Anda di halaman 1dari 5

KEMISKINAN DAN KESENJANGAN

A. PERMASALAHAN POKOK Kesenjangan ekonomi atau ketimpangan dalam distribusi pendapatan antara kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok masyrakat berpendapatan rendah serta tingkat kemiskinan atau jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan (poverty line) merupakan dua masalah besar di banyak Negara-negara berkembang (LDCs), tidak terkecuali Indonesia. Di Indonesia, pada awal pemerintahan orde baru para pembuat kebijakan dan perencana pembangunan ekonomi di Jakarta masih sangat percaya bahwa proses pembangunan ekonomi akan menghasilkan apa yang dimaksud dengan trickle down effects, yang menjadi salah satu topic penting di dalam literature mengenai pembangunan ekonomi di LDCs pada decade 1950-an dan 1960-an.1 Didasarkan pada kerangka pemikiran tersebut, pada awal periode orde baru hingga akhir decade 1970an strategi pembangunan ekonomi yang dianut oleh pemerintahan Soeharto lebih terfokus pada bagaimana mencapai suatu laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam suatu periode yang relative singkat. Untuk mencapai tujuan tersbut, pusat pembangunan ekonomi nasional dimulai di pulau Jawa, khususnya di provinsi Jawa Barat, dengan alas an bahwa semua fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan, seperti pelabuhan, jalan raya,kereta api, telekomunikasi, dan kompleks industri, lebih tersedia di provinsi Jawa Barat, lebih tersedia di provinsi ini dibandingkan di provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Pembangunan pada saat itu juga hanya terpusat di sektor-sektor tertentu yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menghasilkan nilai tambah yang tinggi. Mereka percaya bahwa nantinya hasil pembangunan itu akan menetes ke sektor-sektor dan wilayah Indonesia lainnya. Akan tetapi, sejarah menunjukkan bahwa setelah 10 tahun berlaku sejak pelita I yang dimulai pada tahun 1969, ternyata efek yang dimaksud itu mungkin tepat untuk dikatakan sama sekali tidak ada, tetapi proses mengalir ke bawahnya sangat lambat. Akhirnya, sebagai akibat dari strategi tersebut, pada decade 1980-an hingga pertengahan decade 1990-an, sebelum krisis ekonomi, Indonesia memang menikmati

laju pertumbuhan ekonomi atau produk domestic bruto (PDB) yang relative tinggi, tetapi tingkat kesenjangan juga semakin besar dan jumlah orang miskin tetap banyak. Sebenarnya, menjelang akhir decade 1970-an, pemerintah sudah muklai menyadari keadaan tersebut yang menunjukkan buruknya kualitas pembangunan yang telah dilakukan hingga saat itu. Oleh karena itu, sejak Pelita III strategi pembangunan mulai diubah. Sasaran utama pembangunan tidak lagi hanya pertumbuhan, tetapi juga kesejahteraan masyarakat. Di samping itu, konsentrasi pembangunan juga tiddak hanya di Jawa, tetapi juga di luar jawa. Sejak itu perhatian mulai diberikan pada usaha-usaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyrakat, misalnya dengan mengembangkan industri-industri yang padat karya dan sektor pertanian. hingga menjelang krisis nilai tukar rupiah pada pertengahan tahun 1997 lalu, sudah cukup banyak program-program yang dilakukan oleh pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi (kalau tidak bias menghilangkan) jumlah orang miskin dan pebedaan pendapatan antara kelompok miskin dan kelompok kaya di tanah air, seperti inpres desa tetinggal (IDT), pengembangan industri kecil dan rumah tangga, khususnya di daerah pedesaan, transmigrasi, dan masih banyak lagi. Sayangnya, krisis nilai tukar rupiah muncul dan berubah menjadi suatu krisis ekonomi yang paling kompleks yang pernah dialami Indonesia, paling tidak sejak orde baru berkuasa. Krisis ini yang akhirnya menciptakan suatu resesi ekonomi yang besar dengan sendirinya memperbesar tingkat kemiskinan dan gap dalam distribusi pendapatan di tanah air, bahkan menjadi jauh lebih parah dibandingkan dengan kondisi pada decade 1980-an. B. KONSEP DAN DEFINISI Besarnya kemiskinan dapat diukur denga atau tanpa mengacu kepada garis kemiskinan (poverty line). Konsep yang mengacu kepada garis kemiskian disebut kemiskinan relative, sedangkan konsep yang pengukurannya tidak didasrkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolute. Kemiskinan relative adalah suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pandapatan, biasanya dapat didefinisikan da dalam kaitanyya dengan tingkat rata-rata dari distribusi yang dimaksud. Di Negara-negara maju (DCs),

kemiskinan relative diukur sebagai suatu proporsi dari tingkat pendapatan rata-rata per kapita. Sebagai suatu ukuran relative , kemiskinan relative dapat berbeda menurut Negara atau periode di dalam suatu Negara. Kemiskinan absolute adalah derajat kemiskinan di bawah, di mana kebutuhankebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak terpenuhi. Ini adalah suatu ukuran tetap (tidak berubah) di dalam bentuk suatu kebutuhan kalori minimum ditambah komponen-komponen non makanan yang juga sangat diperlukan untuk survive. Walaupun kemiskinan absolute sering juga disebut kemiskinan ekstrim, tetapi maksud dari yang terakhir ini bias bervariasi, tergantung pada interpretasi setempat atau kalkulasi. C. PERTUMBUHAN, KESENJANGAN DAN KEMISKINAN Data decade 1970-an dan 1980-an mengenai pertumbuhan ekonomi dan distribusi pandapatan di banyak LDCs, terutama Negara-negara dengan proses pembangunan ekonomi yang sangat pesat atau dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, seperti Indonesia, menunjukkan seakan-akan ada suatu korelasi positif antara laju pertumbuhan dan tingkat kesenjangan ekonomi: semakin tinggi pertumbuhan PDB atau semakin besar pendapatan per kapita semakin besar pebedaan antara kaum miskin dan kaum kaya. Mengenai Negara-negaradi Asia Tenggara menunjukkan bahwa setelah sempat turun dan stabil selama periode 1970-an dan 1980-an, pada saat negara-negara itu mengalami laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun yang tinggi (Asian miracle), pada awal decade 1990-an ketimpangan distribusi pendapatan di negara-negara tersebut mulai membesar kembali. Hal ini tidak hanya terjadi di LDCs, tetapi juga di Negara-negara indutri maju (DCs). Perkembangan ketimpangan pendapatan antara kaum kaya dan kaum miskin di Swedia, Inggris, Amerika Serikat, dan beberapa Negara lainnya di Eropa Barat menunjukkan suatu kecenderungan yang meningkat selama decade 1970-an dan 1980-an. Semakin besar ketimpangan dalam distribusi pendapatan di Negara-negara tersebut disebabkan oleh pergeseranpergeseran demografi, perubahan pasar buruh, dan perubahan kebijakan-kebijakan public.

Hubungan pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Abdurrahman Wahid dengan IMF juga tidak baik, terutama karena masalah amandemen UU No. 23 tahun 1999 mengenai Bank Indonesia; penerapan otonomi daerah; terutama menyangkut kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri; dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksanaannya. Tidak tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda pencairan bantuannya kepada pemerintah Indonesia, padahal roda perekonomian nasional saat ini sangat tergantung pada bantuan IMF. Selain itu, Indonesia terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club (negara-negara donor) karena sudah kelihatan jelas bahwa Indonesia dengan kondisi perekonomiannya yang semakin buruk dan deficit keuangan pemerintah yang terus membengkak, tidak mungkin mampu membayar kembali utangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo tahun 2002. Bahkan, Bank Dunia juga sempat mengancam akan menghentikan pinjaman baru jika kesepakatan IMF denagn pemerintah Indonesia macet. Pemerintah transisi dimulai pada akhir tahun 1997 dimana nilai tukar rupiah melemah mulai menggoncang perekonomian Indonesia. Pada awalnya pemerintah berusaha untuk mengatasi dengan kekuatan sendiri akan tetapi setelah menyadari bahwa merosotnya nilai tukar rupiah tidak dapat dibendunmg lagi maka pemerintah Indonesia akhirnya juga memunculkan suatu krisis politik. Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dan digantikan Presiden B.J. Habibie. Akan tetapi setelah setahun berlalu mesyrakat mulai melihat bahwa sebenarnya pemerintah baru ini tidak ada perubahan-perubahan yang nyata. Bahkan KKN semakin menjadijadi, kerusuhan munul dan masalah Soeharto tidak terselesaikan. Pemerintah reformasi dalam hal ekonomi dibandingkan sebelumnya kondisi perekonomian mulai mengalami pebaikan. Akan tetapi ketenangan masyarakat akan terpilihnya persiden keempat tidak berlangsung lama. Presiden mulai mengeluarkan sikap dan ucapan yang membingungkan para pelaku bisnis. Presiden mulai berikap dictator dan praktek-praktek KKN dilingkunagannya semakin intensif. Sikap presiden tersebut menimbulkan perseteruan dengan DPR yang klimaksnya dikeluarkannya memorandum I dan II. Ketidakstabilan social politik yang semakin surut selama pemerintahanan Abdurrahman Wahid menaikkan country risk Indonesia, ditambah lagi semakin semakin buruknya hubungan antara pemerintah Indonesia dengan IMF

membuat para pelaku bisnis enggan melakukan kegiatan bisnis atau menanamkan modalnya di Indonesia. Akibatnya kondisi perekonomian cenderung lebih buruk dibandingkan pada masa transisi. Pemerintah tidak menunjukkan keinginan yang sungguh-sungguh (political will) untuk menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip once and for all. Pemerintah cenderung menyederhanakan krisis ekonomi yang ada dengan menganggap persoalan hanya terbatas pada agenda masalah amandemen UU Bank Indonesia, desentralisasi fiscal, restrukturisasi utang, dan divestasi BCA dan Bank Niaga. Munculnya kebijakan pemerintah yang inkonsistens dan controversial, pembahasan atas pinjaman luar negeri dan hibah, menunjukkan tidak adanya scence crisis terhadap kondisi perekonomian Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai