Anda di halaman 1dari 21

PROPOSAL PENELITIAN

Gambaran Social adjustment pada Mahasiswa Daerah

disusun oleh: Febrina Yufrizal Kasela Amanda Nisa Nurdiana Ratih Ary Nurani Ria Ariani Rifaatul Mahmudah 0806344761 0806345026 0806345291 0806345423 0806345436 0806345461

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kualitatif (A)

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK, OKTOBER 2011 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kasus Tiara Tiara adalah seorang mahasiswi daerah yang berkuliah di perguruan tinggi di Jakarta. Dari Jakarta, kampungnya berjarak 12 jam perjalanan melalui darat sehingga Tiara hanya bisa pulang ketika liburan panjang. Hal ini membuat tahun pertama Tiara di Jakarta menjadi terasa berat. Dia sering menangis ketika mengingat keluarga dan pacarnya di kota asal. Tiara tidak hanya menangis ketika sendirian, saat berada di tempat umum dan tiba-tiba ada stimulus yang mengingatkannya pada keluarganya pun matanya akan langsung berkaca-kaca. Walaupun prestasi akademiknya terbilang baik, Tiara tidak memiliki banyak teman di kampus. Dia malah merasa rendah diri saat semester pertama karena banyak teman yang mengomentari cara bicaranya yang kental dengan aksen Jawa. Kadang temanteman di kampus juga menirukan logat bicara Tiara. Hal ini membuat Tiara merasa dipermalukan dan direndahkan sehingga dia lebih banyak menutup diri dan enggan untuk mengikuti kegiatan mahasiswa. Saat ini Tiara sudah bisa beradaptasi dengan situasi tersebut, tapi dia sadar lambatnya proses adaptasi yang dia lalui ini berdampak pada kurangnya pengalaman dalam kegiatan kemahasiswaan yang nantinya akan berpengaruh pada saat mencari pekerjaan selepas lulus dari S1 (Komunikasi Pribadi, 10 Oktober 2011) Transisi kehidupan SMA menuju perguruan tinggi merupakan masa yang penting bagi remaja. Pada masa transisi kehidupan di perguruan tinggi, seseorang harus melalui proses social adjustment. Social adjustment itu sendiri adalah suatu bentuk adaptasi individu terhadap lingkungan sosialnya dengan cara memodifikasi diri agar sesuai dengan lingkungan atau memodifikasi lingkungannya (Psychiatric Dictionary, 1996). Semasa kami duduk di bangku SMA, sebagian teman kami menunggu saat-saat memulai kehidupan mereka di perguruan tinggi karena menganggap masa tersebut mereka sebagai permulaan episode kebebasan dalam hidup mereka. Namun ada pula yang melihat masa tersebut sebagai masalah tersendiri. Seperti pada kasus di atas misalnya, seorang mahasiswa daerah yang berkuliah di kota dengan gaya hidup yang sangat berbeda dengan di daerah asalnya mengalami kesulitan dalam menyesuaikan dirinya di lingkungan yang baru. Perbedaan budaya dan bahasa yang dialami oleh Tiara menyebabkan dirinya menarik diri dari 2

lingkungan. Padahal dengan mengisolasi diri, proses social adjustment akan menjadi semakin sulit (Enochs & Rolland, 2006) sehingga dapat membuat mahasiswa frustasi, dan mengarahkan pada emotional maladjustment dan depresi, yang kemudian akan berpengaruh pada performa akademik mahasiswa (Wintre & Yaffe, 2000, dalam Enochs & Rolland, 2006). Berkaitan dengan performa akademik, data dari ACT (2002), sebuah badan riset pendidikan di Amerika Serikat , menyebutkan bahwa sekitar 25% mahasiswa mengundurkan diri pada dua tahun pertamanya., dan sekitar 50% mahasiswa meninggalkan bangku kuliah tanpa memperoleh gelar. Penelitian Kerr, Johnson, Gans, dan Kraumrine (2004, dalam Yazedjian & Toews, 2006) mengenai pengunduran diri mahasiswa menunjukkan bahwa masalah pribadi seperti kesulitan dalam proses social adjustment di lingkungan baru menjadi salah satu alasan mahasiswa mengundurkan diri. Menurut Schneider (1955), ada lima faktor yang mempengaruhi individu dalam melakukan proses social adjustment, yaitu kondisi fisik, kepribadian, proses belajar, lingkungan, budaya dan agama. Mengacu pada teori tersebut, social adjustment yang sulit akan lebih mungkin dialami oleh mahasiswa daerah yang pada umumnya memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Dengan perbedaan budaya dan keadaan lingkungan baru yang berbeda, mahasiswa daerah memiliki tantangan yang lebih berat dalam membentuk social adjustment di lingkungan kampus. Namun sayangnya hingga saat ini literatur mengenai social adjustment mahasiswa daerah juga masih sangat minim di Indonesia. Atas dasar pemikiran ini, kami ingin mengetahui lebih jauh gambaran social adjustment pada mahasiswa daerah. Penelitian oleh Rong dan Gable (1999, dalam Enochs & Rolland, 2006) menekankan pentingnya lingkungan tempat tinggal baru, dukungan sosial, dan penjalinan persahabatan yang bermakna dalam pembentukan social adjustment. Untuk mahasiswa dengan budaya minoritas, faktor non-akademis seperti dukungan sosial dan penjalinan persahabatan, merupakan hal yang lebih menentukan dalam kesuksesan proses social adjustment (Martin, Swart-Kulstad, & Madson, 1999, dalam Yazedjian & Toews, 2006). Banyaknya dukungan sosial bisa meningkatkan ketahanan individu dari stres (Robbins, Lese, & Herrick, 1993, dalam Enochs & Rolland, 2006). Hal ini berkaitan dengan teori attachment yang menekankan pentingnya ikatan emosional yang sehat. Mahasiswa yang bisa membentuk hubungan yang sehat dengan orang lain cenderung akan lebih mudah menyesuaikan di lingkungan baru (Rice et al., 1995, Enochs & Rolland, 2006). Pada kasus di atas juga dapat kita lihat bahwa subyek bisa menyesuaikan diri dalam bidang akademik, tapi subyek tidak memiliki banyak teman 3

dan hal ini menyebabkan kesulitan dalam proses social adjustment. Atas dasar tersebut, dalam penelitian ini kami akan lebih memfokuskan social adjustment yang berhubungan dengan pembentukan pertemanan serta dukungan sosial. 1.2. Perumusan Masalah Penelitian Masalah utama yang akan diangkat dalam penelitian ini yaitu Bagaimana gambaran social adjustment pada mahasiswa daerah?

Dari masalah utama tersebut, maka masalah turunan yang akan diajukan dalam bentuk pertanyaan spesifik adalah: Apa saja faktor-faktor yang mendukung proses pembentukan social adjustment pada mahasiswa daerah? Bagaimana cara yang digunakan mahasiswa dalam menjalin hubungan pertemanan baru yang mendukungnya dalam pembentukan social adjustment pada mahasiswa daerah? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Memperoleh gambaran social adjustment pada mahasiswa daerah. 2. Mengetahui faktor-faktor yang mendukung proses pembentukan social adjustment pada mahasiswa daerah. 1.4. Signifikansi Penelitian Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara praktis maupun teoritis. Penelitian ini secara teoritis akan memberikan informasi yang lebih komprehensif tentang proses social adjustment pada mahasiswa daerah. Adapaun secara praktisnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat: 1. Memperkaya khasanah penelitian tentang social adjustment pada mahasiswa daerah, mengingat literatur mengenai tema ini masih sangat minim di Indonesia. 2. Memberi masukan atau inspirasi bagi perguruan tinggi untuk membuat kebijakan atau program berkaitan dengan mahasiswa daerah agar lebih mudah menyesuaikan dirinya di kehidupan kampus.

1.5. Cakupan Penelitian Penelitian ini memfokuskan pada seperti apa gambaran social adjustment pada mahasiswa daerah. Karakteristik subyek penelitian dibatasi pada mahasiswa daerah yang masih berada pada masa remaja. Pemilihan remaja sebagai subyek penelitian ini didasari alasan bahwa pada masa remaja, transisi menuju kehidupan kampus akan menjadi masalah tersendiri mengingat seorang individu sedang mencari jati diri secara lebih mendalam selepasnya mereka dari otoritas orang tua. Lebih khususnya, subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswa daerah yang minimal sudah menempuh kuliah selama dua semester. Pemilihan kriteria tersebut didasar oleh asumsi bahwa mahasiswa daerah yang sudah berada di atas semester dua sudah melalui proses social adjustment, sehingga mereka bisa membagi pengalaman mereka dalam proses social adjustment tersebut.

BAB II LANDASAN TEORI Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai beberapa konsep yang akan digunakan sebagai landasan teoritik dari penelitian kualitatif mengenai Gambaran Social Adjustment pada Mahasiswa Daerah. Adapun teori yang akan dipaparkan antara lain mengenai adjustment, social adjustment, remaja, konsep pertemanan, dan faktor lain yang berpengaruh terhadap proses social adjustment, yaitu separation individuation. II.1. Adjustment Adjustment sering disamakan dengan istilah adaptasi. Padahal kedua istilah tersebut memiliki makna yang berbeda. Menurut Grasha & Kirschenbaum (1980), adaptasi merepresentasikan kemampuan seseorang untuk mengatasi masalah serta tuntutan lingkungan dengan sukses. Ada dua tujuan dalam proses tersebut yaitu memenuhi tuntutan-tuntutan dari lingkungan dan tidak hanya menangani situasi dengan baik tetapi juga meningkatkan kualitas kehidupan. Adjustment sendiri mencakup respon-respon yang dianggap adekuat untuk mencapai adaptasi. Jadi, adjustment lebih terfokus pada hal-hal yang kita lakukan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dari lingkungan yang ditemui setiap hari. Individu dikatakan mampu melakukan adjustment jika mereka menunjukkan tingkah laku dan karakteristik personal berikut. Mampu melakukan sesuatu untuk dapat lulus dalam kehidupan Memiliki perilaku yang cenderung bebas dari simtom-simtom yang bermasalah dalam Membuat respon-respon yang tepat terhadap berbagai kejadian yang terjadi dalam Tidak mempelajari tingkah laku yang non adaptive atau mampu untuk memodifikasi

kehidupan kehidupan mereka kemampuan yang telah dimiliki atau belajar sesuatu yang baru untuk mengatasi berbagai situasi dalam kehidupan Mampu untuk berinteraksi dengan orang lain dan mampu berespon terhadap tuntutanMampu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar mereka. tuntutan dari lingkungan tempat mereka berada.

II.2. Social adjustment Dalam Psychiatric Dictionary 7th ed. (1996) dijelaskan bahwa social adjustment merupakan suatu bentuk adaptasi individu terhadap lingkungan sosialnya dengan cara memodifikasi diri agar sesuai dengan lingkungan atau memodifikasi lingkungannya. Jauh sebelum itu Schneider (1955) mendefinisikan social adjustment sebagai kapasitas untuk bereaksi secara efektif baik secara moral terhadap kenyataan, situasi, dan relasi sosial. II.2.1. Komponen Social adjustment Komponen-komponen yang membentuk social adjustment menurut Bosc, Dubini, dan Polin (1997, dalam Mirza, 2011) antara lain pekerjaan dan waktu luang, hubungan dengan keluarga dan di luar keluarga, minat intelektual, kepuasan terhadap peran-peran yang dimiliki di masyarakat, serta persepsi diri mengenai kemampuan dalam mengatur dan mengontrol lingkungan. Penjelasan mengenai komponen pekerjaan dan waktu luang dapat diperoleh dengan melihat ketertarikan individu terhadap pekerjaan yang digelutinya. Jika individu tersebut tidak memiliki pekerjaan, maka dapat dilihat dari minat aktivitas rumah yang dilakukannya sehari-hari. Selain itu, untuk memperoleh gambaran social adjustment dalam komponen pekerjaan dan waktu luang ini dapat dilihat apakah individu menikmati pekerjaan yang sedang digelutinya, ketertarikan intividu pada aktivitas tertentu di saat waktu luang, dan juga kualitas aktivitas yang dilakukan oleh individu ketika waktu senggang. Komponen berikutnya yaitu hubungan dengan keluarga dan di luar keluarga. Pada komponen ini, dapat dilihat bagaimana individu menjalin hubungan dengan keluarga baik dalam berkomunikasi maupun kualitas hubungan dengan anggota keluarga. Terkait denga hubungan di luar keluarga, dapat dilihat bagaimana individu menjalin hubungan pertemanan dengan orang lain di luar keluarga, pengaruh nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat, peran individu dalam kegiatan bermasyarakat, dan rasa ingin tahu individu terhadap segala sesuatu tentang lingkungannya termasuk situasi dan kondisi orang lain dengan tujuan meningkatkan pemahaman dirinya terhadap lingkungannya. Pada komponen ketiga yang menjelaskan mengenai minat intelektual individu, dapat digambarkan melalui ketertarikan individu pada studi ilmiah, keteknikan, atau kebudayaan. Komponen lain yang dapat menjelaskan social adjustment ini yaitu 7

kepuasan individu terhadap peran-peran yang dimiliki di masyarakat dimana individu mempersepsikan mengenai pentingnya penampilan dirinya ketika berada di suatu lingkungan ataupun bentuk-bentuk penolakan yang dirasakan individu terhadap dirinya. Persepsi diri mengenai kemampuan dalam mengatur dan mengontrol lingkungan merupakan salah satu bagian yang dapat pula memberikan bagaimana social adjustment seseorang. Schneider (1955) menjelaskan lima faktor yang dapat memengaruhi seseorang untuk menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan. Adapun faktor tersebut antara lain kondisi fisik, kepribadian, proses belajar, lingkungan, agama, serta budaya. II.3. Remaja Remaja adalah suatu periode transisi antara periode perkembangan anak-anak dan periode perkembangan dewasa dengan rentang usia antara 11 hingga 19-20 tahun (Papalia, 2009). Perubahan penting dialami remaja pada masa ini dalam hal biologis, kognitif dan sosio-emosional. Perubahan biologis pada masa remaja ini ditandai dengan perubahan fisik yang cepat, pertambahan berat dan tinggi badan yang dramatis, perubahan bentuk tubuh, dan perkembangan karakteristik seksual seperti pembesaran buah dada, perkembangan pinggang dan kumis, dan perubahan suara bagi laki-laki. Pada perkembangan kognitif, remaja mampu melakukan pencapaian kemandirian dan identitas yang menonjol, pemikiran semakin logis, abstrak, dan idealistis. Selain perkembangan biologis dan kognitif, remaja juga mengalami perubahan dalam sosioemosionalnya. Pada periode ini seseorang akan semakin banyak menghabiskan waktu di luar keluarga (Papalia, 2009). Remaja berusaha melepaskan diri dari otoritas orangtua dengan maksud menemukan jati dirinya sehingga ia akan lebih banyak berada di luar rumah dan berkumpul bersama teman sebayanya dengan membentuk kelompok dan mengekspresikan segala potensi yang dimiliki. Untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai hubungan pertemanan pada masa ini, pembahasan akan diulas lebih dalam pada bagian konsep pertemanan. II.4. Konsep Pertemanan Teman berperan cukup besar dalam kehidupan kita, mulai dari kecil hingga dewasa. Hubungan pertemanan merupakan salah satu sumber dimana seseorang bisa mendapatkan dukungan. Ketika masih kecil, pertemanan sebagian besar didasarkan pada kedekatan tempat tinggal atau kedekatan tempat duduk di sekolah (Berndt & Perry ; Etaugh & Rathus, dalam Nevid & Rathus, 2005). Teman merupakan teman sekelas dan orang untuk melakukan kegiatan dan bersenang-senang bersama. Ketika masuk ke remaja awal, pertemanan 8

didasarkan pada kesamaan minat dengan pendekatan perfect blendship (adanya kecocokan yang menyatukan) (Nevid & Rathus, 2005). Ketika masuk ke dalam masa puberitas, orang membutuhkan seseorang sebagai tempat untuk mencurahkan perasaan-perasaan yang lebih dalam serta kemampuan untuk menjaga rahasia. Karena remaja menginginkan teman dimana dirinya bisa menceritakan berbagai hal tanpa harus merasa khawatir bahwa apa yang diceritakan akan tersebar luas (Berndt & Perry, dalam Nevid & Rathus, 2005). Dalam dunia perkuliahan, terdapat dua kelompok pertemanan yaitu cliques dan crowds. Clique merupakan kelompok pertemanan dalam jumlah kecil yang saling berbagi rahasia (Nevid & Rathus, 2005). Sementara crowds adalah sekelompok besar perteman yang melakukan aktivitas bersama (Nevid & Rathus, 2005). Dalam berteman, attraction kepada orang lain diperlukan seseorang agar dirinya termotivasi untuk membina hubungan pertemanan dengan orang tersebut. Attraction adalah perasaan suka yang seseorang miliki terhadap orang lain (Berscheid & Reis, dalam Nevid & Rathus, 2005). Attraction tidak hanya terbatas pada perasaan saja, namun juga adanya pikiran yang positif mengenai orang lain dan kecenderungan untuk berperilaku positif terhadap orang lain. Kandel (dalam Muus, 1988) mengemukakan dua prinsip teoritis untuk menjelaskan pembentukan, stabilitas, dan disolusi dari hubungan pertemanan remaja, yaitu proses seleksi dan proses sosialisasi. Melalui proses seleksi, terdapat beberapa atribut (yang biasanya berupa kemiripan minat, trait kepribadian, karateristik fisik, sikap, nilai yang dipegang, dan perilaku) yang muncul di awal terbentuknya pertemanan. Atribut-atribut tersebut merupakan faktor yang menentukan ketertarikan satu sama lain. Hal ini sejalan dengan matching hypothesis, yaitu pandangan bahwa secara umum orang cenderung membina hubungan engan seseroang yang mempunyai kemiripan dengan dirinya, baik dalam penampilan maupun atribut lainnya seperti sikap Nevid & Rathus, 2005). Pertemanan yang terbentuk melalui proses sosialisasi, kemiripan antar teman meningkat sebagai hasil dari frekuensi pertemuan, interaksi yang bersifat mutual, dan tidak ada berkaitan dengan kemiripan yang dimiliki sebelumnya (Muus, 1988). Melihat bahwa dalam hubungan pertemanan terjadi proses saling mempengaruhi, moderasim dan sosialisasi maka kesamaan dalam karakteristik, sikap, nilai, dan perilaku semakin mungkin terjadi. (Muus, 1988). Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk membentuk pertemanan, yaitu (Nevid & Rathus, 2005) : 1. Meningkatkan frekuensi dalam melakukan kontak sosial. Hal ini dapat dilakukan dengan mengikuti kepanitiaan atau organsasi di kampus. 9

2. Melawan rasa malu dalam diri. Seseorang yang mempunyai sifat pemalu perlu mengetahui apa yang menjadi penyebab dasar dari rasa malu yang dirasakan (Carducci, dalam Nevid & Rathus, 2005). Setelah itu, pastikan diri kita yang mampu mengontrol rasa malu kita dan bukan sebaliknya. 3. Menjadi pribadi yang asertif. Tersenyum dan menyapa adalah suatu permulaan yang baik. Dengan memilih tempat duduk di tengah kerumunan akan lebih baik daripada duduk sendiri di pojok ruangan. 4. Menjadi pendengar yang baik. Dimulai dengan pertanyaan sederhana, kemudian mendengar dengan baik apa yang dikatakan lawan bicara kita. Jaga kontak mata dan muka yang menyenangkan. Tanggapi perbedaan dengan bijak. 5. Mengizinkan orang lain lebih mengenal diri kita. Cobalah untuk bertukar opini dan menyatakan apa minat masing-masing. Hal ini berguna untuk menemukan seseorang yang memiliki kecocokan dengan diri kita. 6. Fight fair. Ada saatnya ketika teman kita melakukan hal yang tidak kita sukai. Dalam mengungkapkannya, katakan secara baik-baik. Kemudian selesaikan masalah tersebut bersama-sama. 7. Katakan pada diri kita bahwa kita berhak untuk mempunyai teman. Karena setiap orang unik, berbeda, serta tidak sempurna maka kita seharusnya dapat menerima hal tersebut dan mampu memberikan kesempatan pada orang-orang yang ingin berteman dengan kita. 8. Temukan pekerjaan dalam lingkungan kampus. Dengan bekerja di lingkungan kampus, maka dapat meperluas jaringan dan mengenal civitas kampus dari berbagai bagian, mulai dari mahasiswa hingga staf kampus. 9. Memanfaatkan konseling yang terdapat di kampus. Dengan mengunjungi badan konseling di kampus, kita dapat memperoleh pengetahuan mengapa kita memiliki kesulitan dama perteman yang ada akhirnya mengarah pada penyelesaian masalah. Ketika memasuki dunia kuliah, kita akan menemukan berbagai orang yang lebih heterogen daripada teman-teman ketik SMA. Tidak hanya karakteristik kepribadian yang 10

berbeda, namun latar belakang sosio-kultural yang juga berbeda. Berdasarkan Mannix & Neale (2005), terdapat dua sudut pandang yang dapat digunakan untuk melihat perbedan yang ada, yaitu : 1. The Optimistic View Pandangan optimis mengenai perbedaan dikenal sebagai hipotesis value in diversity (Cox, Lobel, & McLeod, dalam Mannix & Neale, 2005). Pandangan ini berpendapat bahwa perbedaan yang ada akan memberikan nilai dan keuntungan dalam suatu kelompok, walaupun akan ada tantangan-tantangan dalam proses interaksi kelompok. Berdasarkan hasil penelitian Hoffman dan rekan (L. Hoffman; L. Hoffman& Maier, dalam Mannix & Neale, 2005), Hoffman mengatakan bahwa perbedaan individu dalam kelompok seharusnya dapat menghasilkan pengetahuan, keahlian, dan sudut pandang yang lebih luas. Hal ini tentunya dapat mendukung dalam proses pengambilan keputusan yang kompleks, meningkatkan kreatifitas. Konflik yang terjadi dalam kelompok yang heterogen berupa adanya konflik kognitif dan cara pikir yang divergen (Mannix & Neale, 2005). 2. The Pessimistic View Pandangan ini berisi tentang pendapat mengenai dampak negatif dari perbedan. Pandangan ini menganggap bahwa perbedaan akan mengakibatkan adanya pengelompokkan sosial yang apada akhirnya menciptakan kodisi rendahnya integrasi dan daya kohesif sosial (Mannix & Neale, 2005). Perbedaan dianggap akan memberikan pengaruh buruk dalam interaksi dan aktivitas kelompok. Perbedaan individual ini akan menyebabkan adanya perbedaan hubungan dalam komunitas. Berdasarkan penelitian kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan East York, terdapat enam penjelasan yang dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa perbedaan tipe hubungan mengakibatkan perbedaan tipe sumber dukungan, yaitu kekuatan hubungan, kontak, proses kelompok, hubungan kekeluargaan, karakteristik jaringan para anggota, serta persamaan dan perbedaan dari anggota jaringan berdasarkan karakteristik tersebut ( Wellman & Wortley, 1990). II.5. Separation Individuation Istilah separation-individuation sering disebut dalam literatur yang membahas tentang perkembangan individual maupun tentang sistem keluarga. Secara umum, istilah ini merujuk pada proses terjadinya diferensiasi individu dari orangtuanya serta pencapaian makna diri (self-definition) dalam tingkat tertentu (Rice, 1992). Mattanah, Brand,& Hancock (2004) 11

mendefinisikan istilah ini sebagai sebuah proses perkembangan yang dimulai dengan pemisahan diri dengan orang tua, teman sebaya, dan orang terdekat lainnya yang diikuti dengan individuasi dan perkembangan otonomi diri yang koheren. Dalam proses ini, terjadi perubahan yang tadinya bergantung atau dependen pada orangtua hingga kemudian mencapai independensi dari orangtua (Rice, 1992). Separation-individuation merupakan tugas perkembangan normatif yang memiliki konsekuensi adaptasional bagi remaja dan dewasa muda (Lapsley & Edgerton, 2002). Tentang ini, Blos (1979, dalam Choi, 2002) memberikan pandangannya bahwa dengan memisahkan diri dengan orangtua sekaligus mencapai individualitas (sense of individuality), dapat membantu remaja saat masa transisinya ke masa dewasa muda. Rice (1992) berasumsi bahwa aspek individuasi terkait dengan indeks fungsi adaptif pada remaja akhir. Ditinjau dari perspektif psikodinamika, separation-individuation merupakan tugas perkembangan yang harus dicapai seseorang untuk menjadi individu yang sehat secara sosial (Blos; Erikson; Freud; Mahler, Pine, & Bergman, dalam Choi, 2002). Proses memisahkan diri serta individuasi itu sendiri bukan berarti harus mengorbankan hubungan kedekatan dengan keluarga. Namun lebih bertujuan untuk mencapai otonomi relasional, dimana aspek kemandirian dan self-governance lebih ditegaskan dalam konteks hubungan mutual dalam keluarga (Josselson, dalam Lapsley & Edgerton, 2002) Beberapa pandangan mengenai individuasi, menekankan otonomi, independensi, dan keberjarakan psikologis dari orangtua sebagai indiator dari penyesuaian diri (adjustment) yang sehat. Sedangkan problematika seputar pemisahan diri dengan orangtua dikaitkan dengan masalah-masalah psikologis seperti gangguan kepribadian, gangguan makan, dan keinginan bunuh diri (Rice, 1992). Pada dekade 90an banyak penelitian yang secara eksklusif memfokuskan separationindividuation sebagai prediktor dalam penyesuaian diri di bangku kuliah (college adjustment). Hasil dari penelitian-penelitian tersebut yang muncul secara konsisten adalah asosiasi antara independensi dengan penyesuain diri (adjustment). Mahasiswa yang memiliki perasaan positif tentang perpisahan mereka dengan orangtua adalah mereka yang terbukti memiliki penyesuain diri yang baik di bangku kuliah (Rice, 1992).

12

BAB III METODE PENELITIAN Pada bab ini akan dibahas mengenai pendekatan yang digunakan dalam penelitian, yaitu pendekatan kualitatif, serta alasan dipilihnya pendekatan tersebut. Selain itu, akan dibahas juga mengenai pemilihan subjek penelitian, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, serta prosedur penelitian. III.1. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian untuk memahami gambaran social adjustment pada mahasiswa daerah adalah penelitian kualititatif. Penelitian kualitatif merupakan pendekatan yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena secara menyeluruh. Melalui penelitian kualitatif, peneliti dapat melakukan penelitian pada sitasi alamiah dan melakukan kontak langsung dengan subjek. Adanya kontak langsung dengan subjek, memungkinkan peneliti untuk lebih memahami realitas dan kehidupan sehari-hari subjek. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang berusaha untuk memahami secara mendalam kasus yang unik, yang dapat berupa kejadian, pengalaman, hubungan, karakteristik individu, dan sebagainya. Dalam menghadapi subjek sebagai objek yang diteliti, penelitian kualitatif menekankan pada netralitas-empatik. Maksudnya adalah peneliti tidak menduga tentang hasil yang akan ditolak atau didukung dan tidak memberikan penilaian terhadap respon subjek. Empati merupakan sikap dalam menghadapi subjek untuk menciptakan kedekatan dengan subjek sehingga proses pengambilan data dapat berjalan dengan lancar. Penelitian kualitatif menggunakan analisis secara induktif yang diawali dengan penemuan-penemuan yang dilakukan dalam setting alamiah untuk kemudian sampai pada hasil penelitian. Penelitian tidak membatasi pertanyaan, jawaban, dan hal-yang mungkin terjadi dalam penelitian karena peneliti tidak menentukan katagori tertentu dalam melihat subjek dan fakta yang diteliti. Desain penelitian juga dilakukan secara fleksibel seiring dengan berjalannya penelitian. Jumlah sampel yang diambil tidak banyak perlu banyak karena yang utama adalah pemahaman mengenai persepsi subjektif subjek terhadap fenomena khusus. Dikarenakan penelitian untuk mengetahui gambaran social adjustment pada mahasiswa daerah merupakan penelitian yang bertujuan untuk memperoleh pemahaman mengenai social adjustment, maka sesuai dengan uraian di atas penelitian kualitatif sesuai 13

dengan penelitian ini. Selain ini, peneliti juga akan melakukan kontak langsung dengan melakukan wawancara dengan subjek yang tentunya menekankan hubungan netralitasempatik dalam hubungan antara peneliti dan subjek. III.2. Tipe Penelitian Poerwandari (2011) mencoba menggolongkan tipe penelitian kualitatif berdasarkan tujuan dan karakteristik khusus penelitian, yaitu studi kasus, etnografi, penelitian parsipatoris (PRA), dan metode unobtrusive. Oleh karena keterbatasan peneliti sebagai mahasiswa, tipe penelitian ini hanya sebatas penelitian kualitatif deskriptif. III.3. Subjek Penelitian Berikut akan dijelaskan mengenai teknik pemilihan subjek, karakteristik subjek, serta jumlah subjek: III.3.1 Teknik Pemilihan Subjek Dalam penelitian ini digunakan desain non random sampling. Desain tersebut dirasa sesuai dengan penelitian ini karena dapat digunakan ketika jumlah subjek dalam populasi tidak diketahui atau diidentifikasi. Ada empat teknik non random sampling yang umum digunakan untuk penelitian kuantitatif maupun kualitatif, yaitu antara lain quota sampling, accidental sampling, judgemental/purposive sampling, dan snowball sampling. Namun, teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah accidental sampling. Accidental sampling merupakan teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan. Siapa saja yang kebetulan ditemui oleh peneliti dapat dijadikan sebagai subjek selama subjek tersebut cocok dengan karakteristik yang telah ditentukan (Kumar, 2005). Hal ini dirasa sesuai dengan penelitian ini karena topik yang dibahas merupakan topik yang unik. III.3.2 Karakteristik Subjek 1. Subjek merupakan mahasiswa daerah Yang dimaksud dengan mahasiswa daerah yaitu subjek yang merupakan mahasiswa Universitas Indonesia, berasal dari daerah memiliki lingkungan khas masing-masing daerah mereka yang sangat berbeda dengan lingkungan kehidupan sosial di Jabodetabek ataupun kota-kota besar di Indonesia seperti Bandung, Jogjakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar. Dengan situasi yang demikian, mereka akan dituntut 14

untuk melakukan penyesuaian (adjustment) terhadap kenyataan, situasi, maupun relasi sosial yang ada di tempat mereka berada. 2. Subjek adalah mahasiswa yang telah menjalani perkuliahan selama 1 tahun Subjek yang telah menjalani perkuliahan di Universitas Indonesia selama 1 tahun diasumsikan sudah lebih bisa melakukan social adjustment dengan baik. Oleh karena itu, subjek dapat berbagi pengalaman, pemahaman, pengetahuan, maupun perasaannya mengenai bagaimana proses adjustment itu dilakukan. 3. Subjek tidak pernah tinggal di wilayah Jabodetabek selama lebih dari 1 tahun Subjek yang dibesarkan di daerah asalnya akan menginternalisasi nilai-nilai yang diterapkan di daerah tersebut. Dengan berpindahnya mereka ke lingkungan baru (yang berbeda dengan daerah asalnya) dalam jangka waktu yang lama, tentunya akan menjadi tantangan tersendiri bagi mereka untuk dapat menyesuaikan diri. III.3.3 Jumlah Subjek Penelitian kualitatif menekankan pada penggalian informasi secara utuh dan mendalam dari subjek mengenai topik tertentu. Menurut Poerwandari (2005), penelitian kualitatif tidak menekankan upaya generalisasi (jumlah) melalui perolehan sampel secara acak, melainkan berupaya memahami sudut pandang dan konteks subjek penelitian secara mendalam. Oleh sebab itu, jumlah sampel dalam penelitian kualitatif tidak dapat ditentukan secara tegas di awal penelitian. Namun demikian, kami akan menggunakan enam orang sebagai subjek dengan harapan faktor kelengkapan dan kedalaman data akan terpenuhi. Jadi, masing-masing anggota kelompok akan mewawancara secara mendalam satu orang subjek. III.4 Metode Pengumpulan Data Metode pengambilan data yang umum digunakan dalam penelitian kualitatif adalah metode wawancara, observasi, dan peninjauan dokumen-dokumen yang relevan dengan subjek (Marshall & Rossman, 1995). Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode wawancara dan observasi untuk proses pengambilan data. a. Wawancara Stewart dan Cash mendefinisikan wawancara sebagai: an interactional communication process between two parties, at least one of whom has predetermined and serious purposes, and usually involves the asking and answering of questions 15

Ada berbagai tipe wawancara dengan berbagai macam tujuannya. Tipe wawancara yang dilakukan oleh peneliti adalah yang sifatnya information gathering, dimana peneliti akan coba menggali mengenai social adjustment yang terjadi pada mahasiswa daerah. Hal tersebut akan digali melalui pertanyaan-pertanyaan seputar proses terbentuknya social adjustment, faktor-faktor yang memengaruhi terbentuknya social adjustment, dan hal lain yang relevan dengan topik. Wawancara dalam penelitian akan menggunakan pedoman wawancara. Menurut Patton (dalam Poerwandari, 1998), wawancara dengan menggunakan pedoman akan dilengkapi dengan butir-butir hal yang akan ditanyakan serta mencantumkan isu-isu yang harus diliput. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan pewawancara mengenai aspek-aspek apa yang harus dibahas, juga sebagai daftar pengecek (check list) apakah aspekaspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. b. Observasi Selain menggunakan metode wawancara, penelitian ini juga menggunakan metode observasi. Menurut Nawawi & Martini (1991), observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala atau gejala-gejala dalam objek penelitian. Menurut Patton (dalam Poerwandari, 1998), tujuan observasi adalah untuk mendapatkan gambaran tentang setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlihat dalam kejadian yang diamati tersebut. Observasi dalam penelitian ini dilakukan selama proses wawancara berlangsung. Proses observasi dapat dilakukan pada dua hal: pada setting tempat wawancara berlangsung dan pada subjek yang diwawancara . Observasi pada setting wawancara sering juga disebut sebagai catatatn lapangan. Tujuannya adalah untuk mengamati apakah terdapat faktor dari lingkungan sekitar yang memengaruhi sikap dan perilaku yang ditampilkan subjek serta informasi yang diberikannya. Sedangkan observasi pada subjek dilakukan terhadap perilaku-perilaku non verbal dan faktor-faktor paralinguistik seperti intonasi suara, penekanan pada kalimat tertentu, gesture, dan penampilan secara keseluruhan (Marshall & Rosman, 1995). Dalam penelitian ini observasi yang akan dilakukan adalah observasi terhadap subjek, perilaku subjek selama wawancara, interaksi subjek dengan peneliti, setting tempat wawancara dan hal-hal yang dianggap relevan. Melalui proses ini diharapkan peneliti dapat

16

menambah informasi-informasi yang luput dari informasi verbal yang disampaikan subjek sehingga dapat memberikan data tambahan terhadap hasil wawancara. III.4.1 Alat Bantu Pengumpulan Data Adapun alat bantu pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain: 1. Pedoman Wawancara Penggunaan pedoman wawancara ini berguna sebagai pedoman bagi peneliti agar tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara yang digunakan pada penelitian ini merupakan moderately scheduled interview, dimana pedoman berisi setiap pertanyaan dan probing yang mungkin untuk dilakukan oleh peneliti. Pedoman wawancara ini memberikan beberapa keuntungan bagi peneliti, antara lain memberikan kebebasan bagi peneliti untuk mem-probing responden, mudah untuk diadaptasi saat mewawancarai interviewee yang berbeda-beda, serta pedoman wawancara ini mudah untuk di replikasi (Stewart & Cash, 2008). 2. Alat Bantu Rekam Alat bantu rekam yang digunakan dapat berupa tape recorder, ponsel, ataupun alat bantu rekam lainnya. Penggunaan alat bantu rekam ini bertujuan untuk memudahkan peneliti dalam memperoleh data yang utuh, sesuai dengan apa yang dibicarakan oleh peneliti dan responden selama wawancara berlangsung, membantu dalam pembuatan verbatim, serta meminimalkan bias yang mungkin timbul akibat adanya data yang terlupakan oleh peneliti. Penggunaan alat bantu rekam ini juga harus mendapatkan izin dari responden. 3. Alat Tulis Alat tulis yang dimaksud disini antara lain kertas, pulpen atau pensil. Penggunaan alat tulis ini dimaksudkan untuk membuat catatan observasi atau keterangan mengenai apa yang dibicarakan pada saat wawancara berlangsung. III.5 Prosedur Penelitian Pada penelitian mengenai Gambaran Social adjustment pada Mahasiswa Daerah ini berlangsung melalui tiga tahapan yaitu persiapan, pelaksanaan, dan analisa data. Secara lebih rinci mengenai prosedur penelitian tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: 1. Tahap Persiapan Penelitian Pada tahap persiapan penelitian ini, peneliti melakukan tiga hal seperti pencarian fenomena, pencarian literatur yang mendukung, serta membuat pedoman wawancara. 17

Proses pencarian tema ini diawali dengan melihat fenomena sehari-hari yang terlihat pada kehidupan mahasiswa. Beberapa fenomena ditemukan dan peneliti mempertimbangkan masalah-masalah utama dari masing-masing fenomena. Setelah peneliti merasakan kepentingan serta kebermanfaatan dari pembahasan masalah utama yang terkait dengan tema social adjustment, peneliti memutuskan untuk menggali lebih dalam mengenai tema tersebut dan mencari literatur-literatur yang diperlukan untuk mendukung penelitian ini. Literatur tersebut diperoleh dari berbagai sumber seperti buku, jurnal, dan berbagai situs internet. Dari berbagai literatur yang diperoleh kemudian peneliti menyusun pedoman wawancara dan dioperasionalkan dalam bentuk pertanyaan terbuka, serta menentukan karakteristik subjek. Untuk melakukan uji coba terhadap pedoman wawancara yang telah dibuat dan melatih pengalaman wawancara guna mendapatkan gambaran awal mengenai wawancarawawancara selanjutnya, peneliti akan mencoba mewawancarai salah satu mahasiswa angkatan 2008 (rekan dari kelompok penelitian lain) yang berasal dari daerah di luar Jabodetabek. Dari hasil wawancara uji coba ini akan disusun pedoman wawancara yang siap digunakan dalam tahap pelaksanaan penelitian. 2. Tahap Pelaksanaan Penelitian Pada tahap ini, peneliti akan mencari subjek sesuai dengan karakteristik yang telah ditentukan. Setelah subjek yang sesuai telah ditemukan, peneliti dapat melaksanakan wawancara. Adapun rencana pelaksanaan wawancara akan dilaksanakan pada bulan November 2011, untuk tanggal dan jam pertemuan akan disesuaikan dengan kesepakatan antara subjek dan peneliti. Jumlah pertemuan wawancara untuk masingmasing subjek diperkirakan akan berlangsung dua kali agar dapat diperoleh informasi mendalam dari masing-masing subjek. Untuk mempermudah pelaksanaan penelitian, peneliti menggunakan alat bantu wawancara seperti alat perekam, alat tulis, dan pedoman wawancara. 3. Tahap Analisa Data Pada tahap ini, peneliti membuat verbatim dari hasil rekaman wawancara enam orang subjek. Setelah itu akan dilakukan analisis awal untuk mencari fakta-fakta yang ditemui di lapangan sehingga bisa didapat tema-tema utama dari hasil wawancara. Selanjutnya akan dilakukan analisis terhadap data tersebut secara mendalam dengan berlandaskan teori. Analisis mendalam ini akan dilakukan dengan 18

dua cara yaitu analisis intrakasus dan antarkasus. Analisis intrakasus dilakukan terhadap hasil wawancara masing-masing responden. Kemudian, analisis interkasus dilakukan dengan membandingkan hasil wawancara antar responden. Peneliti kemudian akan membuat kesimpulan penelitian sehingga dapat diperoleh gambaran jelas pada subjek terkait dengan topik penelitian.

19

DAFTAR PUSTAKA ACT. (2002, November). College graduation rates steady despite increase in enrollment. Retrieved October 11, 2011, from http://www.act.org/news Campbell, R.J. (1996). Psychiatric Dictionary (7th Edition). New York: Oxford University Press Choi, K.H. (2002). Psychological separation-individuation and adjustment to college among Korean American students: The roles of collectivism and individualism. Journal of Counseling Psychology, Vol 49(4), 468-475. DiTommaso, E., McNulty, C. B., Ross, Lynda. & Burgess, Melissa. (2003). Attachment Styles, Social Skills And Loneliness In Young Adults. Journal Personality and Individual Differences Volume 35, Issue 2, July 2003, Pages 303-312. Diakses dari http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0191886902001903 Enochs,W.K., Rolland, C.B. (2006). Social adjustment of college freshmen: the importance of gender and living environment. College Student Journal. FindArticles.com. 08 Oct, 2011. Grasha, A.F., Kirschenbaum, D.S. (1980). Psychology of Adjustment and Competence. Cambridege: Winthrop Publisher Kumar, Ranjit. (2005). Research Methodology: A Step-by-Step Guide for Beginners. London: Sage Publication Lapsley, D. K. & Edgerton, Jason. (2002). Separation-Individuation, Adult Attachment Style, College Adjustment. Journal of Counseling & Development, Fall 2002, Volume 80. Diunduh dari http://www.csufresno.edu/studentaffairs/programs/studentactivities/documents/adjust ment%202.pdf Mannix, Elizabeth. & Neale, Margaret A. (2005). What differences make a difference? The promise and reality of diverse teams in organizations. American Psychological Society, 6, 2, 31-55. Marshall, C., & Rossman, G. B. (1995). Designing qualitative research (2nd ed.). Thousand Oaks, CA: Sage. Diakses dari http://www.googlebooks.com Mattanah, J. F., Brand, B. L. & Hancock, G.R. (2004). Parental Attachment, SeparationIndividuation, and College Student Adjustment: A Structural Equation Analysis of Mediational Effects. Journal of Counseling Psychology 2004, Vol. 51, No. 2, 213 225. Diunduh dari 20

http://www.education.umd.edu/EDMS/fac/Hancock/Course_Materials/EDMS722/Ma ttanah_Hancock_Brand_2004.pdf Mirza. (2011). Gambaran Social adjustment pada Penderita Kustha di Sithanala. Depok. Skripsi. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia Muus, Rolf E. (1988). Theory of adolescent, 5th ed. USA : McGraw-Hill Inc. Nawawi, H. & Martini, M. (2005). Penelitian Terapan.Yogyakarta: Gajah Mada Press Nevid, Jeffrey S. & Rathus, Spencer A. (2005). Psychology and the Challenges of Life, 9th ed. USA : Wiley. Papalia, D.E., et al. (2009). Human Development 11th ed. New York: McGraw-Hill Companies, Inc. Perwandarai, E. Kristi. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Depok: LPSP3 Poerwandari ,E Kristi. (2011). Pendekatan Kualitatiif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Depok : LPSP3. Rice, K. G. (1992). Separationindividuation and adjustment to college: A Longitudinal Study. Journal of Counseling Psychology Vol 80 (4), 484492 Stewart, C., & Cash, W. (2000). Interviewing: Principles and Practices, 9th ed. New York: McGraw-Hill Higher Education Toews, M.L., Yazedjian, A. (2006). College adjustment among freshmen: predictors for white and Hispanic males and females. College Student Journal. FindArticles.com. 08 Oct, 2011 Wellman, Barry & Wortley, Scot. (1990). Different stokes from different folks: community ties and social support. AJS, 96, 3, 558-588. .

21

Anda mungkin juga menyukai