Anda di halaman 1dari 16

TUGAS PAPER

TEKNOLOGI BIOINDUSTRI
SILASE PAKAN




Dosen: Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si

Disusun Oleh:
1. Renny Puspitasari F34080018
2. Fitriyana Ayu Apriliyanti F34080020









2011
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu Iaktor penting yang harus diperhatikan dalam peningkatkan
produktivitas ternak adalah penyediaan pakan hijauan sepanjang tahun baik
kualitas dan kuantitas yang cukup agar pemenuhan kebutuhan zat-zat makanan
ternak untuk mempertahankan kelestarian hidup dan keutuhan alat tubuh ternak
(kebutuhan hidup pokok) dan tujuan produksi (kebutuhan produksi) dapat
berkesinambungan. Secara umum usaha peternakan khususnya peternakan ternak
ruminansia akan mengalami kesulitan dalam penyediaan hijauan makanan ternak
di musim kemarau. Hal ini terjadi karena di musim kemarau makanan ternak tidak
dapat tumbuh dengan baik sehingga penyediaan hijauan makanan ternak sangat
berkurang. Sebaliknya di musim hujan ketersediaan hijauan makanan ternak
amatlah melimpah, oleh karena itu perlu dilakukan pengawetan sebagai
persediaan di musim kemarau.
Pengawetan bisa dilakukan dengan pembuatan silase pakan dari hijauan yang
diIermentasi sehingga hijauan tersebut tetap awet karena terbentuk asam laktat.
Namun, pengawetan ini jarang dilakukan oleh peternak di Indonesia. Namun
sebaliknya, bagi negara yang mempunyai empat musim dimana mereka pernah
mengalami masa paceklik, silase biasa diterapkan.

B. Tujuan
Tujuan dari pembuatan papper mengenai silase pakan adalah untuk
mengetahui proses produksi dalam pembuatan silase pakan mulai dari tahap
persiapan sampai proses hilir serta mikroorganisme yang digunkan. Selain itu,
agar dapat mengetahui aplikasi atau manIaat silase dan prospek
pengembangannya di Indonesia

II. PEMBAHASAN

1. Pengertian Silase
Silase adalah pakan yang telah diawetkan yang di proses dari bahan baku yang
berupa tanaman hijauan, limbah industri pertanian, serta bahan pakan alami lainya,
dengan jumlah kadar / kandungan air pada tingkat tertentu kemudian di masukan
dalam sebuah tempat yang tertutup rapat kedap udara, yang biasa disebut dengan silo
selama sekitar tiga minggu. Didalam silo tersebut akan terjadi beberapa tahap proses
anaerob (proses tanpa udara/oksigen), dimana 'bakteri asam laktat akan
mengkonsumsi zat gula yang terdapat pada bahan baku, sehingga terjadilah proses
Iermentasi. Silase yang terbentuk karena proses Iermentasi ini dapat di simpan untuk
jangka waktu yang lama tanpa banyak mengurangi kandungan nutrisi dari bahan
bakunya.
Bahan yang digunakan untuk pembuatan silase adalah segala macam hijauan dan
bahan dari tumbuhan lainnya yang di sukai oleh ternak ruminansia, seperti rumput,
sorghum, jagung, biji-bijian kecil, tanaman tebu, tongkol gandum, tongkol jagung,
pucuk tebu, batang nanas dan jerami padi, dll, terutama yang mengandung banyak
karbohidratnya.
Tujuan utama pembuatan silase adalah untuk memaksimumkan pengawetan
kandungan nutrisi yang terdapat pada hijauan atau bahan pakan ternak lainnya, agar
bisa di disimpan dalam kurun waktu yang lama, untuk kemudian di berikan sebagai
pakan bagi ternak sehingga dapat mengatasi kesulitan dalam mendapatkan pakan
hijauan pada musim kemarau. Sayangnya Iermentasi yang terjadi didalam silo
(tempat pembuatan silase), sangat tidak terkontrol prosesnya, akibatnya kandungan
nutrisi pada bahan yang di awetkan menjadi berkurang jumlahnya. Maka untuk
memperbaiki berkurangnya nutrisi tersbut, beberapa jenis zat tambahan (additive)
harus di gunakan agar kandungan nutrisi dalam silase tidak berkurang secara drastis,
bahkan bisa meningkatkan pemenuhan kebutuhan nutrisi bagi ternak yang
memakannya. Pembuatan silase dapat juga menggunakan bahan tambahan, yang
kegunaannya tergantung dari bahan tambahan yang akan di pergunakan. Adapun
penggunaan bahan tambahan sangat tergantung dari kebutuhan hasil yang ingin di
capai.
2. Mikroorganisme Pada Pembuatan Silase Pakan
Prinsip pembuatan silase adalah Iermentasi hijauan oleh bakteri asam laktat
secara anaerob. Bakteri asam laktat akan menggunakan karbohidrat yang terlarut
dalam air (water soluble carbohydrate, WSC) dan menghasilkan asam laktat. Asam
ini akan berperan dalam penurunan pH silase (Ennahar, et al., 2003). Pada saat
pembentukan silase, bakteri asam laktat, hidrogen peroksida, dan bakteriosin yang
akan bekerja secara antagonistik terhadap mikroba patogen dan mikroba pembusuk.
Lactobacillus adalah genus bakteri gram-positiI, anaerobik IakultatiI atau
mikroaeroIilik. Genus bakteri ini membentuk sebagian besar dari kelompok bakteri
asam laktat, dinamakan demikian karena kebanyakan anggotanya dapat merubah
laktosa dan gula lainnya menjadi asam laktat. Kebanyakan dari bakteri ini umum dan
tidak berbahaya bagi kesehatan. Dalam manusia, bakteri ini dapat ditemukan di
dalam vagina dan sistem pencernaan, dimana mereka bersimbiosis dan merupakan
sebagian kecil dari Ilora usus. Banyak spesies dari Lactobacillus memiliki
kemampuan membusukkan materi tanaman yang sangat baik. Produksi asam
laktatnya membuat lingkungannya bersiIat asam dan mengganggu pertumbuhan
beberapa bakteri merugikan. Beberapa anggota genus ini telah memiliki genom
sendiri.
Berdasarkan produk Iermentasinya, bakteri asam laktat dibagi menjadi dua
golongan, yaitu bakteri asam laktat homoIermentatiI dan heteroIermentatiI. Dalam
keadaan anaerob, bakteri asam laktat homoIermentatiI akan menguraikan satu mol
glukosa atau Iruktosa menjadi dua mol asam laktat. Bakteri asam laktat
heteroIermentatiI akan menguraikan satu mol asam laktat, satu mol etanol, dan satu
mol karbondioksida, sedangkan tiga mol Iruktosa akan diuraikan menjadi satu mol
asam laktat, dua mol manitol dan sau mol asam asetat.
Banyak laktobasili bersiIat tak umum, bakteri ini bekerja secara metabolisme
homoIermentatiI (hanya membentuk asam laktat dari gula, bandingkan dengan
laktobasili heteroIermentatiI yang dapat membentuk alkohol atau asam laktat dari
gula) dan juga aerotoleran, walaupun tak memiliki sama sekali rantai pernaIasan.
Aerotoleransi ini bergantung pada mangan dan telah diteliti (dan dijelaskan) sebagai
Lactobacillus plantarum. Banyak Lactobacillus tidak memerlukan besi untuk
pertumbuhan dan memiliki toleransi hidrogen peroksida yang sangat tinggi.
Pada keadaan aerob mula-mula bakteri coliIorm palingdominan dibandingkan
bakteri anaerob lain. Keadaan ini segera digantikan oleh Leuconostoc dan
Streptococcus, kemudian pada akhir proses akan didominasi oleh Lactobacillus dan
Pediococcus. Bakteri asam laktat yang berbentuk kokus tumbuh terlebih dahulu dan
kemudian akan digantikan oleh baktei laktat yang berbentuk batang seperti
Lctobacillus sp., yang lebih toleran terhadap asam. Clostridia yang merupakan
bekteri anaerob hanya akan hidup dalam bentuk endospora. Bila jamur tumbuh
dalam silase maka akan menjadi IakulttaiI anaerob. Bakteri-bakteri tersebut akan
merombak karbohidrat, dan gula, terutama gula menjadi asam laktat, sedikit asam
asetat dan sedikit asam lain serta alkohol.
Sebelum Iermentasi, mula-mula sel-sel di dalam tumbuhan melakukan respirasi
untuk membentuk energi yang dibutuhkan dalam aktivitas normalnya. Respirasi ini
merupakan konversi karbohidrat menjadi energi. Karbohidrat hijauan terhidrolisis
membentuk monomer-monomernya ketika dipotong disebabkan oleh aktivitas enzim
tanaman. Monomer yang terpenting yang terbentuk adalah glukosa dan Iruktosa yang
digunakan untuk Iermentasi. Respirasi ini bermanIaat untuk menghabiskan oksigen
yang terkandung, beberapa saat setelah bahan dimasukkan dalam silo. Setelah kadar
oksigen habis, maka proses Iermentasi dimulai. Selama Iermentasi terjadi degradasi
protein menjadi senyawa non protein. Melali proses deaminasi dan dekarboksilasi,
asam-asam amino dipecah dan dihasilkan amonia dan karbondoksida, serta melalui
reaksi putreaktiI oleh Clostridia dibentuk asam asetat, asam butirat, amonia, dan
karbondioksida. Fermentasi juga menurunkan kadar pH di dalam bahan baku silase.
Sampai dengan kadar pH dimana tidak ada lagi organisme yang dapat hidup dan
berIungsi di dalam silo. Penurunan kadar pH ini dilakukan oleh lactic acid yang
dihasilkan oleh bakteri Lactobacillus. Bakteri ini akan mengkonsumsi karbohidrat
untuk kebutuhan energinya dan mengeluarkan lactic acid. Bakteri ini akan terus
memproduksi lactic acid dan menurunkan kadar pH di dalam bahan baku silase.
Sampai pada tahap kadar pH yang rendah, dimana tidak lagi memungkinkan bakteri
ini beraktivitas.
Hal yang perlu diperhatikan pada Iermentasi silase adalah mengupayakan
secepat mungkin produksi asam sehingga akan semakin sedikit kehilangan nutrien
yang terkandung pada hijauan yang dibuat silase, karena pada saat pembentukan
asam ini terjadi kehilangan bahan kandungan hijauan. Bakteri asam laktat (BAL)
sangat diperlukan untuk menjamin keberhasilan pembuatan silase. Secara alami pada
hijauan terdapat BAL yang hidup sebagai bakteri epiIit, tetapi jumlahnya tidak dapat
dipastikan mencukupi untuk mengendalikan proses Iermentasi yang akan
berlangsung. Oleh karena itu, untuk menghindarkan kegagalan Iermentasi sangat
dianjurkan untuk melakukan penambahan inokulan BAL agar Iermentasi
berlangsung dengan sempurna.
Inokulan BAL merupakan bahan aditiI yang paling populer diantara bahan
aditiI yang biasa dipakai karena kemampuannya yang cepat menghasilkan asam
orgaik terutama asam laktat (Bolsen et al., 1995). Penggunaan inokulan BAL
dimaksudkan untuk menyempurnakan proses Iermentasi silase dan menjaga kualitas
nutrisi hijauan. Kebanyakan inokulan mengandung BAL homoIermentatiI, seperti
Ecosyl, Agri-King dan beberapa produk Pioneer, yaitu yang menghasilkan asam
laktat saja selama Iermentasi berlangsung.
Lactobacillus plantarum, Enterococcus faecium dan Pediococcus spp.
Menempati urutan teratas dalam pemakaian sebagai inokulan karena sangat eIisien
dalam menggunakan karbohidrat terlarut pada hijauan dan menghasilkan asam laktat
sehingga cepat menurunkan pH. BAL heteroIermentatiI mulai banyak digunakan
sebagai inokulan karena eIektiI untuk menekan pertumbuhan kapang dan khamir
(Weinberg & Muck, 1996). Lactobacillus buchneri yang heteroIermentatiI dapat
menghasilkan asam asetat dalam konsentrasi yang tinggi sehingga sesuai untuk
upaya tersebut. Selain itu, Lactobacillus buchneri dapat memperbaiki stabilitas
aerobik silase, terutama pasa saat dilakukan pemanenan.
Karakter BAL yang perlu diketahui dalam kaitannya sebagai inokulan adalah
bersiIat IakultatiI anaerob, artinya dapat hidup baik dengan maupun tanpa adanya
oksigen. Dapat dikatakan BAL Ileksibel terhadap oksigen. Walaupun demikian,
untuk Iermentasi silase harus dicapai suasana anaerob sehingga adanya oksigen dapat
dianggap sebagai racun dan penyebab kegagalan.
Produk inokulum komersial yang beredar di pasaran sebagian besar produksi
luar negeri. Indonesia sangat terbuka kesempatan untuk mengembangkan inokulum
dengan menggunakan isolat bakteri asam laktat lokal. Tingginya keanekaragaman
mikroorganisme yang ada di Indonesia khususnya BAL sangat memungkinkan untuk
ditemukannnya isolat potensial melalui skrining yang eIektiI. Tahap selanjutnya
isolat potensial tersebut dapat dikembangkan sebagai inokulum silase (Ridwan dan
Widyastuti, 2001).
Peranan lain dari inokulum BAL diduga adalah sebagai probiotik, karena
inokulum BAL masih dapat bertahan hidup di dalam rumen ternak (Weinberg et al.,
2004).

3. Proses Produksi Silase
Mikroorganisme yang dapat dimanIaatkan adalah bakteri Lactobacilus dan
Clostridia. Bakteri Clostridia ini sudah berada pada hijauan atau bahan baku silase
lainnya saat mereka di masukan kedalam silo. Bakteri ini mengkonsumsi
karbohidrat, protein dan lactic acid sebagai sumber energi mereka kemudian
mengeluarkan Butyric acid, dimana Butyric acid bisa diasosiasikan dengan
pembusukan silase
Keadaan yang menyuburkan tumbuhnya bakteri clostridia adalah kurangnya
kadar karbohidrat untuk proses Iermentasi yang biasanya di sebabkan oleh proses
respirasi yang terlalu lama, terlalu banyaknya kadar air di dalam bahan baku, dan
juga kekurangan jumlah bakteri Lactobacillus. Itulah sebabnya kadang di perlukan
penggunaan bahan tambahan atau aditive. Bahan tambahan biasanya ditambahkan
untuk memanipulasi dalam proses Iermentasi dalam pembuatan silase. Manipulasi
ditujukan untuk mempercepat proses atau untuk meningkatkan dan mempertahankan
kadar nutrisi yang terkandung dalam bahan baku silase.
Prinsip dasar dari pengawetan dengan cara silase Iermentasi adalah sebelum sel-
sel di dalam tumbuhan mati atau tidak mendapatkan oksigen, maka mereka
melakukan respirasi untuk membentuk energi yang di butuhkan dalam aktivitas
normalnya. Respirasi ini merupakan konversi karbohidrat menjadi energi. Respirasi
ini di bermanIaat untuk menghabiskan oksigen yang terkandung, beberapa saat
setelah bahan di masukan dalam silo. Namun respirasi ini mengkonsumsi karbohidrat
dan menimbulkan panas, sehingga waktunya harus sangat di batasi.
Respirasi yang terlalu lama terjadi di dalam bahan baku silase, dapat mengurangi
kadar karbohidrat, yang pada ahirnya bisa menggagalkan proses Iermentasi.
Pengurangan kadar oksigen yang berada di dalam bahan baku silase, saat berada
pada ruang yang kedap udara yg disebut dengan Silo, adalah cara terbaik
meminimumkan masa respirasi ini. Setelah kadar oksigen habis , maka proses
Iermentasi di mulai. Fermentasi adalah menurunkan kadar pH di dalam bahan baku
silase. Sampai dengan kadar pH dimana tidak ada lagi organisme yang dapat hidup
dan berIungsi di dalam silo. Penurunan kadar pH ini dilakukan oleh lactic acid yang
di hasilkan oleh bakteri Lactobacillus.
Lactobasillus itu sendiri sudah berada didalam bahan baku silase, dan dia akan
tumbuh dan berkembang dengan cepat sampai bahan baku terIermentasi. Bakteri ini
akan mengkonsumsi karbohidrat untuk kebutuhan energinya dan mengeluarkan lactic
acid. Bakteri ini akan terus memproduksi lactic acid dan menurunkan kadar pH di
dalam bahan baku silase. Sampai pada tahap kadar pH yang rendah, dimana tidak
lagi memungkinkan bakteri ini beraktivitas. Sehingga silo berada pada keadaan
stagnant, atau tidak ada lagi perubahan yang terjadi, sehingga bahan baku silase
berada pada keadaan yang tetap. Keadaan inilah yang di sebut keadaan terIermentasi,
dimana bahan baku berada dalam keadaan tetap, yang disebut dengan menjadi awet.
Pada keadaan ini maka silase dapat di simpan bertahun-tahun selama tidak ada
oksigen yang menyentuhnya. Proses Iermentasi ini (yang biasa di sebut dengan
Ensiling), berjalan dalam enam phase, yaitu:
Phase I
Saat pertama kali hijauan di panen, pada seluruh permukaan hijauan tersebut
terdapat organisme aerobic, atau sering disebut sebagai bakteri aerobic, yaitu bacteri
yang membutuhkan udara/ oksigen. Sehingga pada saat pertamakali hijauan sebagai
bahan pembuatan silase di masukan ke dalam silo, bakteri tersebut akan
mengkonsumsi udara/oksigen yang terperangkap di dalam rang silo tersebut.
Kejadian ini merupakan sesuatu yang tidak di inginkan untuk terjadi saat ensiling,
karena pada saat yang sama bakteri aerobik tersebut juga akan mengkonsumsi
karbohidrat yang sebetulnya di perlukan bagi bakteri lactic acid.
Kejadian ini nampak menguntungkan dalam mengurangi jumlah oksigen di
dalam silo sehingga menciptakan lingkungan anaerob seperti yang kita kehendaki
dalam ensiling, namun kejadian tersebut juga menghasilkan air dan peningkatan
suhu/ panas. Peningkatan panas yang berlebihan akan mengurangi digestibility
kandungan nutrisi, seperti misalnya protein. Proses perubahan kimiawi yang terjadi
pada phase awal ini adalah terurainya protein tumbuhan, yang akan terurai menjadi
amino acid, kemudian menjadi amonia dan amines. Lebih dari 50 protein yang
terkandung di dalam bahan baku akan terurai.
Laju kecepatan penguraian protein ini (proteolysis), sangat tergantung dari laju
berkurangnya kadar pH. Raung lingkup silo yang menjadi acid, akan mengurangi
aktivitas enzym yang juga akan menguraikan protein. Lama terjadinya proses dalam
tahap ini tergantung pada kekedapan udara dalam silo, dalam kekedapan udara yang
baik maka phase ini hanya akan bejalan beberapa jam saja. Dengan teknik
penanganan yang kurang memadai maka phase ini akan berlangsung sampai
beberapa hari bahkan beberapa minggu.
Untuk itu maka tujuan utama yang harus di capai pada phase ensiling ini adalah,
semaksimum mungkin di lakukan pencegahan masuknya udara/oksigen, sehingga
keadaan anaerobic dapat secepatnya tercapai. Kunci sukses pada phase ini adalah
kematangan bahan, kelembaban bahan, panjangnya pemotongan yang akan
menentukan kepadatan dalam silo, kecepatan memasukan bahan dalam silo, dan
kekedapan serta kerapatan silo.
Phase II
Setelah oksigen habis di konsumsi bakteri aerobic, maka phase dua ini di mulai,
disinilah proses Iermentasi dimulai, dengan dimulainya tumbuh dan
berkembangnya bakteri acetic acid. Bakteri tersebut akan menyerap karbohidrat dan
menghasilkan acetic acid sebagai hasil ahirnya. Pertumbuhan acetic acid ini sangat
diharapkan, karena disamping bermanIaat untk ternak ruminansia juga menurunkan
kadar pH yang sangat di perlukan pada phase berikutnya. Penurunan kadar pH di
dalam silo di bawah 5.0, perkembangan bakteri acetic acid akan menurun dan
ahirnya berhenti. Ini merupakan tanda berahirnya phase-2. Dalam Iermentasi hijauan
phase 2 ini berlangsung antara 24 sampai 72 jam.
Phase III
Pada Iase ini terjadi penurunan pH. Makin menurunnya kadar pH akan
merangsang pertumbuhan dan perkembangan bakteri anaerob lainnya yang
memproduksi latic acid. Maka pada phase ini latic acid akan bertambah terus.
Phase IV
Dengan bertambahnya jumlah bakteri pada phase 3, maka karbohidrat yang
akan terurai menjadi latic acid juga makin bertambah. Latic acid ini sangat di
butuhkan dan memegang peranan paling penting dalam proses Iermentasi. Untuk
pengawetan yang eIisien, produksinya harus mencapai 60 dari total organic acid
dalam silase. Saat silase di konsumsi oleh ternak, latic acid akan di manIaatkan
sebagai sumber energi ternak tersebut.
Phase 4 ini adalah phase yang paling lama saat ensiling, proses ini berjalan terus
sampai kadar pH dari bahan hijauan yang di pergunakan turun terus, hingga
mencapai kadar yang bisa menghentikan pertumbuhan segala macam bakteri dan
hijauan atau bahan baku lainnya mulai terawetkan. Tidak akan ada lagi proses
penguraian selama tidak ada udara/ oksigen yang masuk atau di masukan.
Phase V
Pencapaian Iinal kadar pH tergantung dari jenis bahan baku yang di awetkan,
dan juga kondisi saat di masukan dalam silo. Hijauan pada umumnya akan mencapai
kadar pH 4,5, jagung 4.0. Kadar pH saja tidaklah merupakan indikasi dari baik
buruknya proses Iermentasi ini.
Hijauan yang mengandung kadar air di atas 70 akan mengalami proses yang
berlainan pada phase 4 ini. Bukan bakteri yang memproduksi latic acid yang tumbuh
dan berkembang, namun bakteri clostridia yang akan tumbuh dan berkembang.
Bakteri anaerobic ini akan memproduksi butyric acid dan bukan latic acid, yang akan
menyebabkan silase berasa asam. Kejadian ini berlangsung karena pH masih di atas
5.
Phase VI
Phase ini merupakan phase pengangkatan silase dari tempatnya/ silo. Proses
pengangkatan ini sangatlah penting namun biasanya tidak pernah di perhatikan oleh
para peternak yang kurang berpengalaman. Hasil riset mengatakan bahwa lebih dari
50 silase mengalami kerusakan atau pembusukan yang di sebabkan oleh bakteri
aerobic, saat di keluarkan dari silo.
Kerusakan terjadi hampir di seluruh permukaan silase yang terekspos oksigen,
saat berada pada tempat penyimpanan atau pada tempat pakan ternak, setelah di
keluarkan dari silo. Kecermatan kerapihan dan kecepatan penanganan silase setelah
dikeluarkan dari silo yang kedap udara sangatlah perlu untuk di cermati, agar tidak
terjadi pembusukan.

Proses yang terjadi dalam 6 phase

Phase I Phase II Phase III Phase IV Phase V Phase VI
Umur Silase 0-2 hari 2-3 days 3-4 days 4-21 days 21 days-

lactic
Respirasi
sel;
menghasilka
n
CO
2
, panas
danair
Produksi
acetic
acid
dan lactic
acid
Pembetuka
n
acid


Pembentuka
n Lactic
acid


Penyimpana
n Material


Pembusuka
n Aerobic
re-exposure
dengan
oxygen
Perubahan
suhu **
69-90 F 90-84 F 84 F 84 F 84 F 84 F
Perubahan
pH
6.5-6.0 6.0-5.0 5.0-4.0 4.0 4.0 4.0-7.0
Produksi yg
di hasilkan
Acetic
acid
dan lactic
acid
bacteria
Lactic
acid
bacteria
Lactic
acid
bacteria

pembusuka
n
** Suhu atau temperatur sangat tergantung suhu ruangan.

Dalam pembuatan silase pakan, hal pertama yang perlu dilakukan adalah
penyiapan bahan baku silase. Bahan baku dipotong dan dicacah sekitar 5 centimeter
agar mudah dimasukkan ke dalam silo dan mengurangi terperangkapnya ruang udara
di dalam silo serta memudahkan pemadatan, kemudian diaduk secara merata sebelum
dimasukkan ke dalam silo. Cacahan tersebut dimasukkan secara bertahap lapis demi
lapis. Saat memasukkan bahan baku ke dalam silo secara bertahap, dilakukan
penekanan atau pengepresan untuk setiap lapisan agar padat dan agar oksigen
sebanyak mungkin dikurangi atau dihilangkan sama sekali dari ruang silo. Silo
ditutup rapat serta diletakkan pada ruang yang tidak terkena sinar matahari atau
terkena hujan selama tiga minggu. Setelah tiga minggu, silase sudah siap disajikan
sebagai pakan ternak. Silo yang tidak dibuka dapat disimpan terus sampai jangka
waktu lama asalkan tidak kemasukan udara. Pemberian pada ternak yang belum
terbiasa makan silase, sebaiknya harus diberikan sedikit demi sedikit dan dicampur
dengan daun hijauan yang biasa dimakan. Jika sudah terbiasa secara bertahap dapat
seluruhnya diberi silase sesuai dengan kebutuhan.
Pembuatan silase merupakan cara yang sangat cocok untuk mengawetkan daun
ubikayu yang umumnya tersedia melimpah pada saat panen (Limon, 1992 ; Bui Van
Chinh et al., 1992 ; Du Thanh Hang, 1998 ; Ly dan Rodriguez, 2001). Di samping
untuk pengawetan, pembuatan silase merupakan cara yang eIektiI untuk menurunkan
kadar HCN pada daun ubikayu (Tewe, 1991 ; Loc et al., 1996). Penyimpanan daun
ubikayu dalam bentuk silase selama tiga bulan dapat menurunkan kadar HCN dari
289 mg per kg BK daun ubikayu menjadi 20 mg per kg BK silase daun ubi kayu.

. Aplikasi dan Manfaat Silase Pakan
Silase pakan selama ini dimanIaatkan sebagai pakan beberapa jenis ternak,
baik ruminansia maupun unggas, ataupun jenis ternak lain. Karena awet dan dapat
memanIaatkan limbah-limbah hijauan, maka silase merupakan pilihan yang tepat.
Silase memberikan proporsi nutrisi yang lebih tinggi. Silase dapat dipergunakan pada
saat kekurangan pakan misalnya sewaktu musim kemarau, membutuhkan ruangan
yang lebih kecil daripada hijauan, merpakakn cara yang ekonomis dan mudah untuk
mengawetkan limbah.
Salah satu contohnya adalah silase pakan untuk peternak itik. Kendala utama
yang dihadapi peternak itik petelur dan pedaging skala menengah ke bawah adalah
ketersediaan pakan berkualitas terutama pada musim kemarau atau musim tidak
bertanam padi. Kendala ini terjadi karena sebagian besar pakan yang dipakai untuk
itik tidak dapat disimpan dalam waktu lama. Dedak (sumber energi utama) misalnya
sangat mudah menjadi tengik dan terserang kutu (serangga), sedangkan keong, ikan
rucah dan kepala udang (sumber protein utama) sangat mudah busuk karena tersedia
dalam bentuk segar. Berdasarkan pengamatan di lapang diketahui bahwa dedak
dapat bertahan dari ketengikan dan serangan kutu paling lama tiga minggu,
sedangkan keong, ikan runcah dan kepala udang dapat bertahan paling lama sehari
bila bahan pakan tersebut disimpan dalam suhu dan kelembaban ruang seperti di
Indonesia (suhu di atas 29 dan kelembaban di atas 85).
Upaya untuk memperpanjang masa simpan pakan telah dilakukan dengan
menerapkan teknologi pengeringan (penurunan kadar air), tetapi upaya tersebut
masih belum dapat mengatasi kekurangan pakan di musim kemarau, karena daya
tahan bahan pakan yang diolah dengan teknologi pengeringan tidak lebih dari 45
hari., sedangkan kekurangan pakan berkualitas tinggi di Indonesia dapat terjadi
selama musim kemarau (enam bulan). Sehingga teknologi pengolahan pakan
alternatiI yang dapat mempertahankan pakan minimal selama enam bulan menjadi
suatu kebutuhan. Aplikasi teknologi Iermentasi an-aerob pada bahan pakan dan
ransum, teknologi ensilage, adalah jawaban yang tepat untuk menanggulangi
masalah kekurangan pakan.
Tingkah laku itik dalam makan cukup unik karena setiap pakan yang dimakan
selalu dibawa ke air minum. Keadaan ini jika tidak diperhatikan oleh peternak
secara seksama akan membuat banyak pakan tercecer (terbuang) yang
mengakibatkan tingginya konversi pakan. Pakan yang terbuang selain terdapat di
dalam air minum juga ada yang terbuang diantara pakan dan air minum. Makin jauh
jarak tempat pakan dan air minum makin banyak pakan yang terbuang. Silase ransum
komplit untuk pakan bebek dengan basis utama butiran dan bijian serta hasil
sampingnya mempunyai tekstur yang lunak dan kompak. Tekstur seperti ini terjadi
selain karena pengaruh kadar air yang tinggi dan pemadatan, juga karena adanya
proses Iermentasi yang merubah gula larut dalam air menjadi asam organik. Makin
tinggi kadar air makin tinggi pula tingkat kelunakan dan kekompakan, dan tekstur
yang dimilikinya pun mendekati tekstur pasta. Sehingga pakan silase cocok
diberikan pada itik dalam rangka mengurangi terbuangnya bahan pakan akibat dari
kebiasaan makan itik yang unik.Ternak termasuk itik yang sudah terbiasa makan
ampas tahu atau pakan sejenis yang berbau asam akan suka makan silase
dibandingkan dengan ternak yang tidak terbiasa makan pakan jenis tersebut.
Selain untuk pakan itik, silase juga dapat dimanIaatkan sebagai pakan
ruminansia. Kekurangan rumput di musim kemarau sering menjadi problem bagi
peternak ruminansia. Adanya teknologi silase pakan ini dapat mengatasi
permasalahan kekurangan pakan tersebut karena silase dapat menjamin persediaan
hijauan pakan ruminansia sepanjang tahun. Pemberian silase pada ternak ruminansia
memberikan peluang BAL sampai pada rumen dan memberikan eIek probiotik.
Probiotik adalah pakan tambahan berupa mikroorganisme yang dapat memberikan
pengaruh menguntungkan dengan cara mempertahankan dan memperbaiki
keseimbangan mikroorganisme di dalam sluran pencernaan. Probiotik termasuk
dalam kategori pakan Iungsional karena memberikan pengaruh kesehatan pada
inangnya (RoberIroid, 2000).

. Prospek Pengembangan di Indonesia
Pengolahan pakan silase di Indonesia semakin diperlukan pada pengembangan
model usaha peternakan yang dirumuskan oleh Departemen Pertanian dimana
pelaksanaan agribisnis HMT dari budidaya, pemanenan, pemasaran sampai
pengolahan dilaksanakan oleh koperasi/ KUD, penyediaan lahan (bekerja sama
dengan Pemda, Dinas Kehutanan/Perkebunan), hasil produksi HMT sebagian besar
untuk memenuhi kebutuhan ternak milik Koperasi/KUD, sebagian dijual kepada
peternak, dan kelebihannya dilakukan pengolahan, yaitu dalam bentuk kering (ay)
dan segar (Silage) (Anonim, 2009).
Sebagian besar peternak sudah sangat merasakan manIaat adanya teknologi
silese pakan. Ke depannya nanti, teknologi ini akan semakin berkembang karena
akan semakin banyak peternak di Indonesia yang memanIaatkannya serta mencari
silase pakan. Dengan begini makan silase pakan akan semakin banyak dicari
sehingga akan diperlukan banyak silase pakan yang harus diproduksi untuk
memenuhi kebutuhan. Hal ini merupakan peluang besar bagi para entrepreneur yang
pandai memanIaatkan kesempatan emas tersebut. Jika hal ini dapat terwujud, maka
prospek perkembangan silase pakan di Indonesia akan semakin meningkat.
Jadi, prospek pengolahan pakan silase diperlukan di Indonesia yang merupakan
solusi yang sudah diterapkan peternak dan bisa menjamin ketersediaan pakan guna
mendukung pemenuhan kebutuhan hidup pokok dan produksi ternak yang
berkesinambungan.



IV. KESIMPULAN

Silase adalah pakan yang telah diawetkan yang di proses dari bahan baku yang
berupa tanaman hijauan, limbah industri pertanian, serta bahan pakan alami lainya.
Tujuan utama pembuatan silase adalah untuk memaksimumkan pengawetan
kandungan nutrisi yang terdapat pada hijauan atau bahan pakan ternak lainnya.
Prinsip pembuatan silase pakan adalah dengan cara Iermentasi yang memanIaatkan
bakteri Lactobacillus dan Clostridia. ManIaat dari adanya teknologi silase pakan ini
adalah dapat memenuhi pakan hijau bagi ternak meskipun pada musim kemarau yang
sulit untuk menemukan pakan hijau. Silase pakan dapat digunakan untuk ternak
unggas maupun ruminansia. Di Indonesia, teknologi silase pakan ini sudah mulai
dikembangkan oleh sebagian besar peternak. Prospek ke depannya cukup baik karena
banyak peternak yang akan mebuthkan teknologi ini. Selain dapat mengatasi
kekurangan pakan di musim kemarau, silase pakan juga dapat memberi eIek
probiotik pada ternak terutama ruminansia yang akan memberi pengaruh kesehatan
pada ternak.
















DAFTAR PUSTAKA

|Anonim|.2009.Pengawetan Pakan dengan Pembuatan ay.
tonysapi.multiply.com/journal/item/16 - 43k . |25 April 2011|.
Bolsen, K. K., G. Ashbell & J. M. Wilkinson. 1995. Silage Additives. In: R. J.
Wallace & A. Chesson. (Eds). Biotechnology in Animal Feeds and Animal
Feeding. VCH, Weinheim.
Limon, R. L. 1992. Ensilage oI Cassava Products and Their Use as Animal Feed. In;
Roots, Tubers, Plantains and Bananas in Animal Feeding (Editors: D Machin
and A W Speedy). FAO Animal Production and Health. Paper No. 95: 99-110.
Ratnakomala, S., R. Ridwan, G. Kartina & Y. Widyastuti. 2006. Pengaruh inokulum
Lactobacillus plantarum 1A-2 dan 1Bl-2 terhadap kualitas silase rumput
gajah(Pennisetum purpureum). Biodiversitas. 7:131-134.
RoberIroid, M. B. 2000. Prebiotics and probiotics: are they Iunctional Ioods? Am. J.
Clin. Nutr. 71 (suppl): 1682S-1687S.
Santoso, B dan B.Tj. Hariadi. 2008. Komposisi Kimia, Degradasi Nutrien dan
Produksi Gas Metana in Jitro Rumput Tropik yang diawetkan dengan metode
silase dan hay. Jurnal Media Peternakan Vol. 31 No. 2 : 81-154. Agustus 2008
(128 135).
Santoso, B., B. Mwenya, C. SAR dan J. Takahasi. 2007. Produksi metana dan partisi
energi pada domba yang diberi pakan basal silase atau hay rumput timothy.
JITV 12(1): 27-33.
Tewe, O. O. 1991. DetoxiIication oI Cassava Products and EIIects oI Residue Toxins
on Consuming Animals. In; Roots, tubers, plantains and bananas in animal
Ieeding (Editors: D. Machin and Solveig Nyvold).FAO Animal Production and
Health Paper No. 95: 81-95 http://www.Iao.org/ag/aga/agap/Irg/AHPP95/95-
81.pdI.
Weinberg Z. G. & R. E. Muck. 1996. New trends and opportunities in the
development and use of inoculants for silage. FEMS Microbiological
Reviews 19: 53-68.
Weinberg,Z. G., Y. Chen & M. Gamburg. 2004. The passage of lactic acid bacteria
from silage into rumen fl uid, in vitro studies. J. Dairy Sci. 87: 3386-3397.

Anda mungkin juga menyukai