Anda di halaman 1dari 4

Memulihkan Daya Saing

Ekspor harus tumbuh kembali jika Indonesia ingin menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan. Sebelum krisis, industri berorientasi ekspor berperan dalam menciptakan setengah dari lapangan kerja baru antara tahun 1990-1995. Pertumbuhan lapangan kerja pada industri berorientasi ekspor, jelas menguntungkan kaum miskin karena sebagian besar memanfaatkan keunggulan komparatif Indonesia yang mempunyai tenaga kerja secara berlimpah. Akan tetapi, sejak krisis, ekspor Indonesia mengalami kemandekan. Sebagai perbandingan, rata-rata pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia selama tahun 1990-96 sebesar 16 persen per tahun; sementara setelah krisis, ekspor dalam kategori ini mengalami penurunan hingga hanya mencapai 3 persen per tahun. Bahkan hingga akhir tahun 2003, nilai riil ekspor non-migas masih lebih rendah dibandingkan pada tahun 1996. Penurunan tajam justru terjadi pada produk-produk dimana Indonesia secara tradisional memiliki keunggulan komparatif - karet, minyak sawit, kayu lapis dan industri padat karya seperti furnitur, kain, kursi dan alas kaki. Sebagian menganggap kinerja buruk ini disebabkan oleh faktor eksternal. Akan tetapi, data menunjukkan hal sebaliknya. Pertumbuhan perdagangan dunia justru meningkat, dari hampir 5 persen pada tahun 2003 menjadi 10 persen pada tahun ini, jauh melebihi pertumbuhan 3 persen ekspor di dalam negeri. Bahkan, Indonesia telah tertinggal jauh dengan negara-negara pesaingnya di Asia Timur, seperti diilustrasikan oleh Gambar 1. Akibat persaingan dengan Cina, Korea, Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam, pangsa pasar 30 komoditas utama Indonesia terhadap total nilai non-oil ekspor dunia mengalami penurunan.
Gambar 1: Stagnasi Pertumbuhan Ekspor Indonesia
(Proporsi Ekspor terhadap PDB, Indeks 1996=100)
96=100 220

Namun, terdapat sejumlah harapan untuk meningkatkan kinerja ekspor Indonesia. Nilai ekspor Indonesia ke Cina mengalami peningkatan sebesar 30 persen pada tahun 2003 - walau angka ini masih lebih kecil dibandingkan negara ASEAN lainnya. Selain itu, meski belum dapat menutup penurunan ekspor tradisional, produk baru, seperti elektronika, telah mampu mengubah struktur ekspor Indonesia. Apa yang menyebabkan Indonesia gagal memperoleh manfaat dari peningkatan perdagangan dunia dan kehilangan pangsa pasar? Jawabannya lebih mengarah pada berbagai faktor domestik yang menghambat daya saing. Namun, sejumlah kebijakan dalam jangka pendek, bila digabungkan dengan reformasi kelembagaan jangka panjang, dapat membantu Indonesia memperoleh kembali daya saingnya dan menciptakan lapangan kerja.

Mengapa pertumbuhan ekspor menurun?


Stagnasi pertumbuhan ekspor Indonesia disebabkan oleh empat faktor, antara lain: (i) biaya yang lebih tinggi menjadikan ekspor Indonesia lebih mahal dibandingkan para pesaingnya; (ii) lemahnya iklim usaha menghambat investasi dalam industri ekspor; (iii) rendahnya akses terhadap kualitas dan kuantitas prasarana yang memadai, mengakibatkan inefisiensi perdagangan, dan (iv) munculnya negara-negara pesaing, seperti Vietnam dan Cina, sebagai ancaman terhadap produk-produk ekspor utama Indonesia. Biaya tinggi. Depresiasi Rupiah setelah krisis telah mendongkrak daya saing ekspor Indonesia. Akan tetapi, perkembangan ini sekarang justru berbalik. Apresiasi Rupiah dan tingginya biaya inflasi domestik, termasuk biaya tenaga kerja, telah melemahkan daya saing. Gambar 2 menunjukkan bahwa relatif koreksi nilai tukar Indonesia terhadap perkembangan harga, terpaut jauh dibandingkan pesaing-pesaingnya. Ditambah lagi telah tejadi penurunan produktifitas. IMF mengestimasi bahwa unit biaya tenaga kerja dalam US dollar, salah satu indikator daya saing, saat ini mencapai 30 persen lebih tinggi dibandingkan sebelum krisis. Ini membuat ekspor Indonesia menjadi lebih mahal, khususnya pada produkproduk padat karya. Akibatnya, eksportir menghadapi tugas yang berat dalam mengalahkan pesaing-pesaing mereka di luar negeri. Lemahnya iklim investasi. Lemahnya iklim investasi di Indonesia telah memperburuk kinerja ekspor karena menghambat investasi baru dalam
1

200 180 160 140 120 100

Korea

Thailand

Malaysia

Indonesia

80 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003

Sumber: CIEC, estimasi staf.

Untuk pembahasan lebih detail mengenai iklim investasi, lihat Creating Jobs Through Investment, CGI Investment Climate Working Group.

Indonesia Policy Briefs - Ide-Ide Program 100 Hari

Gambar 2: Hilangnya Daya Saing dalam Biaya Produksi


(bobot ekspor terhadap nilai tukar, indeks 1995=100)

Gambar 3: Ekspor Cina dan Vietnam memiliki kesamaan struktur dengan Indonesia
(Korelasi struktur ekspor dengan Indonesia)
Vietnam

Indeks1995=100
180 160 Bobot ekspor Negara pesaing 140 120 100 80 60 40 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 perdagangan

Thailand Singapore Philippines Malaysia Korea Japan Cina


0 0.1 0.2 0.3 0.4

total non-migas industri pengolahan

0.5 0.6 indeks korelasi

0.7

Catatan: Semakin tinggi korelasi dalam struktur ekspor, maka semakin ekspor semakin memiliki kesamaan Sumber: database WITS, estimasi staf.

Catatan: Kenaikan pada nilai tukar riil mengindikasikan hilangnya daya saing Sumber: estimasi staf.

peningkatan kualitas produk, dan akhirnya kenaikan biaya produksi. Investasi asing, sumber utama pertumbuhan ekspor sebelum krisis, menurun secara drastis sejak krisis, dari US$ 40 milliar hingga di bawah US$ 10 milliar antara tahun 1993-1995. Keterbatasan akses prasarana. Meski Indonesia memiliki tarif pelabuhan yang relatif rendah, efisiensi sistem pelabuhannya buruk. Hampir seluruh lalu lintas barang dialihkan melalui Singapura dan Malaysia (lihat Kotak 1). Menurut perkiraan, Indonesia dapat meningkatkan ekspornya hingga sebesar 18 persen dengan hanya meningkatkan logistik dan prosedur pelabuhan setengah dari rata-rata efisiensi negara-negara APEC. Perbaikan pelayanan jalur transportasi dalam dan antar pulau juga penting untuk menghubungkan wilayah miskin Indonesia dengan pasar internasional. Kotak 1: Mahalnya sang Nanas
Buah nanas Indonesia memiliki keunggulan dari sisi iklim dan murahnya harga lahan di luar Jawa. Akan tetapi, bagi produser kecil biaya pengapalan keluar Lampung, misalnya, sekitar $0.47 per kardus lebih tinggi dari Thailand - cukup menyebabkan daya saing Indonesia rendah di pasar internasional. Alasannya? Keterbatasan akses pelabuhan dan prasarana. Tingginya biaya merupakan akibat dari kosongnya kontainer dalam pelayaran pulang, dan kebutuhan untuk mengangkut timah impor untuk kemasan kaleng melalui Jakarta.

yang cukup luas untuk meningkatkan ekspor melalui persaingan harga pada produk-produk padat karya. Ini berarti, dalam jangka pendek, pemerintah dapat mencapai target ekspor dengan cara mengurangi biaya bagi eksportir, meningkatkan akses terhadap pasar, dan mengembalikan investasi pada industri-industri ekspor. Dalam jangka menengah, pemerintah harus mempertimbangkan strategi menyeluruh yang memungkinkan peningkatan nilai tambah barang ekspor secara bertahap. I. STRATEGI JANGKA PENDEK Pengalaman internasional secara konsisten menunjukkan bahwa dalam lingkungan eksternal yang kondusif bagi perdagangan dunia, negara-negara dengan keunggulan sumber tenaga kerja dapat mencapai pertumbuhan kinerja ekspor yang pesat. Yang diperlukan adalah meminimalisasi kendala yang menghambat mobilitas tenaga kerja di sektor pertanian dan informal. Berikut, beberapa langkah dalam jangka pendek: Mengurangi biaya Banyak dari biaya-biaya yang merugikan eksportir sebenarnya dapat dihindarkan dan dikurangi. Tentu, diperlukan kemauan politik: 1. Mempercepat pengembalian PPN. Pengembalian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pajak yang dikenakan pada barang-barang ekspor dapat menempuh waktu hingga satu tahun di Indonesia. Penyebab utama penundaan ini adalah prasyarat hukum bahwa seluruh penggantian harus diaudit berdasarkan standar internasional, hal ini dapat dilakukan melalui audit selektif. Pemerintah perlu mengubah peraturan mengenai administrasi perpajakan dan bea cukai untuk mengurangi penundaan tersebut. Bahkan tanpa reformasi hukum pun, terdapat ruang bagi administrasi perpajakan untuk mempercepat proses audit melalui peningkatan standar pelayanan. Inefisiensi pelabuhan. Waktu yang dihabiskan kapal-kapal di pelabuhan dapat jauh dikurangi. Saat ini, kegiatan ekspor dan impor di pelabuhan utama Jakarta melibatkan tidak kurang dari 30 institusi, termasuk otoritas pelabuhan, kelompok pekerja, petugas transportasi dan petugas keamanan. Tinjauan menyeluruh terhadap kendala birokrasi ini dapat dilakukan dengan cepat, guna memberikan rekomendasi bagi reformasi regulasi. Ini diharapkan akan menghilangkan beban-beban birokrasi yang tidak perlu. Meningkatkan persaingan antara operator-operator pelabuhan juga dapat memiliki pengaruh besar dalam jangka pendek. Korupsi di bea cukai. Meski Indonesia telah memulai langkah efisiensi dalam prosedur administrasi bea cukai, praktik korupsi telah

Meningkatnya persaingan. Cina dan Vietnam mengekspor produk-produk yang relatif sama, rendah teknologi dan padat karya, dengan Indonesia (Gambar 3). Ekspor kedua negara ini tumbuh pesat di sejumlah pasar yang semula didominasi oleh Indonesia. Di berbagai komoditas ekspor penting, seperti kain dan alas kaki, ekspor Indonesia mengalami penurunan. Sebaliknya, ekspor dari Cina dan Vietnam tumbuh secara signifikan. Dengan berakhirnya MultiFiber Agreement (MFA) pada tahun 2005, persaingan dari Cina diperkirakan akan semakin meningkat, khususnya di bidang industri tekstil. Di sejumlah pasar yang tidak mengimplementasikan MFA, seperti Jepang, pangsa pasar ekspor tekstil Indonesia di berbagai negara tersebut telah turun 40 persen akibat munculnya negara-negara pesaing berbiaya rendah. Bagaimana membuat ekspor tumbuh kembali? Dengan besarnya suplai tenaga kerja Indonesia - 40 persen angkatan kerja di sektor pertanian, dan 70 persen di sektor informal - terdapat ruang lingkup

2.

3.

Memulihkan Daya Saing

mengurangi dampak yang dihasilkan. Bukti lain menyebutkan bahwa korupsi berada di belakang kegagalan dalam memberantas kegiatan penyelundupan. Di sejumlah negara, bea cukai menjadi sebuah sarana uji coba bagi pemerintahan baru untuk mengatasi korupsi dalam jangka pendek. Melalui pembenahan bea cukai, pemerintah mengirimkan sinyal kuat kepada pasar, untuk menunjukkan komitmennya dalam memberantas korupsi. Pengenalan strategi anti korupsi secara nyata dengan melibatkan partisipasi ekportir dan importir, merupakan peluang untuk mempercepat pembaruan bidang bea cukai yang sedang berjalan. Di Eropa Timur, asosiasi pengusaha bekerja sama dengan pemerintah untuk mengawasi prosedur bea cukai dalam pembayaran informal di berbagai pelabuhan utama. Langkah ini mendorong terjadinya penurunan praktik korupsi. 4. Rasionalisasi upah dan biaya tenaga kerja. Menyusul penurunan selama krisis, upah di sektor formal meningkat secara drastis, dan berdasarkan nilai riil saat ini telah lebih 30 persen dibandingkan sebelum krisis. Perkembangan ini didorong oleh kenaikan upah minimum. Peningkatan ini, sebagian dipicu oleh pelaksanaan peraturan ketenagakerjaan, dan lebih jauh lagi dengan pemberlakuan undang-undang jaringan sosial yang baru. Bagaimanapun, pemerintah perlu menjamin bahwa biayabiaya tenaga kerja sejalan dengan peningkatan produktifitas. Jika tidak akan beresiko terhadap hilangnya daya saing dan lapangan kerja. Stabilisasi Rupiah. Nilai tukar yang stabil memberikan kejelasan bagi eksportir dalam perhitungan biaya dan penjualan. Dalam disiplin stabilisasi makroekonomi, penguatan Rupiah baik untuk menurunkan inflasi, tapi mengakibatkan barang-barang produksi Indonesia lebih mahal. Penurunan nilai Rupiah baru-baru ini telah membantu pemulihan daya saing. Namun, depresiasi lebih jauh beresiko memicu inflasi. Oleh karena itu, menjaga Rupiah tetap stabil pada angka ini memerlukan tindakan ekstra hati-hati. Menghilangkan hambatan non-tariff pada impor. Meningkatnya hambatan non-tariff telah manaikkan biaya domestik bagi tenaga kerja industri, sehingga meningkatkan biaya untuk memproduksi barang ekspor yang bernilai tambah lebih tinggi (lihat Kotak 2). Penghapusan kendala ini akan membantu konsumen dan juga eksportir (lihat Kotak 3). 2.

Kotak 2: Apakah Indonesia menjadi lebih proteksionis? Meskipun Indonesia menjalankan prinsip ekonomi terbuka, dan patut mendapat penghargaan atas liberalisasi unilateral yang telah dijalankan, terdapat sejumlah kebijakan yang mengarah pada proteksionisme dalam dua tahun belakangan ini. Tarif tetap dipertahankan, tapi perijinan dan pembatasan impor meningkat. Dalam pertanian, sejumlah produ sensitif, seperti beras, cengkeh, jagung, kacang kedelai dan gula, telah menjadi komditas yang dikenakan aturan perijinan impor, dimana hak impor eksklusif dijaminkan kepada produser beras, cengkeh dan gula domestik. Dalam industri pengolahan, proteksi non-tarif bagi produkproduk sensitif diperkuat melalui perijinan khusus (mialnya, tekstil dan produk tekstil) dan hak impor eksklusif (misalnya, besi dan produk baja). Pihak berwenang mengindikasikan bahwa perijinan ini, yang dijaminkan pada basis penilaian kebutuhan domestik ini, ditempatkan untuk memberantas penyelundupan dan menyeimbangkan pasokan dan permintaan secara transparan. Akan tetapi, penyelundupan tidak dapat dicegah dengan memberlakukan perijinan impor, melainkan dengan sistem kepabeanan yang baik dan penjagaan pantai yang prima. Lebih jauh, perijinan berpotensi menimbulkan korupsi, dan tidak jelas siapa sebenarnya yang diuntungkan dari kebijakan ini. Akhirnya, bea masuk yang dikenakan dan pembatasan lainnya pada komoditas utama seperti beras, menaikkan biaya ekonomi karena tenaga kerja industri memerlukan kompensasi untuk harga beras yang lebih tinggi.

masuk jenis ini setidaknya tiga kali lebih tinggi dibandingkan rata-rata kategori bea masuk ad-valorem. Di negara-negara berkembang, rata-rata tarif yang diterapkan, lebih tinggi dibandingkan di negara-negara OECD. Hal ini berlaku khususnya di sejumlah pangsa pasar penting bagi Indonesia, seperti Cina, Brazil dan India. Batas tertinggi bea masuk yang dipunyai, bahkan jauh lebih tinggi lagi. Dalam melakukan negosiasi, Indonesia perlu mengajukan pengurangan langsung atas batas tertinggi bea masuk (bound tariff ) dan juga bea masuk aktual. Di negara-negara ASEAN, Indonesia dapat mengupayakan harmonisasi prosedur rules of origin, serta standar kesehatan dan keamanan. Indonesia perlu memenuhi standar-standar di luar negeri, karena ini sangat penting bagi ekspor di sektor pertanian. Fasilitas penyimpanan di pelabuhan-pelabuhan dan laboratorium sangat penting untuk menjamin barang memenuhi standar yang ditetapkan.

5.

3.

6.

Meningkatkan akses pasar. Indonesia memerlukan kebijakan perdagangan yang sinkron dan konsisten, agar memperoleh manfaat dari pertumbuhan perdagangan dunia dalam rangka penciptaan lapangan kerja. Selama ini, kebijakan yang ditempuh terlalu terfokus pada pengaruh subsidi pertanian oleh negara-negara maju. Meski penghapusan subsidi ini sangat diharapkan, mereka bukanlah kendala utama bagi ekspor Indonesia. Sebaliknya, kebijakan harus memfokuskan diri pada peningkatan akses pasar. Baik pasar negara maju maupun berkembang sama pentingnya sebagai negara tujuan ekspor Indonesia. Akan tetapi, Indonesia menghadapi karakter proteksi yang berbeda dan memerlukan strategi negosiasi yang berbeda untuk meningkatkan akses pasar di setiap kelompok ini. 1. Di pasar OECD, isu utama bagi Indonesia adalah mengurangi eskalasi bea masuk bagi barang-barang olahan. Hal ini menjadi limitasi bagi Indonesia untuk mengekspor produk-produk bernilai tambah lebih tinggi. Indonesia harus bernegosiasi untuk mengurangi pajak non advalorem yang kerap digunakan di sejumlah negara OECD karena cenderung bersifat diskriminatif, tidak transparan, dan mengarah pada proteksi. Sebagai ilustrasi, di negara-negara Uni Eropa rata-rata bea

Memperbaiki iklim investasi. Lemahnya iklim investasi Indonesia disebabkan oleh serangkaian faktor. Akan tetapi, ketidakpastian kebijakan dan peraturan, korupsi, dan kualitas prasarana dinilai merupakan hal paling relevan bagi eksportir. Pemerintah telah merancang program untuk memperbaiki iklim investasi, seperti tertuang dalam Buku Putih ( White Paper) paket kebijakan
Kotak 3: Pahit manisnya bea-masuk Pada January 2000, pemerintah mengubah bea masuk impor gula dari 30 persen ad valorem menjadi tarif yang lebih spesifik, Rp 550/700 per kg (rata-rata 45 persen ekivalensi). Di tahun 2002 Indonesia menerapkan hambatan non-tariff melalui oligopoli impor. Akibatnya, harga gula meningkat dari Rp. 3000-3500/ kg menjadi Rp. 4000-5500/kg, tergantung pada varietas. Kebijakan ini juga meningkatkan biaya industri yang menggunakan gula sebagai input produksi. Asosiasi Pengusaha Makanan dan Minuman memperkirakan biaya produksi meningkat sebesar 30 persen pada industri biskuit dan roti, dan sekitar 60 persen pada industri permen dan sirup. Dengan meningkatnya proteksi, sejumlah perusahaan, khususnya skala kecil, terpaksa harus tutup. Siapa yang diuntungkan? Mereka yang menerima ijin impor dan juga para produsen produk kembang gula dari Malaysia, yang akibat dari kebijakan proteksi tersebut saat ini menjadi lebih kompetitif di pasar Indonesia.

Indonesia Policy Briefs - Ide-Ide Program 100 Hari

ekonomi pasca IMF. Meski strategi perbaikan iklim investasi ini membutuhkan reformasi kelembagaan dalam jangka panjang dan perubahan perilaku, pemerintah dapat bertindak cepat dengan memberi indikasi berupa komitmen untuk menangani isu-isu tersebut. Kuncinya adalah membuka dialog dengan berbagai asosiasi yang mewakili dunia usaha domestik dan asing. Selanjutnya, pencapaian atau hasil dari agenda ini harus mudah diawasi. Penunjukan komite, sejajar dengan kabinet, hanya akan efektif jika dapat meyakinkan dunia usaha visi apa yang perlu dilakukan dan kewenangan untuk melaksanakan visi tersebut.1 II. STRATEGI JANGKA MENENGAH Dalam jangka menengah, struktur produksi Indonesia perlu diarahkan ke produksi komoditi bernilai lebih tinggi, seperti elektronik dan industri pengolahan lainnya; misalnya industri minyak sawit yang mengandalkan pada kekuatan sumber daya alam Indonesia (Tabel 1). Namun, hal ini memerlukan sebuah strategi tepat sasaran. Strategi ini harus memberi perhatian pada produksi dan sektor industri dimana Indonesia memiliki keunggulan komparatif, bukan dengan memberikan preferensi dan subsidi bagi produsen yang ditentukan sepihak oleh negara (misalnya strategi memilih pemenang). Di samping itu, strategi ini harus memasukkan kebijakan untuk menunjang perkembangan prasarana, kebijakan pendidikan dan program riset dan pengembangan (R&D). Kebijakan tarif dan non-tarif harus sejalan dengan strategi tersebut. Meningkatkan proteksi bagi sektor-sektor yang dianggap menjanjikan, sudah terbukti tidak memberikan hasil. Proteksi hanya akan menghambat restrukturisasi industri dan meningkatkan biaya produksi. Lebih jauh, proteksi akan semakin dibatasi dengan adanya AFTA, perjanjian perdagangan bebas AFTA-Cina, serta WTO. Selain itu, pemerintah harus mendorong peningkatan keterampilan tenaga kerja. Rendahnya keahlian tenaga kerja Indonesia dinilai sebagai salah satu hambatan bagi penanaman modal asing, selain kendala bagi peningkatan
Gambar 4 : Minimnya peningkatan keahlian
(Persentase perusahaan yang menawarkan pelatihan formal bagi tenaga kerjanya)
Percent
80.0

struktur ekspor. Oleh karena itu, pemerintah perlu menetapkan target dalam sistem pendidikan formal. Sejalan dengan itu, sektor swasta pun harus melanjutkan pendidikan dan peningkatan keahlian tenaga kerja, misalnya melalui in house training. Dibandingkan dengan negara lain, keterlibatan perusahaan dalam peningkatan keterampilan tenaga kerja Indonesia masih rendah; hanya 23 persen perusahaan yang menawarkan pelatihan formal bagi tenaga kerjanya, bandingkan dengan 42 dan 69 persen di Malaysia dan Cina (Gambar 4). Menemukan penyebab dan solusinya seharusnya menjadi prioritas utama bagi pemerintah. Akhirnya, pemerintah harus mampu memperbaiki sinkronisasi dalam kebijakan perdagangan. Kebijakan saat ini cenderung memberikan tekanan pada jangka pendek dan kurang melihat ke dalam lingkup yang lebih luas. Kurangnya koordinasi dalam kebijakan tarif dan non-tarif berakibat pada ketidakjelasan posisi pemerintah dalam perdagangan. Oleh karena itu, penguatan koordinasi merupakan suatu keharusan. Menteri Koordinator Bidang Ekonomi jelas berwenang menangani tugas ini. Akan tetapi, di banyak negara hal ini dilakukan oleh lembaga khusus yang dibentuk untuk menganalisa kebijakan yang dapat mempengaruhi daya saingnya. Tabel 1: Keunggulan Komparatif Indonesia (RCA)
Produk Perikanan dll. Kopi, teh, dll. Tembakau Karet mentah Produk perkayuan Pulp dan kertas Bijih dan skrap logam Batu bara, arang dan briket Minyak dan produk minyak Gas, alam dan olahan Minyak sayur Minyak hewan Pupuk Kayu olahan (diluar furniture) Alat telekomunikasi dan perekam suara Furniture dan bagiannya Barang-barang perjalanan, tas tangan Kain dan pakaian Alas kaki Dari total 63 produk - SITC 2 digit: Jumlah produk RCA>1 % produk dengan RCA>1 1995 3.9 4.3 0.9 15.9 1.1 2.0 4.6 5.2 3.1 15.8 5.6 8.1 2.0 16.7 1.0 1.9 0.9 2.4 6.2 17 27 2001 3.3 4.1 1.5 8.9 1.4 3.2 4.8 7.0 1.9 8.0 9.7 3.5 0.9 9.5 1.3 2.3 1.6 2.7 4.3 21 33

China

70.0

60.0

Malaysia
50.0

40.0

Indonesia
30.0

Philippines

20.0

10.0

0.0

Share of firms offering formal training

Sumber: Survey iklim investasi World Bank-ADB.

Catatan: Keunggulan komparatif yang ditunjukkan dalam ekspor suatu negara (RCA) mengindikasikan level dimana ekspor suatu produk memiliki proporsi yang lebih tinggi daripada rata-rata ekspor negara tersebut. RCA> menunjukkan bahwa suatu negara memiliki keunggulan komparatif pada produk tersebut. Makin besar nilai RCA, makin besar keunggulan komparatifnya. Sumber: Perhitungan staf berdasarkan data UNCOMTRADE.

Indonesia policy Briefs | Ide-Ide Program 100 Hari


1. 2. 3. 4. 5. 6. Kemiskinan Menciptakan Lapangan Kerja Iklim Penanaman Modal Memulihkan Daya Saing Infrastruktur Korupsi 7. 8. 9. 10. 11. 12. Reformasi Sektor Hukum Desentralisasi Sektor Keuangan Kredit Untuk Penduduk Miskin Pendidikan Kesehatan 13. 14. 15. 16. 17. 18.

DAFTAR ISI
Pangan Untuk Indonesia Mengelola Lingkungan Hidup Kehutanan Pengembangan UKM Pertambangan Reformasi di Bidang Kepegawaian Negeri

Anda mungkin juga menyukai