15
2
Namun tak urung juga Raja Alfonso curiga pada Kakyu keesokan harinya.
“Ke mana saja engkau kemarin malam, Kakyu?” tanya Raja Alfonso
antara jengkel dan curiga.
“Saya hanya berjalan-jalan, Paduka,” jawab Kakyu.
“Kenapa sampai malam? Ke mana saja engkau pergi?” rujuk Putri
Eleanor.
“Di sekeliling hutan ini,” jawab Kakyu singkat.
“Akhir-akhir ini engkau memang aneh, Kakyu,” kata Raja Alfonso,
“Jangan-jangan engkau berburu pada malam hari.”
“Itu tidak mungkin, Paduka.”
“Apa yang tidak mungkin bagimu, Kakyu?” kata Raja Alfonso, “Engkau
dapat mengerjakan setiap tugas berat yang kuberikan padamu dengan baik.
Dengan mudah dan cepat, engkau menembus strategi-strategi Jenderal
terbaikku. Bagiku engkau benar-benar menakjubkan sampai-sampai aku
khawatir engkau adalah penyihir.”
“Penyihir umumnya wanita, Paduka.”
“Kalau begitu buktikan padaku kalau engkau bukan wanita.”
Kakyu tersenyum. Ia tahu pasti apa yang diharapkan Raja Alfonso
darinya, tapi ia berkata, “Saya tidak senang berburu, Paduka.”
Raja mengeluh. “Sudahlah, Kakyu, aku menyerah. Aku tidak akan
membujukmu lagi. Aku berbicara sepuluh kata tapi engkau hanya berbicara
sepatah kata. Engkau benar-benar membuatku merasa seperti orang yang
banyak bicara.”
“Tidak, Paduka.”
Raja Alfonso yang telah lelah menghadapi jawaban singkat Kakyu hanya
mengangkat bahunya sambil tersenyum. Kemudian Raja memerintahkan
pasukannya untuk berangkat.
Selama perburuan di hari ini, Kakyu memusatkan perhatiannya pada
sekelilingnya. Kakyu yakin tak lama setelah mengintai, kelompok itu akan
menyerang.
Sama seperti keyakinan Kakyu bahwa mereka tidak akan mengerahkan
banyak orang untuk menyerang Raja.
Kemarin malam Kakyu telah memeriksa tenda tempat mereka
menyimpan senjata dan melihat sendiri senjata yang mereka punyai tidak
banyak.
Lagipula terlalu mudah dilihat bila mereka menyerang besar-besaran.
16
Melihat perkemahan kelompok itu yang tersembunyi baik di tengah
hutan, Kakyu yakin kelompok itu tidak ingin diketahui keberadaannya oleh
siapapun sebelum mereka cukup kuat.
Seperti ajaran Kenichi, Kakyu memusatkan mata hatinya pada
sekelilingnya.
Tiba-tiba Kakyu merasa ada bahaya yang mengancam mereka. Tanpa
melakukan banyak gerakan yang mencurigakan, Kakyu berusaha mencari asal
perasaan itu.
“Bosan!” seru Putri Eleanor, “Sejak tadi kita tidak melihat seekor
hewanpun. Biasanya kita sudah mendapatkan walau hanya satu ekor.”
Seruan Putri tidak mengejutkan Kakyu yang telah dilatih Kenichi dengan
keras.
Putri Eleanor melihat Kakyu. Merasa sikap pemuda itu aneh, Putri
bertanya, “Engkau menemukan hewan apa, Kakyu?”
“Hewan apa yang kauburu, Kakyu?” tanya Raja pula, “Sejak tadi sikapmu
sangat aneh.”
Kakyu yang telah menentukan dengan tepat posisi musuh, segera
mencabut anak panah peraknya dan membidikkannya.
Raja dan Putri Eleanor sama-sama terkejut melihat Kakyu tiba-tiba
menggunakan senjata yang selama ini hanya dibawanya.
Mereka lebih terkejut lagi ketika sesaat kemudian terdengar letusan
senjata di kejauhan diiringi terbangnya burung-burung yang juga terkejut.
Sementara prajurit lainnya sibuk mengelilingi Raja dan Putri sambil
berteriak, “Lindungi Raja dan Putri”, Kakyu memacu kudanya ke tempat ia
membidikkan panahnya.
Kakyu tersenyum puas melihat seorang pria yang lebih tua darinya
meringis kesakitan karena panah perak yang menancap di pundak tangan
kirinya.
Kakyu mengambil senapan pria itu yang tergeletak tak jauh dari pria itu.
“Sebaiknya engkau tidak mencoba berbuat apapun,” kata Kakyu
memperingati, “Racun panahku dapat membunuhmu.”
Pria itu tampak semakin pucat mendengar kata-kata itu.
Kakyu mengamati sekelilingnya sebelum berkata, “Sekarang naiklah ke
kudaku dan aku akan membawamu ke tempat buruanmu.”
Melihat pria itu ragu-ragu, Kakyu berkata, “Sebaiknya engkau segera
menuruti perkataanku sebelum racun itu menyebar ke dalam tubuhmu.”
Pria yang sudah kesakitan dan ketakutan itu hanya dapat menuruti
perintah Kakyu.
Kakyu mengeluarkan tali yang kemarin dibelinya di Farreway dari saku
bajunya. Dengannya, ia mengikat tangan dan tubuh pria itu. Kemudian ia
menuntun kudanya ke sekelompok orang yang masih mengkhawatirkan
17
keselamatan Raja dan putrinya.
Melihat Kakyu mendekat bersama seorang pria yang terluka, mereka
tercengang.
Prajurit yang mengelilingi Raja dan Putri mulai bubar dan membantu
Kakyu menangani pria itu.
“Mengapa engkau kejam seperti ini?” tanya Putri, “Ia pasti tidak akan
mencelakai kita.”
Kakyu tahu mengapa Putri Eleanor berkata seperti itu.
Pria yang sekarang duduk ketakutan di depannya itu memang tidak
tampak jahat.
Kakyu juga yakin pria itu bukan orang jahat apalagi setelah melihat
ketakutan pria itu dalam menghadapi kematian. Kakyu yakin ada sesuatu yang
menyebabkan pria itu hendak membunuh Raja dan itu berkaitan dengan
kelompok yang semalam diintainya.
Namun Kakyu tetap diam.
Putri Eleanor jengkel melihat kediaman Kakyu. “Ia pasti sedang berburu
seperti kita, Kakyu.”
Kakyu tetap diam.
“Kakyu!” seru Putri Eleanor kesal.
“Ia memang sedang berburu, Tuan Puteri,” kata Kakyu pada akhirnya,
“Dan hewan buruannya adalah Anda.”
“Kakyu! Jangan menuduh orang seperti itu,” sergah Putri.
Kakyu melihat pria itu ingin mengatakan sesuatu. Dengan cepat ia
mendahului pria itu, “Jangan bicara, Tuan. Lebih baik engkau menyimpan
tenagamu sebab ini akan sakit sekali.”
“Kakyu!”
Kakyu diam saja mendengar seruan jengkel Putri. Saat ini Kakyu lebih
memusatkan perhatiannya pada panah peraknya yang menancap di pundak
pria itu.
Secepat Kakyu membidikkan panah itu, Kakyu menarik panah itu dari
pundak pria malang itu.
Sebelum darah mengucur dari luka yang cukup dalam itu, Kakyu
mengikat erat-erat pundak pria itu dan menutupi lukanya dengan kain hitam
yang kemarin.
Putri Eleanor tercengang melihat Kakyu yang seperti telah tahu apa yang
akan terjadi, hingga melupakan kejengkelannya.
Kakyu tersenyum pada pria itu tanpa berkata apa-apa. Kemudian ia
bangkit menghadapi Putri Eleanor.
“Di sini tidak nampak seekor hewanpun, Tuan Puteri,” kata Kakyu
menjelaskan, “Satu-satunya hewan buruannya adalah Anda.”
Raja yang sejak tadi diam saja tiba-tiba tertawa. “Engkau benar-benar
18
luar biasa, Kakyu, engkau tidak senang memburu hewan, tapi engkau
memburu orang.”
“Papa!”
“Sudahlah, Eleanor. Kakyu memang benar. Di sini tidak ada seekor
hewanpun dan aku yakin Kakyu mempunyai alasan bahkan mungkin Kakyu
tahu sesuatu.”
Raja menatap lekat-lekat wajah Kakyu, “Aku benar, bukan? Tidak
mungkin engkau setiap hari membawa tali dan kain hitam.”
“Anda benar, Paduka,” kata Kakyu, “Sebelum saya mengatakan yang
saya ketahui, saya harap Anda mendengar nasehat saya.”
“Katakanlah, Kakyu, engkau telah menyelamatkan nyawaku dan putriku,
aku yakin engkau juga akan memberi nasehat demi kebaikanku.”
“Kita kembali ke Istana Vezuza hari ini juga.”
“Apa!?” seru Putri Eleanor terkejut.
Raja tersenyum. “Baiklah, Kakyu. Aku setuju denganmu.”
Walaupun tahu putrinya kecewa karena perburuan yang semula
direncanakan selama sebulan hanya berlangsung selama dua minggu kurang,
Raja tetap memerintahkan mereka berkemas-kemas hari itu juga.
Sebelum Kakyu mengatakan apapun pada Raja Alfonso, Kakyu
memastikan dulu kecurigaannya.
Ketika semua orang sibuk berkemas, Kakyu berbicara dengan pria itu.
“Siapakah nama Anda?” tanya Kakyu membuka percakapan.
“Halberd, Tuan,” jawab pria itu dengan ketakutan yang nampak jelas baik
melalui wajah maupun suaranya.
Kakyu tersenyum. “Jangan takut, saya hanya ingin berbicara dengan
Anda.”
“Ten… tentu, Tuan.”
“Panggil saya Kakyu.”
“Ten… tentu, Tu… an.”
Kakyu tersenyum melihat ketakutan pria itu. “Jangan takut. Saya benar-
benar hanya ingin berbicara dengan Anda. Saya tahu Anda bukan orang jahat.”
Halberd tertunduk diam.
“Katakanlah kepada saya, orang yang menyuruh Anda membunuh Raja.”
Halberd masih diam.
“Kalau Anda tidak mengatakannya, saya tidak dapat menjamin Anda
akan selamat. Setelah tiba di Istana Vezuza, mungkin Anda akan dihukum mati
oleh Raja. Tapi mungkin saja Anda sudah mati sebelum itu oleh racun panah
saya.”
“Ja… jangan, Tuan. Saya tidak ingin mati.”
“Bila Anda ingin selamat, katakanlah kepada saya apa yang membuat
Anda melakukan ini semua,” kata Kakyu lembut.
19
Halberd menatap lekat-lekat wajah Kakyu seakan-akan ingin mencari
kebenaran di sana.
“Anda janji, Tuan?”
“Tentu saja.”
Sorenya rencana mereka semula berubah.
Raja yang telah menyerahkan segalanya pada Kakyu, hanya menyetujui
semua keinginan pemuda itu sambil menghibur kekecewaan putrinya.
Sore itu tenda yang seharusnya sudah dibongkar, tetap berdiri di tepi
Hutan Naullie. Mereka tetap melakukan kegiatan mereka seperti hari-hari
sebelumnya.
Semua itu dilakukan Kakyu untuk mencegah kelompok tak dikenal di
tengah hutan itu curiga sementara ia dan beberapa pasukan Istana lainnya
menyelamatkan keluarga Halberd.
Dari Halberd, Kakyu mengatahui kelompok yang diintainya kemarin
malam berencana untuk membunuh Raja beserta keluarganya.
Kata Halberd, kelompok pemberontak itu memaksanya membunuh Raja
dan putrinya saat mereka berburu atau keluarganya akan mati.
Kakyu telah berjanji akan menyelamatkan keluarga Halberd dan kini ia
sedang berusaha mewujudkannya bersama lima orang prajurit Istana lainnya
yang merupakan pilihan Raja.
Karena mereka akan melakukannya di malam hari, maka seperti kemarin,
Kakyu mengenakan pakaian serba hitam.
Semua orang terkejut melihat Kakyu muncul dari tendanya dengan
pakaian serba hitam seperti pencuri.
Tanpa mengatakan apa-apa, Kakyu menyuruh kelima orang pilihan Raja
itu untuk mengenakan pakaian serba hitam sepertinya.
Kepada prajurit yang terpaksa membeli pakaian itu di Farreway, Kakyu
berpesan agar prajurit itu mengatakan hal yang sama seperti dirinya bila
pemilik toko bertanya. Kepadanya pula Kakyu menitipkan sehelai kain hitam
untuk menggantikan kain penutup wajahnya yang digunakannya untuk
membalut luka Halberd.
Seperti sehari sebelumnya, Kakyu memulai aksinya setelah langit
menghitam.
Penampilan Kakyupun seperti kemarin malam. Bedanya kali ini ia
membawa busur dan anak panahnya.
Semua terpana melihat penampilan Kakyu yang seperti mata-mata
bersenjatakan busur dan anak panah itu dan kelima pasukan lainnya yang juga
seperti mata-mata tapi tanpa penutup kepala dan bersenjatakan pedang.
Kakyu memang melarang yang lain membawa senapan.
Satu suara letusan senjata api dapat membuat keluarga Halberd semakin
berada dalam bahaya.
20
Kakyu yakin kelompok pemberontak itu tidak akan membiarkan keluarga
Halberd di Farreway bebas begitu saja.
Berapa orang yang menjaga tempat itu, Kakyu tidak tahu pasti. Tapi
Kakyu yakin ia dan kelima prajurit terbaik pilihan Raja dapat menyelamatkan
keluarga malang itu.
“Kakyu, engkau tampak seperti mata-mata yang hebat,” kata Putri
Eleanor kagum.
“Terima kasih, Tuan Puteri.”
Raa tertawa melihat Kakyu. “Engkau tidak mau memburu binatang tapi
sekarang engkau akan memburu manusia.”
Kakyu diam saja. Raja benar saat ini ia akan memburu orang bukan
hewan. Tepatnya anggota kelompok pemberontak itu.
“Segeralah pergi berburu, Kakyu. Aku ingin tahu berapa ‘hewan’ yang
akan kaudapatkan.”
Tanpa perlu disuruh dua kali, Kakyu dan kelompoknya segera pergi.
Langsung menuju sasaran.
Kelima pasukan pilihan Raja yang jauh lebih tua dan berpengalaman dari
Kakyu, tidak ada yang membantah maupun tersinggung ketika Kakyu
memberikan perintah-perintahnya.
Seperti Raja Alfonso, mereka mempercayai kemampuan Kakyu.
Kakyu yang menugasi dirinya melumpuhkan penjaga di luar rumah
Halberd dengan panahnya, segera menangkap letak orang itu dan
membidikkan panahnya.
Kecepatan gerak Kakyu membuat prajurit lainnya yang ditugasi Kakyu
untuk segera mengikat orang yang dipanah Kakyu, terpana beberapa saat.
Untung Jewry cepat mengikuti Kakyu yang telah berlari mendekati
‘hewan’ buruannya. Yang lain segera mengikuti mereka.
Ketika yang lain mengikat pria malang yang terluka pundaknya, Kakyu
mengintip ke dalam rumah melalui jendela kaca.
Seperti penjaga di luar, di dalam rumah hanya ada satu orang yang
menjaga dengan senapan panjang di tangannya.
Sebelum menentukan langkah selanjutnya, Kakyu mengamati keadaan
rumah itu terlebih dahulu.
Kakyu segera kembali ke sekelompok orang yang telah menantinya.
“Di dalam hanya ada satu penjaga,” kata Kakyu, “Tapi aku tidak ingin kita
menerobos langsug ke dalam.”
“Kami mengerti,” kata Fahd.
Kakyu menatap pria yang telah terikat dengan panah yang masih
menancap di pundak kanannya.
“Cukup dua orang yang ikut bersamaku,” kata Kakyu, “Yang lainnya
menjaga pria ini.”
21
“Aku ikut,” kata Raugh tiba-tiba.
Kakyu yang lebih banyak menghabiskan waktunya dengan mengawal
putri Eleanor sejak ia masuk Istana, tidak tahu manakah yang terbaik dari
kelima pengawal pribadi Raja ini.
“Phil, Paduka mengatakan engkau dapat membantuku,,” kata Kakyu pada
prajurit yang paling diandalkan Raja tadi siang saat ia meminta Raja
memilihkan lima orang yang akan membantunya.
Phil mengangguk tanda mengerti. “Keinginanmu terkabul, Raugh. Engkau
dan aku ikut Kakyu. Yang lain jaga baik-baik pria ini.”
Sebelum pergi lagi, Kakyu berkata perlahan pada pria itu hingga tak
terdengar olah yang lainnya, “Kalau saya adalah Anda, saya tidak akan
bergerak sehingga racun panah itu tidak menyebar.”
Kepada Phil dan Raugh, Kakyu menjelaskan singkat rencananya
kemudian ia memulai tugasnya sendiri.
Sewaktu Phil dan Raugh menanti waktu yang ditentukan di depan pintu
masuk, Kakyu, dengan ajaran Kenichi, memanjat ke atap rumah.
Dengan tali yang digunakannya untuk memanjat itulah, Kakyu perlahan-
lahan meluncur ke dalam cerobong asap.
Pakaian serba hitam Kakyu menyembunyikan tubuhya di perapian yang
gelap itu.
Sambil menanti Phil dan Raugh mendobrak masuk, Kakyu menghitung
jumlah anggota keluarga Halberd yang berada di ruangan itu.
Merasa waktu yang diberikan pada Kakyu cukup lama, Phil dan Raugh
mendobrak pintu. Dan dengan senjata terhunus, mereka berkata, “Jangan
bergerak.”
Perhitungan Kakyu tepat. Pria anggota kawanan pemberontak itu segera
menodongkan senapannya pada seorang anggota keluarga Halberd yang
berada di dekatnya.
Putra tertua Halberd, ketakutan melihat senapan itu ditodongkan ke
kepala adiknya.
Seisi rumah menjerit kaget ketika sesaat kemudian pria itu jatuh beserta
senapannya dan di belakang pundaknya tampak sebuah panah menancap
kokoh.
Phil tersenyum melihat sinar perak busur Kakyu di perapian di
seberangnya.
Berlainan dengan keluarga Halberd yang menganggap Kakyu yang keluar
perlahan-lahan dari perapian dengan busurnya, sebagai pencuri.
Phil dan Raugh segera mengikat pria kedua yang dijatuhkan Kakyu
sementara Kakyu memungut senapannya.
“Jangan takut, Nyonya,” kata Kakyu, “Suami Anda yang meminta kami
untuk menyelamatkan Anda.”
22
Wanita itu hanya mengangguk ketakutan sambil memeluk kedua
putranya.
“Boleh saya meminjam kereta Anda?”
“Ten… tentu,” jawab wanita itu terbata-bata.
“Terima kasih, Nyonya.”
Kakyu segera membawa kereta Halberd yang berada di belakang rumah,
ke depan pintu.
Kepada Fick yang menjaga di luar, diperintahkannya untuk menaikkan
pria itu ke kereta. Kemudian kepada Phil diperintahkannya hal yang sama.
“Nyonya, naiklah ke kereta,” kata Kakyu.
“Di mana suami saya?” tanya wanita itu memberanikan diri.
“Ia aman bersama kami,” jawab Kakyu, “Sekarang Anda sebaiknya ikut
bersama kami.”
“Mari saya bantu, Nyonya,” kata Fick sambil mengulurkan tangannya
kepada istri Halberd yang masih berdiri ketakutan di samping kereta.
“Kakyu, tampaknya ia takut pada penampilanmu yang seperti pencuri
itu,” kata Fick, “Sebaiknya engkau lepaskan topengmu. Sekarang tempat ini
sudah aman.”
“Tidak, Fick, tempat ini belum aman,” kata Kakyu, “Mereka bisa datang
sewaktu-waktu.”
Mendengar kata-kata itu, wanita itu semakin ketakutan. Ia cepat-cepat
menaikkan kedua putranya ke kereta kemudian ia sendiri naik.
Kakyu tersenyum di balik topengnya melihat wanita itu meringkuk
ketakutan di pojok kereta yang cukup besar itu sambil memeluk putra-
putranya.
“Kalian juga cepat naik,” perintah Kakyu pada Fick dan Fahd yang masih
berdiri di sampingnya.
Kakyu membiarkan rumah Halberd tetap terang.
Setelah menutup kembali pintu rumah kecil itu, Kakyu naik ke kereta.
Kakyu duduk sendiri di depan. Kakyu pula yang menjalankan kereta itu.
“Untung kereta ini besar sehingga kita tidak perlu berdesak-desakkan,”
kata Jewry.
“Benar,” sahut Fick, “Tapi panah ini menganggu saja.”
“Tarik saja.”
“Jangan kaulakukan, Fahd,” Kakyu memperingati.
“Baik, Kakyu.”
“Biar aku menggantikanmu, Kakyu,” kata Phil, “Engkau pasti lelah.”
“Tidak, Phil. Aku harus mengarahkan kuda ini ke jalan yang tepat yang
tidak membuat mereka curiga.”
“Baiklah, Kakyu. Terserah engkau.”
Kakyu tidak berkata apa-apa sesudahnya.
23
Dugaan Kakyu benar. Kelompok yang menyembunyikan dirinya di tengah
Hutan Naullie yang lebat itu memang bukan orang baik. Mereka adalah
sekelompok pemberontak.
Dari mana datangnya kelompok itu, Kakyu tidak tahu. Tapi yang pasti
harus ada yang menjaga Hutan Naullie sejak saat ini.
Kakyu tahu ia bisa saja memberitahu tempat pemberontak itu dan
menghancurkannya sebelum pemberontak pecah. Tapi siapa yang akan
percaya pada pemuda seperti dirinya.
Walaupun Raja mengagumi Kakyu, Raja masih meragukan
kemampuannya di usianya yang masih muda ini. Terbukti dengan banyaknya
tugas berat yang diberikan Raja Alfonso padanya.
Kakyu menyadari hal ini.
Kakyu yakin dengan tidak kembalinya dua kawan mereka, pemberontak
itu akan curiga. Itu berarti keselamatan Raja Alfonso dan Putri Eleanor semakin
terancam.
Kakyu tahu apa yang harus dilakukannya.
“Kita telah tiba, Nyonya,” kata Raugh.
Kakyu melompat turun dari kereta diiringi pasukan lainnya.
Raugh dan Fick kembali membantu keluarga Halberd turun dari kereta.
Raja yang baru keluar dari tendanya, tersenyum melihat dua pria yang
terikat di kereta pengangkut jerami itu.
“Engkau mendapat dua ekor ditambah sebuah kereta,” Raja menghitung.
“Kami terpaksa meminjamnya untuk membawa rombongan ini ke sini
karena tadi kami tidak membawa seekor kudapun,” kata Phil melaporkan.
“Bagaimana perasaan kalian dapat bekerja bersama Kakyu?”
“Pemuda ini memang mengagumkan, Paduka,” kata Jewry sambil
menepuk pundak Kakyu.
“Ialah yang melumpuhkan kedua penjahat itu,” tambah Phil.
“Ya, aku melihat panahnya menancap di pundak kedua orang itu.”
“Kakyu hebat sekali, Paduka. Dua kali ia tepat mengenai pundak
sasarannya sehingga mereka menjatuhkan senjatanya tanpa sempat menarik
picunya,” kata Raugh.
“Dan mereka tidak akan dapat memegang senjata mereka lagi,” tambah
Jewry.
“Tampaknya kalian benar-benar dibuat kagum olehnya,” kata Raja
Alfonso, “Aku iri pada kalian. Seharusnya tadi aku juga ikut kalian.”
“Paduka, saya ingin menangani kedua pria ini, bila Anda tidak
keberatan,” sela Kakyu.
“Lakukan saja, Kakyu. Aku tahu engkau sedang memburu sesuatu.”
“Terima kasih, Paduka.”
Dengan ijin Raja Alfonso, Kakyu membawa keluarga Halberd pada
24
Halberd beserta dua pria hasil berburunya.
Kedua putra Halberd segera berlari memeluk ayahnya sementara itu istri
Halberd terkejut melihat suaminya terikat dalam keadaan terluka.
“Berbicaralah dengan Halberd, Nyonya. Saya tidak akan menganggu,”
kata Kakyu sambil menuntun dua pria lainnya yang juga terikat seperti
Halberd, ke sudut sudut tenda lainnya.
Kakyu mendudukkan kedua pria itu di lantai. Baru setelah itu ia
melepaskan topeng kain ala ninjanya.
Kedua pria yang telah diberitahu mengenai panah beracun itu, diam saja
ketika Kakyu menarik panah itu dan membalut luka mereka dengan kain
hitamnya.
“Sebaiknya kalian berterus terang padaku bila kalian ingin selamat.”
Kakyu melayangkan pandangannya ke pintu tenda yang dijaga dua
prajurit kemudian beralih kepada dua pria di depannya.
“Kawan kalian mungkin dapat meloloskan kalian dari tenda ini tapi kalian
tidak akan dapat meloloskan diri dari racun panahku.”
Kakyu diam memperhatikan kedua pria itu sebelum melanjutkan. “Racun
ini bukan sembarang racun,” kata Kakyu sambil memperhatikan mata panah
yang berlumuran darah itu, “Racun ini racun khusus yang obat penawarnya
hanya dimiliki olehku.”
“Kalau kalian tidak mau berkata jujur, aku yakin kalian mati menderita
oleh racunku,” tambah Kakyu – berbahaya.
Tatapan tajam Kakyu yang sebahaya ucapannya berhasil membuat kedua
pria itu bercerita panjang lebar tentang kelompok mereka.
Tapi mereka tetap mengatakan tidak mengetahui tempat persembunyian
pemberontak itu walau Kakyu telah berkata,
“Pengakuan kalian di sini lebih ringan daripada di Istana Vezuza. Raja dan
para Jenderal lainnya tidak akan segan-segan menghukum kalian bila kalian
berbohong.”
Tak seorangpun dari mereka yang tahu kalau Kakyu sudah mengetahui
tempat persembunyian mereka.
Setelah puas dengan keterangan yang didapatnya, Kakyu tersenyum dan
berkata, “Maafkan saya saya yang telah membohongi Anda, Tuan-tuan. Panah
ini sama sekali tidak beracun.”
Seperti halnya Halberd tadi siang, kedua pria itu terkejut dengan
pengakuan Kakyu.
Kakyu sengaja berbohong baik kepada Halberd maupun kedua pria itu
demi mendapatkan keterangan yang diinginkannya.
Walaupun panah yang digunakannya malam ini adalah panah kayu,
keduanya sama-sama tidak beracun.
Bila tadi siang Kakyu tidak menggunakan panah kayunya, itu karena
25
panah perak yang sedang melesat takkan mudah dilihat di bawah sinar
matahari. Sebaliknya panah kayu yang melesat takkan mudah dilihat di malam
hari.
Kakyu meninggalkan kedua pria yang sedang menyesali diri itu.
“Anda tidak boleh tinggal di sini, Nyonya.”
“Mengapa Anda tidak melepaskan suami saya? Ia tidak bersalah,” kata
wanita itu.
“Saya tidak dapat melepas orang yang hendak membunuh Raja sebelum
pengadilan atau Raja sendiri yang membebaskannya.”
“Apakah Ayah akan dihukum mati?” tanya putra tertua Halberd.
“Tidak,” jawab Kakyu, “Raja Alfonso seorang yang pemurah. Ia tidak akan
menjatuhkan hukuman berat kepada Halberd apalagi setelah mengetahui
Halberd melakukannya karena diancam.”
“Saya ingin tinggal di sini,” wanita itu bersikeras.
“Anda tidak boleh melakukannya, Nyonya.”
“Imma, sebaiknya engkau ikuti saja kata-kata Tuan ini,” Halberd ikut
membujuk, “Ia tidak akan mencelakaiku. Ia sangat baik padaku.”
“Tapi, Halberd, lukamu itu…”
“Lukaku tidak apa-apa, Imma. Tuan ini telah mengobatinya.”
“Bila Anda tidak memikirkan diri Anda, Nyonya, setidak-tidaknya pikirkan
kedua putra Anda yang masih kecil ini,” kata Kakyu, “Anda tentu tidak ingin
mereka tidur di tempat yang tidak nyaman ini.”
Imma memandang kedua putranya sebelum mengikuti Kakyu.
Karena tidak ada tenda kosong lagi, Kakyu membawa mereka ke
tendanya sendiri.
“Tunggu sebentar di sini,” kata Kakyu, “Saya akan merapikan tenda ini.”
Seperti yang diucapkannya, Kakyu segera keluar.
Kakyu tersenyum pada Imma yang terkejut melihat pakaian hitamnya
telah berganti menjadi seragam putih kebiru-biruan dengan sebilah pedang
panjang di pinggang kirinya dan busur beserta anak panah di tangannya.
“Berisitirahatlah di dalam, Nyonya,” kata Kakyu, “Besok pagi-pagi sekali
kita akan berangkat ke Chiatchamo.”
Imma mengangguk kemudian membawa kedua putranya masuk.
Kakyu segera menuju tenda tempat Halberd dan kedua pria itu diikat.
“Berjaga-jagalah,” kata Kakyu pada prajurit yang menjaga tenda, “Kawan
mereka bisa muncul sewaktu-waktu.”
“Kami mengerti.”
Kakyu tersenyum puas kemudian menuju tenda terbesar tempat Raja
Alfonso berada.
Kakyu terkejut melihat Raja Alfonso masih bercakap-cakap dengan kelima
orang yang melakukan penyelamatan keluarga Halberd bersama-sama
26
dengannya itu.
“Kami baru saja hendak mencarimu, Kakyu,” kata Raja.
“Sebaiknya Anda berisitirahat sekarang juga, Paduka,” saran Kakyu.
“Mengapa?” tanya Raja Alfonso keheranan.
“Besok sebelum langit terang, kita harus meninggalkan tempat ini.”
“Apa tidak terlalu pagi, Kakyu?” tanya Raugh.
“Itulah saat yang kita cari. Kita harus meninggalkan tempat ini.”
“Apa tidak terlalu pagi, Kakyu?” tanya Raugh.
“Kita harus sudah meninggalkan hutan ini sebelum mereka mencium
kejanggalan yang ada.”
“Mereka siapa, Kakyu?” tanya Phil, “Sejak tadi engkau menyebut
‘mereka’ tanpa memberi penjelasan apapun.”
“Kali ini engkau harus mengatakan semua yang kauketahui padaku,
Kakyu,” tegas Raja Alfonso.
“Di suatu tempat di hutan ini ada sekelompok orang yang mengincar
nyawa Anda, Paduka,” Kakyu menjelaskan singkat.
Mereka terkejut.
“Di hutan ini?” tanya Phil tak percaya.
Kakyu mengangguk.
“Engkau memang menakjubkan, Kakyu. Tak salah bila putriku
menyukaimu,” kata Raja, “Engkau telah mengetahui letak musuh sebelum
kami yang telah berpengalaman ini.”
“Saya mengetahuinya dari Halberd,” kata Kakyu merendahkan diri.
“Tapi sebelumnya engkau telah mengetahuinya, bukan?”
Kakyu tidak ingin berbohong kepada Raja juga tidak ingin mengaku. Ia
memandang tenang wajah curiga Raja Alfonso.
“Pasti ini ada hubungannya dengan kepergianmu kemarin sore yang
mencurigakan.”
Sekali lagi Kakyu tidak mengaku juga tidak berbohong pada Raja Alfonso.
Dengan tenang ia berkata, “Sebaiknya Anda segera berisitirahat, Paduka.”
“Baiklah, Kakyu,” kata Raja Alfonso mengalah, “Hingga kapanpun akan
tetap sulit menyuruhmu berbicara panjang lebar.”
“Sebaiknya kalian juga beristirahat,” kata Kakyu pada kelima pengawal
pribadi Raja Alfonso.
Mereka berenam segera mengundurkan diri dari tenda Raja.
“Apa yang sekarang akan kaulakukan, Kakyu?” tanya Phil.
“Aku akan berjaga-jaga,” kata Kakyu singkat.
“Aku akan menemanimu,” kata Raugh.
“Tidak,” kata Kakyu tegas, “Kalian harus beristirahat.”
“Engkaulah yang harus berisitrahat, anak muda,” kata Jewry sambil
menepuk pundak Kakyu.
27
“Besok kalian harus dapat menjaga keselamatan Raja. Malam ini nyawa
Paduka masih aman, tapi tidak besok.”
Phil memikirkan kata-kata Kakyu itu kemudian berkata, “Ia benar. Malam
ini kita harus menyerahkan keselamatan Raja padanya. Dan di hari berat esok,
kitalah yang akan menggantikannya.”
“Baiklah,” kata Jewry, “Selamat malam, Kakyu.”
“Selamat malam,” balas Kakyu.
Kakyu mengiringi kepergian mereka dengan pandangan matanya.
Setelah kelima orang itu memasuki tenda masing-masing, Kakyu mulai
berkeliling di sekitar perkemahan mereka sambil menantikan datangnya pagi.
28
3
54
5
“Engkau gila, Kakyu!” kata Lishie sambil menahan suaranya tetap kecil.
“Engkau jadi pergi pagi ini?” tanya Vonnie.
Kakyu yang mengendap-endap menuju pintu, berhenti karenanya.
“Mengapa kalian semua bangun sepagi ini?” Kakyu balas bertanya.
“Bagaimana mungkin kami bisa tidur tenang setelah engkau mengatakan
engkau akan pergi ke Naullie juga?” kata Marie.
“Setelah Papa dan Joannie pergi, engkau juga akan pergi,” kata Lishie,
“Mama pasti akan semakin kesepian. Mama pasti akan mencarimu dan ia pasti
akan semakin cemas setelah mengetahui kepergianmu ini.”
“Aku tahu,” kata Kakyu.
“Tapi itu berbahaya, Kakyu. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu?”
“Itu adalah resikonya,” jawab Kakyu tenang.
“Jangan tenang seperti itu, Kakyu!” seru Lishie.
“Jangan berisik!” sahut Marie, “Nanti Mama terbangun.”
“Maaf,” kata Lishie, “Apa engkau sudah gila, Kakyu? Engkau tahu
bahayanya tapi tetap pergi juga.”
“Aku tahu apa yang kulakukan ini.”
“Ya, engkau selalu tahu,” kata Vonnie kesal, “Lalu apa yang harus kita
lakukan kalau Mama bertanya tentangmu?”
“Katakan saja semuanya,” jawab Kakyu tenang.
“Engkau ingin membuat Mama sedih?” tanya Lishie marah.
“Mama akan lebih sedih kalau tahu setelah terjadi sesuatu padaku,” kata
Kakyu.
“Kalau akan begini jadinya, seharusnya engkau juga memberitahu Mama
juga tadi malam.”
“Aku tidak ingin Mama mencegahku.”
“Ya, engkau benar,” kata Marie, “Mama pasti akan dapat mencegahmu
sedangkan kami tidak.”
“Percuma saja engkau membangunkan Mama sekarang, Marie,” kata
Kakyu, “Aku hanya tinggal membuka pintu ini dan melarikan kudaku, maka aku
akan tiba di Naullie dalam waktu singkat.”
“Engkau benar-benar gila, Kakyu,” kata Lishie.
“Rumah ini akan semakin sepi setelah kepergianmu,” kata Marie.
“Dengan diapun, rumah ini tetap sepi,” sahut Vonnie.
“Panggil saja Joannie,” usul Kakyu, “Dia sekarang ada di rumah Bibi
Mandy, bukan? Aku yakin ia mau kembali setelah sekian lama.”
55
“Ya, kita panggil saja Joannie,” kata Marie setuju, “Dulu dia pergi ke
rumah Bibi Mandy karena tidak ingin melihat Papa pergi. Sekarang Papa telah
berada di sana, ia pasti mau kembali.”
Kakyu merasa urusan ini telah selesai.
“Aku pergi,” katanya.
“Kakyu!” Lishie menarik tangan adiknya.
“Aku harus buru-buru, Lishie.”
“Aku tahu,” kata Lishie, “Tapi sebelum aku pergi, aku ingin memelukmu.”
Kakyu belum sempat berkata apa-apa, Lishie sudah menarik tubuhnya.
“Carilah suami yang hebat di medan pertempuran sana,” bisiknya.
“Engkau gila, Lishie,” kata Kakyu.
Lishie hanya tersenyum nakal sebagai balasannya.
“Apa yang kaubisikkan padanya, Lishie?” tanya Vonnie ingin tahu.
“Kukatakan ‘Carilah suami yang hebat di medan pertempuran sana’,”
jawab Lishie.
Ketiga gadis itu tertawa terpingkal-pingkal.
“Kalian semua gila,” kata Kakyu, “Akan kucarikan suami untuk kalian
semua biar kalian puas. Dan untuk Joannie akan kucarikan yang seperti Papa.”
“Untukku yang kuat juga, Kakyu,” pesan Marie, “Dan tampan.”
“Ya, akan kucarikan,” janji Kakyu, “Asal tidak ada yang mati.”
Ketiga gadis itu kembali terdiam.
“Hati-hatilah, Kakyu,” kata mereka sedih.
Kakyu diam saja melihat air mata ketiga kakaknya. “Aku pergi.”
“Untuk dirimu sendiri, cari istri yang cantik,” kata Lishie pada Kakyu yang
menghilang di balik pintu.
Kakyu tersenyum pada kakak-kakaknya sebelum ia menutup kembali
pintu itu.
“Kakyu!” panggil mereka.
Kakyu yang memegang tali kendali kudanya membalikkan badannya
pada kakak-kakaknya.
“Aku harus pergi sekarang juga.”
“Hati-hati, Kakyu,” pesan mereka.
“Tentu,” kata Kakyu.
“Jangan lupa pesan kami,” Lishie mengingatkan.
“Aku bisa-bisa terlambat gara-gara kalian,” keluh Kakyu.
Kakyu meletakkan tas bawaannya ke kudanya kemudian ia melompat ke
atas kudanya.
“Selamat tinggal,” kata Kakyu sambil melarikan kudanya.
“Katakan pada Papa, kami mencemaskannya.”
Kakyu terlalu jauh untuk mendengar seruan itu.
Hawa pagi yang dingin menelan seruan mereka. Tapi tak sampai menelan
56
semangat Kakyu.
Walau tahu waktu keberangkatannya ini lebih pagi satu jam lebih
daripada ayahnya, Kakyu tetap tidak mau mengulur waktu.
Ia yakin sejak tadi malam, pasukan yang dimintanya telah disiapkan di
halaman Istana dan tinggal menanti perintahnya.
Teringat keadaan di Naullie yang semakin bahaya setiap menitnya, Kakyu
semakin mempercepat laju kudanya. Ia tidak ingin membuang waktu terlalu
lama.
Dalam waktu lebih singkat dari biasanya, Kakyu telah tiba di Istana
Vezuza.
Penjaga gerbang segera membuka gerbang begitu melihatnya datang
dengan kudanya.
“Selamat pagi, Perwira,” sapa mereka.
“Selamat pagi,” balas Kakyu, “Semua sudah siap?”
“Ya, mereka tinggal menanti perintah Anda.”
“Bagaimana dengan pemuda yang kemarin bertengkar dengan kalian?”
tanya Kakyu lagi.
“Ia belum muncul ketika kami memeriksa pasukan itu seperti permintaan
Anda. Kami rasa tak lama lagi ia akan muncul.”
Kakyu mengangguk. “Buka pintu gerbang. Aku akan segera berangkat.”
Keduanya segera melaksanakan perintah itu.
Kakyu turun dari kudanya dan menggiringnya ke halaman tempat para
prajurit menantinya.
Pasukan itu masih berbaris rapi walau beberapa di antara mereka sudah
mengantuk. Masing-masing dari mereka telah memanggul tas ransel mereka
tetapi ada juga yang meletakkannya di dekat kakinya.
Mereka semua siap berangkat dengan senapan panjang di tangan
mereka dan pakaian seragam mereka yang hijau kebiru-biruan, bukan putih
kebiru-biruan seperti seragam pasukan Pengawal Istana Kakyu.
Semua pasukan itu didatangkan dari Angkatan Darat.
Seorang di antara mereka mendekat. “Pasukan telah siap, Perwira.
Semua seperti permintaan Anda. 500 pasukan kavaleri dan 1500 pasukan
infanteri.”
Kakyu mengangguk.
“Menteri Keamanan menyuruh saya membantu Anda, Perwira,” kata
prajurit itu.
“Terima kasih,” kata Kakyu, “Sekarang tolong kaupanggilkan pemimpin
pasukan pejalan kaki.”
“Baik, Perwira.”
Tak lama kemudian prajurit yang berpangkat Kolonel itu datang dengan
tiga Kapten lainnya.
57
“Kami siap membantu Anda, Perwira,” kata mereka.
“Kalian masing-masing bawahi 500 pasukan pejalan kaki dan bawa
mereka meninggalkan Istana terlebih dulu. Nanti kami akan menyusul kalian.”
“Baik, Perwira,” sahut mereka serempak.
Ketiga Kapten itu pergi melaksanakan tugas yang diberikan Kakyu.
“Sekarang apa yang harus kita lakukan, Perwira?” tanya Kolonel.
“Menunggu seseorang,” jawab Kakyu singkat.
Kolonel itu tidak mengerti apa yang dimaksudkan Kakyu, tapi ia tidak
mencoba menanyakannya. Ia tahu percuma bertanya banyak pada Kakyu.
Perwira Muda itu hanya akan menjawab singkat segala pertanyaannya.
Kolonel Abel mengawasi ketiga Kapten yang mengatur pasukan pejalan
kaki meninggalkan halaman Istana.
Sementara itu selain sibuk mengawasi pasukan yang meninggalkan
Istana, Kakyu sibuk dengan jalur yang akan dilaluinya sepanjang perjalanan
nanti.
Kakyu tidak ingin membuang waktu terlalu lama di tempat ini tapi ia
harus menaati perintah Raja Alfonso untuk membawa serta pemuda yang
kemarin.
“Kapan kita berangkat, Perwira?”
“Tunggu sebentar,” kata Kakyu.
“Bagaimana kalau orang itu lupa?” Kolonel mulai khawatir.
“Tidak akan,” kata Kakyu yakin.
Waktu saat ini memang belum menunjukkan pukul setengah empat pagi,
waktu yang dikatakan Kakyu pada pemuda itu.
Karena pasukan pejalan kaki lebih lambat daripada pasukan berkuda,
Kakyu sengaja melakukan ini semua.
Dengan berangkat setengah jam lebih dulu, pasukan pejalan kaki tidak
akan ketinggalan terlalu jauh dari pasukan berkuda yang akan menyusulnya.
Belum lama waktu berselang, Kolonel sudah semakin khawatir, “Perwira,
mengapa lama sekali?”
“Sabar,” kata Kakyu singkat, “Tunggu sampai pukul setengah empat.”
“Setengah empat?” ulang Kolonel.
“Kita harus memberi kesempatan pada pasukan pejalan kaki untuk
mencapai jarak sejauh mungkin sehingga kita tidak perlu berjalan lambat
untuk menyamai langkah mereka,” Kakyu memberi penjelasan.
“Saya mengerti,” kata Kolonel setelah merenungkan kata-kata Kakyu.
Kakyu mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya dan ia mengamati
kertas itu. Setelah mempelajari peta itu sekali lagi, Kakyu memanggil Kolonel
Abel.
“Ada apa, Perwira?” tanyanya kebingungan bercampur harapan.
Dari nada suaranya, Kakyu tahu pria itu berharap akan disuruh
58
memanggil pemuda lainnya yang hingga kini masih belum muncul juga. Tapi
bukan karena itu Kakyu memanggilnya.
“Aku harus menjelaskan rencana perjalanan ini kepadamu,” kata Kakyu
singkat.
Kakyu memperlihatkan peta yang telah berisi coretan-coretannya. “Garis
ini merupakan jalan yang akan kita lewati. Hingga di perbatasan Chiatchamo,
kita masih melewati jalur biasa, tetapi tidak setelah itu. Kita akan memutar
sedikit.”
“Bukankah itu akan memperlambat kedatangan kita, Perwira?”
Kakyu hanya tersenyum. “Karena itu aku memerintahkan pasukan
pejalan kaki berjalan terlebih dahulu,” katanya.
“Anda tadi hanya memerintahkan kepada mereka untuk menanti di
perbatasan Chiatchamo. Bagaimana mereka dapat berjalan dahulu? Mereka
bahkan tidak tahu rute yang akan kita ambil.”
Sekali lagi Kakyu hanya tersenyum simpul – hampir tak kentara
mendengar kebingungan Kolonel Abel.
“Untuk itulah aku memanggilmu.”
Kolonel Abel semakin dibuat bingung karenanya. “Maksud Anda,
Perwira?”
“Daripada engkau cemas di sini, lebih baik engkau menyusul pasukan
infanteri dan memimpin mereka melalui jalur dalam peta ini.”
Kolonel Abel memperlajari peta itu sebelum pada akhirnya ia berkata,
“Baik, Perwira.”
Entah apa yang membuat Kolonel itu begitu bersemangat, Kakyu tidak
tahu.
Ia hanya dapat menduga, Kolonel itu ingin mengikuti pertempuran yang
sebenarnya. Atau mungkin juga ia ingin bertemu saudaranya yang telah dikirim
ke sana duluan.
Kakyu tidak mau memikirkannya dan ia tidak tertarik untuk
melakukannya. Saat ini yang menjadi pusat pikiran Kakyu hanya bagaimana
mencapai Pegunungan Alpina Dinaria tanpa diketahui Kirshcaverish.
Serta bagaimana menghadapi ketimpangan situasi ini tanpa membuat
seorangpun tahu rahasia yang disimpannya sejak pertama kali ia mengetahui
perkemahan mereka.
Tak lama setelah menerima peta itu, Kolonel Abel segera melesat dengan
kudanya.
Setelah kepergian Kolonel, Kakyu mempersiapkan pasukan kavaleri yang
masih berada di halaman Istana.
Ketika pada akhirnya dari dalam Istana muncul orang yang dinanti-
nantikan Kakyu, seluruh pasukan kavaleri telah siap berangkat.
“Ke mana pasukan lainnya, Kakyu?”
59
Kakyu yang tidak menduga Raja Alfonso akan mengantar kepergian
pemuda itu, dengan cepat menjawab, “Mereka telah berangkat, Paduka.”
“Sepertinya aku sebaiknya tidak menahanmu lebih lama lagi di sini,”
kata Raja Alfonso sambil mengawasi pasukan kavaleri yang sudah siap di
punggung kuda masing-masing.
“Kalian telah siap berangkat,” kata Raja Alfonso memberi pendapat.
Kemudian pada pemuda di sampingnya ia berkata, “Dan engkau juga harus
segera bersiap-siap.”
“Aku sudah siap,” protes pemuda itu, “Aku hanya perlu menanti kudaku
siap.”
“Kuda Anda telah siap dari tadi,” Kakyu memberitahu.
Dengan pandangan matanya, ia menunjukkan kuda coklat yang sejak
tadi memang telah menanti pemuda itu.
“Terima kasih,” pemuda itu berkata sambil lalu.
“Kuserahkan keselamatannya padamu, Kakyu,” kata Raja Alfonso.
“Saya mengerti, Paduka.”
Seperti pemuda itu, Kakyu segera duduk di punggung kudanya.
Tanpa berkata apa-apa, ia berangkat diiringi pemuda itu serta pasukan
yang telah mendapat petunjuk darinya.
Mulanya kedua orang itu tidak berkata apa-apa.
Kakyu tidak terganggu oleh situasi itu. Sebaliknya ia merasa tenang
dalam pikirannya yang kacau balau.
Lain lagi halnya dengan pemuda yang berkuda di samping Kakyu. Ia
merasa sangat tidak nyaman didiamkan seperti ini hingga ingin rasanya ia
segera melihat pasukan lainnya dan berkumpul dengan para Perwira lainnya.
Tetapi anehnya mereka seperti tidak segera menyusul pasukan yang
telah berangkat walau mereka berjalan cukup cepat.
Pikiran itu membuatnya tidak tahan lagi untuk bertanya, “Mengapa kita
tidak melihat pasukan lainnya?”
“Mereka telah jauh.”
Jawaban singkat itu tidak memuaskan pemuda itu. “Apakah benar
pasukan yang pergi bersama kita bukan hanya ini saja?”
Kakyu mengangguk.
Pemuda itu diam lagi. Ia tidak tahu bagaimana membuat suatu
percakapan yang tidak hanya menghasilkan jawaban singkat, pendek dan
tenang lagi.
“Apakah engkau tidak tertarik untuk mengetahui siapa diriku?”
pancingnya.
Sekali lagi Kakyu hanya menggerakkan kepalanya sebagai jawabannya.
“Tidak?” pemuda itu keheranan.
“Mengapa harus?” Kakyu balas bertanya.
60
“Karena kita akan bekerjasama sepanjang perjalanan menuju Hutan
Naullie ini, Kakyu,” kata pemuda itu, “Benarkah itu namamu?”
Seperti telah mengetahui jawabannya, pemuda itu tidak menanti
jawaban Kakyu. Ia berkata, “Engkau dapat memanggilku Adna.”
Kakyu tetap diam.
Adna mulai jengkel. “Apakah engkau tidak dapat berbicara?”
Kakyu bukannya menjawab malah mengeluarkan secarik kertas dari
sakunya dan mempelajarinya.
Adna masih belum mengenal Kakyu yang memang sukar diganggu
ketenangannya terutama bila ia sedang memikirkan suatu masalah dengan
serius.
Merasa diacuhkan, Adna berdiam diri juga. Tapi hal itu tidak bertahan
lama.
Ketika mereka akhirnya mencapai perbatasan Chiatchamo, Kakyu
mengambil jalan menuju Parcelytye.
Prajurit lainnya yang telah mengetahui rencana Kakyu, tetap mengikuti
pemuda itu. Tapi tidak dengan Adna yang tidak tahu apa-apa.
“Engkau salah jalan,” katanya memberitahu.
“Tidak,” jawab Kakyu, “Jalan kita sudah benar.”
“Benar apanya?” Adna menampakkan kejengkelan yang selama ini
dipendamnya. “Sudah jelas jalan yang kita lalui ini menuju ke Parcelytye bukan
ke Pegunungan Alpina Dinaria, tetapi engkau masih tenang-tenang saja.
Sekarang saatnya engkau menjelaskan semua ini padaku.”
Perintah tegas itu tidak membuat ketenangan Kakyu buyar. “Ikuti saja,”
katanya tenang.
Mata Adna menyipit. Ia mencari-cari sesuatu di wajah tenang Kakyu.
“Percuma memang berbantah denganmu,” keluhnya, “Mereka semua
benar. Engkau sangat misterius.”
Kakyu tidak menanggapi apa-apa.
Ia tetap diam ketika mereka akhirnya melihat pasukan infanteri di depan
kejauhan.
Entah siapa yang mendahului, Kakyu tidak tahu dan ia tidak mau tahu.
Tetapi yang jelas, tiba-tiba saja pasukan infanteri yang mendengar derap kaki
kuda dalam jumlah banyak, berhenti. Sementara itu pasukan kavaleri
mempercepat lajunya.
Kakyu tidak berkata apa-apa. Ia membiarkan kelima ratus pasukan yang
dibawahinya melaju mendahuluinya hanya untuk menyusul kawan mereka.
Adnapun tidak mau ketinggalan. Ia tidak mau terlalu lama berada di
dekat Kakyu yang hanya dapat membuatnya merasa tidak enak. Adna ingin
mencari Perwira lain yang diyakininya tidak sedingin Kakyu.
Niat pertama Adna memang itu tetapi ketika melihat Kakyu tetap
61
berjalan santai walau telah ditinggal pasukannya, ia memilih menemani
pemuda itu. Ia merasa kasihan melihat pemuda yang dirasanya tak jauh lebih
tua dari adiknya itu sendirian.
“Engkau tidak merasa kesepian ditinggalkan pasukanmu?” tanya Adna –
kembali berusaha membuka percakapan.
Tetapi jawaban yang didapatnya tidak memuaskannya. Kakyu hanya
berkata singkat, padat, jelas dan yang pasti tetap dengan ketenangannya.
“Tidak,” katanya.
“Tidak dapatkah engkau berbicara lebih banyak?” tanya Adna kesal.
“Tergantung.”
“Tergantung bagaimana?” Adna tidak mengerti, “Sudah jelas dalam
perjalanan apalagi di Hutan Naullie nanti engkau tidak dapat bertenang-tenang
seperti ini. Tergatung apanya yang kaumaksudkan? Kalau tergantung keadaan
seharusnya engkau mengerti saat ini engkau harus berbicara panjang lebar.
Entah menjelaskan rencanamu yang aneh itu maupun dalam mengatur
pasukan.”
Dasar pemuda yang pendiam dan selalu tenang dalam dunianya sendiri,
Kakyu diam saja mendengar ceramah panjang lebar itu.
Keinginan Adna untuk menemani pemuda itu pun hilang karena sikap
pemuda itu yang tetap memilih berdiam diri daripada menjelaskan apapun.
Adna mendahului pemuda yang tetap berkuda santai.
Kakyu memang tidak peduli apakah saat ini ia sendirian atau tidak.
Hanya satu yang ada dalam pikirannya saat ini. Bagaimana mencapai
Pegunungan Alpina Dinaria tanpa diketahui Kirshcaverish?
Kakyu sangat yakin setelah peperangan kecil yang sering terjadi di dalam
Hutan Naullie, Kirshcaverish akan mengirimkan sejumlah pasukannya untuk
menghadang bala bantuan yang akan dikirim dari pusat Kerajaan Aqnetta,
Chiatchamo.
Lebih baik memutar jalan yang jelas akan menghabiskan waktu lebih
lama dari yang seharusnya daripada mengurangi jumlah pasukan yang ada.
Jumlah anggota Kirshcaverish dibandingkan pasukan Kerajaan Aqnetta
yang telah ada di Hutan Naullie maupun yang sedang dalam perjalanan ini,
memang tidak ada apa-apanya.
Tetapi dengan jumlah Kirshcaverish yang lebih kecil daripada pasukan
Kerajaan Aqnetta, bukan berarti pasukan Kerajaan Aqnetta akan memenangkan
pertempuran ini.
Bila Kirshcaverish memanfaatkan posisi mereka yang sangat
menguntungkan, yaitu di tengah Hutan Naullie yang sangat lebat, maka itu
menjadi kelemahan terbesar bagi pasukan Kerajaan Aqnetta.
Pasukan Kerajaan Aqnetta memang kuat tetapi tidak cukup kemampuan
untuk menghadapi Kirshcaverish. Mereka belum pernah berlatih di dalam
62
hutan. Dan kini tiba-tiba mereka harus menghadapi pertempuran yang sangat
jelas medannya tidak dikenal dan sangat rawan.
Kirshcaverish pasti mengetahui kelemahan ini dan memanfaatkannya
untuk menghancurkan pasukan Kerajaan Aqnetta. Kakyu yakin akan itu. Tapi
Kakyu tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Seperti pasukan Kerajaan Aqnetta yang tidak mengetahui letak markas
mereka, Kirshcaverishpun tidak tahu markas mereka telah diketahui
keberadaannya oleh Kakyu.
Kakyu tidak yakin apakah kelompok itu tetap di tempat yang sama atau
pindah. Tapi Kakyu yakin mereka tidak akan pindah jauh. Kalaupun mereka
pindah, mereka pasti tetap mendirikan perkemahan di tepi sungai yang sama.
Bayangan peperangan yang semakin dekat tidak membuat Kakyu gentar.
Bila Kakyu tidak gentar harus memimpin sejumlah besar pasukan dalam
usianya yang masih muda ini, ia juga tidak akan gentar bila harus menghadapi
peperangan itu.
Sejak dulu Kakyu tahu peperangan ini akan terjadi dan tidak akan ada
yang dapat menghentikannya.
Peperangan ini harus terjadi untuk mempertahankan keutuhan dan
keamanan Kerajaan Aqnetta yang selama ini ada.
Tidak seperti pasukan lainnya, Kakyu telah mengetahui medan
pertempuran yang akan menjadi tempat pertempuran mereka bahkan mungkin
menjadi tempat kematian mereka.
Bayangan kematian pun tidak membuat Kakyu takut.
Kakyu memilih maju ke garis depan daripada menjadi Kepala Keamanan
Istana bukan tanpa perhitungan.
“Perwira!”
Panggilan itu menghentikan pikiran Kakyu yang melayang-layang tanpa
tujuan pasti.
Kolonel Abel mendekat dengan terburu-buru. “Perwira, apa yang harus
kita lakukan?”
“Mengikuti rencana semula,” jawab Kakyu.
“Saya mengerti, Perwira,” kata Kolonel Abel, “Tapi apa yang harus kita
lakukan terhadap para prajurit itu. Mereka semua kebingungan. Banyak dari
mereka yang terus bertanya-tanya mengapa kita mengambil jalan ke
Parcelytye ini bukan yang langsung menuju Hutan Naullie.”
“Kolonel,” kata Kakyu, “Panggil semua Kapten.”
Walau tidak mengerti maksud Kakyu, Kolonel Abel tetap berkata, “Baik,
Perwira.”
Kakyu tetap tidak berpindah dari tempatnya sampai Kolonel Abel datang
dengan tiga Kapten yang tadi pagi. Bersama mereka juga ikut Adna.
Kakyu yakin pemuda itu tidak akan mau disuruh pergi. Pemuda itu pasti
63
ingin mengetahui rencananya.
Siapapun dia dan apa hubungannya dengan Raja Alfonso, Kakyu tidak
tertarik untuk mengetahuinya. Apapun yang akan dilakukan pemuda itu,
selama tidak mengacaukan rencananya, Kakyu tidak mau memikirkannya.
“Kita akan beristirahat sebentar di sini sementara aku menjelaskan
rencanaku pada kalian,” kata Kakyu.
“Baik, Perwira.”
Ketiga Kapten itu pergi lagi untuk mengatur pasukan mereka. Tak lama
kemudian mereka kembali lagi.
Kakyu membawa mereka agak menjauhi kedua ribu pasukan yang
sedang beristirahat itu.
“Kolonel, petanya?” kata Kakyu yang segera ditanggapi Kolonel Abel
dengan mengeluarkan secarik peta dari sakunya.
Kolonel Abel menyerahkan peta itu pada Kakyu yang segera
membentangkannya lebar-lebar di hadapan mereka.
“Kita akan mengikuti jalur seperti garis ini.”
“Apa engkau sudah gila?” sahut Adna, “Perjalanan ini bukannya
mempercepat kedatangan bala bantuan ini malah akan memperlambatnya.
Apakah engkau ingin pasukan kita yang berada di Hutan Naullie hancur
sebelum kita datang?”
Kakyu menatap tenang wajah pemuda itu. “Bila kita mengikuti jalur
biasanya yang lebih cepat, kita akan hancur terlebih dulu sebelum mencapai
Farreway. Kirshcaverish tidak akan membiarkan bala bantuan tiba di sana.
Sementara itu jalan yang akan kita lewati bila kita mengikuti jalur biasa,
melalui tepi hutan itu.”
“Bila Anda ingin kita mendapatkan serangan dari Kirshcaverish sebelum
kita mencapai perkemahan pasukan garis depan, lalui saja jalan yang
biasanya,” tambah Kakyu dengan tenang.
Kemudian Kakyu melanjutkan menjelaskan rencananya – tanpa
menghiraukan Adna yang masih tidak mengerti dengan sikapnya maupun
rencananya.
“Kita tidak akan melalui Parcelytye, tapi kita akan sedikit membelok ke
timur di dekat kota itu. Kemudian kita akan berjalan ke arah timur laut menuju
Chnadya. Dari sana, kita langsung bergerak ke arah barat langsung menuju
Farreway.”
“Perjalanan ini akan membutuhkan waktu yang lama Perwira,” kata
Kolonel Abel.
“Aku tahu dan aku telah memperhitungkannya,” kata Kakyu, “Seperti tadi
pagi, pasukan infanteri akan berjalan terlebih dulu baru pasukan kavaleri
mengikuti di belakang. Dengan cara seperti ini, aku memperhitungkan kita
akan tiba dalam empat hari.”
64
“Apakah itu tidak terlalu lama, Perwira?” tanya Kapten Simpsons.
“Tidak.”
“Bagaimana kalau kekhawatiran Adna terbukti?” tanya Kapten Gwen.
“Tidak akan,” Kakyu mulai bersikap misterius.
“Maksud Anda, Perwira?” tanya Kolonel Abel.
“Perhatian mereka saat ini terpusat pada kita,” kata Kakyu – tetap
berteka-teki.
“Ketika prajurit utusan dari Naullie itu datang, ia dalam keadaan yang
terluka. Menurut pengakuannya, beberapa orang yang pasti suruhan
Kirshcaverish, mencoba untuk menghentikannya. Kirshcaverish pasti akan
segera memusatkan perhatian mereka di sekitar Hutan Naullie, sepanjang
perjalanan dari Chiatchamo ke Farreway untuk menghentikan kita. Pasukan
lainnya yang ada di Naullie tidak akan mereka hiraukan. Mereka pasti tahu
pasukan kita yang sudah ada di Naullie tidak mampu lagi menahan serangan
mereka. Karena itulah kita datang. Saat ini kita yang mereka takuti, bukan
pasukan yang ada di Naullie. Sampai kita datang nanti, pasukan lainnya akan
aman.”
“Apakah pikiranmu sesempit itu?” Adna kembali menentang Kakyu,
“Bagaimana kalau mata-mata mereka tahu kita memutar?”
“Tidak akan,” kata Kakyu tenang, “Rencana ini baru kupersiapkan
kemarin malam. Dan mata-mata mana yang akan mengintai pasukan yang ia
yakini akan melalui jalur biasanya? Kalaupun mereka tahu, mereka pasti tidak
akan menghancurkan pasukan di Naullie. Mereka pasti juga akan mengirim
pasukan mereka menjemput kita di Farreway sebelum kita memasuki kota itu.”
“Kirshcaverish cukup pintar untuk mengetahui apa yang harus mereka
lakukan. Kirshcaverish tidak akan menghabiskan pasukan mereka walau yang
mati hanya satu orang demi menghancurkan pasukan di Naullie. Mereka pasti
akan memilih menghancurkan bala bantuan ini daripada menghabiskan
pasukan di sana. Pasukan di Naullie telah berada dalam tangan mereka dan
sangat mudah mereka hancurkan tetapi tidak demikian halnya dengan kita.”
“Mengerti?” kata Kakyu tenang.
Kolonel Abel tersenyum. “Sangat mengerti, Perwira. Tak heran Raja
Alfonso mengagumi Anda.”
“Dengan kita memutar seperti ini, kita tidak hanya memberi kesempatan
pada pasukan di Naullie untuk memulihkan keadaan mereka tetapi juga
membuat peperangan berhenti untuk sementara waktu,” kata Kapten Gwen.
“Sebaiknya kita tidak memperlambat lagi,” kata Kapten Perrier, “Kita
harus segera berangkat agar segera sampai di Naullie.”
“Perwira?” Kolonel Abel meminta persetujuan Kakyu atas rencana ketiga
Kapten itu.
“Lakukan saja,” kata Kakyu singkat.
65
Ketiga Kapten itu segera menuju pasukan mereka dan mulai mengatur
pasukan itu.
“Bagaimana dengan pasukan yang kebingungan dengan rencana Anda
ini, Perwira?” kata Kolonel Abel.
“Sebaiknya mereka diberitahu juga tapi tidak keseluruhan.”
“Baik, Perwira.” Kolonel Abel juga segera meninggalkan tempat itu.
Sekarang tinggallah Kakyu dan Adna yang masih berada di tempat itu.
Adna tidak ingin meninggalkan Kakyu sendiri. Ia masih ingin memperjelas
semuanya. “Katakan kepadaku apa yang akan kaulakukan kalau semua
pikiranmu itu salah.”
“Kalau aku salah, maka aku bersalah juga pada pasukan yang ada di
Naullie.”
Ketenangan Adna membuat Kakyu tidak sabar untuk bertanya. “Apakah
sikapmu selalu tenang-tenang seperti ini?”
“Apakah itu salah?”
“Tidak,” sahut Adna, “Hanya saja sikapmu itu sangat mengangguku. Aku
tidak pernah melihat seorang pemuda sediam dan setenang engkau. Engkau
membuatku ingin tahu apakah engkau akan tetap tenang bila ada meriam
jatuh di sampingmu.”
Kakyu hanya tersenyum.
“Tidak ada yang menjadi masalah lagi, bukan?”
“Maksudmu?”
“Mengenai rencanaku.”
“Masih ada. Aku khawatir kalau dugaanmu itu salah.”
“Jangan khawatir. Aku telah memperhitungkannya semalaman.”
“Engkau sangat yakin sekali,” komentar Adna.
“Kalau aku tidak yakin, aku tidak akan melakukannya.”
Kakyu meninggalkan pemuda itu.
Adna mengikuti pemuda itu. “Tak kuduga engkau ternyata bisa berbicara
cukup banyak juga.”
Kakyu yang telah kembali pada sikap tenangnya, hanya diam.
Diam-diam Adna mengagumi Kakyu. Ia merasa tidak salah kalau setiap
gadis di Kerajaan Aqnetta sering memuji pemuda itu.
Kecerdasan dan ketangguhan pemuda itu telah diakui Raja Alfonso tetapi
ia masih belum dapat sepenuhnya mengakui hal itu.
Ia masih merasa pemuda itu terlalu muda untuk memimpin pasukan
sebanyak ini. Kecerdasan pemuda itu memang patut diberi pujian tetapi
pemuda itu terlalu yakin dengan pikirannya.
Kakyu terlalu yakin dengan pendiriannya sementara Adna khawatir
keyakinan Kakyu itu salah.
Bila keyakinan itu salah, bisa jadi Kerajaan Aqnetta kehilangan Jenderal-
66
Jenderal terbaiknya yang dikirim ke sana untuk menanggulangi serangan
Kirshcaverish.
Dari Kolonel Abel dan para Kapten itu, Adna tahu Kakyu sangat pendiam
dan hanya berbicara bila perlu saja. Selebihnya ia akan diam dan tampak
dingin dalam ketenangannya.
Tapi itulah yang menyebabkan ia tampak semakin menarik.
Sikapnya yang dingin-dingin tenang kadang-kadang tampak misterius. Di
balik semua itu pemuda itu menyimpan keramahannya. Seperti ia menyimpan
ketangguhan dan kecerdasannya di balik tubuh mudanya.
Untuk sementara waktu ini, Adna merasa lebih baik membiarkan pemuda
itu menjalankan rencananya.
Pikiran Kakyu memang tidak salah, tetapi pikiran Adna juga tidak salah.
Mana yang benar antara keduanya akan terbukti bila mereka telah tiba di
Naullie.
Apakah pasukan Kerajaan Aqnetta di Naullie tetap utuh ataukah pasukan
itu telah habis ketika mereka tiba?
Saat ini tidak ada yang dapat menebaknya.
Kakyu yang sangat yakinpun tidak dapat menebaknya.
Pasukan kavaleri yang dibawahi Kakyu sendiri masih tetap tinggal di
tempat itu sampai satu jam lamanya.
Ketika akhirnya Kakyu memerintahkan pasukan kavalerinya bersiap-siap,
matahari baru terbit.
Pukul tujuh pagi Kakyu dan pasukannya baru meninggalkan tempat itu.
Pasukan kavaleri sudah tidak terlalu kebingungan lagi. Mereka telah
mengetahui rencana Kakyu dan mereka percaya seperti tadi, mereka juga akan
bertemu pasukan lainnya.
Mereka terus berjalan seperti itu.
Setelah satu jam atau lebih pasukan pejalan kaki berjalan, pasukan
kavaleri juga berangkat dengan santai.
Hingga mereka mendekati Chnadya, hubungan antara pasukan itu
dengan Kakyu semakin dekat. Pasukan itu mulai mengenal sifat Kakyu.
Ternyata tidak semua yang mengerti Kakyu. Masih ada yang tidak
percaya apa yang dikatakan semua orang mengenai diri Kakyu. Yang paling
tampak jelas adalah Adna.
Adna tidak percaya Kakyu setenang itu.
Entah berapa kali ia menguji Kakyu. Segala macam usaha mulai dari
berbicara biasa sampai yang mengajak bertengkar dilakukannya untuk
membuyarkan ketenangan Kakyu.
Tetapi Adna tidak tahu sejak kecil Kakyu telah dilatih untuk menjaga
ketenangan sikap maupun perasaannya.
“Sebaiknya engkau berhenti berusaha menganggu ketenangan Perwira,”
67
Abel memberi nasehat.
“Putri Eleanor yang cantikpun tidak dapat membuat ketenangan Perwira
buyar apalagi engkau,” kata Perrier, “Perwira Kakyu terlalu tenang untuk
diganggu gadis manapun.”
“Tidak heran kalau ia tetap dapat menjalankan tugasnya dengan baik
walau setiap hari gadis-gadis di Istana Vezuza berusaha menganggunya.
Mereka semua diperlakukan Perwira Kakyu hanya sebatas kawan, tidak lebih.
Bahkan kepada Putri Eleanorpun sikapnya tetap sangat sopan,” tambah
Simpsons.
Walaupun telah mendapat nasehat itu, Adna tetap tidak berhenti
berusaha meruntuhkan ketenangan Kakyu.
Dari pagi sampai malam Adna terus berusaha meruntuhkan ketenangan
Kakyu.
Kakyu sendiri tidak mempedulikannya. Ia hanya peduli pada perjalanan
mereka yang semakin mendekati Farreway.
Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai Chnadya ternyata lebih singkat
dari yang diperhitungkan Kakyu.
Kakyu tahu itu semua karena pasukannya yang tidak sabar ingin segera
membanatu kawan mereka.
Di pagi hari mereka berangkat pukul empat bahkan kurang dari pukul
empat pagi. Mereka terus berjalan dan baru berhenti hanya bila kedua pasukan
yang waktu keberangkatannya berbeda itu bertemu.
Setelah berhenti satu jam atau lebih, mereka kembali melanjutkan
perjalanan.
Setelah langit gelap mereka baru berhenti untuk beristirahat.
Melihat semangat pasukannya, Kakyu yang telah menentukan tempat-
tempat mereka untuk beristirahat di malam hari, terpaksa mencari tempat
baru yang lapang untuk mendirikan tenda.
Semakin mendekati Farreway, kedua ribu pasukan itu semakin tidak
sabar menghadapi pertempuran mereka walau mereka juga ngeri
membayangkan pertempuran yang akan terjadi.
Sebaliknya Kakyu tetap tampak tenang. Dan itu membuat Adna semakin
heran.
Di saat pasukannya semakin tidak sabar sekaligus khawatir, Kakyu
sebagai pemimpinnya tetap tampak tenang.
Walaupun Kakyu ingin memberi contoh kepada pasukannya, tetapi
sikapnya itu tampak sangat tidak wajar di mata Adna.
Bagi orang yang belum pernah bertempur, pasti pertempuran yang
pertama kalinya akan membuatnya bersemangat sekaligus gugup.
Tapi Kakyu yang masih muda sama sekali tidak tampak gugup. Ia tetap
tampak tenang.
68
Adna percaya pemuda itu juga tampak gugup tetapi ia tidak mau
menunjukkannya. Sama seperti dirinya yang juga tidak mau menunjukkan
kekhawatirannya akan keadaan di Naullie.
Tak heran ketikat melihat Kakyu berjalan sendirian di lapangan tempat
mereka mendirikan tenda di sekitar Chnadya, Adna mengikuti pemuda itu.
Adna ingin tahu apa yang akan dilakukan pemuda itu. Tepatnya apa yang
dilakukan pemuda itu untuk mengatasi kegugupannya menghadapi perang
pertamanya.
Melihat pemuda itu berdiri di bayang-bayang sebatang pohon besar
sambil menatap langit, Adna heran.
Pemuda itu tampak tenang. Tidak tampak kegugupan di wajahnya.
Matanya menatap langit seolah-olah ia mengagumi bintang-bintang yang
bertaburan di sana.
Kakyu segera berbalik ketika mendengar langkah-langkah yang
mencurigakan.
“Jangan khawatir ini aku,” kata Adna sambil mengangkat kedua
tangannya.
Tanpa berkata apa-apa, Kakyu kembali melihat langit malam.
“Apakah ada yang kaupikirkan?” tanya Adna.
“Tidak.”
“Lalu mengapa engkau menatap langit seperti sedang berpikir?” kata
Adna, “Apakah engkau gugup seperti pasukan lainnya?”
Sekali lagi Kakyu membantah Adna.
“Lalu mengapa engkau di sini?”
“Tidak ada apa-apa,” kata Kakyu tenang.
“Apakah engkau selalu setenang ini?” tanya Adna, “Engkau tidak jauh
lebih tua dari adikku dan aku sangat yakin ini pertempuran pertamamu.
Walaupun Raja sering mengujimu tetapi tetap saja engkau masih muda. Kalau
adikku yang berada dalam situasi ini, ia pasti sudah akan gugup bahkan
ketakutan.”
“Percaya atau tidak, aku sama sekali tidak mengkhawatirkan diriku.”
“Lalu mengapa engkau di sini?”
“Aku sudah mengatakannya.”
“Apakah engkau tidak mengkhawatirkan keselamatanmu?”
“Aku lebih mengkhawatirkan keselamatan yang lain.”
“Bagaimana dengan ayahmu? Apa yang akan terjadi pada keluarga
Quentynna bila engkau sebagai satu-satunya anak laki-laki mereka,
meninggal?” pancing Adna, “Engkau tahu engkau satu-satunya penerus
ayahmu.”
Tak sepatah katapun yang keluar dari mulut Kakyu.
Kediaman itu membuat Adna menduga ia telah berhasil meruntuhkan
69
ketenangan Kakyu walau hanya sedikit.
“Apakah ada alasan lain?” tanya Adna senang.
“Sebaiknya engkau pergi tidur.”
Mata Adna menyipit karenanya. “Engkau mengusirku?”
Kakyu diam saja.
“Kalau engkau ingin mengusirku, engkau harus berpikir dua kali,” Adna
memperingatkan, “Tidak mudah menyuruhku.”
“Engkau tahu besok kita akan berangkat pagi-pagi. Dan bila aku tidak
salah menghitung, kita akan tiba di Farreway pada sore hari.”
“Jangan menasehati orang lain sebelum engkau melakukannya.”
Tanpa berkata apa-apa, Kakyu meninggalkan pohon itu beserta Adna.
Adna segera menyusul Kakyu.
“Engkau marah padaku?” tanyanya sambil menarik lengan Kakyu.
Seperti dulu, Kakyu menyentakkan tangannya dari pegangan Adna.
“Tidak,” katanya tenang.
“Sikapmu persis seperti adikku kalau ia sedang marah,” Adna
memberitahu.
“Aku harus kembali ke tendaku,” kata Kakyu.
“Mungkin sebaiknya begitu,” kata Adna.
Tanpa banyak bicara lagi, Kakyu meninggalkan Adna menuju tendanya.
Paginya Kakyu mengubah sedikit rencananya. Mereka tetap berangkat
pagi seperti biasanya, tetapi kali ini pasukan infanteri dan pasukan kavaleri
berjalan bersama.
Seperti perhitungan Kakyu, mereka tiba di Farreway pada sore hari.
Dengan sedikit khawatir dan senang, pasukan itu semakin mempercepat
jalan mereka menuju Hutan Naullie.
Kakyu yang memimpin di depan bersama Kolonel Abel dan Kapten
lainnya, juga mempercepat jalan mereka.
Ketika tenda-tenda pasukan Kerajaan Aqnetta mulai terlihat di kejauhan,
Kakyu mendengar para prajurit di belakangnya bersorak senang.
Adna merasa setiap pasukan senang telah berhasil mencapai Hutan
Naullie dengan selamat. Ia sendiri juga merasa sangat senang. Tak heran kalau
ia merasa heran melihat Kakyu tetap tampak tenang.
“Jangan kebingungan seperti itu,” kata Kapten Gwen, “Semua orang
mengatakan Perwira Kakyu tidak mudah terbawa suasana.”
Adna menghiraukan perkataan itu dan terus melihat wajah tenang Kakyu
walau mereka semakin mendekati perkemahan.
70
6
95
8
Seruan tegas itu membuat mereka berpaling pada Jenderal Reyn yang
entah sejak kapan telah berdiri di dekat mereka.
“Tapi…”
Belum sempat Kakyu menyelesaikan kata-katanya, Jenderal Reyn telah
berkata tegas, “Sekali aku mengatakan ‘Tidak!’ selamanya tetap ‘Tidak!’.”
Kakyu tidak mau berhenti berusaha demi kakaknya, Joannie. “Kita
memerlukan seorang wanita untuk merawat luka prajurit yang terluka
sementara kita memperkuat benteng kita.”
“Kakyu benar,” baru kali ini Adna mendukung Kakyu, “Kita memang
membutuhkan seorang wanita. Kita tidak mungkin bisa merawat mereka
setekun para wanita. Joannie bisa membantu tugas itu.”
“Tidak bisa!” Jenderal Reyn tetap berpegang pada keputusan awalnya,
“Keadaan di luar terlalu bahaya bagi Joannie.”
“Jangan khawatir, Reyn,” Jenderal Decker yang telah berjanji tidak
mencampuri urusan Jenderal Reyn dengan putrinya selama berada di sini, turut
membujuk, “Di dalam benteng ini kita mempunyai lebih dari dua ribu seratus
pasukan. Ditambah benteng yang kuat, Joannie akan tetap aman.”
“Saya mengerti kekhawatiran Anda, Jenderal,” Adna memperkuat kata-
kata Jenderal Decker, “Kita tidak mungkin tidak dapat melindungi seorang
wanita dengan pasukan sebanyak ini.”
Kakyu merasa tidak perlu berusaha membujuk ayahnya lagi. Adna dan
Jenderal Decker telah membuat ayahnya bingung menentukan keputusannya.
“Aku telah berjanji padamu untuk tidak mencampuri segala keputusan
yang kaubuat untuk Joannie selama berada di sini,” kata Jenderal Decker,
“Tetapi kali ini pikirkan permintaan ini. Aku mengerti engkau mengkhawatirkan
keselamatan putrimu, tetapi tenaga putrimu diperlukan untuk merawat prajurit
yang terluka.”
Kakyu mendapatkan gagasan lain. “Kalau Papa mau, kita bisa menyuruh
beberapa prajurit membantu Joannie sekaligus menjaganya.”
Jenderal Reyn menatap lekat-lekat wajah putranya.
Ide menyuruh Joannie merawat pasukan yang terluka memang tepat.
Joannie bisa merawat mereka dengan bantuan beberapa prajurit lain yang juga
akan menjaganya. Sementara itu prajurit lainnya akan memperkuat benteng
mereka.
Bila mereka telah siap menyerbu Kirshcaverish atau mungkin juga
sebaliknya, Kirshcaverish menyerbu benteng mereka, mereka telah siap dan
96
benteng mereka akan cukup kuat untuk menahan serangan musuh.
Di samping itu, bila Jenderal Reyn tetap bersikeras dengan keputusannya
itu, ia tidak pantas disebut Jenderal yang tangguh. Demi keselamatan putrinya,
ia membiarkan para prajurit yang terluka tetap terluka.
Tidak ada yang dapat dilakukan Jenderal Reyn selain menyetujui usul itu.
Jenderal Reyn tahu itu. “Baiklah, aku setuju.”
Jenderal Decker tersenyum puas. “Aku akan memilih beberapa prajurit
yang akan membantu sekaligus menjaga Joannie.”
Sepeninggal Jenderal Decker, Jenderal Reyn berkata, “Aku tidak tahu
apakah gagasanmu ini benar atau tidak, tetapi aku yakin engkau
melakukannya dengan penuh perhitungan.”
“Tentu,” kata Kakyu sambil tersenyum.
Kakyu tidak tahu akan seperti apakah kakaknya nanti bila mengetahui
berita gembira ini.
“Kurasa engkau pasti ingin memberitahu berita ini kepada kakakmu.”
Kakyu tahu kakaknya akan lebih gembira kalau ayahnya yang
mengatakannya sendiri. “Lebih baik Papa sendiri,” katanya.
“Baiklah.”
Setelah Jenderal Decker, Jenderal Reyn pun meninggalkan Kakyu dan
Adna.
Kakyu tidak tahu sampai kapankah Adna akan mengikutinya. Ia hanya
tahu ia merasa terganggu karenanya.
Selama ini tidak ada orang yang selalu mengikuti Kakyu dan menganggu
ketenangannya. Kalaupun ada, Kakyu tidak merasa terganggu. Tetapi orang ini
lain. Entah apa yang diinginkannya, Kakyu tidak tahu tetapi sejak tadi ia
merasa tidak enak terus diikuti Adna. Kakyu tidak tahu apakah perasaannya
benar atau salah, tetapi sejak tadi ia merasa Adna mencurigainya.
Kakyu berharap itu hanya dugaannya saja. Mengenai Joannie, Kakyu
berharap dugaannya benar.
Dan memang itulah yang terjadi.
Sejak diijinkan meninggalkan tendanya, Joannie sangat senang.
Kakyu yang semula berniat menemui Joannie setelah mendengar berita
itu, ternyata tidak perlu melakukannya karena Joannie sendiri yang telah
menemuinya di tendanya.
“Aku senang sekali, Kakyu,” kata Joannie begitu melihat Kakyu, “Papa
mengijinkanku meninggalkan tenda.”
“Engkau keluar bukan untuk bersenang-senang,” Kakyu mengingatkan,
“Engkau harus merawat prajurit-prajurit yang terluka.”
“Aku mengerti, Kakyu,” kata Joannie, “Aku tidak akan lupa.”
Kakyu menyibukkan diri dengan barang-barang bawaannya.
“Aku sangat berterima kasih padamu, Kakyu.”
97
Kakyu pura-pura tidak mengerti. “Untuk apa?”
“Engkau telah membujuk Papa untuk merubah keputusannya.”
“Bukan aku yang melakukannya,” kata Kakyu, “Jenderal Decker dan
Adnalah yang membujuk Papa.”
Joannie membantahnya. “Kata Papa, engkaulah yang mula-mula
membujuknya.”
“Kuharap engkau senang.”
“Tentu saja. Aku tidak sabar membayangkan bisa bercakap-cakap dengan
Pangeran,” kata Joannie senang.
Kakyu melihat wajah Joannie semakin berseri-seri ketika membicarakan
Pangeran. Dan ia diam saja menekuni pekerjaannya – membersihkan panah
peraknya.
Hari-hari selanjutnya, Kakyu tetap menjadi pendengar yang baik bagi
cerita Joannie.
Setiap ada waktu, Joannie selalu menemui Kakyu dan menceritakan
segala sesuatu yang dilakukannya selama sehari itu. Tetapi tetap saja yang
paling banyak laporannya adalah perjumpaannya dengan Pangeran. Joannie
sering mengatakan Pangeran sering mengunjungi tenda Perawatan untuk
menanyakan keadaan para prajurit.
Dengan setianya, Kakyu mendengarkan kata-kata Joannie yang
semuanya diucapkannya dengan penuh perasaan cintanya. Bahkan di antara
kesibukannya, Kakyu masih mau mendengarkan cerita kakaknya, Joannie.
Kakyu mengerti selain dirinya, tidak ada lagi yang menjadi teman
Joannie.
Kalau di Quentynna House, tidak perlu diragukan lagi siapa yang menjadi
kawan Joannie. Dalam segala hal, Joannie selalu bersama Vonnie, Marie juga
Lishie. Keempat gadis itu selalu bermain bersama, bercanda bersama, bahkan
saling bercerita tentang segala hal.
Hanya Kakyu sendiri yang tidak pernah terlibat dengan kegiatan kakak-
kakaknya itu.
Kini tanpa Vonnie, Marie dan Lishie yang selalu menjadi teman bicara
Joannie, Joannie merasa kesepian. Hanya Kakyu satu-satunya teman bicaranya.
Jenderal Reyn, ayah mereka, tidak dapat diharapkan untuk menjadi
teman bicara yang baik di saat seperti ini. Kalau mereka di rumah, Jenderal
Reyn akan menjadi seorang ayah yang baik dan penuh pengertian. Tetapi tidak
demikian halnya di medan pertempuran seperti ini.
Dari setiap cerita Joannie, Kakyu mengetahui hubungan kakaknya
dengan Pangeran semakin dekat. Joannie juga mengatakan Pangeran tidak
hanya menanyakan keadaan prajurit yang terluka tetapi ia mulai bertanya
tentang keluarga mereka. Joannie dengan perasaan senang selalu menjawab
setiap pertanyaan Pangeran Reinald.
98
Melihat cara Joannie menceritakan Pangeran Reinald, Kakyu tahu
kakaknya sangat mencintai Pangeran Reinald.
Melihat kakaknya semakin hari tampak semakin bahagia, Kakyu merasa
senang. Kakyu merasa senang dapat membantu kakaknya yang disayanginya
itu.
Keadaan di sekitar benteng dan hutan Naullie yang tenang selama
beberapa hari terakhir ini memberikan angin baru bagi pasukan mereka.
Setiap hari Kakyu menerangkan keadaan Hutan Naullie kepada pasukan
dan menyusun rancangan benteng yang kuat.
Dengan banyaknya orang di benteng, dalam waktu singkat benteng
menjadi semakin kuat dibandingkan sebelumnya. Demikian pula pasukan
Kerajaan Aqnetta.
Pada benteng yang menghadap Hutan Naullie, menara pengintai
diperbanyak dan dilengkapi dengan pasukan pemanah. Pasukan pemanah itu
sendiri baru dibentuk beberapa hari terakhir ini.
Dengan bahan-bahan dari hutan, Kakyu dibantu prajurit lain, membuat
panah lengkap dengan anak panahnya.
Para Jenderal juga ambil bagian. Selain membantu Kakyu mengatur
pasukan, mereka juga terus menyusun rencana pembaharuan benteng di
samping rencana penyerbuan Kirshcaverish.
Kesibukan itu melupakan Kakyu pada perasaan tidak enak yang
ditimbulkan pemuda yang selalu mengikutinya itu.
Tetapi tidak demikian halnya dengan Adna. Pemuda itu tidak melupakan
kecurigaannya kepada Kakyu walau ia sendiri juga sibuk. Matanya selalu
mengawasi gerak-gerik Kakyu untuk mencari sesuatu yang salah pada Kakyu.
Adna tidak dapat memastikan apa itu. Tetapi ia tidak dapat mengingkari,
setiap melihat Kakyu, ia selalu merasa ada sesuatu yang salah pada pemuda
itu yang menyebabkannya tampak tidak cocok menjadi Perwira.
Adna yang asli telah mengatakan apa yang salah itu tetapi Adna palsu
tidak puas.
Berulang kali Adna asli mengatakan Kakyu tampak tidak cocok menjadi
Perwira karena tubuhnya yang lebih kecil dibandingkan pemuda lain seusianya.
Tapi tetap saja si Pangeran asli tidak puas.
Apa yang dapat dilakukan pengawal itu selain membiarkan majikannya
mencari sendiri jawaban kecurigaan-kecurigaannya itu?
Ketenangan yang muncul dalam beberapa hari terakhir ini, buyar pada
suatu pagi.
Entah apa yang menjadi sebabnya, tiba-tiba orang-orang di Tenda
Perawatan berteriak-teriak.
Mulanya tidak ada yang mencurigai hal itu hingga muncul seorang pria
sambil menodongkan sebilah pisau di leher Joannie.
99
Pasukan yang tidak siap menghadapi hal ini tidak dapat berbuat apa-apa
apalagi saat itu Joannielah yang digunakan sebagai tameng pria itu.
Sambil berjalan mundur, pria itu berseru, “Kalau kalian maju, aku akan
membunuhnya.”
Tidak ada yang berani berbuat apa-apa. Semua takut menghadapi
Jenderal Reyn kalau tahu putrinya terluka.
Kakyu yang sibuk membersihkan panah peraknya, mendengar keributan
itu dan segera keluar tendanya. Pandangan mata Kakyu segera menangkap
kekacauan yang terjadi di sekitar Tenda Perawatan.
Pria tak dikenal itu terus menodongkan pisaunya kepada Joannie yang
ketakutan sambil berjalan mundur.
Hingga pria itu semakin mendekati pintu benteng yang menuju Hutan
Naullie, tidak ada yang berani berbuat apa-apa. Semua mengkhawatirkan
keselamatan Joannie.
Melihat pria itu, Kakyu sadar kedatangan pria itu adalah karena
kecerobohannya.
Ketenangan yang terjadi dalam beberapa hari terakhir ini, membuat
pasukan Kerajaan Aqnetta menjadi lengah.
Walau Kakyu tetap waspada di tengah kesibukannya, ia tidak mengira ia
akan kecurian seperti ini.
Kakyu sangat yakin pria itu adalah anggota Kirshcaverish yang bertugas
memata-matai kegiatan mereka.
Entah bagaimana mata-mata itu masuk dan siapa yang pertama kali
membongkar identitas mata-mata itu, Kakyu tidak tahu. Ia hanya tahu saat ini
juga ia harus bertindak.
Tak sedetikpun yang dilewatkan Kakyu lagi.
Sementara semua sibuk mengawasi pria yang terus menyekap Joannie
itu, Kakyu perlahan-lahan mendekati pria itu dan mencari posisi yang tepat.
“Lepaskan dia,” seru Pangeran Reinald khawatir.
“Tidak!” balas pria itu, “Aku tidak akan melepaskannya sebelum aku
meninggalkan benteng ini dengan selamat.”
“Kami jamin engkau dapat meninggalkan benteng ini,” Pangeran Reinald
berjanji, “Asal engkau melepaskan wanita itu.”
Kakyu memanfaatkan kesempatan ini.
Secepat mungkin Kakyu membidikkan panah yang terus dibawanya sejak
ia meninggalkan tendanya.
Sesuatu berkilau yang melesat cepat, menyahut tangan pria yang
sedang menghadapi Pangeran Reinald itu dan membuat pria itu melepaskan
pisaunya.
Melihat pria itu sedang meringis kesakitan, Pangeran Reinald cepat-cepat
menarik Joannie menjauh.
100
Dengan meremas persendian pundaknya yang terkena panah, pria itu
berlari menerobos pintu benteng yang menghadap Hutan Naullie.
Secepat mungkin Kakyu menyahut seekor kuda dan meninggalkan
benteng untuk mengejar pria itu.
Kakyu yakin pria itu tidak dapat pergi jauh dengan pundak yang terluka
parah seperti itu.
Tak jauh dari tepi Hutan Naullie, Kakyu melihat pria tadi terbaring di
bawah sebatang pohon.
Kakyu menduga pria itu pingsan karena pendarahannya yang cukup
parah.
Dengan ketenangannya, Kakyu turun dari kuda dan mendekati pria itu.
Perlahan-lahan Kakyu mendekati pria yang terbaring itu. Kakyu sangat terkejut
ketika pria itu tiba-tiba menyabetkan pisaunya.
Untung Kakyu sempat menghindar sehingga yang kena hanya lengan
kanannya. Tapi luka itu cukup dalam dan membuat darah segar segera
mengalir cukup deras.
Kakyu yang semula berniat mencabut panah peraknya yang menancap di
pundak pria itu, tidak menanti apa-apa lagi.
Kakyu tahu hanya itu yang dapat membuat pria itu tidak dapat pergi
jauh.
Dengan menahan rasa sakitnya sendiri, Kakyu mencabut panah itu kuat-
kuat.
Seperti dirinya, pria itu juga tidak menduga akan mendapat serangan
mendadak seperti ini.
Dengan tercabutnya panah dari pundaknya, darah semakin mengalir
deras dan membuat pria itu semakin kesakitan.
Pria itu menjerit-jerit menahan sakit yang luar biasa di persendian
pundaknya.
Kakyu mendengar derap kaki kuda di belakangnya tapi ia tetap tidak
berbuat apa-apa.
Tanpa berkata apa-apa, ia menatap wajah pria yang terus menjerit
kesakitan itu.
“Engkau tidak apa-apa?” tanya Adna sambil menatap lengan baju Kakyu
yang sobek dan kemerah-merahan.
“Aku tidak apa-apa,” kata Kakyu, “Kuserahkan dia padamu.”
Kakyu segera meninggalkan mereka sebelum Adna juga prajurit yang
datang kemudian mengetahui lukanya.
Karena sejak terluka, Kakyu sama sekali tidak menyentuh lukanya,
lengan baju Kakyu tidak tampak terlalu merah.
Kalaupun mereka melihat noda darah di lengan baju seragam Kakyu,
mereka hanya akan menduga itu darah mata-mata itu.
101
Tanpa menanti pasukan membawa pria itu ke benteng, Kakyu
meninggalkan tepi Hutan Naullie dan segera menuju tendanya.
Sebelum memasuki tendanya, Kakyu melihat masih banyak prajurit yang
mengelilingi Joannie di depan Tenda Perawatan.
Kakyu hanya dapat menghela napas melihatnya.
Sebagai satu-satunya Joannie wanita di benteng, pasukan Kerajaan
Aqnetta yang semuanya pria itu tentu saja memuja Joannie. Joannie bukan
hanya cantik di mata mereka tetapi juga tampak penuh kasih sayang.
Kakyu sendiri sering tersenyum kalau mengetahui hal itu.
Andaikata mereka tahu apa yang membuat Joannie mau melakukan
tugas yang sebelumnya tidak pernah dilakukannya itu.
Kakyu meletakkan panahnya di tanah yang telah dialasi kain kemudian
duduk di sampingnya.
Kakyu melihat panah perak yang baru saja digunakannya itu.
Dulu sebuah anak panah telah digunakannya untuk menyelamatkan Raja
Alfonso dan Putri Eleanor. Kini sebuah panah perak lagi digunakan untuk
menyelamatkan. Kali ini bukan Raja Alfonso dan Putri Eleanor yang
diselamatkan, melainkan Kerajaan Aqnetta.
Kakyu menyadari bahaya apa yang dapat menimpa mereka andaikata
mata-mata itu berhasil menemui kelompoknya.
Dengan tangan kirinya, Kakyu mengamati panah perak itu.
Panah perak yang telah dikotori darah itu tidak akan dapat kembali
seperti semula. Demikianlah yang terjadi pada panah perak yang dulu.
Walaupun Kakyu telah berusaha keras untuk membersihkan panah itu, tetapi
noda darahnya tetap ada.
Dari sebelas panah perak yang ada, kini hanya tinggal sembilan buah
yang tetap bersinar indah. Dua lainnya sedikit memudar karena darah yang
tidak dapat hilang dapi permukaannya.
Ketika hendak menyentuh panah perak itu dengan kedua tangannya,
tangan kanan Kakyu membuat pemuda itu kesakitan. Kakyu sadar ia harus
segera mengobati lukanya sebelum terlalu banyak darah yang keluar.
Kakyu meletakkan panahnya kemudian mencari kemeja seragam yang
lain sebelum ia membuka kemeja yang telah kotor itu.
Gerakan Kakyu semakin perlahan ketika ia melepaskan lengan baju
kanannya. Kakyu tidak ingin darahnya terlalu banyak mengotori seragam putih
kebiru-biruan itu.
Tengah Kakyu sibuk membuka kemejanya perlahan-lahan, seseorang
menerobos masuk.
Kakyu terkejut. Sama terkejutnya dengan pria itu.
102
9
Melihat tubuh Kakyu yang tidak tertutup kemejanya itu, Adna terpana.
Matanya terpaku pada buah dada Kakyu yang dililit kain putih untuk
membuatnya tampak sedatar mungkin.
Adna tidak pernah menduga bahkan tidak pernah sedikitpun terlintas
dalam benaknya bahwa Kakyu bukan seorang pria.
Kakyu adalah seorang gadis. Gadis yang mengenakan pakaian pria.
Kakyu menyadari apa yang terjadi.
Cepat-cepat ia menutupi dadanya dengan kemejanya. Tanpa melewatkan
waktu sedekitpun, Kakyu meraih pedangnya dan mengarahkan sisinya yang
tajam di leher Adna.
“Jangan kaukatakan pada siapapun,” ancamnya.
Adna yang masih belum pulih dari kagetnya, semakin terkejut dengan
tindakan tiba-tiba itu.
“Aku janji,” Adna berjanji.
Kakyu diam. Tak bergerak juga tidak bersuara.
Tanpa menghiraukan jarak mereka yang dekat, Kakyu terus mencari
kesungguhan di mata Adna.
Adna menjauhkan sisi pedang itu dari lehernya.
“Aku telah berjanji padamu dan aku tidak akan mengingkarinya,” kata
Adna.
Tiba-tiba saja Adna merasa serba salah. Ia tidak tahu harus bersikap
seperti apa menghadapi kenyataan yang baru terbongkar ini.
Apakah ia harus semakin curiga pada Kakyu yang menjadi Perwira Muda
di usia muda? Ataukah ia harus curiga dengan sikap Kakyu yang baru saja?
Atau ia harus menghakimi Kakyu juga Jenderal Reyn atas penipuan besar ini?
Adna bingung.
Kakyu berjalan menjauh dan kembali duduk. Kakyu meletakkan
pedangnya di sampingnya, di antara panahnya.
Dengan tenang Kakyu berkata, “Pergilah.”
Tetapi Adna tidak mau disuruh pergi begitu saja. Ia datang bukan untuk
diusir tetapi untuk mengobati luka Kakyu.
Kakyu tidak tahu sejak awal ia meninggalkan tenda, Adna terus
mengawasinya.
Ketika semua orang terkejut melihat sebuah panah perak menancap di
pundak pria itu, Adna menatap kagum Kakyu.
Tidak ada yang menduga Kakyu akan melakukan hal itu di tengah
103
keributan.
Adna menyadari kalau Kakyu bukan pemuda yang tenang, pemuda itu
tidak akan dapat melakukan sesuatu dengan begitu cepat dan penuh
perhitungan.
Bila tadi Kakyu kurang cepat, panahnya bisa mengenai orang lain.
Demikian pula bila ia tidak membidikkan panahnya dengan tepat, ia tentu akan
melukai kakaknya sendiri.
Ketika Kakyu mengejar pria itu, Adnalah orang yang paling cepat
mengikuti tindakan Kakyu. Tak heran kalau ia sempat melihat lengan Kakyu
dilukai pria itu.
Adna tidak menduga ia akan membongkar suatu kenyataan yang selama
ini disembunyikan justru pada saat ia merasa perlu membantu Kakyu dengan
mengobati lukanya.
Adna mendekati Kakyu. “Aku tidak dapat pergi sebelum melakukan
tujuanku datang kemari.”
“Nanti saja,” kata Kakyu tenang.
“Tidak bisa,” sahut Adna, “Kali ini aku datang bukan untuk mengajukan
berbagai macam pertanyaan. Aku datang untuk mengobati lukamu.”
“Mengobati?” tanya Kakyu tak percaya.
Adna jengkel mendengar nada tidak percaya itu. “Kaukira aku tidak
punya rasa kasihan!?”
“Berikan saja obat itu padaku. Aku akan mengobati sendiri lukaku.”
Adna memicingkan matanya – mengawasi Kakyu yang tetap tenang
walau rahasianya telah terbongkar.
Pria itu tidak tahu Kakyu merasa ketenangannya hilang.
Kakyu memang sengaja tidak menunjukkannya. Kakyu tidak mau pria itu
melihatnya.
Bagaimana mungkin ketenangan Kakyu tidak hilang setelah rahasia yang
selama ini disimpan keluarganya bocor karena kesalahannya sendiri?
Entah apa yang akan dikatakan Jenderal Reyn kalau ia tahu. Tapi yang
pasti ia akan sangat kecewa sama kecewanya dengan saat ia menyadari putra
bungsunya juga seorang gadis, bahkan mungkin lebih kecewa.
Kakyu hanya dapat berharap Adna memenuhi janjinya.
“Tidak,” Adna bersikeras, “Aku yang akan melakukannya.”
Sebelum Kakyu sempat berbuat apa-apa, Adna menarik lengan Kakyu
yang terluka.
Melihat luka yang cukup parah itu, Adna tidak berkata apa-apa. Ia hanya
menatap wajah Kakyu yang sama sekali tidak menunjukkan kesakitan.
Kemudian ia merawat luka itu.
Kakyu memalingkan wajahnya ketika Adna merawat lukanya dengan
penuh kelembutan.
104
Sejak kecil, Kakyu dididik sebagai seorang anak laki-laki. Sejak kecil pula,
Kakyu melupakan dirinya sebagai seorang gadis.
Kini Kakyu tidak mau dirinya yang selama ini berada dalam
ketenangannya sebagai gadis yang bertingkah laku seperti pria, menjadi kacau
hanya karena seorang pria yang secara tidak sengaja mengetahui ia bukan
pria.
Tapi debar jantung Kakyu sebagai seorang gadis tidak dapat dilawan.
Jantung itu terus berdebar kencang ketika merasakan tangan-tangan Adna
dengan lembut merawat lengannya.
Kakyu tidak tahu apa yang dipikirkan pria itu tentang dirinya.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia ingin tahu apa yang
dipikirkan orang lain tentang dirinya.
Sambil merawat luka itu, Adna sesekali menatap wajah Kakyu.
Sekarang Adna sadar apa yang membuat Kakyu tidak nampak pantas
menjadi Kepala Pengawal Istana.
Selain karena rambut ikalnya yang merah seperti api. Wajah Kakyu juga
tidak tampak seperti pria umumnya. Wajah itu memberi kesan lembut. Belum
lagi tubuhnya yang terlalu kecil untuk ukuran pemuda seusianya.
Sekarang Adna menyadari mengapa Kakyu tampak sangat kurus
dibandingkan pemuda lain. Juga mengapa pemuda itu penuh perhatian kepada
setiap prajurit walau ia tampak acuh.
Adna ingin tahu mengapa Kakyu bertingkah sebagai anak laki-laki hingga
sampai memiliki berbagai keahlian sebagai prajurit tangguh.
Tetapi apakah ia akan mendapatkan jawaban yang memuaskan dari
Kakyu yang pendiam itu?
Jelas Adna tidak dapat bertanya pada orang lain karena ia telah berjanji
pada Kakyu untuk tidak mengatakan apapun tentang kejadian ini pada
siapapun.
Adna tahu ia harus mencobanya.
“Mengapa engkau mengaku sebagai pria?” tanya Adna hati-hati.
Kakyu sudah menduga adanya pertanyaan itu tetapi ia tidak mau
menjawab banyak juga tidak menjelaskan masalah yang sebenarnya.
“Tidak apa-apa.”
“Tidak mungkin tidak apa-apa, Kakyu. Tidak pernah ada gadis segila
engkau yang bertingkah sebagai laki-laki bahkan sampai terjun ke dunia laki-
laki pula.”
Kakyu memilih diam daripada berbohong.
“Kalau engkau tidak mau mengatakannya saat ini, tidak apa-apa. Tetapi
lain kali engkau akan menjelaskannya kepadaku bukan?”
Kakyu terkejut mendengar pertanyaan lembut itu. Biasanya Adna tidak
pernah mau bersikap lembut seperti ini kepadanya.
105
Apakah karena mengetahui ia bukan seorang pria, lantas ia bersikap
lebih lembut?
Kakyu menatap wajah Adna dengan curiga. Tetapi pemuda itu
menghiraukannya.
Dengan santai, Adna membalut luka Kakyu.
Kakyu mengawasi tangan Adna yang terus bergerak-gerak membalut
lukanya dengan kain perban yang dibawanya juga dari Tenda Perawatan.
“Selesai,” Adna memberitahu.
Kakyu cepat-cepat menutup kembali tubuhnya dengan kemeja.
“Aku akan pergi sehingga engkau bisa berganti baju,” kata Adna sambil
beranjak bangkit.
Ketika sampai di pintu tenda, Adna menoleh.
“Mengenai janjiku, jangan khawatir,” Adna meyakinkan Kakyu, “Aku tidak
akan mengatakan kepada siapa-siapa juga kepada Pangeran.”
Kakyu segera mengenakan kemeja yang telah disiapkannya.
“Kakyu!”
Kakyu terkejut. Ia segera memalingkan kepala ke arah datangnya suara
itu.
Hatinya terasa lega ketika melihat yang datang bukan Adna tetapi
kakaknya, Joannie.
Joannie melihat lengan Kakyu yang belum dilindungi kemejanya dan
bertanya cemas, “Apa yang terjadi padamu?”
“Tidak ada apa-apa,” kata Kakyu sambil membenahi kemejanya.
Joannie mendekat.
Melihat kemeja lain yang telah sobek dan di sekitar sobekannya
memerah oleh darah, Joannie tidak percaya tetapi ia tidak mau mendesak
Kakyu lagi. Ia tahu Kakyu tidak akan memberitahu apapun kepadanya.
Sebagai kakak yang telah tinggal serumah dengan Kakyu, tidak mungkin
Joannie tidak mengenal watak adiknya.
“Ada apa, Joannie?” giliran Kakyu yang bertanya.
“Aku ingin mengucapkan terima kasih padamu,” kata Joannie, “Engkau
telah menyelamatkanku.”
“Berterima kasihlah pada Pangeran,” kata Kakyu.
Dengan perkataan itu, Joannie tahu adiknya ingin mengatakan bukan
dirinya yang menyelamatkannya tadi.
“Kalau engkau tidak melukai tangan pria itu, aku pasti sudah dibawanya
entah ke mana,” kata Joannie.
“Mengapa engkau yang disandera?”
“Aku tidak tahu,” kata Joannie, “Aku juga tidak tahu kalau ia itu mata-
mata.”
“Ia sedang berada di Tenda Perawatan ketika aku di sana. Melihat
106
pasukan yang belum pernah kulihat di Tenda Perawatan itu, aku menjadi ingin
mengetahui mengapa ia di sana. Aku sama sekali tidak menduga ia akan
menodongkan pisaunya di leherku sebagai jawabannya. Selanjutnya, engkau
tahu sendiri apa yang terjadi.”
“Untung Pangeran Reinald segera menarikmu,” Kakyu mengganti topik
pembicaraan.
“Ya, aku sangat terkejut tadi waktu Pangeran tiba-tiba menarikku,”
Joannie mulai melupakan ketakutannya yang sesaat lalu timbul lagi, “Ia
menenangkanku.”
“Ia sungguh-sungguh baik hati dan penuh pengertian,” tambah Joannie,
“Dengan lembut ia menghiburku dan membuat aku melupakan ketakutanku.”
“Aku sangat bahagia, Kakyu,” Joannie menunjukkan kata-katanya baik
dalam suaranya maupun sikapnya, “Aku yakin tidak akan ada pria yang sebaik
dia. Ia benar-benar seperti pria idamanku. Sayang tadi kami tidak bisa
berduaan, banyak prajurit yang mengelilingi kami.”
“Mereka mencemaskanmu,” Kakyu memberitahu.
“Aku tahu tetapi tidakkah mereka tahu aku juga ingin berduaan dengan
Pangeran,” kata Joannie manja.
Melihat kakaknya yang semakin tampak menggemaskan dengan sikap
lugunya, Kakyu yakin tidak akan ada pria yang tidak senang melihatnya.
“Mereka tidak tahu engkau mencintai Pangeran,” sekali lagi Kakyu
memberitahukan apa yang tidak diketahui kakaknya sebelumnya.
Hingga kini tidak ada orang lain yang tahu kalau Joannie jatuh cinta
kepada Pangeran Reinald. Jenderal Reynpun tidak tahu. Hanya Kakyu yang
mengetahuinya.
Dengan wataknya yang tenang dan tidak mau mencampuri urusan orang
lain, tentu saja Kakyu tidak memberitahukan hal itu kepada siapapun.
Kepada Adna yang sering ditanyai berbagai macam pertanyaan tentang
Pangeran pun, Kakyu tidak memberitahu.
Kakyu membiarkan pemuda itu memikirkan kemungkinan yang aneh-
aneh dengan sikapnya yang seperti ingin tahu segala sesuatu tentang
Pangeran Reinald.
“Pangeran sepertinya tidak menyukaiku,” kata Joannie tiba-tiba.
Kakyu tidak tertarik mendengarnya, tetapi untuk mengibur kakaknya, ia
bertanya, “Mengapa?”
“Pangeran tadi segera mengantarku ke tendaku sendiri ketika melihat
pasukan datang dengan pria itu. Lalu ia sendiri segera meninggalkanku.”
Kakyu mengerti mengapa Pangeran berbuat seperti itu tetapi Joannie
tidak. Karena itu Kakyu merasa ia harus memberitahu Joannie. “Kau harus
mengerti, Joannie, Pangeran juga harus memeriksa orang itu.”
“Gara-gara pria itu semuanya kacau,” kata Joannie mengeluh.
107
Kakyu diam saja mendengar keluhan itu. “Berkat dia pula Pangeran
menunjukkan perhatiannya padamu,” Kakyu mengingatkan Joannie.
“Andaikan saja tadi pria itu lolos…”
“Kita yang akan hancur,” sahut Kakyu.
Joannie terdiam.
Sebagai seorang wanita yang tidak pernah mengenal kerasnya sebuah
pertempuran, Joannie sama sekali tidak pernah memikirkan apa yang akan
terjadi bila mereka salah bertindak. Juga bila ada mata-mata yang memasuki
benteng mereka.
“Sekarang Pangeran ada di mana?”
“Aku tidak tahu,” jawab Joannie, “Tapi tadi aku melihat Adna pergi ke
Tenda Perundingan.”
Kakyu berdiri.
“Engkau mau ke mana?” tanya Joannie.
“Mencari tahu apa yang terjadi,” jawab Kakyu santai sambil berlalu dari
hadapan kakaknya.
Di luar, Kakyu melihat pasukan telah bersiaga penuh setelah kejadian
pagi ini.
Memang seharusnya sejak dulu itu yang mereka lakukan tetapi mereka
terlalu sibuk dengan benteng mereka sehingga melupakan Kirshcaverish.
Untung saja kecerobohan itu tidak membahayakan mereka.
Apa yang akan terjadi bila mata-mata itu berhasil menemui pimpinannya
di dalam Hutan Naullie, sudah sangat jelas.
Kakyu cepat-cepat menuju Tenda Pertemuan.
Tidak nampak mata-mata Kirshcaverish di sana, yang ada hanya para
Jenderal serta Pangeran dan tentu saja Adna.
Mereka tengah sibuk berunding hingga tidak memperhatikan kedatangan
Kakyu.
Tanpa bersuara Kakyu mendengarkan perundingan mereka.
“Kita tidak dapat berdiam diri di sini,” kata seorang Jenderal, “Kita harus
segera menumpas mereka.”
“Aku setuju,” kata Jenderal Erin, “Sudah terlalu lama kita membiarkan
Kirshcaverish. Sekarang saatnya kita menyerang kembali.”
“Kita mempunyai masalah,” Jenderal Reyn mengingatkan, “Kita tidak
tahu di mana markas mereka. Kita hanya tahu mereka berkedudukan di Hutan
Naullie.”
“Saat ini pasukan kita lebih banyak dari mereka. Kita tidak perlu khawatir
akan kalah,” kata Adna, “Kita bisa membagi pasukan ke dalam beberapa
kelompok kemudian kita melakukan serangan yang terpencar.”
“Benar,” Pangeran Reinald setuju, “Kalau kita menyebarkan pasukan di
Hutan Naullie, kita pasti dapat menemukan mereka.”
108
“Sepertinya usul itu sangat bagus,” kata Jenderal Decker, “Sekarang kita
harus menyempurnakan usul itu.”
Mulanya Kakyu berharap Jenderal Decker sebagai Jenderal Tertinggi di
Kerajaan Aqnetta, akan menghentikan keinginan yang terburu-buru itu. Tetapi
harapan itu tidak terkabul.
Sebagai gantinya, Kakyu sendiri yang menyatakan ketidaksetujuannya,
“Tidak! Kalian tidak dapat bertindak sejauh itu.”
“Apa maksudmu?” tanya Jenderal Decker terkejut mendengar bantahan
Kakyu yang lantang itu – melebihi lantangnya suara para Jenderal yang setuju
untuk menggempur Kirshcaverish sesegera mungkin.
“Kalian pasti akan hancur,” kata Kakyu cemas, “Kalian sama sekali tidak
mengenal Hutan Naullie. Kalian bahkan tidak tahu cerdiknya Kirshcaverish.”
“Tidak akan, Kakyu,” Jenderal Erin menenangkan, “Pasukan kita lebih
banyak dari mereka.”
“Tapi mereka lebih mengenal hutan ini daripada kita sendiri,” bantah
Kakyu.
“Berapapun pasukan kita, kita pasti akan hancur sebelum mengetahui
kedudukan mereka,” Kakyu memberitahukan apa yang terlintas di benaknya
saat mendengar keputusan itu, “Di luar Hutan Naullie, kita memang lebih
unggul daripada mereka. Tetapi di dalam hutan, merekalah yang lebih unggul.”
Adna yang selalu curiga kepada Kakyu – semakin curiga karenanya.
“Apa maksudmu, Kakyu?” kecurigaan Adna sangat nampak dalam
suaranya, “Sejak dulu engkau selalu terkesan melindungi mereka.”
“Tidak,” bantah Kakyu.
“Lalu mengapa sejak dulu engkau seperti mengulur waktu. Mengapa
tidak sejak awal engkau menyerang mereka di saat keadaan mereka lemah?
Apakah engkau ingin mereka pulih dulu sebelum kita menyerang mereka
dengan kekuatan baru kita?”
Adna tidak memberi kesempatan pada Kakyu untuk membantahnya.
“Sekarang mereka telah pulih dan mereka telah mengirimkan mata-
matanya. Untung saja mata-mata itu tertangkap. Apakah engkau ingin mata-
mata mereka berhasil mengetahui segala sesuatu tentang kita sebelum kita
menyerang mereka?”
“Engkau tidak mengerti,” kata Kakyu, “Kalian sama sekali tidak tahu
sulitnya. Kalian tidak tahu bahaya apa yang akan menimpa kalian bila kalian
bertindak terburu-buru seperti ini.”
“Apakah ini yang kaukatakan terburu-buru?” Adna mulai menampakkan
kemarahannya, “Sudah cukup lama kita membiarkan mereka. Sudah cukup
lama waktu yang kita berikan pada mereka untuk memulihkan diri. Kalau
engkau ingin kita mengulur waktu lagi, secara langsung engkau menunjukkan
jati dirimu yang sebenarnya.”
109
“Jati diri yang sebenarnya?” Kakyu khawatir Adna akan mengingkari
janjinya.
“Mengakulah, Kakyu, engkau mata-mata mereka bukan?”
Kakyu terkejut mendengar tuduhan itu. Begitu pula mereka yang sejak
tadi mendengarkan pertengkaran itu.
“Bagaimana mungkin Kakyu mengkhianati negaranya sendiri?” Jenderal
Decker membela Kakyu.
“Kalau tidak mengapa ia begitu membela mereka? Apa lagi yang ia
inginkan selain melindungi mereka?”
“Engkau tidak mengetahui masalah yang sebenarnya, Adna,” kata Kakyu
tenang, “Engkau tidak tahu kesulitan apa yang akan kita dapat dengan
menyerang mereka sebelum kita mengetahui dengan pasti kedudukan mereka
dan situasi sekitar markas mereka.”
“Jadi, beritahu kami,” kata Adna tegas, “Aku yakin engkau tahu.”
“Aku tidak tahu.”
“Sudahlah, Kakyu. Percuma engkau membohongiku. Sejak awal aku
memang mencurigai sikapmu yang aneh itu.”
“Sebaiknya engkau mengatakan apa yang kauketahui pada kami,
Kakyu,” bujuk Jenderal Decker, “Aku yakin seperti kata Adna, engkau
mengetahui sesuatu tentang mereka.”
“Katakan saja, Kakyu,” Jenderal Erin turut membujuk, “Katakan agar ia
percaya engkau bukan mata-mata seperti yang kami percayai.”
Kakyu tahu ia bisa saja mengatakan semua yang diketahuinya tetapi
masalahnya, ia tidak tahu pasti apakah markas Kirshcaverish masih tetap di
tempat dulu ataukah sudah pindah.
Bagus kalau mereka tetap di sana, tetapi akan sebaliknya kalau mereka
sudah pindah.
Para Jenderal yang mempercayainya pasti menjadi tidak percaya
kepadanya. Jenderal Reyn akan kecewa pada putra yang dibanggakannya dan
yang pasti Adna senang dengan tebakannya yang tepat.
“Aku tidak pasti benar,” kata Kakyu jujur.
“Ia pasti ingin melindungi kelompoknya,” Adna mengejek.
Pangeran Reinald yang sejak tadi diam saja, tahu ia harus membela
Kakyu. Seperti para Jenderal lainnya yang mengenal Kakyu, Pangeran percaya
pada pemuda itu.
“Sebaiknya kalian tidak menghiraukan Adna,” kata Pangeran Reinald, “Ia
memang mempunyai masalah pribadi dengan Kakyu.”
Adna yang merupakan Pangeran asli itu menatap tajam pria di
sampingnya itu.
“Ia sudah berada di dalam Istana sebelum keberadaan Kirshcaverish
diketahui,” Pangeran Reinald memberitahu kenyataan pada Pangeran yang asli,
110
“Kalau ia memang mata-mata mereka, ia tentu tidak akan membiarkan kita
mengetahui keberadaan mereka di Hutan Naullie.”
Adna tidak mau mendengarkan, ia malah bertanya dengan nada
menuduh, “Mengapa engkau membelanya?”
“Aku telah menjelaskannya padamu.”
Merasa telah menimbulkan keributan, Kakyu memilih mengundurkan diri
dari Tenda Perundingan.
Kedatangan Kakyu tadi bukan dengan tujuan mengacaukan keadaan
tetapi untuk mengetahui hasil pemeriksaan para Jenderal terhadap mata-mata
Kirshcaverish.
Kakyu membiarkan mereka yang ada di Tenda Perundingan itu memilih
sendiri siapa yang dipercayainya. Ia juga membiarkan mereka berpikir sendiri
sebab ia meninggalkan Tenda Perundingan di saat Pangeran Reinald
membelanya.
Kakyu kembali ke tendanya.
Sekarang semua terserah mereka. Apakah mereka akan menyerang
Kirshcaverish atau menunda lebih lama lagi hingga mereka tahu posisi
Kirshcaverish.
Setelah beberapa kali gagal menyerang Kirshcaverish, para Jenderal itu
masih kurang mengerti kelemahan pasukan mereka.
Walaupun jumlah Kirshcaverish lebih sedikit dibandingkan mereka,
mereka selalu kalah. Sebabnya tak lain adalah posisi mereka yang kurang
menguntungkan.
Setelah mengetahui berdirinya benteng pasukan Kerajaan Aqnetta di tepi
Hutan Naullie, Kirshcaverish tentu mulai memanfaatkan hutan lebat itu sebagai
penghalang jalan pasukan Kerajaan Aqnetta.
Di antara lebatnya semak-semak yang sebagian besar berduri itu, pasti
banyak jebakan yang telah dipasang. Ranjau darat yang tersembunyi di dalam
tanah, pasti juga turut meramaikan suasana.
Belum ditambah bahaya alam Hutan Naullie sendiri.
Di Hutan Naullie masih banyak binatang buas yang sewaktu-waktu bisa
menyerang mereka tanpa mengenal waktu.
Hutan Naullie yang masih lebat, tentu tidak membuat penghuninya
merasa perlu menjaga jarak dengan manusia. Mereka, terutama hewan
pemakan dagingnya, pasti menganggap manusia sebagai mangsa mereka.
Di hutan sekitar kaki Pegunungan Alpina Dinaria, labih banyak hewan
buasnya daripada hewan pemakan tumbuh-tumbuhan. Karena itu di sekitar
Pegunungan Alpina Dinaria jarang dijumpai pedesaan.
Kakyu mengerti benar hal ini tetapi tidak demikian halnya dengan para
Jenderal terutama Adna.
Terlalu banyak resiko yang harus dihadapi pasukan Kerajaan Aqnetta bila
111
menyerbu Hutan Naullie tanpa mengenal Hutan Naullie.
Andaikan pepohonan di Hutan Naullie tidak rapat, pasukan Kerajaan
Aqnetta masih dapat mengatasi keadaan.
Tetapi pada kenyataannya, selain pepohonannya rapat, dalam Hutan
Naullie juga banyak semak-semaknya hingga hampir tidak ada tanah kosong.
Semua permukaan hutan tertutup oleh hijaunya daun.
Hutan Naullie yang gelap dan selalu lembab itu juga bukan tempat yang
baik untuk dimasuki. Di dalam sana tentu banyak ular dan entah hewan
berbisa apa lagi.
Kirshcaverish yang telah mengenal Hutan Naullie, tentu dapat mengatasi
keadaan itu.
Kakyu menatap panahnya yang belum disimpannya.
112
9
125
10
138
11
145
12
156
13
169
14
184
15
199
16
Kakyu duduk di depan meja kerjanya dan mulai menulis surat untuk
Halberd.
Hingga saat ini ia belum dapat melakukan janjinya pada keluarga
Halberd. Kakyu belum dapat menambahi kesibukan itu dengan masalah
Halberd. Kakyu tahu banyak yang dipikirkan Raja Alfonso saat ini antara lain
tentang Kirshcaverish juga pesta kemenangan yang akan diadakannya.
Kakyu mengakhiri surat singkat itu dengan namanya di sudut kanan.
Kemudian dilipatnya surat itu dengan rapi dan dimasukkan ke dalam amplop.
Tengah Kakyu menuliskan alamat tujuan surat itu, seseorang memanggil.
Kakyu segera menghentikan pekerjaannya begitu mendengar suara
ayahnya.
“Ada apa, Papa?”
Jenderal Reyn memasuki kamar Kakyu. Jenderal Reyn mengambil kursi
dan duduk di depan Kakyu.
“Aku ingin bertanya,” suara Jenderal Reyn terdengar seperti penuh
perasaan bersalah dan ragu-ragu, “Bagaimana perasaanmu?”
Kakyu tidak mengerti apa yang dimaksudkan ayahnya. Saat ini ia
memang sedang merasa galau dengan perasaannya yang campur aduk antara
keinginan untuk terus menjadi laki-laki dan keinginan untuk bebas mencintai.
Tetapi Kakyu tidak akan mengatakannya.
“Biasa-biasa saja.”
“Bukan itu maksudku,” Jenderal Reyn tampak kacau.
Entah apa yang tengah dipikirkannya, Kakyu tidak tahu tetapi baru kali
ini ia melihat ayahnya merasa bingung dan kacau.
Jenderal Reyn menggenggam tangan Kakyu. Matanya mengawasi lekat-
lekat wajah tenang Kakyu, “Aku ingin tahu bagaimana perasaanmu selama ini?
Selama ini engkau terus menjadi laki-laki, seperti keinginanku. Engkau begitu
tampak senang menjalankannya hingga aku lupa engkau ini seorang gadis
seperti kakak-kakakmu yang lain. Aku begitu bodoh tidak pernah memikirkan
ini semua.”
“Aku tidak merasa terpaksa melakukannya, Papa,” kata Kakyu
menghibur.
“Aku tahu, Kakyu. Aku tahu. Engkau selalu senang melakukan semua ini,”
kata Jenderal Reyn mengakui, “Tetapi aku yakin engkau pasti pernah
memikirkan keinginanmu sendiri. Engkau oasti mempunyai keinginan-
keinginan sebagai seorang gadis yang telah aku aabikan selama ini.”
200
“Jangan terlalu dipikirkan apa yang dikatakan Mama. Aku senang
melakukannya dan aku sama sekali tidak merasa terpaksa.”
“Bukan hanya Xeilan yang mengatakannya padaku, Kakyu,” Jenderal
Reyn memberitahu, “Xeilan memang sering memberitahuku tetapi itu dulu
sebelum engkau kumasukkan menjadi seorang pengawal Istana.”
Kakyu curiga mendengarnya. Ia khawatir Pangeran Reinald mengingkari
janjinya.
“Mengapa Papa harus memikirkannya?”
“Karena aku ingin melihatmu bahagia, Kakyu,” kata Jenderal Reyn penuh
pengertian, “Raja Alfonso benar kalau engkau terus menjadi laki-laki, engkau
tidak akan dapat mencapai kebahagiaanmu sendiri seperti Joannie. Engkau
pasti ingin bahagia seperti Joannie bukan?”
Kakyu kebingungan mendengarnya.
“Dari mana Raja Alfonso mengetahuinya?” pikirnya, “Apakah mungkin
Pangeran Reinald yang mengatakannya?”
Jenderal Reyn mengetahui apa yang dipikirkan Kakyu, “Tidak perlu
menyalahkan dirimu, Kakyu. Aku sendiri juga tidak tahu darimana Raja Alfonso
mengetahuinya, tetapi ia benar. Aku tidak bisa terus membuatmu menjadi
seorang laki-laki. Bagaimanapun juga aku juga ingin melihatmu bahagia?”
Kakyu berhenti memikirkan pertanyaan yang terus berkecamuk dalam
benaknya.
“Kakyu,” Jenderal Reyn seolah-olah ingin membangunkan Kakyu dari
dunianya yang kacau, “Jangan kaupikirkan aku lagi. Aku sudah tidak
memaksamu. Engkau bebas menentukan langkahmu sendiri. Engkau boleh
meninggalkan segala hal yang berhubungan dengan militer dan memulai hidup
seperti yang dijalani kakak-kakakmu.”
“Itu tidak mungkin, Papa,” kata Kakyu.
“Apalagi yang kaukhawatirkan, Kakyu? Aku sudah tidak ingin menekanmu
menjadi laki-laki. Raja Alfonso juga tidak marah, bahkan ia berulang kali
mengatakan, “Kalau seorang gadis saja bisa seperti ini, bayangkan kalau
semua gadis menjadi prajurit.” Mengenai keamanan Istana Vezuzapun engkau
tidak perlu mengkhwatirkannya, pasti ada penggantimu yang dapat melakukan
tugas sebaik dirimu. Tidak ada yang perlu kaukhawatirkan. Ibumu, kakak-
kakakmu pasti senang kalau engkau mau meninggalkan segala yang tidak
seharusnya kaulakukan sebagai seorang gadis.”
Kakyu tidak tahu harus berkata apa.
Kurang lebih sebulan yang lalu ia menetapkan untuk terus pada
pekerjaannya tetapi kini ayahnya seperti seorang prajurit yang menyerah
kalah. Kakyu benar-benar bingung.
Jenderal Reyn mengerti kebingungan Kakyu.
“Aku akan meninggalkanmu agar engkau dapat berpikir. Tetapi berjanjilah
201
padaku, Kakyu, engkau benar-benar akan memikirkannya.”
“Aku janji.”
Jenderal Reyn meninggalkan Kakyu yang terus duduk dengan pikiran
yang semakin kacau.
“Bagaimana?” tanya Lady Xeilan yang telah menanti di depan pintu.
“Aku tidak tahu. Ia tampaknya bingung sekali.”
“Tentu saja. Selama ini ia terbiasa menjadi laki-laki, lalu engkau tiba-tiba
menyuruhnya kembali menjadi seorang gadis.”
Jenderal Reyn memeluk istrinya, “Untunglah engkau menasehatiku tadi,
kalau tidak aku tidak tahu apakah yang harus kulakukan. Aku begitu bodoh
selama ini. Tak pernah sekalipun aku memikirkan perasaan gadisnya. Aku
terlalu memaksanya menjadi laki-laki seperti yang kuharapkan.”
“Sudahlah, yang penting engkau telah melakukan apa yang kukatakan
bukan?” kata Lady Xeilan sambil tersenyum menghibur rasa bersalah
suaminya, “Mari kita tinggalkan tempat ini. Biar Kakyu memikirkannya dengan
tenang.”
Mereka kemudian berjalan meninggalkan tempat itu.
Seperti keinginan Lady Xeilan, tidak ada yang berani menganggu Kakyu
sepanjang hari itu. Bahkan ketika pada malam harinya Kakyu tidak turun untuk
makan, tidak ada yang memanggilnya. Hanya pelayan yang mengantarkan
makan malam, yang memasuki kamar Kakyu.
Yang lain ingin memberi ketenangan bagi Kakyu untuk berpikir. Mereka
tetap diam juga ketika keesokan paginya Kakyu tidak berangkat ke Istana
Vezuza seperti biasanya. Mereka mengerti Kakyu sangat bingung saat ini.
Seharian Kakyu tidak beranjak dari kamarnya. Ia terus duduk merenung
di serambi depan kamarnya. Pikirannya terus melayang tak menentu arahnya.
Kadang pada perasaannya akhir-akhir ini, kadang pada tanggung jawabnya,
kadang pada kekecewaan ayahnya, tak jarang pula pikirannya menuju
Pangeran Reinald.
Belum pernah Kakyu merasa sedemikian kacau seperti hari ini. Kemarin
malam ia sampai tidak dapat tidur sejenakpun karena terus memikirkan
keputusannya.
Kakyu hanya tinggal memilih antara dua pilihan, terus menjadi laki-laki
atau kembali menjadi gadis. Hanya di antara dua pilihan itu, tidak lebih. Tetapi
ia terus berpikir dan berpikir tiada henti untuk menentukan pilihannya.
Menjadi seorang gadis, akhir-akhir ini memang menarik perhatian Kakyu
terutama sejak jiwa gadisnya bangkit. Tetapi ia juga tidak sanggup
meninggalkan dunia yang selama ini ditekuninya. Ia sendiri tidak tahu
bagaimana harus bersikap kalau nanti ia menjadi seorang gadis. Kalau
meneruskan pekerjaannya sebagai Kepala Pengawal Istana, ia tidak perlu
repot-repot memikirkan itu. Tetapi ia juga ingin menjadi gadis.
202
Semua serba membingungkan. Tiap kali Kakyu mulai memutuskan selalu
ada kata ‘tetapi’ dan itu membuat pikiran Kakyu kembali menjadi kacau.
Udara pagi yang biasanya mampu membuat pikiran Kakyu menjadi
tenang, pagi ini tidak lagi mampu. Pikiran Kakyu benar-benar bagaikan benang
yang tidak terbentuk lagi dan tiada ujung pangkalnya.
Karena begitu bingungnya Kakyu, sampai-sampai ia tidak mendengar
suara ketukan di pintu kamarnya.
“Kakyu!”
Sekali kakak Kakyu berseru memanggil Kakyu tetapi gadis itu tetap diam
memandang langit biru dengan pikiran yang kacau.
Vonnie menjadi jengkel karenanya. Dengan menggoyangkan tubuh
adiknya, ia berseru, “Kakyu! Kau mendengarku atau tidak!?”
Walaupun sedang bingung, Kakyu masih mampu menjawab dengan
tenang, “Ada apa?”
“Heran aku melihatmu,” kata Vonnie tanpa berhenti menggelengkan
kepalanya, “Apa yang engkau pikirkan sepanjang malam sampai-sampai
engkau tidak dengar aku mengetuk pintu.”
“Maaf,” kata Kakyu dengan tenangnya.
“Begitu tenangnyakah dirimu sampai-sampai walau sedang bingung
engkau tetap dapat bersikap tenang?”
Pandangan Kakyu beralih pada pria yang berdiri di belakang Vonnie.
Melihat Pangeran Reinald berdiri di sanapun, Kakyu tetap berkata tenang,
“Ada apa Anda mencari saya, Pangeran?”
“Begitukah caramu menyambutku yang mengkhawatirkanmu?” Pangeran
Reinald memincingkan matanya tanpa melepaskan matanya dari Kakyu.
“Bagiku engkau sama sekali tidak nampak seperti orang yang sedang
bingung.”
Vonnie merasa ia tidak selayaknya berada di sana. “Sebaiknya saya
meninggalkan kalian berdua. Saya yakin antara kalian ada yang harus
dibicarakan.”
Tidak ada yang menghiraukan kepergian Vonnie.
Tiba-tiba Pangeran Reinald berlutut di depan Kakyu. “Aku minta maaf.”
Kakyu hanya memandang Pangeran dengan bingung.
“Papa sudah tahu semuanya dariku.”
Hanya satu yang dilakukan Kakyu. Dan itu sama sekali jauh dari dugaan
Pangeran Reinald. Kakyu sama sekali tidak menuntut jawaban juga tidak
marah, ia hanya tersenyum tipis.
“Lupakan saja.”
Ungkapan singkat yang jauh berbeda dengan yang dibayangkannya itu
membuat Pangeran Reinald menatap Kakyu dengan bingung.
“Apakah engkau memang selalu tenang dan dingin seperti ini?”
203
Untuk menjawab keheranan itu, Kakyu berkata, “Saya telah dilatih untuk
tetap tenang dalam keadaan apapun, Pangeran.”
“Sekalipun engkau sedang bingung seperti ini?” tanya Pangeran Reinald
ingin tahu.
Kakyu tidak menjawabnya karena ia memang tidak tahu apakah ia tetap
tenang atau tidak. Mungkin dari luar ia terlihat sangat tenang tetapi hati dan
pikirannya tidak tenang terlebih dengan keberadaan Pangeran Reinald yang
sangat dekat itu.
Pangeran Reinald mengerti Kakyu sedang bingung dan ia tidak ingin
menambahi lagi kebingungan gadis itu. “Aku mengerti engkau sedang bingung.
Tetapi kuharap engkau tidak terus mengurung dirimu di sini. Kakak-kakakmu
mengatakan sejak ayahmu memintamu untuk memikirkan kembali masa
depanmu, engkau mengurung diri di sini. Engkau bisa sakit kalau engkau terus
mengurung diri di sini.”
Kakyu hanya diam menatap Pangeran.
“Engkau bisa menceritakan kebingunganmu itu padaku. Lebih mudah
memecahkan kebingungan itu kalau engkau mengatakannya pada orang lain.
Kalau engkau tidak bisa mengatakannya padaku, katakan saja pada yang lain.”
Kakyu tahu hal itu benar, tetapi masalahnya adalah semua kebingungan
ini bersumber dari satu masalah yang ia sendiri belum ketahui apakah itu.
Suatu masalah yang menjadi kunci dari segala kebingungan ini. Kebingungan
ini sulit dijelaskan pada orang lain bahkan kadang ia sulit menjelaskannya pada
dirinya sendiri.
“Dengarkan aku, Kakyu,” kata Pangeran Reinald perlahan, “Aku tidak
akan memaksamu memilih menjadi gadis, tetapi menurutku akan lebih mudah
bagimu kalau engkau bukan anak laki-laki. Engkau bebas mencintai pria
manapun ketika engkau menjadi seorang gadis.”
Kakyu tetap diam.
“Aku tahu engkau pasti merasa berat untuk meninggalkan pekerjaan
yang telah kaucintai itu, tetapi engkau tidak perlu khawatir meninggalkannya,
Kakyu.”
Kakyu dibuat bingung karenanya. Bagaimana mungkin ia menjadi
seorang gadis sekaligus Kepala Keamanan Istana? Jelas hal ini tidak mungkin.
Tidak pernah ada seorang gadis yang menjadi prajurit dalam sejarah Kerajaan
Aqnetta.
“Ketika Papa mengetahui engkau seorang gadis, ia sangat terkejut tetapi
ia sama sekali tidak marah. Bahkan dengan tersenyum ia berkata engkau
sangat hebat dan ia tidak boleh menganggap remeh wanita. Dari
perkataannya, aku bisa menangkap Papa mempunyai rencana untuk
menjadikan engkau panutan bagi gadis-gadis lain yang ingin menjadi prajurit.”
“Itu tidak mungkin,” Kakyu akhirnya berkata juga.
204
“Mengapa?”
“Gadis lain tidak mungkin bisa seperti saya.”
Pangeran Reinald terus mendesak Kakyu. “Mengapa?”
“Kalaupun mereka menjadi seorang prajurit, mereka tidak akan seperti
yang Anda harapkan. Apa yang saya pelajari tidak sama dengan yang akan
mereka pelajari. Saya ini lebih tepat dikatakan sebagai pembunuh bayaran
dibandingkan seorang prajurit.”
“Selama ini engkau seorang prajurit, bukan?”
Kakyu menggelengkan kepalanya, “Itu hanya pekerjaan. Tetapi ilmu yang
saya kuasai ini bukan ilmu perang seorang prajurit tetapi seorang pembunuh,
ninjit-su. Ninjit-su adalah seni membunuh rahasia Jepang di mana setiap orang
yang mempelajarinya disebut ninja. Dalam ninjit-su dikenal berbagai macam
ilmu yang paling tinggi adalah Kobadera, ilmu sihir ninja. Juga ada Ing tong
jiutsu yang memungkinkan seorang ninja muncul tiba-tiba dan melemahkan
musuh antara lain dengan menciptakan halusinasi pada lawan. Selain itu masih
banyak senjata rahasia lain yang sangat ampuh.”
Pangeran Reinald hanya terpana mendengar keterangan singkat itu.
“Engkau menguasai semuanya?”
“Tidak. Saya telah mengatakan pada Anda, dalam ninja ada larangan
untuk menyebarkan ilmu ini pada orang lain di luar orang Jepang. Di Jepang
sendiri hanya sedikit orang yang bisa.”
“Kenichi itu orang Jepang bukan?” Pangeran Reinald memanfaatkan
kesempatan ini untuk memuaskan rasa ingin tahunya.
Kakyu menganggukan kepalanya dengan lemah. Sampai sekarang masih
sulit ia melupakan kematian Kenichi.
“Ia orang Jepang asli. Kenichi menurunkan ilmunya pada saya karena ia
sangat menyayangi saya. Kami bagaikan kakek dan cucu. Belum lama sejak
Kenichi memasuki rumah ini, saya lahir. Dialah yang menamakan saya Kakyu,
dari bahasa Jepang yang artinya Bola Api. Kata Kenichi, ketika saya lahir,
rambut saya yang merah bersinar seperti nyala api.”
“Bola Api,” ulang Pangeran Reinald sambil termangu-mangu, “Nama itu
memang pantas kalau melihat rambutmu tetapi kalau melihat sifatmu yang
tenang, nama itu tidak pantas. Engkau sama sekali tidak mudah marah seperti
bola api, engkau sangat tenang dan dingin seperti es. Tetapi sekarang aku
tahu, semua orang benar. Walaupun terlihat dingin, engkau tetap orang yang
hangat. Bola apimu mencairkan esmu. Kuharap ia juga mencairkan
masalahmu.”
Teringat kembali pada masalah yang dihadapi Kakyu, Pangeran Reinald
berkata, “Engkau lebih baik segera mengatakan masalahmu kepada orang lain
sebelum engkau jatuh sakit. Aku tidak ingin melihat satu-satunya Perwira
wanita ini sakit gara-gara memikirkan masalah mudah seperti ini.”
205
Bagi orang lain masalah ini memang mudah. Hanya tinggal memilih satu
di antara dua pilihan, tetapi bagi Kakyu tidak.
“Mungkin aku harus membiarkanmu berpikir lagi,” kata Pangeran Reinald
sambil bangkit, “Aku telah lama mengganggumu. Jangan terlalu lama berpikir,
Kakyu, aku khawatir gadis-gadis di Istana Vezuza terutama Eleanor kehilangan
semangatnya karena engkau.”
Kakyu hanya tersenyum.
“Kalau ada masalah, katakan saja. Ingat tidak perlu kaupikirkan masalah
lain selain pilihanmu, semuanya pasti baik-baik saja.”
Entah berapa kali Pangeran Reinald mengatakan hal itu tetapi Kakyu
tetap mengangguk mendengarnya.
“Mengapa Anda mengkhawatirkan saya?”
Pangeran Reinald terkejut oleh pertanyaan yang tak terduga itu. Jelas ia
tidak dapat mengatakan alasannya. Kalau ia mengatakannya, ia hanya akan
membuat Kakyu semakin bingung.
“Karena engkau gadis yang bertanggung jawab pada keamanan Istana.
Selain itu aku tidak ingin melihat semangat gadis-gadis di Istana Vezuza hilang
karenamu.”
Kakyu diam saja.
“Sudahlah, jangan pikirkan hal ini. Pikirkan saja masalahmu sekarang,”
kata Pangeran Reinald, “Aku tidak akan menganggumu lagi.”
Kakyu mengikuti kepergian Pangeran Reinald dengan pandangannya.
Setelah Pangeran menghilang di balik pintu, Kakyu kembali melayangkan
pandangannya ke depan.
Pegunungan Alpina Dinaria tampak jelas dari kamar Kakyu di lantai dua
itu. Hijaunya hutan menyelimuti gunung demi gunung. Pegunungan itu tampak
seperti benteng Kerajaan Aqnetta dari ancaman dunia luar.
Kesunyian Hutan Naullie yang tampak dari serambi kamarnya, membuat
Kakyu tahu apa yang harus dilakukannya. Ia lebih baik menghindari segala
yang berhubungan dengan masalah ini agar ia dapat berpikir dengan lebih
tenang.
Kakyu masuk dan mulai menulis secarik surat pendek. Kemudian ia
menyiapkan segala yang diperlukannya dan meninggalkan kamar.
Ketika menuruni tangga, Kakyu samar-samar mendengar suara dari
Ruang Tamu.
“Apakah Anda yakin?” terdengar suara Vonnie penuh ingin tahu.
“Benar,” suara tegas Pangeran Reinald meyakinkan Vonnie, “Ia hanya
memerlukan waktu untuk berpikir.”
“Kira-kira kapankah Kakyu memutuskan pilihannya?” Lishie pun ingin
tahu.
“Saya tidak tahu.”
206
“Kakyu menghadapi masa-masa tersulit dalam hidupnya,” suara
bijaksana Lady Xeilan menghentikan keingintahuan kedua putrinya, “Selama ini
ia menjadi laki-laki dan tidak pernah memikirkan dirinya sebenarnya seorang
gadis. Kita semuapun memperlakukannya sebagai anak laki-laki dan
melupakan ia adalah seorang gadis. Kini tiba-tiba ia harus menjadi seorang
gadis kembali. Ini pasti sangat sulit baginya. Ia telah terbiasa menjadi laki-laki.
Kalian harus mengerti itu.”
“Tetapi kami ingin segera tahu keputusannya, Mama,” rujuk Marie.
“Baru kali ini aku melihat engkau terburu-buru, Marie. Biasanya engkau
sangat lamban.”
“Siapa yang tidak ingin segera tahu, Lishie?” kata Vonnie, “Aku juga ingin
segera tahu.”
“Kalau engkau aku tidak heran.” Marie menyahut.
Kakyu tidak sengaja mendengar percakapan mengenai dirinya itu dan ia
tidak tertarik untuk mendengarkannya. Mendengarkan percakapan itu, hanya
membuat dirinya semakin bimbang.
Kakyu terus berjalan ke halaman belakang ke kandang kuda.
Segera Kakyu menunggangi kuda kesayangannya dan melaju ke Hutan
Naullie.
Di sanalah Kakyu bisa mendapatkan ketenangan yang diharapkannya, di
sana pula Kenichi yang bijaksana terbaring. Kakyu tahu bila ia dekat dengan
Kenichi, ia akan lebih mudah mendapatkan ketenangan yang akhirnya akan
membantunya menentukan pilihannya.
Kakyu memacu kudanya secepat mungkin. Tanpa mempedulikan
matahari yang terus meninggi maupun waktu yang terus berlalu, Kakyu terus
memacu kudanya ke Farreway. Ketika malam menjelangpun Kakyu tidak
berhenti di penginapan. Saat ini Kakyu tidak ingin melakukan yang lain selain
tiba secepat mungkin di Hutan Naullie.
Sehari semalam, Kakyu berkuda ke Farreway. Baru pada keesokan
harinya ia tiba di Farreway.
Perjalanan panjang yang ditempuhnya tidak membuat Kakyu lelah. Tanpa
menghiraukan apa-apa lagi, Kakyu menerobos Hutan Naullie ke lembah tempat
Kenichi terbaring.
Walaupun penduduk yang tinggal di sekitar Hutan Naullie tidak mengenal
Kakyu, mereka tidak banyak bertanya ketika Kakyu menerobos hutan yang
pernah menjadi sarang pemberontak itu. Mereka membiarkan Kakyu
menerobos hutan.
Kalaupun mereka mencoba menghentikan Kakyu, gadis itu tidak akan
menghiraukannya. Ia sudah terlalu sering menerobos Hutan Naullie.
Tiba di lembah yang penuh angin itu, Kakyu bukannya beristirahat malah
duduk di tepi lembah.
207
Kakyu duduk bersila dan memejamkan matanya – mencoba
mendapatkan ketenangan yang diinginkannya.
Benarlah dugaan Kakyu. Di tempat yang sangat sepi dan tenang itu, ia
lebih cepat mendapatkan ketenangan hati maupun pikiran. Tak lama setelah
duduk di sana, segala kebingungan Kakyu hilang. Dan membuat gadis itu
merasa tenang.
Dalam ketenangannya, Kakyu mencoba mendengarkan suara angin yang
selalu bertiup di lembah itu.
Tidak ada yang dipikirkan Kakyu di sepanjang siang itu. Kakyu hanya
bertapa di tepi lembah sambil terus mengosongkan pikirannya.
Sementara Kakyu duduk dengan tenangnya di lembah, seisi Quentynna
House tidak dapat tenang.
Kemarin saat pelayan yang mengantar makan siang Kakyu, turun dengan
sehelai surat pendek Kakyu yang berbunyi “Aku pergi sebentar. Jangan
khawatir” tidak ada yang mengkhawatirkan gadis itu. Semua mengira Kakyu
pergi berjalan-jalan untuk mengurangi kebingungannya. Bahkan ketika Kakyu
belum pulang malam itu, semua tidak khawatir.
Yang ada di pikiran mereka malam itu hanya satu yaitu Kakyu pergi ke
suatu tempat dan menginap di sana. Esok pagi ia akan pulang.
Tetapi ketika siang ini Kakyu belum juga muncul, semua mulai khawatir.
Berbagai hal mulai dari yang baik sampai yang buruk terus bermunculan dalam
benak mereka. Di antara mereka hanya Jenderal Reyn yang tenang, Jenderal
Reyn percaya Kakyu baik-baik saja apalagi bila mengingat ketangguhannya.
Seperti biasa, pagi itu Jenderal Reyn pergi ke pelatihan prajurit dan
memulai tugasnya di sana. Sementara itu, Lady Xeilan dan ketiga putrinya
khawatir dan semakin khawatir tiap menitnya.
“Bagaimana ini, Mama?” tanya Lishie khawatir, “Mengapa Kakyu belum
pulang juga?”
“Aku tidak tahu,” kata Lady Xeilan cemas, “Aku mengkhawatirkannya.”
“Aku ingin tahu di mana ia berada sekarang.”
“Kalau engkau memang selalu ingin tahu, Vonnie,” kata Marie.
“Apakah sebaiknya kita meminta bantuan Adna untuk mencarinya?”
“Jangan tolol, Lishie,” kata Vonnie, “Mereka baru saja menikah sudah
ingin kauganggu dengan masalah ini. Biarkan kita saja yang mengkhawatirkan
si Kakyu. Kalau ia ada di sini, akan kumarahi dia. Dia pergi tanpa berpamitan
dan hanya meninggalkan secarik surat yang tidak jelas.”
“Sudahlah,” Lady Xeilan menenangkan putri-putrinya, “Ayah kalian benar,
Kakyu tidak seperti kalian. Ia bisa menjaga dirinya sendiri. Pasti ia baik-baik
saja saat ini. Ia pasti akan pulang dalam waktu dekat.”
“Tetapi ia benar-benar keterlaluan, Mama. Pergi tanpa pamit.”
“Apakah mungkin ia merasa tertekan oleh masalah ini dan ia…”
208
“Jangan berpikir yang tidak-tidak, Lishie!” seru Marie terkejut, “Kakyu
tidak mungkin bunuh diri gara-gara masalah sepele seperti ini.”
“Percayalah, ia akan baik-baik saja,” kata Lady Xeilan lebih untuk
menenangkan kekhawatirannya.
Kekhawatiran itu terus memenuhi Quentynna House yang biasanya
terlihat ceria dan penuh canda tawa. Sejak Kakyu menghilang tiba-tiba,
kegembiraan itu berubah menjadi kecemasan. Baru setelah tiga hari
menghilangnya Kakyu, Quentynna House bisa tenang.
Pada hari keempat itulah Kakyu muncul.
Semula saat mendengar pintu depan terbuka, mereka tidak beranjak dari
Ruang Makan. Mereka mengira Jenderal Reyn pulang karena ada yang
tertinggal. Tetapi saat mereka mendengar seorang pelayan berkata lega
“Syukurlah Anda sudah pulang, Tuan Muda” mereka segera berhamburan
keluar dari Ruang Makan.
Lishie yang keluar paling awal, segera menyambut kedatangan adiknya
dengan pelukan.
“Aku kira engkau sudah mati, Kakyu.”
Kakyu hanya tersenyum.
Vonnie yang berjanji akan memarahi Kakyu bila ia datang, tidak dapat
marah karena senangnya. Baginya saat ini terlalu melegakan untuk marah-
marah. “Dari mana saja engkau?” tanyanya penuh ingin tahu.
“Menemui Kenichi,” jawab Kakyu singkat.
“Kenichi?” tanya Vonnie keheranan, “Bukankah ia telah meninggal?”
“Pasti yang dimaksudkannya mengunjungi makamnya,” kata Marie.
“Kenichi meninggal di Hutan Naullie bukan? Dan ia tidak mempunyai
makam selain hutan itu,” kata Vonnie kemudian sambil menatap curiga pada
Kakyu ia berkata, “Aku khawatir engkau ke sana.”
Kakyu tersenyum membenarkan. Kemudian ia berpaling pada ibunya.
“Maafkan aku, Mama.”
“Tidak apa-apa, Kakyu. Tetapi kuharap lain kali engkau tidak seperti ini,
engkau membuat kami cemas,” kata Lady Xeilan sambil tersenyum, “Sekarang
berisitirahatlah. Aku yakin engkau telah menghabiskan waktu seharian untuk
berkuda dari Farreway ke sini.”
“Tidak, Mama,” kata Kakyu, “Aku harus segera berangkat ke Istana
Vezuza.”
“Ke Istana Vezuza?” tanya ketiga kakak Kakyu keheranan, “Jadi engkau
telah memutuskannya?”
Kakyu hanya tersenyum tanpa mengatakan apa-apa.
“Apa keputusanmu?” tanya Vonnie ingin tahu.
Kakyu tetap tidak menjawab pertanyaan itu. “Aku harus segera bersiap-
siap,” katanya tenang.
209
“Apa keputusanmu, Kakyu?” desak ketiga kakak beradik itu.
Seperti tadi, Kakyu hanya tersenyum. Kemudian ia menuju kamarnya.
Vonnie, Marie juga Lishie hanya dapat berpandang-pandangan dengan
penuh ingin tahu.
“Apapun keputusan Kakyu, kita harus menghormatinya,” kata Lady
Xeilan.
“Tetapi kami ingin tahu, Mama,” kata Vonnie, “Aku yakin ia telah
memutuskannya.”
“Hanya saja ia tidak mau mengatakannya pada kami,” tambah Lishie.
Lady Xeilan sendiri mengakui ia juga ingin mengetahui apa yang dipilih
Kakyu. Meninggalkan jabatannya dan menjadi seorang gadis biasa atau tetap
menjadi prajurit wanita. “Ia pasti mempunyai alasan sendiri,” kata Lady Xeilan.
Tak lama kemudian Kakyu telah tiba kembali di tempat mereka.
“Aku pergi, Mama,” katanya sambil mencium pipi Lady Xeilan.
Seperti biasa, Lady Xeilan berpesan, “Hati-hati, Kakyu.”
Kakyu tersenyum kemudian meninggalkan Quentynna House lagi tetapi
kali ini bukan ke Hutan Naullie melainkan ke Istana Vezuza.
Seperti kakak-kakaknya, semua prajurit di Istana Vezuza juga ingin tahu
mengapa ia tidak muncul selama empat hari dan pada hari kelima ini
terlambat. Kakyu hanya menjawab pertanyaan itu dengan tersenyum.
Bukan hanya para prajurit saja yang diperlakukan Kakyu seperti itu.
Semua yang menanyakan masalah hilangnya dia di Istana Vezuza selama
empat hari, juga mendapat jawaban sebuah senyuman tipis.
Pagi itu Kakyu memulai tugasnya seperti biasa seperti tidak pernah
terjadi apa-apa.
Selama sehari berada di Hutan Naullie, Kakyu memang telah
mendapatkan ketenangan. Dan dalam ketenangannya itu, ia mendapat
jawaban yang cukup mengejutkannya. Ternyata dugaannya beberapa bulan
yang lalu benar, ia jatuh cinta. Karena itulah jiwa gadisnya yang selama ini
tertidur bangkit.
Mereka yang tidak tahu apa-apa, menganggap hal itu biasa. Tetapi lain
halnya bagi Pangeran Reinald yang tahu apa yang telah terjadi. Melihat Kakyu
begitu tenang pagi ini, Pangeran Reinald menjadi curiga.
Ketika melihat Pangeran Reinald, Kakyu menyapa dengan tenangnya,
“Selamat pagi, Pangeran.”
Tanpa mempedulikan orang-orang yang melihat mereka, Pangeran
Reinald segera menarik Kakyu ke dalam ruangan yang berada di dekat mereka.
“Jadi…” kata Pangeran.
“Jadi?” ulang Kakyu keheranan.
“Jangan mencoba menipuku, Kakyu. Aku tahu engkau telah memutuskan
pilihanmu,” kata Pangeran Reinald gemas.
210
“Lalu?” Kakyu bertanya pura-pura tidak tahu.
Pangeran semakin gemas mendengar keluguan itu. “Aku ingin tahu apa
pilihanmu.”
“Anda juga akan mengetahuinya nanti,” kata Kakyu sambil tersenyum.
“Mengapa engkau tidak mau memberitahuku sekarang? Nanti atau
sekarang sama saja.”
“Sekarang saya harus memikirkan pesta kemenangan yang kurang
seminggu lagi.”
Pangeran menyipitkan matanya sambil mengawasi Kakyu.
“Jadi itu keputusanmu?” kata Pangeran Reinald kecewa, “Mengapa
engkau memutuskan untuk tetap menjadi prajurit, Kakyu? Mengapa?”
Kakyu keheranan melihat kekecewaan Pangeran. “Apakah salah,
Pangeran?”
“Jelas salah sekali, Kakyu!” kata Pangeran Reinald tidak sabar,
“Bagaimana mungkin engkau terus menerus menjadi laki-laki?”
“Apakah itu menganggu Anda, Pangeran?” tanya Kakyu ingin tahu, “Saya
tetap berperan sebagai laki-laki maupun menjadi diri saya sendiri, tidak ada
bedanya.”
“Jelas ada bedanya, Kakyu,” kata Pangeran Reinald geram, “Apakah
engkau tidak menyadarinya, Perwira?”
Kakyu hanya menatap Pangeran.
“Apakah engkau sedemikian bodohnya, Perwira?” Pangeran Reinald
terlihat sangat geram dengan sikap Kakyu yang lugu, “Kalau engkau terus
menjadi laki-laki, jelas aku yang akan kewalahan.”
Kakyu semakin kebingungan oleh sikap Pangeran. “Mengapa, Pangeran?
Bukankah Paduka juga telah mengetahui saya tidak mungkin menikah dengan
Tuan Puteri?”
“Bukan itu masalahnya, Kakyu.”
Kakyu menatap Pangeran dalam-dalam. “Katakan, Pangeran,” katanya
hati-hati, “Apakah Anda khawatir saya akan merebut posisi Anda di hati para
gadis?”
“Aku tidak peduli dengan itu!” Pangeran menatap tajam Kakyu, “Aku
mencintaimu. Apakah engkau tidak mengerti itu?”
Kakyu tersentak kaget. Ini adalah suatu kenyataan yang tak pernah
diduganya. Saat ia menyadari perasaannya, ia juga tidak mengharapkannya
karena ia tahu itu tidak mungkin. Tetapi apa yang baru saja dikatakan Pangeran
Reinald sangat nyata.
“Bagaimana mungkin aku menunjukkan cintaku padamu kalau engkau
terus menjadi laki-laki?”
Pangeran Reinald tidak melepaskan Kakyu dari pandangan matanya,
“Jadi, apa yang akan kaulakukan Kakyu?”
211
“Bagaimana mungkin itu terjadi?” tanya Kakyu tidak mengerti, “Itu tidak
mungkin.”
“Apa yang tidak mungkin Kakyu?” tanya Pangean Reinald lembut, “Aku
telah jatuh cinta padamu. Apa yang tidak mungkin?”
Hati Kakyu yang sedang senang, tahu apa yang akan dikatakannya.
Tetapi Kakyu tidak melakukannya, ia masih ingin tahu lebih banyak.
“Bagaimana mungkin Anda jatuh cinta pada saya, Pangeran?” kata Kakyu
tenang untuk menyembunyikan kegembiraan hatinya, “Anda jatuh cinta pada
saya ketika saya menjadi prajurit, kalau saya menjadi seorang gadis, apakah
Anda akan mengatakan itu?”
“Aku tidak mengerti engkau memang bodoh atau engkau sedang
mempermainkanku,” kata Pangeran Reinald jengkel, “Sekarang dengar baik-
baik apa yang akan kukatakan. Aku mencintaimu dan akan selalu mencintaimu.
Aku mencintaimu karena engkau memang patut dicintai, itu yang pertama.
Tetapi yang lebih penting bagiku, engkau memiliki kecantikkan yang tidak
mungkin kutemukan pada wanita manapun. Wajah cantikmu yang tenang itu
telah mengangguku sejak aku bertemu denganmu, tetapi yang harus
kauketahui aku mengagumimu sebagai satu-satunya wanita tertangguh yang
pernah kujumpai.”
“Pasti hanya saya satu-satunya prajurit wanita yang pernah Anda temui,”
kata Kakyu sambil tersenyum bahagia.
Pangeran Reinald memincingkan mata melihat senyum yang jarang
dilihatnya itu. “Seingatku hanya sekali aku melihat engkau tersenyum senang
seperti ini yaitu saat aku menuduhmu jatuh cinta pada Adna. Setelah itu aku
tidak pernah melihatmu tersenyum seperti ini apalagi tertawa.”
Kakyu hanya diam saja.
“Jadi, apakah engkau masih tetap memutuskan untuk menjadi laki-laki?”
“Sebenarnya, Pangeran, saya telah memutuskan sesuatu sebelum saya
ke sini,” kata Kakyu, “Dan keputusan itu tidak akan saya katakan saat ini.”
“Tetapi aku memaksamu untuk mengatakannya,” desak Pangeran
Reinald, “Saat ini juga.”
“Saya mengerti, Pangeran,” kata Kakyu sambil tersenyum, “Saya
memutuskan untuk meninggalkan Istana Vezuza.”
“APA!!?” kata Pangeran Reinald terkejut, “Engkau tidak boleh
meninggalkan Istana. Tidak, karena aku melarangmu. Aku benar-benar akan
gila kalau engkau meninggalkan aku. Ketahuilah, Kakyu, aku bukan orang yang
mau bersabar. Aku tidak akan mau melepaskan engkau karena aku sangat
mencintaimu.”
Kakyu merasa sebaiknya ia juga memberitahu segalanya pada Pangeran
sebelum ia semakin marah, “Saya ingin meninggakan Istana karena saya tidak
dapat terus berada di dekat Anda…”
212
“Mengapa?” Pangeran Reinald memutus perkataan Kakyu dengan gusar,
“Apakah aku telah bersalah padamu? Apakah aku membuatmu benci padaku?”
“Pangeran,” kata Kakyu memohon, “Saya mohon dengarkan saya.”
“Baik. Baik,” kata Pangeran menenangkan diri.
Pangeran Reinald melihat sekeliling ruangan kemudian menarik Kakyu ke
sebuah kursi. Setelah mendudukan Kakyu di kursi itu, ia berlutut di depan gadis
itu dengan sikap mendengarkan seorang anak kecil yang menanti dongeng
pengasuhnya.
“Empat hari yang lalu setelah Anda meninggalkan saya di kamar saya,
saya menuju Hutan Naullie. Di sana saya menyadari saya tidak dapat terus
berada di Istana sementara hati saya terus kesakitan.”
Pangeran Reinald tidak sabar mendengarnya, “Mengapa?”
“Saya juga mempunyai perasaan yang sama seperti Anda dan saya tidak
dapat membiarkan hati saya sakit karena terus menerus melihat Anda di
sekeliling wanita-wanita cantik.”
“Maksudmu?” kata Pangeran Reinald dengan senyum mengembang,
“Katakan padaku, Kakyu. Aku ingin engkau mengatakannya.”
“Saya mencintai Anda, Pangeran.”
Pangeran Reinald sangat senang karenanya. Sebagai perwujudan rasa
senangnya, ia memeluk Kakyu erat-erat dan membuat gadis itu sulit bernapas.
“Jadi engkau memutuskan untuk menjadi dirimu sendiri,” kata Pangeran
Reinald senang.
“Benar. Dan saya berniat mengatakan keputusan saya itu setelah pesta
kemenangan ini.”
“Andaikan engkau mengatakan sejak tadi,” kata Pangeran Reinald, “Aku
tentu tidak akan merasa khawatir seperti ini.”
Pangeran bukannya melepaskan Kakyu malah memeluk Kakyu semakin
erat sehingga Kakyu terpaksa mendorong tubuh Pangeran.
“Ada apa?” tanya Pangeran keheranan.
“Tidak. Tidak ada apa-apa,” kata Kakyu. Kakyu tidak sanggup
mengatakan pada Pangeran kalau ia belum terbiasa diperlakukan sebagai
seorang gadis.
Pangeran Reinald melihat wajah Kakyu agak bersemu merah. Dengan
tersenyum ia berkata, “Engkau tidak terbiasa diperlakukan sebagai seorang
gadis rupanya.”
“Tentu saja,” sahut Kakyu, “Selama ini saya menjadi anak laki-laki.”
“Berarti aku yang pertama memperlakukanmu seperti ini.”
Kakyu mengangguk.
“Engkau belum menceritakan kepadaku mengapa engkau menjadi laki-
laki,” Pangeran Reinald mengingatkan.
“Anda tentu mengerti bagaimana perasaan seorang ayah yang
213
mengharapkan anak laki-laki tetapi tidak mendapatkannya,” Kakyu memulai
ceritanya, “Papa sangat sedih dan kecewa waktu saya lahir. Ketika saya lahir,
Papa mendengar suara tangisan saya yang keras dan menduga saya anak laki-
laki ternyata saya sama seperti kakak-kakak saya, perempuan. Karena suara
tangisan saya yang keras, Papa percaya saya dapat menjadi seorang yang
tangguh asalkan saya bukan anak perempuan. Kemudian Papa merawat saya
sebagai anak laki-laki.”
Sebenarnya Kenichi juga tidak setuju Jenderal Reyn ‘merubah’ Kakyu
menjadi anak laki-laki. Tetapi ia mengerti bagaimana perasaan Jenderal Reyn
ketika mengetahui kelima anaknya adalah perempuan. Tak satupun dari
mereka yang dapat menggantikannya.
Ia pernah berkata pada Kakyu, “Suatu hari nanti engkau harus kembali
menjadi dirimu sendiri. Engkau bukan anak laki-laki dan engkau tidak bisa
terus menerus hidup sebagai anak laki-laki.”
Perkataan itulah yang membuat Kakyu menyadari ia seharusnya
melupakan semua jiwa laki-lakinya untuk menyelesaikan masalahnya. Dengan
ketenangannya sebagai seorang gadis, Kakyu mulai menyadari perasaannya
satu-satu. Ia mulai memikirkan mengapa jiwa yang selama ini seperti mati tiba-
tiba bangkit setelah Pangeran Reinald muncul dalam hidupnya. Dengan
mengingat satu per satu kejadian yang telah dilaluinya bersama Pangeran,
Kakyu sadar ia tidak salah lagi. Ia memang jatuh cinta pada Pangeran dan
itulah yang membuat ketenangannya mudah hilang di saat ia berada dekat
Pangeran juga mengapa jiwa gadisnya bangkit.
Tetapi kemudian Kakyu menyadari Pangeran Reinald tidak mungkin
mencintainya. Ketakutan seorang gadis akan penolakan cintanya itulah yang
membuat Kakyu bingung saat ia harus memilih menjadi laki-laki atau menjadi
gadis.
Dengan ditemukannya kunci itu, Kakyu mulai mengerti mengapa ia
bingung. Dengan tetap menjadi seorang laki-laki, ia tidak tidak perlu khawatir
akan ditolak. Tetapi jiwa gadisnya ingin mencintai Pangeran. Itulah kuncinya.
Perlahan-lahan Kakyu menyadari kalau ia terus menjadi laki-laki yang
berarti terus menjadi Kepala Keamanan Istana, ia harus bisa menahan
perasaannya setiap kali melihat wanita-wanita cantik yang berlalu lalang di
Istana. Jelas itu tidak mungkin dilakukan Kakyu. Kakyu mungkin tetap dapat
bersikap tenang, tetapi hatinya takkan mampu terus menerus membayangkan
di antara wanita-wanita itu kelak ada yang akan menikah dengan Pangeran.
Dengan pikiran itu, Kakyu akhirnya memutuskan untuk menjadi dirinya
sendiri. Dengan meninggalkan Istana dan Pangeran, perlahan-lahan Kakyu
pasti dapat melupakan Pangeran.
“Jadi itu sebabnya Jenderal Reyn memilihmu menjadi laki-laki bukan
kakak-kakakmu yang lain,” kata Pangeran Reinald.
214
Kakyu mengangguk.
“Dan Kenichi yang katamu seorang ninja itu, menurunkan ilmunya
kepadamu untuk mempertangguh engkau sebagai seorang prajurit.”
Kakyu mengangguk lagi.
“Jadi Kenichi setuju dengan keinginan ayahmu itu.”
“Tidak,” Kakyu cepat-cepat membantah, “Sebenarnya ia tidak setuju,
tetapi karena ia mengerti bagaimana perasaan Papa, ia menyetujuinya.”
Pangeran Reinald tersenyum tanpa melepaskan pandangannya dari
Kakyu. “Aku ingin tahu bagaimana rupamu kalau engkau mengenakan gaun
yang indah,” gumamnya.
“Saya tidak dapat membayangkannya, Pangeran,” kata Kakyu, “Yang
pasti saya akan nampak lucu dan aneh sekali.”
Pangeran memincingkan matanya mendengarnya, “Bisakah engkau
membuang kata ‘Pangeran’ itu? Itu sangat mengangguku. Juga bisakah engkau
tidak bersikap sangat sopan kepadaku?”
“Tidak, Pangeran,” kata Kakyu tenang.
“Aku memaksamu, Kakyu.”
“Tidak bisa, Pangeran,” Kakyu bersikeras, “Saya menghormati Anda.”
Pangeran Reinald kehilangan kesabarannya tetapi ia tidak kehilangan
cara untuk membuat Kakyu berhenti menghormatinya.
Kakyu sangat terkejut ketika Pangeran tiba-tiba menciumnya. Ia sama
sekali tidak menyangkanya.
Sambil tersenyum nakal, Pangeran Reinald berkata, “Sekarang engkau
masih menghormatiku?”
“Pangeran, Anda…”
Kata ‘Pangeran’ yang diucapkan Kakyu itu membuat Pangeran mengeluh.
“Bagaimana membuatmu berhenti memanggilku Pangeran, Kakyu? Aku tidak
ingin engkau memanggilku Pangeran apalagi bersikap sangat sopan padaku.
Kalau demikian jadinya dulu seharusnya aku tidak bertukar kedudukan dengan
Adna.”
“Pangeran….”
Suara sedih itu membuat Pangeran cemberut, “Aku memang
menyedihkan, bukan? Aku mengharapkan gadis yang kucintai tidak terlalu
menghormatiku tetapi ternyata tidak bisa.”
Kakyu tersenyum, “Mengapa tidak bisa?”
Semangat Pangeran Reinald bangkit lagi, “Engkau mau?”
Kakyu mengangguk.
“Kalau begitu panggil aku dengan namaku,” katanya bersemangat, “Aku
ingin mendengarmu memanggil namaku.”
Kakyu ragu-ragu, tetapi akhirnya ia mengucapkannya juga. “Reinald.”
215
17
“Aku heran.”
Kakyu mengawasi ketiga kakaknya dan ibunya yang terus berkeliling
Quentynna House. Entah apa yang mereka cari, sebentar mereka masuk ke
kamar Joannie, sebentar lagi ke kamar Vonnie. Sejak tadi pagi mereka terus
keluar masuk kamar tiada henti hingga Kakyu yang melihatnya menjadi pusing.
“Aku yang akan pergi tetapi mengapa kalian yang sejak tadi terlihat
sangat bersemangat?”
“Tentu,” kata Vonnie, “Ini pertama kalinya engkau mengenakan gaun,
kami ingin engkau tampil paling cantik.”
“Aku pasti terlihat aneh.”
“Tidak mungkin, Kakyu,” kata Lishie, “Kita, kakak-kakakmu ini semua
cantik-cantik, mengapa engkau tidak?”
“Sudahlah, Kakyu, engkau pasti tampak cantik,” Marie turut meyakinkan
Kakyu. “Sayang Joannie tidak ada di sini. Kalau ia ada di sini, ia pasti dapat
membantu kita.”
“Ia pasti akan terkejut kalau nanti melihat Kakyu di pesta.”
“Benar, Lishie. Aku ingin tahu bagaimana pendapatnya tentang ini.”
“Kalian sudah menyiapkan semuanya?”
“Sudah, Mama,” jawab ketika gadis itu serempak.
“Bagus. Sekarang kita harus mendandani Kakyu.”
“Tunggu dulu. Mengapa aku harus bersiap-siap sepagi ini? Pesta itu baru
akan berlangsung tiga jam lagi.”
“Sudahlah, Kakyu,” kata Lishie, “Kata Mama, pasti akan sulit
mendandanimu, jadi sebaiknya engkau menurut saja.”
Ketiga kakak beradik itu menarik Kakyu ke dalam Kamar Rias dan
memulai pekerjaan mereka. Sementara ketiga kakaknya dan ibunya terus
menyibukkan diri dengan dandanannya, Kakyu hanya menuruti mereka. Ia
tidak tahu apa-apa selain tahu ia pasti akan tampak aneh.
Ternyata dugaan Kakyu salah. Kakyu tampak cantik sekali setelah
didandani cukup lama oleh Vonnie, Marie juga Lishie. Tak ketinggalan pula ibu
mereka, Lady Xeilan.
“Engkau cantik sekali, Kakyu. Lihatlah bayanganmu di cermin.”
Hanya Kakyu yang merasa aneh melihat dirinya yang sekarang
mengenakan gaun yang indah. Rambut merah yang biasanya dibiarkan terurai
hingga bahu atau dimasukkan ke dalam topi, kini disanggul rapi.
Kakyu merasa aneh melihatnya, tetapi tidak keempat wanita lainnya.
216
“Engkau cantik sekali,” ulang Lady Xeilan.
“Benar, Mama. Tak kusangka ternyata Kakyu juga bisa tampak cantik
kalau didandani.”
“Lishie, jangan bercanda,” sergah Vonnie kemudian ia bertanya pada
Kakyu, “Bagaimana pendapatmu, Kakyu?”
“Aku merasa aneh.”
“Tentu saja,” kata Lady Xeilan, “Engkau terlalu lama mengenakan
pakaian laki-laki lalu kini engkau mengenakan gaun. Pasti engkau merasa
aneh.”
“Engkau telah siap, Kakyu. Sekarang giliran kami mempersiapkan diri
kami.”
“Benar, Marie,” kata Lishie, “Aku akan membantumu. Kalau sudah
selesai, engkau harus membantuku.”
“Kalian jangan melupakan aku.”
Ketiga gadis itu bergegas meninggalkan Kamar Rias.
“Engkau cantik sekali, Kakyu.” Untuk kesekian kalinya Lady Xeilan
mengucapkan kalimat itu, “Aku senang akhirnya bisa melihatmu mengenakan
gaun.”
“Apakah aku tidak nampak aneh?”
“Tidak, Kakyu. Engkau cantik. Lihatlah sendiri bayanganmu di cermin.”
Kakyu juga telah melihatnya dan semakin melihatnya, ia semakin merasa
dirinya yang sekarang lucu.
“Mulai sekarang engkau harus mengenakan gaun-gaun seperti ini.
Karena itu engkau harus membiasakan diri.”
Kakyu mengangguk.
“Aku akan meninggalkanmu di sini. Aku juga harus mempersiapkan
diriku.”
Kamar Rias menjadi sepi setelah kepergian Lady Xeilan. Kakyu hanya
duduk memandangi wajah barunya di cermin.
Ketika memaksa Kakyu mengenakan gaun bukan pakaian seragam
Kepala Keamanan Istana dalam pesta kemenangan itu, Pangeran Reinald
berkata, “Engkau pasti akan semakin cantik kalau mengenakan gaun.”
Kakyu ingin tahu apakah Pangeran masih berkata seperti itu kalau
melihatnya nanti.
Kakyu berdiri. Ia harus mulai membiasakan diri berjalan dalam gaun ini.
Mulanya Kakyu memang kesulitan berjalan dengan gaun panjang yang
membatasi gerak kakinya, tetapi lama kelamaan Kakyu mulai terbiasa berjalan
dengan gaun panjang itu. Setelah berhasil mengelilingi Kamar Rias berulang
kali tanpa kesulitan, Kakyu meninggalkan Kamar Rias dan menuju kamarnya.
Di sana, Kakyu duduk di serambi. Kakyu melihat Pegunungan Alpina
Dinaria di kejauhan. Ia berharap Kenichi dapat melihatnya saat ini.
217
“Kakyu!” seseorang berteriak memanggil.
Kakyu segera beranjak dari serambi.
“Ada apa?”
Lishie tampak lega melihat adiknya di ujung tangga. “Aku khawatir
engkau menghilang lagi. Engkau benar-benar membuat kami cemas.”
“Aku di kamarku.”
“Sudahlah. Sekarang cepat turun, Kakyu, kita akan segera berangkat.”
“Mama belum keluar, Marie.”
“Mengapa Mama lama sekali?” tanya Vonnie penuh rasa ingin tahu.
Kakyu turun perlahan-lahan menuju tempat kakak-kakaknya berada.
Lishie tersenyum melihat adiknya tampak serba hati-hati dalam setiap
langkahnya. “Engkau harus berjalan dengan hati-hati, Kakyu, kalau engkau
tidak ingin menginjak gaunmu sendiri.”
Vonnie tertawa. “Bagaimana perasaanmu setelah sekian lama
mengenakan seragam prajurit?”
“Aneh.”
“Kami juga merasa aneh melihatmu mengenakan gaun setelah sekian
lama engkau mengenakan pakaian seragam, Kakyu. Tetapi percayalah engakau
tampak sangat cantik.”
“Apa yang dikatakan Marie benar. Joannie pasti juga berkata seperti itu.”
“Apa yang akan dikatakan Joannie kalau ia melihat Kakyu?”
“Juga Adna,” tambah Lishie, “Aku yakin ia belum tahu kalau Kakyu itu
perempuan. Kalian masih ingat bukan, pada saat hari pernikahannya, ia
meminta Kakyu menjadi pengiringnya tetapi Kakyu menolak dan akhirnya
Pangeran Reinald yang menggantikan Kakyu. Adna waktu itu sangat kecewa,
Kakyu. Joannie tidak mau menceritakan apapun tentang rahasia kita ini kepada
Adna dan membiarkan suaminya kecewa. Engkau harus berterima kasih pada
Joannie, Kakyu.”
“Kalau waktu itu Joannie mengatakannya pada Adna, kita tidak bisa
membuat kejutan untuk Adna. Tetapi untung Joannie tidak mengatakannya.
Aku yakin hingga kini ia belum mengatakan apa-apa tentang rahasia ini dan
kita bisa membuat Adna terkejut.”
“Aku setuju denganmu, Marie. Kira-kira bagaimana reaksi Adna kalau
melihatmu, Kakyu?”
“Bukan hanya Adna, Kakyu, tetapi juga semua orang terutama Putri
Eleanor,” Lishie mengingatkan, “Kalian ingat Putri Eleanor menyukai Kakyu. Ia
pasti sangat sedih kalau tahu Kakyu bukan seorang pria tetapi seorang gadis.”
“Sudah… sudah. Kalau kalian berkumpul seperti ini, aku yakin kita tidak
akan berangkat walau hari sudah malam.”
Ketiga gadis itu segera memalingkan kepala ke Jenderal Reyn yang
sedang menuruni tangga. Lady Xeilan yang berjalan di sampingnya, tersenyum
218
pada mereka.
“Kalian kalau sudah berkumpul, tidak akan berhenti berbicara kalau tidak
menjelang waktu tidur.”
“Kita akan berangkat sekarang?”
“Heran aku melihatmu, Marie. Biasanya engkau tidak suka terburu-buru
bukan? Mengapa kali ini engkau terburu-buru?”
“Biarkan saja. Aku memang ingin segera melihat apa yang terjadi kalau
semua orang tahu Kakyu adalah seorang gadis. Engkau tidak ingin tahu,
Lishie?”
“Aku ingin tahu.”
“Kalau engkau aku tidak bertanya, Vonnie. Tetapi aku yakin saat ini kita
semua ingin tahu apa yang akan terjadi. Benarkan, Papa?”
Jenderal Reyn menatap Kakyu lekat-lekat. Mulai dari atas hingga bawah
kemudian dengan tersenyum ia berkata, “Benar, Lishie. Aku juga ingin tahu
apa yang dikatakan Jenderal Decker kalau melihat Perwira yang selama ini
dibanggakannya ternyata seorang gadis yang sangat cantik.” Kemudian
dengan nada bersalah yang kental, Jenderal Reyn berkata, “Aku sungguh
menyesal, Kakyu. Aku terlalu memaksamu menjadi laki-laki tanpa menyadari
engkau sebenarnya seorang gadis yang sangat cantik.”
“Sudahlah, Papa.”
Lishie tiba-tiba tersenyum geli. “Kakyu sudah berubah dari seorang
Perwira yang tangguh menjadi seorang gadis yang cantik, tetapi ia tetap
dingin-dingin tenang.”
“Apakah engkau tidak lelah terus menjaga ketenanganmu, Kakyu?” tanya
Vonnie ingin tahu.
“Sudahlah. Aku sudah berkata berkali-kali kalau kalian sudah berkumpul
seperti ini, tidak akan ada kata selesai bagi kalian,” sela Lady Xeilan, “Kalian
ingin berangkat atau tidak?”
“Tentu,” jawab ketiga kakak Kakyu serempak.
“Kereta sudah siap?” tanya Lady Xeilan pada seorang pelayan yang
membawakan mantel mereka dan topi bagi Jenderal Reyn.
“Sudah.”
Ketiga gadis itu tidak sabar ingin segera tiba di pesta. Mereka berlari-lari
menuju halaman tempat kereta kuda menanti mereka.
“Mereka tidak berubah,” kata Lady Xeilan sambil menggelengkan
kepalanya.
“Yang berubah hanya Kakyu,” kata Jenderal Reyn, “Engkau berubah
menjadi seorang gadis yang sangat cantik, Kakyu. Aku yakin semua orang yang
melihatmu akan jatuh cinta.”
“Tetapi apa yang dikatakan Vonnie benar, engkau masih tetap tenang
dan pendiam.”
219
Kakyu hanya tersenyum.
“Mari, Kakyu,” Lady Xeilan mengulurkan tangannya pada Kakyu.
Kakyu menyambut tangan ibunya dan berjalan ke kereta kuda.
Dari dalam kereta, kakak-kakak Kakyu yang sudah tidak sabar lagi,
berteriak, “Cepat! Cepat nanti kita terlambat!”
Lady Xeilan hanya tersenyum mendengarnya. Seperti biasa, Kakyu tidak
menanggapi dalam bentuk apapun. Ia terus berjalan dengan tenang di
samping ibunya sementara ayahnya sudah berlari ke kereta kuda – seperti
keinginan ketiga putrinya yang lain.
“Lambat sekali kalian,” keluh Lishie saat akhirnya Lady Xeilan dan Kakyu
tiba di sisi kereta.
Mereka hanya tersenyum tanpa perasaan bersalah.
-----0-----
229