Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan di Indonesia telah mengalami
perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, dan 2004, serta yang
terbaru adalah kurikulum 2006.

Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial
budaya, ekonomi, dan IPTEK dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum
sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan
tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang
berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaannya pada penekanan
pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya.

Perubahan kurikulum pendidikan telah menunjukkan perbaikan dari kurikulum-kurikulum
sebelumnya. Namun hal itu tidak dibarengi dengan kemajuan kompetensi siswa yang dimiliki.
Hal ini terbukti dari posisi negara kita dalam tingkat kemajuan pendidikan masih kalah jauh
dengan negara tetangga yang notabene secara geograIis negara kita lebih luas. Logikanya,
semakin luas maka jumlah pendudukpun semakin banyak, otomatis banyak bakat yang ada
dalam setiap individu-individu bangsa Indonesia. Menurut Okta (2007), Secara peringkat.
Berdasarkan dalam laporan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk bidang pendidikan,
United Nation Educational, ScientiIic, and Cultural Organization (UNESCO), yang dirilis pada
Kamis (29/11/07) menunjukkan, peringkat Indonesia dalam hal pendidikan turun dari 58 menjadi
62 di antara 130 negara di dunia. Mau tidak mau, itu menggambarkan bahwa kualitas pendidikan
kita pun semakin dipertanyakan. Sebab, tingkat pendidikan Indonesia kian melorot.

Jika melihat Iakta ini sungguh ironis, tidak sebanding dengan Iakta atas perubahan-perubahan
yang sudah dilakukan sebanyak 7 kali yaitu pada tahun 1947, 1952, 1968, 1975, 1984, 1994,
2004, 2006. Menurut (dari di internet) negeri kita hanya mampu menjadi bangsa 'panjual
tenaga kerja murah di negeri orang. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan betapa gagalnya
dunia pendidikan di negara kita ini yang telah gagal dalam melahirkan tenaga-tenaga yang
berkualitas yang mampu bersaing dalam dunia kerja, walaupun kurikulum telah mengalami
perubahan sebanyak 7 kali atau bisa disebut berkali-kali.

ProI. Aleks Maryunus guru besar Universitas Negeri Padang menyebutkan bahwa 'selama ini
negara kita sibuk mengurusi dan membenahi dokumen tetulisnya saja. Menurutnya perubahan
kurikulum di negara kita lebih menitikberatkan pada perubahan konsep tertulisnya saja (berupa
buku-buku pelajaran dan silabus saja) tanpa mau memperbaiki proses pelaksanaannya di tingkat
sekolah. Sedangkan proses dan hasilnya tak pernah mampu dijawab oleh kurikulum pendidikan
kita.

Dari penjabaran di atas jelas terlihat bahwa perubahan kerikulum dari tahun ketahun
menunjukkan kemajuan yang cukup baik jika dilihat dari kontekstual. Namun hal itu tidak
seiring dengan kenyataan di lapangan. Keadaan pendidikan mulai saat perubahan kurikulum
pertama kali hingga saat ini, kalau boleh di bilang kurikulum Indonesia masih berjalan di tempat
artinya tidak berkembang, hal ini bisa dibuktikan dengan data yang menunjukkan peringkat
Indonesia masih berada pada No 62 dari 130 negara yang ada dan ini merupakan PR bagi
pemerintah bagaimana langkah yang harus dilakukan.

Memang benar salah satu konsep terpenting untuk maju adalah "melakukan perubahan", tentu
yang diharapkan adalah perubahan untuk menuju kearah perbaikan dan sebuah perubahan harus
selalu disertai dengan konsekuensi-konsekuensi yang sudah selayaknya di pertimbangkan agar
tumbuh kebijakan yang bijaksana.

BAB II
PERKEMBANGAN KURIKULUM DI INDONESIA

A. PERUBAHAN KURIKULUM

Perubahan kurikulum pada dasarnya memang dibutuhkan manakala kurikulum yang berlaku
(current curriculum) dipandang sudah tidak eIektiI dan tidak relevan lagi dengan tuntutan dan
perkembangan jaman dan setiap perubahan akan mengandung resiko dan konsekuensi tertentu.

Perubahan kurikulum yang berskala nasional memang kerapkali mengundang sejumlah
pertanyaan dan perdebatan, mengingat dampaknya yang sangat luas serta mengandung resiko
yang sangat besar, apalagi kalau perubahan itu dilakukan secara tiba-tiba dan dalam waktu yang
singkat serta tanpa dasar yang jelas.

Jika diamati perubahan kurikulum dari tahun 1947 hingga 2006 yang menjadi Iaktor atas
perubahan itu diantaranya: (1) menyesuaikan dengan perkembangan zaman, hal ini dapat di lihat
awal perubahan kurikulum dari rencana pelajaran 1947 menjadi rencana pelajaran terurai 1952.
Awalya hanya mengikuti atau meneruskan kurikulum yang ada kemudian dikembangkan lagi
dengan lebih memIokuskan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari. (2) kepentingan politis
semata, hal ini sangat jelas terekam dalam perubahan kurikulum 2004 (KBK) menjadi kurikulum
2006 (KTSP). Secara matematis masa aktiI kurikulum 2004 sebelum diubah menjadi kurikulum
2006 hanya bertahan selama 2 tahun. Hal ini tidak sesuai dengan perkembangan sebelum-
sebelumnya. Dalam kurun waktu yang singkat ini, kita tidak bisa membuktikan baik tidaknya
sebuah kurikulum.

Hal senada juga diungkapkan oleh Hamalik (2003: 19) menyebutkan bahwa dalam perubahan
kurikulum dipengaruhi oleh beberapa Iaktor diantaranya:
1. Tujuan IilsaIat pendidikan nasional yang dijadikan sebagai dasar untuk merumuskan tujuan
institusional yang pada gilirannya menjadi landasan merumuskan tujuan kurikulum suatu satuan
pendidikan.
2. Sosial budaya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat
3. Keadaan lingkungan (interpersonal, kultural, biokologi, geokologi).
4. Kebutuhan pembangunan POLISOSBUDHANKAM
5. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan sistem nilai dan
kemanusiaan serta budaya bangsa.

Menurut, S. Nasution (dalam Jumari (2007) menyebutkan bahwa perubahan kurikulum
mengikuti dua prosedur, yaitu Administrative approach dan grass roots approach. Administrative
approach, yaitu suatu perubahan atau pembaharuan yang direncanakan oleh pihak atasan untuk
kemudian diturunkan kepada instansi-instansi bawahan sampai kepada guru-guru, jadi Irom the
top down, dari atas ke bawah, atas inisiatiI para administrator. Yang kedua, grass roots approach,
yaitu yang dimulai dari akar, Irom the bottom up, dari bawah ke atas, yakni dari pihak guru atau
sekolah secara individual dengan harapan agar meluas ke sekolah-sekolah lain.

B. Gambaran dan Ciri-Ciri Kurikulum di Indonesia
Sebagaimana dikemukakan oleh Azwar Abdullah (2007, 243-250), gambaran dan ciri-ciri
kurikulum di Indonesia sebagai berikut :

1. Kurikulum 1947
Kurikulum yang pertama kali diberlakukan di sekolah Indonesia pada awal kemerdekaan ialah
kurikulum 1947 yang dimaksudkan untuk melayani kepentingan bangsa Indonesia. Penerbitan
UU No. 4 tahun 1950 merumuskan pula tujuan kurikulum menurut jenjang pendidikan. Sekolah
mengharuskan menyempurnakan kurikulum 1947 agar lebih disesuaikan dengan kebutuhan dan
kepentingan bangsa Indonesia.
Berikut ini ciri-ciri Kurikulum 1947 : a) siIat kurikulum Separated Subject Curriculum (1946-
1947), b) menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah, c) jumlah mata
pelajaran : Sekolah Rakyat (SR) 16 bidang studi, SMP-17 bidang studi dan SMA jurusan B-19
bidang studi, dan d) menteri pendidikan dan pengajaran : Mr. Soewandi.

2. Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 ditandai dengan pendekatan pengorganisasian materi pelajaran dengan
pengelompokan suatu pelajaran yang berbeda, yang dilakukan secara korelasional (correlated
subject curriculum), yaitu mata pelajaran yang satu dikorelasikan dengan mata pelajaran yang
lain, walaupun batas antar mata pelajaran masih terlihat jelas. Muatan materi masing-masing
mata pelajaran masih bersiIat teoritis dan belum terikat erat dengan keadaan nyata dalam
lingkungan sekitar. Pengorganisasian mata pelajaran secara korelasional itu berangsur-angsur
mengarah kepada pendekatan pelajaran yang sudah terpisah-pisah berdasarkan disiplin ilmu pada
sekolah-sekolah yang lebih tinggi. Berikut ciri-ciri kurikulum 1968 : a) siIat kurikulum
correlated subject, b) jumlah mata pelajaran SD-10 bidang studi, SMP-18 bidang studi (Bahasa
Indonesia dibedakan atas Bahasa Indonesia I dan II), SMA jurusan A-18 bidang studi, c)
penjurusan di SMA dilakukan di kelas II, dan disederhanakan menjadi dua jurusan, yaitu Sastra
Sosial Budaya dan Ilmu Pasti Pengetahuan Alam (PASPAL), dan d) Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Mashuri, SH (1968 1973).

3. Kurikulum 1975
Di dalam kurikulum 1975, pada setiap bidang studi dicantumkan tujuan kurikulum, sedangkan
pada setiap pokok bahasan diberikan tujuan instruksional umum yang dijabarkan lebih lanjut
dalam berbagai satuan bahasan yang memiliki tujuan instruksional khusus. Dalam proses
pembelajaran, guru harus berusaha agar tujuan instruksional khusus dapat dicapai oleh peserta
didik, setelah mata pelajaran atau pokok bahasan tertentu disajikan oleh guru. Metode
penyampaian satuan bahasa ini disebut prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI).

Melalui PPSI ini dibuat satuan pelajaran yang berupa rencana pelajaran setiap satuan bahasan.
Berikut ini ciri-ciri kurikulum 1975 : a) siIat kurikulum Integrated Curriculum Organization, b)
jumlah mata pelajaran berdasarkan tingkatan SD mempunyai struktur program, yang terdiri atas
9 bidang studi termasuk mata pelajaran PSPB, pelajaran ilmu alam dan ilmu hayat digabung
menjadi satu dengan nama Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Pelajaran Ilmu Aljabar dan Ilmu Ukur
digabung menjadi satu dengan nama Matematika. Jumlah mata pelajaran di SMP dan SMA
menjadi 11 bidang studi, c) penjurusan di SMA dibagi atas 3 yaitu : jurusan IPA, IPS dan
Bahasa, penjurusan dimulai di kelas I, pada permulaan semester II, dan d) Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Dr. SyariI Thayeb (1973-1978).

4. Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 pada hakikatnya merupakan penyempurnaan dari kurikulum 1975. Asumsi yang
mendasari penyempurnaan kurikulum 1975 ini adalah bahwa kurikulum merupakan wadah atau
tempat proses belajar mengajar berlangsung yang secara dinamis, perlu senantiasa dinilai dan
dikembangkan secara terus menerus sesuai dengan kondisi dan perkembangan masyarakat.
Berikut ciri-ciri kurikulum 1984 : a) siIat kurikulum content based curriculum, b) program mata
pelajaran mencakup 11 bidang studi, c) jumlah mata pelajaran di SMP 11 bidang studi, d) jumlah
mata pelajaran di SMA-15 bidang studi untuk program inti dan 4 bidang studi untuk program
pilihan, e) penjurusan di SMA dibagi atas 5 (lima) jurusan, yaitu : program A1 (ilmu Iisika),
program A2 (ilmu biologi), program A3 (ilmu sosial), program A4 (ilmu budaya), program A5
(ilmu agama), I) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ProI. Dr. Nugroho Notosusanto (1983-
1985).

5. Kurikulum 1994
Dengan mendasarkan kepada seluruh proses penyusunan kurikulum pada ketentuan-ketentuan
yuridis dan akademis di atas, maka diharapkan kurikulum 1994 telah mampu menjembatani
semua kesenjangan yang terdapat dalam dunia pendidikan di sekolah. Namun, harapan itu
sepertinya tidak terwujud sebagaimana diperlihatkan oleh sedemikian banyak dan gencarnya
keluhan pengelola pendidikan mengenai berbagai kelemahan dan kekurangan kurikulum 1994.

Adapun ciri-ciri kurikulum 1994 adalah sebagai berikut : a) siIat kurikulum objective based
curriculum, b) nama SMP dan SLTP kejuruan diganti menjadi SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama), c) mata pelajaran PSBP dan keterampilan ditiadakan, program pengajaran SD dan
SLTP disusun dalam 13 mata pelajaran, nama SMA diganti SMU (Sekolah Menengah Umum),
d) program pengajaran di SMU disusun dalam 10 mata pelajaran, e) penjurusan di SMU
dilakukan di kelas II, I) penjurusan dibagi atas tiga jurusan, yaitu jurusan IPA, IPS, dan Bahasa,
g) SMK memperkenalkan program pendidikan sistem ganda (PSG) dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan adalah ProI. Dr. Ing. Wadiman Djoyonegoro (1993-1998).

Aspek yang dikedepankan dalam kurikulum 1994 ialah terlalu padat, sehingga sangat
membebani siswa yang berpengaruh pada merosotnya semangat belajar siswa, sehingga mutu
pendidikan pun semakin terpuruk. Akibatnya adalah siswa enggan belajar lama di sekolah. Jika
sejak awal siswa dicemaskan dengan mata pelajaran yang menjadi momok di sekolah, maka
mereka akan menjadi bosan dan kegiatan belajar mengajar menjadi menyebalkan.

Selain itu, penetapan target kurikulum 1994 dinilai dan dikecam berbagai pihak antara lain
sebagai dosa teramat besar dari departemen pendidikan dan kebudayaan yang mengakibatkan
kemerosotan kualitas pendidikan secara berkesinambungan tanpa henti bahwa adanya target
kurikulum telah menjadi salah satu Iactor pemicu untuk penggantian kurikulum baru.
Kurikulum 1994 yang padat dengan beban yang telah menghambat diberlakukannya paradigma
baru pendidikan dari siswa kepada guru, yang menuntut banyak waktu untuk menyampaikan
pandangan dalam rangka pengelolaan pendidikan. Kurikulum yang padat juga melanggengkan
konsep pengajaran satu arah, dari guru murid, karena apabila murid diberikan kebebasan
mengajukan pendapat, maka diperlukan banyak waktu, sehingga target kurikulum sulit untuk
tercapai. Kesan umum dari kurikulum 1994 pada tingkat SMU, adalah jenjang sekolah ini
memberikan tekanan kuat, pada upaya mengarahkan siswa untuk melanjutkan pendidikan ke
perguruan tinggi. Praktis tidak ada ruang yang secara langsung dimaksudkan untuk menyiapkan
siswa memasuki dunia kerja, antara lain tampak dari tiadanya jam muatan lokal dan
dihapuskannya mata pelajaran keterampilan. Hal ini tampaknya berlandaskan pada isyarat pasal
3 ayat (1) PP No. 29 / 1990. yang menyatakan, 'Pendidikan menengah umum mengutamakan
persiapan siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi.

Memang, secara ideal itu sah-sah saja. Tapi dalam kenyataannya, tidak semua lulusan SMU
setiap tahun yang mengikuti UMPTN dapat diterima, hanya sekitar 10 saja yang lolos.
Sebagian, lulusan SMU memang ditampung oleh Perguruan Tinggi Swasta (PTS), tapi itu hanya
ada separuhnya. Selebihnya mengambil kursus atau terjun langsung ke masyarakat dan mencari
kerja. Padahal mereka tidak disiapkan untuk itu, kecuali dengan bekal yang diperolehnya dari
materi program pengajaran umum dan khusus. Jadi, mereka dihadapkan pada situasi antara
berenang dan tenggelam.

6. Kurikulum 2004
Harapan masyarakat terhadap kurikulum pendidikan di Indonesia, pada hakikatnya adalah
adanya komunikasi dua arah yang memungkinkan kegiatan belajar mengajar menjadi interaktiI
dan menyenangkan, baik bagi siswa maupun bagi guru. Belajar menyenangkan itulah sebenarnya
konsep pendidikan yang dapat membawa peserta didik (siswa) untuk menguasai kompetensi
akademik, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian. Harapan-harapan inilah yang
seharusnya diakomodasi di dalam penyusunan kurikulum.

Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang hanya berlaku sampai tahun 2006 di sekolah-
sekolah pada dasarnya adalah merupakan gagasan dari Kurikulum Berbasis Kemampuan Dasar
(KBKD) yang pernah diperkenalkan oleh Boediono dan Ella (1999), yang memIokuskan pada
wujud pertumbuhan dan perkembangan potensi peserta didik. KBK merupakan perangkat
rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai oleh siswa,
penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam
pengembangan kurikulum sekolah.

Berikut ini ciri-ciri kurikulum 2004 (KBK) : a) siIat kurikulum Competency Based Curriculum,
b) penyebutan SLTP menjadi SMP, c) penyebutan SMU menjadi SMA, d) program pengajaran
di SD disusun dalam 7 mata pelajaran, e) program pengajaran di SMP disusun dalam 11 mata
pelajaran, I) program pengajaran di SMA disusun dalam 17 mata pelajaran, g) penjurusan di
SMA dilakukan di kelas II, h) penjurusan dibagi atas 3 jurusan, yaitu : Ilmu Alam, Ilmu Sosial,
dan Bahasa, dan i) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ProI. H. Abdul Malik Fajar (2001-
2004).

Berhubung kurikulum 2004 yang memIokuskan aspek kompetensi siswa, maka prinsip
pembelajaran adalah berpusat pada siswa dan menggunakan pendekatan menyeluruh dan
kemitraan, serta mengutamakan proses pembelajaran dengan pendekatan kontekstual (contextual
teaching and learning atau CTL)
Dalam pelaksanaan kurikulum yang memegang peranan penting adalah guru. Guru diibaratkan
manusia dibalik senjata kosong yang tidak berpeluru.

Oleh karena itu, diperlukan kreativitas guru untuk mengisi senjata itu dan membidiknya dengan
cermat dan tepat mengenai sasaran. Keberhasilan kurikulum lebih banyak ditentukan oleh
kualitas dan kompetensi guru. Oleh karenanya, tidak berlebihan apabila dalam diskusi mengenai
'Potret Pendidikan di Indonesia dan Peran Guru Swasta, J. Drost (2002) menegaskan bahwa
materi kurikulum, terutama untuk mata pelajaran dasar, di seluruh dunia pada dasarnya sama.
Yang membedakannya adalah cara guru mengajar di depan kelas. Inti dari KBK atau kurikulum
2004 adalah terletak pada empat aspek utama, yaitu : 1) kurikulum dan hasil belajar, 2)
pengelolaan kurikulum berbasis sekolah, 3) kegiatan belajar mengajar, dan 4) evaluasi dengan
penilaian berbasis kelas.

Kurikulum dan hasil belajar memuat perencanaan pengembangan kompetensi peserta didik yang
perlu dicapai secara keseluruhan sejak lahir sampai usia 18 tahun. Kurikulum dan hasil belajar
ini memuat kompetensi, hasil belajar dan indikator dari TK (Taman Kanak-kanak) dan
Raudhatul AthIal (RA) sampai dengan kelas XII (kelas III SMA). Penilaian berbasis kelas
memuat prinsip, sasaran dan pelaksanaan penilaian berkelanjutan yang lebih akurat dan
konsisten sebagai akuntabilitas publik melalui identiIikasi kompetensi atau hasil belajar yang
telah dicapai, pernyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai, serta peta
kemajuan belajar siswa dan pelaporan. Kegiatan belajar mengajar memuat gagasan pokok
tentang pembelajaran dan pengajaran untuk mencapai kompetensi yang ditetapkan, serta
gagasan-gagasan pedagogis dan andragogis yang mengelola pembelajaran agar tidak mekanistik.

Pengelolaan kurikulum berbasis sekolah memuat berbagai pola pemberdayaan tenaga
kependidikan dan sumber daya lain untuk meningkatkan mutu hasil belajar. Pola ini dilengkapi
pula dengan gagasan pembentukan jaringan kurikulum (curriculum council), pengembangan
perangkat kurikulum, antara lain silabus, pembinaan proIessional tenaga kependidikan, dan
pengembangan sistem inIormasi kurikulum.

Peran dan tanggung jawab dalam pengelolaan kurikulum berbasis sekolah diberikan kepada
sekolah. Dinas Pendidikan Kabupaten / Kota, Dinas Pendidikan Provinsi dan Tingkat Pusat.
Peran dan tanggung jawab sekolah untuk meningkatkan komunikasi dengan berbagai pihak
untuk mensosialisasikan konsep KBK, menetapkan tahap dan administrasi KBK, menata ulang
KBK penempatan guru pada kelas secara optimal, memberdayakan semua sumber daya dan dana
sekolah, termasuk dalam melibatkan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah untuk pelaksanaan
kurikulum secara bermutu (Puskur, Balitbang Depdikbud, 2002)

7. Kurikulum 2006
Kurikulum 2006 atau yang dikenal dengan nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
merupakan kurikulum terakhir yang diberlakukan. Namun pada hakikatnya merupakan
kelanjutan dari kurikulum 2004. Sebab tidak banyak perubahan berarti yang dilakukan.
Perubahan yang tampak adalah penentuan mata pelajaran masing-masing bidang studi dengan
penjabaran aspek-aspeknya. Persoalan baru itulah yang dirasakan oleh guru menjadi beban berat.
Belum lagi soal kerepotan dan kerumitan nilai dalam proses evaluasi belajarnya.

Dengan dasar Permendiknas Nomor 22, 23 dan 24 tentang Standar Isi (SI) dan Standar
Kompetensi Lulusan (SKL) serta peraturan pelaksanaannya, maka kurikulum 2006 diberlakukan
untuk menyempurnakan kurikulum sebelumnya yang baru berusia dua tahun. Dalam
pelaksanaannya kurikulum terbaru tersebut mengalami berbagai kendala. Terutama persoalan
minimnya sosialisasi dan kesiapan sarana dan prasarana pendukung pendidikan dan terutama
sekali kesiapan guru dan sekolah untuk menyusun dan mengembangkan kurikulum sendiri.
Namun oleh Depdiknas persoalan itu diantisipasi dengan diluncurkannya panduan KTSP yang
disusun oleh BSNP. Kenyataannya sampai saat ini kurikulum 2006 itu terkesan masih dijalankan
dengan setengah hati karena berbagai kebijakan dan landasan yuridisnya belum dipenuhi secara
konsekuen oleh pemerintah.
C. Bongkar Pasang Kurikulum

Dikembangkannya berbagai uji coba kurikulum, mulai dari apresiasi atas peran swasta, seperti
penggunaan sistem modul atau sekolah pembangunan yang berorientasi pada kerja, sampai pada
uji coba sistem cara belajar siswa aktiI (CBSA), tampaknya tidak menyurutkan hasrat
pemerintah untuk selalu melakukan berbagai upaya penggantian dan uji coba kurikulum.

Kesempatan memberikan apresiasi pada peran swasta pada awalnya tampak bagus, namun pada
akhirnya setelah melihat kondisi liberatiI, pemerintah kemudian mengambil alih kendali seluruh
praktik pendidikan. Pendidikan yang tadinya liberatiI desentralistis, ditarik kembali ke semangat
deliberatiI dan sentralistis. Pihak swasta tidak lagi dipandang sebagai partner, tetapi sebagai
pesaing. Kini otonomi daerah diberlakukan seiring dengan reIormasi pemerintahan. Namun
masalah pendidikan yang diotonomikan di daerah di seluruh Indonesia, tidak lebih baik dari
sebelumnya. Timbul banyak masalah, mulai dari penyalahgunaan Dana Bantuan Operasional
(BOS) sekolah, sampai pada pengangkatan Guru Bantu dan Tenaga Honorer yang carut marut
(Susanto dan Rejeki, Kompas, 11 Juli 2005).

Ketika kurikulum 1968 dicabut dan digantikan dengan kurikulum 1975, tidak membuat praktek
pendidikan di tanah air semakin membaik. Bahkan ketika sekolah belum semua menggunakan
kurikulum 1975, mulai dirasakan, bahwa kurikulum ini sudah tidak bisa mengejar kemajuan
pesat masyarakat. Kemudian lahirlah kurikulum 1984. Sebagai tindak lanjutnya maka
pemerintah menerbitkan UU No. 2 Tahun 1989.

Undang-undang yang dihasilkan secara terencana lewat sebuah panitia penilaipun tidak lepas
dari kritik. Kurikulum 1984 kemudian dianggap sangat sarat dengan beban, lantas muncul lagi
kurikulum baru 1994 yang lebih sederhana. Lagi-lagi kepentingan politik praktis lebih menonjol
ketimbang berpijak dan berpihak pada kepentingan guru dan anak didik.

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989 pun diganti dan setelah lewat
proses yang panjang dan menuai banyak kritik, baru terealisasi pada tahun 2003. Bersamaan
dengan lahirnya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru, maka hadir pula
kurikulum baru 2004 atau kurikulum berbasis kompetensi (KBK), yang isinya memuat sejumlah
kompetensi yang harus dikuasai oleh setiap lulusan.

Dalam praktek di lapangan, jangankan KBK, di banyak daerah pedalaman Indonesia, masih ada
sekolah yang belum sempat mempraktekkan kurikulum 1994, seperti yang diungkapkan oleh dua
orang guru dari pedalaman Tapanuli Selatan Sumatera Utara, masing-masing Ridwan
Dalimunthe dan Raja Dima Siregar (Sularto, ST, Kompas, 16 Agustus 2005). Meskipun selalu
dibungkus dengan istilah penyempurnaan pergantian kurikulum, tetap tidak terhindarkan dari
kegiatan perombakan kebijakan.

Kita menghargai adanya pembenahan kurikulum yang belum sempat tersosialisasi dengan baik,
namun perlu mendapatkan pengkajian dan riset terlebih dahulu dari berbagai aspek, termasuk
memperhitungakan kelengkapan sarana persekolahan, dan kesiapan guru dan murid.
Pertimbangannya adalah apabila penggantian kurikulum tidak dibarengi dengan pembenahan
inIrastruktur dan standar pelayanan yang baik, ujung-ujungnya adalah kurikulum baru akan tetap
tidak merakyat dan membumi di dalam proses belajar mengajar. Dan praktek pendidikan secara
keseluruhan. Bahkan bisa muncul lagi kurikulum baru yang dikutak-katik oleh pejabat atau
Mendiknas yang baru. Kalau demikian adanya, maka memang Indonesia (Pemerintah) benar-
benar tidak memiliki visi dan misi yang jelas tentang arah dan tujuan pendidikan nasional.
Kecenderungannya adalah akan terbukti, bahwa rencana perubahan kurikulum yang setiap
waktu lebih bersiIat mega proyek, ketimbang kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara, yang
membutuhkan pelayanan pendidikan secara baik.

DAFTAR PUSTAKA

Bagus, andi. 2008. //andibagus.blogspot.com/2008/03/kurikulumm pendidikan- di-
indonesia.html. 20 Juli 2010.
Blog Jaringan Ilmu Penetahuan. 2010.// perkembangan kurikulum di indonesia.html. diakses 24
Juli 2010
Dwitagama, dedi. 2007. //kesadaran sejarah.blogspot.com./2007/11/kurikulum-
pendidikan-kita. Html. Diakses 20 Juli 2010.
Ephanlazok blog. 2010. //perkembangan kurikulum Indonesia dari 1947-2006.htm.diakses 23
Juli 2010
Hamalik, Oemar. 2003. Kurikulum dan pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Jumari, kang. 2009. http:// kangjumari.blogspot.com/27/12/kurikulum-di-indoonesia-
pembahuruan.html. rabu. Diakses 20 Juli 2010.
Nasution. 1999. Asas asas kurikulum. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Zamzani, saleh. 2010.//zamzanisaleh.blogspot.com/2010/03/sejarah perkembangan kurikulum
indonesia.html. 24 Juli 2010

hLLp//lndrlanlhomeblogspoLcom/2010/09/mengkrlLlslperubahankurlkulumhLml

Anda mungkin juga menyukai