Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

Seorang pasien, lelaki usia 53 tahun, tanpa riwayat keluarga anemia dan
penyakit kuning, memiliki 4 anak lelaki yang sehat. Pertama dia tercatat lemah, sesak
napas, dan jantung berdebar pada 1948 dan telah dirawat oleh dokter keluarga yang
mendiagnosis anemia pernisiosa. Ia di beri terapi besi berupa preparat parenteral, hati,
dan vitamin B12 secara oral tetapi terapi ini memperburuk kondisinya. Akibatnya
mendapatkan transIusi darah dengan jarak 2-3 bulan yang diperlukan untuk menjaga
pasien dalam kesehatan cukup. Pada Maret 1951 dia masuk rumah sakit.
Kulit dan membrane mukosa terlihat pucat, dengan ikterus ringan. Lidah
menunjukkan papilla yang normal. Hati membesar seluas 3 jari di bawah tepi costal
kanan, tidak ada limIadenopati dan spleen tidak jelas. Tekanan darah 110/55, tekanan
nadi 72. Sistem kardiovaskuler, respirasi, dan sistem saraI pusat normal. Pasien
sebelum teradmisi, urinnya berwarna coklat gelap. InIormasi ini mendatangkan
pertanyaan tertutup dan warna dengan jelas tidak baik.
Dilanjutkan investigasi yang dibawa di rumah sakit. Hemoglobin 46 (Hal
Dan) 6,8 Gm. Per 100 ml, eritrosit 1,62x10
6
per cu.mm, PCV 19 percent, MCV 114,
MCC 36, ESR 12 mm dalam 1 jam, leukosit 4750per cu.mm, angka diIerensiasi
leukosit, metamyelosit 2, polimorIi neutrIil 62, limIosit 34, monosit 2.
Eritrosit menunjukkan makrositosis, polikromasia dan basoIil. Retikulosit 16.
Fragilitas osmosis dalam saline hipotonik normal. Bilirubin serum 1,7 mg/100 ml,
protein serum 7,8 Gm percent; albumin serum 5,0 Gm percent, globulin serum 2,8
Gm percent; alkalin phosphate serum 9,8 king unit; kekeruhan thymol serum 3,6 unit.
Tes serologi untuk syphilis termasuk tes Wassermann dan Kahn adalah negative.
Serum agglutinin dingin positiI pada titer 1/32. Sumsum tulang menunjukkan
hiperplasi normoblastik baik dan 56 percent sel nukleat dimiliki eritrosit. Jumlah
normal asam bebas dalam lambung ditunjukkan dengan analisis kandungan perut.
Urin berwarna kuning dan tidak mengandung empedu, albumin dan darah. Perkiraan
2

kuantitatiI urobilinogen ditemukan dalam jumlah yang berlebih. Pemeriksaan urin


tidak menunjukkan endapan eritrosit, tidak berwarna, tetapi pemeriksaan khusus
untuk hemosidenuria tidak dilakukan.
Sekitar 1 bulan setelah di rawat di ruah sakit, saat sore awal, pasien melewati
urin berwarna gelap untuk pertama kali. Hemoglobinuria telah selesai pada hari ini
dan kemudian hilang. Ini terulang kembali 3 hari kemudian dan dan selama 3 hari
hemoglobinuria lebih terlihat pada pagi hari, meskipun ada sepanjang hari. Hal ini
tidak berhubungan dengan terpai besi. Sekali lagi hemoglobinuria tiba-tiba reda
sampai heparin intravena dimulai.hemoglobinuria terulang dalam bentuk yang lebih
serius, pertama teertandai lebih jelas pada hari urin,tetapi setelah pemberian obat dan
hemoglobinuria menjadi kurang jelas, terutama pada waktu nocturnal. Pada Iase ini
urin mengandung variasi jumlah hemoglobin, tetapi tidak ada eritrosit, dan pada
pemeriksaan pengeluaran urin terdapat hemosiderinuria yang banyak dan konstan.
Saat hemoglobinuria sebagai bukti adanya hemolisis intravascular. Serum yang
berwarna coklat, menunjukkan tumpukan absorpsi methemalbumin dan memberikan
hasil tes Schumm`s positiI. Hemaglutinin dingin 1/32; tes Wassermann dan Donath-
Landsteiner memberikan hasil negative.
Autohemolisis terjadi ketika specimen darah terwarnai saat diinkubasi pada
37
0
C selama 2 jam. Hasil tes sensitiIitas Hegglin dan Maier positiI, keduanya
diperoleh anemia hemolitik dan hemoglobinuria nokturmal paroksimal dan
mengindikasikan salah satu adanya autohemolisin dalam serum atau tak seharusnya
eritrosit pasien pada serumnya. Kemudian dilakukan tes menurut metode Dacie,
tujuan tes ini untuk mengetahui agglutinin atau hemolisin aktiI pada suhu tubuh tetapi
tidak dapat menunjukkan serum antibody. Pada tes serum normal yang digunakan
sebagai sumber perlengkap dan Ph optimum untuk menghilangkan adanya
kemungkinan adanya antibody inkomplit diatas permukaan eritrosit. Sel darah dites
pada tiga waktu dengan Coomb globulin serum dengan hasil negative.
Ketidakmampuan untuk menunjukkan sirkulasi algutinin, hemolysin atau antibody
3

inkomplit menunjukkan proses autohemolisis atau bertambahnya kerapuhan darah


karena beberapa sel yang rusak.
Penggunaan teknik dacie sensitive terhadap eritrosit pada pasien yang
mengalami peristiwa lisis pada serumnya dan serum yang normal yang dites dengan
asam menghasilkan kecocokan. Pada keadaan pertama tersebut menunjukkan
hemolisis di kadar asam dan bukan asam pada pasien tetapi tidak ditemukan pada
serum normal. Pada keadaan kedua, ditemukan hemolisis ditemukan di kadar asam
serum pasien dan normal tetapi tidak ditemukan hemolisis pada serum bukan asam
pada serum pasien dan normal. Tes untuk menentukan kepekaan eritrosit untuk
heterohemolisin dan isohemolisin dalam anti A dan anti B tidak dilakukan karena
berbagai penyebab anemia hemolitik kronik tipe makrositik terdapat hemoglobinuria,
banyak hemosiderinuria, tes asam hemolisis positiI dan adanya beberapa hemolisin
atau autoantibody inkomplit, diagnosis PNH ditegakkan. Terjadi hemolisis
intravascular dan hemoglobin yang terus menurun pada pasien sehinnga diperlukan
transIuse kembali. Reaksi transIuse whole blood yang sering dan diikuti dengan
meningkatnya hemoglubinuria. Karena sebab itu transIuse whole blood tidak
digunakan lagi dan washed red blood kembali dihentikan selama satu jam dengan
tidak menunjukkan hasil yang baik. Ketika pasien dengan hemoglobin meningkat
80 yaitu 11,8 Gm/100ml sehingga pasien diperbolehkan pulang.
Pada bulan desember 1951, pasien masuk rumah sakit lagi dan terdiagnosis
pansitopenia. Hemoglobin 24 3,5 Gm/100ml, eritrosit 1,4 x10
6
per cu.mm, PCV
12, MCV 83 cu, MCC 30, leukosit 2300 per cu.mm. platelet 155000 per cu.mm,
angka diIIerential leukosit, neutroIil 16, eosinoIil 2, limIosit 80, monosit 2.
Retikulosit 0,6, bilirubin 0,6mg/100ml. Tes asam hemolisis dan kepekaan globulin
negative. Sumsum tulang diperiksa dalam tiga keadaan dengan hasil hipoplastik
dengan eritropoesis normoblastik. Urine tidak mengandung hemoglobin dan sedikit
mengandung hemosiderin. Peripheral pansitopenia dan hipoplasia sumsum tulang
berlangsung sepanjang tahun selama pasien dalam keadaan observasi. Terapi awal
diberikan cortisone 100mg selama 7 hari dan dilanjutkan 50mg selama 10 hari
4

dengan hasil tidak ada kemajuan hematolgik pada darah periIer dan sumsum tulang
sehingga diperlukan transIusi kembali. TransIusi whole blood tidak menimbulkan
reaksi karena sensitivitasnya berkurang pada pasien. Pasien mendapatkan observasi
selama 12 bulan, selama dirumah sakit untuk beberapa waktu, reaksi transIusi
dipantau. Untuk periode ini, sel darah merah dilakukan tes untuk kepekaan lisis oleh
serum dalam medium asam dan oleh Iaktor mempercepat dan hasil mendapatkan hasil
positiI. Pada tahap ini dilakukan tes Crosby dengan menggunakan accelerator
globulin yang lebih sensitive daripada tes hemolisis untuk mendeteksi abnormalitas
eritrosit.


Resume Laporan Kasus
Seorang pasien, lelaki usia 53 tahun, dia tercatat lemah, sesak napas, dan
jantung berdebar pada 1948 yang terdiagnosis anemia pernisiosa dan mendapatkan
terapi vitamin B12. Pada bulan April, pasien dirawat kembali di rumah sakit karena
pasien mengeluh urinnya yang berwarna gelap yang terdiagnosis anemia hemolitik
karena PNH. Pada bulan Desember 1951, pasien ini kembali dirawat di rumah sakit
karena pansitopenia.











3

ANAMNESIS

Identitas
Nama : Bapak M
Usia : 53 tahun
Pekerjaan : -
Alamat : -
Agama : -
Status : Menikah dengan 4 anak lelaki

Keluhan Umum
Kulit dan membrane mukosa pucat

Riwayat Penyakit Sekarang
Pada bulan Maret 1951, pasien datang dengan keluhan kulit dan membrane
mukosa pucat yang sedikit berwarna kuning. Sejak tahun 1948, pasien sudah
terdiagnosis anemia pernisiosa dengan keluhan lemah, sesak napas, berdebar-debar.
Oleh keluarga dibawa ke rumah sakit dan dilakukan beberapa pemeriksaan seperti
vital sign, pemeriksaan darah. Selain itu, pasien itu juga mengeluh urinnya berwarna
cokelat gelap.

Anamnesis Sistem
O Sistem Cerebrospinal : tidak ada keterangan
O Sistem Kardiovaskuler : tidak ada keterangan
O Sistem Respirasi : tidak ada keterangan
O Sistem Gastrointestinal : tidak ada keterangan
O Sistem Urogenital : urine berwarna cokelat
6

O Sistem Muskuluskeletal : Badan lemah ()


O Sistem Intergumentum : warna kuning ()

Riwayat Dahulu
O Menderita anemia pernisiosa tahun 1948
O Pasien pernah mendapatkan terapi besi dan vitamin B12
O Pernah mendapatkan transIusi darah dengan jarak 2-3 bulan
O Anemia hemolitik dan PNH pada bulan April 1951

Riwayat Keluarga
O Keluarga pasien tidak mempunyai keluhan serupa
O 4 anak lelakinya sehat
O Tidak ada keluarga yang mempunyai riwayat penyakit kuning dan anemia

Kebiasaan/Lingkungan
Tidak dijelaskan dalam laporan kasus

Resume Anamnesis
Bapak M, 53 tahun datang dengan keluhan kulit dan membran mukosa pucat
dengan sedikit berwarna kuning. Sejak tahun 1948, pasien terdiagnosis anemia
pernisiosa. Pasien juga pernah mendapatkan transIusi, terapi besi, dan Vitamin B12.
Dari keluarganya tidak ada riwayat anemia dan penyakit kuning.




7

PEMERIKSAAN FISIK

'ital Sign
O KU : Compos mentis, lemah
O Suhu : 37C (normal)
O Tekanan Darah : 110/55 mmHg (normal)
O Nadi : 72x/menit (normal)
O PernaIasan : tidak ada keterangan
Kepala : - konjuctiva anemis ()
- Sklera ikterik ()
Thorax : - jantung normal
- paru normal
Abdomen : perkusi : hati melebar 3 jari dibawah kosta kanan
Ekstremitas : tidak keterangan
Intergumentum : warna kulit sedikit kuning

Resume pemeriksaan fisik
Hasil dari pemeriksaan Iisik pada Bp. M diperoleh konjuctiva anemis
(anemia), sclera ikterik, dan hepatomegali.







8

PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Tes Maret 1951 April 1951 Desember 1951 Normal
Hemoglobin 4,6 6,8
Gm/100ml
11,8 Gm/100ml 3,5 GM/100ml 13,5-18
Eritrosit 1,62X 10
6
per
CU.MM
1,4 X 10
6
per
CU.MM
4,6-6,2 x 10
6
PCV 19 12 42-52
MCV 114 cu 83 cu 82-92cu
MCC 36 30 32
ESR 12 mm 30mm/hari
Leukosit 4750 per CU.mm 2300 per CU.mm 4000-10000
Platelet 155000 per
cu.mm
150000-450000
Metamyelocytes 2 0
NeutroIil 62 16 50-70
LimIosit 34 80 20-45
Monosit 2 2 2-6
EosinoIil 2 0-5
MDT Makrositosis,
polikromasi
Sel eritrosit
normal
Retikulosit 16 0,6 0,5-1,5
Tes Coomb Negative Negative Negative
Bilirubin 1,7 mg/100ml 0,6 mg/100ml 0,2-1,2 mg/dl
Protein serum 7,8 Gm
Albumin serum 5 Gm 3-5,5 g/dl
Globulin serum 2,8 Gm 1,5-3 gr/dl
FosIat alkali
Serum
9,8 king unit 35-125 IU/L
Timol serum 3,6 unit
Tes serologis
siIilis
Negative negative
Aglutinin Titer 1/32
9

Sumsum tulang Normoblastik


hiperplasia
Normoblastik
eritropoesis

Asam lambung Normal normal
urine Kuning Cokelat gelap,
hemoglobinuria,
hemosiderinuria
Hemosiderin Warna kuning
Urobilinogen Meningkat 0,05-3,5 mg/dl
Schumm`s test PositiI negative
Hemaglutinin 1/32
Tes Wasserman
dan Donath
Landsteiner
Negative Tidak ada
hemolisis
Tes Hegglin dan
Maier
Positive negative
Metode Dacie Agglutinin dan
hemolisin

Tes Asam
hemolisis
Negative Tidak ada
hemolisis
Flagilitas
osmotik
Normal 0,33-0,30
NaCl

Resume pemeriksaan laboratorium
Pada bulan Desember 1951:
Hemoglobin : menurun
Eritrosit : menurun
Leukosit : menurun
NeutroIil : menurun
LimIosit : meningkat
Urine : hemosiderinuria
PCV : menurun


DIAGNOSIS

Diagnosis Banding
1. Anemia Aplastik et. causa PNH
Pada pasien ini dari pemeriksaan laboratorium terdapat hemoglobin menurun,
pansitopenia, limIositosis. Pasien juga pernah terdiagnosis PNH pada bulan
April kemungkinan anemia aplastik disebabkan oleh PNH. Pada PNH sel asal
hematopoetik abnormal menurunkan populasi sel darah merah, granulosit, dan
trombosit, yang semuanya tidak mempunyai sekelompok protein permukaan
sel. Dasar genetic PNH adalah mutasi didapat pada gen PIG-A dikromsom X
yang menghentikan sintesis struktur jangkar glikosilIosIatati dilinositol.
DeIisiensi protein ini menyebabkan hemolisis intravaskuler yang
mengakibatkan ketidakmampuan eritrosit untuk menginaktivasi komplemen
permukaan. Telah lama diketahui bahwa beberapa pasien PNH akan
mengalami kegagalan sumsum tulang dan sebaliknya PNH dapat ditemukan
sebagai ' peristiwa klonal lanjut setelah terdiagnosis anemia aplastik.
. Myelodisplasia
Kelainan yang paling sering mirip dengan anemia aplastik berat yaitu sindrom
myelodisplastik dimana kurang lebih 5 sampai 10 persen kasus sindroma
myelodisplasia tampak hipoplasia sumsum tulang. Beberapa ciri dapat
membedakan anemia aplastik dengan sindrom myelodisplastik yaitu pada
myelodisplasia terdapat morIologi Iilm darah yang abnormal (misalnya
poikilositosis, granulosit dengan anomali pseudo-Pelger- Het), prekursor
eritroid sumsum tulang pada myelodisplasia menunjukkan gambaran
disIormik serta sideroblast yang patologis lebih sering ditemukan pada
myelodisplasia daripada anemia aplastik. Selain itu, precursor granulosit dapat
berkurang atau terlihat granulasi abnormal dan megakariosit dapat

menunjukkan lobulasi nukleus abnormal (misalnya mikromegakariosit


unilobuler).
. Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)
Kelainan seperti leukemia akut dapat dibedakan dengan anemia aplastik yaitu
dengan adanya morIologi abnormal atau peningkatan dari sel blast atau
dengan adanya sitogenetik abnormal pada sel sumsum tulang. Leukemia akut
juga biasanya disertai limIadenopati, hepatosplenomegali, dan hipertroIi gusi.

Diagnosis Kerja
Anemia Aplastik et.causa PNH
Karena Diagnosa pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan darah dan
pemeriksaan sumsum tulang. Pada anemia aplastik ditemukan pansitopenia disertai
sumsum tulang yang miskin selularitas. Sedangkan PNH adalah salah satu penyebab
dari anemia aplastik.











2

Resume pemakaian obat




1. Tahun 1948
a. Terapi Besi
b. Vitamin B12
c. TransIusi darah dengan jarak 2-3 bulan
2. Bulan Maret 1951
Tidak ada keterangan
3. Bulan April 1951
a. TransIusi whole blood
4. Bulan Desember 1951
a. Cortisone
b. TransIuse whole blood














3

PEMBAHASAN

Bp M, 53 tahun mengeluh kulit dan membrane mukosa kuning (ikterus), urine
coklat,
1. Ikterus
Kata ikterus (faundice) berasal dari kata Perancis faune` yang berarti kuning.
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membrane
mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat
kadarnya dalam sirkulasi darah. Jaringan permukaan yang kaya elastin seperti sclera
dan permukaan bawah lidah biasanya pertama kali menjadi kuning. Ikterus yang
ringan dapat dilihat paling awal di sklera mata, dan bila ini terjadi kadar bilirubin
sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl (34-43 umol/L). Kadar bilirubin serum normal
adalah bilirubin direk : 0-0.3 mg/dL, dan total bilirubin: 0.3-1.9 mg/dL.
Metabolisme Bilirubin


4

A. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi/indirek


1. Over produksi
Peningkatan jumlah hemoglobin yang dilepas dari sel darah merah yang sudah
tua atau yang mengalami hemolisis akan meningkatkan produksi bilirubin.
Penghancuran eritrosit yang menimbulkan hiperbilirubinemia paling sering akibat
hemolisis intravaskular (kelainan autoimun, mikroangiopati atau hemoglobinopati)
atau akibat resorbsi hematom yang besar. Ikterus yang timbul sering disebut ikterus
hemolitik.
Konjugasi dan transIer bilirubin berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin
tak terkonjugasi atau indirek melampaui kemampuan sel hati. Akibatnya bilirubin
indirek meningkat dalam darah. Karena bilirubin indirek tidak larut dalam air maka
tidak dapat diekskresikan ke dalam urine dan tidak terjadi bilirubinuria. Tetapi
pembentukkan urobilinogen meningkat yang mengakibatkan peningkatan ekskresi
dalam urine Ieces (warna gelap). Beberapa penyebab ikterus hemolitik antara lain
hemoglobin abnormal (sickle sel anemia), kelainan eritrosit (sIerositosis heriditer),
dan malaria tropika berat.
. Penurunan ambilan hepatik
Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi dilakukan dengan memisahkannya
dari albumin dan berikatan dengan protein penerima. Beberapa obat-obatan seperti
asam Ilavaspidat, novobiosin dapat mempengaruhi uptake ini.
. Penurunan konjugasi hepatik
Terjadi gangguan konjugasi bilirubin sehingga terjadi peningkatan bilirubin
tak terkonjugasi. Hal ini disebabkan karena deIisiensi enzim glukoronil transIerase.

B. Hiperbilirubinemia konjugasi/direk
Hiperbilirubinemia konjugasi atau direk dapat terjadi akibat penurunan eksresi
bilirubin ke dalam empedu. Gangguan ekskresi bilirubin dapat disebabkan oleh
kelainan intrahepatik dan ekstrahepatik, tergantung ekskresi bilirubin terkonjugasi
oleh hepatosit akan menimbulkan masuknya kembali bilirubin ke dalam sirkulasi
3

sistemik sehingga timbul hiperbilirubinemia. Kelainan hepatoseluler dapat berkaitan


dengan : Hepatitis, sirosis hepatis.

2. Urine cokelat, hemoglobinuria, hemisiderinuria


6

3. Darah rutin
Dari pemeriksaan laboratorium pada bulan desember terdapat penurunan
hemoglobin menunjukkan anemia. Penurunan eritrosit, leukosit, neutroIil
merupakan keadaan yang disebut dengan pansitopenia. PCV menurun ini
menandakkan anemia

4. Sumsum tulang
Pada sumsum tulang tidak ditemukan sel-sel yang abnormal. Biasanya pada
anemia aplastik ditemukan hipoplasia.

















7

Definisi
HoIIbrand, Pettit dan Moss dalam Hematologi mendeIinisikan anemia
aplastik sebagai pansitopenia (berkurangnya jumlah sel dari semua jalur sel darah
utama eritrosit, leukosit, dan trombosit) yang disebabkan oleh aplasia sumsum tulang.
Menurut The International Agranulositosis and Aplastic Anemia Study
(IAAS) disebut bahwa anemia aplastik apabila kadar hemoglobin , 10 g/dl atau
hematokrit , 30, hitung trombosit , 50.000 / mmk, hitung leukosit , 35.000/mmk atau
granulosit , 1.5x10
9
/l.

Epidemiologi
Widjarnako, Sudoyo dan Salonder dalm Ilmu Penyakit Dalam menjelaskan
insidensi anemia aplastik bervariasi di seluruh dunia dan berkisar antara 2 sampai 6
kasus per 1 juta penduduk per tahun dengan variasi geograIis.
Anemia aplastik didapat umumnya muncul pada usia 15 samai 25 tahun,
puncak insiden kedua yang lebih kecil muncul setelah muncul setelah usia 60 tahun,
umur dan jenis kelamin pun bervariasi secara geograIis (widjarnako et all : 2007)

Etiologi
HoIIbrand, Pettit dan Moss dalam Hematologi menjelaskan penyebab anemia
aplastik dapat dibagi menjadi:
1. Primer
a. Congenital jenis Fanconi dan non-Fanconi
b. Idiopatik didapat
2. Sekunder
a. Radiasi pengion: pemajanan tidak sengaja (radioterapi, isotop radioaktiI,
stasiun pembangkit tenaga nuklir)
b. Zat kimia: benzene dan pelarut organic lain, TNT, insektisida, pewarna
rambut, klordan, DDT
8

c. Obat
Obat yang biasanya menyebabkan depresi sumsum tulang (missal
busulIan, sikloIosIamid antrasiklin, nitrosourea)
Obat yang kadang menyebabkan depresi sumsum tulang (missal
kloramIenikol, sulIonamide, emas, dll)
d. InIeksi: Hepatitis virus (A atau non-A non-B)

Klasifikasi anemia aplastik
1. Anemia Aplastik yang Didapat (Acquired Aplastic Anemia)
a. Anemia aplastik sekunder
Radiasi
Bahan-bahan kimia dan obat-obatan
4 EIek regular
Bahan-bahan sitotoksik
Benzene
4 Reaksi Idiosinkratik
KloramIenikol
NSAID
Anti epileptic
Emas
Bahan-bahan kimia dan obat-obat lainya
Virus
4 Virus Epstein-Barr (mononukleosis inIeksiosa)
4 Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G)
4 Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia)
4 Human immunodeIiciency virus (sindroma immunodeIisiensi yang
didapat)
Penyakit-penyakit Imun
4 EosinoIilik Iasciitis
9

4 Hipoimunoglobulinemia
4 Timoma dan carcinoma timus
4 Penyakit graIt-versus-host pada imunodeIisiensi
4 Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
Kehamilan
-. Idiopathic aplastic anemia

. Anemia Aplatik yang diturunkan (Inherited Aplastic Anemia)
Anemia Fanconi
4 Diskeratosis kongenita
4 Sindrom Shwachman-Diamond
4 Disgenesis reticular
4 Amegakariositik trombositopenia
4 Anemia aplastik Iamilial
4 Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.)
4 Sindroma nonhematologi

Pathogenesis
Setidaknya ada tiga mekanisme terjadinya anemia aplastik. Anemia aplastik
yang diturunkan (inherited aplastic anemia), terutama anemia Fanconi disebabkan
oleh ketidakstabilan DNA. Beberapa bentuk anemia aplastik yang didapatkan
(acquired aplastic anemia) disebabkan kerusakan langsung stem sel oleh agen toksik,
misalnya radiasi. Patogenesis dari kebanyakan anemia aplastik yang didapatkan
melibatkan reaksi autoimun terhadap stem sel.
Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat
disebabkan oleh paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agen-agen ini
dapat menyebabkan rantai DNA putus sehingga menyebabkan inhibisi sintesis DNA
dan RNA.
2

Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun mungkin


merupakan mekanisme utama patoIisiologi anemia aplastik. Walaupun
mekanismenya belum diketahui benar, tampaknya T limIosit sitotoksik berperan
dalam menghambat proliIerasi stem sel dan mencetuskan kematian stem sel.
'Pembunuhan langsung terhadap stem sel telah dihipotesa terjadi melalui interaksi
antara Fas ligand yang terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang ada pada stem sel,
yang kemudian terjadi perangsangan kematian sel terprogram (apoptosis).

Manifestasi Klinis
Gejala anemia aplastik bergantung pada derajat pansitopeni. Anemia
menyebabkan Iatig, dispnea, dan jantung berdebar (widjarnako : 2007). Anemia
disertai kelelahan, kelemahan, dan napas pendek saat latihan Iisik (Price dan Wilson :
2002).
Widjarnako, Sudoyo dan Salonder dalam Ilmu Penyakit Dalam menjelaskan
trombositopenia menyebabkan mudah memar dan perdarahan mukosa, neutropenia
dapat meningkatkan kerentanan terhadap inIeksi.
DeIisiensi trombosit juga menyebabkan ekimosis, petekie, epistaksis,
perdarahan saluran cerna, perdarahan saluran kemih dan kelamin, perdarahan system
saraI pusat (Price dan Wilson : 2002).
Table 1. Keluhan Pasien Anemia Aplastik (n70) (Salonder cit widjarnako: 1983)
Jenis Keluhan
Perdarahan 83
Badan Lemah 30
Pusing 69
Jantung Berdebar 36
Demam 33
NaIsu makan berkurang 29
Puat 26
2

Sesak napas 23
Penglihatan kabur 19
Telinga berdengung 13

Diagnosis
PEMERIKSAAN FISIK
Tabel 2. Pemeriksaan Fisik pada Pasien Anemia Aplastik
Jenis Pemeriksaan Fisik
Pucat 100
Perdarahan 63
Kulit 34
Gusi 26
Retina 20
Hidung 7
Saluran cerna 6
Vagina 3
Demam 16
Hepatomegali 7
Splenomegali 0
(Salonder cit widjarnako, 1983)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Widjarnako, Sudoyo dan Salonder dalam Ilmu Penyakit Dalam menjelaskan
temuan laboratorium pada pasien Anemia Aplastik sebagai berikut:
a. Darah tepi
Anemia bersiIat normokhrom normositik terkadang makrositik, anisositosis,
dan poikilositosis. Adanya retikulosit dan leukosit muda menandakan bukan anemia
aplastik.
22

Leucopenia, terdapat penurunan selektiI granulosit tidak selalu sampai di


bawah 1,5x10
9
/l, trombositopenia selalu terjadi, pada kassus berat kurang dari
10x10
9
/l (Price dan Wilson, 2002).

b. Laju Enap Darah
LED selalu meningkat, 89 penderita anemia aplastik memiliki LED ~100
mm dalam jam pertama

c. Faal Hemostasis
Masa Perdarahan memanjang dan retraksi bekuan buruk disebabkan
trombositopeni. Faal hemostasis lainnya normal.

d. Sumsum tulang
Sumsum tulang menunjukkan hipoplasia dengan hilangnya jaringan
hemopoetik dan penggantian oleh lemak yang meliputi lebih dari 75 sumsum
tulang. Sel-sel utama yang tampak adalah limIosit dan sel plasma, megariosit sangat
berkurang atau tidak ada (Price dan Wilson: 2002).

e. 'irus
Evaluasi diagnosis anemia aplastik meliputi pemeriksaan virus Hepatitis,
HIV, parvovirus, dan sitomegalovirus.

f. Tes Hemolisis Sukrosa
Tes ini diperlukan untuk mengetahui adanya PNH sebagai penyebab dari anemia
aplstik.

g. Defisiensi Imun
DeIisiensi imun diketahui melalui penentuan titer immunoglobulin dan
pemeriksaan imunitas sel T.
23

PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
a. Nuclear Magnetic Resonance Imaging
Pemeriksaan ini merupakan cara terbaik untuk mengetahui luasnya
perlemakan karena dapat membuat pemisahan tegas antara daerah sumsum tulang
berlemak dan sumsum tulang berseluler.

b. Radionuclide Bone Marrow Imaging (Bone Marrow Scanning)
Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh scanning tubuh
setelah disuntik dengan koloid radioaktiI technetium sulIur yang akan terikat pada
makroIag sumsum tulang atau iodium chloride yang terikat pada transIerin. Dengan
bantuan scan sumsusm tulang dapat ditentukan daerah hemopoeisi aktiI untuk
memperoleh sel-sel guna pemeriksaan sitogenik atau kultur sel-sel induk.

Terapi
Secara garis besar, terapi anemia aplastik terdiri atas:
1. Terapi kausal
Adalah usaha untuk menghilangakan agen penyebab. Hindarkan pemaparan lebih
lanjut terhadap agen penyebab yang diketahui.
2. Terapi suportiI
Terapi untuk mengatasi pansitopenia yaitu
a. Untuk mengatasi inIeksi antara lain:
O Hygiene mulut
O IdentiIikasi sumber inIeksi serta pemberian antibiotic
O TransIuse granulosit konsentrat diberikan pada sepsis berat kuman
gram negatiI
b. Usaha untuk mengatasi anemia
O TransIusi packed red cell apabila Hb 7 gr/dl
c. Usaha untuk mengatasi pendarahan
24

O TransIusi konsentrat trombosit apabila terdapat perdarahan mayor atau


trombosit 20000/mmk
3. Terapi untuk memperbaikin sumsum tulang
a. Anabolic steroid: oksimetolon atau stanozol diberikan 2-3 mg/KgBB/Hari
b. Kortikosteroid: prednisone 60-100mg/hari
c. GM-CSF atau G-CSF untuk meningkatkan jumlah netroIil
4. Terapi deIinitive
Adalah terapi yang dapat memberikan kesembuhan jangka panjang
a. Terapi imunosupresiI:
O AntilimIosit globulin atau antitimosit globulin untuk menekan proses
imunologik
O ImunosupresiI lain: metilprednisolon
b. Tansplantasi sumsum tulang
O Pilihan untuk kasus dibawah 40 tahun
O Diberikan siklosporin A untuk mengatasi GvHD
(I Made Bakta, 2007)
AnemlaAplasLlk
1ransplanLasl sumsum
Lulang
1erapl lmunosupreslf
ulangl Lerapl
lmunosupreslf
lollowupLeraLur
lakLor perLumbuhan
hemaLopoeLlk aLau
androgen
1eruskan CSAdalam 6bulan
ulangl pemberlan A1C/ALC
usla 33LahunaLau
Lldak ada PLA
usla 33Lahun
aLau ada PLA
1ldak ada respon
Ada respon
1ldak ada respon
1ldak
kambuh
kambuh
Ada respon

23

Pada laporan kasus, pasien mendapatkan cortisone dan transIusi darah ini
sudah sesuai dengan keadaan pasien dan reIensi yang didapat. Karena pasien ini
berusia 53 tahun dapat diberikan terapi imunosupresiI (prednisone) sedangkan
transIuse darah diberikan karena kadar Hb pasien 3,5 gr/dl.































26

DAFTAR PUSTAKA


Bakta, I Made. 2007. ematologi Klinik Ringkas. EGC: Jakarta

Hadi, Sujono. 2002. Gastroenterologi Edisi JII. PT. Alumni: Bandung

HoIIbrand, A.V. Pettit, J.E. Moss, P.A.H. 2001. Kapita Selekta ematologi. Edisi
keempat. Setiawan L. 2005 (Alih Bahasa). EGC, Jakarta.

Price, S.A. Wilson, L.M. 2002. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Edisi keenam. Pendit, B.M et al. 2006 (Alih Bahasa). EGC, Jakarta.

Widjarnako, A. Sudoyo, A. W. Salonder, H. 2006. Buku Afar Ilmu Penyakit Dalam.
FKUII: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai