Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TELAAH PUSTAKA DAN KERANGKA PENELITIAN



A. Telaah Pustaka
1. Konsep Dasar Perpajakan
DeIinisi atau pengertian pajak menurut ProI. Dr. Rochmat Soemitro, SH ,
pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang
dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang
langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum.
Menurut ProI. S.I. Djajadiningrat, pajak sebagai suatu kewajiban untuk
menyerahkan sebagian dari kekayaan kepada negara dissebabkan oleh suatu
keaadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu tetapi
bukan sebagai hukuman, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah
serta dapat dipaksaakan, tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung
untuk memelihara kesejahteraan umum.
Sedangkan deIinisi pajak menurut ProI. Dr. P. J. A. Adriani ,pajak adalah
iuran kepada negara yang dapat dipaksakan, yang terutang oleh wajib pajak
membayarnya menurut peraturan derngan tidak mendapat imbalan kembali yang
dapat ditunjuk secara langsung.
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersiIat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan
tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan
negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Mardiasmo,2009:1)
Berdasarkan deIinisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki
unsur-unsur :
a. Iuran dari rakyat kepada negara.
Yang berhak memungut pajak adalah negara. Iuran tersebut berupa
uang (bukan barang).
b. Berdasarkan undang-undang.
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang
serta aturan pelaksanaannya.
c. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara
langsung dapat ditunjuk.
Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya
kontraprestasi individual oleh pemerintah.
d. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni
pengeluaran-pengeluaran yang bermanIaat bagi masyarakat luas.
Sedangkan menurut Iungsinya, terdapat dua Iungsi pajak, yaitu :
a. Fungsi Budgetair
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluarannya.
b. Fungsi Mengatur (regulerend)
Pajak sebagai alay untuk mengatur atau melaksanakan
kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
Agar pemungutan pajak ini tidak menimbulkan hambatan atau
perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut
(Mardiasmo,2009:2) :
a. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)
Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak
secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan
masing-masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya yakni
dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan
keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding
kepada Majelis Pertimbangan Pajak.
b. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat
Yuridis)
Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal
ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik
bagi negara maupun warganya.
c. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis)
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan
produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan
kelesuan perekonomian rakyat.
d. Pemungutan pajak harus eIisien (Syarat Finansiil)
Sesuai Iungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat
ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.
e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan
mendorong masyarakatdalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang
baru.
Terdapat tiga sistem pemungutan pajak, yaitu (Mardiasmo,2009:7) :
a. 11.,l Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada
pemerintah (Iiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang
terutang oleh wajib pajak.
b. Sel1 Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang
terutang.
c. th Holdng System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada pihak ketiga (bukan Iiskus dan bukan wajib pajak yang
bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang
oleh wajib pajak.
. Wajib Pajak Efektif
ajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran pajak,
pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
(Mardiasmo,2009:21).
Sedangkan badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang
merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan
usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam
bentuk apapun, Iirma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan
yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya,
lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektiI dan bentuk
usaha tetap (Mardiasmo,2009:21).
ajib pajak juga mempunyai hak dan kewajiban dalam melaksanakan tata
cara perpajakannya, kewajiban wajib pajak yang harus dilakukan adalah :
a. MendaItarkan diri untuk mendapatkan NPP.
b. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.
c. Menghitung dan membayar sendiri pajak dengan benar.
d. Mengisi dengan benar SPT (SPT diambil sendiri), dan
memasukkan ke Kantor Pelayanan Pajak dalam batas waktu yang
telah ditentukan.
e. Menyelenggarakan pembukuan / pencatatan.
I. Apabila dilakukan pemeriksaan wajib :
Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan,
dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang
berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan
usaha, pekerjaan bebas wajib pajak, atau objek yang terutang
pajak.
Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan
yang dipandang perlu dan memberikan bantuan guna
kelancaran pemeriksaan
g. Apabila dalam waktu mengungkapkan pembukuan, pencatatan
atau dokumen serta keterangan yang diminta, wajib pajak terikat
oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan, maka kewajiban untuk
merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan
pemeriksaan.
Sedangkan hak-hak wajib pajak diantaranya adalah :
a. Mengajukan surat keberatan dan surat banding.
b. Menerima tanda bukti pemasukan SPT.
c. Melakukan pembetulan SPT yang telah dimasukkan.
d. Mengajukan permohonan penundaan pemasukan SPT.
e. Mengajukan permohonan penundaan atau pengangsuran
pembayaran pajak.
I. Mengajukan permohonan perhitungan pajak yang dikenakan dalam
surat ketetapan pajak.
g. Meminta pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
h. Mengajukan permohonan penghapusan dan penngurangan sanksi,
serta pembetulan surat ketetapan pajak yang salah.
i. Memberi kuasa kepada orang untuk melaksanakan kewajiban
pajaknya.
j. Meminta bukti pemotongan atau pemungutan pajak.
k. Mengajukan keberatan atau banding.
Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-89/PJ/2009 deIinisi
wajib pajak eIektiI dan wajib pajak non eIektiI adalah sebagai berikut :
a. ajib pajak eIektiI adalah wajib pajak yang memenuhi kewajiban
perpajakannya berupa memenuhi kewajiban menyampaikan Surat
Pemberitahuan (SPT) Masa dan atau Surat Pemberitahuan (SPT)
Tahunan sebagaimana mestinya.
b. ajib pajak non-eIektiI adalah wajib pajak yang tidak melakukan
pemenuhan kewajiban perpajakannya baik berupa pembayaran
maupun penyampaian SPT Masa dan atu SPT Tahunan sesuai
dengan ketentuan Peraturan PerundangUndangan Perpajakan
yang nantinya dapat diaktiIkan kembali.
Sebagaimana telah ditegaskan dalam surat edaran Direktorat Jendral Pajak
Nomor SE-89/PJ/2009, wajib pajak non-eIektiI adalah sebagai berikut :
a. Selama tiga tahun berturutturut tidak pernah melakukan
pemenuhan kewajiban perpajakan baik berupa pembayaran pajak
maupun penyampaian SPT Masa dan atau SPT Tahunan.
b. ajib pajak yang sudah meninggal dunia/bubar tetapi belum ada
surat keterangan resminya.
c. Tidak diketahui atau ditemukan lagi alamatnya.
d. ajib pajak secara nyata tidak menunjukan kegiatan usahanya.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan wajib
pajak eIektiI adalah wajib pajak yang memenuhi kewajiban perpajakannya yang
tercermin dari pemenuhan penyampaian SPT Masa dan atau SPT Tahunan. ajib
pajak non eIektiI adalah wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban
perpajakannya yang tercermin dari tidak dipenuhinya kewajiban penyampaian
SPT Masa dan atau SPT Tahunan tersebut.
. Kepatuhan Wajib Pajak
Kepatuhan adalah perilaku untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan
aktivitas tertentu sesuai dengan kaidah dan aturan yang berlaku. Kepatuhan wajib
pajak adalah perilaku wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya
sesuai dengan peraturan yang berlaku. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan (Badudu dan Zain,
1994; 1013).
Perilaku kepatuhan seseorang merupakan interaksi antara perilaku
individu, kelompok dan organisasi (Robbins, 2001:32). Sedangkan menurut SaIri
Nurmantu kepatuhan wajib pajak adalah suatu keadaan dimana wajib pajak
memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.
Menurut Chaizi Nasucha, kepatuhan wajib pajak dapat diidentiIikasi dari
kepatuhan wajib pajak dalam mendaItarkan diri, kepatuhan untuk menyetorkan
kembali Surat Pemberitahuan (SPT), kepatuhan dalam perhitungan dan
pembayaran pajak terutang serta kepatuhan dalam pembayaran tunggakan. Erard
dan Feinstin seperti yang dikutip Fandi Ahmad, menggunakan teori psikologi
dalam kepatuhan wajib pajak, yaitu rasa bersalah dan rasa malu, persepsi wajib
pajak atas kewajaran dan keadilan beban pajak yang mereka tanggung dan
pengaruh kepuasan terhadap pelayanan pemerintah. Isu kepatuhan dan hal-hal
yang menyebabkan ketidakpatuhan serta upaya untuk meningkatkan kepatuhan
menjadi agenda penting di negara-negara maju, apalagi di negara-negara
berkembang.
Menurut Gunadi seperti dikutip Marcus TauIan, administrasi perpajakan
harus dapat meningkatkan kepatuhan membayar pajak. Hadi Purnomo dalam
Decky ahyu Pramana (2010) menyatakan tiga strategi dalam meningkatkan
kepatuhan wajib pajak melalui administrasi perpajakan, yaitu pertama dengan
membuat program dan kegiatan yang diharapkan dapat menyadarkan dan
meningkatkan kepatuhan sukarela, khususnya bagi wajib pajak yang belum patuh,
kedua adalah meningkatkan pelayanan terhadap wajib pajak yang relatiI sudah
patuh sehingga tingkat kepatuhannya dapat dipertahankan atau ditingkatkan,
ketiga meningkatkan kepatuhan dengan program dan kegiatan yang dapat
memerangi ketidakpatuhan .omb,tng non.ompl,n.e).
Kepatuhan wajib pajak dapat diidentiIikasi dari kepatuhan wajib pajak
dalam mendaItarkan diri, kepatuhan untuk menyetorkan kembali Surat
Pemberitahuan (SPT), kepatuhan dalam penghitungan dan pembayaran pajak
terutang, dan kepatuhan dalam pembayaran tunggakan. Isu kepatuhan menjadi
penting karena ketidakpatuhan secara bersamaan akan menimbulkan upaya
penghindaran pajak, seperti t, ev,son dan t, ,vod,n.e (Somang, 2006).
Nurmantu (2009) menyatakan bahwa kepatuhan perpajakan timbul karena adanya
sanksi perpajakan. Meskipun demikian, sulit untuk membedakan apakah
seseorang wajib pajak yang memenuhi kewajiban perpajakannya dimotivasi oleh
kesadarannya ataukah dimotivasi oleh kepatuhannya.
Ada dua macam kepatuhan menurut Nurmantu (2009), yaitu kepatuhan
Iormal dan kepatuhan materiil. Kepatuhan Iormal adalah suatu keadaan dimana
wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakan dengan menitik beratkan pada nama
dan bentuk kewajiban saja, tanpa memperhatikan hakekat kewajiban itu sendiri.
Contohnya menyampaikan SPT PPh sebelum tanggal 31 Maret, akan tetapi
mengabaikan kebenaran pengisian SPT PPh tersebut.
Sedangkan kepatuhan materiil adalah suatu keadaan dimana wajib pajak
selain memenuhi kewajiban perpajakannya tetapi juga memenuhi hakekat
kewajiban perpajakannya tersebut. Selain menyampaikan SPT PPh sebelum
tanggal 31 Maret, wajib pajak juga memperhatikam kebenaran pengisian SPT PPh
tersebut.
Permasalahan mengenai kepatuhan wajib pajak menurut Raja Malem
Tarigan (2005) dibagi menjadi tiga, yaitu permasalahan yang berasal dari internal,
sistem dan eksternal. Permasalahan internal adalah permasalahan yang berasal
dari lembaga pajak. Permasalahan sistem adalah permasalahan yang berasal dari
sistem perpajakan yang masih perlu direIormasi. Sedangkan permasalahan
eksternal bersumber dari wajib pajak itu sendiri. Penjabaran mengenai ketiga
permasalahan tersebut akan diuraikan sebagai berikut :
a. Permasalahan Internal
Permasalahan yang pertama adalah permasalahan internal yang
berasal dari lembaga pajak. Belum optimalnya prinsip good
govern,n.e di lembaga pajak mengakibatkan masyarakat enggan
membayar pajak. Transparansi dan kejujuran serta proIesionalisme
kinerja Iiskus terkadang dipertanyakan. Di samping itu layanan
prima serta pembelajaran masih sulit didapat. Selain itu, inIormasi
pajak belum menyentuh semua elemen masyarakat. alaupun
sosialisasi perpajakan sangat gencar, tetapi tetap saja tidak
menyentuh semua elemen masyarakat. Sosialisasi seperti itu hanya
tersampaikan ke masyarakat yang tinggal d perkotaan. Padahal
masih banyak masyarakat di pedesaan yang tidak tahu-menahu
mengenai urgensi pajak.
b. Permasalahan Sistem Pemungutan Pajak
Permasalahan sistem pemungutan pajak berasal dari cara-cara
pemungutan pajak. Salah satunya adalah keluhan dari masyarakat
terkait dengan sistem pembayaran yang belum handal. Sistem sel1
,ssessment dalam tataran konsepnya sangat ideal, tetapi ternyata
masih menyisakan berbagai permasalahan sehingga memancing
tindakan-tindakan kecurangan yang nantinya berpengaruh pada
perilaku ketidakpatuhan wajib pajak.
c. Permasalahan Eksternal
Permasalahan eksternal adalah permasalahan yang bersumber dari
wajib pajak. Permasalahan eksternal timbul karena permasalahan
internal aparat pajak dan permasalahan sistem pajak itu sendiri.
Permasalahan ini dimulai dari ketidakpercayaan bahwa pajak yang
dibayarkan akan dikembalikan lagi kepada mereka (wajib pajak).
Kepatuhan wajib pajak juga dibentuk oleh dimensi pemeriksaan pajak,
penegakkan hukum dan kompensasi pajak. Tujuan pemeriksaan adalah untuk
menguji kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Apabila penegakkan hukum dapat memberikan keadilan dan kepastian hukum
maka wajib pajak akan taat, patuh dan disiplin dalam membayar pajak. Demikian
pula bila wajib pajak merasa kompensasi pajak telah memenuhi harapan mereka
maka mereka akan membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Kepatuhan wajib pajak diukur dari perbandingan jumlah SPT Masa PPh
Pasal 25 Orang Pribadi dan Badan yang dilaporkan tepat waktu dengan jumlah
wajib pajak orang pribadi dan badan yang aktiI. Dalam penelitian ini peneliti
hanya membatasi bentuk kepatuhan wajib pajak dilihat dari tolak ukur wajib
pajak yang membayar dan melaporkan pajak yang terutang tepat pada waktunya.
Dengan demikian kriteria yang dimaksud adalah ketepatan dalam pelaporan SPT
masa PPh Pasal 25 yaitu dilaporkan selambat-lambatnya dua puluh hari bulan
takwim setelah masa pajak berakhir.
Tentunya dengan penekanan penerimaan pajak sebagai kontribusi terbesar
penerimaan negara diharapkan semua wajib pajak di Indonesia berpredikat patuh,
yang berimplikasi pada optimalisasi penerimaan pajak (Devano,2006:116).
4. Pemeriksaan Pajak
Pemeriksaan pajak adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan
mengolah data, keterangan, dan/bukti yang dilaksanakan secara objektiI dan
proIesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan pajak untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam
rangka melaksanakan ketentuan perundang-undangan perpajakan (UU No. 16
Tahun 2009). Pemeriksaan pajak dibagi menjadi dua menurut tempat
pemeriksaannya, yaitu :
a. Pemeriksaan Lapangan
Pemeriksaan Lapangan adalah Pemeriksaan yang dilakukan di
tempat kedudukan, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas,
tempat tinggal wajib pajak, atau tempat lain yang ditentukan oleh
Direktorat Jendral Pajak.
b. Pemeriksaan Kantor
Pemeriksaan Kantor adalah pemeriksaan yang dilakukan kepada
ajib Pajak di Kantor Unit Pelaksana pemeriksaan pajak yang
meliputi satu jenis pajak tertentu pada tahun berjalan dan tahun-
tahun sebelumnya yang dapat dilaksanakan melalui Pemeriksaan
Sederhana Kantor atau Pemeriksaan dengan Korespondensi.
Pemeriksaan Sederhana Kantor adalah pemeriksaan yang
dilakukan dengan mengirimkan surat panggilan kepada ajib
Pajak untuk datang ke kantor Dirjen Pajak dan meminjamkan
buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen.
Tujuan dilaksanakannya pemeriksaan pajak adalah menguji kepatuhan
wajib pajak dan tujuan lainnya. Penjelasan dari tujuan pemeriksaan pajak, yaitu
untuk :
1. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan :
a. SPT lebih bayar dan atau rugi.
b. SPT tidak atau terlambat disampaikan.
c. SPT memenuhi kriteria yang ditentukan Direktur Jenderal
Pajak untuk diperiksa.
d. ajib pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang
menyatakan lebih bayar, termasuk yang telah diberikan
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
e. ajib pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang
menyatakan rugi.
I. Tidak menyampaikan atau menyampaikan Surat
Pemberitahuan tetapi melampaui jangka waktu yang telah
ditetapkan dalam Surat Teguran.
g. Melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi,
pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-
lamanya.
h. Menyampaikan Surat Pemberitahuan yang memenuhi kriteria
seleksi berdasarkan hasil analisis risiko (rsk b,sed sele.ton)
mengindikasikan adanya kewajiban perpajakan wajib pajak
yang tidak dipenuhi sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
2. Tujuan lain, yaitu :
a. Pemberian NPP (secara jabatan)
b. Penghapusan NPP.
c. Pengukuhan PKP secara jabatan dan pengukuhan atau
pencabutan Pengukuhan PKP.
d. ajib Pajak mengajukan keberatan atau banding.
e. Pengumpulan bahan untuk penyusunan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto.
I. Pencocokan data dan atau alat keterangan.
g. Penentuan ajib Pajak berlokasi di tempat terpencil.
h. Penentuan satu atau lebih tempat terutang PPN.
i. Tujuan lain selain a s/d g.
Dalam pelaksanaan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan, wajib pajak mempunyai hak dan kewajiban dalam
pemenuhan pemeriksaan.
Hak wajib pajak saat dilakukan pemeriksaan diantaranya :
1. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda
Pengenal Pemeriksa.
2. Meminta tindasan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak.
3. Menolak untuk diperiksa apabila Pemeriksa tidak dapat
menunjukan Tanda Pengenal Pemeriksa dan Surat Perintah
Pemeriksaan.
4. Meminta penjelasan tentang maksud dan tujuan pemeriksaan.
5. Meminta tanda bukti peminjaman buku-buku, catatan-catatan, serta
dokumen dokumen yang dipinjam oleh Pemeriksa Pajak.
6. Meminta rincian berkenaan dengan hal-hal yang berbeda antara
hasil pemeriksaan dengan Surat Pemberitahuan (SPT) mengenai
koreksi-koreksi yang dilakukan oleh Pemeriksa Pajak terhadap
SPT yang telah disampaikan.
7. Mengajukan pengaduan apabila kerahasiaan usaha dibocorkan
kepada pihak lain yang tidak berhak memperoleh lembar Asli
Berita Acara Penyegelan apabila Pemeriksa Pajak melakukan
penyegelan atas tempat atau ruangan tertentu.
Sedangkan Kewajiban wajib pajak pada saat dilakukan pemeriksaan
adalah :
a. Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan,
dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lainnya yang
berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha,
pekerjaan bebas P atau objek yang terutang pajak.
b. Memberi kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat
atau ruangan yang dipandang perlu oleh pemeriksa dan memberi
bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
c. Memberi keterangan yang diperlukan.
Orang yang memeriksa pajak atau pemeriksa pajak adalah pegawai negeri
sipil di lingkungan direktorat jenderal pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh
Direktorat Jenderal Pajak, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab
untuk melaksanaan pemeriksaan. Dalam menjalankan pemeriksaan, petugas
pemeriksa pajak dibekali dengan Surat Perintah Pemeriksaan dan wajib untuk
membawa Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak. Peraturan tentang pemeriksaan pajak
diatur selengkapnya dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
199/PMK.03/2007.
Jumlah Pemeriksaan pajak ini dapat diukur dengan jumlah Surat
Ketetapan Pajak yang diterbitkan oleh KPP.
. Pajak Penghasilan
Pajak penghasilan adalah pungutan resmi yang ditujukan kepada
masyarakat yang berpenghasilan atau penghasilan yang diterima atau yang
diperoleh tahun pajak, untuk keperluan negara dan masyarakat dalam hidup
berbangsa dan bernegara sebagai salah satu kewajiban yang harus dilakukan.
Dasar hukum Pajak Penghasilan adalah Undang-undang Nomor. 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1984 Undang-
undang ini telah diubah dengan Undang-undang Nomor. 7 tahun 1991, kemudian
diubah kembali dengan Undang-undang Nomor. 10 Tahun 1994 dan terakhir
diubah dengan Undang-undang Nomor. 17 Tahun 2000.
Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh ajib Pajak, baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan ajib Pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk :
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan,
honorarium, komisi, bonus, gratiIikasi, uang pensiun, atau imbalan
dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-
undang ini.
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
c. Laba usaha.
d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta,
termasuk :
1. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham
atau penyertaan modal.
2. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan
badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang
saham, sekutu, atau anggota.
3. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha.
4. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan
atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan
keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau
pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara
pihak-pihak yang bersangkutan.
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan
sebagai biaya.
I. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang.
g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen
dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian
sisa hasil usaha koperasi.
h. Royalti.
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan
jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
n. Premi asuransi.
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya
yang terdiri dari ajib Pajak yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas.
p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang
belum dikenakan pajak.
Lebih lanjut, dalam Undang-undang No.29 tahun 2002 tentang APBN
tahun anggaran 2003, pajak penghasilan dikelompokan menjadi 2 (dua) bagian,
yaitu :
a. Pajak Penghasilan Non Migas
1. PPh Pasal 21
2. PPh pasal 22 non impor
3. PPh pasal 22 impor
4. PPh pasal 23
5. PPh pasal 25 dan pasal 29 orang pribadi
6. PPh pasal 25 dan pasal 29 badan
7. PPh pasal 26
8. PPh Final dan Fiskal luar negeri
b. Pajak Penghasilan Minyak dan Gas Bumi serta Gas Alam
. Penerimaan Pajak Penghasilan
Penerimaan Pajak Penghasilan salah satunya dapat dilihat dari jumlah
penerimaan pajak penghasilan pasal 25/29 baik yang berasal dari wajib pajak
orang pribadi dan wajib pajak badan yang diterima Kantor Pelayanan Pajak
Purwokerto per tahun mulai tahun 2008 sampai dengan 2010. Penerimaan PPh
pasal 25/29 ini tidak termasuk restitusi dan sanksi berupa denda atau bunga yang
dibayarkan oleh wajib pajak.
B. Kerangka Penelitian
Sasaran utama dari kebijaksanaan keuangan negara di bidang penerimaan dalam
negeri adalah untuk menggali, mendorong, dan mengembangkan sumber-sumber
penerimaan dari dalam negeri agar jumlahnya meningkat sesuai dengan kebutuhan
pembangungan. Populasi dunia usaha di Indonesia yang pesat merupakan indikator
peningkatan potensi penerimaan pemerintah dari sektor pajak meskipun belum
mencerminkan kondisi yang diinginkan, karena itu kebijaksanaan sektor perpajakan
diarahkan untuk mendorong perekonomian.
Menurut Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan, rasio kepatuhan wajib
pajak dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan hingga April 2010 telah
mencapai 54,48 persen atau 7,73 juta. Jumlah SPT diterima mencapai 7.733.271 dari total
wajib pajak terdaItar wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh sebesar 14.101.933. Pada
2009 rasio kepatuhan wajib pajak hanya 5.413.114 atau sebesar 52,61 persen dengan
jumlah wajib pajak terdaItar sebanyak 10.289.590.
Untuk mencapai target pajak, perlu ditumbuhkan terus menerus kesadaran dan
kepatuhan masyarakat wajib pajak untuk memenuhi kewajiban pajak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Mengingat kesadaran dan kepatuhan wajib pajak merupakan
Iaktor penting bagi peningakatan penerimaan pajak, maka perlu secara intensiI dikaji
tentang kepatuhan dan jumlah wajib pajak eIektiI (Bradley, Cassie Francies, 1994).
Penduduk Indonesia yang mencapai 220 juta jiwa, merupakan angka yang
besar dan menjadi modal besar untuk sektor penerimaan dari bidang pajak. Namun dari
besarnya angka tersebut, jumlah wajib pajak Indonesia per 28 Februari 2011 hanya
tercatat sebanyak 19.410.174. Mereka ini terdiri dari tiga unsur, yakni wajib pajak orang
pribadi, bendahara dan badan. Dengan rincian jumlah wajib pajak orang pribadi
mencapai 17.112.405 P. Disusul kemudian, wajib pajak badan sebanyak 1.822.407
P, dan wajib pajak bendahara sebesar 475.366 P (tribunnews,08 april 2011). Ini
merupakan angka yang cukup kecil dan tidak mencapai setengah dari jumlah penduduk
Indonesia. Namun dengan jumlah wajib pajak yang cenderung kecil tersebut, pemerintah
Indonesia bisa menjalankan pemerintahan dan melaksanakan seluruh kegiatannya dengan
baik, disamping ada pinjaman hutang dari luar negeri. Pajak sudah menjadi tulang
punggung dalam penerimaan kas negara.
Namun per 31 Maret 2011, Ditjen Pajak hanya menerima SPT PPh sebanyak
7.946.390. Capaian itu sendiri sudah menunjukkan pertumbuhan sebesar 30,02 persen
dibanding tahun sebelumnya yakni tahun 2010 yang hanya sebanyak 6.111.727 SPT.
Namun, capaian tersebut masih jauh dari nilai ideal yang seharusnya didapat oleh
Direktorat Jenderal Pajak. Jumlah wajib pajak di Indonesia masih terhitung kecil, dengan
angka tersebut tahun 2011 ini Direktorat Jenderal Pajak melakukan sensus pajak selama
sebulan dengan tujuan untuk lebih meningkatkan jumlah wajib pajak dan sekaligus
mencatat dan menghitung wajib pajak yang eIektiI dan non-eIektiI.
Sedangkan tujuan utama dari dilaksanakannya pemeriksaan pajak adalah untuk
menumbuhkan perilaku kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan
(t, .ompl,n.e) yaitu dengan jalan penegakkan hukum (l, en1or.ement) sehingga akan
berdampak pada peningkatan penerimaan pajak pada KPP yang akan masuk dalam kas
negara. Dengan demikian, pemeriksaan pajak merupakan pagar penjaga agar wajib pajak
mematuhi kewajibannya.
Dian Victor P dalam penelitiannya di Universitas Kristen Petra yang berjudul
'Analisa Pengaruh Jumlah P, Jumlah Pemeriksaan Pajak dan Kepatuhan Penagihan
dengan Surat Paksa terhadap Penerimaan Pajak di KPP Batu menemukan bahwa
variabel pemeriksaan pajak berpengaruh signiIikan terhadap penerimaan pajak di KPP
Batu. Pemeriksaan pajak ini menggunakan data jumlah seluruh Surat Ketetapan Pajak
yang diterbitkan oleh KPP Batu tahun 2002 sampai 2004.
Rosana Halim dalam penelitiannya di Universitas Kristen Petra yang berjudul
'Pengaruh Kepatuhan ajib Pajak Badan terhadap realisasi Penerimaan Pajak di Kantor
Pelayanan Pajak Surabaya Genteng mengambil kesimpulan bahwa variabel jumlah
kepatuhan wajib pajak dilihat dari pembayaean PPh pasal 25 bahwa variabel ini
berpengaruh terhadap penerimaan pajak di KPP Surabaya Genteng. Dan variabel
Penerimaan Pajak dilihat dari penerimaan PPh pasal 25/29 Badan per bulan selama tiga
tahun.
Penelitian serupa dilakukan oleh Very Rachmawan (Universitas Airlangga,2001)
dengan judul 'Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Penghasilan
di Kotamadya Surabaya Ditinjau dari ajib Pajak. Dalam penelitian ini, Very
Rachmawan menguji 3 (tiga) variabel independen yaitu jumlah wajib pajak terdaItar,
kepatuhan wajib pajak dan tingkat pendapatan perkapita terhadap 1 (satu) variabel
dependen yaitu penerimaan pajak penghasilan. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa
kepatuhan wajib pajak secara signiIikan mempunyai pengaruh cukup besar terhadap
tingkat penerimaan PPh di Kotamadya Surabaya.
Penelitian yang dilakukan oleh Hendra (2008) yang berjudul 'Pengaruh Jumlah
ajib pajak EIektiI Pajak Penghasilan pasal 21 terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan
(Studi kasus pada KPP Pratama Bandung Karees) menyatakan bahwa, jumlah wajib
pajak eIektiI berpengaruh signiIikan terhadap penerimaan pajak penghasilan di KPP
Pratama Bandung Karees. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Euphrasia (2010),
menunjukan bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak yang diukur dari jumlah Surat
Pemberitahuan (SPT) Tahunan yang disampaikan berpegaruh signiIikan terhadap
peningkatan pajak penghasilan badan pada KPP.
Dari beberapa kajian penelitian di atas, maka penelitian ini mengambil variabel
independen pertama yang akan diteliti yaitu jumlah wajib pajak eIektiI, yang dilihat dari
jumlah wajib pajak yang memenuhi kewajiban perpajakannya yang tercermin dari
pemenuhan penyampaian SPT Masa dan atau SPT Tahunan. Variabel independen kedua
yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah kepatuhan wajib pajak, yang bisa diperoleh
dari perbandingan jumlah SPT PPh pasal 25 yang dilaporkan tepat waktu dibandingkan
dengan jumlah wajib pajak aktiI. Dan variabel independen ketiga yang diambil adalah
jumlah pemeriksaan pajak yang diperoleh dari jumlah Surat Ketetapan Pajak yang
diterbitkan oleh KPP. Sedangkan variabel dependen yang digunakan adalah Penerimaan
PPh pasal 25/29 yang berasal dari badan dan diukur berdasarkan besarnya pajak
penghasilan yang terealisasi dalam tahun pajak berjalan yang merupakan skala nominal.











Dari uraian di atas, maka dapat diilustrasikan kerangka penelitian seperti tertera
pada Gambar 1.


Gambar 1. Kerangka Penelitian
Ket : parsial
simultan
Jumlah wajib pajak eIektiI dapat dilihat dari jumlah wajib pajak yang memenuhi
kewajiban perpajakannya yang tercermin dari pemenuhan penyampaian SPT Masa dan
atau SPT Tahunan. Penelitian yang dilakukan oleh Hendra (2008) yang berjudul
'Pengaruh Jumlah ajib pajak EIektiI Pajak Penghasilan pasal 21 terhadap Penerimaan
Pajak Penghasilan (Studi kasus pada KPP Pratama Bandung Karees) menyatakan
bahwa, jumlah wajib pajak eIektiI berpengaruh signiIikan terhadap penerimaan pajak
penghasilan di KPP Pratama Bandung Karees. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh
Euphrasia (2010), menunjukan bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak yang diukur dari
Jumlah ajib Pajak
EIektiI
(X
1
)
Kepatuhan ajib
Pajak
(X
2
)
Jumlah Pemeriksaan
Pajak
(X
3
)
Penerimaan Pajak
Penghasilan Badan
(Y)
jumlah Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan yang disampaikan berpegaruh signiIikan
terhadap peningkatan pajak penghasilan badan pada KPP.
Berdasarkan dari penelitian terdahulu maka hipotesis pertama yang diajukan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
H
1
: 1umlah Wajib Pajak Efektif, Kepatuhan Wajib Pajak dan 1umlah
Pemeriksaan Pajak secara simultan berpengaruh signifikan terhadap
Penerimaan Pajak Penghasilan Badan di Kantor Pelayanan Pajak
Pratama Purwokerto.
Jumlah wajib pajak Indonesia per 28 Februari 2011 tercatat sebanyak 19.410.174.
Mereka ini terdiri dari tiga unsur, yakni wajib pajak orang pribadi, bendahara dan badan.
Dengan rincian jumlah wajib pajak orang pribadi mencapai 17.112.405 P. Disusul
kemudian, wajib pajak badan sebanyak 1.822.407 P, dan wajib pajak bendahara
sebesar 475.366 P. Namun per 31 Maret 2011, Ditjen Pajak hanya menerima SPT PPh
sebanyak 7.946.390. Capaian itu sendiri sudah menunjukkan pertumbuhan sebesar 30,02
persen dibanding tahun sebelumnya yakni tahun 2010 yang hanya sebanyak 6.111.727
SPT. Namun, capaian tersebut masih jauh dari nilai ideal yang seharusnya didapat oleh
Direktorat Jendral Pajak (tribunnews,08 april 2011).
Penelitian yang dilakukan oleh Hendra (2008) yang berjudul 'Pengaruh Jumlah
ajib pajak EIektiI Pajak Penghasilan pasal 21 terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan
(Studi kasus pada KPP Pratama Bandung Karees) menyatakan bahwa, jumlah wajib
pajak eIektiI berpengaruh signiIikan terhadap penerimaan pajak penghasilan di KPP
Pratama Bandung Karees.
Kondisi perpajakan yang menuntut keikutsertaan aktiI wajib pajak dalam
menyelenggarakan perpajakannya membutuhkan kepatuhan wajib pajak tinggi, yaitu
kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan yang sesuai dengan kebenarannya.
Karena sebagian besar pekerjaan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan itu dilakukan
oleh wajib pajak, bukan Iiskus selaku pemungut pajak. Sehingga kepatuhan diperlukan
dalam sistem sel1 ,ssessment, dengan tujuan pada penerimaan pajak yang optimal.
Penelitian yang dilakukan oleh Suryadi (2006) menyimpulkan bahwa kepatuhan
wajib pajak yang diukur dari pemeriksaan pajak, penegakan hukum dan kompensasi
berpengaruh signiIikan terhadap kinerja penerimaan pajak. Devano (2006) menyatakan
dalam penelitiannya bahwa 'Jika semua ajib Pajak di Indonesia berpredikat patuh
maka akan berimplikasi pada optimalisasi penerimaan pajak, maka eIeknya pada
penerimaan negara yang bertambah besar.
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Ika Kurnia (2010) menyimpulkan bahwa
pemeriksaan secara parsial berpengaruh seigniIikan terhadap peningkatan penerimaan
pajak pada KPP Pratama Purwokerto. Gunadi (2005) menyimpulkan bahwa, upaya
peningkatan kepatuhan pajak (t, .ompl,n.e) terkait erat dengan Iungsi pemeriksaan
pajak, dimana pada gilirannya akan dapat meningkatkan optimalisasi penerimaan pajak.
Pemeriksaan ini apabila dipatuhi dan dilaksanakan dengan baik maka akan meningkatkan
penerimaan pajak dari KPP setempat.
Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya, disimpulkan hipotesis kedua
sebagai berikut :
H

: 1umlah Wajib Pajak Efektif, Kepatuhan Wajib Pajak dan 1umlah


Pemeriksaan Pajak secara parsial berpengaruh signifikan terhadap
peningkatan penerimaan Pajak Penghasilan Badan di Kantor Pelayanan
Pajak Pratama Purwokerto.
Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Euphrasia (2010), menunjukan bahwa
tingkat kepatuhan wajib pajak yang diukur dari jumlah Surat Pemberitahuan (SPT)
Tahunan yang disampaikan berpegaruh signiIikan terhadap peningkatan pajak
penghasilan badan pada KPP. Penelitian serupa dilakukan oleh Very Rachmawan
(Universitas Airlangga,2001) dengan judul 'Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Penerimaan Pajak Penghasilan di Kotamadya Surabaya Ditinjau dari ajib Pajak.
Dalam penelitian ini, Very Rachmawan menguji 3 (tiga) variabel independen yaitu
jumlah wajib pajak terdaItar, kepatuhan wajib pajak dan tingkat pendapatan perkapita
terhadap 1 (satu) variabel dependen yaitu penerimaan pajak penghasilan. Hasil dari
penelitian ini adalah bahwa kepatuhan wajib pajak secara signiIikan mempunyai
pengaruh cukup besar terhadap tingkat penerimaan PPh di Kotamadya Surabaya.
Berdasarkan kesimpulan dari beberapa penelitian terdahulu, maka ditarik
hipotesis ketiga, yaitu :
H

: Kepatuhan Wajib Pajak berpengaruh dominan terhadap peningkatan


penerimaan Pajak Penghasilan Badan di Kantor Pelayanan Pajak
Pratama Purwokerto.

Anda mungkin juga menyukai