Anda di halaman 1dari 8

Air Suci Mensucikan

Apabila anda ingin mencuci pakaian kotor, berwudhlu, dan melakukan mandi wajib atau mandi besar, maka anda perlu memahami kriteria air yang suci dan mensucikan. Hal ini penting untuk dipahami, sebab tidak semua air yang suci itu dapat mensucikan. Ada ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi agar air yang kita pakai untuk bersuci dapat mensucikan diri dan pakaian kita. Ketika kita memakai air suci saja, namun ternyata air itu bukanlah air yang mensucikan, maka sudah pasti wudhlu kita, mandi kita, dan pakaian yang kita sucikan tidak akan menjadi suci kembali. Kriteria Air Suci dan Mensucikan Secara umum, air yang suci dan mensucikan adalah sebagai berikut : Suci dari najis dan belum pernah dipakai Maksudnya adalah air tersebut tidak dalam keadaan tercemar oleh najis dan belum pernah dipakai untuk bersuci sebelumnya. Air yang suci dari najis akan tetapi sudah pernah dipakai untuk bersuci tidak dapat digunakan untuk menyucikan benda yang terkena najis. Air dalam keadaan mengalir Air yang suci dan mengalir dapat digunakan untuk mensucikan anggota badan atau pakaian yang terkena najis. Air yang mengalir ini banyak sekali kita jupai, seperti air sungai, air kran, atau air yang kita alirkan sendiri seperti air dari timba. Air yang mengalir namun tidak dapat digunakan untuk mensucikan apabila sifat-sifat air tersebut sudah berubah baik oleh najis atau oleh benda suci lainnya. Minimal volume air Dua Kulah Apabila air tidak dapat mengalir, minimal air suci yang harus kita gunakan untuk bersuci adalah dua kulah. Ada beberapa pendapat mengenai volume dari dua kulah ini. Menurut Al Nawawi, 2 kulah itu sama dengan 174,580 Liter (55,9 cm kubik). Menurut Al -Rafii, sama dengan 176,245 liter (56,1 cm kubik). Sedangkan menurut Imam Al Bagdadi dua kulah itu setara dengan 245,325 liter (62,4 cm kubik). Seandainya anda kepepet dan menggunakan bak mandi sebagai sarana untuk berwudhlu, perlu anda perhatikan jumlah airnya apakah sudah dua kulah atau justru malah kurang. Ketika air kurang dari dua kulah, maka kita harus berhati-hati menggunakannya untuk mensucikan hadats kita. Jangan sampai air yang kita gunakan tersebut tertetesi air mustamal (air yang menetes dari bekas kita berwudhu atau mandi besar). Nah itulah syarat-syarat dan kriteria air yang suci dan mensucikan. Apabila anda mencuci pakaian anda dengan menggunakan air kran, saran untuk anda adalah sebaiknya setelah anda membilas dengan deterjen, alangkah baiknya anda mensucikannya terlebih dahulu sebelum menjemurnya. Caranya yaitu dengan membilasnya langsung dengan air mengalir atau air kran yang anda gunakan. Ini penting agar ketika kita memakainya untuk keperluan sehari-hari, pakaian tersebut sudah benarbenar dalam keadaan yang suci. Air yang bisa digunakan untuk Bersuci Air adalah nikmat yang Allah berikan kepada manusia, yang memiliki banyak manfaat bagi kehidupan dan Allah taala telah menjadikannya dzat yang digunakan untuk bersuci dari hadats

besar ataupun kecil. Dengan memohon taufiq Alah taala berikut ini saya sampaikan 7 macam air yang bisa digunakan untuk bersuci beserta dalilnya. Semoga tulisan sederhana ini kembali menggugah ingatan kita saat masih duduk di bangku TPA mendengarkan penjelasan ustadz/ah tentang macam-macam air yang boleh digunakan untuk bersuci. 1) Air Hujan atau Air yang turun dari langit. Dalil yang menunjukkan bolehnya bersuci dengan air adalah firman Allah taala dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu (Al Anfal 11) 2) Air laut. Bolehnya menggunakan air laut untuk bersuci berdasarkan sebuah hadits : : Rasulullah shalallahu alaihi wa salam pernah ditanya oleh seorang laki-laki, wahai Rasulullah! Kami mengarungi lautan , dan kami hanya membawa sedikit air tawar. Jika kami berwudhu dengan menggunakan air tawar yang kami bawa, maka kami akan kehausan karena kehabisan air tawar. Apakah boleh kami berwudhu dengan air laut.? Rasulullah shalallahu alaihi wa salam menjawab: laut itu suci airnya[2], dan bangkai hewan yang hidup di laut adalah halal (bangkai terapung ataupun tidak selama tidak memberikan madharatbagi kesehatan[3]) (diriwayatkan oleh Ashabu Sunan, dishahihkan oleh Syaikh Al-Bany dalam silsilah shahihah 1/786) 3) Air Sungai. Bolehnya menggunakan air sungai untuk berwudhu berdasarkan ijma[4]. Dan ijma adalah 1 diantara landasan hukum islam, 4) Air Sumur. Berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu alaihi wa salam: Pada asalnya air itu suci dan mensucikan, tidak bisa dinajiskan oleh barang apapun. Demikian jawaban Rasulullah shalallahu alaihi wa salam ketika ditanyakan kepada beliau tentang air sumur budhoah yang digunakan untuk berwudhu (HR Ashabu Sunan dishahihkan oleh Imam Ahmad Rahimahullahu) 5) Air yang keluar dari mata air 6) Air ES 7) Air Embun Sekian yang bisa kami sampaikan, semoga bermanfaat bagi saya dan seluruh kaum muslimin, yang salah dari tulisan ini berasal dari saya pribadi dan syaitan sehingga jika diantara kalian ada yang mengetahui kesalah saya dalam tulisan ini, hendaknya dia menasehati saya. Adapun kebenaran mutlak datangnya dari Allah taala PENGERTIAN NAJIS Dari segi bahasa, najis bererti benda kotor seperti darah, air kencing dan tahi. Dari segi syara`, najis bermaksud segala kekotoran yang menghalang sahnya solat. Asbbun Nuzl Surat al-Baqarah (2), Ayat: 22

) ) 222. Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid adalah suatu kotoran". Maka hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita (isterimu) di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka (isteri-isterimu) sebelum mereka suci. Apabila mereka (isteriisterimu) telah suci, maka campurilah mereka (isteri-isterimu) itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. PEMBAHAGIAN NAJIS Najis dari segi ainnya terbagi kepada dua: 1. Najis haqiqiyy, iaitu benda kotor sama ada beku atau cair dan sama ada dapat dilihat atau tidak. Ia terbahagi kepada tiga: i. Mughallazah (berat), iaitu anjing, khinzir dan yang lahir daripada kedua-duanya atau salah satunya. ii. Mukhaffafah (ringan), iaitu air kencing kanak-kanak lelaki yang tidak makan selain menyusu dan belum mencapai umur dua tahun. iii. Mutawassitah (pertengahan), iaitu selain dari dua jenis di atas seperti darah, nanah, tahi dan sebagainya. Semua bangkai binatang adalah najis kecuali ikan dan belalang. Kulit bangkai binatang menjadi suci apabila disamak kecuali kulit khinzir, anjing dan yang lahir daripada keduaduanya atau salah satunya. 2. Najis hukmiyy, iaitu kekotoran yang ada pada bahagian tubuh badan iaitu hadath kecil yang dapat dihilangkan dengan berwudhu dan hadath besar (janabah) yang dapat dihilangkan dengan mandi, atau tayammum apabila ketiadaan air atau uzur daripada menggunakan air. NAJIS YANG DIMAAFKAN Tiada sebarang najis yang dimaafkan. Walaupun begitu, syara` memberi kemaafan terhadap kadar benda najis yang sedikit yang sulit untuk dielakkan, begitu juga untuk memudahkan dan bertolak ansur kepada umatnya. Oleh yang demikian, najis-najis berikut adalah dimaafkan: 1. Najis yang tidak dapat dilihat oleh pandangan sederhana seperti darah yang sedikit dan percikan air kencing. 2. Darah jerawat, darah bisul, darah kudis atau kurap dan nanah. 3. Darah binatang yang tidak mengalir darahnya seperti kutu, nyamuk, agas dan pijat. 4. Tempat berbekam, najis lalat, kencing tidak lawas, darah istihadhah, air kurap atau kudis.CARA MENYUCI NAJIS Cara menghilangkan najis ialah dengan beristinja, membasuh dan menyamak. Cara menyucikan najis haqiqiyy pula adalah seperti berikut:

1. Najis mughallazah (berat) Hendaklah dihilangkan ain najis itu terlebih dahulu, kemudian barulah dibasuh dengan air sebanyak tujuh kali, salah satu daripadanya bercampur dengan tanah sehingga hilang sifatnya (warna, bau dan rasa). 2. Najis mutawassitah (pertengahan) Hendaklah dihilangkan ain najis itu terlebih dahulu, kemudian barulah dibasuh tempat kena najis dengan air sehingga hilang sifatnya (warna, bau dan rasa). 3. Najis mukhaffafah (ringan) Hendaklah dihilangkan `ain najis itu terlebih dahulu, kemudian cukup sekadar direnjiskan atau dialirkan air ke atasnya. Untuk menyucikan najis hukmiyy iaitu yang tiada warna, bau dan rasa ialah dengan mengalirkan air ke atas tempat yang terkena najis tersebut. Dalil yang dijadikan landasan bagi najisnya sisa air ini adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Jika air itu mencapai dua qullah*, maka ia tidak akan terkotori. (Shahih, riwayat Abu Dawud (no. 63), Tirmidzi (no. 67) dan an-Nasai (I/46). Imam Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, . Kandungan utama hadits qullatain adalah air yang telah mencapai kadar sebanyak dua qullah, tidaklah membawa/mengandung najis, dikarenakan umumnya kadar air yang demikian tidaklah dipengaruhi oleh najis. (Namun), apabila ternyata sebagian karakter air berubah, maka statusnya menjadi najis berdasarkan ijma ulama yang ditetapkan dari beberapa periwayatan Beliau melanjutkan: Adapun air yang jumlahnya di bawah dua qullah, maka rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidaklah memastikan bahwa air dengan kadar tersebut mengandung najis. Bahkan konteks hadits menunjukkan bahwa air dengan kadar di bawah dua qullah, terkadang membawa najis dan juga terkadang tidak membawa najis. Apabila air tersebut mengandung najis, maka statusnya tidaklah berubah menjadi najis kecuali salah satu karakternya berubah. Sehingga, konteks hadits qullatain ditaqyid (dikaitkan) dengan hadits yang telah disepakati untuk diterima dan diamalkan, yang menyatakan bahwa air yang bercampur dengan najis, statusnya menjadi najis apabila terjadi perubahan pada salah satu karakternya. (Sail al Jarar 1/55). Wallahu alam *Dua qullah setara dengan kurang lebih 270 liter. Menurut sekelompok fuqaha (ahli fiqh), jika najis jatuh di air yang banyaknya dua qullah maka air itu tetap dikatakan suci, selama salah satu sifatnya tidak berubah. Tapi, jika najis jatuh di air yang ukurannya kurang dari dua qullah maka air tersebut menjadi najis, meski

salah satu sifatnya tidak berubah. Jadi, hadits qullatain di atas adalah persyaratan tentang ukuran air yang dinilai suci. Sehingga apabila binatang buas dan binatang lain yang dagingnya tidak boleh dimakan minum di tempat yang airnya berukuran dua qullah atau lebih, maka airnya tetap suci.Itulah beberapa macam najis dan cara pembersihannya, yang telah disebutkan dalam dalil. Adapun sebagian ulama menyebutkan hal-hal najis lainnya dalam kitab-kitab fiqih selain dari yang telah disebutkan, seperti muntah, nanah, khamr, dan yang lainnya. Akan tetapi tidak ada dalil yang shahih yang menunjukkan bahwa semua itu najis. Sedangkan hukum asal dari sesuatu adalah suci selama tidak ada dalil shahih yang menetapkan kenajisannya. Sehingga, kita menetapkan bahwa semuanya adalah suci. Jika seorang muslim ragu mengenai kenajisan air, pakaian, tempat shalat, benda, atau yang lainnya, semuanya itu tetap dinilai suci. Demikian pula apabila kita meyakini kesucian sesuatu hal, kemudian kita merasa ragu apakah hal tersebut najis atau tidak, maka hukum yang berlaku adalah kesucian yang kita yakini. Demikian pula apabila kita meyakini kenajisan sesuatu hal, kemudian kita lupa untuk menyucikannya, apakah sudah disucikan atau belum, maka hukum yang berlaku adalah apa yang diyakini. Demikian itulah kaidah yang agung, yakni tetap berpedoman pada keadaan yang diketahui dan mengesampingkan keraguan.

Sesuci
Bersuci adalah bagian dari iman, bahkan menjadi syarat sah sholat dimana sholat merupakan tiang agama yang membedakan seorang muslim dan kafir. Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk mempelajari perkara ini Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda: Bersuci adalah setengah iman, ucapan Alhamdulillah itu memenuhi timbangan amal, ucapan Lailahaillallahu dan Allahu Akbar keduanya memenuhi apa yang ada diantara langit dan bumi, sholat adalah cahaya, shodaqoh adalah bukti (benarnya iman), dan sabar adalah cahaya yang panas, Al Quran adalah argument yang membelamu atau menuntutmu. Setiap manusia ketika waktu pagi tiba, maka dia menebus dirinya, maka boleh jadi dia menebusnya lalu dia merdekakan dirinya, atau dia tebus dirinya namun kemudian dia binasakan (HR Muslim). Berdasarkan hadits diatas, dapat disimpulkan betapa pentingnya kedudukan bersuci dalam islam.

Beberpa Air Yang Najis dan suci


Pertama: Pembagian Air dari Sisi Penamaannya Berdasarkan konteks umum pada hadits ini pula, kalangan fuqaha` Islam membagi air dari tinjauan yang lebih umum menjadi dua bagian. Yaitu air mutlak dan air muqayyad. Air mutlak ( ) adalah air yang tetap berada pada asal penciptaannya. Yaitu bahwa setiap sifat/karakter air yang Allah ciptakan mengiringi zat air, baik itu sifat panas, dingin, tawar, asin ataukah selainnya. Baik air tersebut tercurah dari langit (hujan, embun dan selainnya) ataukah yang memancar dari dalam tanah (mata air, air laut, sungai dan selainnya). Jika air tersebut berada pada asal sifat air yang diciptakan Allah, maka air tersebut adalah air yang thahur yaitu pada hukum penggunaannya. Di antara fuqaha Islam ada yang mengatakan dalam menafsirkan air mutlak ini sebagai,air yang mana sudut pandang pemahaman setiap orang akan sama dalam menilai kemutlakan penamaan

air. Semisal pada air sungai, air mata air, air telaga, air hujan dan semisalnya. Dengan demikian diperbolehkan berwudhu` -dan juga mandi- dengan kesemua air tersebut, baik ragam air tersebut berada pada tempatnya masing-masing ataukah berada pada bejana-bejana air. Karena perpindahan air tersebut dari satu tempat ke tempat lainnya tidaklah menggugurkan kemutlakan penamaan air dari air tersebut. Ataukah dapat dibahasakan bahwa air mutlak adalah air yang berlaku penamaan air tanpa adanya indikasi lain yang menjadi sifat lazimnya, semisal bentuk penisbatan pada air bunga. Air muqayyad ( ) adalah kebalikan dari air mutlak diatas. Yaitu air yang mana sudut pandang setiap orang tidaklah segera memutuskan adanya kemutlakan penamaan suatu air. Air ini adalah air yang keluar dari perasan sesuatu (sari pati), semisal air perasan kayu, air perasan buah dan bunga dan semisalnya. Termasuk juga dalam kategori air muqayyad adalah setiap air mutlak yang bercampur dengan zatzat cair lainnya baik zat cair tersebut suatu yang thahir atau najis-. Dimana pencampuran zat cair tersebut pada air mutlak sampai pada taraf hilangnya penamaan kemutlakan air, misalnya air cuka, air susu dan selainnya. Air mutlak yang telah mengalami perubahan sifat kemutlakannya tersebut karena bercampur dengan sesuatu yang thahir, hingga percampuran tersebut menghilangkan penamaan kemutlakan air pada suatu air mutlak tidaklah tergolong sebagai air yang thahur. Dengan kata lain, sifat ath-thahuriyah pada air mutlak tersebut telah sirna seiring dengan hilangnya kemutlakan penamaan air padanya, baik kadar air tersebut banyak atau sedikit. Kedua: Hukum Thaharah dengan Air Mutlak Pada dasarnya, jenis air yang diperbolehkan untuk thaharah (wudhu` atau mandi) adalah air yang berada pada kemutlakannya. Berdasarkan beberapa dalil berikut, Pertama, Firman Allah taala, 48 :] ] Dan Kami telah turunkan dari langir air yang thahur. (QS. Al-Furqan: 48) Kedua, hadits Abu Said Al-Khudri di atas. Ketiga, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab ash-Shahih beliau, bahwa Nabi bersabda di dalam doa beliau, Wahai Allah sucikanlah aku dengan salju, air dan es. Keempat, hadits Abu Hurairah tentang hukum pemakaian air laut untuk thaharah, yang telah kita sebutkan pada edisi sebelumnya. Kelima, konsensus ulama sebagaimana kutipan beberapa ulama Ketiga: Pembagian Air Mutlak. Para ulama berbeda pendapat mengenai pembagian air mutlak ini dalam beberapa pendapat, namun yang rojih bahwa air terbagi menjadi dua bagian; suci mensucikan (thahur) dan air najis. Berdasarkan firman Allah : 48 :] ] Dan Kami telah turunkan dari langir air yang thahur. (QS. Al-Furqan: 48) Demikian juga keumuman hadits Abu Said Al-Khudri di atas. Syeikh Abdurrahman bin Naashir as-Sadi : Maksudnya, hadits ini (hadits Abu Said) menunjukkan air terbagi menjadi dua bagian: 1. Najis yaitu air yang berubah salah satu sifatnya karena najis, baik sedikit ataupun banyak 2. Thahur yaitu yang selainnya.

Penetapan jenis ketiga yang tidak thahur dan tidak juga najis bahkan dikatakan thahir tidak berdasarkan dalil syari, sehingga tetap berada pada asal kesuciannya (thahuriyah). Keumuman hadits ini dikuatkan dengan firman Allah : lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih). (QS. Al-Maaidah: 6) ini bersifat umum untuk semua air karena nakirah dalam kontek penafian, sehingga mencakup seluruh air dan keluar darinya air najis karena adanya ijma. (Bahjah Quluub Al-Abraar hlm 136) sedangkan Syeikh Abdulaziz bin Abdillah bin Baaz menyatakan: Yang benar, air mutlak terbagi menjadi dua; thahur dan najis. Allah berfirman : 48 :] ] Dan Kami telah turunkan dari langir air yang thahur. (QS. Al-Furqan: 48) dan firmanNya juga: (Ingatlah), Ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki(mu). (QS. Al-Anfal:11) Nabi bersabda: Sesungguhnya air adalah thahur tidaklah sesuatu menjadikan air tersebut najis. Maksudnya adalah kecuali yang berubah, rasa, bau atau warnanya karena kecampuran najis, maka ia najis menurut ijma ulama. Sedangkan yang tercampur dalam air berupa minuman, daun, atau sejenisnya, maka tidak membuat najis air tersebut dan tidak hilang sifat thahuriyahnya selama masih dinamakan air. Apabila telah berubah penamaan airnya dengan sebab campuran tersebut kepada nama lain seperti susu, kopi, teh dna sejenisnya, maka ia keluar dengan sebab itu dari nama air dan tidak dinamakan air lagi, namun ia tetap suci walaupun adanya campuran ini dan tidak najis. (Majmu Fatawa wa Maqalaat Syeikh Bin Baaz 10/56) Keempat: Air Tercampur Benda Suci. Pencampuran air dengan zat-zat thahir sendiri terbagi atas beberapa kondisi pencampuran yang mengakibatkannya dinisbatkan kepada benda tersebut. Penisbatan itu diantaranya: Pertama: Penisbatan yang tidak memberi sifat thaharah pada satu riwayat yaitu di mazhab Imam Ahmad-. Yang mana terdiri atas tiga jenis, 1. Air sari pati dari zat yang thahir, semisal sari pati bunga, cengkeh dan termasuk juga tetesan air (getah) dari belahan kayu- pohon apabila dipotong dalam keadaan basah. 2. Zat thahir yang bercampur dengan air hingga merubah penamaan air tersebut ataukah unsurunsur zat thahir tersebut lebih mendominasi, semisal cuka dan selainnya. 3. Air yang dipergunakan untuk merebus sesuatu zat yang thahir hingga merubah nama air. Kedua: Penisbatan yang diperbolehkan untuk berwudhu` pada satu riwayat dalam mazhab Imam Ahmad-, yang terdiri atas tiga bagian: 1. Penisbatan yang tidak menyebabkan pencampuran, dan semacam ini tidak terdapat perbedaan diantara ulama. 2. Pencampuran dengan sesuatu yang tidak mungkin untuk dihindari, semisal tanaman (lumut

atau semisalnya) yang tumbuh di dalam air ataukah dedaunan yang terjatuh ke dalam air. 3. Pencampuran dengan suatu yang memiliki sifat ath-thahuriyah sebagaimana sifat air itu sendiri. Semisal tanah, yang walau merubah sifat air namun tidak menghalangi sifat aththahuriyah air karena kedua-duanya memiliki sifat ath-thahuriyah. 4. Pencampuran akibat persinggungan dengan air tanpa mengalami penyatuan zat. Semisal krim gel atau zat-zat thahir berbentuk padatan selama tidak melebur dengan air. Kelima: Air Mutlak Tercampur najis Tercampurnya pencampuran air mutlak dengan suatu yang najis, beberapa ulama Islam dari berbagai mazhab menyebutkan adanya konsensus/kesepakatan ulama bahwa air tersebut telah menjadi najis, jika najasah/najis yang berada dalam air telah merubah unsur-unsur dan sifat dasar air. Ibnul Mundzir mengatakan, Ulama telah sepakat bahwa air yang sedikit atau banyak, apabila suatu najis terjatuh ke dalamnya dan najis tersebut merubah rasa, warna atau aroma air, maka air tersebut dihukumi najis. Berwuhdu` dan mandi dengan air tersebut tidak sah. Kutipan yang senada dengan pernyataan Ibnul Mundzir di atas juga disampaikan oleh Ibnu Qudamah serta Ibnu Rusyd dan beliau menambahkan, Dan mereka para ulama- sepakat bahwa air dalam kapasitas yang sangat banyak yang tidak mengalami perubahan sifat-sifatnya (akibat adanya najsi pada air tersebut), air yang sangat banyak tersebut hukumnya thahir. Asy-Syaukani dalam menguatkan hal di atas mengatakan, Dan persinggungan langsung (antara air dan najis) bukanlah tolak ukur dan bukan juga sebab berlakunya hukum najis kecuali jika najis tersebut telah merubah sifat-sifat air. Jikalau salah satu dari sifat-sifat dasar air telah mengalami perubahan, maka air telah dihukumi sebagai najis, baik air itu dekat atau berada jauh dari zat najis.

Anda mungkin juga menyukai