jiwa, bertumpuk rindu mendendam.
Ki Empu hanyalah tangan panjangnya. Sebab tanpa keris, Ametung
pun mati atas semangat Angrok. Dan perintah pembuatan senjata,
sekadar penghormatan kepada keduanya. Angroklah penciptanya.
Ki Empu hanya menyulap gairah Angrok menjelma lempengan
bermutu sebanding sama menyala.
Siang hari, Pu Gandring mencari tetumbuhan ramuan ke hutan,
malamnya melanjutkan ritual. Meliriti besi baja mengolesi minyak
ajaib serta bermeditasi demi sempurna. Sebuah karya Angrok yang
takkan pudar riwayatnya di tlatah Jawa Dwipa.
Di lain tempat Angrok menggalang kekuatan kudeta, agar disetujui
khalayak. Para menteri ketakutan bagai tikus kali. Pengawal
Ametung dianggapnya anjing-anjing lapar, sekali lempar daging
memuji tuan. Angrok, insan faham meramu kesempitan
berkesempatan, membalik ciut menjelma kelapangan. Selalu
menilik gejala alam diri pula luaran.
Lama sudah setubuhi laguan hayat dianggapnya berdaya
mengukuhkan, yang sudi menghisap makna perjalanan. Pemilik
watak keras bukanlah karang, tetapi ombak melukis dinding terjal.
Kesadaran bayu langkahnya. Hingga pemerhati sepak terjangnya
mencemasi masa membadai tak terkendali.
Ia musikus keheningan bathin, pelukis aliran darahnya, penyair
disetiap tarian lidahnya. Namun apa daya, keindahan seni mengalir
di tubuhnya berasal rindu dendam paling purba. Laksana pemahat
tak mapan menjadi tentara, berkesempatan terbaik mencium darah
pesaingnya. Seorang ditakdirkan selalu sukses dalam suksesi.
Semua jalur dilalui tertunduk nasib besarnya.
Angrok, sang revolusioner tanpa pengetahuan, referensinya tragedi
sekitar dan tak diambil kecuali menggasak lebih; bibir merona,
mata gemerlap, alis melengkung sepohonan bukit barisan, janggut
lancip ke bawah ngarai disiram hujan. Haus percumbuannya
segeraian cemara bercampur bau fajar.
Setiap malam, menghitung kalender di balik jendela remang.
Sebilah keris setubuh cantik cahaya Ken Dedes, yang matanya
sendu jikalau lama tak dikunjungi berkasih sayang. Enam bulan
sudah menanti waktu panggilan hasrat. Di senjakala hari terakhir Pu
Gandring meliritkan keris naas. Angrok menaiki kuda jantan
bersuara deru mendebu beterbangan, awan-gemawan
mengawasinya ketakutan.
Mengendarai kerinduan membukit pendendam akan waktu-waktu
diperhitungkan. Langit makin legam, kala kalender tua tersobek hari
kebangkitan. Melalui pohonan waru berkulit temali pecut, randu-
randu sekapuk mayit. Melintasi pepohonan jati menegasi jati diri
dan atas trembesi di bathinya membesi.
Ribuan jarak rumput terinjak, disapunya ilalang berangin juang.
Batu-batu tangga kesaksian, telaga dilihatnya memalingkan air
muka. Angin dingin berhembus jinakkan nyali tetumbuhan sekitar
pendapa. Ki Empu gemetaran mendapati firasat pahit
menjemputnya pulang, ke negeri sangat asing dari pesawahan.
Kesahajaannya runtuh atas perasaan berkecamuk tanpa tahu
gerangan kan terjadi. Teringatlah siang-malam melilit keris demi
pemuda deladapan menggapai keyakinan. Dan sebelum rampung
menghafal raut Angrok. Turunlah sedari kuda takdir. Dehem keras
seguntur menakuti langit, kilatan matanya selaksa petir menyambar
ke sudut-sudut terpencil.
Sampailah suara Angrok ke telinga; wahai Ki Empu perkasa,
penyimpan kearifan pendahulu utama, di manakah kerisku? Aku
telah menunggu hingga membatu tekatku, penantianku
menimbulkan kesurupan setiap kali mengingat.
Terngiang harapanku sejarah anak manusia tanpa penghulu,
menghujam meminta seorang pujaanku. Nilai terkandung abadikan
dirimu dalam catatan waktu. Bersyukurlah kuberi tugas, tak semua
orang kuperintah selain yang mulia.
Itu keagunganmu, aku tak pernah mengangkat tinggi
penghormatan sebelumnya. Maka di manakah hakku?
Sabar duru anak muda; kata Pu Gandring. Keris yang kau pesan itu
belum kulambari asmak kepurnaan. Apa jadinya tanggung
sekawanan mendung keraguan, kan mendatangkan petaka. Namun
Angrok gelap mata, direbutnya keris dari tangan Gandring atas
nafsu membara. Sang Empu bersikukuh memegangi.
Angrok lantang berkata; Hai Ki Empu, keris itu jiwaku. Kau tak
mungkin bisa menciptanya tanpa semangatku. Itu bukan hakmu
dan kewajibanmu memberikan padaku. Kau telah kuberi kebesaran
mencipta apa maumu, namun kenapa sekarang angkuh. Adakah
kau cemburu atas keris itu, dimana sebagai penjelmaan
kepribadianku?
Kala Pu Gandring mendengar ocehan Angrok, terlena sebocah
dirayu janji gula-gula. Tidak disia-siakan merebut paksa. Tapi Empu
bukan sembarang orang, gesit menampilkan halau serbuan.
Bertarung pun jadi. Keduanya berebut keris jati diri. Takdir telah
digariskan, hari dimana Angrok membunuh. Maka segenap dinaya
Gandring hanya pertahanan mencapai titik lelah. Sedang perburuan
Angrok sudah tertandakan langit paling malam, pun kedalaman
lautan sangat kejam.
Dalam sekarat melaknat; Angrok. Aku telah kau tikam keris itu,
maka kau dan ketujuh anak turunmu, kelak binasa dengan keris itu
juga. Angrok menyesali tindakannya terlalu gegabah, mencipta
takdir lain dan kutukan menjadi kenyataan esok. Bukan lantaran
kesaktian Gandring, tetapi sesal menghantui Angrok dibawahnya
pulang terlaksana. Rasa bersalah, ialah maut bersimpan perasaan
was-was gentayangan.
Angrok menemui Ken Dedes di puri. Tanpa sepengetahuan
keduanya, Tunggul Ametung menyaksikan mereka saling berkasih
rindu, menghabiskan waktu menjelang senja ungu. Ametung
mengawasi serupa kelinci mengendap-endap. Senja larut
mengumpulkan kesumatnya, tetapi tak mau menumpahkan saat itu
juga. Lantas malam pun terjadi.
Malam kamis kliwon Ametung terjaga, mondar-mandir di ruang
tengah. Menggaruk kepala bukan apa, serasa ada yang mau hilang
darinya. Dedes tertidur pulas mengimpi hari esok bersua kembali,
dengan Angrok pujaannya di puri. Malam itu Ametung tak melihat
wajah istrinya, Dedes pun tak hawatir sama sekali. Seanak hilang
menemui kejelasan pada raut Angrok, ialah kembang mendapati
angin segar gerimis.
Ametung masih berlalu-lalang tak memasuki bilik Ken Dedes.
Geramnya merencanakan pertarungan jantan, antar dirinya dengan
pemuda keparat, Angrok. Dasar alur cerita telah ditentukan,
Ametung tersirap ilmu megananda sang penggagas sejarah
gemilang Shingosari. Tidak dapat menahan kantuk memberat, tetap
tak beranjak ke pembaringan. Seolah tiada gampang menyirapnya
meski sekejap.
Tapi sial, angin pagi menyergapnya dari segala penjuru. Terkantuk
lelap di ruang tengah di atas kursi kuasanya. Angrok, yang
menguntit sejak dari puri menyaksikan gerak-geriknya sudah
mencium sedap maut. Darah Ametung telah diraup angin gerilya.
Dengan leluasa, Angrok menancapkan keris Gandring atas
hasratnya. Menusukkan ke uluh hati Ametung, sampai malaikat
maut tak segan mencabut nyawa.
Segala endapan menerima ganjaran, yang tanggung menemui
kejelasan, rindu bertemu ciuman merah. Akhirnya, penguasa tanpa
diragukan takut peniruan waktu-waktu busuk, membakarnya
dengan hasrat menyala. Memuji lawan sisi terang, menghargai
sebagai kehormatan. Empu Gandring tanpa Ken Angrok tak kan
dikenang.
Jawa, Malang - Lamongan.
Dasar tulisan dari buku "Penulisan Sejarah Jawa," karangan
C.C Berg, yang diterjemahan S. Gunawan, terbitan Bhratara
Jakarta 1974.


(uonafeby Wldyanl xl lS)

Anda mungkin juga menyukai