1.1 Latar elakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang berbentuk republik, terletak di kawasan Asia Tenggara. Indonesia memiliki lebih kurang 17.000 buah pulau dengan luas daratan 1.922.570 km 2 dan luas perairan 3.257.483 km 2 Berdasarkan posisi geograIisnya, negara Indonesia memiliki batas-batas: Utara - Negara Malaysia, Singapura, Filipina, Laut Cina Selatan. Selatan - Negara Australia, Samudera Hindia. Barat - Samudera Hindia. Timur - Negara Papua Nugini, Timor Leste, Samudera PasiIik. Secara geologis wilayah Indonesia dilalui oleh dua jalur pegunungan muda dunia yaitu Pegunungan Mediterania di sebelah barat dan Pegunungan Sirkum PasiIik di sebelah timur. Adanya dua jalur pegunungan tersebut menyebabkan Indonesia banyak memiliki gunung api yang aktiI. Hal ini juga meningkatkan potensi Indonesia untuk terkena bencana alam seperti gempa, tsunami, banjir, dan lain sebagainya. Disamping itu kekayaan alam yang berlimpah, jumlah penduduk yang besar dengan penyebaran yang tidak merata, pengaturan tata ruang yang belum tertib, masalah penyimpangan pemanIaatan kekayaan alam, keanekaragaman suku, golongan,agama, adat dan budaya yang masih mengakar hingga saat ini dan pengaruh globalisasi serta permasalahan sosial lainnya yang sangat kompleks, mengakibatkan wilayah Indonesia berpotensi rawan bencana, baik bencana alam maupun bencana yang disebabkan ulah manusia. Secara umum terdapat beberapa peristiwa bencana yang terjadi berulang setiap tahun; bahkan saat ini peristiwa bencana lebih sering terjadi. Sejarah kebencanaan di Indonesia telah memberikan dampak yang cukup signiIikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terjadinya bencana alam tsunami Flores, Aceh-Nias dan Pangandaran; gempa Mentawai dan Yogyakarta; erupsi gunung berapi Merapi, Semeru; banjir Jakarta, Wasior, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah dan beberapa daerah lain di luar Jawa; tanah longsor Trenggalek, Banjarnegara, Bandung, Padang; kebakaran hutan di wilayah Sumatera dan Kalimantan; kekeringan di wilayah Indonesia timur; wabah Ilu burung dan HIV/AIDS; konIlik etnis Sambas, Ambon dan Poso yang terjadi di beberapa tahun lalu merupakan potret kebencanaan di Indonesia yang memberikan dampak negatiI terhadap hasil pembangunan. Kerugian pasca bencana termasuk kerugian ekonomi dan banyaknya korban yang tewas, menimbulkan gangguan terhadap stabilitas negara. Untuk itu, perlu dikembangkan pelatihan dan penyuluhan secara intensiI kepada masyarakat tentang pentingnya sistem peringatan dini terhadap bencana, dengan harapan dapat mengurangi korban dan angka kerugian negara. Pemerintah pun memegang peranan penting dalam suksesnya pengembangan sistem peringatan dini terhadap bencana alam. Dengan memberikan perhatian lebih dan alokasi dana untuk keperluan penanggulangan bencana alam mengingat seringnya bencana alam yang terjadi di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah kami kemukakan di atas, maka rumusan masalah yang diajukan adalah sebagai berikut. 1. Apakah sistem peringatan dini bencana alama itu? 2. Bagaimana peran pemerintah terhadap peringatan dini bencana alam itu? 3. Bagaimana cara penerapan sistem peringatan dini bencana alam itu?
1.3 Tujuan Berdasarkan rumusan masalah yang kami kemukakan, maka tujuan penyusunan makalah ini adalah. 1. Untuk mengetahui sistem peringatan dini bencana alam. 2. Untuk mengetahui peran pemerintah terhadap peringatan dini bencana alam. 3. Untuk mengetahui langkah-langkah penerapan peringatan dini bencana alam. A II KA1IAN PUSTAKA
2.1encana Alam dan Kerugian yang Ditimbulkan Bencana Alam adalah suatu kejadian yang menimbulkan kerusakan, penderitaan, kerugian bahkan kematian pada manusia ataupun lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas alam. 1. Dampak dari bencana sangat tergantung pada: Sumber/jenis bencana : mulai dari banjir, gempa bumi hingga tumbukan meteor besar yang berpotensi mengakhiri peradaban manusia. 2. Kemampuan untuk mencegah atau menghindari bencana: manajemen dan deteksi dini bencana seperti pengungsian. 3. Tempat /lokasi : Aktivitas alam tidak akan menjadi bencana di daerah tidak berpenghuni, misalnya gempa bumi di pulau tidak berpenduduk. 4. Daya tahan manusia dan lingkungan : seberapa kuat manusia dan lingkungan menghadapi bencana (teori evolusi) Para peneliti bencana berpendapat bahwa semua Iaktor bencana berhubungan dengan tindakan manusia. Sebuah bencana tidak akan menjadi bencana yang mematikan/merusakkan bila sebelum bencana dilakukan tindakan- tindakan pencegahan atau antisipasi kemungkinan bencana. Mungkin sebagian orang masih berpendapat bahwa bencana alam tidak dapat diprediksi, karena hanya 'Tuhan yang tahu kapan suatu bencana alam akan terjadi. Namun, para ahli dan mereka yang peduli dengan gejala alam tidak menyerah sampai di titik itu. Mereka percaya bahwa sebelum bencana yang lebih besar akan terjadi, selalu diawali gejala atau tanda bencana tersebut. Yang menjadi tantangan terbesar adalah bagaimana mendapatkan inIormasi atau gejala bencana itu secepatnya mungkin, lalu diinIormasikan ke masyarakat untuk melakukan evakuasi dan sebagainya. Kompleksnya dampak yang diakibatkan oleh suatu bencana, tidak hanya mencakup pada kerugian Iisik material akan tetapi mencakup pula permasalahan sosial-psikologis mereka yang menjadi korban bencana dan masyarakat yang khawatirakan terjadi bencana yang sama. Kejadian bencana yang datang secara tiba-tiba menimbulkan eIek serius yang tidak hanya dirasakan oleh perorangan tetapi juga oleh seluruh masyarakat terutama yang bertempat tinggal ditempt terjadinya bencana. Dalam waktu yang nyaris bersamaan, Indonesia dihantam tiga bencana sekaligus. Banjir bandang di Wasior, Papua Barat 4/10/2010, meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta 26/10/2010 dan gempa-tsunami di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat 30/10/2010. Tercatat, korban tewas di Wasior mencapai 147 orang dengan kerugian mencapai Rp. 277.925 milyar. Sementara di Yogyakarta sampai dengan 07/11/2010, jumlah korban tewas mencapai 88 jiwa dan pengungsi akibat meletusnya Gunung merapi mencapai 60 ribu jiwa. Di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, sampai dengan 06/11/2010, jumlah korban tewas mencapai 449 jiwa dan 298 orang dinyatakan hilang. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, sebanyak 7 desa rusak parah, 517 rumah rusak berat dan 204 rumah rusak ringan serta 22.595 orang mengungsi. Lebih dari itu, biaya korbanan tersebut harus dibayar dengan meningkatnya jumlah orang miskin. Di Kabupaten Sleman, Yogkarta misalnya. Dengan jumlah penduduk sebanyak 1.285.315 jiwa (BPS, 2010), maka pascabencana jumlah orang miskin berpotensi meningkat dari 295.366 jiwa (22,98) menjadi 337.015 jiwa (26,22) pada akhir 2010 nanti. Sementara di Kabupaten Mentawai, dengan jumlah penduduk 126.837 jiwa (BPS, 2010), dan jumlah pegungsi mencapai 22.595 jiwa, maka dapat dipastikan jumlah penduduk yang mendadak miskin mencapai 17,8 dari total penduduk. Ditambah akses yang tertutup dan peluang masyarakat untuk dapat melakukan kegiatan ekonomi.
2.2Sistem Peringatan Dini dan Penanggulangan encana di Indonesia Beberapa dasar hukum penanggulangan bencana 1. UU Nomor 23/1992 tentang kesehatan. 2. Keputusan Presiden Nomor : 3/2001 tentang Badan Kordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PB-P). 3. Kepmenkes Nomor : 979/2001 tentang Protap Pelayanan Kesehatan Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi. 4. Kepses. Bakornas PB-P Nomor : 2/2001 tentang Pedoman Umum Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi. 5. UU. No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana Upaya penanggulangan bencana (tindakan preventiI, tanggap darurat dan rehabilitasi) sebagaimana termaktub dalam UU. No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana belum berjalan eIektiI. Tindakan preventiI terhadap bencana alam misalnya simulasi gempa dan tsunami yang mestinya secara regular dilakukan, malah berjalan 43 ,3/ 411 tergantung keinginan dan musiman. Dengan kata lain, 'hangat-hangat kotoran ayam. EIektiIitas penanggulangan bencana alam tentu mengurangi dampak ikutan karena bencana. Justru dampak ikutan akibat bencana inilah yang harus diantisipasi oleh pemerintah daerah. Bencana alam meski tak bisa diprediksi, tetapi bisa diantisipasi. Dalam konteks ini, parah tidaknya dampak bencana tergantung dari respons kita. Dengan demikian, maka sebenarnya masyarakat bukan jatuh miskin karena bencana alam. Tetapi miskin karena kita tidak mampu merespons bencana alam dengan baik. Indonesia menempati peringkat kedua dalam daItar jumlah korban tewas terbanyak akibat bencana alam di Asia-PasiIik. Data tersebut tercantum di laporan "The Asia PaciIic Disaster Report 2010" yang disusun oleh Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk kawasan Asia dan PasiIik (ESCAP) dan Badan PBB Urusan Strategi Internasional untuk Penanggulangan Bencana (UNISDR). Dipublikasikan Selasa, 26 Oktober 2010, ini merupakan kali pertama PBB menyusun laporan khusus mengenai bencana alam di Asia-PasiIik. Laporan itu, seperti yang dipaparkan di laman ESCAP, merinci daItar negara di Asia PasiIik yang mengalami bencana alam selama periode 1980-2009. Bencana alam itu baik berupa, banjir, kekeringan, letusan gunung berapi, tanah longsor, dan lain-lain. Indonesia menempati posisi keempat dalam jumlah kasus bencana alam yakni berkisar 312 kasus. Namun, berdasarkan peringkat jumlah korban tewas terbanyak, Indonesia menempati posisi kedua, di bawah Banglades. PBB mendata sedikitnya terdapat 191.164 jiwa yang tewas akibat bencana alam di Indonesia selama 1980-2009. Di Indonesia, lebih sering, kampanye melalui pendidikan dan kebijakan struktural terjadi saat bencana baru saja terjadi. Namun, Irekuensi dan tingkat 'kesiagaannya perlahan semakin menurun. Contohnya, rencana Departemen Pendidikan Nasional untuk memasukkan kurikulum pendidikan bencana di SD hingga SMP pada tahun 2011 di Propinsi Bengkulu, Sumatera Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, Bali, Maluku, Papua dan Nusa Tenggara Timur (KominIo-Newsroom, 11/1/2010), kini tak kedengaran gaungnya. 2.3Sistem Peringatan Dini dan Penanggulangan encana di Negara Lain Gempa dan tsunami kembali mengguncang Negeri Sakura`, Jumat (11/3/2011). Gempa berkekuatan 9 skala Richter ini telah membuat Jepang lumpuh dan memicu tsunami setinggi 4-10 meter. Meski gempa ini tercatat sebagai gempa paling dahsyat di Jepang dalam 140 tahun terakhir, korban jiwa justru paling banyak disebabkan oleh sapuan gelombang tsunami, bukan karena gempa. Kantor Berita Kyodo, Minggu (13/3/2011) melaporkan, korban jiwa mencapai lebih dari 2.000 orang. Melihat kengerian gempa dan tsunami di Jepang yang berulang-ulang ditayangkan di televisi, kita diingatkan kembali tentang berbagai bencana di Indonesia. Pada Oktober 2010 lalu, tiga bencana alam datang beruntun: banjir di Wasior Papua, gempa dan tsunami di Mentawai, dan letusan Merapi di Yogyakarta. Banjir Wasior menewaskan sedikitnya 100 orang, 431 orang meninggal dalam gempa dan tsunami di Mentawai, dan letusan Gunung Merapi menelan 114 orang korban. Sebelumnya, gempa berkekuatan 5,9 skala Richter juga mengguncang DI Yogyakarta dan sekitarnya, Sabtu (27/5/2006). Tercatat 3.098 korban tewas (Kompas, 28/05/2006). Yang paling parah tentu saja gempa bumi dan tsunami di Aceh (26/12/2004) yang menewaskan 230.000 orangsepertiganya anak-anak. Melihat angka-angka itu, sekilas kita bisa membandingkan kekuatan/kualitas bencana dan korban yang ditimbulkannya, di Indonesia dan Jepang. Coba bayangkan, apa jadinya jika gempa 9 skala Richter itu mengguncang Indonesia? Mengutip Kompas (12/03/2011), karena sadar bahwa negaranya selalu diguncang gempa, pemerintah Jepang selalu memberikan pelatihan rutin bagi warga dalam menghadapi bencana itu. Masyarakat Jepang, dari berbagai lapisan, rajin melakukan pelatihan menghadapi bencana (gempa). Mereka juga mempersiapkan tas atau ransel berisi perlengkapan dan peralatan lengkap. Alat- alat penyelamatan gempa pun dengan mudah bisa dibeli di toko swalayan. Upaya membangun kesadaran bencana telah terbukti sukses di Jepang. Setelah Gempa Kobe pada 1995, setahun kemudian Departemen Pendidikan Jepang menerbitkan dua laporan tentang manajemen bencana yang menyebutkan pentingnya pendidikan bencana di sekolah, diikuti dengan menerbitkan buku panduan tentang pendidikan bencana pada 1998 (Shiroshita, Kawata, dan Collins, 2007). Dukungan pemerintah pusat dan daerah pada pendidikan bencana dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan bencana mendorong terlaksananya pendidikan bencana sejak 1995. Perhatian mereka tidak hanya melalui pendidikan, tetapi juga melalui penelitian dan publikasi. Sejak 1975-1994, ada 11 paper yang memuat judul 'pendidikan bencana. Sejak gempa Kobe 1995 hingga kini, ada 239 makalah yang diterbitkan.
A III PEMAAHASAN
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Terletak diantara dua benua yakni Australia dan Asia. Serta diapit oleh dua samudera yakni Samudera Hindia dan Samudera PasiIik. Secara geograIis letak Indonesia berada pada pertemuan antara dua lempeng benua yang siIatnya dinamis dan sangat rawan bencana. Karena pergerakan lempeng tersebut dapat memicu terjadinya gempa. Selain itu letak Indonesia yang termasuk dalam cincin api gugusan gunung api aktiI di bawah permukaan laut makin membesarkan peluang terjadinya bencana di Indonesia. Keberadaan perairan di Indonesia yang sangat luas juga menjadi masalah tersendiri. Karena banyaknya air di sekitar Indonesia maka Banjir atau bahkan Tsunami sangat potensial terjadi di Indonesia. Dan usai semua bencana tersebut terjadi akan ada korban jiwa, korban hilang, dan korban luka-luka. Yang selamat pun harus rela jadi miskin mendadak karena seluruh harta bendanya raib. Mereka pun harus tinggal di barak pengungsian dan sangat rawan tekena penyakit pasca bencana akibat tinggal di barak pengungsian tersebut. Kesemuanya ini berimbas pada lumpuhnya roda ekonomi di lokasi bencana untuk sementara waktu dan tentunya dapat mengganggu stabilisasi negara. Sayangnya semua potensi bahaya dan akibat yang ditimbulkkannya ini tidak diimbangi dengan langkah preventiI yang baik dari pemerintah. Di Indonesia, ketidaksiagaan terhadap bencana terus berlangsung. Minimnya pelatihan pada tim penyelamat, minimnya dukungan sumber daya manusia, khususnya dari elit politik dan pemerintah, berkontribusi pada ketidaksiagaan terhadap bencana. Hal ini diperkuat dengan data dari "The Asia PaciIic Disaster Report 2010" yang disusun oleh Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk kawasan Asia dan PasiIik (ESCAP) dan Badan PBB Urusan Strategi Internasional untuk Penanggulangan Bencana (UNISDR) yang menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat kedua dalam daItar jumlah korban tewas terbanyak akibat bencana alam (191.164) di Asia-PasiIik periode 19980-2009. Padahal Indonesia menempati posisi keempat dalam jumlah kasus bencana alam yakni berkisar 312 kasus. Manajemen menjadi kunci kegagalan atau keberhasilan kesiapan bencana dan pemulihan setelah bencana. Manajemen bencana yang eIektiI bisa dimulai dengan inisiatiI pemerintah untuk mengajak warganya melakukan tindakan preventiI. Berdasarkan pengamatan selama ini, kita lebih banyak melakukan kegiatan pasca bencana berupa respons gawat darurat dan pemulihan secara Iisik daripada kegiatan pra bencana dan pemulihan mind set warga terhadap langkah antisipasi bencana yang baik. Padahal, apabila kita memiliki sedikit perhatian terhadap kegiatan-kegiatan pra bencana, kita dapat mereduksi jumlah korban serta kerugian yang mungkin timbul ketika bencana. Dan kita tidak terus-menerus harus memulai semua dari awal. Dengan tindakan preventiI, korban bencana akan lebih siap menghadapi bencana dan lebih cepat bangkit setelah bencana usai. Peran pemerintah dalam langkah penanggulangan pra/pasca bencana sangatlah penting. Mengingat pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melindungi warganya dan juga wewenang untuk membuat sistem peringatan dini dan langkah preventiI lainnya. Kegiatan-kegiatan pada tahap pra bencana erat kaitannya dengan istilah mitigasi bencana yang merupakan upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Migasi tersebut meliputi: 1. Penilaian bahaya guna mengidentiIikasi populasi dan aset yang terancam, serta tingkat ancaman. Penilaian ini memerlukan pengetahuan tentang karakteristik sumber bencana, probabilitas kejadian bencana, serta data kejadian bencana di masa lalu. Tahapan ini menghasilkan Peta Potensi Bencana yang sangat penting untuk merancang kedua unsur mitigasi lainnya 2. Peringatan untuk memberi peringatan kepada masyarakat tentang bencana yang akan mengancam (seperti bahaya tsunami yang diakibatkan oleh gempa bumi, aliran lahar akibat letusan gunung berapi, dsb). Sistem peringatan didasarkan pada data bencana yang terjadi sebagai peringatan dini serta menggunakan berbagai saluran komunikasi untuk memberikan pesan kepada pihak yang berwenang maupun masyarakat. Peringatan terhadap bencana yang akan mengancam harus dapat dilakukan secara cepat, tepat dan dipercaya. 3. Persiapan, Dilakukan jika langkah migasi pertama dan kedua telah dilakukan. Karena langkah migasi ini memerlukan inIormasi tentang daerah yang peling rawan bencana serta inIormasi tentang sistem peringatan dini untuk mengetahui kapan harus melakukan evakuasi dan kapan saatnya kembali ketika situasi telah aman. Kesemua langkah tersebut membutuhkan kerja sama serta kepedulian masyarakat dan pemerintah daerah. Pemerintah daerah dengan otonominya serta pemahamannya berperan sangat penting untuk dapat menentukan langkah- langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak akibat bencana. Selain merupakan tujuan dari otonomi, pelibatan masyarakat dalam penanggulangan bencana dapat mengurangi ongkos ekonomi dan sosial yang muncul di masa datang. Dengan partisipasi ini masyarakat menjadi lebih mandiri dalam merespons bencana. Partisipasi masyarakat dengan demikian adalah cara strategis sekaligus ruang dinamis masyarakat untuk melakukan konsolidasi sosial bagi terciptanya kemandirian dalam merespons bencana alam. Sehingga dapat meminimalisir akibat yang ditimbulkan dari bencana tersebut. Selain langkah-langkah pencegahan melalui migasi bencana, sesungguhnya antisipasi bencana alam dapat dilakukan melalui membangun kesadaran tanggap bencana. Pendidikan merupakan salah satu cara terbaik untuk menciptakan kesadaran bencana untuk menuju tanggap bencana yang lebih baik. Pendidikan usia dini adalah strategi untuk menumbuhkan kesadaran dan komitmen masyarakat. Ini adalah momen penting perubahan untuk memberikan ruang inisiatiI lokal lebih luas untuk membangun kesadaran dan kesiagaan terhadap bencana. Mengubah pola pikir masyarakat bisa dimulai pada usia anak-anak karena proses belajar kognitiI dan praktis masih sangat responsiI. Pendidikan bencana mempersiapkan mereka untuk menjadi sumber daya yang baik di masa depan dengan memungkinkan mereka belajar tentang pengetahuan ilmiah dan teknis, dan ketrampilan komunikasi dalam situasi genting dan penuh risiko. Indonesia tidak berbeda jauh dengan Jepang. Keduanya merupakan negara dengan potensi bencana tinggi. Hanya saja mitigasi bencana, manajemen bencana, dan kesadaran bencana di Indonesia masih belum sebaik di Jepang. Bencana sesungguhnya tidak bisa dihindari namun bisa diantisipasi agar kerugian yang ditimbulkan tidak terlalu banyak. Hal yang paling sederhana dan mendasar, bisa dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui pendidikan bencana. Pendidikan bencana menjadi penting untuk memberikan pemahaman awal untuk mempersiapkan diri jika bencana alam datang sewaktu-waktu.