keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri secara teoritis baru diperkenalkan oleh pakar hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk badan legislatif tersebut tidak konstitusional.
Untuk kepentingan tersebut, dapat diadakan organ khusus seperti pengadilan khusus yang disebut MK(Constitutional Court), atau pengawasan konstitusionalitas undang- undang (judicial review) dapat juga diberikan kepada pengadilan biasa, khususnya Mahkamah Agung (MA). Organ khusus yang mengontrol tersebut dapat menghapuskan secara keseluruhan undang-undang yang tidak konstitusional sehingga tidak dapat diaplikasikan oleh organ lain. Sedangkan jika pengadilan biasa yang memiliki kompetensi menguji konstitusionalitas undang-undang, hal itu dilakukan dalam bentuk menolak untuk menerapkannya pada kasus kongkrit saat menyatakan bahwa undang- undang tersebut tidak konstitusional, sedangkan organ lain tetap diwajibkan menerapkannya.
Di Austria, Pemikiran Kelsen itu mendorong dibentuknya suatu lembaga yang diberi nama Verfassungsgerichtshoft atau MK (Constitutional Court) yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung, sering disebut The Kelsenian Model. Gagasan ini diajukan ketika Kelsen diangkat sebagai anggota lembaga pembaharu Konstitusi Austria (Chancelery) pada tahun 19191920 dan diterima dalam Konstitusi Tahun 1920. nilah MK pertama di dunia. Model ini menyangkut hubungan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle of the supremacy of the Constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the principle of the supremacy of the Parliament). Walaupun demikian, keberadaan lembaga MK secara umum merupakan fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan. Sebagian besar negara hukum demokrasi yang sudah mapan tidak mengenal lembaga MK yang berdiri sendiri terpisah dengan MA (Supreme Court of Justice). Akan tetapi dilaksanakan oleh kekuasaan kehakiman (Mahkamah Agung). Negara-negara yang membentuk MK tersendiri ini pada umumnya adalah negara-negara yang mengalami perubahan dari negara yang otoritarian menjadi negara demokrasi termasuk ndonesia. eiring dengan momentum Perubahan UUD pada era reformasi, ide pembentukan MK di ndonesia diterima keberadaanya sebagai mekanisme untuk mengontrol pelaksanaan Undang-Undang Dasar dalam bentuk undang-undang. Selain itu, pembentukan MK juga didorong oleh alasan sebagai berikut. 1. Sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu keputusan yang dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar yang berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan suatu lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang. 2. Pasca Perubahan Kedua dan Perubahan Ketiga, UUD 1945 telah mengubah hubungan kekuasaan secara besar-besaran dengan menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) berdasarkan prinsip checks and balances. Bertambahnya jumlah lembaga negara serta bertambahnya ketentuan kelembagaan negara menyebabkan potensi sengketa antarlembaga negara menjadi semakin banyak. Sementara itu telah terjadi perubahan paradigma dari supremasi MPR kepada supremasi konstitusi, sehingga tidak ada lagi lembaga tertinggi negara pemegang kekuasaan tertinggi yang berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga tersendiri untuk menyelesaikan sengketa tersebut. 3. Kasus nyata yang terjadi di ndonesia, yaitu pemakzulan (impeachment) Presiden K.H. Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenannya oleh MPR pada Sidang stimewa MPR Tahun 2001, yang mengilhami tercetusnya pemikiran untuk mencari jalan keluar mekanisme hukum yang digunakan dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak semata-mata didasarkan alasan politis semata dan oleh lembaga politik saja. Hal ini juga sebagai konsekuensi upaya pemurnia sistem presidensiil. Untuk itu, disepakati perlu adanya lembaga hukum yang berkewajiban menilai terlebih dahulu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya. Setelah melalui pembahasan mendalam, dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai lembaga Mahkamah Konstitusi disahkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama MK dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945.
MK memiliki 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. MK berkewajiban memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden. Untuk melaksanakan amanat konstitusi tentang pembentukan MK, pemerintah bersama DPR membahas Rancangan Undang-Undang tentang MK. Setelah dilakukan pembahasan beberapa waktu lamanya, akhirnya RUU usulan DPR tersebut dapat disepakati bersama antara pemerintah bersama DPR dan disahkan dalam sidang paripurna DPR pada tanggal 13 Agustus 2003. Pada hari itu juga undang-undang tentang MK ini diundangkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri menjadi Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dimuat dalam Lembaran Negara Republik ndonesia Tahun 2003 Nomor 98, dan Tambahan Lembaran Negara Republik ndonesia Nomor 4316. PENGHAPUSAN ULTRA PETTA OLEH DPR Ultra Petita adalah penjatuhan putusan oleh hakim atas perkara yang tidak dituntut atau memutus melebihi apa yang diminta. PADA 21 Juni 2011, Rapat Paripurna DPR mengesahkan perubahan Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Salah satu yang disepakati adalah pemangkasan kewenangan MK untuk mengeluarkan putusan ultra petita (memutus melebihi dari yang diminta) dan masuknya DPR menjadi tim pengawas MK. Nafsu DPR memangkas sebagian kewenangan MK itu ditengarai bermotif balas dendam. Selama ini, DPR sebagai pembuat UU kerap berhadapan dengan MK yang berwenang mengawal UU, agar tidak bertentangan dengan konstitusi. Kami menilai bahwa revisi tersebut sangat ngawur dan tidak substansial. Perubahan atas undang-undang tersebut tidak pernah melaui konsep yang jelas dan tidak pernah di lakukan pengujian secara sahih. Letak ketidak substansialnya revisi tersebut dapat di lihat dari di hapuskannya ultra petita. Ultra petita hanya tidak di perbolehkan untuk hukum perdata saja sesuai dengan Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene ndonesisch Reglement (HR) dan Pasal 189 ayat (2) dan (3) Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen n De Gewesten Buiten Java en Madura (RBg). Namun dalam hal ini MK TDAK MENGURUS MASALAH PERDATA. Karena objek perkara atau objectum litis di MK berbeda dengan peradilan perdata yang melindungi orang perorangan, sedangkan di MK lebih bersifat hukum publik, tidak hanya melindungi kepentingan pihak-pihak yang berperkara, akan tetapi tidak kalah penting di luar para pihak, yaitu seluruh rakyat ndonesia. MK adalah penjaga dan penafsir konstitusi, serta penjaga demokrasi dan pelindung hak-hak konstitusional warga negara, sehingga karakter dan asas-asas yang berlaku berbeda dengan peradilan lain.