BAB I PENDAHULUAN.
Dalam setiap ilmu pengetahuan, pengukuran menghasilkan deskripsi kuantitatif dari suatu proses dan produk yang membuat kita memahami tingkah laku dan hasil. Dan akan semakin berkembang jika kita memilih teknik dan utilitas yang lebih baik untuk mengendalikan dan memaksimalkan kinerja suatu proses, produk dan resources (sumber) yang ada. Pengukuran penelitian merupakan proses yang dilakukan seorang peneliti untuk menguji hipotesis dan teori. Seorang peneliti menyimpulkan berdasarkan hipotesis bahwa kondisi tertentu harus ada dalam dunia nyata dan kemudian mereka melakukan pengukuran untuk konidisi-kondisi nyata tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis masih bersifat abstrak yang perlu diterjemahkan secara operasional dalam bentuk kondisi-kondisi yang bisa diukur di lapangan. Jika kondisi-kondisi nyata tersebut ditemukan berarti peneliti akan mendukung hipotesis tersebut, tetapi sebaliknya, jika kondisi-kondisi tersebut tidak ditemukan berarti hipotesisnya tidak berlaku. Pertanyaannya adalah apa yang harus diukur seorang peneliti. Salah satu pertanyaan yang sering diajukan oleh para peneliti ketika akan melakukan suatu penelitian adalah, berapa besar ukuran sampel yang sebaiknya harus diambil, agar sampel tersebut dapat merepresentasikan populasinya. Peneliti sering dihadapkan pada beberapa alternatif pilihan metode, teknik, cara-cara, maupun rumus-rumus untuk menentukan ukuran sampel, namun tidak tahu mana yang sebaiknya harus mereka pilih.
2.1. Teknik Penskalaan Dalam ilmu sosial, alat ukur yang digunakan untuk mengukur variabel sering tidak tersedia sehingga harus dirancang dan dikembangkan sendiri oleh peneliti. Alat ukur tersebut, atau disebut instrumen penelitian, harus bisa membeda-bedakan satuan pengamatan sesuai dengan karakteristik yang diamati dengan menggunakan teknik penskalaan tertentu. Penskalaan adalah prosedur untuk memberikan pada suatu obyek sehingga bilangan tersebut menunjukkan karakteristik obyek tersebut. Karakteritik tersebut lebih tepatnya diwakili oleh sejumlah indikator atau item. Beberapa teknik penskalaan sering digunakan adalah a. Skala Likert Merupakan teknik self report bagi pengukuran sikap dimana subjek diminta untuk mengindikasikan tingkat kesetujuan atau ketidaksetujuan mereka terhadap masingmasing pernyataan. Skala likert adalah salah satu teknik pengukuran sikap yang paling sering digunakan dalam riset pemasaran. Dalam pembuatan skala likert, periset membuat beberapa pernyataan yang berhubungan dengan suatu isu atau masing-masing pernyataan. b. Skala semantic Merupakan salah satu teknik self report untuk pengukuran sikap dimana subjek diminta memilih satu kata sifat atau frase dari sekelompok pasangan kata sifat atau pasangan frase yang disediakan yang paling mampu menggambarkan perasaan mereka terhadap suatu objek. Skala ini digunakan untuk mengukur sikap tidak dalam bentuk pilihan ganda atau checklist, tetapi tersusun dari sebuah garis objek, lalu subjek atau responden diminta untuk mengindikasikan tingkat kesetujuan atau ketidaksetujuan mereka terhadap
kontinu dimana nilai yang sangat negatif terletak disebelah kiri sedangkan nilai yang sangat positif terletak disebelah kanan Misalnya kita kembali menggunakan persoalan pengukuran sikap terhadap bank. Periset perlu membuat daftar pasangan kata sifat atau pasangan frase berkutub-dua. Skala yang telah dibuat kemudian disebarkan pada suatu sampel responden. Setiap responden diminta membaca seluruh frase berkutupdua dan menandai sel yang paling mampu menggambarkan perasaannya. Responden biasanya diberi tahu bahwa sel-sel ujung adalah sel-sel objek paling deskriptif, sel tengah adalah sel netral, dan sel-sel antara sebagai sel agak deskriptif serta sel cukup deskriptif. Jadi sebagai contoh, jika seorang responden merasa bahwa pelayanan bank A berkualitas sedang, maka dia akan menandai sel keenam dari kiri. c. Skala Guttman Skala Guttman akan memberikan respon yang tegas, yang terdiri dari dua alternatif. Skala Guttman hanya mengukur satu dimensi dari suatu variabel yang memiliki beberapa dimensi, selain itu skala inipun merupakan bentuk skala yang kumulatif. Skala Guttman mengatakan bahwa suatu atribut universal mempunyai dimensi satu jika atribut ini menghasilkan suatu skala kumulatif yang paling tidak mendekati sempurna. Misalnya : Ya Baik Pernah Punya d. Skala Rating Dalam skala rating data yang diperoleh adalah data kuantitatif kemudian penyelidik baru mentranformasikan data kuantitatif tersebut menjadi data kualitatif Tidak Buruk Belum Pernah Tidak Punya
2.2. Skala Pengukuran Seorang peneliti menggunakan beberapa bentuk skala dalam melakukan proses pengukuran. Setiap skala tersebut didasarkan sekumpulan asumsi (aturanaturan) mengenai hubungan antara skala tersebut dengan observasi nyatanya. Konseptualisasi skala tersebut didasarkan pada tiga karakteristik sebagai berikut: 1. Urutan bilangan, yaitu sebuah bilangan lebih besar, lebih kecil, atau sama dengan bilangan lain, 2. Urutan perbedaan antara bilangan, yaitu perbedaan antara sepasang bilangan bisa lebih besar, lebih kecil atau sama besar dengan perbedaan sepasang bilangan lainnya, 3. Titik awal yang unik yang menunjukkan bilangan 0. Pengukuran merupakan aturan-aturan pemberian angka untuk berbagai objek sedemikian rupa sehingga angka ini mewakili kualitas atribut. Terdapat empat jenis skala yang dapat digunakan untuk mengukur atribut, yaitu: skala nominal, skala ordinal,skala interval, dan skala ratio. a. Skala nominal Merupakan salah satu jenis pengukuran dimana angka dikenakan untuk objek atau kelas objek untuk tujuan identifikasi. Nomor jaminan social seseorang, nomor punggung pemain sepakbola, loker, dan lain-lain adalah suatu skala nominal. Demikian juga, jika dalam suatu penelitian tertentu pria diberikan kode 1 dan wanita mendapat kode 2, untuk mengetahui jenis kelamin seseorang adalah melihat apakah orang ini berkode 1 atau 2. Angka-angka tersebut tidak mewakili hal lain kecuali jenis kelamin seseorang. Wanita, meskipun mendapat angka yang lebih tinggi, tidak berarti lebih baik dibanding pria, atau lebih banyak dari pria. Kita boleh saja membalik prosedur pemberian kode sehingga wanita berkode 1 dan pria berkode 2.
b. Skala ordinal Merupakan salah satu jenis pengukuran dimana angka dikenakan terhadap data berdasarkan urutan dari objek. Disini angka 2 lebih besar dari 1, bahwa angka 3 lebih besar dari 2 maupun 1. Angka 1, 2, 3, adalah berurut, dan semakin besar angkanya semakin besar propertinya. Contoh, angka 1 untuk mewakili mahasiswa tahun pertama, 2 untuk tahun kedua, 3 untuk tahun ketiga, dan 4 untuk mahasiswa senior. Namun kita juga bisa memakai angka 10 untuk mewakili mahasiswa tahun pertama, 20 untuk tahun kedua, 25 untuk tahun ketiga, dan 30 untuk mahasiswa senior. Cara kedua ini tetap mengindikasikan level kelas masing-masing mahasiswa dan relative standing dari dua orang, yaitu siapa yang terlebih dahulu kuliah. c. Skala interval Merupakan salah satu jenis pengukuran dimana angka-angka yang dikenakan memungkinkan kita untuk membandingkan ukuran dari selisih antara angka-angka. Selisih antara 1 dan 2 setara dengan selisih antara 2 dan 3, selisih antara 2 dan 4 dua kali lebih besar dari selisih antara 1 dan 2. Contoh adalah skala temperature, JHON HENDRI RISET PEMASARAN UNIVERSITAS GUNADARMA 2009 Page 2 misalnya temperature yang rendah pada suatu hari adalah 40oF dan temperature yang tinggi adalah 80oF. Disini kta tidak dapat mengatakan bahwa temperature yang tinggi dua kali lebih panas dibandingkan temperature yang rendah karena jika skala Fahrenheit menjadi skala Celsius, dimana C = (5F 160) / 9, sehingga temperature yang rendah adalah 4,4 oC dan temperature yang tinggi adalah 26,6oC. d. Skala ratio Merupakan salah satu jenis pengukuran yang memiliki nol alamiah atau nol absolute, sehingga memungkinkan kita membandingkan magnitude angkaangka absolute. Tinggi dan berat adalah dua contoh nyata disini. Seseorang yang memiliki berat 100 kg boleh dikatakan dua kali lebih berat dibandingkan seseorang yang memiliki berat 50 kg, dan seseorang yang memiliki berat 150 kg tiga kali lebih berat dibandingkan seseorang yang beratnya 50 kg. Dalam skala
ratio nol memiliki makna empiris absolute yaitu tidak satu pun dari property yang diukur benar-bnar eksis.
2.3. Karakteristik Pengukuran yang Baik Proses pengukuran mengggunakan suatu alat ukur. Alat ukur tersebut harus menghasilkan ukuran yang sesuai dengan karakteristik obyek sesungguhnya. Misalnya, jika kita akan mengukur tinggi badan maka alat ukur yang digunakan (meteran) harus bisa mengukur secara tepat sesuai dengan tinggi orang yang diukur tinggi badannya. Di bidang ilmu alam, proses pengukuran tersebut relatif lebih pasti dan objektif dibandingkan di bidang ilmu sosial. Hal ini disebabkan alat ukurnya bersifat standar dan obyek pengamatannya bersifat nyata. Sebagai contoh, tekanan udara diukur dengan barometer, kecepatan dengan spedometer, tingkat keasamaan dengan PH-meter, dan sebagainya. Sedangkan pengukuran dalam ilmu sosial relatif sulit karena alat ukur yang akan digunakan sebagian besar harus dirancang oleh peneliti serta obyek pengukurannyapun relatif abstrak. Misalnya kita akan mengukur motivasi karyawan, bagaimana kita bisa mengukur bahwa seorang karyawan mempunyai motivasi tinggi atau rendah. Demikian juga pada saat mengukur sikap kepemimpinan, tingkat inovasi, adopsi teknologi, dan sebagainya. Kesulitan-kesulitan pengukuran dalam ilmu sosial tersebut bisa menimbulkan perbedaan-perbedaan hasil pengukuran untuk setiap peneliti yang merancang sendiri alat ukur, atau disebut juga instrumen penelitian. Sangat mungkin terjadi perbedaan hasil pengukuran suatu obyek yang sama oleh peneliti yang berbeda karena tergantung pada alat ukur yang digunakan masing-masing Sumber-sumber yang bisa menimbulkan perbedaan tersebut adalah faktor satuan pengamatan (misalnya responden yang asal-asalan atau tidak jujur mengisi kuisoner), faktor situasional (misalnya tekanan dari orang lain atau enggan diwawancara secara langsung); faktor pihak pengukur (misalnya si pewawancara
tidak komunikatif atau terlalu bertele-tele), serta faktor instrumen penelitian alau alat ukur (misalnya redaksi membingungkan atau bisa menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda). Perbedaan-perbedaan hasil pengukuran menunjukkan bahwa alat ukur tersebut ada yang baik dan ada yang buruk. Bagaimana kita bisa mengevaluasi baik tidaknya alat ukur tersebut Secara umum terdapat tiga karakteristik yang digunakan untuk menilai baiktidaknya proses pengukuran, yaitu validitas (validity), reliabilitas (reliability), dan kepraktisan (practicality).
3.1 Teknik-Teknik Pengambilan Sampel Secara umum, ada dua jenis teknik pengambilan sampel yaitu, sampel acak atau random sampling / probability sampling, dan sampel tidak acak atau nonrandom samping/nonprobability sampling. Yang dimaksud dengan random sampling adalah cara pengambilan sampel yang memberikan kesempatan yang sama untuk diambil kepada setiap elemen populasi. Artinya jika elemen populasinya ada 100 dan yang akan dijadikan sampel adalah 25, maka setiap elemen tersebut mempunyai kemungkinan 25/100 untuk bisa dipilih menjadi sampel. Sedangkan yang dimaksud dengan nonrandom sampling atau nonprobability sampling, setiap elemen populasi tidak mempunyai kemungkinan yang sama untuk dijadikan sampel. Lima elemen populasi dipilih sebagai sampel karena letaknya dekat dengan rumah peneliti, sedangkan yang lainnya, karena jauh, tidak dipilih; artinya kemungkinannya 0 (nol). Dua jenis teknik pengambilan sampel di atas mempunyai tujuan yang berbeda. Jika peneliti ingin hasil penelitiannya bisa dijadikan ukuran untuk mengestimasikan populasi, atau istilahnya adalah melakukan generalisasi maka seharusnya sampel representatif dan diambil secara acak. Namun jika peneliti tidak mempunyai kemauan melakukan generalisasi hasil penelitian maka sampel bisa diambil secara tidak acak. Sampel tidak acak biasanya juga diambil jika peneliti tidak mempunyai data pasti tentang ukuran populasi dan informasi lengkap tentang setiap elemen populasi 3.1.1 Probability/Random Sampling Syarat pertama yang harus dilakukan untuk mengambil sampel secara acak adalah memperoleh atau membuat kerangka sampel atau dikenal dengan nama sampling frame. Yang dimaksud dengan kerangka sampling adalah daftar
yang berisikan setiap elemen populasi yang bisa diambil sebagai sampel. Elemen populasi bisa berupa data tentang orang/binatang, tentang kejadian, tentang tempat, atau juga tentang benda. Jika populasi penelitian adalah mahasiswa perguruan tinggi A, maka peneliti harus bisa memiliki daftar semua mahasiswa yang terdaftar di perguruan tinggi A tersebut selengkap mungkin. Nama, NRP, jenis kelamin, alamat, usia, dan informasi lain yang berguna bagi penelitiannya.. Dari daftar ini, peneliti akan bisa secara pasti mengetahui jumlah populasinya (N). Jika populasinya adalah rumah tangga dalam sebuah kota, maka peneliti harus mempunyai daftar seluruh rumah tangga kota tersebut. Jika populasinya adalah wilayah Jawa Barat, maka penelti harus mepunyai peta wilayah Jawa Barat secara lengkap. Kabupaten, Kecamatan, Desa, Kampung. Lalu setiap tempat tersebut diberi kode (angka atau simbol) yang berbeda satu sama lainnya. Di samping sampling frame, peneliti juga harus mempunyai alat yang bisa dijadikan penentu sampel. Dari sekian elemen populasi, elemen mana saja yang bisa dipilih menjadi sampel. Alat yang umumnya digunakan adalah Tabel Angka Random, kalkulator, atau undian. Pemilihan sampel secara acak bisa dilakukan melalui sistem undian jika elemen populasinya tidak begitu banyak. Tetapi jika sudah ratusan, cara undian bisa mengganggu konsep acak atau random itu sendiri. 1. Simple Random Sampling atau Sampel Acak Sederhana Cara atau teknik ini dapat dilakukan jika analisis penelitiannya cenderung deskriptif dan bersifat umum. Perbedaan karakter yang mungkin ada pada setiap unsur atau elemen populasi tidak merupakan hal yang penting bagi rencana analisisnya. Misalnya, dalam populasi ada wanita dan pria, atau ada yang kaya dan yang miskin, ada manajer dan bukan manajer, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Selama perbedaan gender, status kemakmuran, dan kedudukan dalam organisasi, serta perbedaan-perbedaan lain tersebut bukan merupakan sesuatu hal yang penting dan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap hasil penelitian, maka peneliti dapat mengambil sampel secara acak sederhana. Dengan demikian setiap unsur populasi harus mempunyai kesempatan sama untuk bisa dipilih menjadi sampel. Prosedurnya :
10
1. Susun sampling frame 2. Tetapkan jumlah sampel yang akan diambil 3. Tentukan alat pemilihan sampel 4. Pilih sampel sampai dengan jumlah terpenuhi 2. Stratified Random Sampling atau Sampel Acak Distratifikasikan Karena unsur populasi berkarakteristik heterogen, dan heterogenitas tersebut mempunyai arti yang signifikan pada pencapaian tujuan penelitian, maka peneliti dapat mengambil sampel dengan cara ini. Misalnya, seorang peneliti ingin mengetahui sikap manajer terhadap satu kebijakan perusahaan. Dia menduga bahwa manajer tingkat atas cenderung positif sikapnya terhadap kebijakan perusahaan tadi. Agar dapat menguji dugaannya tersebut maka sampelnya harus terdiri atas paling tidak para manajer tingkat atas, menengah, dan bawah. Dengan teknik pemilihan sampel secara random distratifikasikan, maka dia akan memperoleh manajer di ketiga tingkatan tersebut, yaitu stratum manajer atas, manajer menengah dan manajer bawah. Dari setiap stratum tersebut dipilih sampel secara acak. Prosedurnya adalah : 1. Siapkan sampling frame 2. Bagi sampling frame tersebut berdasarkan strata yang dikehendaki 3. Tentukan jumlah sampel dalam setiap stratum 4. Pilih sampel dari setiap stratum secara acak. Pada saat menentukan jumlah sampel dalam setiap stratum, peneliti dapat menentukan secara (a) proposional, (b) tidak proposional. Yang dimaksud dengan proposional adalah jumlah sampel dalam setiap stratum sebanding dengan jumlah unsur populasi dalam stratum tersebut. Misalnya, untuk stratum manajer tingkat atas (I) terdapat 15 manajer, tingkat menengah ada 45 manajer (II), dan manajer tingkat bawah (III) ada 100 manajer. Artinya jumlah seluruh manajer adalah 160. Kalau jumlah sampel yang akan diambil seluruhnya 100 manajer, maka untuk stratum I diambil (15:160)x100 = 9 manajer, stratum II = 28 manajer, dan stratum
11
3 = 63 manajer. Jumlah dalam setiap stratum tidak proposional. Hal ini terjadi jika jumlah unsur atau elemen di salah satu atau beberapa stratum sangat sedikit. Misalnya saja, kalau dalam stratum manajer kelas atas (I) hanya ada 4 manajer, maka peneliti bisa mengambil semua manajer dalam stratum tersebut , dan untuk manajer tingkat menengah (II) ditambah 5, sedangkan manajer tingat bawah (III), tetap 63 orang. 3. Cluster Sampling atau Sampel Gugus Teknik ini biasa juga diterjemahkan dengan cara pengambilan sampel berdasarkan gugus. Berbeda dengan teknik pengambilan sampel acak yang distratifikasikan, di mana setiap unsur dalam satu stratum memiliki karakteristik yang homogen (stratum A : laki-laki semua, stratum B : perempuan semua), maka dalam sampel gugus, setiap gugus boleh mengandung unsur yang karakteristiknya berbeda-beda atau heterogen. Misalnya, dalam satu organisasi terdapat 100 departemen. Dalam setiap departemen terdapat banyak pegawai dengan karakteristik berbeda pula. Beda jenis kelaminnya, beda tingkat pendidikannya, beda tingkat pendapatnya, beda tingat manajerialnnya, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Jika peneliti bermaksud mengetahui tingkat penerimaan para pegawai terhadap suatu strategi yang segera diterapkan perusahaan, maka peneliti dapat menggunakan cluster sampling untuk mencegah terpilihnya sampel hanya dari satu atau dua departemen saja. Prosedur adalah : 1. Susun sampling frame berdasarkan gugus Dalam kasus di atas, elemennya ada 100 departemen. 2. Tentukan berapa gugus yang akan diambil sebagai sampel 3. Pilih gugus sebagai sampel dengan cara acak 4. Teliti setiap pegawai yang ada dalam gugus sample 4. Systematic Sampling atau Sampel Sistematis Jika peneliti dihadapkan pada ukuran populasi yang banyak dan tidak memiliki alat pengambil data secara random, cara pengambilan sampel sistematis dapat digunakan. Cara ini menuntut kepada peneliti untuk memilih unsur populasi secara sistematis, yaitu unsur populasi yang bisa dijadikan sampel adalah yang
12
keberapa. Misalnya, setiap unsur populasi yang keenam, yang bisa dijadikan sampel. Soal keberapa-nya satu unsur populasi bisa dijadikan sampel tergantung pada ukuran populasi dan ukuran sampel.Misalnya, dalam satu populasi terdapat 5000 rumah. Sampel yang akan diambil adalah 250 rumah dengan demikian interval di antara sampel kesatu, kedua, dan seterusnya adalah 25. Prosedurnya adalah : 1. Susun sampling frame 2. Tetapkan jumlah sampel yang ingin diambil 3. Tentukan K (kelas interval) 4. Tentukan angka atau nomor awal di antara kelas interval tersebut secara acak atau random biasanya melalui cara undian saja. 5. Mulailah mengambil sampel dimulai dari angka atau nomor awal yang terpilih. 6. Pilihlah sebagai sampel angka atau nomor interval berikutnya 5. Area Sampling atau Sampel Wilayah Teknik ini dipakai ketika peneliti dihadapkan pada situasi bahwa populasi penelitiannya tersebar di berbagai wilayah. Misalnya, seorang marketing manajer sebuah stasiun TV ingin mengetahui tingkat penerimaan masyarakat Jawa Barat atas sebuah mata tayangan, teknik pengambilan sampel dengan area sampling sangat tepat. Prosedurnya adakah
1. Susun sampling frame yang menggambarkan peta wilayah (Jawa
Barat) Kabupaten, Kotamadya, Kecamatan, Desa. 2. Tentukan wilayah yang akan dijadikan sampel (Kabupaten ?, Kotamadya?, Kecamatan?, Desa?) 3. Tentukan berapa wilayah yang akan dijadikan sampel penelitiannya. 4. Pilih beberapa wilayah untuk dijadikan sampel dengan cara acak atau random.
13
5. Kalau ternyata masih terlampau banyak responden yang harus diambil datanya, bagi lagi wilayah yang terpilih ke dalam sub wilayah. 3.1.2 Nonprobability/Nonrandom Sampling atau Sampel Tidak Acak Seperti telah diuraikan sebelumnya, jenis sampel ini tidak dipilih secara acak. Tidak semua unsur atau elemen populasi mempunyai kesempatan sama untuk bisa dipilih menjadi sampel. Unsur populasi yang terpilih menjadi sampel bisa disebabkan karena kebetulan atau karena faktor lain yang sebelumnya sudah direncanakan oleh peneliti. 1. Convenience Sampling atau sampel yang dipilih dengan
pertimbangan kemudahan. Dalam memilih sampel, peneliti tidak mempunyai pertimbangan lain kecuali berdasarkan kemudahan saja. Seseorang diambil sebagai sampel karena kebetulan orang tadi ada di situ atau kebetulan dia mengenal orang tersebut. Oleh karena itu ada beberapa penulis menggunakan istilah accidental sampling tidak disengaja atau juga captive sample (man-on-the-street) Jenis sampel ini sangat baik jika dimanfaatkan untuk penelitian penjajagan, yang kemudian diikuti oleh penelitian lanjutan yang sampelnya diambil secara acak (random). Beberapa kasus penelitian yang menggunakan jenis sampel ini, hasilnya ternyata kurang obyektif. 2. Purposive Sampling Sesuai dengan namanya, sampel diambil dengan maksud atau tujuan tertentu. Seseorang atau sesuatu diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa seseorang atau sesuatu tersebut memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitiannya. Dua jenis sampel ini dikenal dengan nama judgement dan quota sampling. Judgment Sampling, Sampel dipilih berdasarkan penilaian peneliti bahwa dia adalah pihak yang paling baik untuk dijadikan sampel penelitiannya.. Misalnya untuk memperoleh data tentang bagaimana satu proses produksi direncanakan oleh suatu perusahaan, maka manajer produksi merupakan orang yang terbaik untuk bisa memberikan informasi. Jadi, judment
14
sampling umumnya memilih sesuatu atau seseorang menjadi sampel karena mereka mempunyai information rich. Dalam program pengembangan produk (product development), biasanya yang dijadikan sampel adalah karyawannya sendiri, dengan pertimbangan bahwa kalau karyawan sendiri tidak puas terhadap produk baru yang akan dipasarkan, maka jangan terlalu berharap pasar akan menerima produk itu dengan baik. (Cooper dan Emory, 1992). Quota Sampling, Teknik sampel ini adalah bentuk dari sampel distratifikasikan secara proposional, namun tidak dipilih secara acak melainkan secara kebetulan saja. Misalnya, di sebuah kantor terdapat pegawai laki-laki 60% dan perempuan 40% . Jika seorang peneliti ingin mewawancari 30 orang pegawai dari kedua jenis kelamin tadi maka dia harus mengambil sampel pegawai laki-laki sebanyak 18 orang sedangkan pegawai perempuan 12 orang. Sekali lagi, teknik pengambilan ketiga puluh sampel tadi tidak dilakukan secara acak, melainkan secara kebetulan saja. 3. Snowball Sampling Sampel Bola Salju Cara ini banyak dipakai ketika peneliti tidak banyak tahu tentang populasi penelitiannya. Dia hanya tahu satu atau dua orang yang berdasarkan penilaiannya bisa dijadikan sampel. Karena peneliti menginginkan lebih banyak lagi, lalu dia minta kepada sampel pertama untuk menunjukan orang lain yang kira-kira bisa dijadikan sampel. Misalnya, seorang peneliti ingin mengetahui pandangan kaum lesbian terhadap lembaga perkawinan. Peneliti cukup mencari satu orang wanita lesbian dan kemudian melakukan wawancara. Setelah selesai, peneliti tadi minta kepada wanita lesbian tersebut untuk bisa mewawancarai teman lesbian lainnya. Setelah jumlah wanita lesbian yang berhasil diwawancarainya dirasa cukup, peneliti bisa mengentikan pencarian wanita lesbian lainnya. . Hal ini bisa juga dilakukan pada pencandu narkotik, para gay, atau kelompok-kelompok sosial lain yang eksklusif (tertutup). Data hasil pengukuran diplot dalam bentuk grafik potensial terhadap jarak. Tujuannya untuk melihat distribusi potensial dan mendeteksi lokasi awal terjadinya korosi. Dimulai dari jarak 2,5 cm sampai 47,5 cm pada baja tulangan
15
dalam beton, pada daerah yang terjadi korosi setempat atau yang parah terjadi korosi nilai potensialnya akan lebih negatif, apabila dibandingkan dengan daerahdaerah pengukuran yang lainnya.
3.2 Pedoman Menentukan Jumlah Sampel 1. Konsep Slovin Dalam banyak buku yang mencantumkan rumus untuk menentukan ukuran sampel yang dibuat Slovin, khususnya dalam buku-buku metodologi penelitian, sampai saat ini penulis belum bisa memperoleh keterangan yang lengkap mengenai konsep dasar yang dipakai membangun rumus tersebut. Dengan hanya mendasarkan pada rumus (1), kalau tidak berusaha mencari keterangan digunakan lain dan mengetahui konsep dasar yang untuk membuat rumus tersebut, maka belum bisa menjawab
N 1 + Nd 2
dimana: n = ukuran sampel N = ukuran populasi d = galat pendugaan Misalnya dalam buku yang ditulis oleh Husein Umar (2004) tidak diperoleh suatu keterangan mengenai: 1. 2. 3. Apakah rumus Slovin ditujukan untuk penelitian yang Berapa besar yang digunakan, sehingga kita tidak bisa Keragaman populasi yang bagaimana dan berapa
mengukur rata- rata, total, proporsi populasi, atau yang lainnya. mengetahui tingkat keandalan dari rumus tersebut. besarnya yang dimasukan dalam rumus tersebut.
16
4.
Rumus
tersebut
hanya
memberi
kesempatan
kepada
pemakainya untuk memasukan nilai galat pendugaan yang bisa ditolelir (d). 2. Interval Penaksiran
Z n = /2 e
2
17
DAFTAR PUSTAKA
Research: Determining Appropriate Sample Size in Survey Research, Information Technology, Learning, and Performance Journal. Vol.19 No. 1: 43-50.
2. Gaspersz, Vincent. 1991. Teknik Penarikan Contoh untuk Penelitian
Survei.Bandung: Tarsito.
3. Krejcie, Robert V. dan Daryle W. Morgan. 1970. Ditermining Sample
Size for Research Activities, Educational and Psychological Measurment. Vol.30: 607-610.
4. Sudjana. 1989. Metoda Statistika. Cetakan ke-5. Bandung: Tarsito. 5. Supranto, J. 1998. Teknik Sampling untuk Survei dan Eksperimen.