Anda di halaman 1dari 15

Artikel Bebas Ketika rezim orde baru bercokol di negeri ini selama 32 tahun, pemerintah kala itu berupaya

untuk mengganjal pergerakan mahasiswa melalui sebuah system yang dibuat dan diberlakukan ke seluruh sisi kampus. NKKBK namanya, secara singkat itu adalah sebuah peraturan yang melarang mahasiswa untuk melakukan pergerakan perubahan mengawali kebijakan pemerintah. Tidak boleh mahasiswa mengkritisi pemerintah, tugas mahasiswa saat itu hanyalah belajar dan belajar. Walaupun dengan adanya peraturan tersebut membuat mahasiswa yang cinta akan pergerakan tidak mati kutu kehabisan bensin lalu mogok berhenti sama sekali, melainkan semangat pergerakan perubahan itu terus bergulir membara dalam diri mahasiswa. Namun tak sedikit pula teman2 mahasiswa saat itu lahir sebagai produk hasil didikan orde baru yang ke kampus hanya belajar dan pacaran sebagai kegiatan utama lainnya selain belajar. Hampir saja mahasiswa lupa kala itu bahwa mereka bukan hanya hidup untuk diri mereka, tapi mereka itu hidup untuk masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Apalagi sebagian besar biaya kuliah mahasiswa diambil dari dana APBN yang notabenenya adalah uang rakyat, secara tidak langsung. Jadi mau gak mau suka tidak suka kita sebagai mahasiswa memiliki tanggung jawab social yang besar selain tanggung jawab pribadi-pribadi kita. Tulang punggung perubahan itu ada di tangan pemuda, khususnya mahasiswa disini karena mahasiswa secara strata social diyakini setiap orang dapat dipercaya dan memiliki capital intelektual dan social lebih baik dibandingkan dengan cluster pemuda lainnya yang tak bergelar mahasiswa. Kurang tepat rasanya jika kita sebagai mahasiswa hanya memiliki cita-cita yang orientasinya terlalu egosentris, belajar yang baik, dapat gelar cum laude, lulus cepat dengan segudang prestasi akademik, lalu cari kerja, nikah, punya anak, ingin punya rumah yang besar dan bagus, lalu di kala tua hidup dengan nyaman tanpa gangguan. Egois sekali rasanya kalo kita memiliki cita-cita seperti itu tanpa punya cita-cita untuk bisa berkontribusi bagi proses perbaikan nasib bangsa ini, tanpa berpikir untuk bisa hidup bermanfaat bagi masyarakat Indonesia secara luas. Tidak salah memang, tapi kurang tepat untuk kondisi negara kita saat ini yang sedang carut marut, bangsa ini butuh bahan bakar dan bahan bakar itu ada dalam diri mahasiswa. Percayalah bahwasanya proyek kebangkitan bangsa ini akan dipelopori oleh kaum intelektual mahasiswa,seperti sejarah yang terus berulang dari masa ke masa! Lalu, apa sih sebenarnya peran mahasiswa dalam membangun proyek kebangkita bangsa ini?? Apakah hanya sekedar teriak-teriak di jalanan, mengagung2kan TUGU RAKYAT?? Atau hanya sekedar belajar di kampus mendengarkan dosen dan searching pasangan hidup, pacaran gonta-ganti pacar??? Cuek atau hanya sekedar sok tahu?? Baiklah, peran mahasiswa sebaiknya dalam membangun proyek kebangkitan bangsa adalah mengisi pembangunan, melakukan social control terhadap kebijakan pemerintah, dan melakukan pengabdian pada masyarakat. Mengisi pembangunan misalnya adalah

dengan cara belajar dengn baik di kampus, ikut lomba sana-sini, buat suatu penelitian atau temuan2 baru yang dapat menjawab permasalahan yang ada. Mengisi pembangunan dengan intellectual capital yang mahasiswa seharusnya miliki. Kedua, melakukan social control terhadap segala kebijakan pemerintah. Lantas buat apa kita susah payah dan kadang ada yang mengatakan kita ini sok tahu terhadap permasalahan bangsa, seakan2 kita hanya membeo, mengaung2 di jalanan tuntut sana tuntut sini. Mahasiswa adalah salah satu kelompok elit dalam masyarakat yang masih memiliki idealisme yang tinggi. Kalau kita hanya diam saja menjadi penonton sejati atas segala kebijakan pemerintah yang sering merugikan rakyat dan hanya menjadi boneka hiasan. Pertanyaannya adalah apa bedanya kita dengan seorang anak-anak??? Bukankah kita sudah dewasa yang tahu mana yang benar dan mana yang salah secara normative?? Maka dari itu tugas mengawali kebijakan pemerintah adalah PR kita bersama selagi kita masih berjaskan almamater kita tercinta ini. Lalu yang ketiga adalah melakukan pengabdian yang rutin dan massif kepada masyarakat luas. Penyuluhan-penyuluhan telah banyak digalakkan di desa-desa lingkar kampus bahkan desa di seluruh pelosok di Indonesia. Dulu mungkin ada namanya BIMAS, Bimbingan Masyarakat. Pembinaan berkelanjutan masyarakat dalam bertani, bernelayan, menjaga kesehatan oleh mahasiswa.Sekarang kita sudah punya banyak program terkait pengabdian masyarakat, ada BINA DESA misalnya. Masyarakat membutuhkan uluran tangan dari kita, teman! Siapkah kita??! InsyaAllah jika Allah masih memberikan kesempatan untuk bernafas. Dengan memahami secara bijak akan ketiga peran mahasiswa, kebangkitan bangsa ini tak akan lama lagi kita raih. Mengisi pembangunan, melakukan control social terhadap kebijakan pemerintah, dan pengabdian masyarakat adalah peran-peran mahasiswa unggulan yang dibutuhkan dengan segera saat ini. Kita sebagai mahasiswa harus dapat memerankannya secara proporsional, adil, arif dan bijak tanpa hanya mengambil satu peran saja dan menggugurkan peran2 lainnya. 88888888 Pendahuluan Perubahan dirasakan oleh hampir semua manusia dalam masyarakat. Perubahan dalam masyarakat tersebut wajar, mengingat manusia memiliki kebutuhan yang tidak terbatas. Kalian akan dapat melihat perubahan itu setelah membandingkan keadaan pada beberapa waktu lalu dengan keadaan sekarang. Perubahan itu dapat terjadi di berbagai aspek kehidupan, seperti peralatan dan perlengkapan hidup, mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, serta religi/keyakinan. Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya. Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi sosial masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan perubahan sosial. Namun demikian dalam prakteknya di lapangan kedua jenis perubahan perubahan tersebut sangat sulit untuk dipisahkan (Soekanto, 1990). Perubahan kebudayaan bertitik tolak dan timbul dari organisasi sosial. Pendapat tersebut dikembalikan

pada pengertian masyarakat dan kebudayaan. Masyarakat adalah sistem hubungan dalam arti hubungan antar organisasi dan bukan hubungan antar sel. Kebudayaan mencakup segenap cara berfikir dan bertingkah laku, yang timbul karena interaksi yang bersifat komunikatif seperti menyampaikan buah pikiran secara simbolik dan bukan warisan karena keturunan (Davis, 1960). Apabila diambil definisi kebudayaan menurut Taylor dalam Soekanto (1990), kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan setiap kemampuan serta kebiasaan manusia sebagai warga masyarakat, maka perubahan kebudayaan dalah segala perubahan yang mencakup unsur-unsur tersebut. Soemardjan (1982), mengemukakan bahwa perubahan sosial dan perubahan kebudayaan mempunyai aspek yang sama yaitu keduanya bersangkut paut dengan suatu cara penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu masyarakat memenuhi kebutuhannya. Latar belakang Pertama-tama perlu saya kemukakan bahwa masih banyak di antara masyarakat awam kita yang mengartikan kebudayaan sebagai kesenian, meskipun sebenarnya kita semua memahami bahwa kesenian hanyalah sebagian dari kebudayaan. Hal ini tentulah karena kesenian memiliki bobot besar dalam kebudayaan, kesenian sarat dengan kandungan nilai-nilai budaya, bahkan menjadi wujud dan ekspresi yang menonjol dari nilai-nilai budaya. Dan di tengah Maraknya arus Globalisasi yang masuk ke Indonesia, melalui cara cara tertentu membuat Dampak Positif dan Dampak Negatif nya sendiri Bagi Bangsa Indonesia. Terutama dalam Bidang Kebudayaan. Karena semakin terkikisnya nilai nilai Budaya kita oleh pengaruh budaya Asing yang masuk ke Negara kita. Oleh karena itu, untuk meningkatkan ketahanan budaya bangsa, maka Pembangunan Nasional perlu bertitik-tolak dari upaya-upaya pengembangan kesenian yang mampu melahirkan nilai-tambah kultural. Pakem-pakem seni (lokal dan nasional) perlu tetap dilanggengkan, karena berakar dalam budaya masyarakat. Melalui dekomposisi dan rekonstruksi, rekoreografi, renovasi, revitalisasi, refungsionalisasi, disertai improvisasi dengan aneka hiasan, sentuhan-sentuhan nilai-nilai dan nafas baru, akan mengundang apresiasi dan menumbuhkan sikap posesif terhadap pembaharuan dan pengayaan karya-karya seni. Di sinilah awal dari kesenian menjadi kekayaan budaya dan modal sosial-kultural masyarakat. Pembahasan masalah Kebudayaan lokal Indonesia yang sangat beranekaragam menjadi suatu kebanggaan sekaligus tantangan untuk mempertahankan serta mewarisi kepada generasi selanjutnya. Budaya lokal Indonesia sangat membanggakan karena memiliki keanekaragaman yang sangat bervariasi serta memiliki keunikan tersendiri. Seiring berkembangnya zaman, menimbulkan perubahan pola hidup masyakat yang lebih modern. Akibatnya, masyarakat lebih memilih kebudayaan baru yang mungkin dinilai lebih praktis dibandingkan dengan budaya lokal. Banyak faktor yang menyebabkan budaya lokal dilupakan dimasa sekarang ini, misalnya masuknya budaya asing. Masuknya budaya asing ke suatu negara sebenarnya merupakan hal yang wajar, asalkan budaya tersebut sesuai dengan kepribadian bangsa. Namun pada kenyataannya budaya asing mulai mendominasi sehingga budaya lokal mulai dilupakan. Faktor lain yang menjadi masalah adalah kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya peranan budaya lokal. Budaya lokal adalah identitas bangsa. Sebagai identitas bangsa, budaya lokal harus terus dijaga keaslian maupun kepemilikannya agar tidak dapat diakui oleh negara lain. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan budaya asing masuk asalkan sesuai dengan kepribadian negara karena suatu negara juga membutuhkan input-input dari negara lain yang akan berpengaruh terhadap perkembangan di negranya. Dimasa sekarang ini banyak sekali budaya-budaya kita yang mulai menghilang sedikit demi sedikit.Hal

ini sangatlah berkaitan erat dngan masuknya budaya-budaya ke dalam budaya kita.Sebagai contoh budaya dalam tata cara berpakaian.Dulunya dalam budaya kita sangatlah mementingkan tata cara berpakaian yang sopan dan tertutup.Akan tetapi akaibat masuknya budaya luar mengakibatkan budaya tersebut berubah.Sekarang berpakaian yang menbuka aurat serasa sudah menjadi kebiasaan yang sudah melekat erat didalam masyarakat kita.Sebagai contoh lain jenis-jenis makanan yang kita konsumsi juga mulai terpengaruh budaya luar.Masyarakat sekarang lebih memilih makanan-makanan yang berasal dari luar seperti KFC,steak,burger,dan lain-lain.Masyarakat menganggap makanan-makanan tersebut higinis,modern,dan praktis.Tanpa kita sadari makanan-makanan tersebut juga telah menjadi menu keseharian dalam kehidupan kita.Hal ini mengakibatkan makin langkanya berbagai jenis makanan tradisional.Bila hai ini terus terjadi maka tak dapat dihindarkan bahwa anak cucu kita kelak tidak tahu akan jenis-jenis makanan tradisional yang berasal dari daerah asal mereka. Tugas utama yang harus dibenahi adalah bagaimana mempertahankan, melestarikan, menjaga, serta mewarisi budaya lokal dengan sebaik-baiknya agar dapat memperkokoh budaya bangsa yang akan megharumkan nama Indonesia. Dan juga supaya budaya asli negara kita tidak diklaim oleg negara lain.Berikut beberapa hal yang dapat kita simak dalam rangka melestarikan budaya. 1. Kekuatan

Keanekaragaman budaya lokal yang ada di Indonesia

Indonesia memiliki keanekaragaman budaya lokal yang dapatdijadikan sebagai ke aset yang tidak dapat disamakan dengan budaya lokal negara lain. Budaya lokal yang dimiliki Indonesia berbeda-beda pada setiap daerah. Tiap daerah memiliki ciri khas budayanya, seperti rumah adat, pakaian adat, tarian, alat musik, ataupun adat istiadat yang dianut. Semua itu dapat dijadikan kekuatan untuk dapat memperkokoh ketahanan budaya bangsa dimata Internasional.

Kekhasan budaya Indonesia

Kekhasan budaya lokal yang dimiliki setiap daerah di Indonesia memliki kekuatan tersediri. Misalnya rumah adat, pakaian adat, tarian, alat musik, ataupun adat istiadat yang dianut. Kekhasan budaya lokal ini sering kali menarik pandangan negara lain. Terbukti banyaknya turis asing yang mencoba mempelajari budaya Indonesia seperti belajar tarian khas suat daerah atau mencari barang-barang kerajinan untuk dijadikan buah tangan. Ini membuktikan bahwa budaya bangsa Indonesia memiliki cirri khas yang unik.

Kebudayaan Lokal menjadi sumber ketahanan budaya bangsa

Kesatuan budaya lokal yang dimiliki Indonesia merupakan budaya bangsa yang mewakili identitas negara Indonesia. Untuk itu, budaya lokal harus tetap dijaga serta diwarisi dengan baik agar budaya bangsa tetap kokoh. 2. Kelemahan

Kurangnya kesadaran masyarakat

Kesadaran masyarakat untuk menjaga budaya lokal sekarang ini masih terbilang minim. Masyarakat lebih memilih budaya asing yang lebih praktis dan sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini bukan berarti budaya lokal tidak sesuai dengan perkembangan zaman, tetapi banyak budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Budaya lokal juga dapat di sesuaikan dengan perkembangan zaman, asalkan masih tidak meningalkan cirri khas dari budaya tersebut.

Minimnya komunikasi budaya

Kemampuan untuk berkomunikasi sangat penting agar tidak terjadi salah pahaman tentang budaya yang dianut. Minimnya komunikasi budaya ini sering menimbulkan perselisihan antarsuku yang akan berdampak turunnya ketahanan budaya bangsa.

Kurangnya pembelajaran budaya

Pembelajaran tentang budaya, harus ditanamkan sejak dini. Namun sekarang ini banyak yang sudah tidak menganggap penting mempelajari budaya lokal. Padahal melalui pembelajaran budaya, kita dapat mengetahui pentingnya budaya lokal dalam membangun budaya bangsa serta bagaiman cara mengadaptasi budaya lokal di tengan perkembangan zaman. 3. Peluang

Indonesia dipandang dunia Internasional karena kekuatan budayanya

Apabila budaya lokal dapat di jaga dengan baik, Indonesia akan di pandang sebagai negara yang dapat mempertahankan identitasnya di mata Internasioanal.

Kuatnya budaya bangsa, memperkokoh rasa persatuan

Usaha masyarakat dalam mempertahankan budaya lokal agar dapat memperkokoh budaya bangsa, juga dapat memperkokoh persatuan. Karena adanya saling menghormati antara budaya lokal sehingga dapat bersatu menjadi budaya bangsa yang kokoh.

Kemajuan pariwisata

Budaya lokal Indonesia sering kali menarik perhatian para turis mancanegara. Ini dapat dijadikan objek wisata yang akan menghasilkan devisa bagi negara. Akan tetapi hal ini juga harus diwaspadai karena banyaknya aksi pembajakan budaya yang mungkin terjadi.

Multikuturalisme

Dalam artikelnya, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning, Riau, Dr Junaidi SS MHum, mengatakan bahwa multikulturalisme meberikan peluang bagi kebangkitan etnik dan kudaya lokal Indonesia. Dua pilar yang mendukung pemahaman ini adalah pendidikan budaya dan komunikasi antar budaya. 4. Tantangan

Perubahan lingkungan alam dan fisik

Perubahan lingkungan alam dan fisik menjadi tantangan tersendiri bagi suatu negara untuk mempertahankan budaya lokalnya. Karena seiring perubahan lingkungan alam dan fisik, pola piker serta pola hidup masyakrkat juga ikt berubah

Kemajuan Teknologi

Meskipun dipandang banyak memberikan banyak manfaat, kemajuan teknologi ternyata menjadi salah satu factor yang menyebabkan ditinggalkannya budaya lokal. Misalnya, sistem sasi (sistem asli masyarakat dalam mengelola sumber daya kelautan/daratan) dikawasan Maluku dan Irian Jaya. Sistem sasi mengatur tata cara sertamusim penangkapan iakn di wilayah adatnya, namun hal ini mulai tidak di lupakan oleh masyarakatnya.

Masuknya Budaya Asing

Masuknya budaya asing menjadi tantangan tersendiri agar budaya lokal tetap terjaga. Dalam hal ini, peran budaya lokal diperlukan sebagai penyeimbang di tengah perkembangan zaman. Perubahan budaya dan arus globalisasi mengakibatkan beberapa budaya tersingkirkan Perubahan budaya yang terjadi di dalam masyarakat tradisional, yakni perubahan dari masyarakat tertutup menjadi masyarakat yang lebih terbuka, dari nilai-nilai yang bersifat homogen menuju pluralisme nilai dan norma social merupakan salh satu dampak dari adanya globalisasi. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah dunia secara mendasar. Komunikasi dan sarana transportasi internasional telah menghilangkan batas-batas budaya setiap bangsa. Kebudayaan setiap bangsa

cenderung mengarah kepada globalisasi dan menjadi peradaban dunia sehingga melibatkan manusia secara menyeluruh. Misalnya saja khusus dalam bidang hiburan massa atau hiburan yang bersifat masal, makna globalisasi itu sudah sedemikian terasa. Sekarang ini setiap hari kita bisa menyimak tayangan film di tv yang bermuara dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Korea, dll melalui stasiun televisi di tanah air. Belum lagi siaran tv internasional yang bisa ditangkap melalui parabola yang kini makin banyak dimiliki masyarakat Indonesia. Sementara itu, kesenian-kesenian populer lain yang tersaji melalui kaset, vcd, dan dvd yang berasal dari manca negara pun makin marak kehadirannya di tengah-tengah kita. Fakta yang demikian memberikan bukti tentang betapa negaranegara penguasa teknologi mutakhir telah berhasil memegang kendali dalam globalisasi budaya khususnya di negara ke tiga. Peristiwa transkultural seperti itu mau tidak mau akan berpengaruh terhadap keberadaan kesenian kita. Padahal kesenian tradisional kita merupakan bagian dari khasanah kebudayaan nasional yang perlu dijaga kelestariannya. Di saat yang lain dengan teknologi informasi yang semakin canggih seperti saat ini, kita disuguhi oleh banyak alternatif tawaran hiburan dan informasi yang lebih beragam, yang mungkin lebih menarik jika dibandingkan dengan kesenian tradisional kita. Dengan parabola masyarakat bisa menyaksikan berbagai tayangan hiburan yang bersifat mendunia yang berasal dari berbagai belahan bumi. Kondisi yang demikian mau tidak mau membuat semakin tersisihnya kesenian tradisional Indonesia dari kehidupan masyarakat Indonesia yang sarat akan pemaknaan dalam masyarakat Indonesia. Misalnya saja bentuk-bentuk ekspresi kesenian etnis Indonesia, baik yang rakyat maupun istana, selalu berkaitan erat dengan perilaku ritual masyarakat pertanian. Dengan datangnya perubahan sosial yang hadir sebagai akibat proses industrialisasi dan sistem ekonomi pasar, dan globalisasi informasi, maka kesenian kita pun mulai bergeser ke arah kesenian yang berdimensi komersial. Kesenian-kesenian yang bersifat ritual mulai tersingkir dan kehilangan fungsinya. Sekalipun demikian, bukan berarti semua kesenian tradisional kita lenyap begitu saja. Ada berbagai kesenian yang masih menunjukkan eksistensinya, bahkan secara kreatif terus berkembang tanpa harus tertindas proses modernisasi. Pesatnya laju teknologi informasi atau teknologi komunikasi telah menjadi sarana difusi budaya yang ampuh, sekaligus juga alternatif pilihan hiburan yang lebih beragam bagi masyarakat luas. Akibatnya masyarakat tidak tertarik lagi menikmati berbagai seni pertunjukan tradisional yang sebelumnya akrab dengan kehidupan mereka. Misalnya saja kesenian tradisional wayang orang Bharata, yang terdapat di Gedung Wayang Orang Bharata Jakarta kini tampak sepi seolah-olah tak ada pengunjungnya. Hal ini sangat disayangkan mengingat wayang merupakan salah satu bentuk kesenian tradisional Indonesia yang sarat dan kaya akan pesan-pesan moral, dan merupakan salah satu agen penanaman nilai-nilai moral yang baik, menurut saya. Contoh lainnya adalah kesenian Ludruk yang sampai pada tahun 1980an masih berjaya di Jawa Timur sekarang ini tengah mengalami mati suri. Wayang orang dan ludruk merupakan contoh kecil dari mulai terdepaknya kesenian tradisional akibat globalisasi. Bisa jadi fenomena demikian tidak hanya dialami oleh kesenian Jawa tradisional, melainkan juga dalam berbagai ekspresi kesenian tradisional di berbagai tempat di Indonesia. Sekalipun demikian bukan berarti semua kesenian tradisional mati begitu saja dengan merebaknya globalisasi. Di sisi lain, ada beberapa seni pertunjukan yang tetap eksis tetapi telah mengalami perubahan fungsi. Ada pula kesenian yang mampu beradaptasi dan mentransformasikan diri dengan teknologi komunikasi yang telah menyatu dengan kehidupan masyarakat, misalnya saja kesenian tradisional Ketoprak yang dipopulerkan ke layar kaca oleh kelompok Srimulat. Kenyataan di atas menunjukkan kesenian ketoprak sesungguhnya memiliki penggemar tersendiri, terutama ketoprak yang disajikan dalam bentuk siaran televisi, bukan ketoprak panggung. Dari segi bentuk pementasan atau penyajian, ketoprak termasuk kesenian tradisional yang telah terbukti mampu beradaptasi dengan perubahan zaman. Selain ketoprak masih ada kesenian lain yang tetap bertahan dan mampu beradaptasi dengan teknologi mutakhir yaitu wayang kulit. Beberapa dalang wayang kulit terkenal seperti Ki Manteb Sudarsono dan Ki Anom Suroto tetap diminati masyarakat, baik itu kaset rekaman pementasannya, maupun pertunjukan secara langsung. Keberanian stasiun televisi Indosiar yang sejak beberapa tahun lalu menayangkan wayang kulit setiap malam minggu cukup sebagai bukti akan besarnya minat masyarakat terhadap salah satu

khasanah kebudayaan nasional kita. Bahkan Museum Nasional pun tetap mempertahankan eksistensi dari kesenian tradisonal seperti wayang kulit dengan mengadakan pagelaran wayang kulit tiap beberapa bulan sekali dan pagelaran musik gamelan tiap satu minggu atau satu bulan sekali yang diadakan di aula Kertarajasa, Museum Nasional. Peran mahasiswa dalam kebudayaan Kita sebagai seorang mahasiswa yang aktif dan kreatif tentunya tidak ingin kebudayaan kita menjadi pudar bahkan lenyap karena pengaruh dari budaya-budaya luar.Mahasiswa memiliki kedudukan dan peranan penting dalam pelestarian seni dan budaya daerah. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa mahasiswa merupakan anak bangsa yang menjadi penerus kelangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Sebagai intelektual muda yang kelak menjadi pemimpinpemimpin bangsa, pada mereka harus bersemayam suatu kesadaran kultural sehingga keberlanjutan negara bangsa Indonesia dapat dipertahankan. Pembentukan kesadaran kultural mahasiswa antara lain dapat dilakukan dengan pengoptimalan peran mereka dalam pelestarian seni dan budaya daerah. Optimalisasi peran mahasiswa dalam pelestarian seni dan budaya daerah dapat dilakukan melalui dua jalur, yaitu intrakurikuler dan ekstrakulikuler. Jalur Intrakurikuler dilakukan dengan menjadikan seni dan budaya daerah sebagai substansi mata kuliah; sedangkan jalur ekstrakurikuler dapat dilakukan melalui pemanfaatan unit kegiatan mahasiswa (UKM) kesenian dan keikutsertaan mahasiswa dalam kegiatan-kegiatan seni dan budaya yang diselenggarakan oleh berbagai pihak untuk pelestarian seni dan budaya daerah. a. Jalur Intrakurikuler Untuk mengoptimalkan peran mahasiswa dalam pelestarian seni dan budaya daerah diperlukan adanya pemahaman mahasiswa terhadap seni dan budaya daerah. Tanpa adanya pemahaman yang baik terhadap hal itu, mustahil mahasiswa dapat menjalankan peran itu dengan baik. Peningkatan pemahaman mahasiswa terhadap seni dan budaya daerah dapat dilakukan melalui jalur intrakurikuler; artinya seni dan budaya daerah dijadikan sebagai salah satu substansi atau materi pembelajaran dalam satu mata kuliah atau dijadikan sebagai mata kuliah. Kemungkinan yang pertama dapat dilakukan melalui mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) bagi mahasiswa program studi eksakta, dan Ilmu Budaya Dasar dan Antropologi Budaya bagi mahasiswa program studi ilmu sosial. Dalam dua mata kuliah itu terdapat beberapa pokok bahasan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap seni dan budaya daerah yaitu tentang manusia dan kebudayaan, manusia dan peradaban, dan manusia, sains teknologi, dan sen.Kemungkinan yang kedua tampaknya telah diakomodasi dalam kurikulum program studi-program studi yang termasuk dalam rumpun ilmu budaya seperti program studi di lingkungan Fakultas Sastra atau Fakultas Ilmu Budaya. Beberapa mata kuliah yang secara khusus dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman terhadap seni dan budaya daerah adalah Masyarakat dan Kesenian Indonesia, Manusia dan Kebudayaan Indonesia, dan Masyarakat dan Kebudayaan Pesisir. Melalui mata kuliah-mata kuliah itu, mahasiswa dapat diberi penugasan untuk melihat, memahami, mengapresiasi, mendokumentasi, dan membahas seni dan budaya daerah. Dengan kegiatan-kegiatan semacam itu pemahaman mahasiswa terhadap seni dan budaya daearah akan meningkat yang juga telah melakukan pelestarian. Jalur intrakurikuler lainnya yang dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman bahkan mengoptimalkan peran mahasiswa dalam pelestarian seni dan budaya daerah adalah Kuliah Kerja Nyata (KKN). Mahasiswa-mahasiswa yang telah mendapatkan pemahaman yang mencukupi terhadap seni dan budaya daerah dapat berkiprah langsung dalam pelestarian dan pengembangan seni dan budaya daerah. Kuliah Kerja Profesi (KKP) yang merupakan bentuk lain dari KKN di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro telah digunakan untuk berperan serta dalam pelestarian dan pengembangan seni dan budaya daerah. Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, khususnya yang berasal dari program studi Sejarah, dalam tiga tahun terakhir sebagian telah membantu merevitalisasi seni budaya yang tumbuh dan berkembang di Semarang, misalnya batik Semarang, arsitektur Semarang, dan

membantu mempromosikan perkumpulan Wayang Orang Ngesthi Pandhawa. b. Jalur Ekstrakurikuler Pembentukan dan pemanfaatan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kesenian Jawa (Daerah Lainnya) merupakan langkah lain yang dapat ditempuh untuk mengoptimalkan peran mahasiswa dalam pelestarian seni dan budaya daerah. Sehubungan dengan hal itu, pimpinan perguruan tinggi perlu mendorong pembentukan UKM Kesenian Daerah. Lembaga kemahasiswaan itu merupakan wahana yang sangat strategis untuk upaya-upaya tersebut, karena mereka adalah mahasiswa yang benar-benar berminat dan berbakat dalam bidang seni tradisi. Latihan-latihan secara rutin sebagai salah satu bentuk kegiatan UKM kesenian daerah (Jawa misalnya) yang pada gilirannya akan berujung pada pementasan atau pergelaran merupakan bentuk nyata dari pelestarian seni dan budaya daerah. Forum-forum festival seni mahasiswa semacam Pekan Seni Mahasiswa Tingkat Nasional (Peksiminas) merupakan wahana yang lain untuk pengoptimalan peran mahasiswa dalam pelestarian seni dan budaya daerah. Kesimpulan Dari Penulisan Makalah ini saya dapat menyimpulkan Bahwa Perubahan Dinamis dan arus Globalisasi yang tinggi menyebabkan Masyarakat kita sebagai bangsa indonesia yang memiliki banyak dan beragam kebudayaan kurang memiliki kesadaran akan pentingnya peranan budaya lokal kita ini dalam memperkokoh ketahanan Budaya Bangsa. Padahal sesungguhnya Budaya Lokal yang kita miliki ini dapat menjadikan kita lebih bernilai dibandingkan bangsa lain karena betapa berharganya nilai nilai budaya lokal yang ada di negara ini. Untuk itu seharusnya kita bisa lebih tanggap dan peduli lagi terhadap semua kebudayaan yang ada di indonesia ini. Selain itu kita harus memahami arti kebudayaan serta menjadikan keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia sebagai sumber kekuatan untuk ketahanan budaya bangsa.Agar budaya kita tetap terjaga dan tidak diambil oleh bangsa lain. Karena kekayaan bangsa Indonesia yang tidak ternilai harganya itu dan tidak pula dimiliki oleh bangsa-bangsa asing. Oleh sebab itu, sebagai generasi muda, yang merupakan pewaris budaya bangsa, hendaknya memelihara seni budaya kita demi masa depan anak cucu. Daftar pustaka http://tiuii.ngeblogs.com/2009/10/23/peran-budaya-lokal-memperkokoh-ketahanan-budaya-bangsa-2/ http://staff.undip.ac.id/sastra/dhanang/2009/07/23/peningkatan-kualitas-pembelajaran-sejarah-dan/ http://rendhi.wordpress.com/makalah-pengaruh-globalisasi-terhadap-eksistensi-kebudayaan-daerah/

Oleh Dhanang Respati Puguh A. Manggala Wacana Judul tulisan ini di satu sisi secara eksplisit mengandung dua hal penting yang perlu mendapatkan penyimakan, yaitu: pertama, tentang pentingnya seni dan budaya daerah sehingga perlu dilestarikan; dan kedua tentang pentingnya kedudukan mahasiswa dan lembaga kebudayaan sehingga perlu dilibatkan secara optimal dalam pelestarian seni dan budaya daerah. Namun demikian, di sisi lain judul tulisan ini sesungguhnya secara implisit menyiratkan adanya keprihatinan. Tampaknya sebagai suatu bangsa, perhatian kita terhadap seni dan budaya daerah sangat kecil, sehingga perlu adanya sosialisasi, himbauan, dan upaya-upaya untuk melestarikannya dengan melibatkan mahasiswa dan lembagalembaga kebudayaan. Sehubungan dengan keprihatinan itu, mau tidak mau harus disadari dan diakui bahwa eksistensi seni dan budaya daerah di Indonesia semakin lama semakin tergerus oleh ekspansi seni dan budaya

global. Apabila hal ini terus berlangsung, maka kita semakin tidak apresiatif terhadap seni dan budaya daerah, yang pada gilirannya akan terasing dari seni dan budaya sendiri, sehingga akan kehilangan jati diri. Oleh karena itu, berbagai upaya harus dilakukan untuk melestarikan seni dan budaya daerah di tengah-tengah perubahan zaman dan pengaruh budaya asing yang semakin gencar di Indonesia. Tulisan ini bertujuan untuk membahas tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan untuk mengoptimalisasi peran mahasiswa dan lembaga kebudayaan dalam pelestarian seni dan budaya daerah. Untuk mencapai pembahasan yang relatif utuh, tulisan ini mengangkat tiga pertanyaan pokok, yaitu: 1. Apakah yang dimaksud dengan seni dan budaya daerah? 2. Mengapa seni dan budaya daerah perlu dilestarikan? 3. Mengapa dan bagaimana mengoptimalkan peran mahasiswa dan lembaga kebudayaan dalam pelestarian seni dan budaya daerah? Sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, tulisan ini secara berurutan akan membahas tentang pengertian dan ciri-ciri seni dan budaya daerah, signifikansi pelestarian seni dan budaya daerah, dan optimalisasi peran mahasiswa dan lembaga kebudayaan dalam pelestarian seni dan budaya daerah. B. Seni dan Budaya Daerah: Pengertian dan Ciri-ciri 1. Seni Daerah Seni (karya seni) telah banyak didefinisikan orang. Pengertian seni yang banyak kita pahami adalah hasil tindakan yang berwujud, yang merupakan ungkapan suatu cita (keinginan, kehendak) ke dalam bentuk fisik yang dapat ditangkap dengan indera (Rustopo, 2001: 98).[3] Sementara itu, seni daerah merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut bentuk-bentuk seni yang tumbuh dan berkembang di daerah-daerah yang didukung oleh komunitas masyarakat setempat. Istilah itu juga digunakan untuk membedakannya dari bentuk-bentuk seni yang dianggap seni nasional dan bentukbentuk seni yang dianggap berasal dari wilayah budaya asing (Rustopo, 2001: 101-102). Oleh karena tumbuh dan berkembang di daerah tertentu dan didukung oleh komunitas masyarakat setempat, maka seni daerah ini biasanya berupa seni tradisi yang salah satu di antaranya juga menjadi atau digunakan sebagai identitas suatu daerah tertentu. Seni tradisi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu seni kerakyatan dan seni keraton. Seni kerakyatan memiliki ciri-ciri: a) tumbuh sebagai bagian kebudayaan masyarakat tradisional di wilayah masing-masing, b) memiliki ciri khas dari masyarakat petani yang tradisional, c) perkembangannya lamban, d) merupakan bagian dari satu kosmos kehidupan yang bulat tanpa terbagi dalam pengkotakan spesialisasi, e) karya seni bukan merupakan hasil kreativitas perseorangan, bersifat anomim sesuai dengan sifat kolektivitas masyarakat pendukungnya, f) bentuk seninya bersifat fungsional dalam arti tema, g) bentuk ungkap dan penampilannya berkaitan dengan kepentingan petani, h) tidak halus dan tidak rumit, i) penguasaan terhadap bentuk semacam itu tidak melalui latihanlatihan khusus, j) peralatan sederhana dan terbatas, k) dalam penyajian seolah-olah tidak ada jarak antara pemain dan penonton. Dalam perkembangan, pusat orientasi kosmos bergeser kepada raja penguasa, dan seni tradisi dikembangkan menjadi seni yang beorientasi ke pusat baru, yaitu keraton. Muncullah seni keraton yang merupakan penghalusan dari seni kerakyatan. Seni keraton memiliki ciri-ciri yang berlawanan dengan seni kerakyatan. Ciri-ciri seni keraton adalah: a) didukung oleh komunitas keraton, b) bentuk dan isinya tergarap halus, c) penguasaan terhadapnya memerlukan latihan yang tekun dan lama, dan d) peralatannya kompleks. Dalam perkembangan, seni keraton juga berkembang ke luar tembok keraton, ke tengah-tengah masyarakat kota dan desa-desa meskipun tidak deras dan merata (Kayam, 1981: 5960; Humardani via Rustopo, 2001: 106-108). Adapun contoh seni tradisi kerakyatan di Jawa Tengah adalah Tayub, Rodat, Angguk, Dolalak, Emprak, Barongan, Sintren, dan sebagainya. Sementara itu, seni tradisi keraton berupa seni tari, karawitan, pedalangan, seni rupa, dan sastra. Sekedar sebagai contoh seni tradisi keraton adalah tari bedhaya, srimpi, dan wayang wong.

2. Budaya Daerah Budaya (sering juga disebut kebudayaan) adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1984: 9; dan 1986: 180). J.J. Honigmann dalam The World of Man (1959) membedakan adanya tiga gejala kebudayaan, yaitu ideas, activities, dan artifacts. Sejalan dengan hal tersebut Koentjaraningrat mengemukakan bahwa kebudayaan dapat digolongkan dalam tiga wujud. Pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan. Wujud pertama merupakan wujud ideal dari kebudayaan yang bersifat abstrak (tidak dapat diraba, dipegang, atau difoto), berada di alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan yang bersangkutan hidup. Kebudayaan ideal ini disebut pula tata kelakukan yang berfungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada tindakan, kelakuan, dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Para ahli antropologi dan sosiologi menyebut wujud ideal dari kebudayaan ini dengan cultural system (sistem budaya) yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah adat atau adat istiadat (dalam bentuk jamak). Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud kebudayaan tersebut dinamakan sistem sosial (social system). Wujud kebudayaan ini dapat diobservasi, difoto, dan didokumentasi karena dalam sistem sosial ini terdapat aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi satu dengan yang lain. Sistem sosial merupakan perwujudan kebudayaan yang bersifat konkret dalam bentuk perilaku dan bahasa. Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia; bersifat paling konkret dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat dilihat, diraba, dan difoto. Wujud kebudayaan yang ketiga ini disebut kebudayaan fisik (material culture). Ketiga wujud kebudayaan dalam realitas kehidupan masyarakat tentu tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan dan karya manusia. Ide-ide dan tindakan menghasilkan benda-benda yang merupakan kebudayaan fisik. Sebaliknya kebudayaan fisik membentuk lingkungan hidup tertentu yang dapat mempengaruhi tindakan dan cara berpikir masyarakat (Koentjaraningrat, 1984: 5-6; dan 1986: 186-188). Sementara itu, budaya daerah merupakan istilah yang biasanya digunakan untuk membedakan suatu budaya dari budaya nasional (Indonesia) dan budaya global. Budaya daerah adalah budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang menempati lokalitas atau daerah tertentu yang berbeda dari budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang berada di tempat yang lain. Di Indonesia istilah budaya daerah juga sering disepadankan dengan budaya lokal atau budaya etnik/ subetnik.[4] Setiap bangsa, etnik, dan sub etnik memiliki kebudayaan yang mencakup tujuh unsur, yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi, dan kesenian (Koentjaraningrat, 1986: 203-204). Namun demikian, sifat-sifat khas kebudayaan hanya dapat dimanifestasikan dalam unsur-unsur terbatas, terutama melalui bahasa, kesenian, dan upacara. Unsurunsur yang lain sulit untuk menonjolkan sifat-sifat khas kebudayaan suatu bangsa atau suku bangsa (Koentjaraningrat, 1984: 109). C. Signifikansi Pelestarian Seni dan Budaya Daerah Seni dan budaya daerah perlu dilestarikan karena dianggap masih berguna dan relevan dengan kehidupan. Kebergunaan dan relevansi seni dan budaya daerah terletak pada nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Di setiap unsur kebudayaan yang telah disebutkan beserta sub-subunsurnya dapat dipastikan mengandung nilai-nilai yang berguna bagi masyarakat pemiliknya. Kebergunaan itu terdapat misalnya dalam hal-hal sebagai berikut. a. Bentuk-bentuk ekspresi seni yang berkembang dalam suatu kebudayaan dirasakan tetap memberikan rasa kepuasan estetik. b. Nilai budaya dan norma dalam kebudayaan tertentu tetap dianggap sebagai pemandu perilaku yang menentukan keberadaban, seperti kebajikan, kesantunan, dan keanggunan. c. Teknologi beserta teknik-tekniknya dalam praktik dianggap merupakan keunggulan yang dapat dipersandingkan dan dipersaingkan dengan teknologi yang dikenal dalam kebudayaan lain.

d. Suatu rangkaian tindakan upacara tetap dianggap mempunyai makna simbolik yang dapat diterima meskipun sistem kepercayaan telah berubah. e. Permainan tradisional dan berbagai ekspresi folklor lain tetap dianggap mempunyai daya kreasi yang sehat (Sedyawati, 2008: 280). Walaupun kebudayaan mengalami perubahan dan perkembangan, namun jati diri suatu kebudayaan dapat lestari; artinya lestari yang dinamis, yaitu ciri-ciri pengenalnya secara keseluruhan tetap dimiliki, meskipun bentuk-bentuk ungkapan di dalamnya dapat mengalami perubahan (Sedyawati, 2008: 290). Oleh karena itu, pelestarian yang dilakukan pun juga merupakan pelestarian dinamis. Berkaitan dengan seni dan budaya daerah, upaya-upaya pelestarian dinamis yang dapat ditempuh antara lain: a. pendokumentasian secermat mungkin dengan menggunakan media-media yang sesuai; hasil dokumentasi ini selanjutnya dapat dijadikan sebagai sumber acuan dengan syarat disimpan di tempat yang aman dan diregistrasi secara sistematis agar penelusurannya mudah. b. pembahasan dalam rangka penyadaran, khususnya tentang nilai-nilai budaya, norma, dan estetika. c. pengadaan acara penampilan yang memungkinkan orang mengalami dan menghayati (Sedyawati, 2008: 280). Dengan kegiatan pelestarian dinamis itu, diharapkan akan terbentuk suatu kesadaran kultural yang terdapat pada setiap insan Indonesia (Kartodirdjo, 1994a dan 1994b). Sekarang persoalannya adalah bagaimana kedudukan dan peranan mahasiswa dan lembaga kebudayaan dalam pelestarian dinamis seni dan budaya daerah itu. Berikut ini disampaikan cara-cara untuk mengoptimalisasikan mahasiswa dan lembaga kebudayaan dalam pelestarian seni dan budaya daerah. D. Optimalisasi Peran Mahasiswa dan Lembaga Kebudayaan dalam Pelestarian Seni dan Budaya Daerah 1. Optimalisasi Peran Mahasiswa[5] Mahasiswa memiliki kedudukan dan peranan penting dalam pelestarian seni dan budaya daerah. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa mahasiswa merupakan anak bangsa yang menjadi penerus kelangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Sebagai intelektual muda yang kelak menjadi pemimpin-pemimpin bangsa, pada mereka harus bersemayam suatu kesadaran kultural sehingga keberlanjutan negara bangsa Indonesia dapat dipertahankan. Pembentukan kesadaran kultural mahasiswa antara lain dapat dilakukan dengan pengoptimalan peran mereka dalam pelestarian seni dan budaya daerah. Optimalisasi peran mahasiswa dalam pelestarian seni dan budaya daerah dapat dilakukan melalui dua jalur, yaitu intrakurikuler dan ekstrakulikuler. Jalur Intrakurikuler dilakukan dengan menjadikan seni dan budaya daerah sebagai substansi mata kuliah; sedangkan jalur ekstrakurikuler dapat dilakukan melalui pemanfaatan unit kegiatan mahasiswa (UKM) kesenian dan keikutsertaan mahasiswa dalam kegiatan-kegiatan seni dan budaya yang diselenggarakan oleh berbagai pihak untuk pelestarian seni dan budaya daerah. a. Jalur Intrakurikuler Untuk mengoptimalkan peran mahasiswa dalam pelestarian seni dan budaya daerah diperlukan adanya pemahaman mahasiswa terhadap seni dan budaya daerah. Tanpa adanya pemahaman yang baik terhadap hal itu, mustahil mahasiswa dapat menjalankan peran itu dengan baik. Peningkatan pemahaman mahasiswa terhadap seni dan budaya daerah dapat dilakukan melalui jalur intrakurikuler; artinya seni dan budaya daerah dijadikan sebagai salah satu substansi atau materi pembelajaran dalam satu mata kuliah atau dijadikan sebagai mata kuliah. Kemungkinan yang pertama dapat dilakukan melalui mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) bagi mahasiswa program studi eksakta, dan Ilmu Budaya Dasar dan Antropologi Budaya bagi mahasiswa program studi ilmu sosial. Dalam dua mata kuliah itu terdapat beberapa pokok bahasan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan

pemahaman mahasiswa terhadap seni dan budaya daerah yaitu tentang manusia dan kebudayaan, manusia dan peradaban, dan manusia, sains teknologi, dan seni.[6] Kemungkinan yang kedua tampaknya telah diakomodasi dalam kurikulum program studi-program studi yang termasuk dalam rumpun ilmu budaya seperti program studi di lingkungan Fakultas Sastra atau Fakultas Ilmu Budaya. Beberapa mata kuliah yang secara khusus dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman terhadap seni dan budaya daerah adalah Masyarakat dan Kesenian Indonesia, Manusia dan Kebudayaan Indonesia, dan Masyarakat dan Kebudayaan Pesisir. Melalui mata kuliah-mata kuliah itu, mahasiswa dapat diberi penugasan untuk melihat, memahami, mengapresiasi, mendokumentasi, dan membahas seni dan budaya daerah. Dengan kegiatan-kegiatan semacam itu pemahaman mahasiswa terhadap seni dan budaya daearah akan meningkat yang juga telah melakukan pelestarian. Jalur intrakurikuler lainnya yang dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman bahkan mengoptimalkan peran mahasiswa dalam pelestarian seni dan budaya daerah adalah Kuliah Kerja Nyata (KKN). Mahasiswa-mahasiswa yang telah mendapatkan pemahaman yang mencukupi terhadap seni dan budaya daerah dapat berkiprah langsung dalam pelestarian dan pengembangan seni dan budaya daerah. Kuliah Kerja Profesi (KKP) yang merupakan bentuk lain dari KKN di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro telah digunakan untuk berperan serta dalam pelestarian dan pengembangan seni dan budaya daerah. Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, khususnya yang berasal dari program studi Sejarah, dalam tiga tahun terakhir sebagian telah membantu merevitalisasi seni budaya yang tumbuh dan berkembang di Semarang, misalnya batik Semarang, arsitektur Semarang, dan membantu mempromosikan perkumpulan Wayang Orang Ngesthi Pandhawa. b. Jalur Ekstrakurikuler Pembentukan dan pemanfaatan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kesenian Jawa (Daerah Lainnya) merupakan langkah lain yang dapat ditempuh untuk mengoptimalkan peran mahasiswa dalam pelestarian seni dan budaya daerah. Sehubungan dengan hal itu, pimpinan perguruan tinggi perlu mendorong pembentukan UKM Kesenian Daerah. Lembaga kemahasiswaan itu merupakan wahana yang sangat strategis untuk upaya-upaya tersebut, karena mereka adalah mahasiswa yang benar-benar berminat dan berbakat dalam bidang seni tradisi. Latihan-latihan secara rutin sebagai salah satu bentuk kegiatan UKM kesenian daerah (Jawa misalnya) yang pada gilirannya akan berujung pada pementasan atau pergelaran merupakan bentuk nyata dari pelestarian seni dan budaya daerah. Forum-forum festival seni mahasiswa semacam Pekan Seni Mahasiswa Tingkat Nasional (Peksiminas) merupakan wahana yang lain untuk pengoptimalan peran mahasiswa dalam pelestarian seni dan budaya daerah. 2. Optimalisasi Peran Lembaga Kebudayaan Lembaga-lembaga kebudayaan baik yang berbentuk lembaga swadaya masyarakat (LSM), sanggar, atau paguyuban merupakan elemen lain yang dapat berperan serta dalam pelestarian seni dan budaya daerah. Sejauh ini lembaga kebudayaan dipandang sebagai elemen masyarakat yang relatif memiliki perhatian dan kepedulian terhadap eksistensi dan kelangsungan seni dan budaya daerah. Optimalisasi peran lembaga kebudayaan memerlukan dukungan pemerintah. Pembentukan dewan kesenian merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengoptimalisasikan peran lembaga kebudayaan. Dewan kesenian dapat merencanakan sejumlah kegiatan antara lain dapat berupa penyuluhan, pembinaan, dan pelatihan bagi lembaga-lembaga kebudayaan yang bertujuan untuk memberikan arah dalam pengembangan seni dan budaya daerah. Pemerintah berkewajiban untuk mendorong peran serta lembaga kebudayaan melalui pemberian ruang ekspresi yang cukup dalam bentuk penyediaan gedung-gedung kesenian yang dapat diakses dan dimanfaatkan oleh para seniman untuk berekspresi. Memang, pemerintah telah menyediakan ruang ekspresi itu, namun sering kali para seniman tidak mampu menjangkau sewa gedung yang mahal menurut ukuran seniman (tradisi). Penyediaan fasilitas gratis bagi seniman yang akan menyelenggarakan pergelaran merupakan kebijakan yang ditunggu-tunggu oleh kalangan seniman tradisi. Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan insentif atau apa pun namanya kepada lembaga

kebudayaan yang memiliki komitmen, konsisten, dan secara kontinyu melakukan kegiatan-kegiatan pelestarian seni dan budaya daerah. Menurut sepengatahuan penulis, baik Pemerintah Provinsi Jawa Tengah maupun Pemerintah Kota Semarang telah melakukan hal ini. 3. Kendala-kendala: Pengalaman Pribadi Berdasarkan pengalaman penulis baik sebagai aktivis kegiatan seni mahasiswa, pembina UKM, pengrawit, maupun pelatih seni (karawitan dan Gambang Semarang), terdapat sejumlah kendala yang dihadapi dalam optimalisasi peran serta mahasiswa dalam pelestarian seni dan budaya daerah. Jumlah mahasiswa yang berminat terhadap seni daerah sangat terbatas. Mahasiswa lebih tertarik untuk mengikuti kegiatan minat dan bakat yang lain daripada mengikuti kegiatan yang berkaitan dengan seni tradisi. Mahasiswa lebih memilih bidang seni nontradisi atau bidang penalaran. Di perguruan tinggi nonkesenian, perhatian terhadap bidang seni tradisi relatif rendah. Keterbatasan dana menjadi kendala berikutnya yang akan muncul apabila akan melestarikan seni dan budaya daerah. Optimalisasi peran mahasiswa dalam pelestarian seni dan budaya daerah memerlukan adanya kegiatan pelatihan. Kegiatan pelatihan seni yang berujung pada pergelaran membutuhkan dana yang tidak sedikit. Perguruan Tinggi nonseni sering kali tidak memiliki dana yang cukup atau bahkan tidak mengalokasikan dana untuk kegiatan-kegiatan tersebut. Keterbatasan dan ketiadaan dana untuk kegiatan pelatihan dan pergelaran seni daerah di perguruan tinggi merupakan cermin kurangnya perhatian atau mungkin tidak adanya perhatian perguruan tinggi dalam pelestarian seni dan budaya daerah. Semoga tidak. E. Purna Wacana Penyair Belanda Lucebert mengatakan bahwa semua yang berharga tidak mampu bertahan (Smiers, 2008: 383). Pernyataan itu benar karena cocok untuk menggambarkan eksistensi seni dan budaya daerah di Indonesia yang semakin lama semakin tergerus oleh ekspansi budaya global. Namun demikian, bertolak dari kalimat penyair itu bagaimana pun juga kita harus melakukan berbagai hal dengan berbagai cara untuk mempertahankannya. Pelestarian seni dan budaya daerah merupakan salah satu strategi kebudayaan yang perlu dan penting dilakukan. Melalui pendokumentasian, pengkajian, dan penampilan seni dan budaya daerah, kita setidaknya dapat melakukan pelestarian dinamis, karena nilai-nilai yang terdapat dalam seni dan budaya daerah itu dapat diketahui, dipahami, dihayati, dan dihargai (apresiasi). Dari proses-proses itu pada gilirannya akan membuahkan hasil, yaitu adanya kesadaran kultural. Dengan adanya kesadaran kultural, seni dan budaya daerah dapat dikembangkan untuk tujuan-tujuan positif dalam kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan adanya pemahaman terhadap seni dan budaya daerah, kita akan dapat mengetahui dan menghormati adanya keanekaragaman budaya dalam masyarakat Indonesia, tidak terjebak pada etnosentrisme, sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis yang kita cita-citakan dapat terwujud. Di akhir tulisan ini, saya ingin mengajak semua pihak untuk melestarikan seni dan budaya daerah. Mari kita berjuang untuk melestarikan seni dan budaya daerah. Semoga berhasil.

DAFTAR PUSTAKA Kartodirdjo, Sartono. 1994a. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Kartodirdjo, Sartono. 1994b. Pembangunan Bangsa tentang Nasionalisme, Kesadaran dan Kebudayaan Nasional. Yogyakarta: Aditya Media. Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Cetakan ke-11. Jakarta: Gramedia.

Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Cetakan ke-6. Jakarta: Aksara Baru. Rustopo, 2001. Gendhon Humardani Sang Gladiator: Arsitek Kehidupan Seni Tradisi Modern.Yogyakarta: Mahavhira. Sedyawati, Edi. 2006. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: Rajawali Press. Sedyawati, Edi. 2007. Keindonesiaan dalam Budaya: Buku 1 Kebutuhan Membangun Bangsa yang Kuat. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Sedyawati, Edi. 2008. Keindonesiaan dalam Budaya: Buku 2 Dialog Budaya Nasional dan Etnik, Peranan Industri Budaya dan Media Massa, Warisan Budaya dan Pelestarian Dinamis. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Setiadi, Elly M., Kama A. Hakam, Ridwan Effendi. 2007. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Cetakan ke-2. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Smiers, Joost. 2009. Arts under Pressure: Memperjuangkan Keanekaragaman Budaya di Era Globalisasi. Terjemahan Umi Haryati. Yogyakarta: Insistpress.

[1]Makalah disampaikan dalam acara Temu Muka Seni dan Budaya Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 dengan tema Pelestarian Seni dan Budaya Daerah dalam Rangka Memperkokoh Ketahanan Bangsa yang diselenggarakan oleh Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat Provinsi Jawa Tengah. Semarang, 17 Juni 2009. [2]Dosen Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro dan Praktisi Seni. [3]Definisi ini dikemukakan oleh tokoh pembaharu seni tradisi Jawa S.D. Humardani (1923-1983) yang pernah menjabat sebagai Ketua Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta (19751983) dan Ketua Pusat Kesenian Jawa Tengah (1970-1983) di Surakarta. [4]Edi Sedyawati (2007 dan 2008: vi) menyatakan bahwa penggunaan istilah budaya daerah untuk menyebut budaya suku-suku bangsa di Indonesia adalah tidak tepat, karena kata daerah mengesankan lawan dari pusat. Padahal di sini yang diperbedakan adalah budaya bangsa (= nasional) dan budaya suku bangsa. Budaya nasional tentunya tidak dapat disamaartikan dengan budaya pusat, karena ia juga merupakan budaya seluruh bangsa Indonesia, baik di pusat maupun di daerah. Lagi pula suatu budaya suku bangsa tidak dapat dikaitkan secara mutlak dengan satuan daerah administratif, karena ada sejumlah suku bangsa yang tinggal menyebar melintasi batas-batas administratif. [5]Mahasiswa yang dimaksud dalam tulisan ini adalah mereka yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi nonseni, bukan mahasiswa yang secara khusus menempuh pendidikan pada program studi tertentu di perguruan tinggi seni. Mahasiswa yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi seni, khususnya yang mengambil program studi seni tradisi dianggap telah berperan serta dalam pelestarian seni dan budaya daerah. [6]Lihat Setiadi, Elly M., Kama A. Hakam, Ridwan Effendi (2007) dan Koentjaraningrat (1986).

Teror
By Yudhit Ciphardian

Modernisasi yang menjadi anak kandung abad 21 membagi manusia menjadi tiga jenis. Jenis pertama menjalani, menikmati dan menuai keuntungan dari remeh-temeh produk barang dan jasa. Orang-orang di golongan ini tidak hanya modern dalam tingkah-polahnya, tapi juga dalam pikirannya. Mereka lahir dan tumbuh besar dalam cuaca dan atmosfer yang dalam modernisasi kita kenal dalam istilah rasionalisme (logis dan dapat dicerna indera), efektivitas (cepat-tepat-ringkas), individualis (tentang aku dan kelompokku) dan hedonis (memburu kenikmatan ragawi). Jenis kedua adalah mereka yang gagap, minder dan takluk pada modernisasi. Orang-orang di jenis kedua ini sesekali kritis pada modernisasi tapi tak kuasa menahan gempurannya. Mereka melakoni dengan pasrah hidup secara modern dalam masyarakat yang (sejatinya) masih primitif. Acapkali golongan ini merindukan nilai-nilai hi-dup yang lebih otentik, oriental dan orisinil demi kesempurnaan hidupnya. Tapi, apa daya, cuaca dan atmosfer itu begitu kuat berhembus menelusup sumsum tulang dan memperlambat peredaran darah. Tubuh, jiwa dan pikiran tak bebas bergerak meski kehendak begitu kuatnya. Anda dapat menduga, saya ada di golongan ini. Jenis ketiga ada di pinggiran dan terlempar daripadanya. Modernisasi adalah dunia lain menurut golongan ini. Mereka inilah korban sejati. Dari ketiga jenis itu, tidak ada satu golongan pun yang layak dianggap bersalah atau lebih unggul daripada yang lainnya. Khusus untuk jenis ketiga, ada yang spesial. Mereka percaya, modernisasi lahir dari belahan barat dunia. Dari Eropa dan Amerika, gampangnya. Mereka serta-merta menolak dan berniat membendungnya dengan apa saja yang mungkin. Jika dianggap perlu, mereka hendak meluluhlantakan modernisasi agar kehidupan kembali pada kesucian dan kemurnian. Modernisasi bukan soal agama. Sialnya, golongan ini melakukan simplifikasi yang ceroboh. Mereka meredusir masalah ini sedemikian piciknya hingga tampak seolah-olah seperti perjuangan agama tertentu melawan agama yang lain. Mereka dengan telak telah salah mengartikan modernisasi seperti imperialisme agama modern terhadap agama tradisional. Maka, mereka melakukan teror bom. Mereka bunuh diri sembari membunuh orang lain yang tak berdosa demi sebuah pesan pada dunia, kami ada dan rela mati untuk menolak Barat. Kesucian dan kemurnian hidup harus dipertahankan, meski dengan kematian diri dan orang lain. Begitu pikir mereka. Lucunya, tak ada satupun manusia normal yang simpati dengan perjuangan mereka, kecuali kelompok mereka sendiri. Lantas, apakah modernisasi akan terusik oleh teror-teror itu? Jelas tidak. Modernisasi adalah jaman yang bergerak. Apakah teror-teror itu akan membuat kita takut dan mengubah cara pandang kita tentang kehidupan? Lebih baik jangan. Jika pesan itu sudah salah sejak awal, maka caranya pun juga salah. Jika kita takut, lalu diam dan mengundurkan diri sebagai agen kebaikan, kita ada dalam kendali para pelaku teror itu. Modernisasi adalah cuaca dan atmosfer yang tak sekalipun dapat mengganggu hidup kristiani kita. Apalagi cuma teror bom.

Rate this:

Rate This i

Anda mungkin juga menyukai