Anda di halaman 1dari 11

IPDN/STPDN Watch upaya mengingat kepentingan hajat hidup Masyarakat

IPDN = STPDN DEPARTEMEN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA


IPDN itu pada hakikatnya, baik ruh nilai-nilai tradisi budaya dan praktik perilakunya, merupakan STPDN bermetamorfosis. Oleh karena itu, yang dimaksud IPDN di sini lebih dimaksudkan STPDN. Rudini: Saya Menangis Siswa STPDN Jadi Preman Gatra, Jakarta, 9 September 2003 13:02 Mantan Mendagri sekaligus pendiri Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), merasa risau luar biasa begitu mengetahui adanya siswa lembaga pendidikan tersebut meninggal akibat kekerasan yang dilakukan senior dalam masa orientasi, dan juga kepada wartawan. Saya sedih dan menangis begitu mengetahui kekerasan yang terjadi, bahkan sampai menewaskan salah seorang calon pamong negara, kata Rudini dalam percakapan telepon dengan Antara di Jakarta, Selasa. Rudini mengatakan, tujuan dibentuknya STPDN adalah melahirkan pejabat pemerintahan sipil atau pamong yang berwibawa, bukan lulusan yang mengandalkan kekuasaan, tetapi lebih karena pemikiran dan teladan yang dilakukannya. Dengan wibawanya itu maka ia diakui oleh masyarakat. Bukan pamong yang sok kuasa, ujarnya sengit. Sesudah mencermati situasi yang terjadi di STPDN, mantan Kasad itu menuturkan telah terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah calon camat itu, sehingga nantinya malah menghasilkan calon kader yang keras tetapi tidak mengerti makna pamong. Mengenai kurikulum sebetulnya tidak ada masalah, yang salah adalah operasionalnya, ujar Rudini. Ia kemudian mencontohkan, tidak adanya pengasuh dalam setiap kelompok yang bertugas membimbing dan memberikan teladan kepada para calon. Zaman dulu ada, tapi sekarang tidak ada, makanya tidak heran kalau jadinya calon kader itu seperti preman, ujarnya.

Pada era permulaan STPDN, bahkan Rudini mencoba untuk memasukkan praktek lapangan yang berkaitan dengan pertanian, peternakan, serta perbankan. Menurut dia, calon pemimpin itu boleh keras, tetapi juga memiliki jiwa demokratis yang mengedepankan musyawarah dan komunikasi. Sekarang ini yang ada salah asuh dan main kuasa semata. Lebih jauh ia menceritakan latar belakang pembangunan STPDN yang diilhami dari pendidikan taruna di AS yang begitu patuh pada aturan, sehingga saat sang jenderal tidak berada pada posisi kewenangan yang tepat, langsung diingatkan. [Tma, Ant]

IPDN Memang Mengadopsi Sistem Pendidikan Militer


Rabu, 11 April 2007 | 19:31 WIB

Jakarta:Mantan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Feisal Tamim mengatakan bahwa sejak semula sekolah pamong praja memang di arahkan untuk mengadopsi pola pendidikan kemiliteran.
TEMPO Interaktif,

Dulu Pak Rudini berharap STPDN (kini Istitut Pemerintahan Dalam Negeri) bisa mengadopsi sitem pendidikan Polri atau AKABRI, khusus masalah disiplinnya, kata Feisal, Rabu (11/4). Menurut Feisal, pengadopsian ini bertujuan baik, hanya untuk masalah disiplin. Dalam bekerja, kata dia, sama sekali tidak ada maksud untuk memasukkan kekerasan. Dulu, kata Feisal, semua kegiatan berjalan baik di IPDN walaupun pemimpin sekolahnya dari militer. Baru pada akhir-akhir ini saja terdengar kasus kekerasan di sana. Salah satu penyebabnya, menurut Feisal, adanya ektrakulikuler yang memberi celah bagi terjadinya kekerasan. Perubahan sistem yang terjadi setelah STPDN diubah menjadi IPDN, kata Feisal, tidak dibarengi dengan perubahan budaya di sana. Ektrakurikulernya masih sama, padahal ditempat inilah kekerasan itu terjadi, tuturnya. Menurutnya, pembubaran IPDN bukanlah langkah yang tepat. Senin pekan lalu, salah seorang praja IPDN bernama Cliff Muntu tewas akibat dianiaya oleh seniornya. Kepolisian Resor Sumedang menahan tujuh mahasiswa atau praja terkait dengan aksi kekerasan terhadap Cliff, 19 tahun, asal Manado, Sulawesi Utara. Titis Setianingtyas

IPDN/STPDN Watch upaya mengingat kepentingan hajat hidup Masyarakat


- Inu Kencana Syafiie
Inu Kencana Syafiie

Kesaksian Nurani Guru Pamong


Inu Kencana Syafiie, Lektor Kepala IPDN (Institut Pemerintahan dalam Negeri), menyuarakan kesaksian yang didorong suara nurani seorang guru pamong untuk mengubah pola pendidikan di IPDN agar lebih humanis. Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran, itu berani mengambil risiko mengungkap kekerasan yang terjadi di kampus pencetak calon pamong praja itu. Inu, sosok yang memilih hidup dalam kebersahajaan. Ini Kencana, pria kelahiran Payakumbuh, 14 Juni 1952, itu mengungkap kekerasan di IPDN yang menewaskan praja asal Manado, Cliff Muntu. Demi kebenaran, Inu tidak hanya menanggung risiko kehilangan pekerjaan, bahkan juga ancaman nyawa dan keluarganya. Hal yang juga dilakoninya ketika mengungkap kematian praja Wahyu Hidayat 2003 lalu. Kala itu (2003) ia menerima layanan pesan singkat (short message service) yang berisi ancaman pembunuhan. Ancaman itu sempat ditelusuri Mabes Polri. Kemudian, ketika ia mengungkap kematian Cliff Muntu (2007), Inu diberi sanksi larangan mengajar sementara dan diperiksa tim investigasi Depdagri (8/4/2007). Intimidasi lewat SMS diterimanya, antara lain berbunyi: Guruku sayang, kenapa kau tega memfitnah kami? Bahkan pada 5 April 2007, ia sempat diusir dari ruang kuliah oleh teman sesama pengajar saat hendak mengajar mata kuliah Ilmu Pemerintahan. bahkan Depdagri dan rektorat pun mengeluarkan surat berhenti mengajar sementara untuknya. Dosen Senior IPDN itu tetap bersikukuh membeberkan berbagai perlaku menyimpang di lingkungan IPDN ke publik, setelah kematian Cliff Muntu, 20, madya praja asal Sulut, yang semula disebut pihak atasan di IPDN akibat penyakit lever. Inu dengan amat terbuka dan blak-blakan selalu meladeni wawancara dengan wartawan dari berbagai media. Ponselnya berbunyi hampir setiap saat. Seakan tak kenal rasa takut dalam membeberkan kasus kekerasan dalam IPDN, Inu membeberkan satu per satu ketidakwajaran di kampus itu pada publik. Sorotan dan

perhatian media menjadi salah satu modalnya untuk menentang arus mayoritas tak bersuara di kampus itu. Bagi Inu: Media adalah penyambung demokrasi bagi masyarakat. Biar masyarakat tahu apa yang sesungguhnya terjadi di IPDN. Tidak ada lagi takut jika masyarakat mendukung. Kasus ini harus dituntaskan sekarang atau tidak sama sekali. Ini jika kita ingin ada perubahan. Inu sangat terbuka meladeni wartawan, kendati harus menjadi warga komuter, bolakbalik Jakarta-Sumedang untuk melayani berbagai stasiun televisi. Di antaranya, ia tak takut bicara dalam acara Kupas Tuntas yang ditayangkan TransTV. Inu juga dengan senang hati datang ke Gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta, untuk memenuhi panggilan wakil rakyat yang ingin mendalami kasus kekerasan di IPDN.

Disertasi Keseriusannya untuk menjadikan IPDN lebih humanis terlihat juga dari judul disertasinyanya : Pengawasan Kinerja STPDN terhadap Masyarakat Kabupaten Sumedang. Dalam disertasi itu, disebutkan setidaknya 35 praja tewas akibat penganiaayaan selama tahun 1990-2005. Ini juga mengungkap dugaan fenomena seks bebas, penggunaan narkoba dan aborsi di lingkungan asrama IPDN. Disertasi dilengkapi data dan foto-foto mengenai kondisi IPDN, di antaranya data kasus kekerasan dan arogansi praja IPDN serta foto-foto penyiksaan sejumlah praja oleh para senior. Menurut Indah Prasetyati, 45, istri Inu: Sekarang ini bapak sibuk sekali sampai tidak ada waktu istirahat. Tapi, saya sudah biasa. Dari dulu bapak memang berusaha menyuarakan kebenaran. Sekarang, ancaman pun sudah tidak saya gubris, sudah imun. Kalau dulu, waktu bapak mengungkap kasus kematian Wahyu Hidayat, saya masih takut dan khawatir. Indah mendukung apa pa yang dilakukan suaminya. Bahkan ketiga anak mereka (Raka, Nagara, dan Feriska) juga ikut mendukung. Bagi ketiga anak itu, Inu adalah figur ayah yang jujur dan tidak mau menutup-nutupi kesalahan. Selama bapak melakukan hal yang benar, anak-anak mendukungnya, kata perempuan yang dinikahi Inu pada 1984 ini. Inu, alumnus Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Cilandak, Jakarta, itu dengan tenang menangggapi larangan mengajar yang dijatuhkan padanya. Ia malah tidak menganggapnya sebagai sanksi atau skorsing. Menurut Inu, keputusan tersebut diambil agar dia bisa mendampingi tim investigasi bekerja membongkar kematian Cliff Muntu. Jadi saya masih belum tahu apakah keputusan itu merupakan sanksi. Sekarang kan saya diminta mendampingi tim investigasi,kata Inu. Inu juga tidak terlalu berpikir akan berkiprah di mana kalau dirinya dilarang mengajar di IPDN. Tekadnya hanya satu agar jangan sampai IPDN dibubarkan. Namun, sistem pendidikannya yang harus dirombak total. Bagi Inu, mengungkap kebenaran suatu keharusan, meski nyawa taruhannya.

Inu sadar sikapnya itu bukan tanpa risiko. Ancaman via SMS dan telepon pun kerap diterimanya. Untuk mengantisipasi keadaan yang tak diinginkan dua personel kepolisian berpakaian preman ditugaskan menjaga rumahnya. Saya tidak pernah meminta pengawalan. Tapi, polisi sendiri yang mengirimkan pengawal ke rumah saya,katanya. Inu, yang berusaha mengungkap kebenaran dengan mengedepankan suara nuraninya sebagai guru pamong praja, menyikapi ancaman itu dengan bijaksana. Penulis buku 42 judul buku dan karya tulis, di antaranya Filsafat Kehidupan, Filsafat Pemerintahan, serta Ilmu Pemerintahan dan Al-Quran itu tak gentar karena ia yakin atas niat baiknya untuk mengubah pola pendidikan di IPDN agar lebih humanis. Sesakit apa pun, sekalipun diinjak dan ditindas, insan manusia semestinya tetap menyuarakan kebenaran. Inilah yang berkali-kali coba saya sampaikan lewat kuliah filsafat kepada mahasiswa IPDN. Nyatanya, mereka memang tidak pernah mau memahami, ungkap pria yang suka berdakwah di masjid ini sebagaimana dirilis Kompas 12/4/2007. Semula, Inu tidak percaya di kampus pencetak pamong itu berlangsung kekerasan. Dia itu sebelumnya enggak pernah percaya kalau ada kekerasan di IPDN, papar istrinya, Indah Prasetyati. Saat anak teman saya dipukuli sampai babak belur dan lari, ia malah menyuruhnya kembali ke barak. Barulah saat muncul kasus praja putri yang sampai tidak sadar, lalu memilih keluar dan bekerja di bengkel, dia mulai curiga. Kasusnya kok bertubi? Ini ditambah laporan tentang dugaan penganiayaan Wahyu. Dari sini dia mulai percaya. Mendalami Filsafat dan Agama Lulusan Program Magister Administrasi Publik Universitas Gajah Mada (lulus 1990), itu sudah ditinggal ibunya (meninggal) semasih duduk di SMA. Akibat kematian ibunya, Ini sempat bertanya dan menyalahkan Tuhan. Mengapa Dia tega mengambil orang yang saya kasihi? gumamnya. Akibatnya, Inu sempat lari dari Tuhan, meski tak berlangsung lama. Lalu ia sadar, ternyata bersahabat dengan Tuhan itu menyenangkan. Kemudian dalam pergumulannya, Inu banyak mempelajari ilmu filsafat dan keagamaan. Ketertarikan pada dua bidang ini kemudian dituangkannya dalam ide-ide penulisan. Inu telah menulis 42 judul buku dan karya tulis, di antaranya berjudul: Filsafat Kehidupan, Filsafat Pemerintahan, serta Ilmu Pemerintahan dan Al-Quran. Berbekal pendalaman filsafat dan keagamaan itu, Inu dan keluarganya hingga kini memilih hidup dalam kebersahajaan. Ia bersama istri dan tiga anaknya tinggal di rumah dinas yang sebetulnya merupakan jatah untuk dosen golongan II, bukan golongan IV seperti dirinya. Bepergian ke mana- mana pun dia kerap menggunakan angkutan umum. Baginya, kesederhanaan adalah sebuah pilihan hidup.

DPR Protes Dalam suara kebenaran dalam kesendiriannya di kampus IPDN, Inu boleh terhibur, karena di luar kampus ia mendapat dukungan luas. Berbagai elemen mahasiswa juga

berunjuk rasa menuntut kekerasan di IPDN dihentikan. Bahkan DPR pun ikut memprotes keras sanksi terhadapnya, karena keterbukaannya membuka kasus-kasus kekerasan mahasiswa di IPDN. Ketua FPDIP Tjahyo Kumolo kepada wartawan di Gedung DPR/MPR, menyatakan, sanksi yang dijatuhkan kepada Inu Kencana Syafiie dengan memberhentikannya dari kegiatan mengajar sekaligus sebagai PNS itu sangat berlebihan dan reaksioner. Sebagai dosen, terang dia, seharusnya Rektor IPDN dan Depdagri berterima kasih dan memberikan penghargaan, sehingga kekerasan itu bisa terbuka kepada masyarakat. Kekerasan yang terjadi di kampus IPDN akan sangat sulit dihilangkan jika sistem secara keseluruhan tidak diperbaiki. Karena itu agar tujuan pendidikan IPDN yang bertujuan menyiapkan pamong-pamong yang profesional dan bertanggungjawab itu terpenuhi, seharusnya Depdagri berani mengambil langkah revolusioner dengan mengganti semua pimpinan, pengajar, dan staf administrasi di IPDN, kata Tjahyo. Menurutnya, IPDN perlu menghentikan penerimaan mahasiswa baru dan meleburkan mahasiswa lama dengan universitas lain, karena mahasiswa IPDN yang ada sekarang sudah terkontaminasi perilaku kriminal yang dilaklukan oleh senior-senior sebelumnya. Setelah itu, baru kembali ke sistem, kurikulum, dan metode pembinaan pengajaran yang sesuai dengan asas pendidikan. Jadi, semua harus baru. Baik dari pimpinanya maupun kurikulum dan sistemnya, usul dia. Yang pasti dengan kasus kekerasan tersebut DPR akan mengevaluasi seluruh pendidikan kedinasan yang berada di bawah departemen. Supaya kekerasan ala militer itu tidak berpengaruh terhadap pendidikan tinggi yang lain, sebaiknya dari sekarang IPDN stop menerima mahasiswa baru. Sedangkan mahasiswa yang sudah ada dilanjutkanya dan jika IPDN harus ditutup, mahasiswanya dilebur ke universitas yang lain. Anggota dewan lainnya, Wakil Ketua Komisi X DPR Prof. Dr. Anwar Arifin mengatakan, IPDN harus berhenti menerima mahasiswa baru dan kasus matinya mahasiswa Cliff Muntu harus dijadikan pelajaran dan evaluasi bagi sistem pendidikan yang sesuai dengan UU Sisdiknas. Yang jelas seluruh pendidikan kedinasan di bawah departemen, selain pendidikan tentara dan polisi, harus dikembalikan ke Depdiknas, yaitu dengan memasukkan calon-calon birokrat tersebut ke universitas-universitas umum, tutur Anwar. Dijelaskannya, selama ini IPDN tidak tersentuh dengan disiplin ilmu yang lain sehingga mengakibatkan mereka menjadi arogan dan terbiasa dengan kekerasan fisik yang tidak manusiawi. Depdiknas bersama Komisi X DPR selama ini sudah membahas sekolah kedinasan yang ada dan hasilnya mengarah ke 3 opsi. Yaitu diintegrasikan dengan universitas negeri, berubah menjadi swasta, atau dibubarkan.

Meski ketiga opsi tersebut belum diputuskan, namun DPR dan Depdiknas cenderung memilih opsi yang pertama, yaitu dilebur atau diintegrasikan ke universitas negeri yang ada

Liputan6 Aktual Tajam Terpercaya 27/09/2007 12:43 Kasus IPDN Nasib Lexie Ditentukan Hari Ini Liputan6.com, Bandung: Beberapa jam lagi, nasib Lexie M. Giroth akan diputuskan majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat. Sebelumnya, Dekan Fakultas Ilmu Politik dan Pemerintahan IPDN itu diancam dua tahun penjara terkait kasus kematian praja Cliff Muntu. Adapun sekitar 20 menit lalu, hakim memvonis terdakwa lain dalam kasus itu, Iyeng Sopandi, dengan kurungan penjara delapan bulan. Sidang kasus rekayasa penyebab kematian Cliff Muntu di PN Bandung dijadwalkan dimulai pada hari ini (27/9) pukul 09.00 WIB dengan agenda pembacaan vonis. Namun, hingga pukul 11.00 WIB, persidangan belum juga dimulai. Tiga terdakwa, yaitu Lexie, Obon, dan Iyeng Sopandi, masih berada di ruang tahanan pengadilan. Dalam sidang sebelumnya, jaksa menuntut Lexie dua tahun kurungan penjara. Ia didakwa melanggar pasal berlapis dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang Kedokteran. Lexie dipersalahkan karena membuat surat pernyataan penolakan otopsi mayat Cliff dengan mengatasnamakan keluarga korban [baca: Lexie M. Giroth Dituntut Dua Tahun Penjara]. Dia juga didakwa memerintahkan penyuntikan formalin ke jenazah Cliff saat akan diterbangkan ke Manado, Sulawesi Utara. Tuduhan lain terhadapnya adalah menghalangi polisi mengusut kasus kematian Cliff. Sedangkan Obon dan Iyeng Sopandi didakwa membantu Lexie menyuntikkan formalin. Cliff adalah praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri asal Manado yang tewas, 3 April 2007. Cliff tewas setelah dianiaya sejumlah praja seniornya. Tujuh praja menjadi tersangka dan dipecat dari sekolah calon pamong tersebut. Selain menyeret dekan Lexie, kematian Cliff juga menyeret mantan Rektor IPDN I Nyoman Sumaryadi sebagai tersangka. Namun, hingga saat ini, Nyoman belum ditahan. (ANS/Tim Liputan 6 SCTV) Persidangan Lexie M. Giroth di PN Bandung. 27/09/2007 16:13 Kasus IPDN Lexie Divonis Satu Tahun Penjara Liputan6.com, Bandung: Mantan Dekan Fakultas Ilmu Politik dan Pemerintahan IPDN Lexie M. Giroth, akhirnya divonis satu tahun kurungan penjara dalam kasus kematian praja Cliff Muntu. Sedangkan dua terdakwa lain, Iyeng Sopandi dan Obon, masing-masing divonis delapan bulan dan enam bulan kurungan penjara. Demikian vonis yang dibacakan majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, Kamis (27/9) siang [baca: Nasib Lexie Ditentukan Hari Ini]. Vonis itu mengakhiri teka-teki nasib Lexie. Walau dikenai status tersangka, Lexie sempat bebas. Kini, ia harus menghitung hari-harinya di dalam penjara. Hukuman penjara selama setahun itu ganjaran terhadap Lexie karena terlibat penyuntikan formalin ke jasad Cliff Muntu dan membuat surat palsu tentang penyebab kematian praja tersebut. Sedangkan mantan rektor IPDN I Nyoman Sumaryadi, sejauh ini baru berstatus tersangka dan belum pernah ditahan.

Terdakwa Iyeng Sopandi divonis karena terbukti bersalah menyuntikkan formalin ke jasad Cliff Muntu atas perintah Lexie. Keputusan hakim itu memukul perasaan sejumlah anggota keluarga Iyeng hingga histeris. Sedangkan Obon, seorang petugas kamar jenazah dijatuhi hukuman pidana karena memberikan nama dan nomor telepon Iyeng kepada pihak IPDN.(ANS/Taufik Hidayat)

Soal IPDN/STPDN
Ramai sekali pembicaraan soal IPDN/STPDN setelah tewasnya Cliff Muntu, seorang siswa di sana, di tangan para seniornya. Kematian Cliff Muntu malah membuka kasus lama, ternyata penganiaya dalam kasus sebelumnya tidak pernah di eksekusi secara hukum alias belum menjalani masa tahanan. Kasus IPDN/STPDN ini hanya kembali memperlihatkan carut marutnya birokrasi, penegakan hukum, dan dunia pendidikan kita. Di samping itu, budaya kekerasan masih berakar dan ditoleransi. Kalau lagi iseng, silahkan tengok saja friendster page yang dimiliki mahasiswa IPDN/STPDN. Di friendster page-nya, para praja IPDN/STPDN membela diri bahwa tindak kekerasan hanya dilakukan segelintir orang alias oknum. Memang khas orang kita, oknum adalah pelarian terbaik untuk menutupi kelemahan. Kalau kejadian berulang, korbannya pun maksimal (alias kematian), tentu bukan oknum lagi penyebabnya. Apalagi melihat cuplikan rekaman yang disiarkan Metro TV (saya lihat di youtube), acara pembinaan dengan kekerasan dalam rekaman itu dilakukan tengah hari, terang benderang, di lapangan terbuka di dalam kampus. Artinya, kegiatan itu diketahui, dilihat semua orang, dan dianggap sebagai sesuatu yang biasa di sana. Ulah para senior di IPDN/STPDN ini sebetulnya adalah cerminan budaya menindas yang ada dalam diri banyak orang kita juga. Sangat umum diantara kita ketika memiliki kekuasaan sedikit saja, maka potensi menindas kepada mereka yang lebih lemah posisinya dari kita akan meningkat. Bukan cuma di IPDN/STPDN, di kampus perguruan tinggi negeri juga begitu. Senior merasa berkuasa di banding junior, banyak dosen menindas/mempersulit mahasiswa, petugas imigrasi yang meminta uang pada aplikan pembuat paspor, polisi lalu lintas menilang supir metromini, angkot atau ojek kadang tanpa alasan jelas. Rumus tentang kekuasaan sederhana, setiap mahasiswa ilmu politik tahu persis. Adagium dari Lord Acton bilang: power tends to corrupt. Dari jaman dulu hingga sekarang, kekuasaan sangat mungkin disalahgunakan. Wajah kekerasan ada dimana-mana, watak militeristik juga terpelihara. Hampir semua ormas punya sayap kekerasan dengan pemuda sebagai tulang punggungnya. Bahkan, dua organisasi Muslim terbesar di tanah air, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, punya Kokam dan Banser. Lalu, cerita tentang organisasi Pemuda Pancasila bukan lagi rahasia. Partai-partai politik juga punya sayap kekerasan, seperti PDI-P dan lain-lain. Baik berafiliasi formal dan non-formal.

Saya sendiri pernah diundang menjadi pembicara seminar yang diselenggarakan oleh siswa IPDN/STPDN di kampusnya di Jatinangor. Lupa, kalau tidak salah tahun 2003 atau 2004. Yang jelas acara itu diselenggarakan tidak lama setelah kasus tewasnya praja STPDN bernama Wahyu Hidayat. Topik seminarnya soal hubungan sipil militer. Sebagai panelis, waktu itu saya dipasangkan dengan Wakil Komandan Sesko TNI Angkatan Darat (Seskoad), yang saya lupa namanya. Penyelenggara acara ini, ya mahasiswa IPDN/STPDN. Bukan pihak rektoratnya. Saya senang hari itu datang ke sana. Saya ingin tahu juga, bagaimana kehidupan di dalamnya. Seminarnya sih masih bergaya mobilisasi, semua praja wajib hadir di aula besar IPDN/STPDN. Jadi mungkin hari itu saya bicara di depan lebih dari 1000 siswa, rasanya seperti sedang kampanye partai politik..he..he. Sepanjang interaksi saya hari itu, saya merasa bahwa mereka adalah praja/mahasiswa yang pandai. Dari cara mereka mengemukakan pertanyaan dan menanggapi kami sebagai pembicara, saya bisa meraba bahwa mereka serius belajar dan banyak membaca. Juga kritis pada TNI. Walhasil, saya tidak perlu kerja keras meyakinkan para siswa IPDN/STPDN yang notabene adalah calon birokrat sipil ini bahwa TNI itu harus dikontrol oleh pihak sipil sebagai prasyarat demokrasi yang sehat. Saya ingat moderator hari itu adalah seorang dosen muda perempuan mereka. Dari caranya menjadi moderator, mengulas dan ikut serta dalam diskusi, saya yakin dia adalah dosen yang luas bacaannya. Hingga beberapa waktu lalu, saya masih sering menerima email dari para siswa IPDN/STPDN ini. Mereka sering bertanya banyak hal, mulai kajian sosial politik hingga berkonsultasi tentang bagaimana caranya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Saya baru sadar, bahwa email-email itu sudah berhenti, mungkin mereka-mereka itu sudah lulus sekarang dan ditempatkan di daerah masing-masing. Sederhananya, saya mau bilang bahwa pendidikan di IPDN/STPDN saya rasa diperlukan. Yang harus dilakukan adalah menghilangkan elemen kekerasan. Memang kalau dibayangkan, negara seluas Indonesia membutuhkan aparat birokrasi yang cakap dan memang dididik untuk itu. Yang perlu dilakukan adalah menanamkan doktrin baru, bahwa mereka adalah birokrat pelayan masyarakat, bukan pemimpin. Birokrasi kita menakutkan, karena malah mempersulit, bukan melayani. Malah, masyakarat yang lebih sering terpaksa melayani para birokrat ini. Ada tiga tempat yang saya suka keringat dingin kalau harus datang. Pertama, kantor semacam kelurahan atau kecamatan untuk bikin kartu keluarga, KTP atau semacamnya. Kedua, tempat bikin SIM. Ketiga, kantor imigrasi. Menyebalkan. Setiap ke tempat-tempat itu, belum sampai ke sana pun yang ada dibenak saya adalah bahwa saya akan dikerjai dan dipersulit. Kalau IPDN/STPDN terutama diarahkan pada pendidikan birokrat yang kompeten dan bermental melayani, tentu baik sekali. Sepengamatan saya, ada yang salah dalam mentalitas para siswa dan lulusan IPDN/STPDN. Mereka merasa sebagai orang-orang terpilih dan calon pemimpin. Kalau terpilih, ya memang iyalah. Kan memang diseleksi, sama seperti mahasiswa di kampus negeri yang harus melalui UMPTN.

Tetapi, kalau calon pemimpin, ya jelas bukan. Yang betul, mereka adalah calon birokrat, pelayan masyarakat. Saya rasa perasaan sebagai calon pemimpin ini adalah sisa jiwa Orde Baru, dimana birokrasi dulu adalah mesin politik kekuasaan. Maka tidak heran bila birokrat dianggap sebagai pemimpin. Mungkin harus kita pahami, bahwa dalam konteks demokrasi pemimpin harus mendapat legitimasi lewat pemilihan (umum). Sementara mereka dari IPDN/STPDN ini disuplai, dijamin pekerjaannya setelah lulus di birokrasi hingga struktur pemerintahan di bawah. Salah besar kalau lalu mereka menganggap dan dianggap sebagai pemimpin, wong untuk mendapat jabatannya itu mereka tidak melalui pemilihan untuk meyakinkan apakah masyarakat menghendaki mereka jadi pemimpinnya kok. Konon kabarnya, siswa IPDN/STPDN terutama dipersiapkan menjadi camat. Camat di Indonesia adalah sayap birokrasi, tidak melalui mekanisme pemilihan umum. Dibanding Camat, para kepala desa justru lebih pantas dianggap pemimpin, karena sebagian besar mereka sekarang dipilih langsung oleh masyarakat desa. Jadi, hancurkan doktrin yang ditanamkan pada siswa IPDN/STPDN soal pemimpin ini. Juga hancurkan doktrin soal eksklusifitas. Eksklusifisme dimana-mana akan mengorbankan transparansi, dan membuat orang merasa lebih baik daripada yang di luar lingkaran mereka. Baju seragam, potongan cepak, sepatu hitam mengkilat hapuskan saja, dari sini juga mungkin rasa eksklusifisme dipelihara (walaupun ini juga susah, pasti ada kepentingan bisnis dari penyedia segala atribut baju seragam, sepatu, tas dan semacamnya untuk ribuan siswa IPDN/STPDN setiap tahunnya..he..he). Kalau masih mau pakai seragam, yah kasih celana kain hitam dan kemeja putih saja yang lebih netral. Atau pakai seragam merah putih sekalian? Karena merasa eksklusif, ada potensi siswa IPDN/STPD terlalu tinggi menilai diri mereka sendiri (yang membuncah dalam diri senior-senior brutal itu). Merasa bahwa mereka adalah trah terbaik, siap jadi pemimpin. Pinjem kata-kata si Tukul lagi: gundul mu!he..he. Kalau perlu bubarkan juga mekanisme asrama itu. Calon birokrat ya sebaiknya tinggal berbaur saja dengan masyarakat di sekitar. Beasiswa mereka toh bisa jalan terus. Sekalian, buka juga pendaftaran bagi pihak umum yang ingin belajar di IPDN/STPDN. Kajian soal pemerintahan, otonomi daerah, dan pemerintahan daerah adalah kajian umum. Program otonomi daerah yang berjalan di Indonesia adalah salah satu yang paling masif di seluruh dunia. Karena itu, lulusan perguruan tinggi yang paham soal pemerintahan daerah dan otonomi juga diperlukan oleh pihak swasta. Juga oleh pihak luar negeri yang akan berhubungan dengan pemerintah daerah. Dengan demikian, kajian IPDN/STPDN akan lebih kaya dan bisa ditujukan untuk kepentingan yang lebih luas untuk memajukan daerah, bukan hanya untuk birokrasinya. Jadi saya bersetuju bahwa IPDN/STPDN layaknya diatur oleh Depdiknas, bukan oleh Depdagri. Walaupun, untuk calon siswa IPDN/STPDN yang masuk melalui jalur seleksi Pemda, tetap bisa diberi ikatan dinas dengan Depdagri dan dipersiapkan memasuki birokrasi.

Anda mungkin juga menyukai