Anda di halaman 1dari 11

TATA SUSUNAN RAKYAT DI INDONESIA 1.

Persekutuan Hukum Van Vollenhoven dalam orasinya pada tanggal 2 Oktober 1901 menegaskan, bahwa untuk mengetahui hukum, maka adalah terutama perlu diselidiki pada waktu apa pun dan di daerah mana juga pun, sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum, di mana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu hidup sehari-hari. Apabila hukum adat hingga kini masih terus hidup, bahkan maju terus menuju kepada kehidupan sendiri meskipun berpuluh-puluh tahun mendapat rintangan, tantangan dan ancaman-ancaman pelbagai rupa terutama pada jaman kolonial sebelum tahun 1928 maka segala sesuatu itu disebabkan oleh kekuatan mempertahankan serta kekuatan hidup dari badan-badan persekutuan hukum Indonesia sendiri. Ter Haar dalam "Asas-asas dan susunan hukutn adat Indonesia" halaman 15-16, menegaskan sebagai berikut: "Di seluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat jelata, terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia lahir dan bathin. Golongan ini mempunyai pengurus sendiri, harta benda sendiri, milik keduniawian milik gaib. Golongan-golongan demikianlah yang bersifat persekutuan hukum. Jadi persekutuan hukum itu merupakan kesatuan-kesatuan yang mempunyai tata susunan yang teratur dan kekal serta memiliki pengurus sendiri dan kekayaan sendiri, baik kekayaan materiil maupun kekayaan yang immateriil Contoh-contoh: Famili di Minangkabau = persekutuan hukum, sebab memiliki: a. Tata-susunan yang tetap, yaitu terdiri atas beberapa bagian yang disebut "rumah" atau 'jurai", selanjutnya jurai ini terdiri atas beberapa nenek dengan anak-anaknya laki-laki dan perempuan. b. Pengurus sendiri, yaitu yang diketuai oleh seorang penghulu andiko, sedangkan jurai dikepalai oleh seorang tungganai atau mamak kepala-waris. c. Harta pusaka sendiri yang diurus oleh penghulu andiko. Desa di Jawa = persekutuan hukum, sebab memiliki: a. tata-susunan yang tetap. b. pengurus sendiri c. harta kekayaan sendiri Di samping itu mempunyai pula wilayah sendiri serta bertindak sebagai kesatuan terhadap dunia luar dan tidak mungkin desa itu dibubarkan.

2. Struktur Persekutuan Hukum Untuk memperoleh gambaran yang terang tentang struktur persekutuanpersekutuan hukum yang terdapat di seluruh kepulauan Indonesia ini, maka terlebih dahulu harus dimengerti serta dipahami arti serta pengaruh faktor-faktor teritorial dan genealogis dalam timbulnya persekutuan-persekutuan yang bersangkutan. Faktor teritorial, yaitu faktor terikat pada suatu daerah tertentu, ternyata merupakan faktor yang mempunyai peranan yang terpenting dalam tiap timbulnya persekutuan hukum. Faktor genealogis, yaitu faktor yang melandaskan kepada pertalian darah pertalian suatu keturunan, dalam kenyataannya tidak menduduki peranan yang penting dalam timbulnya suatu persekutuan hukum Menurut dasar tata-susunannya, maka struktur persekutuan-persekutuan hukum di Indonesia ini dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: a. Genealogic (berdasar pertalian suatu keturunan). b. Teritorial (berdasar lingkungan daerah) Persekutuan genealogis, apabila seseorang menjadi anggota persekutuan tergantung daripada pertanyaan, apakah orang itu masuk suatu keturunan yang sama. Dalam hal ini ada 3 macam dasar pertalian keturunan sebagai berikut: a. Pertalian darah menurut garis bapak (patrilineal), seperti pada suku Batak, Nias, Sumba. b. Pertalian darah menurut garis ibu (matrilineal), seperti di Minangkabau. c. Pertalian darah menurut garis ibu dan bapak (parental), seperti pada suku Jawa, Sunda, Aceh, Dayak; di sini untuk menentukan hak-hak dan kewajiban seseorang, maka famili dari pihak bapak adalah sama artinya dengan famili dari pihak ibu. Persekutuan teritorial, apabila keanggotaan seseorang tergantung daripada bertempat tinggal di dalam lingkungan daerah persekutuan itu atau tidak. Ada 3 jenis persekutuan hukum teritorial vaitu: a. Persekutuan desa: Apabila ada segolongan orang terikat pada satu tempat kediaman; juga apabiia di dalamnya termasuk dukuh-dukuh yang terpencil yang tidak berdiri sendiri, sedang para pejabat pemerintahan desa boleh dikatakan semuanya bertempat tinggal di dalam pusat kediaman itu. Contoh: desa di Jawa dan di Bali. b. Persekutuan daerah: Apabila di dalam suatu daerah tertentu terletak beberapa desa yang

masing-masing mempunyai tata-susunan dan pengurus sendiri-sendiri yang sejenis, berdiri sendiri-sendiri tetapi semuanya merupakan bagian bawahan dari daerah; daerah memiliki harta-benda dan menguasai hutan dan rimba di antara atau dikeliling tanah-tanah yang ditanami dan tanah-tanah yang ditinggalkan penduduk desa itu. Contoh: Kuria di Angkola dan Mandailing yang mempunyai hutan-hutan di dalam daerahnya. Marga di Sumatera Selatan dengan dusun-dusun di dalam daerahnya. c. Perserikatan (beberapa kampung). Apabila beberapa persekutuan kampung yang terletak berdekatan mengadakan permufakatan untuk memelihara kepentingan-kepentingan bersama, misalnya akan mengadakan pengairan Dari ketiga jenis tersebut di atas, yang semuanya berlandaskan pada faktor teritorial, persekutuan desa-lah yang menjadi pusat pergaulan hidup sehari-hari. Dalam waktu yang lampau, pada saat belum ada fasilitas lalu-lintas seperti sekarang ini, memang masih dapat diketemukan beberapa contoh dari kedua jenis persekutuan hukum dimaksud di atas di beberapa daerah sebagai berikut: a. Persekutuan genealogis di Gayo (Aceh Selatan); orang Gayo sernula hanya mengenal ikatan keturunan saja (merupakan clan), tetapi lambat laun mereka mulai mengenal ikatan daerah juga. b. Persekutuan teritorial terdapat di Aceh (Gampong, meunasah); di Jawa, Bali, Lombok, Madura (Desa); di Sumatera Selatan (dusun); di Sumatera Timur, di Sulawesi Selatan, di Minahasa dan di Ambon. Pembedaan penduduk dalam beberapa golongan, terdapat di kebanyakan lingkungan hukum adat. Hanya asas penggolongan-penggolongannya yang di satu daerah dengan yang lain tidak sama. Dalam garis besarnya prinsip penggolongan disebagian besar daerahdaerah adalah sebagai berikut: a. Termasuk pekarangan. b. Termasuk golongan kedua pemilik pekarangan saja. c. Termasuk golongan ketiga orang-orang yang tidak memiliki tanah atau pekarangan. Contoh: Di Jawa, tata-susunan penduduknya dibeda-bedakan dalam penggolongan sebagai berikut: a. Golongan pertama Orang-orang yang membuka tanah, orang-orang keturunan para pembuka desa/tanah, pada umumnya orang-orang yang memiliki tanah-tanah golongan pertama-pemilik sawah/ladang/tegalan dengan

asal; mereka ini disebut orang-orang baku. Bahkan dikebanyakan desa termasuk golongan pertama ini juga orangorang yang memiliki perkebunan, sawah serta pekarangan, meskipun bukan keturunan para pembuka desa; mereka ini disebut pribumi, sikep, gogol kuli kenceng. b. Golongan kedua Orang-orang yang hanya memiliki pekarangan atau rumah dan tegalan saja; mereka ini disebut lindung indung, kuli gundul. c. Golongan ketiga Orang-orang yang tidak memiliki pekarangan atau tanah, melainkan yang bertempat tinggal di pekarangan orang lain; mereka ini disebut penumpang, numpang. 3. Lingkaran Hukum Adat Atau Lingkungan Hukum Adat Van Vollenhoven dalam "Adatrecht I" menyebut suatu daerah di dalam daerah mana garis-garis besar, corak dan sifatnya hukum adat yang berlaku di situ seragam "rechtskring ", yang kalau disalin dalam bahasa Indonesia menjadi lingkaran-hukum atau ada juga yang menyalin dengan lingkungan hukum. Di dalam bukunya tersebut di atas itu Van Vollenhoven membagi-bagi seluruh daerah Indonesia dalam 19 lingkaran hukum sebagai berikut: 1) Aceh 2) Tanah Gayo - Alas dan Batak beserta Nias. 3) Daerah Minangkabau beserta Mentawai. 4) Sumatera Selatan. 5) Daerah Melayu (Sumatera-Timur, Jambi, Riau). 6) Bangka dan Belitung. 7) Kalimantan. 8) Minahasa. 9) Gorontalo. 10) Daerah Toraja. 11) Sulawesi Selatan. 12) Kepulauan Ternate. 13) Maluku, Ambon. 14) Irian. 15) Kepulauan Timor 16) Bali dan Lombok (beserta Sumbawa Barat). 17) Jawa-Tengah dan Timur (beserta Madura). 18) Daerah-daerah Swapraja (Surakarta dan Yogyakarta). 19) Jawa-Barat.

Tiap lingkungan hukum tersebut di atas dapat dibagi-bagi lagi dalam kukuban-kukuban hukum, seperti Jawa-Barat yang terbagi atas kukuban-kukuban hukum: Jakarta Raya- Banten -Priangan - Cirebon 4. Tata Susunan Persekutuan Hukum Van Vollenhoven dalam bukunya "Adatrecht I " menguraikan dengan panjang lebar keadaan tata-susunan persekutuan-persekutuan hukum dari masingmasing lingkaran hukum, sedangkan Ter Haar dalam bukunya "Beginselen en stelsel van het Adatrecht" menguraikan keadaan tata-susunan persekutuanpersekutuan hukum menurut berbagai-bagai bentuk yang didapati pada berbagaibagai susunan rakyat di seluruh daerah Indonesia. Dari uraian-uraian kedua sarjana tersebut di atas, dapat diketemukan garisgaris ataupun dasar-dasar umum sebagai berikut: a. Segala badan persekutuan hukum ini dipimpin oleh Kepala-kepala rakyat. b. Sifat dan susunan pimpinan itu erat hubungannya dengan sifat serta susunan tiap-tiap jenis badan persekutuan hukum yang bersangkutan. Di daerah Tapanuli: Persekutuan daerah disebut negeri, di sebelah Selatan disebut kuria, sedangkan di Padanglawas disebut 1uhas Di daerah Minangkabau: Di sini pun tersusun secara organis, yaitu pimpinan terdiri dari perwakilan fungsional, pimpinan bersifat representatif. Persekutuan hukum disebut "nagari". Nagari terdiri atas famili-famili yang masing-masing dikepalai oleh seorang "penghulu andiko", yakni laki-laki tertua dari jurai (=bagian famili) yang tertua pula; sedangkan tiap jurai ini diketuai oleh orang tua-tuanya sendiri yang bernama mamak kepala waris atau tungganai Di Pulau-pulau Ambon dan Uliasser: Para famili yang di daerah ini disebut "ruma" atau "tau" dipimpin oleh seorang kepala famili; beberapa famili terikat dalam satu golongan famili yang besar (clan) yang dikepalai oleh seorang kepala golongan besar. Di pulau Bali: Desa di Bali merupakan persekutuan teritorial Warga sesuatu desa disebut krama desa, kanoman dan sebagainya, sebuatan yang sering berubah-ubah. Di Jawa Tengah dan Timur: Desa merupakan persekutuan teritorial serta dalam kenyataannya merupakan suatu dataran tempat tinggal ("woonkom") dengan padukuhanpadukuhan (=kelompok beberapa rumah yang berdiri sendiri). Kepala desa disebut lurah, kuwu, bekel atau petinggi yang dalam melakukan tugasnya sehari-

hari didampingi oleh perabot desa. Dan perabot desa ini terdiri atas: kamituwo = wakil kepala. carik = panitera kebayan = pesuruh modin, lebe, alim, ketib = petugas dalam keagamaan. jogo-boyo = petugas dalam kepolisian

5. Sifat Pimpinan Kepala-Kepala Rakyat Kehidupan sehari-hari di dalam lingkungan badan-badan persekutuan hukum seperti diuraikan di atas berada di bawah pimpinan Kepala-kepala Rakyat yang bertugas memelihara jalannya hukum adat sebagaimana mestinya.

Aktivitas kepala rakyat pada pokoknya meliputi 3 hal sebagai berikut: a. Tindakan-tindakan mengenai urusan tanah berhubung dengan adanya pertalian yang erat antara tanah dan persekutuan yang menguasai tanah itu. b. Penyelenggaraan hukum sebagai usaha untuk mencegah adanya pelanggaran hukum; supaya hukum dapat berjalan sebagaimana mestinya (pembinaan secara preventif). c. Menyelenggarakan hukum sebagai pembetulan hukum setelah hukum itu dilanggar (pembinaan secara repressif). Arti bantuan kepala rakyat Arti penting dari bantuan kepala rakyat dalam melakukan perbuatanperbuatan hukum itu seperti dalam perkawinan, jual/beli dan sebagainya adalah, bahwa perbuatan hukum itu terang serta tidak melanggar hukum adat. Kewajiban kepala rakyat dalam menyelenggarakan hukum adat itu adalah sepenuhnya memperhatikan adanya perubahan-perubahan pertumbuhanpertumbuhan hukum adat, memperhatikan lahirnya kebutuhan-kebutuhan baru, adanya perubahan-perubahan keadaan, timbulnya perasaan-perasaan hukum baru berhubung dengan kebutuhan hukum baru. Kepala rakyat sebagai hakim perdamaian desa Apabila ada perselisihan antara teman-teman sedesa apabila ada perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat, maka kepala rakyat bertindak untuk memulihkan perdamaian adat, untuk memulihkan keseimbangan di dalam suasana desa, untuk memulihkan hukum. Arti keputusan kepala rakyat Tiap perbuatan kepala rakyat, baik yang berupa tindakan secara konkrit maupun yang berupa penolakan untuk bertindak, terhadap sesuatu hal yang

merupakan tindakan pencegahan pelanggaran hukum (pembinaan hukum secara preventif) ataupun yang merupakan tindakan memulihkan hukum (pembinaan hukum secara repressif), sifat suatu keputusan, suatu ketetapan darimana kita dapat menarik kesimpulan tentang berlakunya sesuatu peraturan hukum adat. Demokrasi di suasana desa Kepala Rakyat dalam menjalankan tugasnya selalu bermusyawarah dengan teman-temannya yang ikut duduk dalam pemerintahan desa, bahkan dalam banyak hal ia bermusyawarah di rapat desa dengan para warga desa yang berhak ikut bermusyawarah dalam hal-hal yang tertentu. 6. Suasana Tradisional Masyarakat Desa Persekutuan desa sebagai suatu kesatuan hidup bersama ("levensgemeenschap") bercorak yang terpenting sebagai berikut: a. Religieus Bersifat kesatuan batin, orang segolongan merasa satu dengan golongan seluruhnya, bahkan seorang individu dalam persekutuan itu merasa dirinya hanya sebagai suatu bagian saja dari alam lingkungan hidupnya, tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia gaib serta tidak ada pemisahan antara berbagai macam lapangan hidup, seperti kehidupan manusia, kehidupan arwah-arwah dari nenek moyang dan kehidupan makhluk-makhluk yang lain. b. Kemasyarakatan atau komunal Hidup bersama di dalam masyarakat tradisional Indonesia bercorak kemasyarakatan, bercorak komunal Suasana tradisional di masyarakat desa bersifat gotong royong atau tolong-menolong. Bantuan yang diberikan itu dengan sendirinya mengikat, artinya, siapa telah menerima sesuatu bantuan dari seseorang, maka terhadap orang itu, jika tiba waktunya, ia harus memberikan bantuan serupa itu pula c. Demokratis "Suasana demokratis di dalam Kesatuan Masyarakat Hukum adalah selaras dengan sifat komunal dan gotong-royong dari pada kehidupan masyarakat Indonesia di mana kepentingan bersama wajib lebih diutamakan daripada hak-hak dan kepentingan-kepentingan perseorangan. Suasana demokratis di dalam kehidupan masyarakat adat ditandai serta dijiwai oleh asas-asas Hukum Adat yang mempunyai nilai universal, yakni asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum dan asas permusyawaratan dan perwakilan sebagai sistem pernerintahan. Pamong Desa yang diketuai oleh Lurah dalam menjalankan kekuasaan umum desa selalu melakukan musyawarah dengan para warga desa di BalaiDesanya sebelum rnengambil keputusan untuk melakukan sesuatu tindakan.

7. Perubahan-Perubahan Di Dalam Suasana Desa Tata susunan serta suasana masyarakat desa pada jaman yang lampau yang berdasarkan kepada adat-istiadat itu, kemudian mengalami perubahanperubahan karena pengaruh tata administrasi kerajaan-kerajaan di berbagai daerah di Indonesia. Pada zaman pra-kolonial di daerah kerajaan-kerajaan Para kerajaan meliputi seluruh lingkungan desa di dalam kerajaan masingmasing Raja bersemayam di istana di Ibukota Negara; sekitar raja adalah para famili raja ("putro" dan "sentono dalem") dan para pegawai kerajaan yang tertinggi. Yang mempengaruhi tata kehidupan desa sebagai persekutuan hukum khususnya desa-desa di sekeliling ibukota kerajaan adalah yang berikut: a. Penggantian kepala desa dengan seorang pegawai kerajaan. b. Tanah desa diambil dan diurus oleh pegawai kerajaan. c. Dalam pemberian pilungguh kepada famili raja atau pegawai kerajaan, tidak diperhatikan sama sekali batas-batas desa-desa yang tersangkut. Pada zaman pemerintah kolonial Belanda Tata administrasi kerajaan-kerajaan di berbagai kepulauan Indonesia lambat laun diganti dengan tata administrasi pemerintahan kolonial Belanda. a. Yang merusak ialah misalnya yang didapat di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Makasar dan lain sebagainya di mana persekutuan desa sebagai persekutuan hukum menjadi lenyap. b. Di luar kota-kota besar pengaruh yang menekankan penduduk desa untuk mempererat kehidupannya dalam persekutuan hukum sangat terasa, sebab pemerintah kolonial Belanda menganggap dirinya sebagai pengganti para raja c. Sejak tahun 1930 pemerintah kolonial melakukan politik hukum yang hendak memberi kesempatan kepada hukum adat untuk berkembang dengan pesatnya. Pada zaman Republik Indonesia Dalam suasana Republik Indonesia yang merdeka maka tentang masalah tata administrasi pemerintahan, khususnya tentang pemerintahan daerah, desa, marga, nagari dan lain sebagainya tetap dianggap sebagai sendi negara, karena tetap merupakan daerah otonom yang terbawah diperkuat dan disempurnakan serta didinamisir supaya dengan begitu Negara dapat mengalami kemajuan. Peradilan desa tetap dihormati; dalam Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951 hak kekuasaan yang telah diberikan kepada hakim-hakim perdamaian desa sebagaimana tercantum dalam pasal 3.a. R.O. tidak sedikit pun juga dikurangi. Hukum adat yang hidup dalam masyarakat ini, sudah barang tentu dipengaruhi juga oleh perkembangan masyarakat itu sendiri ke arah modernisasi.

HUKUM PERORANGAN

1. Subyektum Yuris Dalam hukum adat di samping manusia juga dikenal badan hukum sebagai subyek hukum. Badan-badan hukum yang ada ialah antara lain desa, suku, nagari, wakaf dan akhir-akhir ini juga yayasan. Hal ini ditetapkan dalam Lembaran Negara ("Staatsblad") tahun 1927 nomor 91 pasal 1 (periksa juga pasal 3),. Di pulau Bali didapat pula badan-badan hukum adat seperti sekaha subak, sekaha banjar yang berarti perserikatan subak, perserikatan banjar. Dalam masyarakat adat rupa-rupanya diakui juga sebagai subyektum yuris pada budak dan hamba setelah perbudakan dan perhambaan ini dilarang oleh pemerintah kolonial, maka masalah budak dan hamba sebagai subyektum yuris ini dengan sendirinya lenyap pula dalam masyarakat sehari-hari. (Van Vollenhoven "Het Adatrecht van Nederland-Indie" jilid II halaman 545). 2. Manusia Sebagai Subyektum Yuris Meskipun pada prinsipnya semua orang dalam hukum adat diakui mempunyai wenang-hukum (Djojodiguno memakai istilah "kecakapan berhak") yang sama, tetapi dalam kenyataannya di beberapa daerah terdapat perkecualianperkecualian sebagai berikut: a. Di Jawa Tengah dalam tahun 1934-1938 di dalam beberapa desa, hanyalah orang lakilaki saja yang berhak menjadi kepala desa. b. Di Minangkabau orang perempuan tidak berhak menjadi penghulu-andiko atau mamak-kepala-waris. Ciri-ciri yang bagaimanakah yang menentukan sescorang sudah dewasa atau belum? Menurut Profesor Soepomo dalam bukunya tersebut di atas, seseorang sudah dianggap dewasa dalam hukum adat, apabila ia antara lain sudah: a. Kuwat gawe (dapat/mampu bekerja sendiri). Cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan serta mempertanggungjawabkan sendiri segala-galanya itu. b. Cakap mengurus harta bendanya serta lain keperluan sendiri. Raad van Justitie (Pengadilan Tinggi), Jakarta dalam keputusannya tertanggal 16 Oktober 1908 menetapkan khusus bagi kaum wanita untuk dapat dianggap "cakap menyatakan kehendaknya sendiri ("mondigheid") sebagai

berikut: a. Umur 15 tahun b. Masak untuk hidup sebagai isteri ("geslachts rijp - heid") c. Cakap untuk melakukan perbuatan-perbuatan sendiri. 3. Badan Hukum Sebagai Subyektum Yuris Wakaf Ada pendapat yang mengkaitkan perbuatan hukum yang menimbulkan wakaf itu dengan tujuan-tujuan atau pun maksud-maksud religieus. Dalam adat yang sering terlihat adalah dua macam wakaf sebagai berikut: a. Mencadangkan suatu pekarangan atau sebidang tanah untuk masjid atau langgar; bahkan jika perlu disertai dengan tanah pertanian yang berada di sekelilingnya guna memberi kesempatan kepada para pejabat mesjid/langgar untuk memungut hasilnya guna mengongkosi penghidupannya beserta keluarganya, dan juga disertai dengan buku-buku qur'an untuk dipakai di masjid atau langgar itu. b. Menentukan sebagian dari harta-benda yang dimiliki sebagai benda yang tidak dapat dijual demi kepentingan keturunannya yang berhak memungut penghasilannya. Lembaga hukum "wakaf' ini asalnya dari hukum Islam. Oleh karenanya, maka pelaksanaannya juga terikat oleh syarat-syarat yang ditetapkan oleh hukum Islam seperti yang berikut: 1) Yang membuat wakaf harus mempunyai hak penuh (menurut hukum adat) atas apa yang diinginkan akan di-wakaf-kan. 2) Benda yang di-wakaf-kan harus ditunjuk dengan terang dan maksud serta tujuannya yang tidak bertentangan/dilarang agama, harus dijelaskan. 3) Mereka yang memberikan wakaf harus disebut dengan terang. 4) Maksudnya harus tetap. 5) Yang menerima wakaf harus menerimanya (kabul). Yayasan Masyarakat membutuhkan juga suatu badan hukum yang tidak terikat oleh syarat-syarat hukum Islam. Badan hukum yang demikian ini adalah "yayasan" dan koperasi. Yayasan merupakan badan hukum yang melakukan kegiatan dalam bidang sosial. Yayasan demikian ini dapat dibentuk dengan akta pembentukan. Koperasi Koperasi adalah perkumpulan di mana keluar-masuknya anggota diizinkan

secara leluasa.Tujuan koperasi adalah meningkatkan kesejahteraan para anggotanya secara gotong-royong. Usahanya lazimnya di bidang perekonornian.

Anda mungkin juga menyukai