Anda di halaman 1dari 16

SINDROM STEVENS JOHNSON

Pendahuluan
Pertama kali dilaporkan pada tahun 1922, sindrom Stevens-Johnson merupakan hipersensitivitas
yang dimediasi kompleks imun yang merupakan ekspresi berat dari eritema multiIorme.
SSJ merupakan kumpulan gejala (sindrom) berupa kelainan dengan ciri eritema, vesikel, bula,
purpura pada kulit pada muara rongga tubuh yang mempunyai selaput lendir serta mukosa kelopak
mata. Penyebab pasti dari SSJ saat ini belum diketahui namun ditemukan beberapa hal yang memicu
timbulnya SSJ seperti obat-obatan atau inIeksi virus. mekanisme terjadinya sindroma pada
SSJ adalah reaksi hipersensitiI terhadap zat yang memicunya. SSJ merupakan kegawatdaruratan
yang memerlukan penatalaksanaan cepat, tepat, dan multidisplin.


Definisi
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan sindrom kelainan yang bermaniIestasi pada kulit,
selaput lender di oriIisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai
berat.

Kelainan yang ditimbulkan dapat berupa eritema, vesikel, bula, dan purpura.
Sinonim
Sindrom de Friessinger-Rendu, eritema multiIorm mayor, eritema poliIorm bulosa, sindrom
muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.

Epidemiologi

Insiden SSJ dan nekrolisis epidermal toksik (NET) diperkirakan 2-3 per juta populasi setiap
tahun di eropa dan amerika serikat. Umumnya terdapat pada orang dewasa.
Untuk kasus overlap SSJ/NET, penyebab tersering di Amerika Serikat dan negara-negara Barat
lainnya, adalah NSAID oksikam (piroksikam, meloksikam, tenoksikam) dan sulIonamid. Sedangkan
penyebab tersering di negara-negara Asia Timur dan Tenggara adalah allopurinol.

Etiologi
Penyebab SSJ dikelompokkan menjadi 4 kategori yaitu ;
1.alergi obat,
2.inIeksi,
3.keganasan, dan
4.idiopatik.
Alergi obat merupakan penyebab utama SSJ (50). Banyak obat dari golongan yang
bervariasi dilaporkan dapat menyebabkan SSJ.
Alergi obat tersering ialah analgetik/antipiretik (45), karbamazepin (20) dan jamu (13)
Selain penyebab yang telah diketahui, masih terdapat sekitar 25 sampai 50 kasus SSJ yang
penyebabnya belum diketahui (idiopatik)
Patogenesis
SSJ merupakan kelainan hipersensitivitas yang dimediasi kompleks imun yang disebabkan oleh
obat-obatan, inIeksi virus dan keganasan. Akhir-akhir ini kokain dimasukkan dalam daItar obat yang
dapat menyebabkan SSJ. Sampai dengan setengah dari total kasus, tidak ada etiologi spesiIik yang
telah diidentiIikasi.
SSJ sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe II (sitolitik) menurut Coomb dan
Gel. Gejala klinis atau gejala reaksi bergantung kepada sel sasaran (target cell). Sasaran utama SSJ
dan NET ialah pada kulit berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktivitas sel T,
termasuk CD4 dan CD8, IL-5 meningkat, juga sitokin-sitokin lain. CD4 terutama terdapat di dermis,
CD8 di epidermis. Keratinosit epidermis mengekspresikan ICAM-1, ICAM-2 dan MHC-II. Sel
langerhans tidak ada atau sedikit.
TNF alIa meningkat di epidermis. Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit
sehingga terjadi (Carroll, 2001) :
1. Kegagalan Iungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan
2. Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia dan
glukosuriat
3. Kegagalan termoregulasi
4. Kegagalan Iungsi imun
5. InIeksi
Berdasarkan hasil penelitian Steven J Parrillo, DO, FACOEP, FACEP Adjunct ProIessor,
School oI Health and Science, Philadelphia University, secara patologis, nekrosis sel menyebabkan
pemisahan antara epidermis dan dermis. Reseptor nekrosis sel, Fas, dan ligannya, FasL, telah
dihubungkan dengan proses seperti TNF-alIa. Peneliti telah menemukan peningkatan kadar FasL
pada pasien dengan SSJ/NET sebelum pelepasan kulit atau inset dari lesi mukosa. Beberapa peneliti
lain menghubungkan sitokin inIlamatori pada patogenesis.
Terdapat juga bukti kuat mengenai predisposisi genetik pada reaksi kutaneus berat dari eIek
samping obat seperti SSJ. FDA dan Health Canada menyarankan screening terhadap antigen
leukosit manusia, HLA-B*1502, pada pasien etnis Asia Tenggara sebelum memulai terapi dengan
karbamazepin. Antigen lainnya, HLA-B*5801, memberikan reaksi yang berhubungan dengan
allopurinol.. Screening sebelum terapi belum tersedia.

Gejala Klinis
Pada umumnya, SSJ didahului oleh gejala prodormal seperti demam tinggi, nyeri tenggorok,
sakit kepala, atralgia, malese, dan gejala gastrointestinal selama 2 minggu. Sindrom ini jarang
dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah karena imunitas belum begitu berkembang. Keadaan
umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, pasien dapat
soporous sampai koma. Pada SSJ terlihat trias kelainan berupa kelainan pada kulit, mukosa
oriIisium, dan mata. Selain trias tersebut, terdapat pula kelainan seperti neIritis dan onikolisis.


Trias kelainan pada Sindrom Stevens Johnson
1. Kelainan pada kulit
Kelainan pada kulit terdiri atas eritema, vesikel, dan bula. Dapat juga terjadi purpura. lesi khas
berbentuk seperti lesi target (targetoic lesions), yaitu bagian tengah lesi yang berwarna keunguan
dapat disertai vesikel ditengahnya dan dikelilingi makula eritema. Vesikel dan bula kemudian
pecah, sehingga terjadi erosi luas yang sangat rentan mengalami inIeksi sekunder.
Bila bula kurang dari 10 disebut sindrom stevens Johnson. antara 10-30 disebut sindrom
stevens Johnson-nekrolisis epidermal toksik (NET). Dan lebih dari 30 disebut olisis epidermal
toksik (NET).


2. Kelainan pada Selaput lendir di oriIisium
Kelainan sering terjadi pada mukosa mulut (100), 50 pada lubang alat genitalia, jarang pada
lubang hidung dan anus (masing-masing 8 dan 4).
Gejala pada mukosa mulut berupa eritema, edema, vesikel / bula yang gampang pecah sehingga
timbul erosi, ekskoriasi dan krusta kehitaman, terutama pada bibir. Juga dapat timbul
pseudomembran. Lesi terdapat pada traktus respiratorius bagian atas, Iaring dan esoIagus.
Stomatitis pada mulut dapat menyebabkan pasien sulit menelan. Pseudomembran pada Iaring
menyebabkan pasien sukar bernapas.Walaupun beberapa ahli menyarankan adanya kemungkinan
SSJ tanpa lesi pada kulit tetapi sebagian besar percaya bahwa lesi mukosa saja tidak cukup untuk
menegakkan diagnosis. Beberapa ahli menyebut kasus yang tanpa lesi kulit sebagai atipikal atau
inkomplit.


3. Kelainan Mata
Yang paling sering adalah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis
purulen, perdarahan, simbleIaron, ulkus kornea, iritis, iridosiklitis.











Gambar 1. Perbedaan Eritema multiIormis, Stevens-Johnson Syndrome, Toxic Epidermal
Necrolysis





Tabel 2. Perbedaan Eritema MultiIormis, Steven-Johnsons Syndrome, dan Toxic Epidermal
Necrolysis






Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan Iisis, dan laboratorium.
Anamnesis dan pemeriksaan Iisis ditujukan terhadap kelainan yang dapat sesuai dengan
trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan Iaktor penyebab.
Secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris, atau mata sapi, kelainan pada mukosa,
demam, dan hasil biopsi yang sesuai dengan SSJ .
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari hubungan dengan Iaktor penyebab
serta untuk penatalaksanaan secara umum. Pemeriksaan yang rutin dilakukan diantaranya
adalah pemeriksaan darah tepi (hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis, hitung
eosinoIil total, LED), pemeriksaan imunologik (kadar imunoglobulin, komplemen C3 dan
C4, kompleks imun), biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta
pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.
Hasil biopsi dapat menunjukkan adanya nekrosis epidermis dengan keterlibatan kelenjar
keringat, Iolikel rambut dan perubahan dermis.
Anemia dapat dijumpai pada kasus berat yang menunjukkan gejala perdarahan.
Leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, dan pada hitung jenis terdapat
peninggian eosinoIil.
Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun, dan dapat
dideteksi adanya kompleks imun yang beredar.
Pemeriksaan histopatologik dapat ditemukan gambaran nekrosis di epidermis sebagian
atau menyeluruh, edema intrasel di daerah epidermis, pembengkakan endotel, serta
eritrosit yang keluar dari pembuluh darah dermis superIisial.
Pemeriksaan imunoIluoresen dapat memperlihatkan endapan IgM, IgA, C3, dan Iibrin.
Untuk mendapat hasil pemeriksaan imunoIluoresen yang baik maka bahan biopsi kulit
harus diambil dari lesi baru yang berumur kurang dari 24 jam.




Komplikasi
Sindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut:
Pulmonari pneumonia
Gastroenterologi - Esophageal strictures
Genitourinaria nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis vagina
OItalmologi ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan
Kutaneus timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, inIeksi kulit sekunder
InIeksi sitemik, sepsis
Kehilangan cairan tubuh, dan shock
Komplikasi awal yang mengenai mata dapat timbul dalam hitungan jam sampai hari,
dengan ditandai timbulnya konjungtivitis yang bersamaan pada kedua mata. Akibat adanya
perlukaan di konjungtiva dapat menyebabkan pseudomembran atau konjungtivitis membranosa,
yang dapat mengakibatkan sikatrik konjungtivitis. Pada komplilasi yang lebih lanjut dapat
menimbulkan perlukaan pada palpebra yang mendorong terjadinya ektropion, entropion,
trikriasis dan lagoItalmus. Penyembuhan konjungtiva meninggalkan perlukaan yang dapat
berakibat simbleIaron dan ankylobleIaron. DeIisiensi air mata sering menyebabkan masalah dan
hal tersebut sebagai tanda menuju ke Iase komplikasi yang terakhir. Yang mana komplikasi
tersebut beralih dari komplikasi pada konjungtiva ke komplikasi pada kornea dengan kelainan
pada permukaan bola mata. Fase terakhir pada komplikasi kornea meningkat dari hanya berupa
pemaparan kornea sampai terjadinya keratitis epitelial pungtata, deIek epitelial yang rekuren,
hingga timbulnya pembuluh darah baru (neovaskularisasi pada kornea) yang dapat berujung pada
kebutaan. Akhirnya bila daya tahan tubuh penderita menurun ditambah dengan adanya kelainan
akibat komplikasi-komplikasi di atas akan menimbulkan komplikasi yang lebih serius seperti
peradangan pada kornea dan sklera. Peradangan atau inIeksi yang tak terkontrol akan
mengakibatkan terjadinya perIorasi kornea, endoItalmitis dan panoItalmitis yang pada akhirnya
harus dilakukan eviserasi dan enukleasi bola mata.





Pemeriksaan Laboratorium :
Tidak ada pemeriksaan laboratorium selain biopsi yang dapat menegakkan diagnosis SSJ.
a) Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan jumlah leukosit yang normal atau leukositosis
yang nonspesiIik. Leukositosis yang nyata mengindikasikan kemungkinan inIeksi bakteri berat.
b) Kultur jaringan kulit dan darah telah disetujui karena insidensi inIeksi bakteri yang serius pada
aliran darah dan sepsis yang menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas.
c) mengevaluasi Iungsi renal dan evaluasi urin untuk melihat adanya hematuria.
d) ImunoIluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven Johnson dengan panyakit
kulit dengan lepuh subepidermal lainnya.
e) Elektrolit dan kimia lainnya mungkin diperlukan untuk membantu menangani masalah
lainnya.
I) Kultur darah, urin dan jaringan pada luka diindikasikan ketika dicurigai adanya inIeksi.
g) Bronkoskopi, esoIagogastroduodenoskopi dan kolonoskopi dapat dilakukan.
Pemeriksaan Radiologi:
Foto rontgen thorak dapat menunjukkan adanya pneumonitis ketika dicurigai secara klinis. Akan
tetapi Ioto rontgen rutin biasa tidak diindikasikan.
Pemeriksaan Histopatologi:
Biopsi kulit merupakan pemeriksaan deIinitiI tetapi pemeriksaan ini bukan merupakan prosedur
ruang gawat darurat.
a) Spesimen biopsi kulit memperlihatkan bahwa bula terletak subepidermal.
b) Nekrosis sel epidermal dapat dilihat.
c) Area perivaskular diinIiltrasi oleh limIosit.

Histopatologi
Gambaran histopatologi sesuai dengan eritema multiIorme, bervariasi dari perubahan dermal
yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh. Kelainan berupa :
1. InIiltrate sel mononuclear di sekitar pembuluh pembuluh darah dermis superIicial.
2. Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar
3. Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal
4. Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa
5. Spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
Diagnosis banding
Ada 2 penyakit yang sangat mirip dengan sindroma Steven Johnson :
1. %oxic Epidermolysis Necroticans. Sindroma steven johnson sangat dekat dengan TEN.
SJS dengan bula lebih dari 30 disebut TEN.
2. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease). Pada penyakit ini lesi kulit
ditandai dengan krusta yang mengelupas pada kulit. Biasanya mukosa terkena .

Penatalaksanaan
Sebelum sampai ke rumah sakit, paramedis harus mengenali adanya kehilangan cairan
yang banyak dan menangani pasien dengan SSJ sama dengan pasien yang mengalami luka bakar
luas. Kebanyakan pasien memperlihatkan gejala awal yang mengarah kepada gangguan
hemodinamik. Peran utama dokter UGD yang sangat penting adalah mendeteksi SSJ atau NET
sesegera mungkin dan memulai penanganannya.
Penghindaran dari agen yang menjadi penyebabnya merupakkan langkah yang sangat
penting. Perkiraan waktu berhubungan erat dengan keadaan akhir pasien.
1. Penanganan di UGD harus dilakukan secara langsung untuk mengganti cairan dan koreksi
elektrolit.
2. Lesi pada kulit ditangani sama seperti luka bakar.
3. Pasien dengan SSJ harus ditangani dengan perhatian khusus kepada airway dan stabilitas
hemodinamik, status cairan, penanganan lesi kulit dan kontrol nyeri.
4. Perawatan secara primer bersiIat suportiI dan simptomatis. Beberapa ahli menyarankan
pemberian kortikosteroid, sikloIosIamid, hemodialisis dan imunoglobulin.
O Rawat lesi oral dengan obat kumur.
O Anestesi topikal sangat berguna untuk mengurangi rasa nyeri dan memberi kesempatan
kepada pasien untuk mendaapat cairan.
O Berikan proIilaksis untuk tetanus.
O Bagian kulit yang mengalami lesi harus ditutup dengan kompres larutan NaCl Iisiologis.
5. Penyakit utama dan inIeksi sekunder harus diidentiIikasi dan diterapi. Obat yang menjadi
penyebab harus langsung dihentikan.
6. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversial. Beberapa ahli menyebutkan bahwa steroid
merupakan kontraindikasi, terutama karena diagnosis masih belum pasti. Pasien dengan eritema
multiIorme yang disebabkan inIeksi akan memburuk dengan pemberian steroid. Beberapa
penulis menyimpulkan bahwa steroid IV dan terapi imunoglobulin tidak meningkatkan atau
memperbaiki keadaan umum pasien.
7. Pada penelitian besar di Eropa, menemukan bahwa tidak ada cukup bukti adanya keuntungan
dari berbagai terapi spesiIik. Studi ini memperhatikan mortalitas pasien yang diterapi dengan
imunoglobulin IV dan kortikosteroid.
Konsultan dapat membantu menegakkan diagnosis dan memberikan terapi. Dermatologis
merupakan konsultan yang paling tepat untuk menegakkaan diagnosis, dengan atau tanpa biopsi.
a. Pada kasus-kasus yang berat sangat diperlukan bantuan daari ahli bedah plastik.
b. Dokter penyakit dalam atau spesialis anak diperlukan untuk membantu penanganan pasien.
c. Konsultasi dengan spesialis mata merupakan keharusan untuk pasien dengan gejala okular.
d. Berdasarkan sistem organ yang terkena, konsultasi dengan gastroenterologis, pulmonologis dan
neIrologis sangat membantu.

edikamentosa :
Tidak ada obat spesiIik yang menunjukkan keuntungan secara konsisten pada terapi SSJ.
Pemilihan antibiotik untuk inIeksi bergantung kepada penyebab inIeksi tersebut.
Gejala klinis dan hasil laboratorium memperlihatkan bahwa inIeksi pada aliran darah
memastikan penggunaan antibiotik. Organisme yang paling umum antara lain Staphylococcus
aureus, Pseudomonas aeruginosa dan spesies Enterobacteriaceae.
Penggunaan kortikosteroid sistemik masih kontroversial tetapi mungkin berguna jika
diberikan dalam dosis tinggi pada Iase awal penyakit. Morbiditas dan mortalitas dapat meningkat
berhubungan dengan penggunaan kortikosteroid. Imunoglobulin IV telah dijabarkan sebagai
terapi dan proIilaksis.
Pada umumnya penderita SJS datang dengan keadaan umum berat sehingga terapi yang
diberikan biasanya adalah :
O Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.
O Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman
dari sediaan lesi kulit dan darah.
O Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian selama
3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada
yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan
penyembuhan yang lambat dan eIek samping yang signiIikan, namun ada juga yang
menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
O Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat (Avil)
dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15
mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk
usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; ~ 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari.
Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.
O Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.
O Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.
O Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
O Terapi inIeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum
luas, bersiIat bakterisidal dan tidak bersiIat neIrotoksik, misalnya klindamisin intravena
8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.
O Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3, 4,
dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses
kematian keratinosit yang dimediasi FAS.
O Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson pada mata dapat diberikan dengan :
O Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersiIat garam Iisiologis setiap 2
jam, untuk mencegah timbulnya inIeksi sekunder dan terjadinya kekeringan pada bola
mata.
O Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah terjadinya
perlekatan konjungtiva.




Prognosis
Steven-Johnsons Syndrome (dengan 10 permukaan tubuh yang terlibat) memiliki angka
kematian sekitar 5. Resiko kematian bisa diperkirakan dengan menggunakan skala SCORTEN,
dengan menggunakan sejumlah Iaktor prognostic yang dijumlahkan. Outcome lainnya termasuk
kerusakan organ dan kematian.

Faktor risiko terjadinya kematian dapat diestimasi melalui SCORTEN scale, seperti dibawah ini ;
Faktor Risiko 0 1
Umur 40 tahun ~ 40 tahun
Berhubungan dengan Malignancy Tidak Ya
Heart rate (beats/min) 120 ~120
Serum BUN (mg/dL) 27 ~27
Detached / compromised body surIace 10 ~10
Serum bicarbonate (mEq/L) ~20 20
Serum glucose (mg/dL) 250

~250





No oI risk Iactors Mortality rate
0-1 3.2
2 12.1
3 35.3
4 58.3
5 atau ~
~90











Daftar Pustaka

1. Hamzah M. Eritema MultiIorme. dalam: Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah and Siti
Aisah. Ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi ke-5 cetakan ke-3. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.
2. Valeyrie-Allanore L, Roujeau JC. Epidermal necrolysis ( Stevens-Johnson
Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis ) in WolII K et al | edt | Fitzpatrick`s
Dermatology in General Medicine. 7
th
ed. USA: McGraw Hill. 2009.
3. Parrilo SJ, Parrilo CV. Stevens-johnson syndrome. diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/756523-media. pada 24 maret 2009.
4. http://stevenjohnsonsyndromedrbella.blogspot.com/n

Anda mungkin juga menyukai