Anda di halaman 1dari 19

BAB I PENDAHULUAN

Kesadaran yang sehat dan adekuat terjadi bilamana terdapat aksi dan reaksi dari panca indera yang tepat dan sesuai. Apabila terjadi gangguan kesadaran yang mengakibatkan tidak terdapatnya aksi dan reaksi meskipun dirangsang sangat kasar, maka keadaan tersebut dinamakan koma.1 Kesadaran merupakan fungsi utama susunan saraf pusat. Untuk mempertahankan fungsi kesadaran yang baik, perlu suatu interaksi yang konstan dan efektif antara hemisfer serebri yang intak dan formasio retikularis di batang otak. Gangguan pada hemisfer serebri atau formasio retikularis dapat menimbulkan gangguan kesadaran. Bergantung pada beratnya kerusakan, gangguan kesadaran dapat berupa apati, delirium, somnolen, sopor atau koma. Koma sebagai kegawatan maksimal fungsi susunan saraf pusat memerlukan tindakan yang cepat dan tepat, sebab makin lama koma berlangsung makin parah keadaan susunan saraf pusat sehingga kemungkinan makin kecil terjadinya penyembuhan sempurna.2 Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari berbagai faktor, termasuk perubahan dalam lingkungan kimia otak seperti keracunan, kekurangan oksigen karena berkurangnya aliran darah ke otak, dan tekanan berlebihan di dalam rongga tulang kepala.Adanya defisit tingkat kesadaran memberi kesan adanya hemiparese serebral atau sistem aktivitas reticular mengalami injuri. Penurunan tingkat kesadaran berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas (kecacatan) dan mortalitas (kematian). 2 10% kasus gawat darurat di rumah sakit adalah kasus gawat darurat saraf, dan yang tersering adalah koma. Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah, dengan rangsangan apapun tidak terdapat reaksi sama sekali. Penanggulangan koma sangat bergantung pada patologi dasarnya serta patofisiologi gangguan kesadaran.3 Koma sebagai kegawatan maksimal fungsi susunan saraf pusat memerlukan tindakan yang cepat dan tepat, sebab semakin lama koma berlangsung, semakin parah keadaan susunan saraf pusat, sehingga kemungkinan untuk terjadinya penyembuhan yang sempurna semakin kecil. Pasien dengan koma sebagian faktor penyebabnya sudah berada dalam tahap lanjut atau sudah dapat menimbulkan komplikasi, selain itu koma sendiri membawa faktor risiko untuk terjadinya hal-hal yang membahayakan kehidupan, misalnya obstruksi jalan nafas, aspirasi bronko-pulmonal, dehidrasi, dan komplikasi lainnya.3,4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Definisi Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah, dengan rangsang apapun tidak terdapat reaksi sama sekali, baik dalam hal membuka mata, bicara, maupun reaksi motorik.5 Anatomi dan Fisiologi Lintasan asendens dalam susunan saraf pusat yang menyalurkan impuls sensorik protopatik, propioseptik dan perasa pancaindra dari perifer ke daerah korteks perseptif primer disebut lintasan asendens spesifik atau lintasan asendens lemniskal. Ada pula lintasan asendens aspesifik yakni formasi retikularis di sepanjang batang otak yang menerima dan menyalurkan impuls dari lintasan spesifik melalui koleteral ke pusat kesadaran pada batang otak bagian atas serta meneruskannya ke nukleus intralaminaris talami yang selanjutnya disebarkan difus keseluruh permukaan otak. Pada hewan, pusat kesadaran (arousal centre) terletak di rostral formasio retikularis daerah pons sedangkan pada manusia pusat kesadaran terdapat didaerah pons, formasio retikularis daerah mesensefalon dan diensefalon. Lintasan aspesifik ini oleh Merruzi dan Magoum disebut diffuse ascending reticular activating system (ARAS).6

Gambar Diffuse Ascending Reticular Activating System.

2.1.

Melalui lintasan aspesifik ini, suatu impuls dari perifer akan menimbulkan

rangsangan pada seluruh permukaan korteks serebri. Dengan adanya dua sistem lintasan tersebut terdapatlah penghantaran asendens yang pada pokoknya berbeda. Lintasan spesifik menghantarkan impuls dari satu titik pada alat reseptor ke satu titik pada korteks perseptif primer. Sebaliknya lintasan asendens aspesifik menghantarkan setiap impuls dari titik manapun pada tubuh keseluruh korteks serebri. Neuron-neuron di korteks serebri yang digalakkan oleh impuls asendens aspesifik itu dinamakan neuron pengemban kewaspadaan, sedangkan yang berasal dari formasio retikularis dan nuklei intralaminaris talami disebut neuron penggalak kewaspadaan. Gangguan pada kedua jenis neuron tersebut oleh sebab apapun akan menimbulkan gangguan kesadaran. 6 Substrat anatomik dari kesadaran Substrat kualitas dan derajat kesadaran dapat disingkatkan sebagai berikut: jumlah (kuantitas) input susuan saraf pusat menetukan derajat kesadaran. Cara pengolahan input itu sehingga menelurkan pola-pola output susunan saraf pusat menentukan kualitas kesadaran. 6,7 Input susunan saraf pusat dapat dibedakan dalam input yang bersifat spesifik dan yang bersifat non-spesifik. Julukan spesifik itu merujuk pada perjalanan impuls aferen yang khas dan kesadaran yang ditelurkan oleh impuls aferen itu adalah khas juga. Hal ini berlaku bagi semua lintasan aferen impuls perasaan protopatik, propriosetif dan perasaan panca indra. Lintasan yang digunakan impuls-impuls tersebut dapat dinamakan lintasan yang menghubungkan suatu titik pada tubuh dengan suatu titik di daerah korteks perseptif primer. Maka dari itu penghantaran impuls spesifik itu dikenal sebagai penghantaran impuls aferen dari titik ke titik. Setibanya impuls aferen spesifik ditingkat korteks terwujudlah suatu kesadaran akan suatu modalitas perasaan yang spesifik, yaitu perasaan nyeri di kaki atau di wajah atau suatu pennglihatan, penghiduan suatu pendengaran tertentu. 6,7 Input yang bersifat non-spesifik itu adalah sebagian dari impuls aferen spesifik yang disalurkan melalui lintasan aferen non-spesifik. Lintasa ini terdiri dari serangkaian neuron-neuron di substansia retikularis medulla spinalis dan batang otak yang menyalurkan impuls aferen ke thalamus, yaitu ke inti intralaminar. Impuls aferen spesifik sebagian disalurkan melalui cabang kolateralnya ke rangkaian neuron-neuron substansia retikularis dan impuls aferen itu selanjutnya bersifat non spesifik oleh karena cara penyalurannya ke thalamus berlangsung secara multi sinaptik, unilateral dan bilateral dan setibanya di inti intralaminar akan menggalakkan inti tersebut untuk memancarkan
3

impuls yang menggiatkan seluruh korteks secara difus dan bilateral. Lintasan aferen yang non spesifik lebih terkenal sebagai diffuse ascending reticular system. 6,7 Dengan adanya dua lintasan aferen itu, maka terdapatlah penghantaran aferen yang pada pokoknya berbeda. Lintasan spesifik (jaras spinotalamik, lemniskus medialis, jaras genikulo-kalkarina dan sebagainya) menghantarkan impuls dari suatu titik pada alat reseptor ke satu titik pada korteks perseptif primer. Sebaliknya, lintasan aferen nonspesifik menghantarkan setiap impuls dari titik dimana pun pada tubuh ke titik-titik pada seluruh korteks serebri kedua sisi. 6,7 Neuron-neuron diseluruh korteks serebri yang digalakkan oleh impuls aferen nonspesifik itu dapat dinamakan neuron pengemban kewaspadaan, oleh karena tergantung pada jumlah neuron-neuron tersebut yang aktif, derajat kesadaran bisa tinggi atau rendah. Aktivitas neuron-neuron tersebut digalakkan oleh neuron-neuron yang menyusun inti talamik yang dinamakan nuclei intralaminares. Oleh karena itu, maka neuron-neuron tersebut dapat dinamakan neuron penggalak kewaspadaan. 6,7 Apabila terjadi gangguan sehingga kesadaran menurun sampai derajat yang terendah, maka koma yang dihadapi dapat terjadi oleh sebab neuron pengemban kewaspadaan sama sekali tidak berfungsi atau oleh sebab neuron penggalak kewaspadaan tidak berdaya untuk mengaktifkan neuron pengemban kewaspadaan. Koma yang tersebut pertama dinamakan koma kortikal bihemisferik. Koma yang tersebut terakhir dapat dinamakan koma diensefalik yang dapat bersifat supratentorial atau infratentorial. 6,7 Gambar 2.2. Jaras Aferen pada Otak Anatomi Ketidaksadaran Tingkat kesadaran yang normal tergantung pada aktivasi hemisfer serebral oleh

kelompok neuron yang terletak dalam batang otak RAS (Reticular Activating System). Semua komponen ini dan hubungan diantaranya harus dipelihara untuk kesadaran yang normal. Sebab prinsip pada koma adalah (1) kerusakan hemisfer bilateral atau supresi karena hipoksia, hipoglikemia, obat atau toksin atau (2) lesi batang otak atau perubahan susunan metabolik yang merusak atau menekan RAS. 6,7 Sistem Aktivasi Retikuler atau RAS (Reticular Activating System) didefinisikan sebagai sistem fisiologik, bukan anatomik. Sistem ini terdapat dalam formasi retikularis

rostral, yang terdiri dari kelompok neuron yang secara longgar terletak bilateral pada substansia grisea tegmentum medial dari batang otak dan meluas dari medula ke diensefalon. Neuron-neuron yang terletak dalam daerah yang meluas dari pons rostral ke diensefalon kaudal mempunyai arti primer untuk mempertahankan kesadaran. Lesi di sini yang menyebabkan koma juga biasanya mengenai struktur di batang otak yang berdekatan yang berhubungan dengan pengendalian konstriksi pupil dan gerakan mata. Abnormalitas pada sistem-sistem ini pada pemeriksaan fisik memberikan tanda kerusakan batang otak. 6,7 Neuron RAS batang otak muncul secara rostral pada korteks, terutama melalui nuklei talamik yang menghasilkan pengaruh tonik pada aktivitas korteks serebral. Penelitian eksperimen pada primata menunjukkan RAS batang otak secara tidak langsung mempengaruhi tingkat kesadaran dengan menekan aktivitas tingkat nuklei nonspesifik. Dasar bangun tingkah laku oleh stimuli lingkungan (somestetik, auditorik, dan visual) tergantung pada inervasi RAS yang kaya dengan sistem saraf sensoriknya masing-masing. 6,7 Lesi hemisfer dapat menyebabkan koma pada salah satu dari dua jalur yaitu (1) paling sering, lesi hemisfer yang menyeluruh, bilateral, atau perubahan susunan metabolik seperti yang terjadi pada ensefalitis, hipoglikemia, epilepsi umum, dan kerusakan traumatik luas yang mempengaruhi kesadaran dalam bentuk bertingkat, dan (2) lesi besar pada satu atau kedua hemisfer dapat menekan batang otak bagian atas dan RAS diensefalik yang menyebabkan koma tidak langsung. Derajat penurunan kesadaran dihubungkan dengan sifat akut timbulnya disfungsi kortikal atau kompresi RAS. 6,7 Substansia retikularis medula spinalis menduduki bagian intermedius substansia grisea. Di medula oblongata, pons dan bagian belakang mesensefalon, substansia retikularis yang menyusun sistema asendens difus itu menduduki daerah sentral tiap belahan tegmentum batang otak. Di bagian rostral mesensefalon, sistema tersebut terkumpul di daerah sekitar akwaduktus. Daerah itu adalah satu-satunya tempat di mana input impuls asendens aspesifik paling mudah tersumbat, tanpa menghalangi penyaluran impuls asendens spesifik. Dari impuls aspesifik inilah yang memelihara dan menentukan derajat kesadaran. 6,7 Klasifikasi Koma disebabkan oleh gangguan pada korteks secara menyeluruh misalnya pada gangguan metabolik, dan dapat pula disebabkan oleh gangguan langsung atau tidak langsung terhadap formatio retikularis di talamus, mesensefalon, atau pons. Secara
5

anatomik, letak lesi yang menyebabkan koma dapat dibagi sebagai berikut: supratentorial (15%), infratentorial (15%), dan difus (70%).2,8,9 Lesi Supratentorial Pada lesi supratentorial, gangguan kesadaran akan terjadi baik oleh kerusakan langsung pada jaringan otak atau akibat penggeseran dan kompresi pada ARAS karena proses tersebut maupun oleh gangguan vaskularisasi dan edema yang diakibatkannya. Proses ini menjalar secara radial dari lokasi lesi kemudian ke arah rostro kaudal sepanjang batang otak. Gejala-gejala klinik akan timbul sesuai dengan perjalan proses tersebut yang dimulai dengan gejala-gejala neurologik fokal sesuai dengan lokasi lesi. Jika keadaan bertambah berat dapat timbul sindroma diensefalon, sindroma meseisefalon bahkan sindroma pontomeduler dan deserebrasi.Oleh kenaikan tekanan intrakranial dapat terjadi herniasi girus singuli di kolong falks serebri, herniasi transtentoril dan herniasi unkus lobus temporalis melalui insisura tentorii. 2,8,9 Lesi infratentorial Pada lesi infratentorial, gangguan kesadaran dapat terjadi karena kerusakan ARAS baik oleh proses intrinsik pada batang otak maupun oleh proses ekstrinsik. 2,8,9 Gangguan difus (gangguan metabolik) Pada penyakit metabolik, gangguan neurologik umumnya bilateral dan hampir selalu simetrik. Selain itu gejala neurologiknya tidak dapat dilokalisir pada suatu susunan anatomik tertentu pada susunan saraf pusat. 2,8,9 Selain pembagian di atas, jenis-jenis koma dapat dibagi lagi menjadi : Koma kortikal-bihemisferik Koma ini terjadi karena metabolisme neuronal kedua belah hemisfer yang terganggu secara difus. Unsur fungsional utama neuron-neuron ialah kemampuan untuk menghasilkan potensial aksi gaya listrik inilah yang mewujudkan fenomena perasa dan gerakan. Proses yang memelihara kehidupan neuron-neuron serta unsurunsur seluler otak ialah metabolisme oksidatif. Bahan yang diperlukan untuk metabolisme oksidatif serebral ialah glukosa dan zat asam. Yang mengangkut glukosa dan oksigen ke otak ialah aliran darah serebral. Semua proses yang menghalanghalangi transportasi itu dapat menganggu dan akhirnya memusnahkan neuron-neuron otak. Jika neuron-neuron kedua belah hemisfer tidak lagi berfungsi, maka akan terjadi koma. 2 Otak bergantung pada aliran darah serebral yang kontinyu, oksigen, dan

glukosa. Besarnya aliran darah serebral kurang lebih 75 ml/100 gram/menit pada substansia grisea dan 30 ml/100 gram/menit pada substansia alba (nilai rerata = 55 ml/100 gram/menit). Konsumsi okmgen adalah 3,5 ml/100gram/menit dan konsumsi glukosa adalah 5 mg/100 gram/menit. Cadangan glukosa dalam otak memberikan energi selama kurang lebih 2 menit setelah aliran darah terhenti dan kesadaran akan hilang dalam waktu 8-10 detik. .lika keadaan hipoksia terjadi bersama dengan iskemia, glukosa yang tersedia akan habis dengan cepat. Jika aliran darah serebral rerata < 25 ml/100 gram/menit, hasil EEG akan terlihat melambat secara difus (ciri khas untuk ensefalopati metabolik). dan pada nilai 15 ml/100 gram/menit, aktivitas elektrik otak berhenti. 10 Dengan demikian oksigen dan glukosa memegang peranan sangat penting dalam memelihara keutuhan kesadaran. Namun demikian, walaupun penyediaan oksigen dan glukosa tidak terganggu, kesadaran individu dapat terganggu oleh adanya gangguan asam basa, elektrolit, osmolalitas, ataupun defisiensi vitamin. 4 Hipoventilasi diperkirakan berhubungan dengan hipoksemia, hiperkapnia, gangguan jantung kongestif, infeksi sistemik, serta kemampuan respiratorik yang tidak efektif lagi. Munculnya gejala neurologis bergantung pada lamanya kondisi hipoventilasi. Sebagai contoh, penderita dengan hiperkarbia kronis tidak menunjukkan gejala neurologis dan penderita yang mengalami hiperkarbia akut akan segera mengalami gangguan kesadaran sampai koma. Anoksia iskemik adalah suatu keadaan dimana darah masih cukup atau dapat pula kurang cukup membawa oksigen tetapi ADO tidak cukup untuk membawa darah ke otak. Penyakit yang mendasari biasanya menurunkan curah jantung misalnya infark jantung, aritmia atau penyakit yang meningkatkan resistensi vaskular serebral misalnya oklusi arterial (stroke) atau spasme. Anoksia anoksik merupakan gambaran tidak cukupnya oksigen masuk ke dalam darah. Dengan demikian baik isi maupun tekanan oksigen dalam darah menurun. Keadaan ini terdapat pada tekanan oksigen lingkungan rendah atau oleh ketidakmampuan oksigen untuk mencapai dan menembus membran alveoli. Anoksia anemik disebabkan oleh jumlah hemoglobin yang mengikat dan membawa oksigen dalam darah menurun, sementara oksigen yang masuk ke dalam darah cukup. Keadaan ini terdapat pada anemia maupun keracunan karbon monoksida. Hipoksia atau iskemia difus akut disebabkan oleh dua keadaan ialah kadar oksigen dalam darah menurun cepat sekali atau ADO menurun secara mendadak.
7

Penyebab utamanya antara lain obstruksi jalan nafas clan keadaan yang menyebabkan menurunnya curah jantung secara mendadak. Gangguan metabolisme karbohidrat meliputi hiperglikemia, hipoglikemia, clan asidosis lakat. Diabetes Mellitus (DM) tidak menganggu otak secara langsung. Delirium, stupor, koma biasanya merupakan gejala DM pada tahap tertentu.Penyebab potensial koma pada DM cukup bervariasi antara lain hiperosmolaritas, asidosis laktat, hiponatremia, uremia, dan infark otak. Gangguan keseimbangan asam basa meliputi asidosis respiratorik clan metabolik serta alkalosis respiratorik dan metabolik. Dari empat jenis gangguan asam basa tadi, hanya asidosis respiratorik yang bertindak sebagai penyebab langsung timbulnya stupor dan koma. Koma hepatik. Meningkatnya kadar amoniak dalam darah di otak dianggap sebagai faktor utama terjadinya koma hepatik. Defisiensi vitamin B sering kali mengakibatkan delirium, demensia, dna mungkin pula stupor. Defisiensi tiamin dianggap yang paling serius dalam diagnosis banding koma. Defisiensi tiamin menimbulkan penyakit Wernicke, suatu kompleks gejala yang disebabkan oleh kerusakan neuron dan vaskular di substansia grisea. Gejala koma bihemisferik difus bersifat kombinasi yaitu, di satu pihak koma supra dan infratentorial dan di lain pihak koma bihemisferik difus. Pada koma supra dan infratentorial terdapat gambaran penyakit dimana gejala defisit atau iritatif neurologik dapat dijumpai. Gejala tersebut bisa disertai gangguan kualitas kesadaran yang keseluruhannya dinamkan "organic brain syndrome".4

Koma Diensefalik Koma akibat gangguan fungsi atau lesi struktural formatio retikularis di daerah mesensefalon dan diensefalon disebut koma diensefalik. Secara anatomik, koma diensefalik dibagi menjadi dua bagian utama yaitu koma akibat lesi supratentorial dan lesi infratentorial.11

Koma supratentorial. Semua proses supratentorial yang dapat mengakibatkan destruksi dan kompresi pada substansia retikularis akan menimbulkan koma. Destruksi dalam arti destruksi morfologis dapat terjadi akibat perdarahan atau infiltrasi tumor ganas. Destruksi dalam arti destruksi biokimia dijumpai pada meningitis. Dan kompresi yang tersebut di atas disebabkan oleh proses desak ruang, baik berupa hematoma ataupun neoplasma. 11 Koma supratentorial akibat proses desak ruang menunjukkan tahap progresi yang sesuai dengan gangguan di tingkat diensefalon, mesensefalon, pons, dan medula oblongata. Proses desak ruang supratentorial yang bisa menimbulkan koma supratentorial dibagi dalam tiga golongan: 11 Proses desak ruang yang meningkatkan tekanan intrakranial supratentorial secara akut. Lesi yang menimbulkan sindroma unkus. Lesi yang menimbulkan sindroma kompresi rostro kaudal terhadap batang otak. Tekanan Intrakranium supratentorial yang mendadak tinggi dapat dijumpai jika terdapat perdarahan epidural atau hemoragia serebri yang massif. Ditandai dengan tekanan darah yang tiba-tiba melonjak, nadi menjadi lambat, dan kesadaran menurun secara progresif. Trias ini dikenal sebagai sindroma Kocher-Cushing.12

Gambar 2.3. Kedudukan Batang Otak A. Kedudukan batang otak normal B. Kedudukan batang otak yang terdesak ke bawah. Arteri serebeli posterior tertarik ke bawah dan menekan N. III Sindroma unkus dikenal juga sebagai sindroma kompresi diensefalon ke lateral. Karena desakan itu, bukannya diensefalon yang pertama-tama mengalami
9

gangguan, melainkan bagian ventral dari nervus okulomotorik. Maka dari itu, gejala yang pertama akan dijumpai bukannya gangguan kesadaran akan tetapi dilatasi pupil kontralateral. Anisokor ini merupakan suatu tanda bahwa herniasi tentorial kelak akan terjadi. Yang dimaksud herniasi tentorial adalah terjepitnya diensefalon oleh tentorium. Pupil yang melebar itu mencerminkan penekanan terhadap nervus okulomotorik dari bawah oleh arteria serebeli superior karena pergeseran diensefalon ke arah garis tengah dan bawah. Tahap selanjutnya ialah tahap kelumpuhan nervus okulomotorik mtalis, progresi ini bisa terjadi cepat sekali. 12 Proses desak ruang supratentorial secara berangsur-angsur dapat menimbulkan kompresi terhadap bagian rostral batang otak. Proses tersebut digambarkan pada gambar 2.3 B. Pada tahap dini dari kompresi rostro kaudal terhadap batang otak akan didapati respirasi jenis cheyne stokes, pupil kedua mata mengecil, dan kedua bola mata bergerak perlahanlahan secara konjugat ke samping kiri dan kanan. Dengan memutarkan kepala, gerakan bola mata tidak bertujuan. Itulah gejala-gejala tahap diensefalon. Pada tahap kompresi rostro kaudal selanjutnya akan terjadi kesadaran yang terus menurun sampai derajat terendah, suhu badan mulai menngkat, respirasi menjadi cepat dan mendengkur, pupil menjadi lebar dan tidak bereaksi terhadap cahaya. Itulah gejala-gejala tahap mesensefalon. Tahap selanjutnya adalah tahap pontin, dimana hiperventilasi berselingan dengan apneu dan deserebrasi akan dijumpai. Tahap terminalnya dinamakan tahap medula oblongata. Pernafasan menjadi lambat namun dalam dan tidak teratur, nadi menjadi lambat, dan tekanan darah menurun secara progresif. 12 Gambar 2. A. Kedudukan bangunan supra dan infratentorial yang normal B. Desakan tumor yang menimbulkan (1) herniasi singuli,

(2) Herniasi unkus, (3) kompresi rostrokaudal batang otak Koma infratentorial. Adapun dua macam proses patologik di dalam ruang

infratentorial yang dapat menimbulkan koma yaitu, proses di luar batang otak yang mendesak sistem retikularis, dan yang kedua merupakan proses di dalam batang otak yang secara langsung mendesak dan merusak sistem retikularis batang otak. Kompresi yang terjadi di dalam batang otak dapat menimbulkan koma dengan cara penekanan langsung terhadap tegmentum mesensefalon (formatio retikularis), herniasi serebelum dan batang otak ke rostral melewati tentorium serebeli yang kemudian menekan formatio retikularis di mesensefalon, dan herniasi tonsilo serebelum ke bawah melalui foramen magnum dan sekaligus menekan medula oblongata. 12 Secara klinis tiga proses tadi sulit untuk dibedakan. Walaupun demikian apabila didapatkan gejala gangguan pupil, pernafasan, okuler, dan tekanan darah menandakan terlihatnya tegmentum mesensefalon, pons, dan medula oblongata. Penyebab lesi infratentorial biasanya GPDO di batang otak atau serebelum, neoplasma, abses atau edema otak. 12

Etiologi Etiologi koma terdiri atas SEMENITE (Sirkulasi, Ensefalitis, Metabolik, Elektrolit, Neoplasma, Intoksikasi, Trauma, Epilepsi). Sirkulasi meliputi stroke dan penyakit jantung. Ensefalitis, dengan tetap mempertimbangkan adanya infeksi sistemik atau sepsis yang mungkin melatarbelakanginya atau muncul secara bersamaan. Metabolik misalnya hiperglikemia, hipoksia, uremia, dan koma hepatikum. Elektrolit misalnya pada diare dan muntah. Neoplasma, tumor otak baik primer maupun metastasis. Intoksikasi, berbagai macam obat atau bahan kimia. Trauma, terutama trauma kapitis (komosio, kontusio, perdarahan epidural, subdural, arahnoid). Epilepsi, pasca serangan grand mal atau status epileptikus. Penegakan Diagnosis Diagnosis dan penanganan segera keadaan koma tergantung pada pemahaman terhadap jurang-jurang perangkap dalam pemeriksaan pasien yang koma, interpretasi berbagai reflek batang otak dan penggunaan berbagai tes diagnostik secara efisien. Permasalahan respirasi dan kardiovaskuler yang akut harus dihadapi dahulu sebelum diagnosis neurologik ditegakkan. Evaluasi medik yang lengkap dapat ditunda kecuali
11

pemeriksaan untuk tanda vital, funduskopi, dan pemeriksaan kaku kuduk hingga evaluasi neurologi dapat menentukan keparahan sebab koma.13 Riwayat Medis. Pada banyak kasus, penyebab koma segera terlihat dengan jelas (misalnya trauma, henti jantung, dan penggunaan obat yang sudah diketahui). Anamnesis kepada keluarga dan orang yang menyaksikan kejadian tersebut merupakan bagian penting dalam evaluasi pendahuluan. Pemeriksaan jasmani dan pengamatan umum. Temperatur, denyut nadi, frekuensi serta corak respirasi dan tekanan darah harus diukur. Hipotermia akan menimbulkan koma hanya bila suhu tubuh dibawah 31oC. Perubahan frekuensi denyut nadi yang disertai hiperventilasi dan hipertensi dapat menandakan peningkatan tekanan intrakranial. Hipotensi terjadi pada keadaan koma akibat intoksikasi alkohol, perdarahan internal, infark miokard, dan septikemia. Pemeriksaan funduskopi berguna untuk mendeteksi kemungkinan perdarahan subarakhnoid, ensefalopati hipertensif (eksudat, hemoragik, gambaran pembuluh darah yang saling menyilang), dan peningkatan tekanan intrakranial (papiledema). Penilaian neurologi umum. Uraian yang tepat mengenai gerakan yang spontan dan yang dicetuskan dalam keadaan koma sangat penting artinya dalam menentukan tingkat disfungsi neurologik. Pertama-tama, keadaan pasien harus diamatai tanpa intervensi pemeriksa. Sifat respirasi dan gerakan spontan diobservasi. Pasien yang bergerak-gerak, berusaha memegang wajahnya, menguap, menelan, batuk-batuk atau merintih menunjukkan keadaan yang paling mendekati kesadaran. Satu-satunya tanda kejang dapat berupa kedutan pada otot-otot kaki, jari tangan, atau wajah. Sebuah tungkai yang terputar keluar dalam keadaan diam/istirahat atau kurangnya gerakan gelisah pada satu sisi tubuh menunj ukkan kemungkinan hemiparesis. Refleks batang otak. Penilaian fungsi batang otak sangat penting untuk menentukan lokasi lesi penyebab koma. Refleks yang dinilai biasanya reaksi pupil terhadap cahaya, gerakan bola mata baik spontan maupun yang dicetuskan, dan pola respirasi. Gerakan bola mata merupakan landasan kedua bagi diagnosis fisik dalam keadaan koma karena pemeriksaan ini memungkinkan dokter untuk mengeksplorasi bagian terbesar daerah rostrokaudal mesensefalon. Kedua belah mata pertama-tatna diperiksa dengan mengangkat palpebra dan memperhatikan posisinya dalam keadaan diam serta gerakan spontan bola mata. Mata yang adduksi ketika diam menunjukkan paresis rektus lateralis yang disebabkan lesi nervus kranialis keenam, dan jika terjadi bilateral, keadaan ini sering menjadi tanda kenaikan tekanan intrakranial. Mata yang abduksi ketika diam

serta sering disertai dengan pelebaran pupil ipsilateral menunjukkan paresis rektus medialis yang disebabkan oleh paresis nervus kranialis ketiga. Pola respirasi telah mendapatkan perhatian sangat besar dalam penegakan diagnosis penyebab koma tetapi nilainya dalam menentukan lokasi lesi tidak konsisten. Pernapasan yang dangkal dan lambat tetapi masih teratur dan tepat waktu menunjukkan adanya depresi akibat kelainan metabolik atau pemakaian obat. Pernapasan yang cepat dan dalam (Kussmaul) biasanya menunjukkan asidosis metabolik. Pernapasan ChyeneStokes dalam bentuk siklik yang klasik dan berakhir dengan periode apnea yang singkat menandakan kerusakan ringan bihemisfer atau supresi metabolik dan sering menyertai keadaan koma yang ringan. Diagnosis koma tidak berbeda dengan kasus-kasus lainnya yaitu melalui uruturutan anamnesis, pemeriksaan fisik-neurologik, dan pemeriksaan penunjang. Perbedaannya pada tuntutan kecepatan berpikir dan bertindak. Anamnesis terpaksa dilakukan terhadap keluarga atau siapa saja yang mengantar penderita (heteroanamnesis). Anamnesis harus sistematik dan cermat. Untuk anamnesis dapat dipakai model SEMENITE. Penyakit atau keadaan yang mendahului penurunan kesadaran perlu ditanyakan secara cermat, demikian pula halnya keadaan klinik tertentu yang muncul bersamaan dengan terjadinya proses penurunan kesadaran. Awitan atau onset penurunan kesadaran dapat dijadikan petunjuk untuk memperkirakan penyebabnya. Awitan yang sangat akut (abrupt) menunjuk ke arah GPDO dan awitan yang akut menunjukkan kemungkinan adanya GPDO, ensephalitis, hidrosefalus, obstruktif akut atau pasca trauma kapitis. Sementara itu, awitan sub akut atau bertahap pada umumnya terjadi pada gangguan metabolik, edema otak, neoplasma atau abses. Pemeriksaan medis meliputi pemeriksaan fisik dan neurologis. Tanda vital harus diperiksa dan dievaluasi. Dari tanda-tanda vital harus dipikirkan kemungkinan adanya tekanan intrakranial yang meningkat mendadak, herniasi otak, gangguan fungsi jantung dan paru. 13 Kedalaman penurunan kesadaran dapat dinilai kuantitatif. Secara kualitatif, dikenal beberapa istilah yang klinik yaitu: kompos mentis, somnolen, stupor atau sopor, semi koma, dan koma. Sementara itu, secara kuantitatif dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Namun demikian, GCS tidak dapat digunakan secara konsisten pada keadaan tertentu seperti afasia, terpasangnya endotrucheal tube, tetraplegia, oftalmoplegia bilateral. Rincian skala GCS dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut :14 Tabel 2.1. Glasgow Coma Scale
13

Glascow Coma Scale Eye Opening Response (E) Spontan membuka mata Membuka mata dengan rangsang suara Membuka mata dengan rangsangan nyeri Tidak ada respon Respon Verbal (V) Baik dan tidak ada disorientasi Mampu membentuk kalimat namun ada disorientasi Mampu membentuk kata namun ada disorientasi Tidak mampu mengucapkan kata-Lata (erangan) Tidak ada respon Respon Motorik (M) Spontan sesuai dengan perintah Reaksi menapis rangsang Reaksi menghindari rangsang Reaksi fleksi (dekortikasi) Reaksi ekstensi (deserebrasi) Tidak ada reaksi Skala dihitung dengan cara penjumlahan semua nilai respon. Penjumlahan nilai respon pasien, yang terbagi menjadi: Ringan : 13 - 15 poin Moderat: 9 - 12 poin Berat : 3 - 8 poin Koma : < 8 poin

poin poin poin poin poin

4 3 2 1 5 4 3 2 1 6 5 4 3 2 1

poin poin poin

E + M + V = 3 sampai dengan 15 merupakan asesmen tingkat kategori ketidaksadaran

Pemeriksaan laboratorium ada yang bersifat segera (cito) dan terencana. Secara umum, pemeriksaan darah sehubungan dengan koma meliputi pemeriksaan rutin lengkap, kadar glukosa darah. elektrolit, fungsi ginjal dan hepar, dan analisa gas darah. Pada kasus tertentu (meningitis, ensephalitis, perdarahan subarakhnoid) dilakukan punksi lumbal dan kemudian dilakukan analisis cairan serebrospinal. 14 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang paling sering digunakan dalam menegakkan diagnosis penyebab koma antara lain pemeriksaan kimia toksikologi terhadap darah dan urine, pemeriksaan CT-scan atau MRI, EEG, dan pemeriksaan cairan serebrospinalis. 14 Analisis toksikologi mempunyai arti penting dalam kasus koma dengan etiologik yang

tidak bisa diketahui dengan segera. Namun demikian, adanya obat dari luar atau pun toksin, khususnya alkohol, tidak menjamin bahwa faktor-faktor lain, khususnya trauma kepala turut menyebabkan keadaan klinis tersebut. Pandangan bahwa hasil CT scan yang normal menyingkirkan kemungkinan lesi anatomik sebagai penyebab koma merupakan pandangan yang keliru. Infark hemisfer bilateral yang dini, lesi kecil pada batang otak, ensefalitis, ruptur mekanis selubung akson sebagai akibat trauma kepala tertutup, memiliki densitas yang sama dengan jaringan otak. Walaupun begitu, pada pasien koma dengan etiologik yang tidak diketahui, pemeriksaan dengan CT scan harus dilakukan secara awal sebagai bagian dari evaluasi klinis. Pada kasus-kasus dengan etiologik yang tampak jelas secara klinis, hasil CT scan akan memastikan diagnosisnya dan menentukan luas lesi. Dengan semakin tersedianya MRI di rumah sakit dan mengingat penggunaannya yang praktis pada pasien koma, sebagian keadaan anatomik yang menyebabkan koma dan tidak terlihat jelas pada CT scan, akan lebih mudah dikenali. EEG jarang memiliki makna diagnostik untuk kasus-kasus koma, kecuali pada beberapa keadaan koma yang terladi akibat serangan epilepsi yang tidak dikenali secara klinis. Punksi lumbal kini digunakan secara lebih bijaksanan dibandingkan aebelumnya karena dengan pemeriksaan CT scan saja kemungkinan perdarahan irrtraserebral dan perdarahan subarachnoid sudah dapat disingkirkan. Penggunaan punksi lumbal untuk kasus-kasua koma hanya terbatas pada penegakan diagnosis meningitisensefalitis, dan pada kasus dengan hasil CT scan yang normal sementara penvebab koma tidak jelas. Punksi lumbal tidak boleh ditunda jika meningitis merupakan kemungkinan klinis yang kuat. Penatalaksanaan Emergensi Tatalaksana pasien koma meliputi 3 (tiga) hal yaitu life saving, terapi spesifik, dan perawatan umum. Tujuan utama dalam menangani koma yang akut adalah pencegahan terhadap kemungkinan kerusakan SSP yang lebih lanjut. 11,12 Life saving Tindakan ini berpedoman pada prinsip 5B yaitu breath, blood, brain, bladder, bowel. uraian kelima komponen tadi ialah sebagai berikut: 11,12 Breath berarti membebaskan dan membersihkan jalan napas agar kebutuhan otak akan oksigen tetap tercukupi. Usahakanlah agar penderita dalam posisi miring, dengan
15

kepala penderita dalam posisi sedikit tengadah dan lebih rendah daripada badan. Pastikan bahwa jalan nafas sudah bebas dan bersih. Apabila ada tanda-tanda kesulitan atau gagal nafas maka pasanglah intubasi (endotracheal tube) atau bahkan dapat dilakukan trakeostomi. Blood berarti memelihara sirkulasi darah secara umum dan menjada perfusi darah ke otak agar selalu cukup. Hal ini meliputi pemantauan tekanan darah, jantung, komponen darah dan bahan lain yang tidak termasuk komponen darah. Sudah menjadi aturan rutin. setiap kali merawat pasien koma dilakukan pemasangan infus larutan garam fisiologik. Teknik pemeriksaan tekanan darah hendaknya diperhatikan secara seksama. Penurunan tekanan darah harus dilakukan hati-hati agar tidak terjadi penurunan ADO yang mendadak terutama pada kasus GPDO. Tekanan darah perlu diturunkan apabila tekanan diastolik > 130 mmHg dan atau tekanan darah sistolik > 200 mmHg. Keadaan jantung perlu diperiksa secara teiiti dan dilengkapi dengan pemeriksaan EKG. Brain berarti menjaga fungsi otak secara optimal yang meliputi ADO, kebutuhan oksigen dan glukosa. Waspadailah tanda dan gejala yang dapat mengganggu fungsi otak misalnya kejang dan hiperpireksia. Apabila terjadi kejang terusmenerus, berilah diazepam 10 mg intravena dan dapat diulang tiap 15-30 menit, dibutuhkan pengawasan ketat pernafasan penderita. Herniasi otak merupakan keadaan yang angat gawat dan memerlukan tindakan cepat. Dexametason dapat diberikan dalam dosis tinggi (20-40 mg) secara intravena kemudian diturunkan secara bertahap dengan interval 6 jam. Apabila tekanan darah tidak merendah dapat dipertimbangkan pemberian furosemid 0,5-1 gr/kgBB. Bladder berarti menjaga fungsi vesika urinaria secara optimal. Apabila terpaksa dapat dipasang dauer catheher dan kateter tersebut hendaknya diganti setiap 3-4 hari. Urin yang keluar ditampung selama 24 jam untuk menghitung keseimbangan cairan dan elektrolit. Ambillah contoh uri untuk pemeriksaan laboratorium sesuai dengan mdikasinya. Bowel berarti memperhatikan nutrisi dan fungsi usus. Pada tiga hari pertama kebutuhan nutrisi dapat dicukupi dengan pemberian infus. Secara ringkas tindakan pertama terhadap penderita koma adalah sebagai berikut: Pemberian oksigen Mempertahankan sirkulasi darah secara optimal Pemberian glukosa

Penurunan tekanan intracranial Penghentian segera setiap tindakan kejang Mengobati setiap infeksi yang ada Memperbaiki keseimbangan cairan dan elektrolit Mengawasi dan mempertahankan suhu tubuh normal Pemberian tiamin Pertimbangkan antidotum spesifik Pengontrolan setiap agitasi Terapi Spesifik Hipoglikemia: Glukosa intravena yang telah diberikan akan mengatasi koma hipoglikemia kecuali bila terjadi kerusakan otak ireversibel. Catatan: hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya hipoglikemia kembali akibat insulin kerja lama atau obat-obatan hipoglikemia per oral. Diperlukan pemberian glukosa ulangan. Dosis Opiat Berlebihan: Abnormalitas yang terjadi segera diatasi dengan pemberian Nalokson. Catatan: gejala-gejala intoksikasi opiat dapat timbul kembali bila penderita menggunakan obat kerja lama (misalnya metadon), karena waktu paruh nalokson dalam serum pendek. Ulangi pemberiannya bila diperlukan. Ensefalopati Wernicke: Pemberian Tiamin dengan segera biasanya akan mengatasi beberapa tanda abnormalitas. Ulangi pemberian Tiamin setiap hari hingga penderita dapat menerima diet normal. Hipoksia atau Hiperkapnia: Hipoksia atau hiperkapnia berat dapat tampak koma. Umumnya, sebelum terjadi koma PC02 harus meningkat secara akut hingga >80 mmHg dan P02 harus turun hingga <40 mmHg. Berikan segera ventilasi buatan disertai suplementasi oksigen bila pemeriksaan kadar gas darah menunjukkan hasil yang mengancam jiwa (PC02 > 60 mmHg dan PO2 < 60 mmHg), peningkatan kadar PC02 tidak perlu segera dikoreksi. Kejang-Kejang Aktif: Pemberian diazepam, 5-10 mg bolus intravena selama 2-3 menit, dilanjutkan dengan fenitoin, 50 mg/menit (hanya dalam cairan NaCI fisiologis) hingga dosis total dewasa sekitar 15-18 mg/kg (1 gram untuk dewasa normal), hal ini adalah obat pilihan untuk status epileptikus. Pemberian diazepam dilakukan hanya bila kejang-kejang sedang berlangsung atau kejangkejang berulang dan selama selang waktu terjadinya kejang penderita tidak pernah sadar. Pada keadaan koma, aktivitas motoris fokal kontinu atau berulang-ulang seperti
17

pergerakan tungkai, lengan sesisi, wajah, membuktikan terjadinya status epileptikus. Hipotermi atau Hipertermi: Suhu tubuh di atas 41-42C atau di bawah 32C dapat menyebabkan koma. Pada keadaan khusus, hipertermi dapat menyebabkan perlukaan otak yang cepat, ireversibel serta memerlukan penanganan segera. Bila suhu tubuh 41C atau lebih, lepaskan pakaian penderita, kompres air dingin disertai hembusan udara melalui kipas angin. Prognosis Prognosis koma bergantung pada banyak faktor, antara lain : penyebab, situasi, klinik pada saat pertama kali ditangani, kecepatan tindakan, kelengkapan fasilitas, penyulit yang muncul, dan kemampuan dokter dan perawat yang menangani. Dengan demikian prognosis koma cukup bervariasi mulai dari kematian (paling sering), kemudian berturut-turut terjadi persisten vegetative state, sadar kembali dengan gejala sisa (motorik, autonom, fungsi luhur, epilepsi, dan sebagainya) sampai dengan sadar kembali tanpa gejala sisa apapun. 1,4 BAB III KESIMPULAN Dalam bidang neurologi, koma merupakan kegawat daruratan medik yang paling sering dijumpai. Untuk memudahkan mengingat dan menelusuri kemungkinan-kemungkinan penyebab koma, model berikut ini dipergunakan di klinik, SEMENITE yaitu: Sirkulasi, Ensefalitis, Metabolik, Elektrolit, Neoplasma, Intoksikasi, Trauma, Epilepsi. Mengingat faktor penyebab koma yang begitu banyak maka penanganan penderita pada tingkat pertama akan sangat menentukan prognosisnya. Untuk mempertahankan fungsi kesadaran yang baik, perlu interaksi yang konstan dan efektif antara hemisfer serebri dan formasio retikularis di batang otak. Penyebab gangguan kesadaran ialah multi faktorial dengan proses patologis yang berlokasi supratentorial, infratentorial ataupun difus dalam susunan saraf pusat. Tatalaksana pasien koma meliputi 3 (tiga) hal yaitu life saving, terapi spesifik, dan perawatan umum. Tindakan life saving berpedoman pada prinsip 5B yaitu breath, blood, brain, bladder, bowel.

19

Anda mungkin juga menyukai