Sistem demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang dianut Negara Indonesia, dengan
segala nilai-nilai yang dianggap baik bagi masyarakat Indonesia, tentunya sangat penting untuk
dikritisi, baik dalam tataran konsep maupun realita praktiknya dalam sistem pemerintahan. Oleh
karena itu, perlu kita lihat Iakta-Iakta kejanggalan Demokrasi di Indonesia dan negara-negara
lainnya:
a. Demokrasi: dari rakyat,oleh rakyat,untuk rakyat
enurut kamus, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan tertinggi
berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih
di bawah sistem pemilihan bebas. Dalam ucapan Abraham Lincoln, demokrasi merupakan
pemerintahan 'dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun, benarkah realitanya seperti
itu?
Pengkritik demokrasi seperti Gatano osca, ClIrede Pareto, dan Robert ichels cenderung
melihat demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani minoritas atas mayoritas.
Dalam praktiknya, yang berkuasa adalah sekelompok kecil atas kelompok besar yang lain.
Seperti di Indonesia, mayoritas kaum uslim Indonesia berada dalam posisi yang kurang
menguntungkan. Indonesia lebih didominasi oleh kelompok minoritas, terutama dalam hal
kekuasaan (power) dan pemilikan modal (kapital).
Dalam sistem kapitalis, kekuatan pemilik modal menjadi Iaktor yang sangat penting dalam
pengambilan keputusan, bukan rakyat secara keseluruhan. erekalah yang banyak
mempengaruhi pengambilan keputusan di parlemen atau pemerintahan. Ini tidak aneh, karena
dalam sistem kapitalis, calon anggota parlemen haruslah memiliki modal yang besar untuk
mencalonkan diri. Karena itu, kalau dia sendiri bukan pengusaha kaya, dia akan dicalonkan atau
disponsori oleh para pengusaha kaya, sehingga politik uang sangat sering terjadi. Bisa disebut
hampir mustahil, kalau ada orang bisa mencalonkan diri menjadi presiden atau anggota parlemen
kalau tidak memiliki modal.
Klaim demokrasi yang lain, pemerintahan yang terpilih adalah pemerintahan rakyat.
Anggapan ini, selain keliru, juga utopis. Pada praktiknya, tidak mungkin seluruh rakyat
memerintah. Tetap saja yang menjalankan pemerintahan adalah elit penguasa yang berasal dari
pemilik modal kuat atau pengendali kekuatan militer.
b. Demokrasi dan kebebasan.
Bagi para pendukung demokrasi, kebebasan berpendapat dianggap sebagai salah satu nilai
unggul dan luhur dari demokrasi. Kenyataannya tidaklah seperti itu. Tetap saja, dalam negara
demokrasi, kebebasan berpendapat dibatasi oleh demokrasi itu sendiri. Artinya, pendapat yang
dianggap bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi atau akan menghancurkan sistem demokrasi
tetap saja dilarang. Organisasi atau partai politik yang dibebaskan adalah juga yang sejalan
dengan demokrasi. Kalau tidak, mereka tetap saja dilarang.
Sebenarnya dalam sistem apapun, wajar jika sebuah sistem politik memiliki batasan yang
tidak boleh dilanggar, apalagi sampai menghancurkan sistem politik itu. Namun curangnya,
pendukung demokrasi, sering mengklaim bahwa hanya sistemnya yang membolehkan kebebasan
berpendapat, sementara sistem ideologi lain tidak. Padahal dalam kenyataannya, sistem
demokrasi pun memberikan batasan tentang kebebasan berpendapat ini.
Tidak mengherankan kalau negara yang dikenal demokratis`, bahkan mahagurunya
demokrasi, melarang sejumlah hal atas nama demokrasi. Di Prancis dan beberapa negara lainya
di Eropa, jilbab dilarang atau paling tidak dihambat pemakainnya atas nama sekularisme (yang
merupakan asas dari sistem demokrasi). Sementara di Indonesia, dapat dilihat dari kebebasan
berdakwah yang dibatasi, sebagai contoh kegiatan dakwah yang dicurigai sebagai kegiatan
penyebaran teroris sehingga diawasi oleh polisi.
c. Demokrasi dan kesejahteraan.
Banyak penganut sekularisme memandang bahwa demokrasi akan membawa kesejahteraan
bagi dunia. Hal ini sering dipropagandakan oleh negara-negara Barat kepada Dunia Ketiga
supaya mereka mau dan setia menerapkan sistem demokrasi. Namun, apa kenyataannya? Sistem
demokrasi yang dipraktikkan oleh negara-negara kapitalis hanyalah memakmurkan dunia Barat
saja atau negara-negara boneka Barat yang menjadi agen kapitalisme Barat seperti Jepang dan
Singapura. Sebaliknya, Dunia Ketiga tetap saja menderita. Lihat saja, saat dunia dipimpin dan
dikendalikan oleh negara-negara kapitalis penjajah, Dunia Ketiga semakin tidak sejahtera. Badan
pangan dunia (FAO), dalam World Food Summit pada 2002, menyatakan bahwa 817 juta
penduduk dunia terancam kelaparan, dan setiap 2 detik satu orang meninggal dunia akibat
kelaparan.
Demokrasi sering dimanIaatkan oleh negara-negara imperialis untuk kepentingan penjajahan
ekonomi mereka. Artinya, sebuah negara yang dijadikan target untuk dieksploitasi sering dicap
sebagai pelanggar demokrasi dan HA. Itulah yang kemudian dijadikan alasan oleh mereka
untuk menyerang negara tersebut, mengintervensinya, atau memboikot ekonominya. Lihat saja
bagaimana Irak yang kaya dengan minyak dijajah oleh AS dengan alasan demokratisasi.
Beberapa negara, seperti Cina, sering dikenakan sanksi ekonomi, juga dengan memunculkan
alasan melanggar demokrasi dan HA. Sebaliknya, negara-negara yang jelas-jelas tidak
demokratis seperti Saudi Arabia, Kuwait, atau Bahrain tetap dipelihara oleh AS. Sebab, AS
mempunyai kepentingan minyak di negara-negara tersebut.
Tidak adanya relevansi antara demokrasi dan kesejahteraan bisa dibuktikan. Beberapa negara
Dunia Ketiga yang dikenal paling demokratis, seperti India atau Filipina, ternyata bukanlah
negara sejahtera. Penduduknya juga banyak hidup dalam penderitaan. Indonesia, yang sering
dipuji lebih demokratis pada masa reIormasi, mayoritas rakyatnya juga jauh dari sejahtera.
d. Demokrasi dan stabilitas
itos lain adalah demokrasi akan menciptakan stabilitas. Dalam banyak kasus, yang terjadi
justru sebaliknya. Kran demokrasi yang diperluas ternyata menimbulkan banyak konIlik di
tengah masyarakat. Secara konseptual, hubungan konIlik dan demokrasi bisa dirujuk pada ide
utama demokrasi, yakni kebebasan atau kemerdekaan. Ketika pintu demokrasi dibuka, banyak
pihak kemudian menuntut kebebasan dan kemerdekaan; biasanya atas nama bangsa, suku,
kelompok. uncullah konIlik antar pihak yang bersinggungan kepentingan atas nama bangsa,
suku, atau kelompoknya. uncul pula perdebatan batasan wilayah dan kekuasaan masing-
masing.
Bersamaan dengan itu, muncul persaingan internal elit politik yang ingin muncul sebagai
penguasa baru. Contoh nyata dalam hal ini adalah Indonesia. asa reIormasi ditandai dengan
meningkatnya konIlik di beberapa tempat, seperti Timor Timur (yang kemudian lepas),
Aceh,aluku, dan Papua. KonIlik ini sebagian besar dipicu oleh isu keinginan untuk
memisahkan diri (disintegrasi) dengan alasan kemerdekaan untuk menentukan nasib sendiri
sebagai bagian dari asas kebebasansebagai pilar utama demokrasi.
Pemilihan kepala daerah yang sering kisruh di beberapa tempat juga merupakan hasil dari
demokrasi. Sebelumnya, pada masa Orde Baru, kepala daerah ditentukan oleh Presiden. Atas
nama aspirasi masyarakat daerah, kepala daerah kemudian dipilih oleh DPRD masing-masing,
yang kemudian menyulut berbagai konIlik horisontal antar masyarakat.
e. Demokrasi dan kemajuan.
Argumentasi yang sering dilontarkan, demokrasi menjamin kebebasan, sementara kebebasan
adalah syarat bagi kemajuan. Dengan kata lain, reason (akal) bisa produktiI karena adanya
freedom (kebebasan), baik freedom of thinking (kebebasan berpikir) maupun freedom of speech
(kebebasan berbicara), dan keduanya itu hanya ada dalam sistem demokrasi. Karena itu,
demokrasi mutlak harus diperjuangkan.
Benarkah dengan kebebasan akan diperoleh kemajuan intelektual? Tentu saja tidak
sesederhana itu. Rusia pada masa kejayaan Komunisme meraih kemajuan di bidang sains dan
teknologi. ereka mampu menciptakan teknologi canggih hingga ke teknologi ruang angkasa.
Padahal Komunisme sering diklaim memberangus kebebasan.
Jadi, persoalannya bukanlah masalah kebebasan atau tidak, tetapi apakah masyarakat itu
memiliki kebiasan berpikir yang produktiI atau tidak. Berpikir produktiI sendiri merupakan hasil
dari kebangkitan berpikir yang didasarkan pada ideologi (mabda) tertentu. Jadi, lepas sahih atau
tidak, ideologi yang dianut oleh suatu bangsa atau masyarakat akan mendorong produktivitas
berpikir bangsa tersebut. Sebab, karakter dasar dari ideologi adalah senantiasa ingin
memecahkan persoalan manusia secara menyeluruh, sekaligus mempertahankan dan
menyebarkan ideologinya. Semua itu membutuhkan berpikir yang produktiI.