Anda di halaman 1dari 9

Ketahuilah Bahwa Musik itu haram hukumnya,

Maraknya Musik, Bagaimanakah Menurut Islam?


Pandangan al-Quran Dan as- Sunnah Allah Subhanahu wataala berfirman, artinya, Dan di antara manusia (ada) yang mempergunakan lahwul hadits untuk menyesat-kan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu bahan olok-olokan. (QS. Luqman: 6). Sebagian besar mufassir berko-mentar, yang dimaksud dengan lahwul hadits dalam ayat tersebut adalah nyanyian. Hasan al-Basri berkata, Ayat itu turun dalam masalah musik dan lagu. Allah Subhanahu wataala berfirman kepada setan, artinya, Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu. Maksudnya dengan lagu (nyanyian) dan musik. RasulullahShallallahu alaihi wasallam telah bersabda, Kelak akan ada dari umatku beberapa kaum yang menghalalkan zina, sutera, minum-an keras dan musik. (HR. al-Bukhari dan Abu Daud) Dengan kata lain, akan datang suatu masa, ketika beberapa golongan dari umat Islam mempercayai bahwa zina, memakai sutera asli, minum-minuman keras, dan musik hukumnya halal, padahal semua itu adalah haram. Adapun yang dimaksud dengan musik di sini adalah segala sesuatu yang menghasilkan bunyi dan suara yang indah serta menyenangkan. Seperti kecapi, gendang, rebana, seruling, dan berbagai alat musik modern yang kini sangat banyak dan beragam. Bahkan termasuk di dalamnya jaros (lonceng, bel, klentengan). Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda, Lonceng adalah nyanyian setan. (HR. Muslim) Di masa dahulu orang-orang hanya mengalungkan klentengan pada leher binatang. Hadits di atas menunjukkan betapa dibencinya suara bel tersebut. Penggunaan lonceng juga berarti menyerupai orang-orang nasrani. Lonceng bagi mereka merupakan suatu yang prinsip dalam aktivitas gereja. Imam Syafii dalam kitabnya al- Qadha berkata, Nyanyian adalah kesia-siaan yang dibenci, bahkan menyerupai perkara batil. Barangsiapa memperba-nyak nyanyian, maka dia adalah orang dungu, syahadat (kesaksiannya) tidak dapat diterima. Nyanyian di Masa Kini: Kebanyakan lagu dan musik pada saat ini manggung di berbagai pesta juga dalam tayangan televisi dan siaran radio. Mayoritas syair-syairnya berisi tentang asmara, kecantikan, ketampanan dan hal lain yang lebih banyak mengarah kepada eksploitasi biologis, sehingga mem-bangkitkan nafsu birahi, terutama bagi kawula muda dan remaja. Selanjutnya hal itu membuat mereka lupa segala-galanya, sehingga terjadilah kemaksiat-an, zina dan dekadensi moral lainnya.

Tak diragukan lagi hura-hura musik baik dari dalam atau manca negara sangat merusak dan banyak menimbulkan bencana besar bagi generasi muda. Lihatlah betapa setiap ada pesta kolosal musik, selalu ada saja yang menjadi korban. Baik berupa mobil yang hancur, kehilangan uang atau barang lainnya, cacat fisik hingga korban meninggal dunia. Orang-orang berjejal dan mau saja membayar meski dengan harga tiket yang tinggi. Bagi yang tak memiliki uang terpaksa mencari berbagai cara yang penting bisa masuk stadion. Akhirnya merusak pagar, memanjat dinding atau merusak barang lainnya demi bisa menyaksikan pertunjukan musik kolosal tersebut. Jika pentas dimulai, seketika para penonton hanyut bersama alunan musik. Ada yang menghentak, menjerit histeris bahkan pingsan karena mabuk musik. Para pemuda itu mencintai para penyanyi idola mereka melebihi kecintaan mereka kepada Allah Subhanahu wataala yang menciptakannya. Ini adalah fitnah yang amat besar. Tersebutlah pada saat terjadi perang antara Bangsa Arab dengan Yahudi tahun 1967, para pembakar semangat menyeru kepada para pejuang, Maju terus, bersama kalian biduan fulan dan biduanita fulanah , kemudian mereka menderita kekalahan di tangan para Yahudi yang pendosa. Seharusnya diserukan, Maju terus, Allah Subhanahu wataala bersama kalian. Allah Subhanahu wataala akan menolong kalian. Dalam peperangan itu pula, salah seorang biduanita memaklumkan, jika mereka menang, maka ia akan menyelenggarakan pentas bulanannya di Tel Aviv, ibukota Israel, padahal biasanya digelar di Mesir. Sebaliknya yang dilakukan orang-orang Yahudi setelah merperoleh kemenangan adalah mereka bersimpuh di Haith Mabka (dinding ratapan) sebagai tanda syukurnya kepada Tuhan mereka. Semua nyanyian itu hampir sama, bahkan hingga nyanyian-nyanyian yang bernafaskan Islam sekalipun, tidak akan lepas dari kemungkaran.Bahkan di antara syair lagunya ada yang berbunyi, Dan besok akan dikatakan, setiap nabi berada pada kedudukannya Ya Muhammad inilah Arsy, terima-lah. Bait terakhir dari syair tersebut merupakan suatu kebohongan besar terhadap Allah Subhanahu wataala dan RasulNya. Tidak sesuai dengan kenyataan dan termasuk salah satu bentuk pengultusan terhadap diri Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Hal semacam itu dilarang. Kiat Mengobati virus nyanyian dan musik. Beberapa langkah yang dianjurkan, diantaranya: 1. Jangan mendengarkan musik, baik dari radio, televisi atau lainnya. Apalagi jika syair-syairnya tak sesuai dengan akhlak Islam dan diiringi dengan musik. Di antara lawan paling jitu untuk menangkal ketergantungan kepada musik adalah dengan selalu mengingat Allah Subhanahu wataala dan membaca al-Quran, terutama surat Al Baqarah. Dalam hal ini Allah Subhanahu wataala telah berfirman, artinya, Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan sebagai penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Yunus: 57)

Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda,Sesungguhnya setan itu lari dari rumah yang di dalamnya surat Al Baqarah dibaca. (HR. Muslim) 2. Membaca sirah Shallallahu alaihi wasallam (riwayat hidup Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam). Demikian pula sejarah hidup para sahabat beliau. Nyanyian yang Diperbolehkan Ada beberapa nyanyian yang diperbolehkan, yaitu: 1. Menyanyi pada hari raya. Hal itu berdasarkan hadits Aisyah,Suatu ketika Rasul Shallallahu alaihi wasallam masuk ke bilik Aisyah, sedang di sisinya ada dua orang hamba sahaya wanita yang masing-masing memukul rebana (dalam riwayat lain ia berkata, dan di sisi saya terdapat dua orang hamba sahaya yang sedang menyanyi.), lalu Abu Bakar mencegah keduanya. Tetapi Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam justru bersabda, Biarkanlah mereka karena sesung-guhnya masing-masing kaum memiliki hari raya, sedangkan hari raya kita adalah pada hari ini. (HR. al-Bukhari). 2. Menyanyi dengan rebana ketika berlangsung pesta pernikahan, untuk menyemarakkan suasana sekaligus memperluas kabar pernikahannya. Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda, Pembeda antara yang halal dengan yang haram adalah memukul rebana dan suara (lagu) pada saat pernikahan. (Hadits shahih riwayat Ahmad). Yang dimaksud di sini adalah khusus untuk kaum wanita. 3. Nasyid Islami (nyanyian Islami tanpa diiringi dengan musik) yang disenandungkan saat bekerja sehingga bisa lebih membangkitkan semangat, terutama jika di dalamnya terdapat doa. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menyenandungkan syair Ibnu Rawahah dan menyemangati para sahabat saat menggali parit. Beliau bersenandung, Ya Allah tiada kehidupan kecuali kehidupan akhirat, maka ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin. Seketika kaum Muhajirin dan Anshar menyambutnya dengan senandung lain, Kita telah membaiat Muhammad, kita selamanya selalu dalam jihad. Ketika menggali tanah bersama para sahabatnya, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam juga bersenandung dengan syair Ibnu Rawahah yang lain, Demi Allah, jika bukan karena Allah, tentu kita tidak mendapat petunjuk, tidak pula kita bersedekah, tidak pula mengerjakan shalat. Maka turunkanlah ketenangan kepada kami, mantapkan langkah dan pendirian kami jika bertemu (musuh) Orang-orang musyrik telah men durhakai kami, jika mereka mengingin-kan fitnah, maka kami menolaknya. Dengan suara koor dan tinggi mereka balas bersenandung, Kami menolaknya,kami menolaknya. (Muttafaq Alaih) 4. Nyanyian yang mengandung pengesaan Allah Subhanahu wataala, kecintaan kepada Rasululah Shallallahu alaihi wasallam dengan menyebutkan sifat-sifat beliau yang terpuji; atau mengandung anjuran berjihad, teguh pendirian dan memperbaiki akhlak; atau seruan kepada saling mencintai, tolong- menolong di antara sesama; atau menyebutkan beberapa kebaikan Islam, berbagai prinsipnya serta hal-hal lain yang bermanfaat buat masyarakat Islam, baik dalam agama atau akhlak mereka.

Di antara berbagai alat musik yang diperbolehkan hanyalah rebana. Itupun penggunaannya terbatas hanya saat pesta pernikahan dan khusus bagi para wanita. Kaum laki-laki sama sekali tidak dibolehkan memakainya. Sebab Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tidak memakainya. Demikian pula halnya dengan para sahabat beliau radhiallahu anhum ajmain. Orang-orang Sufi memperbolehkan rebana, bahkan mereka berpendapat bahwa menabuh rebana ketika dzikir hukumnya sunnat, padahal ia adalah bidah. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda, Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan, karena sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan adalah bidah. dan setiap bidah adalah sesat. (HR. Turmudzi, beliau berkata, Hadits hasan sha-hih.).(Tim Redaksi an-Nur) Seandainya dia mendengar ayat-ayat al-Qur`an, maka menjadi beratlah atasnya, ayat-ayat tersebut akan berlalu atasnya seakan-akan seperti gunung yang dia melihat padanya terdapat beban berat dan kebosanan. Dan seandainya dia mendengar nyanyian (musik) berjam-jam lamanya, maka jiwanya menjadi tenteram, dan syaitanlah yang menghias-hiasinya. Allah Subhanahu wa taala- berfirman:

Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan- akan ada sumbat di kedua telinganya; Maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang pedih. (QS. Luqman: 7) , banyak waktu yg terbuang sia-sia karena asyik mendengarkan nasyid andai saja nasyid tersebut ia ganti dengan tilawah Al Quran yg indah, lalu ia resapi maknanya, niscaya ia akan mendapat pahala yg jauuuuh lebih besar dari sekedar mendengarkan nasyid tapi jangan difahami bahwa mendengarkan nasyid ada pahalanya lho, perbandingan ini tidak berarti demikian Okelah, agar tidak bertele-tele, berikut ini beberapa hal yg harus kita perhatikan dlm mendengarkan nasyid: 1- Pilihlah nasyid yg tidak mengandung musik, baik musik asli maupun musik tiruan. Musik asli adalah musik yg keluar dari alat musik, sedangkan musik tiruan adalah yg keluar dari mulut manusia mirip dgn alat musik. Atau yg diproses dengan alat-alat canggih hingga menghasilkan efek suara yg indah dan merdu. Keduanya meski berbeda asalnya, tapi hukumnya tetap sama, sebagaimana yg difatwakan oleh sejumlah ulama. 2- Pilihlah nasyid yg bebas dari efek-efek suara, yg menjadikan suara terdengar merdu bertalutalu laksana alunan musik dan sayangnya kebanyakan nasyid tidak lepas dari hal ini. 3-Nasyid yg dibolehkan adalah yg maknanya baik, dan digunakan untuk tujuan yg syari, seperti menyemangati diri dlm mengerjakan sesuatu, dan dalam porsi yg wajar. Oleh karenanya, hal tsb jarang dilakukan oleh para salaf. Para sahabat umpamanya, sejauh yg kami ketahui, hanya bersenandung menyanyikan nasyid ketika mereka menggali parit untuk perang Khandaq, atau

saat menempuh perjalanan jauh. Artinya jika kondisi mereka sedang fit dan semangat, mereka tidak mendengarkan nasyid namun mengisinya dengan ibadah. 4- Ingatlah bahwa apa yg Anda lakukan hanyalah perbuatan yg hukumnya asalnya mubah (boleh) jika bebas dari hal-hal yg kami sebutkan dlm poin2 tadi. Oleh karenanya, membuang waktu untuk sesuatu yg mubah sebenarnya merugikan diri kita, karena umur berkurang namun pahala tidak bertambah Wallaahu alam bisshawaab

Bagaimana Sebenarnya Hukum Musik?


Beberapa Ayat Al Quran yang Membicarakan Nyanyian [Pertama] Nyanyian dikatakan sebagai lahwal hadits (perkataan yang tidak berguna) Allah Taala berfirman, Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah padanya dengan azab yang pedih (QS. Luqman: 6-7) [Kedua] Orang-orang yang bernyanyi disebut saamiduun Allah Taala berfirman, , , , Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu saamiduun? Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia) (QS. An Najm: 59-62) Apa yang dimaksud saamiduun? Menurut salah satu pendapat, makna saamiduun adalah bernyanyi dan ini berasal dari bahasa orang Yaman. Mereka biasa menyebut ismud lanaa dan maksudnya adalah: Bernyanyilah untuk kami. Pendapat ini diriwayatkan dari Ikrimah dan Ibnu Abbas. (Lihat Zaadul Masiir, 5/448) Ikrimah mengatakan, Mereka biasa mendengarkan Al Quran, lalu mereka malah bernyanyi. Kemudian turunlah ayat ini (surat An Najm di atas). (Ighatsatul Lahfan, /258) Jadi, dalam dua ayat ini teranglah bahwa mendengarkan nyanyian adalah suatu yang dicela dalam Al Quran. Perkataan Nabi shallallahu alaihi wa sallam Mengenai Nyanyian

[Hadits Pertama] Bukhari membawakan dalam Bab Siapa yang menghalalkan khomr dengan selain namanya sebuah riwayat dari Abu Amir atau Abu Malik Al Asyari telah menceritakan bahwa dia tidak berdusta, lalu dia menyampaikan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah di lereng gunung dengan binatang ternak mereka. Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, Kembalilah kepada kami esok hari. Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat (Diriwayatkan oleh Bukhari secara muallaq dengan lafazh jazm/ tegas). Jika dikatakan menghalalkan musik, berarti musik itu haram. Hadits di atas dishahihkan oleh banyak ulama, di antaranya adalah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Istiqomah (1/294) dan Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan (1/259). Begitu pula hal yang sama dikatakan oleh An Nawawi, Ibnu Rajab Al Hambali, Ibnu Hajar dan Asy Syaukani rahimahumullah-. Memang ada sebagian ulama semacam Ibnu Hazm dan orang-orang yang mengikuti pendapat beliau sesudahnya seperti Al Ghozali yang menyatakan cacatnya hadits di atas, sehingga mereka pun menghalalkan musik. Alasannya, mereka mengatakan bahwa sanad hadits ini munqothi (terputus) karena Al Bukhari tidak me-maushul-kan sanadnya (menyambungkan sanadnya). Untuk menyanggah hal ini, kami akan kemukakan 5 sanggahan sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim: Pertama, Al Bukhari betul bertemu dengan Hisyam bin Ammar dan beliau betul mendengar langsung darinya. Jadi, jika Al Bukhari mengatakan bahwa Hisyam berkata, maka itu sama saja dengan perkataan Al Bukhari langsung dari Hisyam. Kedua, jika Al Bukhari belum pernah mendengar hadits itu dari Hisyam, tentu Al Bukhari tidak akan mengatakan dengan lafazh tegas (jazm). Jika beliau mengatakan dengan lafazh jazm (tegas), maka sudah pasti beliau mendengarnya langsung dari Hisyam. Inilah yang paling mungkin, karena begitu banyak orang yang meriwayatkan dari Hisyam dan dia adalah guru yang sudah sangat masyhur. Sedangkan Al Bukhari adalah hamba yang sangat tidak mungkin melakukan tadlis (kecurangan dalam periwayatan). Ketiga, Al Bukhari memasukkan hadits ini dalam kitabnya yang disebut dengan kitab shahih, yang tentu saja hal ini bisa dijadikan hujjah (dalil). Seandainya hadits tersebut tidaklah shahih menurut Al Bukhari, lalu mengapa beliau memasukkan hadits tersebut dalam kitab shahih[?] Keempat, Al Bukhari membawakan hadits ini secara muallaq (di bagian awal sanad ada yang terputus). Namun di sini beliau menggunakan lafazh jazm (pasti, seperti dengan kata qoola yang artinya dia berkata) dan bukan tamridh (seperti dengan kata yurwa atau yudzkaru, yang artinya telah diriwayatkan atau telah disebutkan). Jadi, jika Al Bukhari mengatakan, Qoola: qoola

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam [dia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ...], maka itu sama saja beliau nengatakan hadits tersebut disandarkan pada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Kelima, seandainya berbagai alasan di atas kita buang, maka hadits ini tetaplah shahih dan bersambung karena dilihat dari jalur lainnya, sebagaimana akan dilihat pada hadits berikutnya. (Lihat Ighatsatul Lahfan, 1/259-260) [Hadits Kedua] Dari Abu Malik Al Asyari, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Sungguh, akan ada orang-orang dari ummatku yang meminum khamr, mereka menamakannya dengan selain namanya. Mereka dihibur dengan musik dan alunan suara biduanita. Allah akan membenamkan mereka ke dalam bumi dan Dia akan mengubah bentuk mereka menjadi kera dan babi (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih) [Hadits Ketiga] Dari Nafi bekas budak Ibnu Umar-, beliau mengatakan, Ibnu Umar pernah mendengar suara seruling dari seorang pengembala, lalu beliau menyumbat kedua telinganya dengan kedua jarinya. Kemudian beliau pindah ke jalan yang lain. Lalu Ibnu Umar berkata, Wahai Nafi, apakah kamu masih mendengar suara tadi? Aku (Nafi) berkata, Iya, aku masih mendengarnya. Kemudian Ibnu Umar terus berjalan, lalu aku berkata, Aku tidak mendengarnya lagi. Barulah setelah itu Ibnu Umar melepaskan tangannya dari telinganya dan kembali ke jalan itu lalu berkata, Beginilah aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika mendengar suara seruling dari seorang pengembala. Beliau melakukannya seperti tadi. (HR. Ahmad. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan) Dari dua hadits pertama dijelaskan mengenai keadaan umat Islam nanti yang akan menghalalkan musik,berarti sebenarnya musik itu haram kemudian ada yang menganggap halal. Begitu pula pada hadits ketiga yang menceritakan kisah Ibnu Umar bersama Nafi. Ibnu Umar mencontohkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan hal yang sama dengannya yaitu menjauhi dari mendengar musik, sehingga hal ini menunjukkan bahwa musik itu jelas-jelas terlarang. Jika ada yang mengatakan bahwa sebenarnya yang dilakukan Ibnu Umar tadi hanya menunjukkan bahwa itu adalah cara terbaik tatkala mendengar suara nyanyian atau alat musik, namun tidak berdosa. Maka cukup kami katakan sebagaimana yang dikatakan oleh Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni (julukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah),Demi Allah, bahkan mendengarkan nyanyian (atau alat musik) adalah bahaya yang mengerikan pada agama seseorang, tidak ada cara lain selain dengan menutup jalan agar tidak mendengarnya. (Majmu Al Fatawa, 11/567) Bila Sudah Tersibukkan dengan Nyanyian

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan pelajaran yang sangat berharga sekali, beliau mengatakan, Seorang hamba jika sebagian waktunya telah tersibukkan dengan amalan yang tidak disyariatkan, maka pasti dia akan kurang bersemangat dalam melakukan hal-hal yang disyariatkan dan bermanfaat. Hal ini jauh berbeda dengan orang yang mencurahkan usahanya untuk melakukan hal yang disyariatkan. Pasti orang ini akan semakin cinta dan semakin mendapatkan manfaat dengan melakukan amalan tersebut, agama dan islamnya pun akan semakin sempurna. Lalu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, Oleh karena itu, banyak sekali orang yang terbuai dengan nyanyian (atau syair-syair) yang tujuan semula adalah untuk menata hati. Maka pasti karena maksudnya, dia akan semakin berkurang semangatnya dalam menyimak Al Quran. Bahkan sampai-sampai dia pun membenci untuk mendengarnya. (Iqtidho Ash Shiroth Al Mustaqim, 1/543) Jadi perkataan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni (yang dijuluki Syaikhul Islam) memang betul-betul terjadi pada orang-orang yang sudah begitu gandrung dengan nyanyian, gitar dan bahkan dengan nyanyian Islami (yang disebut nasyid). Tujuan mereka mungkin adalah untuk menata hati. Namun sayang seribu sayang, jalan yang ditempuh adalah jalan yang keliru karena hati mestilah ditata dengan hal-hal yang masyru (disyariatkan) dan bukan dengan hal-hal yang tidak masyru yang membuat kita sibuk dan lalai dari kalam Robbul alamin yaitu Al Quran. Tentang nasyid yang dikenal di kalangan sufiyah dan bait-bait syair, Syaikhul Islam mengatakan, Oleh karena itu, kita dapati pada orang-orang yang kesehariannya dan santapannya tidak bisa lepas dari nyanyian, maka mereka pasti tidak akan begitu merindukan lantunan suara Al Quran. Mereka pun tidak begitu senang ketika mendengarnya. Mereka tidak akan merasakan kenikmatan tatkala mendengar Al Quran dibanding dengan mendengar bait-bait syair (nasyid). Bahkan ketika mereka mendengar Al Quran, hatinya pun menjadi lalai, begitu pula dengan lisannya akan sering keliru. (Majmu Al Fatawa, 11/567) Sebagai penutup, kami hanya katakan bahwa pengganti nyanyian dan musik adalah dengan mendengarkan Al Quran karena inilah yang disyariatkan dan inilah yang bisa menata dan menghidupkan hati. Jika seseorang meninggalkan musik dan nyanyian, pasti Allah akan memberi ganti dengan yang lebih baik.

Haramnya Musik dan Profesi Penyanyi


Hadits Nabi shollallohu alaihi wa sallam: dan wanita-wanita yang kasiyat ariyat mailat mumilat, kepala mereka bagaikan punuk unta yang miring, mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan merasakan baunya surga(HR Muslim) itu menurut sebagian ahli ilmu, maksudnya adalah wanita-wanita penyanyi/ almughonniyyaat. (Ashbahani, Dalailun Nubuwwah, juz 1 hlm 224).

Syeikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, khathib Masjid Nabawi Madinah menulis satu buku berjudul Pengumuman bahwa musik dan nyanyian itu haram (al-Ilaam bi annal azfa wal ghinaa haroom). Allah menyatakan kepada Iblis musuh seluruh manusia: Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu(QS Al-Israa: 64). Mujahid, seorang Imam Tafsir menyatakan, dari Ibnu Abbas ra dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan suaramu (suara syaitan) adalah lagu, musik, dan senda gurau. Sementara itu Ad-Dhahhak menjelasakannya serupa: Suara syaitan yang dimaksud dalam ayat ini adalah suara musik. (Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Haramkah Musik dan Lagu, terjemahan Awfal Ahdi, Wala Press, cetakan pertama, 1996, hlm 15). )6 Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (QS Luqman: 6). Mujahid mengatakan, perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) adalah mendengarkan lagu/ nyanyian dan kebatilan yang serupa. Abdullah bin Masud menyatakan, Demi Allah yang tiada Ilah kecuali Dia, sesungguhnya lahwal hadits itu maksudnya adalah lagu-lagu/ nyanyian. (Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Haramkah Musik dan Lagu, terjemahan Awfal Ahdi, Wala Press, cetakan pertama, 1996, hlm 16).

Anda mungkin juga menyukai