Anda di halaman 1dari 12

Oleh:

Dina Fauziah (105070100111006)


Najwa Amalia (105070100111033)
Siti Susilowati (105070100111038)
Debby Soraya (105070100111055)
Aulia Hubah Malikah (105070103111008)
Yuliza Rizka Andini (105070107111005)
Khadhiroh Putri Firdaus (105070107111012)
Kariza Izzarthy Ayu A (105070107111013)
Khuswatun Hasanah (105070107111023)












A I
PENDAHULUAN

1.1 Latar elakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang berbentuk republik, terletak
di kawasan Asia Tenggara. Indonesia memiliki lebih kurang 17.000 buah pulau
dengan luas daratan 1.922.570 km
2
dan luas perairan 3.257.483 km
2
Berdasarkan
posisi geograIisnya, negara Indonesia memiliki batas-batas: Utara - Negara
Malaysia, Singapura, Filipina, Laut Cina Selatan. Selatan - Negara Australia,
Samudera Hindia. Barat - Samudera Hindia. Timur - Negara Papua Nugini, Timor
Leste, Samudera PasiIik. Secara geologis wilayah Indonesia dilalui oleh dua jalur
pegunungan muda dunia yaitu Pegunungan Mediterania di sebelah barat dan
Pegunungan Sirkum PasiIik di sebelah timur. Adanya dua jalur pegunungan
tersebut menyebabkan Indonesia banyak memiliki gunung api yang aktiI. Hal ini
juga meningkatkan potensi Indonesia untuk terkena bencana alam seperti gempa,
tsunami, banjir, dan lain sebagainya.
Disamping itu kekayaan alam yang berlimpah, jumlah penduduk yang
besar dengan penyebaran yang tidak merata, pengaturan tata ruang yang belum
tertib, masalah penyimpangan pemanIaatan kekayaan alam, keanekaragaman
suku, golongan,agama, adat dan budaya yang masih mengakar hingga saat ini dan
pengaruh globalisasi serta permasalahan sosial lainnya yang sangat kompleks,
mengakibatkan wilayah Indonesia berpotensi rawan bencana, baik bencana alam
maupun bencana yang disebabkan ulah manusia. Secara umum terdapat beberapa
peristiwa bencana yang terjadi berulang setiap tahun; bahkan saat ini peristiwa
bencana lebih sering terjadi.
Sejarah kebencanaan di Indonesia telah memberikan dampak yang cukup
signiIikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terjadinya bencana alam
tsunami Flores, Aceh-Nias dan Pangandaran; gempa Mentawai dan Yogyakarta;
erupsi gunung berapi Merapi, Semeru; banjir Jakarta, Wasior, Lampung, Jawa
Barat, Jawa Tengah dan beberapa daerah lain di luar Jawa; tanah longsor
Trenggalek, Banjarnegara, Bandung, Padang; kebakaran hutan di wilayah
Sumatera dan Kalimantan; kekeringan di wilayah Indonesia timur; wabah Ilu
burung dan HIV/AIDS; konIlik etnis Sambas, Ambon dan Poso yang terjadi di
beberapa tahun lalu merupakan potret kebencanaan di Indonesia yang
memberikan dampak negatiI terhadap hasil pembangunan. Kerugian pasca
bencana termasuk kerugian ekonomi dan banyaknya korban yang tewas,
menimbulkan gangguan terhadap stabilitas negara. Untuk itu, perlu dikembangkan
pelatihan dan penyuluhan secara intensiI kepada masyarakat tentang pentingnya
sistem peringatan dini terhadap bencana, dengan harapan dapat mengurangi
korban dan angka kerugian negara. Pemerintah pun memegang peranan penting
dalam suksesnya pengembangan sistem peringatan dini terhadap bencana alam.
Dengan memberikan perhatian lebih dan alokasi dana untuk keperluan
penanggulangan bencana alam mengingat seringnya bencana alam yang terjadi di
Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah kami kemukakan di atas, maka
rumusan masalah yang diajukan adalah sebagai berikut.
1. Apakah sistem peringatan dini bencana alama itu?
2. Bagaimana peran pemerintah terhadap peringatan dini bencana alam itu?
3. Bagaimana cara penerapan sistem peringatan dini bencana alam itu?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang kami kemukakan, maka tujuan penyusunan
makalah ini adalah.
1. Untuk mengetahui sistem peringatan dini bencana alam.
2. Untuk mengetahui peran pemerintah terhadap peringatan dini bencana
alam.
3. Untuk mengetahui langkah-langkah penerapan peringatan dini bencana
alam.
A II
KA1IAN PUSTAKA

2.1encana Alam dan Kerugian yang Ditimbulkan
Bencana Alam adalah suatu kejadian yang menimbulkan kerusakan,
penderitaan, kerugian bahkan kematian pada manusia ataupun lingkungan yang
disebabkan oleh aktivitas alam.
1. Dampak dari bencana sangat tergantung pada:
Sumber/jenis bencana : mulai dari banjir, gempa bumi hingga tumbukan
meteor besar yang berpotensi mengakhiri peradaban manusia.
2. Kemampuan untuk mencegah atau menghindari bencana: manajemen dan
deteksi dini bencana seperti pengungsian.
3. Tempat /lokasi : Aktivitas alam tidak akan menjadi bencana di daerah
tidak berpenghuni, misalnya gempa bumi di pulau tidak berpenduduk.
4. Daya tahan manusia dan lingkungan : seberapa kuat manusia dan
lingkungan menghadapi bencana (teori evolusi)
Para peneliti bencana berpendapat bahwa semua Iaktor bencana
berhubungan dengan tindakan manusia. Sebuah bencana tidak akan menjadi
bencana yang mematikan/merusakkan bila sebelum bencana dilakukan tindakan-
tindakan pencegahan atau antisipasi kemungkinan bencana. Mungkin sebagian
orang masih berpendapat bahwa bencana alam tidak dapat diprediksi, karena
hanya 'Tuhan yang tahu kapan suatu bencana alam akan terjadi.
Namun, para ahli dan mereka yang peduli dengan gejala alam tidak menyerah
sampai di titik itu. Mereka percaya bahwa sebelum bencana yang lebih besar akan
terjadi, selalu diawali gejala atau tanda bencana tersebut. Yang menjadi tantangan
terbesar adalah bagaimana mendapatkan inIormasi atau gejala bencana itu
secepatnya mungkin, lalu diinIormasikan ke masyarakat untuk melakukan
evakuasi dan sebagainya.
Kompleksnya dampak yang diakibatkan oleh suatu bencana, tidak hanya
mencakup pada kerugian Iisik material akan tetapi mencakup pula permasalahan
sosial-psikologis mereka yang menjadi korban bencana dan masyarakat yang
khawatirakan terjadi bencana yang sama. Kejadian bencana yang datang secara
tiba-tiba menimbulkan eIek serius yang tidak hanya dirasakan oleh perorangan
tetapi juga oleh seluruh masyarakat terutama yang bertempat tinggal ditempt
terjadinya bencana.
Dalam waktu yang nyaris bersamaan, Indonesia dihantam tiga bencana
sekaligus. Banjir bandang di Wasior, Papua Barat 4/10/2010, meletusnya Gunung
Merapi di Yogyakarta 26/10/2010 dan gempa-tsunami di Kepulauan Mentawai,
Sumatera Barat 30/10/2010.
Tercatat, korban tewas di Wasior mencapai 147 orang dengan kerugian
mencapai Rp. 277.925 milyar. Sementara di Yogyakarta sampai dengan
07/11/2010, jumlah korban tewas mencapai 88 jiwa dan pengungsi akibat
meletusnya Gunung merapi mencapai 60 ribu jiwa.
Di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, sampai dengan 06/11/2010,
jumlah korban tewas mencapai 449 jiwa dan 298 orang dinyatakan hilang. Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, sebanyak 7 desa rusak
parah, 517 rumah rusak berat dan 204 rumah rusak ringan serta 22.595 orang
mengungsi.
Lebih dari itu, biaya korbanan tersebut harus dibayar dengan
meningkatnya jumlah orang miskin. Di Kabupaten Sleman, Yogkarta misalnya.
Dengan jumlah penduduk sebanyak 1.285.315 jiwa (BPS, 2010), maka
pascabencana jumlah orang miskin berpotensi meningkat dari 295.366 jiwa
(22,98) menjadi 337.015 jiwa (26,22) pada akhir 2010 nanti.
Sementara di Kabupaten Mentawai, dengan jumlah penduduk 126.837
jiwa (BPS, 2010), dan jumlah pegungsi mencapai 22.595 jiwa, maka dapat
dipastikan jumlah penduduk yang mendadak miskin mencapai 17,8 dari total
penduduk. Ditambah akses yang tertutup dan peluang masyarakat untuk dapat
melakukan kegiatan ekonomi.

2.2Sistem Peringatan Dini dan Penanggulangan encana di Indonesia
Beberapa dasar hukum penanggulangan bencana
1. UU Nomor 23/1992 tentang kesehatan.
2. Keputusan Presiden Nomor : 3/2001 tentang Badan Kordinasi Nasional
Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PB-P).
3. Kepmenkes Nomor : 979/2001 tentang Protap Pelayanan Kesehatan
Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi.
4. Kepses. Bakornas PB-P Nomor : 2/2001 tentang Pedoman Umum
Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi.
5. UU. No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana
Upaya penanggulangan bencana (tindakan preventiI, tanggap darurat dan
rehabilitasi) sebagaimana termaktub dalam UU. No. 24/2007 tentang
Penanggulangan Bencana belum berjalan eIektiI.
Tindakan preventiI terhadap bencana alam misalnya simulasi gempa dan tsunami
yang mestinya secara regular dilakukan, malah berjalan 43 ,3/ 411 tergantung
keinginan dan musiman. Dengan kata lain, 'hangat-hangat kotoran ayam.
EIektiIitas penanggulangan bencana alam tentu mengurangi dampak
ikutan karena bencana. Justru dampak ikutan akibat bencana inilah yang harus
diantisipasi oleh pemerintah daerah. Bencana alam meski tak bisa diprediksi,
tetapi bisa diantisipasi. Dalam konteks ini, parah tidaknya dampak bencana
tergantung dari respons kita. Dengan demikian, maka sebenarnya masyarakat
bukan jatuh miskin karena bencana alam. Tetapi miskin karena kita tidak mampu
merespons bencana alam dengan baik.
Indonesia menempati peringkat kedua dalam daItar jumlah korban tewas
terbanyak akibat bencana alam di Asia-PasiIik. Data tersebut tercantum di laporan
"The Asia PaciIic Disaster Report 2010" yang disusun oleh Komisi Ekonomi dan
Sosial PBB untuk kawasan Asia dan PasiIik (ESCAP) dan Badan PBB Urusan
Strategi Internasional untuk Penanggulangan Bencana (UNISDR). Dipublikasikan
Selasa, 26 Oktober 2010, ini merupakan kali pertama PBB menyusun laporan
khusus mengenai bencana alam di Asia-PasiIik.
Laporan itu, seperti yang dipaparkan di laman ESCAP, merinci daItar
negara di Asia PasiIik yang mengalami bencana alam selama periode 1980-2009.
Bencana alam itu baik berupa, banjir, kekeringan, letusan gunung berapi, tanah
longsor, dan lain-lain. Indonesia menempati posisi keempat dalam jumlah kasus
bencana alam yakni berkisar 312 kasus.
Namun, berdasarkan peringkat jumlah korban tewas terbanyak, Indonesia
menempati posisi kedua, di bawah Banglades. PBB mendata sedikitnya terdapat
191.164 jiwa yang tewas akibat bencana alam di Indonesia selama 1980-2009.
Di Indonesia, lebih sering, kampanye melalui pendidikan dan kebijakan struktural
terjadi saat bencana baru saja terjadi. Namun, Irekuensi dan tingkat
'kesiagaannya perlahan semakin menurun.
Contohnya, rencana Departemen Pendidikan Nasional untuk memasukkan
kurikulum pendidikan bencana di SD hingga SMP pada tahun 2011 di Propinsi
Bengkulu, Sumatera Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, Bali, Maluku, Papua dan
Nusa Tenggara Timur (KominIo-Newsroom, 11/1/2010), kini tak kedengaran
gaungnya.
2.3Sistem Peringatan Dini dan Penanggulangan encana di Negara Lain
Gempa dan tsunami kembali mengguncang Negeri Sakura`, Jumat
(11/3/2011). Gempa berkekuatan 9 skala Richter ini telah membuat Jepang
lumpuh dan memicu tsunami setinggi 4-10 meter. Meski gempa ini tercatat
sebagai gempa paling dahsyat di Jepang dalam 140 tahun terakhir, korban jiwa
justru paling banyak disebabkan oleh sapuan gelombang tsunami, bukan karena
gempa. Kantor Berita Kyodo, Minggu (13/3/2011) melaporkan, korban jiwa
mencapai lebih dari 2.000 orang.
Melihat kengerian gempa dan tsunami di Jepang yang berulang-ulang
ditayangkan di televisi, kita diingatkan kembali tentang berbagai bencana di
Indonesia. Pada Oktober 2010 lalu, tiga bencana alam datang beruntun: banjir di
Wasior Papua, gempa dan tsunami di Mentawai, dan letusan Merapi di
Yogyakarta. Banjir Wasior menewaskan sedikitnya 100 orang, 431 orang
meninggal dalam gempa dan tsunami di Mentawai, dan letusan Gunung Merapi
menelan 114 orang korban.
Sebelumnya, gempa berkekuatan 5,9 skala Richter juga mengguncang DI
Yogyakarta dan sekitarnya, Sabtu (27/5/2006). Tercatat 3.098 korban tewas
(Kompas, 28/05/2006). Yang paling parah tentu saja gempa bumi dan tsunami di
Aceh (26/12/2004) yang menewaskan 230.000 orangsepertiganya anak-anak.
Melihat angka-angka itu, sekilas kita bisa membandingkan
kekuatan/kualitas bencana dan korban yang ditimbulkannya, di Indonesia dan
Jepang. Coba bayangkan, apa jadinya jika gempa 9 skala Richter itu
mengguncang Indonesia?
Mengutip Kompas (12/03/2011), karena sadar bahwa negaranya selalu
diguncang gempa, pemerintah Jepang selalu memberikan pelatihan rutin bagi
warga dalam menghadapi bencana itu. Masyarakat Jepang, dari berbagai lapisan,
rajin melakukan pelatihan menghadapi bencana (gempa). Mereka juga
mempersiapkan tas atau ransel berisi perlengkapan dan peralatan lengkap. Alat-
alat penyelamatan gempa pun dengan mudah bisa dibeli di toko swalayan.
Upaya membangun kesadaran bencana telah terbukti sukses di Jepang.
Setelah Gempa Kobe pada 1995, setahun kemudian Departemen Pendidikan
Jepang menerbitkan dua laporan tentang manajemen bencana yang menyebutkan
pentingnya pendidikan bencana di sekolah, diikuti dengan menerbitkan buku
panduan tentang pendidikan bencana pada 1998 (Shiroshita, Kawata, dan Collins,
2007).
Dukungan pemerintah pusat dan daerah pada pendidikan bencana dan
kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan bencana mendorong
terlaksananya pendidikan bencana sejak 1995.
Perhatian mereka tidak hanya melalui pendidikan, tetapi juga melalui
penelitian dan publikasi. Sejak 1975-1994, ada 11 paper yang memuat judul
'pendidikan bencana. Sejak gempa Kobe 1995 hingga kini, ada 239 makalah
yang diterbitkan.

A III
PEMAAHASAN

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Terletak diantara
dua benua yakni Australia dan Asia. Serta diapit oleh dua samudera yakni
Samudera Hindia dan Samudera PasiIik. Secara geograIis letak Indonesia berada
pada pertemuan antara dua lempeng benua yang siIatnya dinamis dan sangat
rawan bencana. Karena pergerakan lempeng tersebut dapat memicu terjadinya
gempa. Selain itu letak Indonesia yang termasuk dalam cincin api gugusan
gunung api aktiI di bawah permukaan laut makin membesarkan peluang
terjadinya bencana di Indonesia.
Keberadaan perairan di Indonesia yang sangat luas juga menjadi masalah
tersendiri. Karena banyaknya air di sekitar Indonesia maka Banjir atau bahkan
Tsunami sangat potensial terjadi di Indonesia. Dan usai semua bencana tersebut
terjadi akan ada korban jiwa, korban hilang, dan korban luka-luka. Yang selamat
pun harus rela jadi miskin mendadak karena seluruh harta bendanya raib. Mereka
pun harus tinggal di barak pengungsian dan sangat rawan tekena penyakit pasca
bencana akibat tinggal di barak pengungsian tersebut. Kesemuanya ini berimbas
pada lumpuhnya roda ekonomi di lokasi bencana untuk sementara waktu dan
tentunya dapat mengganggu stabilisasi negara.
Sayangnya semua potensi bahaya dan akibat yang ditimbulkkannya ini
tidak diimbangi dengan langkah preventiI yang baik dari pemerintah. Di
Indonesia, ketidaksiagaan terhadap bencana terus berlangsung. Minimnya
pelatihan pada tim penyelamat, minimnya dukungan sumber daya manusia,
khususnya dari elit politik dan pemerintah, berkontribusi pada ketidaksiagaan
terhadap bencana. Hal ini diperkuat dengan data dari "The Asia PaciIic Disaster
Report 2010" yang disusun oleh Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk kawasan
Asia dan PasiIik (ESCAP) dan Badan PBB Urusan Strategi Internasional untuk
Penanggulangan Bencana (UNISDR) yang menunjukkan bahwa Indonesia
menempati peringkat kedua dalam daItar jumlah korban tewas terbanyak akibat
bencana alam (191.164) di Asia-PasiIik periode 19980-2009. Padahal Indonesia
menempati posisi keempat dalam jumlah kasus bencana alam yakni berkisar 312
kasus.
Manajemen menjadi kunci kegagalan atau keberhasilan kesiapan bencana
dan pemulihan setelah bencana. Manajemen bencana yang eIektiI bisa dimulai
dengan inisiatiI pemerintah untuk mengajak warganya melakukan tindakan
preventiI.
Berdasarkan pengamatan selama ini, kita lebih banyak melakukan
kegiatan pasca bencana berupa respons gawat darurat dan pemulihan secara Iisik
daripada kegiatan pra bencana dan pemulihan mind set warga terhadap langkah
antisipasi bencana yang baik. Padahal, apabila kita memiliki sedikit perhatian
terhadap kegiatan-kegiatan pra bencana, kita dapat mereduksi jumlah korban serta
kerugian yang mungkin timbul ketika bencana. Dan kita tidak terus-menerus
harus memulai semua dari awal. Dengan tindakan preventiI, korban bencana akan
lebih siap menghadapi bencana dan lebih cepat bangkit setelah bencana usai.
Peran pemerintah dalam langkah penanggulangan pra/pasca bencana
sangatlah penting. Mengingat pemerintah memiliki tanggung jawab untuk
melindungi warganya dan juga wewenang untuk membuat sistem peringatan dini
dan langkah preventiI lainnya. Kegiatan-kegiatan pada tahap pra bencana erat
kaitannya dengan istilah mitigasi bencana yang merupakan upaya untuk
meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Migasi tersebut meliputi:
1. Penilaian bahaya guna mengidentiIikasi populasi dan aset yang terancam,
serta tingkat ancaman. Penilaian ini memerlukan pengetahuan tentang
karakteristik sumber bencana, probabilitas kejadian bencana, serta data
kejadian bencana di masa lalu. Tahapan ini menghasilkan Peta Potensi
Bencana yang sangat penting untuk merancang kedua unsur mitigasi lainnya
2. Peringatan untuk memberi peringatan kepada masyarakat tentang bencana
yang akan mengancam (seperti bahaya tsunami yang diakibatkan oleh gempa
bumi, aliran lahar akibat letusan gunung berapi, dsb). Sistem peringatan
didasarkan pada data bencana yang terjadi sebagai peringatan dini serta
menggunakan berbagai saluran komunikasi untuk memberikan pesan kepada
pihak yang berwenang maupun masyarakat. Peringatan terhadap bencana
yang akan mengancam harus dapat dilakukan secara cepat, tepat dan
dipercaya.
3. Persiapan, Dilakukan jika langkah migasi pertama dan kedua telah dilakukan.
Karena langkah migasi ini memerlukan inIormasi tentang daerah yang peling
rawan bencana serta inIormasi tentang sistem peringatan dini untuk
mengetahui kapan harus melakukan evakuasi dan kapan saatnya kembali
ketika situasi telah aman.
Kesemua langkah tersebut membutuhkan kerja sama serta kepedulian
masyarakat dan pemerintah daerah. Pemerintah daerah dengan otonominya serta
pemahamannya berperan sangat penting untuk dapat menentukan langkah-
langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak akibat bencana. Selain
merupakan tujuan dari otonomi, pelibatan masyarakat dalam penanggulangan
bencana dapat mengurangi ongkos ekonomi dan sosial yang muncul di masa
datang. Dengan partisipasi ini masyarakat menjadi lebih mandiri dalam merespons
bencana.
Partisipasi masyarakat dengan demikian adalah cara strategis sekaligus
ruang dinamis masyarakat untuk melakukan konsolidasi sosial bagi terciptanya
kemandirian dalam merespons bencana alam. Sehingga dapat meminimalisir
akibat yang ditimbulkan dari bencana tersebut.
Selain langkah-langkah pencegahan melalui migasi bencana,
sesungguhnya antisipasi bencana alam dapat dilakukan melalui membangun
kesadaran tanggap bencana. Pendidikan merupakan salah satu cara terbaik untuk
menciptakan kesadaran bencana untuk menuju tanggap bencana yang lebih baik.
Pendidikan usia dini adalah strategi untuk menumbuhkan kesadaran dan
komitmen masyarakat. Ini adalah momen penting perubahan untuk memberikan
ruang inisiatiI lokal lebih luas untuk membangun kesadaran dan kesiagaan
terhadap bencana.
Mengubah pola pikir masyarakat bisa dimulai pada usia anak-anak karena
proses belajar kognitiI dan praktis masih sangat responsiI. Pendidikan bencana
mempersiapkan mereka untuk menjadi sumber daya yang baik di masa depan
dengan memungkinkan mereka belajar tentang pengetahuan ilmiah dan teknis,
dan ketrampilan komunikasi dalam situasi genting dan penuh risiko.
Indonesia tidak berbeda jauh dengan Jepang. Keduanya merupakan negara
dengan potensi bencana tinggi. Hanya saja mitigasi bencana, manajemen bencana,
dan kesadaran bencana di Indonesia masih belum sebaik di Jepang. Bencana
sesungguhnya tidak bisa dihindari namun bisa diantisipasi agar kerugian yang
ditimbulkan tidak terlalu banyak. Hal yang paling sederhana dan mendasar, bisa
dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui pendidikan bencana. Pendidikan
bencana menjadi penting untuk memberikan pemahaman awal untuk
mempersiapkan diri jika bencana alam datang sewaktu-waktu.

Anda mungkin juga menyukai