Anda di halaman 1dari 229

1

Suasana ramai di Hall Istana Vezuza menjadi sunyi tatkala seorang


pemuda dalam pakaian seragamnya yang berwarna putih kebiru-biruan,
melintasi Hall dengan terburu-buru.
Pedang panjangnya terayun-ayun seiring dengan langkah kakinya yang
lebar. Wajahnya menampakkan ketegangan hatinya.
Entah apa yang membuat pemuda tampan itu begitu tegang. Tak
seorangpun di Hall itu yang tahu dan tak seorangpun yang ingin tahu. Semua
orang di sana hanya ingin tahu apa yang akan dilakukan pemuda tampan
namun dingin itu kepada Putri Eleanor yang mendekatinya.
“Selamat pagi, Kakyu,” sapa Putri Eleanor sambil tersenyum manis.
Kakyu tahu apa yang diharapkan Putri cantik itu dari dirinya. Dengan
sopan, ia meraih tangan Putri Eleanor dan menciumnya sambil berkata,
“Selamat pagi, Tuan Puteri.”
“Apa yang membuatmu terburu-buru, Kakyu?”
“Maafkan saya, Tuan Puteri,” kata Kakyu, “Saya tidak dapat memberitahu
Anda.”
“Apakah engkau benar-benar ingin segera bertemu Papa?” tanya Putri
Eleanor – meyakinkan dirinya sendiri.
“Benar, Tuan Puteri.”
“Apakah terjadi sesuatu pada Istana?” selidik Putri Eleanor.
“Tidak, Tuan Puteri.”
Putri Eleanor jengkel terus menerus menerima jawaban singkat.
Walaupun begitu ia tidak menampakkannya.
Semua orang tahu Kakyu adalah seorang pemuda yang tampan dan
dingin. Kata-katanya memang tidak pernah terdengar dingin tapi sikapnya
yang selalu menjauhi keramaian, menampakkan kedinginan hatinya.
Menghadapi segala macam pertanyaan pun, Kakyu bersikap dingin.
Pertanyaan apa pun selalu dijawabnya dengan singkat.
Kakyu benar-benar seorang pemuda tampan yang dingin.
Walaupun begitu banyak gadis yang tergila-gila padanya. Bukan hanya
karena ketampanannya, tapi juga karena ketangguhannya.
Semua orang di Kerajaan Aqnetta tahu Kakyu adalah Perwira Tinggi yang
termuda di kerajaan ini. Pada usianya yang masih sangat muda ini, Kakyu telah
menduduki sebuah posisi yang cukup penting di Kerajaan Aqnetta dan yang
paling penting di Istana Vezuza, yaitu Kepala Keamanan Istana.
Hal ini tidaklah mengherankan.
1
Sebagai putra Jenderal Reyn yang terkenal tangguh walaupun usianya
telah tua, sejak kecil Kakyu telah dididik dengan keras oleh ayahnya agar dapat
menggantikannya menjaga keamanan kerajaan ini.
Setiap hari dilalui Kakyu dengan berlatih pedang dengan ayahnya. Setiap
hari pula Jenderal Reyn mengajarkan kepandaian taktik perangnya kepada
putranya.
Walaupun itu berarti Kakyu harus belajar keras setiap hari untuk menjadi
seorang prajurit yang tangguh seperti ayahnya, Kakyu tidak pernah mengeluh.
Malahan Kakyu menyukainya.
Jenderal Reyn sangat senang ketika mengetahui putranya senang
memainkan pedangnya. Dan ia lebih senang lagi ketika menyadari putranya
berbakat dalam ilmu perang serta cepat menguasainya.
Melihatnya, Jenderal Reyn menjadi tidak sabar.
Ketika usia Kakyu mencapai empat belas tahun, Jenderal Reyn yang saat
itu telah menduduki posisi sebagai Jenderal Angkatan Darat, meminta kepada
Jenderal Tertinggi Kerajaan Aqnetta, Jenderal Decker untuk memasukkan Kakyu
sebagai pasukan pengawal Istana.
Tentu saja Jenderal Decker merasa terkejut dengan permintaan itu. Dari
beberapa kali perjumpaannya dengan Kakyu, Jenderal Decker tahu pemuda itu
adalah seorang prajurit yang tangguh walau usianya masih muda.
Jenderal Decker tahu Kakyu cukup tangguh untuk menjadi prajurit Istana,
tapi tidak saat ini. Usia Kakyu masih terlalu muda untuk dapat menjadi prajurit
apalagi menjadi prajurit Istana yang bertugas menjaga keamanan dan
keselamatan setiap penghuni Istana khususnya keluarga Raja.
Jenderal yang telah mengenal Kakyu itu juga tahu Kakyu adalah pemuda
yang sopan dan pendiam. Pemuda itu takkan mencari apalagi menimbulkan
masalah selama ia berada di Istana Vezuza.
Segala sesuatu pada pemuda itu memenuhi syarat untuk menjadi satu
dari pasukan penjaga Istana. Semuanya baik kemahirannya memainkan
pedang maupun sikapnya yang dingin-dingin tenang.
Jenderal Decker sering bertanding pedang dengan Kakyu di saat ia
mengunjungi rumah Jenderal Reyn, Quentynna House. Dan dari setiap
pertandingan itu, ia tahu ketangguhan pemuda itu tidak perlu diragukan lagi.
Ketangguhan pemuda itu terus meningkat dari hari ke hari.
Dengan berbekal keyakinan itu, Jenderal Decker mengajukan permintaan
itu kepada Raja Alfonso.
Seperti halnya dengan Jenderal Decker, Raja Alfonso juga terkejut
dengan permintaan Jenderal Reyn itu.
Jenderal Decker tahu Raja yang tidak pernah mengenal Kakyu itu
meragukan kemampuan Kakyu dalam usianya yang tergolong sangat muda itu.
Untuk menghilangkan keraguan Raja Alfonso itu, Jenderal Decker
2
mengusulkan diadakannya suatu ujian untuk menguji ketangguhan Kakyu di
hadapan Raja sendiri.
Raja Alfonso menyetujui usul itu.
Keesokan paginya, Kakyu telah berdiri di hadapan Raja Alfonso. Kakyu
telah siap menghadapi setiap ujian Raja di halaman Istana Vezuza yang sangat
luas.
Walaupun tahu hari ini takkan dilewatinya dengan mudah, Kakyu tetap
tampak tenang.
Ketenangan di wajah muda Kakyu itu membuat Raja menyukai Kakyu
apalagi mata hijaunya yang membara seperti rambut merahnya. Raja Alfonso
menyukai semangat yang tampak di wajah tenang pemuda itu.
Tapi hal itu tidak cukup untuk membuat Alfonso mengurungkan niatnya
menguji ketangguhan Kakyu.
Seharusnya Raja tidak perlu meragukan ketangguhan Kakyu. Dengan
mudahnya, Kakyu melewati setiap rintangan yang menghalanginya.
Kakyu sama sekali tidak gentar tatkala ia harus menghadapi sejumlah
pasukan Istana yang lebih tua sepuluh tahun bahkan lebih darinya. Walupun
tahu lawan yang dihadapinya lebih kuat dan lebih berpengalaman darinya,
Kakyu tetap tampak tenang. Dengan gerakannya yang lincah dan cepat, Kakyu
menjatuhkan lawannya satu per satu tanpa kesulitan.
Ketangguhan Kakyu telah terbukti tapi Raja Alfonso tetap tidak puas. Dan
sepertinya Raja tidak pernah puas menguji Kakyu.
Walaupun Raja Alfonso telah memasukkan Kakyu menjadi seorang
prajurit Istana, Raja Alfonso tetap sering menyuruh Kakyu melakukan berbagai
hal yang aneh untuk menguji pemuda itu.
Bahkan sesaat sebelum Raja Alfonso mengakui ketangguhan Kakyu, Raja
menyuruh Kakyu melakukan hal yang paling aneh yang membuat Jenderal
Decker dan ayah Kakyu serta pejabat-pejabat kerajaan lainnya terkejut.
Bagaimana mungkin mereka tidak terkejut mendengar Raja berkata,
“Sebelum aku mengatakan sesuatu tentang ketangguhanmu, aku ingin
mengujimu sekali lagi,” kata Raja Alfonso sambil menatap wajah tenang Kakyu,
“Aku ingin engkau mencuri mahkota kerajaanku di Ruang Mahkota.”
Satu-satunya orang yang tidak terkejut mendengar kata-kata Raja itu
hanya Kakyu seorang. Dengan sopan ia berkata, “Baik, Paduka.”
Raja tersenyum mendengar jawaban tegas itu. “Engkau harus tahu,
engkau tidak akan memasuki Istana dengan mudah,” kata Raja, “Kamu akan
menyambut kedatanganmu dengan strategi. Anggap saja ini seperti latihan
menyusup ke sarang musuh.”
“Saya mengerti, Paduka.”
“Ingat, engkau harus dapat mencuri mahkotaku tanpa diketahui
siapapun. Engkau juga tidak boleh meminta bantuan siapapun walaupun orang
3
itu adalah ayahmu.”
“Baik, Paduka.”
“Engkau juga harus tahu engkau tidak akan mengetahui seluk beluk
Istana ini sebelum engkau menyusup masuk.”
Sekali lagi Raja Alfonso membuat semua orang di sekitarnya terkejut,
kecuali Kakyu.
Semua orang termasuk Jenderal Decker dan Jenderal Reyn yang
mengetahui ketangguhan pemuda itu, meragukan kemampuan Kakyu
menyusup ke dalam Istana Vezuza tanpa mengetahui apapun tentang Istana
Vezuza sekaligus menghadapi strategi yang akan dibuat untuk
mempertahankan mahkota dan mencegah Kakyu memasuki Istana Vezuza.
Jelas ini adalah kali pertama Kakyu memasuki Istana. Dan sangat jelas
Raja akan mempersiapkan strategi yang sulit ditembus siapapun khususnya
Kakyu yang masih muda, bersama para Jenderal.
“Saya mengerti, Paduka.”
Raja tersenyum jengkel mendengar jawaban singkat dari pemuda itu
untuk kesekian kalinya.
“Tidak dapatkah engkau mengatakan yang lain selain ‘Baik, Paduka’
ataupun ‘Saya mengerti, Paduka’?”
“Tidak, Paduka,” jawab Kakyu jujur.
Rajan terkesan melihat kejujuran pemuda di hadapannya yang masih
berdiri dengan semangat membara walaupun sepanjang siang ia telah melalui
berbagai rintangan yang melelahkan.
Melihat semangat Kakyu yang tiada kunjung padam itu, Raja semakin
ingin menguji, menguji dan menguji Kakyu. Raja tahu ia takkan pernah puas
menguji Kakyu.
“Baiklah, Kakyu, aku tidak akan menahanmu lagi. Bersiap-siaplah,
Kakyu,” kata Raja, “Tentukan sendiri kapan engkau memasuki Istana, tapi ingat
satu hal. Sebelum waktu makan malam tiba, engkau harus sudah mengambil
mahkota itu dan itu berarti waktumu akan semakin sempit kalau engkau tidak
segera bersiap-siap.”
“Saya mengerti, Paduka.”
“Ingat, Kakyu, engkau baru boleh memasuki Istana tiga jam lagi.”
Untuk kesekian kalinya para pejabat itu terkejut mendengar perkataan
Raja. Saat ini matahari mulai mendekati peraduannya dan tiga jam lagi
matahari telah sampai di peraduannya. Itu berarti Kakyu harus menyusup ke
dalam Istana pada malam hari.
Para pejabat semakin meragukan kemampuan Kakyu. Ketidaktahuan
tentang seluk beluk Istana ditambah harus menghadapi strategi pertahanan
yang sulit ditembus saja sudah membuat Kakyu kesulitan apalagi masih
ditambah suasana malam yang gelap.
4
Setiap orang di sana meragukan keberhasilan Kakyu terlebih lagi saat
mereka melihat semangat Raja yang begitu besar untuk membuat strategi
pertahanan yang kuat.
Baru kali ini mereka melihat Raja Alfonso yang baik hati begitu
bersemangat menguji seseorang apalagi orang itu masih berusia empat belas
tahun.
Hari-hari berikutnya setelah Kakyu menjadi pasukan Istana, mereka tetap
merasa heran melihat semangat menguji Raja tetap besar.
Mereka mengerti mengapa Raja bisa sedemikian bersemangatnya untuk
terus menguji Kakyu.
Ketangguhan dan kepandaian Kakyu dalam menghadapi strategi perang
tidak perlu diragukan lagi. Raja sendiri telah mengakuinya ketika Kakyu
menyerahkan mahkota kerajaan itu padanya.
Semua orang menganggap Kakyu telah gagal ketika sampai saat makan
malam tiba, Kakyu belum juga muncul beserta mahkota curiannya. Bahkan
prajurit yang menjaga Ruang Mahkota pun belum melaporkan hilangnya
mahkota dari ruangan itu.
Tak heran bila mereka sangat terkejut ketika Kakyu tiba-tiba melompat
dari ujung tirai jendela yang tinggi beserta mahkota kerajaan yang asli di
tangannya.
Tanpa banyak berbicara, Kakyu menyerahkan mahkota itu kepada Raja
Alfonso.
“Bagaimana engkau bisa tahu letak mahkota yang asli ini?” tanya Raja
Alfonso keheranan.
Raja mengamati mahkota di tangannya. Sekali melihat saja, ia tahu
mahkota yang dibawa Kakyu adalah yang asli bukan mahkota palsu yang
sengaja diletakkannya di Ruang Mahkota.
Jelas tidak seorangpun dari mereka yang menyusun strategi itu yang
memberitahu Kakyu. Sejak mereka selesai mempersiapkan strategi itu, tidak
seorangpun dari mereka yang beranjak dari sisi Raja.
Bersama-sama mereka menanti perkembangan yang terjadi dari pasukan
yang telah siap di tempat mereka masing-masing. Sejak menyusun strategi itu
mereka terus menanti Kakyu di Ruang Perundingan hingga tiba saat makan
malam ini.
“Tuan rumah tidak akan memberitahu letak harta bendanya pada orang
yang diketahuinya sebagai pencuri,” kata Kakyu tenang.
Sejak awal Kakyu sudah tahu mahkota itu tidak mungkin diletakkan di
Ruang Mahkota seperti kata Raja, tapi Kakyu tidak tahu di mana Raja akan
meletakkan mahkota asli itu.
Baru ketika melihat Ruang Tahta itulah Kakyu menduga mahkota itu ada
di Ruang Tahta. Kakyu beruntung dugaannya tepat.
5
Raja tidak tahu harus berbuat apa. Yang pasti Raja senang sekaligus
kagum pada Kakyu yang dapat menyelesaikan tugas beratnya tanpa kesulitan.
“Aku sangat mengagumi ketangguhanmu, Kakyu, hingga aku tidak tahu
harus berbuat apa,” kata Raja, “Tampaknya aku harus mengakui
kemampuanmu, Kakyu. Engkau telah menembus strategi pertahanan terbaikku
tanpa kesulitan. Aku tidak tahu bagaimana engkau mengetahui letak mahkota
asli ini, tapi aku mengakui kecerdasanmu itu.”
“Terima kasih, Paduka,” kata Kakyu singkat.
Jenderal Reyn bangga pada putranya. Di matanya putranya ini memang
tangguh dan tidak perlu diragukan lagi kemampuannya.
“Kau tidak memasuk Istana dengan cara itu, bukan?” tanya Jenderal
Reyn tiba-tiba.
“Maafkan aku, Papa.”
“Kau tahu itu bahaya, mengapa engkau melakukannya?”
Kecemasan Jenderal Reyn membuat Raja Alfonso tertarik. “Apa yang
kaucemaskan, Reyn? Putramu telah membuktikan kemampuannya dengan
menembus strategi kita.”
“Cara apa yang kaumaksudkan, Reyn?” tanya Jenderal Decker ingin tahu.
“Menyusup lewat atap rumah,” kata Jenderal Reyn.
“Apa!?”
Seruan terkejut semua orang di ruangan itu tidak menganggu
ketenangan Kakyu.
“Setiap kali aku menyuruhnya menyusup ke dalam rumah, Kakyu selalu
melewati atap,” Jenderal Reyn memperjelas, “Dan setiap kali pula aku telah
menasehatinya tapi ia tidak pernah mendengarkanku.”
“Maafkan aku, Papa,” kata Kakyu tenang.
“Sudahlah, aku tahu engkau memang senang menantang bahaya.”
“Sudahlah, Reyn. Jangan kaumarahi lagi putramu. Ia memang benar. Kita
tidak memikirkan kemungkinan ia menyusup melalui atap dan ia berhasil
karena kecerdikannya itu,” kata Raja Alfonso, “Duduklah, Kakyu, aku ingin tahu
bagaimana caramu menyusup ke dalam Istana tanpa diketahui siapapun.”
“Papa!”
Seseorang tiba-tiba berseru di pintu.
Semua mata tertuju pada arah datangnya suara itu dan membungkuk
memberi hormat ketika gadis kecil itu memasuki ruangan, tak terkecuali Kakyu
yang baru pertama kali berjumpa Putri Eleanor.
“Papa, mengapa banyak prajurit yang memenuhi Istana?” tanya Putri
Eleanor, “Apakah terjadi sesuatu?”
“Tidak, Eleanor,” kata Raja Alfonso, “Aku hanya ingin menguji seorang
pemuda.”
“Ia berhasil?” tanya Putri Eleanor tertarik.
6
“Tentu saja, Eleanor. Bagaimana mungkin putra Jenderal Reyn yang
hebat, gagal melewati ujian ini,” kata Raja.
“Putra Jenderal Reyn?” tanya Putri Eleanor semakin tertarik, “Di mana
dia?”
“Ia berada tepat di sampingku,” kata Raja Alfonso sambil menarik Kakyu
ke depannya. “Kukenalkan padamu, Eleanor, pemuda terhebat yang pernah
kutemui, Kakyu.”
Itulah pertama kalinya Putri Eleanor bertemu Kakyu. Dan semua orang
tahu sejak saat itu Putri Eleanor yang hanya setahun lebih muda dari Kakyu,
menyukai pemuda itu.
Walaupun tidak ada yang tahu pasti, tapi semua orang tahu Kakyu
menjadi pengawal pribadi Putri Eleanor, atas permintaan Putri Eleanor sendiri.
Sejak menjadi pengawal Putri Eleanor, semakin banyak orang yang
mengenali Kakyu. Seiring dengan itu semakin banyak pula orang yang
mengagumi pemuda tampan itu.
Sebelumnya Jenderal Reyn memang tidak pernah melarang Kakyu
meninggalkan Quentynna House, tapi Kakyu sendiri yang lebih senang berlatih
di Quentynna House atau di tempat lain yang jauh dari keramaian.
Memang tidak setiap hari Kakyu berada di Quentynna House, ia juga
sering meninggalkan Quentynna House untuk berkuda serta berburu di hutan-
hutan. Tapi karena sifat Kakyu yang pada dasarnya pendiam, tidak banyak
yang tahu tentang pemuda itu.
Sifat pendiam Kakyu tetap melekat pada diri pemuda itu walau ia terus
berada di samping Putri Eleanor yang tidak henti-hentinya mengusik
ketenangan pemuda itu. Ada-ada saja yang dilakukan Putri Eleanor untuk
merepotkan Kakyu. Sebentar ia mengajak Kakyu bermain. Tak lama kemudian
ia memaksa Kakyu menemaninya berjalan-jalan.
Masih belum cukup kerepotan yang ditimbulkan Putri itu, Raja Alfonso
masih menambahi kerepotan Kakyu dengan menyuruhnya melakukan hal yang
aneh-aneh. Ada saja yang dilakukan Raja Alfonso untuk menguji pemuda itu.
Ratu yang melihatnya, merasa baik Raja maupun Putri sedang
mempermainkan Kakyu dan tampaknya mereka senang melakukannya.
Diam-diam Ratu merasa kagum pada kelincahan Kakyu dalam
menghadapi setiap perintah suami maupun putrinya.
Melihat sikap Kakyu yang tetap tenang walaupun tugas yang diterimanya
sangat berat, Ratu Ylmeria yakin putranya yang masih berada di Inggris juga
akan mengagumi pemuda itu.
Kakak Putri Eleanor, Pangeran Reinald yang lebih tua sembilan tahu dari
Putri Eleanor, dikirim ke Inggris oleh Raja Alfonso sepuluh tahun yang lalu.
Pangeran Reinald berada di Inggris bukan untuk bersenang-senang melainkan
untuk bersekolah dii Oxford.
7
Sebelum Pangeran Reinald berangkat, Pangeran tidak pernah bertemu
Kakyu. Tapi Ratu sangat yakin seperti halnya setiap orang di Istana Vezuza,
Pangeran Reinald juga akan mengagumi Kakyu.
Ratu Ylmeria juga sangat yakin Pangeran dan Kakyu akan dapat menjadi
teman baik.
Walaupun Kakyu masih muda, ia nampak dewasa dengan sikap dingin-
dingin tenangnya itu. Kelakuan Kakyupun tidak perlu diragukan lagi, Kakyu
sangat sopan dan dibalik sikap dingin-dingin tenangnya, ia menyimpan
keramahannya.
Ratu tahu bukan itu yang membuat Raja gemar mempermainkan Kakyu.
Kecerdasan yang didukung kelincahan Kakyu dalam usianya yang masih
sangat muda itulah yang menyebabkannya.
Suatu hari yang cerah di musim semi, Raja Alfonso berencana berburu di
hutan di kaki Pegunungan Alpina Dinaria.
Putri Eleanor yang mengetahui rencana ayahnya ini tidak mau
ketinggalan.
Mulanya Raja melarang putrinya ikut, tapi Raja segera mengubah
keputusannya itu saat ia mendapat ide untuk mempermainkan Kakyu lagi.
Raja belum pernah bertanding sendiri dengan Kakyu, karena itu ia
berniat mewujudkan keinginannya itu di Hutan Naullie yang masih lebat dan
berbahaya dengan binatang buasnya.
Seperti biasanya, Kakyu tampak tenang menghadapi tantangan Raja
Alfonso itu.
Kakyu bukan pemuda yang bayak dikagumi orang bila ia tidak berani
menerima tantangan itu apalagi di Hutan Naullie yang paling sering
dikunjunginya.
Jarak antara Chiatchamo dan Naullie yang biasanya ditempuh dalam satu
setengah hari berkuda, biasanya dicapai Kakyu dalam waktu kurang dari satu
hari.
Tapi kali ini ia tidak pergi ke Naullie sendirian. Ada rombongan kerajaan
yang harus dikawal dan dijaganya.
Begitu mereka sampai di Hutan Naullie, Raja segera menyuruh prajurit
mencari tanah yang lapang untuk mendirikan tenda. Karena tidak mungkin
membangun tenda di hutan yang lebat itu, mereka mendirikannya di depan
hutan itu. Hanya perlu berjalan kurang lebih sepuluh meter untuk mencapai
tepi Hutan Naullie.
Rupanya kali ini Raja Alfonso benar-benar tidak sabar ingin segera
mempermainkan Kakyu.
Begitu tenda berdiri, Raja segera memerintahkan pasukannya untuk
bersiap-siap berburu tanpa mempedulikan kelelahan mereka setelah seharian
berkuda lalu mendirikan tenda.
8
Walau keinginan Raja kali ini terkesan keterlaluan, mereka semua
mematuhinya. Bukan karena mereka tidak berani menasehati Raja Alfonso
untuk tidak melakukannya, tapi karena mereka mengerti keinginan Raja itu.
Biasanya tugas atau orang suruhan Raja yang menguji Kakyu, kali ini
Raja Alfonso sendiri yang akan menguji pemuda itu. Dan itu membuat Raja
menjadi tidak sabar.
Lain halnya dengan Kakyu.
Sejak awal Raja Alfonso mengajaknya berburu di Hutan Naullie, Kakyu
berniat untuk tidak menunjukkan apapun kepada Raja. Dengan kata lain sejak
awal mula Kakyu berniat mengalah kepada Raja.
Dalam pikiran Kakyu, tidak pantas ia yang masih muda ini mengalahkan
orang yang telah tua dan lebih berpengalaman darinya. Apalagi orang itu
seorang Raja.
Tapi bukan karena itu saja Kakyu menolak menggunakan senapan
berburu. Tapi karena Kakyu sendiri memang tidak senang berburu.
Kakyu tidak senang memburu binatang hanya untuk kesenangan sendiri.
Perburuan yang sering dilakukan Kakyupun bukan untuk berburu binatang tapi
untuk berburu ilmu.
Kakyu memburu ilmu perang dan kelincahannya di hutan.
Hingga mereka telah siap di punggung kuda masing-masing, Raja Alfonso
tidak tahu Kakyu tidak membawa senapan berburunya.
Raja terkejut melihat Kakyu menyandang busur dan anak panah di
punggungnya.
“Ke mana senapanmu?” tanya Raja kebingungan, “Untuk apa engkau
membawa busur dan anak panahnya itu?”
Bukan hanya Raja yang terkejut melihat senjata yang dibawa Kakyu itu.
Para prajurit lainnya dan Putri Eleanor keheranan melihat senjata Kakyu
itu. Mereka merasa senjata Kakyu tidak cukup umum digunakan untuk berburu
binatang liar yang larinya cepat.
Senapan saja belum tentu dapat mengalahkan hewan-hewan liar itu
apalagi busur dan anak panahnya itu.
Kakyu tersenyum seolah-olah tidak ada yang aneh dan tidak ada yang
perlu dianggap aneh. “Saya menyukai senjata ini.”
Jawaban singkat itu tidak memuaskan Raja Alfonso.
Walaupun Raja Alfonso tahu Kakyu yang pendiam sulit disuruh bicara
panjang lebar, Raja tetap berkata, “Katakanlah dengan jelas, Kakyu. Aku sama
sekali tidak mengerti maksudmu.”
Perintah tegas itu membuat Kakyu mau tidak mau berkata, “Daripada
senapan, saya lebih senang menggunakan busur dan anak panah ini untuk
berburu.”
“Baiklah, Kakyu, aku tidak akan bertanya lebih banyak lagi,” kata Raja
9
Alfonso lalu dengan tersenyum ia meneruskan, “Memang sulit menyuruh
pemuda pendiam sepertimu berbicara panjang lebar.”
Kakyu membalas senyuman Raja.
Kakyu tahu apa yang dikatakannya cukup jelas, hanya Raja saja masih
kurang puas dengan jawaban singkat yang jujur itu.
Kakyu memang tidak bohong. Kakyu membawa busur dan anak panah itu
bukan karena ia tidak mempunyai senapan berburu tapi karena ia memang
menyukai senjata itu.
Dulu ketika Jenderal Reyn pertama kali menunjukkan busur dan anak
panah yang menjadi satu dari sekian harta pusaka keluarganya, keluarga
Quentynna, Kakyu langsung menyukai senjata itu.
Busur dan anak panah itu terlihat anggun dan kuat dalam warna
peraknya.
Jenderal Reyn mengatakan senjata itu terbuat dari besi kuat yang
kemudian disepuh perak.
Tapi bukan karena itu Kakyu menyukai senjata itu. Kakyu menyukai
senjata itu karena kelenturan busurnya dan kecepatan anak panahnya setelah
lepas dari busur.
Tahu putranya menyukai senjata itu, Jenderal Reyn memberikan senjata
itu pada Kakyu dan berpesan agar putranya menjaga senjata itu baik-baik.
Tanpa perlu diberi pesanpun, Kakyu akan menjaga senjata itu baik-baik.
Kakyu sangat menyayangi senjata itu hingga ia begitu jarang menggunakan
anak panah peraknya yang hingga kini masih berjumlah sebelas buah.
Anak panah yang digunakan Kakyu hanyalah anak panah biasa yang
terbuat dari kayu. Walaupun begitu Kakyu tetap membawa serta kesebelas
anak panah itu setiap kali ia membawa busurnya.
Pada hari pertama mereka berada di Naullie, Raja diam saja melihat
Kakyu tidak ikut serta dalam perburuan mereka.
Ketika mereka semua sibuk membidikkan senapan mereka sambil
mengikuti gerak hewan buruan mereka, Kakyu tetap diam di punggung
kudanya. Pemuda itu juga tampak tenang-tenang saja ketika mereka berhasil
mendapatkan hewan buruan mereka.
Pada hari-hari selanjutnyapun Raja tetap diam saja tatkala Kakyu masih
tidak turut serta dalam perburuan mereka.
Raja menduga Kakyu masih berusaha mengenali daerah sekelilingnya
sambil menemukan hewan yang akan diburunya.
Tapi ketika sampai satu minggu lebih keberadaan mereka di sana, Kakyu
masih tidak menampakkan tanda-tanda akan memburu hewan, Raja mulai
heran.
“Mengapa engkau diam saja, Kakyu?” tanya Raja, “Kami semua telah
mendapatkan beberapa hewan, tapi engkau belum satupun. Bahkan engkau
10
tidak menampakkan tanda-tanda akan memburu seekor hewan.”
“Ada apa denganmu, Kakyu? Engkau seperti bukan Kakyu yang kukenal,”
tanya Putri Eleanor pula.
“Tidak ada apa-apa,” jawab Kakyu singkat.
“Jangan mengatakan ‘tidak ada apa-apa’ seperti itu, Kakyu,” sergah Raja,
“Katakanlah masalahmu kepada kami. Katakan pula bila engkau tidak mau
menemani kami di sini.”
“Papa!” seru Putri marah, “Kakyu bukan orang yang seperti itu.”
Raja terkejut melihat kemarahan putrinya. “Maafkan Papa, Eleanor,” kata
Raja Alfonso sambil tersenyum kemudian ia bertanya pada Kakyu, “Apa
masalahmu?”
Sesaat sebelum Kakyu menjawab pertanyaan itu, Kakyu mendengar
suara asing di kejauhan.
Kakyu yakin suara itu bukan suara kuda mereka. Dan yang pasti suara itu
bukan suara prajurit yang berasal dari tenda. Saat ini tenda mereka kosong.
Semua prajurit ikut Raja berburu di Hutan Naullie.
Untuk mencegah Raja curiga, Kakyu cepat-cepat berkata dengan tenang,
“Tidak ada apa-apa, Paduka. Benar.”
“Tidak ada apa-apa, apanya, Kakyu?” tanya Putri Eleanor jengkel melihat
sikap Kakyu yang tenang, “Aku tahu engkau bisa mengalahkan ayahku. Aku
tahu engkau pandai berburu.”
Mulanya Kakyu berharap tadi itu hanya pendengarannya saja yang salah,
tapi sudut matanya menangkap sesuatu yang ganjil.
Kakyu tidak yakin bayangan yang sempat ditangkap matanya itu adalah
orang. Kakyu tahu pasti hutan lebat ini jatang didekati orang dan tidak
mungkin ada orang yang tinggal di hutan yang banyak binatang buasnya ini.
Demi keselamatan Raja Alfonso serta Putri Eleanor, Kakyu tahu ia tidak
boleh mempercayai hal ini semudah itu.
Kakyu berniat untuk menyelidiki hal ini setelah Raja memutuskan kembali
ke perkemahan mereka. Saat ini yang dapat dilakukan Kakyu adalah
melindungi Raja.
Kakyu tahu akan sulit menjaga ketenangan di saat ia mencurigai
sekelilingnya. Tapi untunglah sepanjang hari itu Raja sama sekali tidak
mencurigai apapun.
Di saat semua prajurit tahu mereka akan makan daging hewan buruan
mereka, Kakyu hanya tahu ia harus segera menyelidiki hutan ini sendirian.
Kakyu memutuskan untuk pergi sendiri bukan karena ia yakin ia mampu
tapi karena saat ini tidak ada lagi yang dapat diajaknya.
Dalam perburuan kali ini, Raja hanya mengikutsertakan sejumlah
pasukan Istana. Tidak seorang Jenderalpun yang diajak Raja.
Raja mempercayakan keselamatan dirinya dan putrinya pada Kakyu. Dan
11
Kakyu tahu itu.
Tidak adanya seorangpun yang cukup handal untuk membantunya
menyelidiki hutan ini, membuat Kakyu memutuskan untuk pergi sendiri.
Kakyu tahu di antara pasukan yang pergi ke Naullie ini ada yang sering
melakukan tugas menyusup. Tapi Kakyu tidak berani mengajak mereka sebab
ia yakin mereka tidak mengenal hutan ini sebaik dirinya.
Kakyu pernah mengalami menyusup ke daerah yang sama sekali belum
diketahuinya pada malam hari. Dan ia tahu sulitnya melakukan tugas yang
seperti tugas buta itu.
Begitu sampai di perkemahan, mereka membongkar hasil yang mereka
dapat dari hutan.
Tanpa menanti matahari terbenam, Kakyu segera mengundurkan diri ke
tendanya.
Saat itu pula Kakyu sadar ia tidak membawa persiapan apapun untuk
menyusup ke dalam hutan. Dan itu berarti Kakyu harus mempersiapkannya
sesegera mungkin.
Satu-satunya cara tercepat mempersiapkan keperluannya itu tanpa
membuat siapapun curiga adalah membelinya di kota kecil dekat Naullie,
Farreway.
Untuk lebih menyempurnakan rencananya, Kakyu membawa serta
kudanya. Kepada penjaga kuda, ia berpesan, “Bila ada yang mencariku,
katakan aku pergi berjalan-jalan.”
Sebelum prajurit itu sempat berkata apa-apa, Kakyu telah melajukan
kudanya ke Farreway dengan cepat.
Kakyu beruntung pemilik toko tempat ia membeli perlengkapannya, tidak
curiga melihatnya membeli pakaian serba hitam. Kepada pemilik toko itu,
Kakyu mengatakan ia baru saja memasuki masa berkabung.
Setelah mendapatkan perlengkapannya, Kakyu kembali ke Hutan Naullie
sesegera mungkin.
Guna menjaga orang-orang di perkemahan percaya ia sedang berkuda,
Kakyu menambatkan kudanya di tempat yang jauh dari perkemahan dan cukup
terlindungi dari orang lain.
Kakyu mempersiapkan dirinya sebelum menyusup ke dalam hutan, di
tempat itu juga. Pakaian seragam pasukan Istana yang berwarna putih kebiru-
biruan, disembunyikan Kakyu di semak-semak dekat kudanya.
Ketika Kakyu telah siap, hari masih terang. Kakyu memanfaatkan cahaya
matahari yang mulai terbenam itu untuk memastikan diri dengan memeriksa
tempat di mana ia melihat bayangan seseorang itu.
Kakyu tidak terkejut melihat tempat itu yang seperti telah didatangi
orang.
Tiba-tiba saja Kakyu merasa sangat beruntung pernah mengenal teman
12
ayahnya yang seorang Jepang.
Kenichi yang mengaku dirinya seorang ninja itu mengajarkan ilmunya
kepada Kakyu. Banyak hal yang diajarkannya pada Kakyu. Salah satunya
adalah mencari jejak ini.
Hal lainnya yang diajarkan Kenichi pada Kakyu adalah menyusup ke
sarang musuh dan masih banyak lagi.
Terlalu banyak yang diajarkan Kenichi pada Kakyu hingga rasanya semua
hal mulai dari yang paling mudah sampai yang paling sulit tidak terlewatkan.
Untung saja Kakyu cepat mengerti dan cerdas. Karena sering melatih
ilmunya itu, Kakyu tetap mengingat semua ajaran Kenichi walau telah lama
berselang.
Karena ajaran Kenichi pula, Kakyu memilih mengenakan pakaian serba
hitam dalam penyusupannya di malam hari ini.
Kalau dulu dalam pernyusupannya ke Istana Vezuza, Kakyu mengenakan
pakaian serba putih, maka kali ini Kakyu mengenakan pakaian serba hitam.
Dulu Kakyu akan sangat mudah dilihat bila ia mengenakan pakaian serba
hitam di Istana Vezuza yang terang. Kini justru Kakyu tidak akan mudah dilihat
di Hutan Naullie yang gelap di malam hari.
Kakyu benar-benar menyadari perbedaan penyusupannya ke dalam
Istana Vezuza dengan penyusupannya kali ini.
Melihat jejak yang jelas-jelas bukan jejak binatang itu, Kakyu tahu apa
yang dibayangkannya tidak mungkin terjadi, benar-benar terjadi. Untuk itu
Kakyu harus membuktikannya dengan menyusup ke dalam hutan ini.
Kakyu yakin orang itu bukan penduduk Farreway yang sekedar lewat di
Hutan Naullie saat tadi mereka berburu. Kalau memang benar demikian, orang
itu seharusnya tidak perlu bersembunyi seperti itu walau ia ketakutan.
Lagipula jejak yang ada di hadapan Kakyu jelas-jelas bukan jejak orang
awam. Di tempat ini hampir-hampir tidak ada jejak. Dahan-dahan yang
jatuhpun tampak terjaga keutuhannya.
Kalau orang itu adalah orang awam, ia tentu sudah menginjak dahan-
dahan kecil yang berserakan di tanah ini. Dan pasti Kakyu dapat melihatnya
dengan jelas.
Tapi orang yang dilihat Kakyu melalui sudut matanya tadi benar-benar
pandai. Sikap orang yang tertangkap oleh Kakyu itu menampakkan ia sedang
mengintai.
Sambil menanti langit semakin gelap, Kakyu memikirkan kemungkinan
orang itu bahkan mungkin kelompok orang itu berada.
Kakyu tahu hanya ada satu tempat yang cukup subur dan aman untuk
permukiman di Hutan Naullie. Tempat itu adalah tepi sungai yang melintas di
sebuah lembah di tengah Hutan Naullie.
Walaupun landai, lembah itu sulit dituruni. Banyak semak-semak berduri
13
dan akar-akar tumbuhan besar yang menutupi tanah.
Mungkin karena itulah hewan-hewan enggan mendekati tempat yang
merupakan sumber iar minum bagi mereka itu.
Melihat langit yang sudah gelap, Kakyu segera mengenakan kain
hitamnya untuk menutupi wajah dan rambut merahnya yang terus bersinar
seperti api.
Setelah mengenakan sarung tangan hitamnya, Kakyu benar-benar
nampak seperti serang ninja. Seluruh tubuhnya kecuali matanya tertutup kain
hitam.
Dengan bantuan sinar bintang dan bulan yang menyinari bumi, Kakyu
memulai penyusupannya.
Untunglah langit cerah dan bulan bersinar terang di langit sehingga
Kakyu tidak kesulitan mencapai tempat tujuannya.
Semudah perjalanannya ke lembah itu pula Kakyu menemukan
perkemahan mereka.
Kakyu sama sekali tidak terkejut melihat jumlah kelompok itu yang
sangat banyak. Kakyu juga tidak gentar melihat mereka.
Kakyu tahu ia harus sangat hati-hati bila tidak ingin dilihat mereka.
Barkat semak-semak dan pohon-pohon di lembah itu, Kakyu tidak terlihat
oleh orang-orang di perkemahan yang terang itu.
Perkemahan mereka cukup terang untuk dilihat dari puncak lembah.
Kakyu tersenyum menyadari musuhnya yang tidak sepandai yang
diperkirakannya itu.
Walaupun begitu Kakyu tidak berani menyusup ke dalam perkemahan itu
tanpa persiapan matang. Kakyu hanya berani mengamati perkemahan itu dari
sisi perkemahan itu.
Kakyu bukannya tidak berani menyusup sendirian ke perkemahan itu.
Kakyu berani dan ia yakin ia bisa. Tapi Kakyu tidak ingin rombongan kerajaan
yang berada di tepi hutan ikut menanggung resiko bila ia tertangkap.
Kakyu ingin baik rombongan kerajaan maupun kelompok itu tidak tahu
apa-apa. Cukup Kakyu sendiri yang mengetahui terbongkarnya letak
perkemahan kelompok tak dikenal itu dan bahaya yang dapat ditimbulkan
kelompok itu bagi Raja Alfonso maupun Putri Eleanor.
Kakyu heran melihat banyaknya orang dalam perkemahan itu. Ia lebih
heran lagi melihat perubahan yang terjadi di lembah itu.
Selama kurang dari tiga tahun tidak pergi ke Naullie, lembah yang
dulunya sepi kini menjadi penuh tenda dan orang.
Menilik kelompok itu yang hanya terdiri dari kaum pria serta sikap
mereka yang kasar, Kakyu yakin kelompok itu bukan orang baik.
Untuk lebih meyakinkan dirinya, Kakyu memutari perkemahan itu
sebelum ia kembali ke perkemahan Raja.
14
Kakyu melihat beberapa di antara mereka ada yang tertawa-tawa di
depan api unggun sambil sesekali mengancungkan sebuah botol di tangannya
ke api. Kakyu yakin botol itu berisi minuman keras.
Beberapa di antara mereka juga ada yang bersila di dekat api unggun –
mendengarkan cerita kawan mereka yang lain sambil menghisap cerutu
mereka.
Sikap mereka yang tidak menunjukkan kesopanan meyakinkan Kakyu
kelompok yang ada di depannya ini harus diwaspadai demi keselamatan Raja
Alfonso serta Putri Eleanor yang kini menjadi tanggung jawabnya.
Seperti datangnya yang bagai angin, Kakyupun kembali ke perkemahan
Raja dengan cepat dan tanpa menimbulkan suara.
Semua orang telah terlelap kecuali prajurit yang bertugas menjaga,
ketika Kakyu tiba.
Melihat hal itu, barulah Kakyu menyadari penyusupannya memakan
waktu yang sangat lama. Kakyu tidak tahu berapa tepatnya waktu yang telah
digunakannya, Kakyu hanya tahu saat ia kembali, hari sudah sangat larut
bahkan tidak sampai lima jam lagi, matahari akan terbit.
Perlahan-lahan tanpa membuat prajurit jaga curiga, Kakyu menambatkan
kudanya di antara kuda lainnya kemudian segera beristirahat di tendanya.
Kakyu tahu ia harus dapat bangun pagi seperti biasanya bila tidak ingin
membuat siapapun curiga.

15
2

Namun tak urung juga Raja Alfonso curiga pada Kakyu keesokan harinya.
“Ke mana saja engkau kemarin malam, Kakyu?” tanya Raja Alfonso
antara jengkel dan curiga.
“Saya hanya berjalan-jalan, Paduka,” jawab Kakyu.
“Kenapa sampai malam? Ke mana saja engkau pergi?” rujuk Putri
Eleanor.
“Di sekeliling hutan ini,” jawab Kakyu singkat.
“Akhir-akhir ini engkau memang aneh, Kakyu,” kata Raja Alfonso,
“Jangan-jangan engkau berburu pada malam hari.”
“Itu tidak mungkin, Paduka.”
“Apa yang tidak mungkin bagimu, Kakyu?” kata Raja Alfonso, “Engkau
dapat mengerjakan setiap tugas berat yang kuberikan padamu dengan baik.
Dengan mudah dan cepat, engkau menembus strategi-strategi Jenderal
terbaikku. Bagiku engkau benar-benar menakjubkan sampai-sampai aku
khawatir engkau adalah penyihir.”
“Penyihir umumnya wanita, Paduka.”
“Kalau begitu buktikan padaku kalau engkau bukan wanita.”
Kakyu tersenyum. Ia tahu pasti apa yang diharapkan Raja Alfonso
darinya, tapi ia berkata, “Saya tidak senang berburu, Paduka.”
Raja mengeluh. “Sudahlah, Kakyu, aku menyerah. Aku tidak akan
membujukmu lagi. Aku berbicara sepuluh kata tapi engkau hanya berbicara
sepatah kata. Engkau benar-benar membuatku merasa seperti orang yang
banyak bicara.”
“Tidak, Paduka.”
Raja Alfonso yang telah lelah menghadapi jawaban singkat Kakyu hanya
mengangkat bahunya sambil tersenyum. Kemudian Raja memerintahkan
pasukannya untuk berangkat.
Selama perburuan di hari ini, Kakyu memusatkan perhatiannya pada
sekelilingnya. Kakyu yakin tak lama setelah mengintai, kelompok itu akan
menyerang.
Sama seperti keyakinan Kakyu bahwa mereka tidak akan mengerahkan
banyak orang untuk menyerang Raja.
Kemarin malam Kakyu telah memeriksa tenda tempat mereka
menyimpan senjata dan melihat sendiri senjata yang mereka punyai tidak
banyak.
Lagipula terlalu mudah dilihat bila mereka menyerang besar-besaran.
16
Melihat perkemahan kelompok itu yang tersembunyi baik di tengah
hutan, Kakyu yakin kelompok itu tidak ingin diketahui keberadaannya oleh
siapapun sebelum mereka cukup kuat.
Seperti ajaran Kenichi, Kakyu memusatkan mata hatinya pada
sekelilingnya.
Tiba-tiba Kakyu merasa ada bahaya yang mengancam mereka. Tanpa
melakukan banyak gerakan yang mencurigakan, Kakyu berusaha mencari asal
perasaan itu.
“Bosan!” seru Putri Eleanor, “Sejak tadi kita tidak melihat seekor
hewanpun. Biasanya kita sudah mendapatkan walau hanya satu ekor.”
Seruan Putri tidak mengejutkan Kakyu yang telah dilatih Kenichi dengan
keras.
Putri Eleanor melihat Kakyu. Merasa sikap pemuda itu aneh, Putri
bertanya, “Engkau menemukan hewan apa, Kakyu?”
“Hewan apa yang kauburu, Kakyu?” tanya Raja pula, “Sejak tadi sikapmu
sangat aneh.”
Kakyu yang telah menentukan dengan tepat posisi musuh, segera
mencabut anak panah peraknya dan membidikkannya.
Raja dan Putri Eleanor sama-sama terkejut melihat Kakyu tiba-tiba
menggunakan senjata yang selama ini hanya dibawanya.
Mereka lebih terkejut lagi ketika sesaat kemudian terdengar letusan
senjata di kejauhan diiringi terbangnya burung-burung yang juga terkejut.
Sementara prajurit lainnya sibuk mengelilingi Raja dan Putri sambil
berteriak, “Lindungi Raja dan Putri”, Kakyu memacu kudanya ke tempat ia
membidikkan panahnya.
Kakyu tersenyum puas melihat seorang pria yang lebih tua darinya
meringis kesakitan karena panah perak yang menancap di pundak tangan
kirinya.
Kakyu mengambil senapan pria itu yang tergeletak tak jauh dari pria itu.
“Sebaiknya engkau tidak mencoba berbuat apapun,” kata Kakyu
memperingati, “Racun panahku dapat membunuhmu.”
Pria itu tampak semakin pucat mendengar kata-kata itu.
Kakyu mengamati sekelilingnya sebelum berkata, “Sekarang naiklah ke
kudaku dan aku akan membawamu ke tempat buruanmu.”
Melihat pria itu ragu-ragu, Kakyu berkata, “Sebaiknya engkau segera
menuruti perkataanku sebelum racun itu menyebar ke dalam tubuhmu.”
Pria yang sudah kesakitan dan ketakutan itu hanya dapat menuruti
perintah Kakyu.
Kakyu mengeluarkan tali yang kemarin dibelinya di Farreway dari saku
bajunya. Dengannya, ia mengikat tangan dan tubuh pria itu. Kemudian ia
menuntun kudanya ke sekelompok orang yang masih mengkhawatirkan
17
keselamatan Raja dan putrinya.
Melihat Kakyu mendekat bersama seorang pria yang terluka, mereka
tercengang.
Prajurit yang mengelilingi Raja dan Putri mulai bubar dan membantu
Kakyu menangani pria itu.
“Mengapa engkau kejam seperti ini?” tanya Putri, “Ia pasti tidak akan
mencelakai kita.”
Kakyu tahu mengapa Putri Eleanor berkata seperti itu.
Pria yang sekarang duduk ketakutan di depannya itu memang tidak
tampak jahat.
Kakyu juga yakin pria itu bukan orang jahat apalagi setelah melihat
ketakutan pria itu dalam menghadapi kematian. Kakyu yakin ada sesuatu yang
menyebabkan pria itu hendak membunuh Raja dan itu berkaitan dengan
kelompok yang semalam diintainya.
Namun Kakyu tetap diam.
Putri Eleanor jengkel melihat kediaman Kakyu. “Ia pasti sedang berburu
seperti kita, Kakyu.”
Kakyu tetap diam.
“Kakyu!” seru Putri Eleanor kesal.
“Ia memang sedang berburu, Tuan Puteri,” kata Kakyu pada akhirnya,
“Dan hewan buruannya adalah Anda.”
“Kakyu! Jangan menuduh orang seperti itu,” sergah Putri.
Kakyu melihat pria itu ingin mengatakan sesuatu. Dengan cepat ia
mendahului pria itu, “Jangan bicara, Tuan. Lebih baik engkau menyimpan
tenagamu sebab ini akan sakit sekali.”
“Kakyu!”
Kakyu diam saja mendengar seruan jengkel Putri. Saat ini Kakyu lebih
memusatkan perhatiannya pada panah peraknya yang menancap di pundak
pria itu.
Secepat Kakyu membidikkan panah itu, Kakyu menarik panah itu dari
pundak pria malang itu.
Sebelum darah mengucur dari luka yang cukup dalam itu, Kakyu
mengikat erat-erat pundak pria itu dan menutupi lukanya dengan kain hitam
yang kemarin.
Putri Eleanor tercengang melihat Kakyu yang seperti telah tahu apa yang
akan terjadi, hingga melupakan kejengkelannya.
Kakyu tersenyum pada pria itu tanpa berkata apa-apa. Kemudian ia
bangkit menghadapi Putri Eleanor.
“Di sini tidak nampak seekor hewanpun, Tuan Puteri,” kata Kakyu
menjelaskan, “Satu-satunya hewan buruannya adalah Anda.”
Raja yang sejak tadi diam saja tiba-tiba tertawa. “Engkau benar-benar
18
luar biasa, Kakyu, engkau tidak senang memburu hewan, tapi engkau
memburu orang.”
“Papa!”
“Sudahlah, Eleanor. Kakyu memang benar. Di sini tidak ada seekor
hewanpun dan aku yakin Kakyu mempunyai alasan bahkan mungkin Kakyu
tahu sesuatu.”
Raja menatap lekat-lekat wajah Kakyu, “Aku benar, bukan? Tidak
mungkin engkau setiap hari membawa tali dan kain hitam.”
“Anda benar, Paduka,” kata Kakyu, “Sebelum saya mengatakan yang
saya ketahui, saya harap Anda mendengar nasehat saya.”
“Katakanlah, Kakyu, engkau telah menyelamatkan nyawaku dan putriku,
aku yakin engkau juga akan memberi nasehat demi kebaikanku.”
“Kita kembali ke Istana Vezuza hari ini juga.”
“Apa!?” seru Putri Eleanor terkejut.
Raja tersenyum. “Baiklah, Kakyu. Aku setuju denganmu.”
Walaupun tahu putrinya kecewa karena perburuan yang semula
direncanakan selama sebulan hanya berlangsung selama dua minggu kurang,
Raja tetap memerintahkan mereka berkemas-kemas hari itu juga.
Sebelum Kakyu mengatakan apapun pada Raja Alfonso, Kakyu
memastikan dulu kecurigaannya.
Ketika semua orang sibuk berkemas, Kakyu berbicara dengan pria itu.
“Siapakah nama Anda?” tanya Kakyu membuka percakapan.
“Halberd, Tuan,” jawab pria itu dengan ketakutan yang nampak jelas baik
melalui wajah maupun suaranya.
Kakyu tersenyum. “Jangan takut, saya hanya ingin berbicara dengan
Anda.”
“Ten… tentu, Tuan.”
“Panggil saya Kakyu.”
“Ten… tentu, Tu… an.”
Kakyu tersenyum melihat ketakutan pria itu. “Jangan takut. Saya benar-
benar hanya ingin berbicara dengan Anda. Saya tahu Anda bukan orang jahat.”
Halberd tertunduk diam.
“Katakanlah kepada saya, orang yang menyuruh Anda membunuh Raja.”
Halberd masih diam.
“Kalau Anda tidak mengatakannya, saya tidak dapat menjamin Anda
akan selamat. Setelah tiba di Istana Vezuza, mungkin Anda akan dihukum mati
oleh Raja. Tapi mungkin saja Anda sudah mati sebelum itu oleh racun panah
saya.”
“Ja… jangan, Tuan. Saya tidak ingin mati.”
“Bila Anda ingin selamat, katakanlah kepada saya apa yang membuat
Anda melakukan ini semua,” kata Kakyu lembut.
19
Halberd menatap lekat-lekat wajah Kakyu seakan-akan ingin mencari
kebenaran di sana.
“Anda janji, Tuan?”
“Tentu saja.”
Sorenya rencana mereka semula berubah.
Raja yang telah menyerahkan segalanya pada Kakyu, hanya menyetujui
semua keinginan pemuda itu sambil menghibur kekecewaan putrinya.
Sore itu tenda yang seharusnya sudah dibongkar, tetap berdiri di tepi
Hutan Naullie. Mereka tetap melakukan kegiatan mereka seperti hari-hari
sebelumnya.
Semua itu dilakukan Kakyu untuk mencegah kelompok tak dikenal di
tengah hutan itu curiga sementara ia dan beberapa pasukan Istana lainnya
menyelamatkan keluarga Halberd.
Dari Halberd, Kakyu mengatahui kelompok yang diintainya kemarin
malam berencana untuk membunuh Raja beserta keluarganya.
Kata Halberd, kelompok pemberontak itu memaksanya membunuh Raja
dan putrinya saat mereka berburu atau keluarganya akan mati.
Kakyu telah berjanji akan menyelamatkan keluarga Halberd dan kini ia
sedang berusaha mewujudkannya bersama lima orang prajurit Istana lainnya
yang merupakan pilihan Raja.
Karena mereka akan melakukannya di malam hari, maka seperti kemarin,
Kakyu mengenakan pakaian serba hitam.
Semua orang terkejut melihat Kakyu muncul dari tendanya dengan
pakaian serba hitam seperti pencuri.
Tanpa mengatakan apa-apa, Kakyu menyuruh kelima orang pilihan Raja
itu untuk mengenakan pakaian serba hitam sepertinya.
Kepada prajurit yang terpaksa membeli pakaian itu di Farreway, Kakyu
berpesan agar prajurit itu mengatakan hal yang sama seperti dirinya bila
pemilik toko bertanya. Kepadanya pula Kakyu menitipkan sehelai kain hitam
untuk menggantikan kain penutup wajahnya yang digunakannya untuk
membalut luka Halberd.
Seperti sehari sebelumnya, Kakyu memulai aksinya setelah langit
menghitam.
Penampilan Kakyupun seperti kemarin malam. Bedanya kali ini ia
membawa busur dan anak panahnya.
Semua terpana melihat penampilan Kakyu yang seperti mata-mata
bersenjatakan busur dan anak panah itu dan kelima pasukan lainnya yang juga
seperti mata-mata tapi tanpa penutup kepala dan bersenjatakan pedang.
Kakyu memang melarang yang lain membawa senapan.
Satu suara letusan senjata api dapat membuat keluarga Halberd semakin
berada dalam bahaya.
20
Kakyu yakin kelompok pemberontak itu tidak akan membiarkan keluarga
Halberd di Farreway bebas begitu saja.
Berapa orang yang menjaga tempat itu, Kakyu tidak tahu pasti. Tapi
Kakyu yakin ia dan kelima prajurit terbaik pilihan Raja dapat menyelamatkan
keluarga malang itu.
“Kakyu, engkau tampak seperti mata-mata yang hebat,” kata Putri
Eleanor kagum.
“Terima kasih, Tuan Puteri.”
Raa tertawa melihat Kakyu. “Engkau tidak mau memburu binatang tapi
sekarang engkau akan memburu manusia.”
Kakyu diam saja. Raja benar saat ini ia akan memburu orang bukan
hewan. Tepatnya anggota kelompok pemberontak itu.
“Segeralah pergi berburu, Kakyu. Aku ingin tahu berapa ‘hewan’ yang
akan kaudapatkan.”
Tanpa perlu disuruh dua kali, Kakyu dan kelompoknya segera pergi.
Langsung menuju sasaran.
Kelima pasukan pilihan Raja yang jauh lebih tua dan berpengalaman dari
Kakyu, tidak ada yang membantah maupun tersinggung ketika Kakyu
memberikan perintah-perintahnya.
Seperti Raja Alfonso, mereka mempercayai kemampuan Kakyu.
Kakyu yang menugasi dirinya melumpuhkan penjaga di luar rumah
Halberd dengan panahnya, segera menangkap letak orang itu dan
membidikkan panahnya.
Kecepatan gerak Kakyu membuat prajurit lainnya yang ditugasi Kakyu
untuk segera mengikat orang yang dipanah Kakyu, terpana beberapa saat.
Untung Jewry cepat mengikuti Kakyu yang telah berlari mendekati
‘hewan’ buruannya. Yang lain segera mengikuti mereka.
Ketika yang lain mengikat pria malang yang terluka pundaknya, Kakyu
mengintip ke dalam rumah melalui jendela kaca.
Seperti penjaga di luar, di dalam rumah hanya ada satu orang yang
menjaga dengan senapan panjang di tangannya.
Sebelum menentukan langkah selanjutnya, Kakyu mengamati keadaan
rumah itu terlebih dahulu.
Kakyu segera kembali ke sekelompok orang yang telah menantinya.
“Di dalam hanya ada satu penjaga,” kata Kakyu, “Tapi aku tidak ingin kita
menerobos langsug ke dalam.”
“Kami mengerti,” kata Fahd.
Kakyu menatap pria yang telah terikat dengan panah yang masih
menancap di pundak kanannya.
“Cukup dua orang yang ikut bersamaku,” kata Kakyu, “Yang lainnya
menjaga pria ini.”
21
“Aku ikut,” kata Raugh tiba-tiba.
Kakyu yang lebih banyak menghabiskan waktunya dengan mengawal
putri Eleanor sejak ia masuk Istana, tidak tahu manakah yang terbaik dari
kelima pengawal pribadi Raja ini.
“Phil, Paduka mengatakan engkau dapat membantuku,,” kata Kakyu pada
prajurit yang paling diandalkan Raja tadi siang saat ia meminta Raja
memilihkan lima orang yang akan membantunya.
Phil mengangguk tanda mengerti. “Keinginanmu terkabul, Raugh. Engkau
dan aku ikut Kakyu. Yang lain jaga baik-baik pria ini.”
Sebelum pergi lagi, Kakyu berkata perlahan pada pria itu hingga tak
terdengar olah yang lainnya, “Kalau saya adalah Anda, saya tidak akan
bergerak sehingga racun panah itu tidak menyebar.”
Kepada Phil dan Raugh, Kakyu menjelaskan singkat rencananya
kemudian ia memulai tugasnya sendiri.
Sewaktu Phil dan Raugh menanti waktu yang ditentukan di depan pintu
masuk, Kakyu, dengan ajaran Kenichi, memanjat ke atap rumah.
Dengan tali yang digunakannya untuk memanjat itulah, Kakyu perlahan-
lahan meluncur ke dalam cerobong asap.
Pakaian serba hitam Kakyu menyembunyikan tubuhya di perapian yang
gelap itu.
Sambil menanti Phil dan Raugh mendobrak masuk, Kakyu menghitung
jumlah anggota keluarga Halberd yang berada di ruangan itu.
Merasa waktu yang diberikan pada Kakyu cukup lama, Phil dan Raugh
mendobrak pintu. Dan dengan senjata terhunus, mereka berkata, “Jangan
bergerak.”
Perhitungan Kakyu tepat. Pria anggota kawanan pemberontak itu segera
menodongkan senapannya pada seorang anggota keluarga Halberd yang
berada di dekatnya.
Putra tertua Halberd, ketakutan melihat senapan itu ditodongkan ke
kepala adiknya.
Seisi rumah menjerit kaget ketika sesaat kemudian pria itu jatuh beserta
senapannya dan di belakang pundaknya tampak sebuah panah menancap
kokoh.
Phil tersenyum melihat sinar perak busur Kakyu di perapian di
seberangnya.
Berlainan dengan keluarga Halberd yang menganggap Kakyu yang keluar
perlahan-lahan dari perapian dengan busurnya, sebagai pencuri.
Phil dan Raugh segera mengikat pria kedua yang dijatuhkan Kakyu
sementara Kakyu memungut senapannya.
“Jangan takut, Nyonya,” kata Kakyu, “Suami Anda yang meminta kami
untuk menyelamatkan Anda.”
22
Wanita itu hanya mengangguk ketakutan sambil memeluk kedua
putranya.
“Boleh saya meminjam kereta Anda?”
“Ten… tentu,” jawab wanita itu terbata-bata.
“Terima kasih, Nyonya.”
Kakyu segera membawa kereta Halberd yang berada di belakang rumah,
ke depan pintu.
Kepada Fick yang menjaga di luar, diperintahkannya untuk menaikkan
pria itu ke kereta. Kemudian kepada Phil diperintahkannya hal yang sama.
“Nyonya, naiklah ke kereta,” kata Kakyu.
“Di mana suami saya?” tanya wanita itu memberanikan diri.
“Ia aman bersama kami,” jawab Kakyu, “Sekarang Anda sebaiknya ikut
bersama kami.”
“Mari saya bantu, Nyonya,” kata Fick sambil mengulurkan tangannya
kepada istri Halberd yang masih berdiri ketakutan di samping kereta.
“Kakyu, tampaknya ia takut pada penampilanmu yang seperti pencuri
itu,” kata Fick, “Sebaiknya engkau lepaskan topengmu. Sekarang tempat ini
sudah aman.”
“Tidak, Fick, tempat ini belum aman,” kata Kakyu, “Mereka bisa datang
sewaktu-waktu.”
Mendengar kata-kata itu, wanita itu semakin ketakutan. Ia cepat-cepat
menaikkan kedua putranya ke kereta kemudian ia sendiri naik.
Kakyu tersenyum di balik topengnya melihat wanita itu meringkuk
ketakutan di pojok kereta yang cukup besar itu sambil memeluk putra-
putranya.
“Kalian juga cepat naik,” perintah Kakyu pada Fick dan Fahd yang masih
berdiri di sampingnya.
Kakyu membiarkan rumah Halberd tetap terang.
Setelah menutup kembali pintu rumah kecil itu, Kakyu naik ke kereta.
Kakyu duduk sendiri di depan. Kakyu pula yang menjalankan kereta itu.
“Untung kereta ini besar sehingga kita tidak perlu berdesak-desakkan,”
kata Jewry.
“Benar,” sahut Fick, “Tapi panah ini menganggu saja.”
“Tarik saja.”
“Jangan kaulakukan, Fahd,” Kakyu memperingati.
“Baik, Kakyu.”
“Biar aku menggantikanmu, Kakyu,” kata Phil, “Engkau pasti lelah.”
“Tidak, Phil. Aku harus mengarahkan kuda ini ke jalan yang tepat yang
tidak membuat mereka curiga.”
“Baiklah, Kakyu. Terserah engkau.”
Kakyu tidak berkata apa-apa sesudahnya.
23
Dugaan Kakyu benar. Kelompok yang menyembunyikan dirinya di tengah
Hutan Naullie yang lebat itu memang bukan orang baik. Mereka adalah
sekelompok pemberontak.
Dari mana datangnya kelompok itu, Kakyu tidak tahu. Tapi yang pasti
harus ada yang menjaga Hutan Naullie sejak saat ini.
Kakyu tahu ia bisa saja memberitahu tempat pemberontak itu dan
menghancurkannya sebelum pemberontak pecah. Tapi siapa yang akan
percaya pada pemuda seperti dirinya.
Walaupun Raja mengagumi Kakyu, Raja masih meragukan
kemampuannya di usianya yang masih muda ini. Terbukti dengan banyaknya
tugas berat yang diberikan Raja Alfonso padanya.
Kakyu menyadari hal ini.
Kakyu yakin dengan tidak kembalinya dua kawan mereka, pemberontak
itu akan curiga. Itu berarti keselamatan Raja Alfonso dan Putri Eleanor semakin
terancam.
Kakyu tahu apa yang harus dilakukannya.
“Kita telah tiba, Nyonya,” kata Raugh.
Kakyu melompat turun dari kereta diiringi pasukan lainnya.
Raugh dan Fick kembali membantu keluarga Halberd turun dari kereta.
Raja yang baru keluar dari tendanya, tersenyum melihat dua pria yang
terikat di kereta pengangkut jerami itu.
“Engkau mendapat dua ekor ditambah sebuah kereta,” Raja menghitung.
“Kami terpaksa meminjamnya untuk membawa rombongan ini ke sini
karena tadi kami tidak membawa seekor kudapun,” kata Phil melaporkan.
“Bagaimana perasaan kalian dapat bekerja bersama Kakyu?”
“Pemuda ini memang mengagumkan, Paduka,” kata Jewry sambil
menepuk pundak Kakyu.
“Ialah yang melumpuhkan kedua penjahat itu,” tambah Phil.
“Ya, aku melihat panahnya menancap di pundak kedua orang itu.”
“Kakyu hebat sekali, Paduka. Dua kali ia tepat mengenai pundak
sasarannya sehingga mereka menjatuhkan senjatanya tanpa sempat menarik
picunya,” kata Raugh.
“Dan mereka tidak akan dapat memegang senjata mereka lagi,” tambah
Jewry.
“Tampaknya kalian benar-benar dibuat kagum olehnya,” kata Raja
Alfonso, “Aku iri pada kalian. Seharusnya tadi aku juga ikut kalian.”
“Paduka, saya ingin menangani kedua pria ini, bila Anda tidak
keberatan,” sela Kakyu.
“Lakukan saja, Kakyu. Aku tahu engkau sedang memburu sesuatu.”
“Terima kasih, Paduka.”
Dengan ijin Raja Alfonso, Kakyu membawa keluarga Halberd pada
24
Halberd beserta dua pria hasil berburunya.
Kedua putra Halberd segera berlari memeluk ayahnya sementara itu istri
Halberd terkejut melihat suaminya terikat dalam keadaan terluka.
“Berbicaralah dengan Halberd, Nyonya. Saya tidak akan menganggu,”
kata Kakyu sambil menuntun dua pria lainnya yang juga terikat seperti
Halberd, ke sudut sudut tenda lainnya.
Kakyu mendudukkan kedua pria itu di lantai. Baru setelah itu ia
melepaskan topeng kain ala ninjanya.
Kedua pria yang telah diberitahu mengenai panah beracun itu, diam saja
ketika Kakyu menarik panah itu dan membalut luka mereka dengan kain
hitamnya.
“Sebaiknya kalian berterus terang padaku bila kalian ingin selamat.”
Kakyu melayangkan pandangannya ke pintu tenda yang dijaga dua
prajurit kemudian beralih kepada dua pria di depannya.
“Kawan kalian mungkin dapat meloloskan kalian dari tenda ini tapi kalian
tidak akan dapat meloloskan diri dari racun panahku.”
Kakyu diam memperhatikan kedua pria itu sebelum melanjutkan. “Racun
ini bukan sembarang racun,” kata Kakyu sambil memperhatikan mata panah
yang berlumuran darah itu, “Racun ini racun khusus yang obat penawarnya
hanya dimiliki olehku.”
“Kalau kalian tidak mau berkata jujur, aku yakin kalian mati menderita
oleh racunku,” tambah Kakyu – berbahaya.
Tatapan tajam Kakyu yang sebahaya ucapannya berhasil membuat kedua
pria itu bercerita panjang lebar tentang kelompok mereka.
Tapi mereka tetap mengatakan tidak mengetahui tempat persembunyian
pemberontak itu walau Kakyu telah berkata,
“Pengakuan kalian di sini lebih ringan daripada di Istana Vezuza. Raja dan
para Jenderal lainnya tidak akan segan-segan menghukum kalian bila kalian
berbohong.”
Tak seorangpun dari mereka yang tahu kalau Kakyu sudah mengetahui
tempat persembunyian mereka.
Setelah puas dengan keterangan yang didapatnya, Kakyu tersenyum dan
berkata, “Maafkan saya saya yang telah membohongi Anda, Tuan-tuan. Panah
ini sama sekali tidak beracun.”
Seperti halnya Halberd tadi siang, kedua pria itu terkejut dengan
pengakuan Kakyu.
Kakyu sengaja berbohong baik kepada Halberd maupun kedua pria itu
demi mendapatkan keterangan yang diinginkannya.
Walaupun panah yang digunakannya malam ini adalah panah kayu,
keduanya sama-sama tidak beracun.
Bila tadi siang Kakyu tidak menggunakan panah kayunya, itu karena
25
panah perak yang sedang melesat takkan mudah dilihat di bawah sinar
matahari. Sebaliknya panah kayu yang melesat takkan mudah dilihat di malam
hari.
Kakyu meninggalkan kedua pria yang sedang menyesali diri itu.
“Anda tidak boleh tinggal di sini, Nyonya.”
“Mengapa Anda tidak melepaskan suami saya? Ia tidak bersalah,” kata
wanita itu.
“Saya tidak dapat melepas orang yang hendak membunuh Raja sebelum
pengadilan atau Raja sendiri yang membebaskannya.”
“Apakah Ayah akan dihukum mati?” tanya putra tertua Halberd.
“Tidak,” jawab Kakyu, “Raja Alfonso seorang yang pemurah. Ia tidak akan
menjatuhkan hukuman berat kepada Halberd apalagi setelah mengetahui
Halberd melakukannya karena diancam.”
“Saya ingin tinggal di sini,” wanita itu bersikeras.
“Anda tidak boleh melakukannya, Nyonya.”
“Imma, sebaiknya engkau ikuti saja kata-kata Tuan ini,” Halberd ikut
membujuk, “Ia tidak akan mencelakaiku. Ia sangat baik padaku.”
“Tapi, Halberd, lukamu itu…”
“Lukaku tidak apa-apa, Imma. Tuan ini telah mengobatinya.”
“Bila Anda tidak memikirkan diri Anda, Nyonya, setidak-tidaknya pikirkan
kedua putra Anda yang masih kecil ini,” kata Kakyu, “Anda tentu tidak ingin
mereka tidur di tempat yang tidak nyaman ini.”
Imma memandang kedua putranya sebelum mengikuti Kakyu.
Karena tidak ada tenda kosong lagi, Kakyu membawa mereka ke
tendanya sendiri.
“Tunggu sebentar di sini,” kata Kakyu, “Saya akan merapikan tenda ini.”
Seperti yang diucapkannya, Kakyu segera keluar.
Kakyu tersenyum pada Imma yang terkejut melihat pakaian hitamnya
telah berganti menjadi seragam putih kebiru-biruan dengan sebilah pedang
panjang di pinggang kirinya dan busur beserta anak panah di tangannya.
“Berisitirahatlah di dalam, Nyonya,” kata Kakyu, “Besok pagi-pagi sekali
kita akan berangkat ke Chiatchamo.”
Imma mengangguk kemudian membawa kedua putranya masuk.
Kakyu segera menuju tenda tempat Halberd dan kedua pria itu diikat.
“Berjaga-jagalah,” kata Kakyu pada prajurit yang menjaga tenda, “Kawan
mereka bisa muncul sewaktu-waktu.”
“Kami mengerti.”
Kakyu tersenyum puas kemudian menuju tenda terbesar tempat Raja
Alfonso berada.
Kakyu terkejut melihat Raja Alfonso masih bercakap-cakap dengan kelima
orang yang melakukan penyelamatan keluarga Halberd bersama-sama
26
dengannya itu.
“Kami baru saja hendak mencarimu, Kakyu,” kata Raja.
“Sebaiknya Anda berisitirahat sekarang juga, Paduka,” saran Kakyu.
“Mengapa?” tanya Raja Alfonso keheranan.
“Besok sebelum langit terang, kita harus meninggalkan tempat ini.”
“Apa tidak terlalu pagi, Kakyu?” tanya Raugh.
“Itulah saat yang kita cari. Kita harus meninggalkan tempat ini.”
“Apa tidak terlalu pagi, Kakyu?” tanya Raugh.
“Kita harus sudah meninggalkan hutan ini sebelum mereka mencium
kejanggalan yang ada.”
“Mereka siapa, Kakyu?” tanya Phil, “Sejak tadi engkau menyebut
‘mereka’ tanpa memberi penjelasan apapun.”
“Kali ini engkau harus mengatakan semua yang kauketahui padaku,
Kakyu,” tegas Raja Alfonso.
“Di suatu tempat di hutan ini ada sekelompok orang yang mengincar
nyawa Anda, Paduka,” Kakyu menjelaskan singkat.
Mereka terkejut.
“Di hutan ini?” tanya Phil tak percaya.
Kakyu mengangguk.
“Engkau memang menakjubkan, Kakyu. Tak salah bila putriku
menyukaimu,” kata Raja, “Engkau telah mengetahui letak musuh sebelum
kami yang telah berpengalaman ini.”
“Saya mengetahuinya dari Halberd,” kata Kakyu merendahkan diri.
“Tapi sebelumnya engkau telah mengetahuinya, bukan?”
Kakyu tidak ingin berbohong kepada Raja juga tidak ingin mengaku. Ia
memandang tenang wajah curiga Raja Alfonso.
“Pasti ini ada hubungannya dengan kepergianmu kemarin sore yang
mencurigakan.”
Sekali lagi Kakyu tidak mengaku juga tidak berbohong pada Raja Alfonso.
Dengan tenang ia berkata, “Sebaiknya Anda segera berisitirahat, Paduka.”
“Baiklah, Kakyu,” kata Raja Alfonso mengalah, “Hingga kapanpun akan
tetap sulit menyuruhmu berbicara panjang lebar.”
“Sebaiknya kalian juga beristirahat,” kata Kakyu pada kelima pengawal
pribadi Raja Alfonso.
Mereka berenam segera mengundurkan diri dari tenda Raja.
“Apa yang sekarang akan kaulakukan, Kakyu?” tanya Phil.
“Aku akan berjaga-jaga,” kata Kakyu singkat.
“Aku akan menemanimu,” kata Raugh.
“Tidak,” kata Kakyu tegas, “Kalian harus beristirahat.”
“Engkaulah yang harus berisitrahat, anak muda,” kata Jewry sambil
menepuk pundak Kakyu.
27
“Besok kalian harus dapat menjaga keselamatan Raja. Malam ini nyawa
Paduka masih aman, tapi tidak besok.”
Phil memikirkan kata-kata Kakyu itu kemudian berkata, “Ia benar. Malam
ini kita harus menyerahkan keselamatan Raja padanya. Dan di hari berat esok,
kitalah yang akan menggantikannya.”
“Baiklah,” kata Jewry, “Selamat malam, Kakyu.”
“Selamat malam,” balas Kakyu.
Kakyu mengiringi kepergian mereka dengan pandangan matanya.
Setelah kelima orang itu memasuki tenda masing-masing, Kakyu mulai
berkeliling di sekitar perkemahan mereka sambil menantikan datangnya pagi.

28
3

Ketika waktu yang dinantikannya tiba, Kakyu mulai membangunkan


setiap orang.
Yang paling dulu dibangunkan Kakyu adalah prajurit jaga baik yang
menjaga tenda-tenda penting maupun yang menjaga seluruh perkemahan.
Semua orang kecuali yang telah mengetahui rencana Kakyu, heran.
Mereka tidak mengerti mengapa mereka dibangunkan pagi-pagi lalu disuruh
segera berkemas.
Tapi mereka semua mematuhi perintah yang tersebar cepat itu kecuali
Putri Eleanor yang jengkel kepada Kakyu dengan rencananya yang berulang
kali berubah itu.
Untung Raja Alfonso segera menangani putrinya yang manja itu walau
pada akhirnya ia menyerah dan menyuruh pengawal pribadi putrinya, Kakyu,
mengatasi gadis itu.
Kakyu yang sudah kerepotan dengan rencananya itu, semakin dibuat
repot oleh Putri Eleanor. Waktu yang semakin sempit tidak membuat Kakyu
bingung.
Kakyu meminta Imma dan kedua putranya menemani Putri Eleanor yang
semakin jengkel karena diacuhkan Kakyu.
Hingga mereka telah selesai berkemas-kemas, Kakyu belum bertemu
Putri Eleanor di dini hari ini.
Mereka baru bertemu ketika Kakyu melihat Putri tidak mau naik kereta
bersama-sama Imma dan kedua putranya.
Kakyu mengerti Putri Eleanor sangat marah kepadanya. Tapi tidak ada
lagi yang dapat dilakukan Kakyu selain menaikkan kedua penjahat yang terikat
itu ke atas punggung kuda. Kakyu tidak dapat membiarkan kedua pria itu
berada di kereta Halberd bersama-sama keluarga itu. Ia juga tidak dapat
mengosongkan punggung seekor kudapun.
Ketika berangkat ke Naullie, rombongan Istana itu hanya terdiri dari tujuh
belas orang termasuk Raja dan Putri. Masing-masing orang menunggangi
seekor kuda. Dan ketika kembali, rombongan mereka bertambah enam orang
serta sebuah kereta petani.
Guna melengkapi rencananya untuk tidak memisahkan kedua pria itu
sekaligus menjauhkan mereka dari keluarga Halberd, Kakyu meminta Putri
Eleanor merelakan kudanya untuk pemberontak itu sehingga masing-masing
pria itu menaiki seekor kuda.
Semua telah diperhitungkan Kakyu dengan matang kecuali sikap Putri
29
Eleanor.
Mulanya Kakyu berpikir Putri akan mengerti permintaannya ini. Tapi
rupanya kejengkelan Putri Eleanor pada pemuda itu membuatnya tidak mau
mengerti hingga Raja Alfonso menyerah membujuk Putrinya itu.
“Engkau membuatku jengkel, Kakyu,” kata Putri Eleanor saat melihat
Kakyu, “Kemarin siang engkau ingin kita berkemas-kemas lalu sesaat kemudian
engkau ingin kita tetap tinggal. Pagi ini engkau membangunkan kami semua
pagi-pagi dan menyuruh kami segera berkemas. Dan sekarang engkau
menyuruhku naik kereta.”
“Maafkan saya, Tuan Puteri,” kata Kakyu tenang dan singkat.
“Tidak adakah yang dapat kaukatakan selain ‘maaf’?”
Kakyu tahu Putri Eleanor semakin jengkel mendengar jawaban
singkatnya, tapi ia tetap berkata, “Tidak ada, Tuan Puteri.”
“Jangan memberiku jawaban pendek, Kakyu!”
“Saya berharap Anda mengerti permintaan saya ini, Tuan Puteri,” kata
Kakyu, “Keselamatan Anda semakin terancam bila Anda terlalu lama berada di
sini.”
“Aku tidak peduli,” balas Putri Eleanor tenang, “Keselamatanku adalah
tanggung jawabmu.”
Kakyu tetap tenang menghadapi Putri Eleanor. “Bila Anda tidak
mempedulikan keselamatan Anda, Tuan Puteri, setidak-tidaknya Anda
mempedulikan keselamatan Paduka serta keluarga Halberd yang juga
terancam.”
Putri memperhatikan kedua putra Halberd yang memeluk ibunya erat-
erat.
“Bailkah, Kakyu,” Putri Eleanor akhirnya mengalah, “Tapi ingat, aku
malakukannya demi mereka bukan karenamu.”
Kakyu tersenyum. “Terima kasih, Tuan Puteri.”
Putri Eleanor jengkel melihat senyum itu dan ia semakin jengkel ketika ia
naik kereta dibantu prajurit lain bukan Kakyu.
“Engkau berhasil membujuk putriku, Kakyu,” kata Raja Alfonso sambil
tersenyum.
Kakyu membalas senyuman itu tanpa berkata apa-apa.
Mereka kembali ke Istana Vezuza dimulai dari empat prajurit yang
ditugas Kakyu menjaga di depan.
Diikuti Raja dan Jewry serta Raugh yang mengawal di samping kanan
kirinya. Jewry dan Raugh masing-masing menarik seekor kuda yang
ditunggangi pria hasil berburu Kakyu.
Di belakang mereka, kereta Halberd dengan masing-masing dua prajurit
di kanan kirinya.
Sebagai penutup formasi perlindungan Raja Alfonso dan Putri Eleanor
30
yang sengaja dibuat mencolok oleh Kakyu itu, Kakyu meletakkan Phil serta dua
prajurit lainnya di belakang.
Sementara itu Kakyu sendiri berada di luar formasi yang dirancangnya
dengan mencolok itu.
Dengan formasi yang mencolok ini, Kakyu berharap kelompok
pemberontak yang melihatnya, berpikir mereka tahu segala sesuatu tentang
kegiatan mereka dan akhirnya mereka mengundurkan niat mereka.
Seringkali ketika pasukan Istana berjalan sambil tetap mengelilingi Raja
dan kereta Halberd, Kakyu menghentikan kudanya untuk memperhatikan
sekelilingnya.
Tak jarang pula Kakyu mendahului formasi itu untuk memeriksa
keamanan jalan yang akan mereka lalui.
Mereka terus berada dalam posisi itu hingga mereka tiba di Istana Vezuza
keesokan harinya.
Semua orang di Istana terkejut melihat kedatangan Raja Alfonso yang
lebih cepat dua minggu dari yang direncanakan. Terlebih lagi saat melihat
hewan buruan Raja yang tidak hanya terdiri dari hewan itu.
Begitu tiba di Istana Vezuza, Raja Alfonso segera mengumpulkan para
Jenderal dan pejabat untuk memeriksa ketiga pria yang ditangkap Kakyu.
Kakyu merasa ia tidak perlu memberi tahu apapun kepada Raja Alfonso.
Raja dan para pejabat lainnya dapat mengetahui apa yang ingin mereka
ketahui dari ketiga pria itu.
Karena itu Kakyu memilih menenangkan kekhawatiran Imma saat melihat
Halberd dikawal masuk Istana Vezuza, setelah menyelesaikan tugas akhir dari
pengawalannya hari ini.
Kakyu tidak terkejut ketika melihat Imma dan kedua putranya bersama
Putri Eleanor. Kakyu tahu dalam perjalanan pulang ke Chiatchamo, Putri yang
satu kereta dengan keluarga Halberd itu menjadi akrab dengan mereka.
“Apa yang terjadi pada Halberd?”
“Raja dan para Jenderal serta pejabat lainnya sedang memeriksanya
bersama dua pria lainnya, Tuan Puteri.”
“Ia akan baik-baik saja?”
“Jangan khawatir, Imma, mereka hanya memeriksanya bukan
menghukumnya.”
“Jangan khawatir, Imma, Papa bukan orang yang kejam,” Putri Eleanor
turut menghibur Imma, “Papa tidak akan menghukum Halberd karena aku yang
akan memintanya. Aku yakin Papa tidak akan menolak permintaanku ini.”
Kakyu meragukan keyakinan Putri Eleanor.
Walaupun semua orang tahu Raja Alfonso baik hati, Raja bisa berbuat
kejam bila memang diperlukan.
Apa yang akan menimpa Halberd, tergantung pada pemeriksaan yang
31
dilakukan Raja ini.
Kakyu yakin hingga malam nanti Raja, para Jenderal serta pejabat yang
menangani urusan dalam negeri khususnya keamanan, tidak akan selesai
memeriksa ketiga pria malang itu.
Setelah selesai diperiksa, Kakyu yakin ketiga pria malang itu masih
belum bisa mendapatkan pengobatan yang lebih baik dari yang telah diberikan
Kakyu.
Raja dan yang lain pasti akan langsung merundingkan masalah
pemberontakan ini sesudah menyelesaikan pemeriksaan mereka.
Dan pasti mereka akan melupakan ketiga pria malang itu sewaktu
mereka sibuk berunding.
“Sekarang mereka ada di mana, Kakyu?” tanya Putri Eleanor.
“Di Ruang Tahta.”
“Aku akan ke sana.”
“Jangan, Tuan Puteri,” cegah Kakyu.
“Mengapa engkau mencegahku, Kakyu?”
“Raja tidak ingin diganggu.”
Putri Eleanor tersenyum. “Papa tidak akan marah bila aku yang
menganggunya.”
“Sebaiknya Anda tidak melakukannya, Tuan Puteri,” kata Kakyu, “Raja
telah memerintahkan prajurit untuk mencegah siapapun masuk.”
“Jangan khawatir, Kakyu.”
Sebelum Kakyu sempat mencegah lagi, Putri Eleanor telah menuju Ruang
Tahta.
Kakyu yang telah mengenal sifat Putri Eleanor yang manja dan keras
kepala itu, membiarkan Putri sendiri yang membuktikan ucapannya.
“Tunggu kami di sini,” pesan Kakyu.
Imma mengangguk. “Baik, Tuan,” katanya.
Lalu Kakyu segera menyusul Putri Eleanor.
Dari kejauhan Kakyu melihat Putri Eleanor sedang berbantah dengan dua
prajurit yang menjaga pintu Ruang Tahta.
Kakyu yakin Putri Eleanor bersikeras masuk sementara kedua prajurit itu
bersikeras menjalankan perintah Raja Alfonso.
Mereka menghentikan pertengkaran mereka ketika melihat Kakyu
mendekat.
“Raja benar-benar tidak ingin diganggu, Tuan Puteri.”
“Tapi aku putrinya, bukan orang lain.”
“Saya mohon Anda mengerti.”
Putri Eleanor cemberut mendengar Kakyu tidak memihak padanya. Putri
memandang lekat-lekat wajah pemuda itu.
Tiba-tiba Putri menarik Kakyu menjauh.
32
“Ada apa, Tuan Puteri?” tanya Kakyu kebingungan.
“Kakyu,” kata Putri Eleanor bersemangat, “Engkau menyusup masuk
saja. Aku tahu engkau pandai dalam hal itu.
“Apa!?” kata Kakyu terkejut.
Putri Eleanor benar Kakyu yang sering mendapat tugas penyusupan dari
Raja Alfonso, pasti bisa dengan mudah menyusup masuk ke Ruang Tahta dan
melihat apa yang terjadi di dalam. Apalagi dulu Kakyu pernah menyusup ke
dalam ruangan itu.
Tapi Kakyu tidak mau melakukannya.
“Masuklah ke dalam Ruang Tahta diam-diam dan lihat apa yang terjadi,”
ulang Putri Eleanor dengan lebih jelas.
“Tidak,” kata Kakyu tegas.
“Ayolah, Kakyu,” bujuk Putri, “Tidak akan terjadi apa-apa. Engkau hanya
melihat apa yang terjadi lalu keluar lagi.”
Sekali lagi Kakyu menolak tegas, “Tidak, Tuan Puteri.”
Putri Eleanor berusaha meyakinkan Kakyu. “Tidak akan ada yang marah
padamu, Kakyu. Kalau engkau ketahuan, aku yang akan bertanggung jawab
dan tak seorangpun yang akan memarahimu.”
Kakyu tetap pada pendiriannya.
Putri Eleanor dibuat kesal karenanya, “Ini perintahku, Kakyu. Engkau
tidak boleh mengatakan ‘tidak’!”
“Saya juga tidak dapat melanggar perintah Paduka,” kata Kakyu tenang.
Putri dibuat semakin kesal karenanya.
Kakyu meninggalkan Putri Eleanor dengan tenang, setenang kata-
katanya.
Pemuda itu tersenyum ketika mengetahui harapannya berjalan lancar.
Putri Eleanor mengikutinya untuk membujuknya.
Tahu Putri Eleanor mengikutinya, Kakyu mempercepat langkahnya ke
tempat ia meninggalkan Imma beserta kedua putranya.
“Selamat sore, Paduka Ratu,” sapa Kakyu kepada Ratu Ylmeria yang
berada di samping Imma.
“Selamat sore, Kakyu,” balas Ratu sambil tersenyum, “Kudengar
perburuanmu kali ini membawa hasil yang sangat luar biasa.”
“Anda terlalu melebihkannya, Paduka.”
Putri Eleanor yang berhasil mengejar Kakyu, terkejut melihat ibunya.
“Selamat sore, Mama,” katanya.
“Engkau sungguh tidak sopan, Eleanor,” kata Ratu Ylmeria, “Engkau
mengundang Imma tapi engkau meninggalkannya di sini sendirian.”
Putri Eleanor terkejut menyadari kesalahannya sendiri. “Maafkan aku,
Imma.”
“Tidak apa-apa, Tuan Puteri,” kata Imma sambil tersenyum.
33
“Dari mana saja engkau, Eleanor?”
“Aku ingin menemui Papa,” kata Putri sambil melihat wajah tenang
Kakyu, “Tapi Kakyu mencegahku.”
Ratu Ylmeria juga ikut menatap Kakyu yang tetap tenang seolah-olah
tidak terjadi apa-apa.
“Tindakan Kakyu benar. Ayahmu tidak ingin diganggu siapapun saat ini.”
Karena dua kali tidak dibela orang yang diharapkannya, Putri Eleanor
sangat kesal hingga tidak berkata apa-apa lagi.
Ratu hanya tersenyum melihat tingkah putrinya yang kekanak-kanakan.
“Sebaiknya engkau segera berisitirahat di kamarmu, Eleanor. Aku yakin
perjalanan jauh membuatmu lelah,” kata Ratu Ylmeria kemudian pada Kakyu
dan Imma, ia berkata, “Kalian juga terutama kedua putramu, Imma.”
Karena terlalu kesal, Putri Eleanor segera menuruti perintah Ratu Ylmeria
tanpa mengatakan apa-apa.
Kakyu yang telah terbiasa dengan sikap Putri Eleanor yang seperti ini,
bukannya mengejar Putri Eleanor malah berkata, “Kalau Anda tidak keberatan,
saya ingin mengantar Imma ke Quentynna House. Saya janji akan kembali lagi
ke Istana sesudahnya.”
“Untuk apa, Kakyu? Kamar di Istana cukup banyak untuk kalian tempati.”
“Saya yakin Imma akan merasa lebih baik bila tinggal di Quentynna
House hingga masa depan suaminya jelas.”
“Tuan Kakyu benar, Paduka Ratu,” Imma mendukung Kakyu, “Istana
Vezuza terlalu mewah untuk kami yang dari desa ini. Kami merasa gugup di
tempat semewah ini.”
“Baiklah, aku mengijinkanmu, Kakyu,” kata Ratu Ylmeria, “Tapi setelah
tiba di Quentynna House, engkau tidak perlu kembali lagi ke sini. Aku tahu
engkau lelah dan merindukan keluargamu. Ini pertama kalinya engkau
berpisah lama dengan keluargamu, bukan?”
“Benar, Paduka Ratu,” kata Kakyu ragu-ragu.
Ratu Ylmeria mengerti kekhawatiran Kakyu. “Jangan mengkhawatirkan
Eleanor. Engkau sendiri tahu putriku yang satu ini memang semakin manja
sejak kakaknya pergi ke Inggris.”
Atas desakan Ratu Ylmeria itu, Kakyu akhirnya kembali ke Quentynna
House dan tidak kembali lagi ke Istana Vezuza setelah mengurus keberadaan
keluarga Halberd di rumahnya itu.
Tak seorangpun yang bertanya apa-apa pada Kakyu. Mereka termasuk
Vonnie, kakak kedua Kakyu yang biasanya selalu ingin tahu, mengerti
kelelahan pemuda itu.
Mereka membiarkan pemuda itu segera tidur setelah menyelesaikan
semua tugasnya.
Kakyu senang dapat menebus dua hari waktu tidur malamnya yang
34
digunakannya untuk pemberontak itu.
Karena ingin mengetahui perkembangan pemeriksaan Raja terhadap
Halberd dan dua pria lainnya, Kakyu segera pergi ke Istana Vezuza setelah
menghabiskan sarapannya.
Kali ini Kakyu beruntung lagi.
Tak seorangpun yang berusaha mencegahnya bahkan Marie, kakak
perempuan Kakyu yang lain yang membenci keterburu-buruan, hanya diam
saja melihat Kakyu segera menghilang setelah menghabiskan makan paginya.
“Selamat pagi, Paduka Ratu,” sapa Kakyu pada Ratu Ylmeria yang
bertemu dengannya di koridor menuju Ruang Tahta.
“Selamat pagi, Kakyu,” balas Ratu Ylmeria, “Hendak ke mana engkau
pagi-pagi seperti ini?”
Belum sempat Kakyu menjawab pertanyaan itu, Ratu telah berkata,
“Kalau engkau ingin mengetahui hasil pembicaraan Raja, sebaiknya
engkau mengurungkan niatmu itu,” kata Ratu Ylmeria, “Mereka baru selesai
beberapa jam yang lalu dan kini mereka semua masih tidur.”
Kakyu diam saja mendengar pemberitahuan itu lalu ia berkata, “Saya
akan menemui Tuan Puteri.”
“Sebaiknya engkau juga mengurungkan niatmu itu, Kakyu. Eleanor masih
tidur.”
Ratu tersenyum sambil mengenang sesuatu.
“Gadis itu memang nakal,” kata Ratu Ylmeria tiba-tiba, “Engkau tahu,
Kakyu? Saat kemarin kita semua mengira ia kembali ke kamarnya, ia pergi ke
Ruang Tahta.”
Kakyu tahu apa yang kemudian terjadi.
“Eleanor berhasil menerobos masuk dan akhirnya ia mengikuti
perundingan itu hingga dini hari tadi.”
Walaupun tidak ada lagi yang dapat dilakukan Kakyu, Ratu Ylmeria yakin
pemuda itu tidak akan menerima nasehatnya untuk beristirahat.
Ratu Ylmeria tahu itu.
“Karena tidak ada lagi yang dapat kaulakukan, ikutlah aku,” Ratu Ylmeria
mengajak Kakyu berjalan-jalan, “Aku ingin berbicara banyak hal denganmu.”
“Baik, Paduka.”
Kakyu mengikuti d samping Ratu Ylmeria.
“Tak kuduga engkau cukup kejam, Kakyu. Kata pelayan yang merawat
luka ketiga pria itu, luka mereka cukup dalam,” kata Ratu Ylmeria sambil
tersenyum penuh arti.
“Kakyu!”
Panggilan itu membuat mereka berhenti dan menanti Putri Eleanor yang
berlari mendekat.
“Kalian mau ke mana?” tanya Putri Eleanor.
35
“Kami ingin berjalan-jalan,” jawab Ratu Ylmeria, “Mengapa engkau sudah
bangun, Eleanor?”
Putri Eleanor menatap Kakyu sebagai jawabannya.
Ratu Ylmeria tersenyum melihat putrinya menatap lekat-lekat pemuda
yang tetap tenang itu.
Sesaat kemudian mereka telah berjalan-jalan di taman Istana Vezuza.
Walaupun tadi Ratu Ylmeria mengatakan ingin berbicara dengannya,
Kakyu lebih menjadi pendengar yang baik daripada kawan bicara yang baik di
pagi hari yang cerah itu.
Satu-satunya hal yang saat ini ingin dibicarakan Kakyu adalah hasil
pembicaraan Raja bersama para pejabat lainnya.
Namun pemuda itu tetap terlihat tenang ketika siang harinya Raja
Alfonso memanggilnya ke Ruang Tahta.
Karena ingin tahu, Ratu Ylmeria dan Putri Eleanor ikut pergi bersamanya
ke Ruang Tahta walau tidak ikut dipanggil.
“Selamat siang, Kakyu,” kata Raja Alfonso tanpa memberi kesempatan
bicara pada Kakyu, “Aku akan memberitahumu apa yang paling ingin
kauketahui saat ini.”
“Mula-mula aku mengucapkan selamat padamu, Kakyu. Kuakui engkau
memang seorang pengawal yang hebat. Engkau benar soal pemberontak itu.
Mereka sudah ada di sana sejak dua tahun lalu.”
“Karena tak seorangpun dari kita bahkan ketiga pria itu yang tahu
tempat persembunyian pemberontak itu, aku memutuskan untuk menyelidiki
mereka terlebih dulu sebelum menyerbu mereka. Engkau punya usul lain?”
Akhirnya Raja Alfonso memberi kesempatan bicara pada Kakyu tapi
pemuda itu tidak menggunakan kesempatan ini untuk bicara banyak. Ia hanya
berkata, “Tidak, Paduka.”
Yang dilakukan Raja Alfonso sudah benar.
Pemberontak itu akan memperkuat diri setelah mengetahui dua
kawannya tertangkap bahkan mungkin mereka pindah lebih dalam ke Hutan
Naullie. Hal ini akan mempersulit penyerbuan.
Seperti kata Raja Alfonso, saat ini yang dapat dilakukan hanya
menyelidiki pemberontak itu sebelum menghancurkannya.
“Tugas itu kuserahkan pada Jenderal Erin.”
Kakyu tidak mengerti mengapa Raja Alfonso berhenti hanya untuk
melihat reaksinya mendengar keputusannya itu. Tapi ia tetap menjaga
ketenangannya.
Raja tersenyum melihat ketenangan sikap Kakyu. “Engkau tahu siapa
yang akan menggantikan kedudukannya sebagai Kepala Keamanan Istana?”
kata Raja Alfonso berteka-teki.
Kakyu tetap tenang dalam kediamannya.
36
“Pilihanku memang tepat,” kata Raja puas, “Engkau memang seorang
pemuda yang tenang. Tak salah bila aku menunjukmu menggantikan Erin.”
Ketenangan Kakyu buyar karena kalimat itu. “Apa!?” katanya terkejut.
“Papa mengangkatmu menjadi Kepala Keamanan Istana menggantikan
Jenderal Erin yang bertugas di Hutan Naullie,” ulang Putri Eleanor dengan lebih
jelas.
Kakyu menatap Jenderal Reyn sebelum berkata, “Saya tidak dapat
menerimanya, Paduka.”
Sekarang ganti Raja Alfonso yang terkejut. “APA!?” serunya.
“Saya tidak dapat menerima tugas itu, Paduka,” ulang Kakyu tetap
dengan ketenangan yang dimilikinya.
“Mengapa?” tanya Raja Alfonso keheranan, “Apakah tugas ini terlalu
berat untukmu?”
“Saya merasa senang mendapat kepercayaan Anda ini, Paduka, tapi saya
merasa tidak pantas menerimanya. Banyak Jenderal yang lebih berpengalaman
dari saya.”
“Engkau menolak tugas dariku?” kata Raja Alfonso pura-pura marah.
Kakyu segera berlutut. “Saya tidak berani, Paduka,” katanya, “Hanya saja
saya terlalu muda untuk jabatan sepenting itu. Saya khawatir pengalaman
saya tidak cukup untuk melindungi penghuni Istana ini.”
“Aku menunjukmu bukan tanpa alasan, Kakyu. Aku menunjukmu karena
aku percaya pada kemampuanmu,” kata Raja.
“Terima saja tugas ini, Kakyu,” bujuk Putri Eleanor, “Engkau memang
pantas menduduki posisi ini.”
“Jangan kaupedulikan usiamu yang masih muda, Kakyu,” bujuk Ratu
Ylmeria pula, “Engkau setangguh yang kamu percayai bahkan lebih tangguh
dari yang dapat kami bayangkan.”
“Paduka Ratu benar, Kakyu. Walaupun masih muda, engkau telah
menunjukkan ketangguhanmu,” Jenderal Erin ikut membujuk penggantinya,
“Jangan kauragukan apapun, Kakyu. Kami semua percaya pada
kemampuanmu.”
“Kalau bukan karenamu, aku dan Papa tidak akan berada di sini saat ini.”
“Karenamu juga, kami mengetahui adanya pemberontak itu di Hutan
Naullie,” tambah Jenderal Decker.
“Sekarang apalagi yang dapat kaukatakan, Kakyu?” kata Raja Alfonso
puas.
Kakyu tidak tahu harus berbuat apa lagi selain menerimanya.
Demikianlah hanya dalam tiga tahun sejak menjadi pasukan pengawal
Istana Vezuza, Kakyu diangkat menjadi Kepala Keamanan Istana menggantikan
Jenderal Erin.
Jenderal Erin segera berangkat bersama pasukannya setelah
37
menyerahkan jabatannya pada Kakyu melalui suatu upacara resmi
ketentaraan.
Bersamaan dengan pengangkatan itu, Raja Alfonso mengangkat Kakyu
menjadi seorang Perwira Tinggi.
Mengenai pemberontak itu, Kakyu masih khawatir tapi ia sudah tidak
mengkhawatirkan Halberd dan keluarganya lagi.
Raja Alfonso mengabulkan permintaannya untuk mengampuni pria itu
dengan membebaskannya. Bahkan atas permintaan Putri Eleanor, keluarga itu
mendapatkan rumah dan tanah pertanian di Parcelytye yang jauh dari
Farreway.
Dengan demikian keluarga itu aman dari ancaman kelompok
pemberontak itu dan Kakyu harus mengurungkan niatnya untuk mencarikan
tempat baru yang aman bagi keluarga Halberd.
Rumah Halberd di Farreway yang ditinggalkan pemiliknya, digunakan
Jenderal Erin sebagai pusat pengintaian pemberontak di sana.
Keberhasilan Kakyu dalam mengetahui adanya pemberontak yang
mereka sebut Kirshcaverish inilah yang membuat pemuda itu menjadi seorang
Perwira Tinggi yang paling muda di Kerajaan Aqnetta dan menjadi Kepala
Keamanan Istana.
Dengan pengangkatan ini Kakyu menjadi semakin terkenal dan dikagumi
di Kerajaan Aqnetta terutama di kalangan gadis-gadis. Walau sudah terkenal
dalam usianya yang masih muda, Kakyu tetap tidak sombong. Sikapnya pun
tetap seperti dulu. Bahkan kepada Putri Eleanor, ia tetap dingin-dingin tenang.
Raja Alfonso senang melihatnya.
Ketenangan Kakyulah yang membuat Raja Alfonso memilihnya selain
karena ketangguhannya yang tidak perlu diragukan lagi.
Setiap orang di Istana Vezuza tahu Putri Eleanor tidak menyukai sikap
dingin-dingin tenang Kakyu itu.
Setiap kali bertemu dengan Kakyu, Putri selalu berusaha mengajak
pemuda itu menamaninya.
Tak heran bila orang-orang di Hall itu mendengar Putri berkata, “Kalau
tidak ada masalah apapun, temani aku berjalan-jalan.”
Dan seperti biasanya, Kakyu berkata, “Maafkan saya, Tuan Puteri.”
Walaupun tahu Putri Eleanor kesal mendengar penolakan itu, Kakyu
melanjutkan kembali perjalanannya ke Ruang Baca untuk menemui Raja
Alfonso.
Biasanya Kakyu memang tidak punya waktu untuk menemani Putri
Eleanor karena banyaknya tugas yang harus dilakukannya.
Tapi kali ini Kakyu benar-benar harus menemui Raja Alfonso untuk
membicarakan suatu masalah yang berkaitan dengan kejadian dua bulan yang
lalu.
38
4

Pagi itu semua anggota keluarga Quentynna berkumpul di Ruang Makan


untuk sarapan.
Semua ada di sana.
Jenderal Reyn sebagai kepala keluarga Quentynna duduk di ujung meja
dengan istrinya, Lady Xeilan di samping kanannya. Kelima putra Jenderal Reyn
juga tidak ada yang ketinggalan.
Putri pertama keluarga Quentynna yang sangat menyayangi Jenderal
Reyn, Joannie, tentu saja duduk di samping Jenderal Reyn yang lainnya.
Seperti biasa, putri keempat Jenderal Reyn yang paling suka bicara,
Lishie, berbicara panjang lebar disahut Vonnie, putri ketiga Jenderal Reyn yang
selalu ingin tahu. Marie juga tak mau ketinggalkan meramaikan suasana pagi
keluarga Quentynna.
Hanya Kakyu sebagai putra bungsu Jenderal Reyn yang tidak ikut
meramaikan Ruang Makan.
Kedatangan seorang pelayan yang terburu-buru, menghentikan canda
tawa mereka.
“Ada yang terjadi?” tanya Jenderal Reyn.
“Di depan ada seorang prajurit yang ingin menemui Anda.”
“Aku akan menemuinya sekarang juga.”
Jenderal Reyn beranjak dari kursinya dan mengikuti pelayan itu.
“Mengapa prajurit itu mencari Papa sepagi ini?” tanya Vonnie ingin tahu.
“Aku tidak tahu, Vonnie,” jawab Lishie.
“Aku juga tidak tahu,” kata Joannie.
“Mungkin Kakyu tahu,” kata Marie.
Keempat putri Jenderal Reyn itu menatap Kakyu yang sama sekali tidak
terpengaruh pembicaraan mereka.
Menyadari tatapan keempat kakak perempuannya, Kakyu mengangkat
kepalanya dari piring. Dengan tenang ia berkata, “Tidak.”
Keempat kakak beradik itu kesal melihat adik mereka kembali menekuni
makan paginya.
“Percuma bertanya pada Kakyu,” keluh Vonnie, “Ia selalu menjawab ‘Ya’
atau ‘Tidak’.”
Lady Xeilan tersenyum. “Kalian ini seperti belum mengenal adik kalian
yang pendiam ini.”
“Benar, ia tak banyak bicara sepertimu, Lishie,” tambah Marie.
“Lebih baik aku daripada engkau yang lamban,” kata Lishie marah.
39
“Biar saja. Yang penting aku tidak sepertimu,” Marie tidak mau kalah,
“Aku heran mengapa engkau bisa bicara terus sepanjang hari tanpa membuar
bibirmu lelah.”
“Sudah… sudah. Jangan bertengkar,” cegah Lady Xeilan sebelum
keduanya bertengkar, “Apakah kalian tidak bisa tenang seperti Kakyu?”
“Benar. Lihat saja Kakyu yang sejak tadi diam saja sementara kalian ribut
saja,” tambah Joannie.
Lishie menatap Kakyu yang tetap dengan tenang menghabiskan makan
paginya. “Aku tidak tertarik menjadi orang sedingin dia.”
“Kalaupun engkau tertarik, engkau tidak akan pernah dapat setenang
Kakyu,” timpal Vonnie, “Disuruh diam sebentar saja engkau tidak mampu
apalagi kalau selama-lamanya.”
“Tentu saja. Tidak enak seharian diam seperti dia,” Lishie menyetujui
kakaknya.
“Tapi enak kalau terkenal seperti dia,” kata Marie, “Kalau aku terkenal
seperti Kakyu, pasti banyak pria tampan yang mengejarku.”
“Engkau yang lamban?” kata Vonnie tak percaya, “Jangan membuatku
tertawa dengan khayalanmu itu, Marie.”
“Marie benar, Vonnie. Kalau kita terkenal seperti Kakyu, pasti banyak
pemuda tampan yang mengejar kita.”
“Aku tak tertarik,” kata Joannie tiba-tiba.
“Kalau engkau yang berkata seperti itu, aku tak terkejut, Joannie,” kata
Lishie, “Engkau sejak dulu hanya mengagumi Papa. Tak heran kalau sampai
sekarang tidak ada yang melamarmu.”
“Aku tak peduli.”
“Engkau ingin suami yang seperti apa?” tanya Vonnie ingin tahu.
“Pasti yang seperti Papa,” sahut Marie.
“Tentu saja,” Joannie membenarkan adiknya, “Suamiku harus kuat dan
gagah seperti Papa.”
Lady Xeilan tersenyum mendengar pembicaraan putri-putrinya.
Mereka sudah dewasa.
Kakyu yang paling kecil di antara lima bersaudara itu saja, tahun ini
genap delapan belas tahun. Sedangkan Joannie yang paling tua tahun ini sudah
berumur dua puluh dua tahun.
Lishie benar. Sudah saatnya bagi Joannie untuk menikah. Tapi Joannie
sendiri belum mau menikah karena ia belum menemukan pria yang seperti
keinginannya.
Baik Lady Xeilan maupun Jenderal Reyn tidak mendesak Joannie untuk
segera menikah. Mereka yakin Joannie akan menemukan pria yang sesuai
dengan dirinya.
Pembicaraan keempat gadis itu terhenti oleh munculnya Jenderal Reyn.
40
“Aku harus pergi sekarang. Jenderal Decker memanggilku.”
“Tidak dapatkah engkau menghabiskan sarapanmu dulu?”
“Tidak, Xeilan,” kata Jenderal Reyn, “Kalau sampai Jenderal Decker
memanggilku sepagi ini. Pasti ada masalah yang sangat penting yang harus
dibicarakannya denganku.”
“Baiklah, Reyn. Aku tidak akan mencegahmu lagi.”
“Papa…”
“Jangan khawatir, Joannie. Jenderal Decker hanya akan membicarakan
sesuatu dengan Papa,” kata Jenderal Reyn.
“Habiskan dulu kopimu, Reyn.”
“Tentu, Xeilan.”
Jenderal Reyn segera meninggalkan ruangan itu setelah menghabiskan
kopinya.
“Urusan apa yang akan dibicarakan Jenderal Decker dengan Papa?”
Vonnie mulai ingin tahu.
“Aku tidak tahu, Vonnie,” kata Marie, “Jangan mulai ingin tahu lagi.”
Kakyu merasa sudah cukup lama berada di Ruang Makan.
“Aku juga harus pergi,” kata Kakyu sambil beranjak berdiri.
“Hati-hati, Kakyu,” kata Lady Xeilan saat pemuda itu mencium pipinya.
Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Kakyu meninggalkan mereka.
Kedatangannya di teras, disambut dengan pertanyaan pelayan yang
memegang tali kendali seekor kuda. “Anda akan pergi juga, Tuan Muda?”
“Ya,” jawab Kakyu singkat.
Dengan kelincahannya, Kakyu melompat ke punggung kudanya.
Setelah menerima tali kendali kuda itu dari pelayan, Kakyu segera
memacu kudanya ke Istana Vezuza tanpa mengucapkan apapun.
Seperti biasanya, Kakyu menghabiskan harinya di Istana Vezuza dengan
mengawasi Istana yang luas itu. Berkeliling Istana Vezuza sambil sesekali
mengawasi para prajurit bawahannya, sudah menjadi pekerjaan sehari-hari
Kakyu di Istana Vezuza. Diganggu para gadis di Istana Vezuza terutama Putri
Eleanor juga sudah menjadi pekerjaan sehari-hari Kakyu. Tapi si dingin-dingin
tenang Kakyu tidak pernah sampai terganggu pekerjaannya karena mereka.
Itulah yang disukai Raja Alfonso pada diri Kakyu selain ketangguhan serta
kepiawaiannya mengatur pasukan pengawal Istana yang jauh lebih tua
darinya.
Dipimpin seorang Perwira yang jauh lebih muda dari mereka, tidak
membuat para pasukan pengawal Istana itu merasa terhina. Sebaliknya,
mereka merasa senang dipimpin pemuda yang diakui ketangguhannya oleh
Raja Alfonso itu.
Banyak prajurit muda yang iri pada Kakyu tapi tidak seorangpun dari
mereka yang tidak mengagumi pemuda itu. Mereka menyimpan kekaguman
41
mereka di balik rasa iri mereka.
Semua orang tahu Kakyu dapat menjadi seorang Perwira Tinggi di saat
pemuda itu baru berusia tujuh belas tahun, bukan karena ayahnya yang
seorang Jenderal yang tangguh, tapi karena ketangguhan pemuda itu sendiri.
Semua orang terutama yang mengenal Kakyu, menyukai pemuda
tampan yang menyembunyikan keramahannya di balik sikap dingin-dingin
tenangnya itu.
Tidak ada yang tahu pasti karena ketampanannya atau memang karena
ketangguhannya di usianya yang masih sangat muda, Kakyu menjadi terkenal.
Yang diketahui pasti oleh semua orang di Kerajaan Aqnetta adalah setiap
hari Kakyu semakin terkenal. Itu berarti semakin banyak pula saingan Putri
Eleanor.
Semua tahu percuma saja Putri Eleanor maupun gadis-gadis lainnya
mencoba mendapatan perhatian pemuda itu. Kakyu hanya akan menanggapi
mereka sebatas demi kesopanan. Bukan hanya kepada mereka saja sikap
Kakyu seperti itu, kepada semua orang Kakyu bersikap ramah dan sopan tapi ia
tidak pernah mau diajak berbicara panjang lebar. Walaupun demikian tidak ada
seorangpun yang mengatakan Kakyu itu dingin. Mereka cenderung
mengatakan Kakyu itu pendiam karena memang Kakyu menyimpan
keramahannya di balik sikap dingin-dingin tenangnya.
Mungkin karena keunikannya ini yang juga membuat Kakyu terkenal.
Walau demikian Kakyu tetap seorang pemuda yang tenang.
Ketenangannya dalam bekerja tidak membuat gangguan apapun menganggu
pekerjaannya.
Selama menjabat sebagai Kepala Keamanan Istana Istana Vezuza, Kakyu
menunjukkan ketenangan dalam wibawanya memimpin pasukan pengawal
Istana.
Walaupun ia harus memimpin pasukan yang lebih tua darinya, Kakyu
sama sekali tidak merasa gugup. Kakyu tahu bagaimana menangani perbedaan
umur yang kadang sampai berlipat dari usianya sendiri itu.
Tapi tidak seperti prajurit lainnya yang terpaksa tinggal di Istana Vezuza,
setiap malam Kakyu pulang ke Quentynna House dan setiap pagi ia kembali ke
Istana Vezuza.
Untung jarak antara Quentynna House dengan Istana Vezuza tidak begitu
jauh.
Sebagai Perwira yang bertanggung jawab penuh pada keamanan Istana,
Kakyu selalu mengawasi setiap orang yang masuk maupun meninggalkan
Istana Vezuza.
Tak heran bila siang itu Kakyu melihat ayahnya datang terburu-buru
dengan wajah tegang bersama Jenderal Decker dan beberapa Jenderal tua
lainnya.
42
Kakyu tidak tahu apa yang membuat mereka begitu tegang, tapi ia tahu
masalah yang mereka hadapi sangat serius dan perlu segera ditangani. Dan
kemungkinan besar masalah itu adalah masalah keamanan Kerajaan Aqnetta.
Kakyu semakin yakin ia benar ketika melihat Menteri Dalam Negeri,
Kenny, dan Menteri Keamanan, Marzzini, ikut masuk ke Ruang Perundingan.
Berjam-jam mereka berada di sana. Bahkan ketika tiba waktunya bagi
Kakyu untuk pulang, mereka tetap di sana.
Kakyu yang selalu tertib dalam segala hal, tetap memutuskan untuk
kembali ke Quentynna House walaupun ia ingin menanti ayahnya.
Kakyu tidak ingin membuat keluarganya semakin khawatir. Kakyu tahu
kepergian ayahnya sejak pagi hingga saat ini sudah membuat keluarganya
khawatir apalagi bila ditambah keterlambatannya.
Seperti yang diperkirakan Kakyu sebelumnya, begitu ia tiba, Vonnie
menyambutnya dengan berbagai macam pertanyaan.
Karena memang tidak tahu apsti apa yang dibicarakan ayahnya dan para
Jenderal lainnya dengan Raja Alfonso, Kakyu diam saja.
Kakyu memilih tidak memberikan jawaban apapun juga tidak
mengatakan kecurigaannya.
Kediaman Kakyu tidak membuat keempat kakaknya putus asa. Mereka
terus mendesak Kakyu dengan pertanyaan-pertanyaan mereka.
Untuk kesekian kalinya Kakyu merasa beruntung mengenal Kenichi. Jika
bukan karena ajarannya, tentu ketenangan hati Kakyu menghadapi desakan
keempat kakaknya, sudah hilang entah ke mana.
Keempat gadis itu terus penasaran akan keadaan ayahnya hingga saat
makan malam.
Saat itulah Jenderal Reyn baru tiba.
Tanpa memikirkan kelelahan Jenderal Reyn, keempat gadis cantik itu
menyerbu Jenderal Reyn dengan pertanyaan-pertanyaan mereka.
Jenderal Reyn tersenyum geli karenanya.
Ini bukan pertama kalinya Jenderal Reyn mendapat serbuan semacam ini
dari keempat putrinya.
Setiap kali Jenderal Reyn harus meninggalkan Quentynna House tiba-tiba,
keempat gadis itu selalu menyambut kedatangannya dengan seribu satu
macam pertanyaan. Juga bila ada suatu kejadian besar.
Jenderal Reyn memandangi putra-putrinya satu per satu di meja makan
itu.
Joannie yang sangat menyayangi ayahnya, tampak cemas melihat
Jenderal Reyn diam saja.
Mata hijau Vonnie sudah berbinar-binar ingin tahu.
Marie yang paling tidak suka buru-buru, sudah tidak sabar menantikan
jawaban Jenderal Reyn atas pertanyaan-pertanyaan mereka. Si cerewet Lishie
43
pun sudah siap dengan pertanyaan-pertanyaan barunya.
Hanya Kakyu yang tetap tenang di antara kakak beradik itu. Pemuda itu
tidak tampak menanti apapun juga tidak nampak siap melakukan apapun.
Pemuda itu tampak begitu tenang sehingga tampak seolah-olah ia
berada dalam dunianya sendiri.
Jenderal Reyn tahu putranya yang paling dibanggakannya itu selalu
memperhatikan sekitarnya sekalipun ia tampak sangat tenang seolah-olah
berada dalam dunianya sendiri.
Sekali lagi Jenderal Reyn memperhatikan kelima anaknya.
Mereka mirip satu sama lain. Kelimanya menyerupai Lady Xeilan dengan
rambut merah mereka dan mata hijaunya.
Namun sifat mereka berbeda bahkan bertolak belakang.
Vonnie yang selalu ingin tahu dengan Joannie yang tidak mau mengurusi
urusan orang lain. Lishie yang banyak bicara dengan Kakyu yang pendiam.
Marie yang tidak suka terburu-buru dengan keempat saudaranya yang tidak
suka berlamban-lamban.
Sifat mereka yang beraneka macam dan saling berlawanan inilah yang
meramaikan Quentynna House.
Lady Xeilan yang selalu mengawasi kakak beradik itu terutama keempat
gadis cantik itu, bertindak sebagai penengah bila mereka bertengkar.
Jenderal Reyn sangat mencintai keluarganya termasuk keramaian
keempat putrinya yang menyemarakkan Quentynna House yang kadang juga
menjengkelkan.
“Besok pagi-pagi sekali aku harus pergi,” kata Jenderal Reyn.
“Mendadak sekali,” kata Lady Xeilan terkejut, “Ke mana engkau akan
pergi sepagi itu?”
“Ke Naullie,” jawab Kakyu tenang.
Lady Xeilan dan keempat putrinya terkejut lebih-lebih Joannie yang
sangat mencintai Jenderal Reyn.
“Benarkah itu, Papa?” tanya Joannie tak percaya.
Jenderal Reyn menatap putri tertuanya dan mengangguk perlahan.
Sekali lagi mereka terkejut kecuali Kakyu yang telah menduganya.
Ini memang bukan pertama kalinya Jenderal Reyn bertugas di tempat
yang jauh dari Chiatchamo tapi mereka semua tahu di dalam Hutan Naullie ada
sekelompok pemberontak.
Jenderal Reyn juga tahu kepergiannya kali ini sangat berbeda dengan
kepergiannya yang lain.
Selain sangat jauh, kepergiannya kali ini sangat berbahaya dan bisa
memakan waktu berbulan-bulan bahkan ia bisa tidak pernah kembali kepada
keluarga yang sangat dicintainya lagi.
Jenderal Reyn tahu ia akan sangat merindukan keluarganya beserta
44
suasana Quentynna House.
Tapi Jenderal Reyn tahu ia harus pergi. Bukan saja karena ia seorang
Jenderal Angkatan Darat yang membawahi seluruh pasukan yang bertugas di
darat, tapi juga karena rasa cintanya pada Kerajaan Aqnetta.
Jenderal Erin mulai dapat melihat keberadaan Kirshcaverish di Hutan
Naullie. Secara pasti di mana, ia memang tidak tahu tapi ia sendiri dan
pasukan yang dibawanya semakin sering melihat mereka.
Bahkan akhir-akhir ini sering terjadi pertempuran kecil antara mereka
dengan kelompok Kirshcaverish itu di dalam Hutan Naullie.
Keadaan yang seprti itu membuat Jenderal Erin khawatir. Ia segera
mengirimkan seorang utusan ke rumah Jenderal Decker.
Kedatangan utusan itu dengan membawa berita yang mengejutkan,
segera ditanggapi Jenderal Decker dengan mengumpulkan semua Jenderal di
rumahnya.
Setelah berunding cukup lama, mereka menuju Istana Vezuza untuk
meminta persetujuan Raja Alfonso sekaligus menyempurnakan rencana yang
mereka susun.
Hasilnya adalah beberapa Jenderal termasuk Jenderal Reyn berangkat ke
Hutan Naullie dini hari esok dengan membawa sejumlah pasukan.
Mengingat tempat yang menjadi medan pertempuran nanti adalah hutan
lebat, pasukan yang diberangkatan terdiri dari 50 pasukan berkuda dan 200
pasukan pejalan kaki.
Mereka semua harus segera berangkat untuk berjaga-jaga di sekitar
Hutan Naullie bila Kirshcaverish tiba-tiba menyerang.
Apa tujuan mereka memberontak hingga kini belum diketahui pasti.
Yang pasti hanya satu yaitu mereka ingin melawan pemerintahan
Kerajaan Aqnetta yang sekarang dan Kerajaan Aqnetta harus melindungi
Rajanya.
“Apakah tidak dapat ditunda?” tanya Joannie.
“Tidak, Joannie,” kata Jenderal Reyn, “Keadaan di sana sangat berbahaya
dan perang bisa terjadi sewaktu-waktu.”
“Besok pagi-pagi, Xeilan. Sekitar pukul empat pagi, aku harus sudah ada
di rumah Jenderal Decker.”
“Apakah tidak terlalu pagi?” tanya Lady Xeilan lagi.
“Memang,” Jenderal Reyn setuju, “Justru itulah yang kami cari.
Keberangkatan ini sedapat mungkin tidak diketahui penduduk Chiatchamo, di
samping untuk mempercepat datangnya bantuan ini.”
Semua terdiam – sibuk dengan pikiran masing-masing.
Mereka tahu pertemuan ini mungkin pertemuan keluarga yang
terlengkap yang paling akhir.
Ini pertama kalinya Jenderal Reyn maju ke medan perang terlebih lagi ke
45
garis depan.
Sejak Jenderal Reyn menjabat sebagai Komandan Perang, tidak pernah
ada peperangan. Sebelumnya juga tidak.
Walaupun Kerajaan Aqnetta merupakan kerajaan kecil yang kaya dan
subur tanahnya, tidak ada suatu negara lain yang mencoba mengambil alih
pemerintahan Kerajaan Aqnetta.
Sudah bukan rahasia lagi kekuatan militer Kerajaan Aqnetta.
Pada awal berdirinya kerajaan ini, yaitu di tahun 1077, banyak yang
berusaha menguasai Kerajaan Aqnetta. Karena itu pasukan pertahanan
Kerajaan Aqnetta yang baru terbentuk dilatih sangat keras untuk menjaga
keutuhan kerajaan baru itu.
Peristiwa itu menjadi pengalaman generasi-generasi selanjutnya.
Kekuatan militer Kerajaan Aqnetta terus diperkuat sambil diperbaiki melalui
pembaharuan.
Pembaharuan demi pembaharuan yang terus dilakukan akhirnya berhasil
menjadikan kekuatan mikiter Kerajaan Aqnetta menjadi kuat dan mampu
menahan serangan dari manapun.
Dengan kekuatan militer yang kuat, Kerajaan Aqnetta akhirnya menjadi
suatu kerajaan yang harus dipikirkan masak-masak sebelum diserang.
Adanya kelompok pemberontak ini memang bukan yang pertama.
Tapi sejak awal abad 11 di mana Kerajaan Aqnetta sudah aman dari
serangan siapapun, tidak ada lagi pemberontakan maupun kelompok-kelompok
yang menghendaki pergantian kekuasaan di Kerajaan Aqnetta.
Diketahuinya Kirshcaverish ini sangat mengejutkan. Tapi hanya di
kalangan Istana Vezuza.
Sejak awal mula keberadaan kelompok ini disembunyikan dari
masyarakat guna mencegah timbulnya kekacauan akibat kekhawatiran.
Hingga keberangkatan Jenderal Decker bersama pasukannya ke Naullie,
tidak ada yang tidak percaya alasan yang mereka berikan.
Hanya orang-orang tertentu yang tahu keberadaan pasukan itu di Naullie
bukan untuk latihan perang tapi untuk menanti perang yang sesungguhnya.
Dua bulan lebih telah berlalu sejak kepergian Jenderal Reyn bersama
beberapa Jendeal lain dan sejumlah pasukan itu, tapi hingga kini tidak ada
kabar apapun.
Seluruh keluarga Quentynna khawatir karenanya.
Kata-kata terakhir yang diucapkan Jenderal Reyn pada malam itu masih
diingat keluarga Quentynna, tapi mereka tetap tidak dapat menghilangkan
kekhawatiran mereka.
“Aku tidak ingin meninggalkan kalian. Tapi keselamatan kerajaan ini lebih
penting dari apapun,” kata Jenderal Reyn malam itu, “Aku mengkhawatirkan
kalian.”
46
“Jangan khawatir, Papa,” sahut Kakyu yang sejak tadi berdiam diri. “Aku
akan menjaga mereka.”
Jenderal Reyn tersenyum. “Aku tahu engkau bisa, Kakyu. Tapi…,” Jenderal
Reyn mulai sedih, “Tapi engkau…”
“Jangan khawatir, Papa,” Kakyu cepat-cepat menyahut sebelum ayahnya
mengucapkan kenyataan yang paling disesali ayahnya itu. “Aku pasti bisa
menjaga mereka seperti aku menjaga keamanan Istana.”
“Jangan mengkhawatirkan apapun, Papa,” kata Marie, “Kakyu benar. Ia
cukup tangguh untuk menjaga keluarga ini. Tak seorangpun di kerajaan in yang
meragukan ketangguhannya walau ia masih muda.”
“Kalau tidak, tentu tidak banyak gadis yang mencintainya bahkan sampai
tergila-gila,” tambah Lishie.
Ketiga kakak perempuan Kakyu tertawa terbahak-bahak karenanya,
kecuali Joannie yang sangat mengkhawatirkan ayahnya.
“Baiklah,” Jenderal Reyn akhirnya menyerah, “Aku tidak akan
mengkhawatirkan kalian lagi. Aku menyerahkan keluarga ini padamu, Kakyu.
Jaga mereka baik-baik.”
“Ayah sudah tidak perlu mengkhawatirkan kami,” Joannie meyakinkan
ayahnya.
“Ya,” Jenderal Reyn menyetujui, “Kalian juga tidak perlu
mengkhawatirkan aku. Aku tidak pergi sendiri. Beberapa Jenderal termasuk
Jenderal Decker sendiri juga pergi bersamaku besok.”
Malam itu mereka telah saling berjanji untuk tidak khawatir, tapi keluarga
Quentynna yang berada di Chiatchamo tetap khawatir apalagi tanpa kabar
berita yang jelas seperti ini.
Walaupun demikian, suasana di Quentynna House tetap tampak seperti
biasanya. Gadis-gadis keluarga Quentynna tetap meramaikan suasana dengan
canda tawa mereka. Kakyu pun tetap tenang.
Semua itu mereka lakukan demi menghindari ibu mereka menjadi sedih.
Dibandingkan siapapun, Kakyu tetap yang paling tahu keadaan kelompok
Kirshcaverish itu.
Kakyu yakin hingga kini ayahnya belum tahu letak Kirshcaverish secara
tepat dan itu semakin membuatnya cemas.
Ketidaktahuan itu menjadi kelemahan Jenderal Reyn dan pasukannya.
Tapi bagi Kirshcaverish, hal itu adalah kekuatan mereka.
Tak heran bila Kakyu menjadi sangat cemas ketika ia mendengar
keadaan di Naullie dari prajurit yang hendak kembali ke Naullie setelah
melapor pada Menteri Keamanan.
Tanpa mempedulikan apa-apa lagi, Kakyu segera menuju tempat Raja
biasa berada.
Seperti biasa Raja duduk di belakang meja kerjanya – menghadapi
47
setumpuk tugas hariannya.
“Ada apa?” tanya Raja Alfonso.
“Saya sudah mengetahuinya,” kata Kakyu singkat.
Raja Alfonso kebingungan. “Tahu apa?”
“Keadaan di Naullie,” jawab Kakyu, “Saya tahu keadaan di sana akhir-
akhir ini semakin bahaya.”
“Ya, engkau benar,” Raja Alfonso membenarkan, “Keadaan di sana
semakin gawat. Hampir setiap hari terjadi perang kecil dan tiap kali kita yang
kalah. Aku ingin mengirim bala bantuan dalam waktu dekat ini. Bagaimana
menurutmu?”
“Biar saya yang memimpinnya,” kata Kakyu tiba-tiba.
“APA!?” Raja Alfonso berseru kaget.
Kakyu diam – tidak mengulangi kalimatnya. Ia tahu Raja mendengar apa
yang diucapkannya.
“Tidak, Kakyu,” kata Raja setelah pulih dari kagetnya, “Aku tidak
mengijinkanmu.”
“Walaupun Anda tidak mengijinkan, Paduka,” kata Kakyu tenang, “Saya
tetap akan pergi.”
“Tidak, Kakyu, aku tidak mengijinkanmu,” kata Raja Alfonso mencegah.
“Maafkan saya, Paduka,” Kakyu tetap tenang seolah tidak peduli akibat
perbuatannya, “Keinginan saya telah bulat. Apapun yang terjadi saya tetap
akan pergi.”
“Sendirian?”
Kakyu mengangguk. “Kalau perlu saat ini juga saya akan pergi ke
Naullie.”
Raja terkejut mendegar kata-kata itu. “Lalu apa yang akan kaulakukan
dengan jabatanmu itu? Engkau tahu engkau tidak dapat melepas tugasmu
begitu saja.”
“Saya mengerti hal itu, Paduka.”
“Baguslah,” kata Raja, “Engkau tahu engkau tidak dapat meninggalkan
kewajibanmu melindungi penghuni Istana ini.”
“Tapi saya juga mengerti saat ini ancaman terbesar dari keselamatan
Anda bukan berasal dari dalam Istana ini sendiri,” kata Kakyu, “Ancaman itu
datang dari Naullie.”
“Mengapa engkau berkata seperti itu, Kakyu?” tanya Raja Alfonso tidak
mengerti, “Bagaimana kalau mereka menyerbu Istana?”
“Lalu apa gunanya Anda meletakkan sejumlah pasukan untuk berjaga-
jaga di sekitar hutan itu?” Kakyu balas bertanya.
Raja Alfonso menatap lekat-lekat wajah Kakyu.
Ia melihat ketegangan dan keteguhan di wajah tenang itu. Wajah
pemuda itu sama sekali tidak menunjukkan kegalauan hatinya walau saat ini ia
48
memang sedang cemas.
Raja Alfonso kagum melihatnya tapi ia tidak mengatakannya.
“Tampaknya engkau memang bersikeras pergi ke Naullie,” kata Raja
Alfonso, “Walaupun aku menyuruh sejumlah pasukan mencegatmu, aku yakin
engkau tetap akan pergi.”
“Niat saya telah bulat, Paduka,” Kakyu meyakinkan Raja.
“Tapi aku tetap tidak dapat mengijinkanmu, Kakyu,” kata Raja Alfonso,
“Aku tahu engkau benar. Tapi siapa yang akan memimpin pasukan pengawal
Istana di sini bila engkau pergi? Bagaimana dengan jabatanmu itu? Apakah
engkau tidak takut dipecat gara-gara keinginanmu yang gara-gara
kecemasanmu pada ayahmu ini?”
“Saya tidak hanya mencemaskan ayah saya, Paduka,” kata Kakyu, “Saat
ini bukan hanya mereka yang berada di sekitar Naullie yang berada dalam
bahaya tapi seluruh kerajaan. Dan saya mencemaskan itu.”
“Saya tidak mengarang apapun, Paduka. Saya tahu kelemahan posisi kita
yang justru menjadi kekuatan Kirshcaverish. Lagipula ayah saya tidak akan
senang bila tahu saya menyusulnya ke sana hanya karena saya
mencemaskannya.”
“Saya tahu apa yang saya lakukan ini. Dan bila Anda bersikeras tidak
mengijinkan saya apapun alasan Anda, maka saat ini juga saya memilih
meletakkan jabatan saya itu dan pergi ke Naullie.”
“Engkau tidak takut pada masa depanmu setelah meletakkan jabatanmu
itu?” selidik Raja Alfonso, “Engkau tahu engkau terkenal karena jabatanmu itu,
bukan?”
“Sejujurnya, Paduka, Anda tahu saya menerima jabatan ini bukan karena
keinginan saya sendiri. Saya menerimanya sebagai tugas bukan sebagai suatu
keharusan. Akibat dari melepaskan jabatan saya ini, tidak akan mempengaruhi
saya.”
“Walaupun Anda akan marah karena hal ini, saya tidak akan mundur.
Saya tahu saya sendirilah yang harus ke sana untuk membantu para Jenderal
yang telah berangkat ke sana terlebih dulu.”
Raja Alfonso tersenyum. “Akhirnya engkau dapat berbicara panjang
lebar,” katanya, “Tapi sayang sekali, Kakyu, aku tetap tidak memberimu ijin.”
“Saya tahu Anda tidak akan melakukannya, Paduka,” Kakyu tetap tenang
walaupun tidak diijinkan, “Saat ini juga di hadapan Anda, saya meletakkan
pedang tanda jabatan Kepala Keamanan Istana ini.”
Kakyu meletakkan pedang yang diterimanya dari Jenderal Erin di meja
depan Raja Alfonso.
“Maafkan saya, Paduka,” kata Kakyu, “Anda tidak perlu khawatir, saya
telah mengatur semuanya. Anda tetap akan aman walau saya tidak ada di
sini.”
49
Raja Alfonso yang selalu tenang menghadapi Kakyu, menjadi murka
karenanya. “Engkau tidak boleh melakukannya, Kakyu!”
“Maafkan saya, Paduka,” kata Kakyu tetap tenang.
Kakyu mulai mundur ke pintu. Tatapan matanya terus berada di wajah
Raja Alfonso yang untuk pertama kalinya benar-benar jengkel karena
perbuatannya.
“Kau tahu apa yang kaulakukan!?”
Kakyu mengangguk tenang.
“Saya memilih meletakkan jabatan saya demi mengejar Kirshcaverish
sendiri di Hutan Naullie.”
“Di sana sudah ada Jenderal Erin, Jenderal Decker, ayahmu dan banyak
Jenderal lainnya yang juga tangguh dan berpengalaman,” kata Raja Alfonso,
“Untuk apa engkau ke sana?”
“Mereka semua tidak akan pernah dapat menghadapi pemberontak itu.
Mereka tidak tahu apa yang akan mereka hadapi di hutan itu. Pasukan yang
bersama mereka pun tidak akan dapat melawan Kirshcaverish. Berapa pun
pasukan yang Anda kirim, Anda tidak akan dapat memenangkan perang ini.
Kirshcaverish lebih mengetahui medan peperangan daripada kita.”
“Engkau berkata seakan-akan engkau lebih tahu dari siapa pun,” pancing
Raja.
“Anda benar, Paduka,” Kakyu mengakui, “Sebelum saya memasuki Istana
ini, saya sering berada di Hutan Naullie. Hampir tiap minggu saya ke sana dan
saya telah memasuki hutan itu hingga batas kerajaan ini.”
Raja tertegun.
“Percuma saja, Kakyu,” kata Raja Alfonso setelah terdiam beberapa saat,
“Aku tetap tidak mengijinkanmu. Engkau tetap harus memegang jabatanmu
itu. Engkau tahu tidak mudah memilih penggantimu yang sebaik dirimu.”
“Maafkan saya, Paduka.”
“KAKYU!” seru Raja Alfonso kepada Kakyu yang berjalan ke pintu dengan
tenangnya, “Aku tidak mengijinkanmu meninggalkan Istana!”
Kakyu membalikkan badannya dan tersenyum. “Saya tahu Anda akan.”
Raja Alfonso menatap lekat-lekat wajah Kakyu. Ia ingin mencari
kelemahan pemuda itu di wajahnya tapi wajahnya tetap tampak tenang. Mata
hijau pemuda itu balas menatap tenang wajah Raja Alfonso.
Tiba-tiba pintu terbuka dan seorang pria muncul.
“Apa yang terjadi?”
Kakyu membalikkan badannya kepada pemuda itu.
Dengan tenang, ia menatap pemuda itu.
Kakyu belum pernah melihat pemuda itu sebelumnya dan ia tidak tertarik
untuk tahu siapa pemuda itu. Tapi ia bisa menduga pemudfa itulah yang
dilaporkan prajurit jaga kepadanya.
50
Prajurit penjaga gerbang pagi tadi melaporkan kedatangan seorang
pemuda yang mencurigakan di tengah malam buta. Pemuda itu memaksa
masuk hingga terjadi keributan di pintu gerbang yang akhirnya memancing
perhatian Raja.
Baru ketika Raja Alfonso keluar, pemuda itu dapat memasuki Istana.
Kakyu kembali berjalan ke pintu dengan tenang.
“Hentikan dia!” seru Raja.
Pemuda yang masih berdiri di dekat pintu itu segera menarik tangan
Kakyu dan menggenggamnya erat-erat.
Sikapnya yang tiba-tiba itu membuat Kakyu terkejut. Kakyu tidak mengira
pemuda itu sesigap itu.
Kakyu memandang wajah pemuda itu.
Pemuda itu membalas pandangan tajam yang dingin itu dengan
pandangan curiga.
Dengan sekuat tenaganya, Kakyu menyentakkan tangannya. Ia berhasil
tapi sebagai akibatnya, topi yang selama ini menutupi rambut merahnya yang
panjang, jatuh.
Secepat kilat, Kakyu menyambut jatuhnya topinya dengan kakinya.
Kakyu tidak ingin topinya terlanjur jatuh ke lantai yang nantinya akan
memperlambat kepergiannya dari Ruang Baca itu. Kekuatan kaki Kakyu
melemparkan topi itu ke udara dan tangannya yang gesit menangkapnya.
Kakyu telah mengenakan kembali topinya sebelum ada yang menyadari
apa yang terjadi.
“Maafkan saya,” kata Kakyu singkat dan secepat mungkin menuju pintu.
“Kakyu, tunggu!” Raja tiba-tiba berseru dengan nada yang sama sekali
berbeda dengan sebelumnya.
Kakyu kembali berhenti dan membalikkan badannya.
Keteguhan hati yang tetap terukir di wajah tenangnya, membuat Raja
Alfonso tersenyum mengalah, “Aku menyerah, Kakyu.”
Seperti biasa, Kakyu tetap tenang.
“Aku tahu percuma menahanmu. Walaupun aku mengurungmu, aku yakin
engkau dapat meloloskan diri.” Kata Raja Alfonso, “Aku mengijinkanmu pergi.”
Kakyu curiga mendengar nada bicara Raja Alfonso. “Syaratnya?”
“Syarat?” tanya Raja kebingungan.
“Anda jangan membohongi saya, Paduka,” kata Kakyu tenang, “Setiap
kali Anda memberi tugas maupun ijin kepada saya, selalu ada syaratnya.”
Raja Alfonso tersenyum. “Engkau benar, Kakyu. Aku memang
mempunyai syaratnya. Tapi aku masih khawatir.”
“Jangan khawatir, Paduka. Keamanan Istana telah saya serahkan pada
Phil selama saya pergi. Saya telah mengurusnya sebelum saya ke sini.”
“Tampaknya engkau sangat yakin engkau akan pergi ke Naullie.”
51
“Saya telah mengatakannya kepada Anda, Paduka,” kata Kakyu
mengingatkan, “Apapun yang terjadi, saya harus pergi ke Naullie secepat
mungkin. Paling lambat esok pagi.”
“APA!?” seru Raja Alfonso kaget, “Apa yang kaupikirkan, Kakyu? Itu terlalu
cepat. Aku belum merundingkan berapa pasukan yang akan kukirimkan. Aku
juga belum menyiapkan perundingan itu.”
“Saya telah memikirkannya juga, Paduka,” kata Kakyu, “Anda tidak perlu
mengadakan perundingan hanya untuk menentukan pasukan yang akan
dikirim, saya telah menghitungnya.”
“Kapan engkau mengetahui berita ini?” tanya Raja Alfonso curiga.
“Pagi ini,” jawab Kakyu singkat.
Raja Alfonso curiga. “Benarkah itu? Kata-katamu itu seperti menunjukkan
engkau mengetahui segalanya tentang Kirshcaverish.”
“Segalanya tidak, Paduka. Saya telah mengatakan kepada Anda, saya
sering ke Hutan Naullie sebelum ini dan saya tahu apa yang harus dilakukan
dalam menghadapi perang yang akan terjadi dalam waktu dekat ini.”
“Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi, Kakyu,” kata Raja Alfonso,
“Engkau membuatku tidak dapat berhenti mengagumimu. Dalam waktu
singkat engkau telah menyelesaikan masalah yang takkan dapat kuselesaikan
dalam sehari. Aku rasa tidak ada salahnya aku menghadiahkan ijin ini atas
kata-katamu panjangmu yang untuk pertama kalinya.”
“Terima kasih, Paduka,” kata Kakyu sambil tersenyum, “Saya akan
menemui Menteri Keamanan untuk mengurus pasukan ini.”
Raja Alfonso menatap Kakyu. “Mengapa engkau tetap bisa setenang ini,
Kakyu? Kalau aku adalah engkau pasti sudah sejak tadi aku larut dalam
kemarahan.”
Kakyu hanya mengangkat bahunya sebagai jawabannya.
“Sebelum aku lupa, Kakyu, aku akan memberitahumu syaratku,” kata
Raja Alfonso, “Syaratnya adalah engkau harus membawa serta pemuda ini
besok pagi.”
“APA!?” seru pemuda itu kaget.
Pemuda itu menatap wajah Kakyu. Seperti Kakyu yang tidak mengenal
pemuda itu, ia juga tidak mengenali Kakyu.
Kakyu tidak terpengaruh suasana di Ruang Baca yang telah berubah itu.
“Baik, Paduka.”
“Jangan lupa membawanya, Kakyu.”
Kakyu mengangguk.
“Kakyu!” panggil Raja Alfonso pada Kakyu yang telah membuka pintu.
Kakyu memandang Raja Alfonso.
“Apa rencanamu?”
“Entahlah.”
52
“Lalu apa yang akan kaulakukan setibanya engkau di sana?” tanya Raja
Alfonso pula.
Kakyu hanya tersenyum misterius sebagai jawabannya.
“Engkau kembali lagi,” keluh Raja Alfonso, “Kurasa engkau memang tidak
akan pernah dapat berbicara panjang lebar. Kalaupun dapat, engkau tidak akan
mau lama-lama berbicara banyak.”
“Permisi, Paduka.”
“Kakyu!” panggil Raja lagi, “Engkau melupakan pedang tanda
jabatanmu.”
Kakyu hanya melihat pedang yang masih tergeletak di atas meja itu.
Raja Alfonso meraih pedang di hadapannya itu dan membawanya kepada
Kakyu.
“Sampai kapanpun, aku tidak akan sanggup menemukan Perwira Tinggi
yang setangguh engkau untuk menjadi Kepala Keamanan Istana. Walaupun
engkau berada di Naullie, engkau tetap Kepala Keamanan Istana ini.”
Raja Alfonso menyerahkan pedang itu kepada Kakyu.
“Saya tidak dapat membawanya, Paduka,” kata Kakyu, “Biarlah pedang
ini tetap di sini sebagai lambang di Istana ini tetap ada pasukan pengawalnya.”
“Pasukan pengawal memang selalu ada di sini tapi Kepala Keamanan
Istananya akan pergi dan pedang sebagai lambang jabatanmu ini harus
kaubawa kemanapun engkau pergi.”
Akhirnya Kakyu menerimanya walau dengan ragu-ragu.
Raja Alfonso tersenyum. “Sampai kapanpun, engkau tetap Perwira
terbaikku.”
“Terima kasih, Paduka.”
Kakyu mengundurkan diri dari Ruang Baca yang menjadi tempat kerja
Raja Alfonso selain Ruang Kerja.
“Ini gila!” seru pemuda itu, “Bagaimana mungkin aku pergi dengan
pemuda itu? Bagaimana mungkin pemuda semuda itu menjabat sebagai
Kepala Keamanan Istana?”
“Engkau tidak perlu heran. Ia memang tangguh dan aku tidak
meragukannya lagi. Engkau belum tahu apapun tentangnya.”
“Tapi bagaimana mungkin aku pergi dengannya? Bagaimana mungkin
pemuda itu akan memimpin pasukan ke Naullie?”
“Ia pasti bisa melakukannya,” kata Raja Alfonso, “Kalau tidak, tidak
mungkin semua Jenderal langsung setuju ketika aku menyarankan ia
menggantikan Jenderal Erin yang bertugas di Naullie.”
“Kakyu…” gumam pemuda itu, “Nama yang aneh seperti orangnya.”
“Aneh?” tanya Raja keheranan, “Apa yang aneh pada dirinya?”
“Entahlah, tapi rasanya ia tidak cocok menjadi Kepala Keamanan Istana.”
“Jangan hanya melihat dari luarnya saja,” Raja Alfonso memperingati,
53
“Engkau telah merasakan kekuatannya tadi.”
Pemuda itu memandang tangan kirinya yang tadi digunakannya untuk
memegang Kakyu.
“Ya, tidak kuduga ia sekuat itu,” kata pemuda itu, “Tak kuduga ia akan
menyentakkan tanganku. Gara-gara dia aku hampir saja jatuh.”
“Engkau telah melihatnya, bukan?”
“Tapi tetap saja ini ide gila. Aku tidak mungkin pergi dengannya. Apalagi
akulah yang akan dilindungi dia. Dia yang seperti adikku itu tidak mungkin
melindungiku. Justru akulah yang seharusnya melindunginya.”
“Kalau begitu lindungi saja dia,” kata Raja Alfonso santai.
“APA!?” seru pemuda itu kaget.
“Sudahlah, jangan terus menganggap ini ide gila,” kata Raja Alfonso,
“Kalau kau tidak percaya, temuilah Eleanor atau gadis manapun di Istana ini.
Aku yakin mereka akan dengan senang hati menceritakan pemuda pujaan
mereka.”
“Itu lebih gila lagi,” katanya, “Kesannya seperti aku cemburu padanya.”
“Kalau begitu temui saja ibumu.”
“Tapi…”
“Sebaiknya engkau menirunya. Ia dengan cepat mengerti apa yang harus
dilakukannya,” kata Raja Alfonso, “Engkau sebaiknya cepat menyadari saat ini
engkau harus mempersiapkan keberangkatanmu ke Naullie.”

54
5

“Engkau gila, Kakyu!” kata Lishie sambil menahan suaranya tetap kecil.
“Engkau jadi pergi pagi ini?” tanya Vonnie.
Kakyu yang mengendap-endap menuju pintu, berhenti karenanya.
“Mengapa kalian semua bangun sepagi ini?” Kakyu balas bertanya.
“Bagaimana mungkin kami bisa tidur tenang setelah engkau mengatakan
engkau akan pergi ke Naullie juga?” kata Marie.
“Setelah Papa dan Joannie pergi, engkau juga akan pergi,” kata Lishie,
“Mama pasti akan semakin kesepian. Mama pasti akan mencarimu dan ia pasti
akan semakin cemas setelah mengetahui kepergianmu ini.”
“Aku tahu,” kata Kakyu.
“Tapi itu berbahaya, Kakyu. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu?”
“Itu adalah resikonya,” jawab Kakyu tenang.
“Jangan tenang seperti itu, Kakyu!” seru Lishie.
“Jangan berisik!” sahut Marie, “Nanti Mama terbangun.”
“Maaf,” kata Lishie, “Apa engkau sudah gila, Kakyu? Engkau tahu
bahayanya tapi tetap pergi juga.”
“Aku tahu apa yang kulakukan ini.”
“Ya, engkau selalu tahu,” kata Vonnie kesal, “Lalu apa yang harus kita
lakukan kalau Mama bertanya tentangmu?”
“Katakan saja semuanya,” jawab Kakyu tenang.
“Engkau ingin membuat Mama sedih?” tanya Lishie marah.
“Mama akan lebih sedih kalau tahu setelah terjadi sesuatu padaku,” kata
Kakyu.
“Kalau akan begini jadinya, seharusnya engkau juga memberitahu Mama
juga tadi malam.”
“Aku tidak ingin Mama mencegahku.”
“Ya, engkau benar,” kata Marie, “Mama pasti akan dapat mencegahmu
sedangkan kami tidak.”
“Percuma saja engkau membangunkan Mama sekarang, Marie,” kata
Kakyu, “Aku hanya tinggal membuka pintu ini dan melarikan kudaku, maka aku
akan tiba di Naullie dalam waktu singkat.”
“Engkau benar-benar gila, Kakyu,” kata Lishie.
“Rumah ini akan semakin sepi setelah kepergianmu,” kata Marie.
“Dengan diapun, rumah ini tetap sepi,” sahut Vonnie.
“Panggil saja Joannie,” usul Kakyu, “Dia sekarang ada di rumah Bibi
Mandy, bukan? Aku yakin ia mau kembali setelah sekian lama.”
55
“Ya, kita panggil saja Joannie,” kata Marie setuju, “Dulu dia pergi ke
rumah Bibi Mandy karena tidak ingin melihat Papa pergi. Sekarang Papa telah
berada di sana, ia pasti mau kembali.”
Kakyu merasa urusan ini telah selesai.
“Aku pergi,” katanya.
“Kakyu!” Lishie menarik tangan adiknya.
“Aku harus buru-buru, Lishie.”
“Aku tahu,” kata Lishie, “Tapi sebelum aku pergi, aku ingin memelukmu.”
Kakyu belum sempat berkata apa-apa, Lishie sudah menarik tubuhnya.
“Carilah suami yang hebat di medan pertempuran sana,” bisiknya.
“Engkau gila, Lishie,” kata Kakyu.
Lishie hanya tersenyum nakal sebagai balasannya.
“Apa yang kaubisikkan padanya, Lishie?” tanya Vonnie ingin tahu.
“Kukatakan ‘Carilah suami yang hebat di medan pertempuran sana’,”
jawab Lishie.
Ketiga gadis itu tertawa terpingkal-pingkal.
“Kalian semua gila,” kata Kakyu, “Akan kucarikan suami untuk kalian
semua biar kalian puas. Dan untuk Joannie akan kucarikan yang seperti Papa.”
“Untukku yang kuat juga, Kakyu,” pesan Marie, “Dan tampan.”
“Ya, akan kucarikan,” janji Kakyu, “Asal tidak ada yang mati.”
Ketiga gadis itu kembali terdiam.
“Hati-hatilah, Kakyu,” kata mereka sedih.
Kakyu diam saja melihat air mata ketiga kakaknya. “Aku pergi.”
“Untuk dirimu sendiri, cari istri yang cantik,” kata Lishie pada Kakyu yang
menghilang di balik pintu.
Kakyu tersenyum pada kakak-kakaknya sebelum ia menutup kembali
pintu itu.
“Kakyu!” panggil mereka.
Kakyu yang memegang tali kendali kudanya membalikkan badannya
pada kakak-kakaknya.
“Aku harus pergi sekarang juga.”
“Hati-hati, Kakyu,” pesan mereka.
“Tentu,” kata Kakyu.
“Jangan lupa pesan kami,” Lishie mengingatkan.
“Aku bisa-bisa terlambat gara-gara kalian,” keluh Kakyu.
Kakyu meletakkan tas bawaannya ke kudanya kemudian ia melompat ke
atas kudanya.
“Selamat tinggal,” kata Kakyu sambil melarikan kudanya.
“Katakan pada Papa, kami mencemaskannya.”
Kakyu terlalu jauh untuk mendengar seruan itu.
Hawa pagi yang dingin menelan seruan mereka. Tapi tak sampai menelan
56
semangat Kakyu.
Walau tahu waktu keberangkatannya ini lebih pagi satu jam lebih
daripada ayahnya, Kakyu tetap tidak mau mengulur waktu.
Ia yakin sejak tadi malam, pasukan yang dimintanya telah disiapkan di
halaman Istana dan tinggal menanti perintahnya.
Teringat keadaan di Naullie yang semakin bahaya setiap menitnya, Kakyu
semakin mempercepat laju kudanya. Ia tidak ingin membuang waktu terlalu
lama.
Dalam waktu lebih singkat dari biasanya, Kakyu telah tiba di Istana
Vezuza.
Penjaga gerbang segera membuka gerbang begitu melihatnya datang
dengan kudanya.
“Selamat pagi, Perwira,” sapa mereka.
“Selamat pagi,” balas Kakyu, “Semua sudah siap?”
“Ya, mereka tinggal menanti perintah Anda.”
“Bagaimana dengan pemuda yang kemarin bertengkar dengan kalian?”
tanya Kakyu lagi.
“Ia belum muncul ketika kami memeriksa pasukan itu seperti permintaan
Anda. Kami rasa tak lama lagi ia akan muncul.”
Kakyu mengangguk. “Buka pintu gerbang. Aku akan segera berangkat.”
Keduanya segera melaksanakan perintah itu.
Kakyu turun dari kudanya dan menggiringnya ke halaman tempat para
prajurit menantinya.
Pasukan itu masih berbaris rapi walau beberapa di antara mereka sudah
mengantuk. Masing-masing dari mereka telah memanggul tas ransel mereka
tetapi ada juga yang meletakkannya di dekat kakinya.
Mereka semua siap berangkat dengan senapan panjang di tangan
mereka dan pakaian seragam mereka yang hijau kebiru-biruan, bukan putih
kebiru-biruan seperti seragam pasukan Pengawal Istana Kakyu.
Semua pasukan itu didatangkan dari Angkatan Darat.
Seorang di antara mereka mendekat. “Pasukan telah siap, Perwira.
Semua seperti permintaan Anda. 500 pasukan kavaleri dan 1500 pasukan
infanteri.”
Kakyu mengangguk.
“Menteri Keamanan menyuruh saya membantu Anda, Perwira,” kata
prajurit itu.
“Terima kasih,” kata Kakyu, “Sekarang tolong kaupanggilkan pemimpin
pasukan pejalan kaki.”
“Baik, Perwira.”
Tak lama kemudian prajurit yang berpangkat Kolonel itu datang dengan
tiga Kapten lainnya.
57
“Kami siap membantu Anda, Perwira,” kata mereka.
“Kalian masing-masing bawahi 500 pasukan pejalan kaki dan bawa
mereka meninggalkan Istana terlebih dulu. Nanti kami akan menyusul kalian.”
“Baik, Perwira,” sahut mereka serempak.
Ketiga Kapten itu pergi melaksanakan tugas yang diberikan Kakyu.
“Sekarang apa yang harus kita lakukan, Perwira?” tanya Kolonel.
“Menunggu seseorang,” jawab Kakyu singkat.
Kolonel itu tidak mengerti apa yang dimaksudkan Kakyu, tapi ia tidak
mencoba menanyakannya. Ia tahu percuma bertanya banyak pada Kakyu.
Perwira Muda itu hanya akan menjawab singkat segala pertanyaannya.
Kolonel Abel mengawasi ketiga Kapten yang mengatur pasukan pejalan
kaki meninggalkan halaman Istana.
Sementara itu selain sibuk mengawasi pasukan yang meninggalkan
Istana, Kakyu sibuk dengan jalur yang akan dilaluinya sepanjang perjalanan
nanti.
Kakyu tidak ingin membuang waktu terlalu lama di tempat ini tapi ia
harus menaati perintah Raja Alfonso untuk membawa serta pemuda yang
kemarin.
“Kapan kita berangkat, Perwira?”
“Tunggu sebentar,” kata Kakyu.
“Bagaimana kalau orang itu lupa?” Kolonel mulai khawatir.
“Tidak akan,” kata Kakyu yakin.
Waktu saat ini memang belum menunjukkan pukul setengah empat pagi,
waktu yang dikatakan Kakyu pada pemuda itu.
Karena pasukan pejalan kaki lebih lambat daripada pasukan berkuda,
Kakyu sengaja melakukan ini semua.
Dengan berangkat setengah jam lebih dulu, pasukan pejalan kaki tidak
akan ketinggalan terlalu jauh dari pasukan berkuda yang akan menyusulnya.
Belum lama waktu berselang, Kolonel sudah semakin khawatir, “Perwira,
mengapa lama sekali?”
“Sabar,” kata Kakyu singkat, “Tunggu sampai pukul setengah empat.”
“Setengah empat?” ulang Kolonel.
“Kita harus memberi kesempatan pada pasukan pejalan kaki untuk
mencapai jarak sejauh mungkin sehingga kita tidak perlu berjalan lambat
untuk menyamai langkah mereka,” Kakyu memberi penjelasan.
“Saya mengerti,” kata Kolonel setelah merenungkan kata-kata Kakyu.
Kakyu mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya dan ia mengamati
kertas itu. Setelah mempelajari peta itu sekali lagi, Kakyu memanggil Kolonel
Abel.
“Ada apa, Perwira?” tanyanya kebingungan bercampur harapan.
Dari nada suaranya, Kakyu tahu pria itu berharap akan disuruh
58
memanggil pemuda lainnya yang hingga kini masih belum muncul juga. Tapi
bukan karena itu Kakyu memanggilnya.
“Aku harus menjelaskan rencana perjalanan ini kepadamu,” kata Kakyu
singkat.
Kakyu memperlihatkan peta yang telah berisi coretan-coretannya. “Garis
ini merupakan jalan yang akan kita lewati. Hingga di perbatasan Chiatchamo,
kita masih melewati jalur biasa, tetapi tidak setelah itu. Kita akan memutar
sedikit.”
“Bukankah itu akan memperlambat kedatangan kita, Perwira?”
Kakyu hanya tersenyum. “Karena itu aku memerintahkan pasukan
pejalan kaki berjalan terlebih dahulu,” katanya.
“Anda tadi hanya memerintahkan kepada mereka untuk menanti di
perbatasan Chiatchamo. Bagaimana mereka dapat berjalan dahulu? Mereka
bahkan tidak tahu rute yang akan kita ambil.”
Sekali lagi Kakyu hanya tersenyum simpul – hampir tak kentara
mendengar kebingungan Kolonel Abel.
“Untuk itulah aku memanggilmu.”
Kolonel Abel semakin dibuat bingung karenanya. “Maksud Anda,
Perwira?”
“Daripada engkau cemas di sini, lebih baik engkau menyusul pasukan
infanteri dan memimpin mereka melalui jalur dalam peta ini.”
Kolonel Abel memperlajari peta itu sebelum pada akhirnya ia berkata,
“Baik, Perwira.”
Entah apa yang membuat Kolonel itu begitu bersemangat, Kakyu tidak
tahu.
Ia hanya dapat menduga, Kolonel itu ingin mengikuti pertempuran yang
sebenarnya. Atau mungkin juga ia ingin bertemu saudaranya yang telah dikirim
ke sana duluan.
Kakyu tidak mau memikirkannya dan ia tidak tertarik untuk
melakukannya. Saat ini yang menjadi pusat pikiran Kakyu hanya bagaimana
mencapai Pegunungan Alpina Dinaria tanpa diketahui Kirshcaverish.
Serta bagaimana menghadapi ketimpangan situasi ini tanpa membuat
seorangpun tahu rahasia yang disimpannya sejak pertama kali ia mengetahui
perkemahan mereka.
Tak lama setelah menerima peta itu, Kolonel Abel segera melesat dengan
kudanya.
Setelah kepergian Kolonel, Kakyu mempersiapkan pasukan kavaleri yang
masih berada di halaman Istana.
Ketika pada akhirnya dari dalam Istana muncul orang yang dinanti-
nantikan Kakyu, seluruh pasukan kavaleri telah siap berangkat.
“Ke mana pasukan lainnya, Kakyu?”
59
Kakyu yang tidak menduga Raja Alfonso akan mengantar kepergian
pemuda itu, dengan cepat menjawab, “Mereka telah berangkat, Paduka.”
“Sepertinya aku sebaiknya tidak menahanmu lebih lama lagi di sini,”
kata Raja Alfonso sambil mengawasi pasukan kavaleri yang sudah siap di
punggung kuda masing-masing.
“Kalian telah siap berangkat,” kata Raja Alfonso memberi pendapat.
Kemudian pada pemuda di sampingnya ia berkata, “Dan engkau juga harus
segera bersiap-siap.”
“Aku sudah siap,” protes pemuda itu, “Aku hanya perlu menanti kudaku
siap.”
“Kuda Anda telah siap dari tadi,” Kakyu memberitahu.
Dengan pandangan matanya, ia menunjukkan kuda coklat yang sejak
tadi memang telah menanti pemuda itu.
“Terima kasih,” pemuda itu berkata sambil lalu.
“Kuserahkan keselamatannya padamu, Kakyu,” kata Raja Alfonso.
“Saya mengerti, Paduka.”
Seperti pemuda itu, Kakyu segera duduk di punggung kudanya.
Tanpa berkata apa-apa, ia berangkat diiringi pemuda itu serta pasukan
yang telah mendapat petunjuk darinya.
Mulanya kedua orang itu tidak berkata apa-apa.
Kakyu tidak terganggu oleh situasi itu. Sebaliknya ia merasa tenang
dalam pikirannya yang kacau balau.
Lain lagi halnya dengan pemuda yang berkuda di samping Kakyu. Ia
merasa sangat tidak nyaman didiamkan seperti ini hingga ingin rasanya ia
segera melihat pasukan lainnya dan berkumpul dengan para Perwira lainnya.
Tetapi anehnya mereka seperti tidak segera menyusul pasukan yang
telah berangkat walau mereka berjalan cukup cepat.
Pikiran itu membuatnya tidak tahan lagi untuk bertanya, “Mengapa kita
tidak melihat pasukan lainnya?”
“Mereka telah jauh.”
Jawaban singkat itu tidak memuaskan pemuda itu. “Apakah benar
pasukan yang pergi bersama kita bukan hanya ini saja?”
Kakyu mengangguk.
Pemuda itu diam lagi. Ia tidak tahu bagaimana membuat suatu
percakapan yang tidak hanya menghasilkan jawaban singkat, pendek dan
tenang lagi.
“Apakah engkau tidak tertarik untuk mengetahui siapa diriku?”
pancingnya.
Sekali lagi Kakyu hanya menggerakkan kepalanya sebagai jawabannya.
“Tidak?” pemuda itu keheranan.
“Mengapa harus?” Kakyu balas bertanya.
60
“Karena kita akan bekerjasama sepanjang perjalanan menuju Hutan
Naullie ini, Kakyu,” kata pemuda itu, “Benarkah itu namamu?”
Seperti telah mengetahui jawabannya, pemuda itu tidak menanti
jawaban Kakyu. Ia berkata, “Engkau dapat memanggilku Adna.”
Kakyu tetap diam.
Adna mulai jengkel. “Apakah engkau tidak dapat berbicara?”
Kakyu bukannya menjawab malah mengeluarkan secarik kertas dari
sakunya dan mempelajarinya.
Adna masih belum mengenal Kakyu yang memang sukar diganggu
ketenangannya terutama bila ia sedang memikirkan suatu masalah dengan
serius.
Merasa diacuhkan, Adna berdiam diri juga. Tapi hal itu tidak bertahan
lama.
Ketika mereka akhirnya mencapai perbatasan Chiatchamo, Kakyu
mengambil jalan menuju Parcelytye.
Prajurit lainnya yang telah mengetahui rencana Kakyu, tetap mengikuti
pemuda itu. Tapi tidak dengan Adna yang tidak tahu apa-apa.
“Engkau salah jalan,” katanya memberitahu.
“Tidak,” jawab Kakyu, “Jalan kita sudah benar.”
“Benar apanya?” Adna menampakkan kejengkelan yang selama ini
dipendamnya. “Sudah jelas jalan yang kita lalui ini menuju ke Parcelytye bukan
ke Pegunungan Alpina Dinaria, tetapi engkau masih tenang-tenang saja.
Sekarang saatnya engkau menjelaskan semua ini padaku.”
Perintah tegas itu tidak membuat ketenangan Kakyu buyar. “Ikuti saja,”
katanya tenang.
Mata Adna menyipit. Ia mencari-cari sesuatu di wajah tenang Kakyu.
“Percuma memang berbantah denganmu,” keluhnya, “Mereka semua
benar. Engkau sangat misterius.”
Kakyu tidak menanggapi apa-apa.
Ia tetap diam ketika mereka akhirnya melihat pasukan infanteri di depan
kejauhan.
Entah siapa yang mendahului, Kakyu tidak tahu dan ia tidak mau tahu.
Tetapi yang jelas, tiba-tiba saja pasukan infanteri yang mendengar derap kaki
kuda dalam jumlah banyak, berhenti. Sementara itu pasukan kavaleri
mempercepat lajunya.
Kakyu tidak berkata apa-apa. Ia membiarkan kelima ratus pasukan yang
dibawahinya melaju mendahuluinya hanya untuk menyusul kawan mereka.
Adnapun tidak mau ketinggalan. Ia tidak mau terlalu lama berada di
dekat Kakyu yang hanya dapat membuatnya merasa tidak enak. Adna ingin
mencari Perwira lain yang diyakininya tidak sedingin Kakyu.
Niat pertama Adna memang itu tetapi ketika melihat Kakyu tetap
61
berjalan santai walau telah ditinggal pasukannya, ia memilih menemani
pemuda itu. Ia merasa kasihan melihat pemuda yang dirasanya tak jauh lebih
tua dari adiknya itu sendirian.
“Engkau tidak merasa kesepian ditinggalkan pasukanmu?” tanya Adna –
kembali berusaha membuka percakapan.
Tetapi jawaban yang didapatnya tidak memuaskannya. Kakyu hanya
berkata singkat, padat, jelas dan yang pasti tetap dengan ketenangannya.
“Tidak,” katanya.
“Tidak dapatkah engkau berbicara lebih banyak?” tanya Adna kesal.
“Tergantung.”
“Tergantung bagaimana?” Adna tidak mengerti, “Sudah jelas dalam
perjalanan apalagi di Hutan Naullie nanti engkau tidak dapat bertenang-tenang
seperti ini. Tergatung apanya yang kaumaksudkan? Kalau tergantung keadaan
seharusnya engkau mengerti saat ini engkau harus berbicara panjang lebar.
Entah menjelaskan rencanamu yang aneh itu maupun dalam mengatur
pasukan.”
Dasar pemuda yang pendiam dan selalu tenang dalam dunianya sendiri,
Kakyu diam saja mendengar ceramah panjang lebar itu.
Keinginan Adna untuk menemani pemuda itu pun hilang karena sikap
pemuda itu yang tetap memilih berdiam diri daripada menjelaskan apapun.
Adna mendahului pemuda yang tetap berkuda santai.
Kakyu memang tidak peduli apakah saat ini ia sendirian atau tidak.
Hanya satu yang ada dalam pikirannya saat ini. Bagaimana mencapai
Pegunungan Alpina Dinaria tanpa diketahui Kirshcaverish?
Kakyu sangat yakin setelah peperangan kecil yang sering terjadi di dalam
Hutan Naullie, Kirshcaverish akan mengirimkan sejumlah pasukannya untuk
menghadang bala bantuan yang akan dikirim dari pusat Kerajaan Aqnetta,
Chiatchamo.
Lebih baik memutar jalan yang jelas akan menghabiskan waktu lebih
lama dari yang seharusnya daripada mengurangi jumlah pasukan yang ada.
Jumlah anggota Kirshcaverish dibandingkan pasukan Kerajaan Aqnetta
yang telah ada di Hutan Naullie maupun yang sedang dalam perjalanan ini,
memang tidak ada apa-apanya.
Tetapi dengan jumlah Kirshcaverish yang lebih kecil daripada pasukan
Kerajaan Aqnetta, bukan berarti pasukan Kerajaan Aqnetta akan memenangkan
pertempuran ini.
Bila Kirshcaverish memanfaatkan posisi mereka yang sangat
menguntungkan, yaitu di tengah Hutan Naullie yang sangat lebat, maka itu
menjadi kelemahan terbesar bagi pasukan Kerajaan Aqnetta.
Pasukan Kerajaan Aqnetta memang kuat tetapi tidak cukup kemampuan
untuk menghadapi Kirshcaverish. Mereka belum pernah berlatih di dalam
62
hutan. Dan kini tiba-tiba mereka harus menghadapi pertempuran yang sangat
jelas medannya tidak dikenal dan sangat rawan.
Kirshcaverish pasti mengetahui kelemahan ini dan memanfaatkannya
untuk menghancurkan pasukan Kerajaan Aqnetta. Kakyu yakin akan itu. Tapi
Kakyu tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Seperti pasukan Kerajaan Aqnetta yang tidak mengetahui letak markas
mereka, Kirshcaverishpun tidak tahu markas mereka telah diketahui
keberadaannya oleh Kakyu.
Kakyu tidak yakin apakah kelompok itu tetap di tempat yang sama atau
pindah. Tapi Kakyu yakin mereka tidak akan pindah jauh. Kalaupun mereka
pindah, mereka pasti tetap mendirikan perkemahan di tepi sungai yang sama.
Bayangan peperangan yang semakin dekat tidak membuat Kakyu gentar.
Bila Kakyu tidak gentar harus memimpin sejumlah besar pasukan dalam
usianya yang masih muda ini, ia juga tidak akan gentar bila harus menghadapi
peperangan itu.
Sejak dulu Kakyu tahu peperangan ini akan terjadi dan tidak akan ada
yang dapat menghentikannya.
Peperangan ini harus terjadi untuk mempertahankan keutuhan dan
keamanan Kerajaan Aqnetta yang selama ini ada.
Tidak seperti pasukan lainnya, Kakyu telah mengetahui medan
pertempuran yang akan menjadi tempat pertempuran mereka bahkan mungkin
menjadi tempat kematian mereka.
Bayangan kematian pun tidak membuat Kakyu takut.
Kakyu memilih maju ke garis depan daripada menjadi Kepala Keamanan
Istana bukan tanpa perhitungan.
“Perwira!”
Panggilan itu menghentikan pikiran Kakyu yang melayang-layang tanpa
tujuan pasti.
Kolonel Abel mendekat dengan terburu-buru. “Perwira, apa yang harus
kita lakukan?”
“Mengikuti rencana semula,” jawab Kakyu.
“Saya mengerti, Perwira,” kata Kolonel Abel, “Tapi apa yang harus kita
lakukan terhadap para prajurit itu. Mereka semua kebingungan. Banyak dari
mereka yang terus bertanya-tanya mengapa kita mengambil jalan ke
Parcelytye ini bukan yang langsung menuju Hutan Naullie.”
“Kolonel,” kata Kakyu, “Panggil semua Kapten.”
Walau tidak mengerti maksud Kakyu, Kolonel Abel tetap berkata, “Baik,
Perwira.”
Kakyu tetap tidak berpindah dari tempatnya sampai Kolonel Abel datang
dengan tiga Kapten yang tadi pagi. Bersama mereka juga ikut Adna.
Kakyu yakin pemuda itu tidak akan mau disuruh pergi. Pemuda itu pasti
63
ingin mengetahui rencananya.
Siapapun dia dan apa hubungannya dengan Raja Alfonso, Kakyu tidak
tertarik untuk mengetahuinya. Apapun yang akan dilakukan pemuda itu,
selama tidak mengacaukan rencananya, Kakyu tidak mau memikirkannya.
“Kita akan beristirahat sebentar di sini sementara aku menjelaskan
rencanaku pada kalian,” kata Kakyu.
“Baik, Perwira.”
Ketiga Kapten itu pergi lagi untuk mengatur pasukan mereka. Tak lama
kemudian mereka kembali lagi.
Kakyu membawa mereka agak menjauhi kedua ribu pasukan yang
sedang beristirahat itu.
“Kolonel, petanya?” kata Kakyu yang segera ditanggapi Kolonel Abel
dengan mengeluarkan secarik peta dari sakunya.
Kolonel Abel menyerahkan peta itu pada Kakyu yang segera
membentangkannya lebar-lebar di hadapan mereka.
“Kita akan mengikuti jalur seperti garis ini.”
“Apa engkau sudah gila?” sahut Adna, “Perjalanan ini bukannya
mempercepat kedatangan bala bantuan ini malah akan memperlambatnya.
Apakah engkau ingin pasukan kita yang berada di Hutan Naullie hancur
sebelum kita datang?”
Kakyu menatap tenang wajah pemuda itu. “Bila kita mengikuti jalur
biasanya yang lebih cepat, kita akan hancur terlebih dulu sebelum mencapai
Farreway. Kirshcaverish tidak akan membiarkan bala bantuan tiba di sana.
Sementara itu jalan yang akan kita lewati bila kita mengikuti jalur biasa,
melalui tepi hutan itu.”
“Bila Anda ingin kita mendapatkan serangan dari Kirshcaverish sebelum
kita mencapai perkemahan pasukan garis depan, lalui saja jalan yang
biasanya,” tambah Kakyu dengan tenang.
Kemudian Kakyu melanjutkan menjelaskan rencananya – tanpa
menghiraukan Adna yang masih tidak mengerti dengan sikapnya maupun
rencananya.
“Kita tidak akan melalui Parcelytye, tapi kita akan sedikit membelok ke
timur di dekat kota itu. Kemudian kita akan berjalan ke arah timur laut menuju
Chnadya. Dari sana, kita langsung bergerak ke arah barat langsung menuju
Farreway.”
“Perjalanan ini akan membutuhkan waktu yang lama Perwira,” kata
Kolonel Abel.
“Aku tahu dan aku telah memperhitungkannya,” kata Kakyu, “Seperti tadi
pagi, pasukan infanteri akan berjalan terlebih dulu baru pasukan kavaleri
mengikuti di belakang. Dengan cara seperti ini, aku memperhitungkan kita
akan tiba dalam empat hari.”
64
“Apakah itu tidak terlalu lama, Perwira?” tanya Kapten Simpsons.
“Tidak.”
“Bagaimana kalau kekhawatiran Adna terbukti?” tanya Kapten Gwen.
“Tidak akan,” Kakyu mulai bersikap misterius.
“Maksud Anda, Perwira?” tanya Kolonel Abel.
“Perhatian mereka saat ini terpusat pada kita,” kata Kakyu – tetap
berteka-teki.
“Ketika prajurit utusan dari Naullie itu datang, ia dalam keadaan yang
terluka. Menurut pengakuannya, beberapa orang yang pasti suruhan
Kirshcaverish, mencoba untuk menghentikannya. Kirshcaverish pasti akan
segera memusatkan perhatian mereka di sekitar Hutan Naullie, sepanjang
perjalanan dari Chiatchamo ke Farreway untuk menghentikan kita. Pasukan
lainnya yang ada di Naullie tidak akan mereka hiraukan. Mereka pasti tahu
pasukan kita yang sudah ada di Naullie tidak mampu lagi menahan serangan
mereka. Karena itulah kita datang. Saat ini kita yang mereka takuti, bukan
pasukan yang ada di Naullie. Sampai kita datang nanti, pasukan lainnya akan
aman.”
“Apakah pikiranmu sesempit itu?” Adna kembali menentang Kakyu,
“Bagaimana kalau mata-mata mereka tahu kita memutar?”
“Tidak akan,” kata Kakyu tenang, “Rencana ini baru kupersiapkan
kemarin malam. Dan mata-mata mana yang akan mengintai pasukan yang ia
yakini akan melalui jalur biasanya? Kalaupun mereka tahu, mereka pasti tidak
akan menghancurkan pasukan di Naullie. Mereka pasti juga akan mengirim
pasukan mereka menjemput kita di Farreway sebelum kita memasuki kota itu.”
“Kirshcaverish cukup pintar untuk mengetahui apa yang harus mereka
lakukan. Kirshcaverish tidak akan menghabiskan pasukan mereka walau yang
mati hanya satu orang demi menghancurkan pasukan di Naullie. Mereka pasti
akan memilih menghancurkan bala bantuan ini daripada menghabiskan
pasukan di sana. Pasukan di Naullie telah berada dalam tangan mereka dan
sangat mudah mereka hancurkan tetapi tidak demikian halnya dengan kita.”
“Mengerti?” kata Kakyu tenang.
Kolonel Abel tersenyum. “Sangat mengerti, Perwira. Tak heran Raja
Alfonso mengagumi Anda.”
“Dengan kita memutar seperti ini, kita tidak hanya memberi kesempatan
pada pasukan di Naullie untuk memulihkan keadaan mereka tetapi juga
membuat peperangan berhenti untuk sementara waktu,” kata Kapten Gwen.
“Sebaiknya kita tidak memperlambat lagi,” kata Kapten Perrier, “Kita
harus segera berangkat agar segera sampai di Naullie.”
“Perwira?” Kolonel Abel meminta persetujuan Kakyu atas rencana ketiga
Kapten itu.
“Lakukan saja,” kata Kakyu singkat.
65
Ketiga Kapten itu segera menuju pasukan mereka dan mulai mengatur
pasukan itu.
“Bagaimana dengan pasukan yang kebingungan dengan rencana Anda
ini, Perwira?” kata Kolonel Abel.
“Sebaiknya mereka diberitahu juga tapi tidak keseluruhan.”
“Baik, Perwira.” Kolonel Abel juga segera meninggalkan tempat itu.
Sekarang tinggallah Kakyu dan Adna yang masih berada di tempat itu.
Adna tidak ingin meninggalkan Kakyu sendiri. Ia masih ingin memperjelas
semuanya. “Katakan kepadaku apa yang akan kaulakukan kalau semua
pikiranmu itu salah.”
“Kalau aku salah, maka aku bersalah juga pada pasukan yang ada di
Naullie.”
Ketenangan Adna membuat Kakyu tidak sabar untuk bertanya. “Apakah
sikapmu selalu tenang-tenang seperti ini?”
“Apakah itu salah?”
“Tidak,” sahut Adna, “Hanya saja sikapmu itu sangat mengangguku. Aku
tidak pernah melihat seorang pemuda sediam dan setenang engkau. Engkau
membuatku ingin tahu apakah engkau akan tetap tenang bila ada meriam
jatuh di sampingmu.”
Kakyu hanya tersenyum.
“Tidak ada yang menjadi masalah lagi, bukan?”
“Maksudmu?”
“Mengenai rencanaku.”
“Masih ada. Aku khawatir kalau dugaanmu itu salah.”
“Jangan khawatir. Aku telah memperhitungkannya semalaman.”
“Engkau sangat yakin sekali,” komentar Adna.
“Kalau aku tidak yakin, aku tidak akan melakukannya.”
Kakyu meninggalkan pemuda itu.
Adna mengikuti pemuda itu. “Tak kuduga engkau ternyata bisa berbicara
cukup banyak juga.”
Kakyu yang telah kembali pada sikap tenangnya, hanya diam.
Diam-diam Adna mengagumi Kakyu. Ia merasa tidak salah kalau setiap
gadis di Kerajaan Aqnetta sering memuji pemuda itu.
Kecerdasan dan ketangguhan pemuda itu telah diakui Raja Alfonso tetapi
ia masih belum dapat sepenuhnya mengakui hal itu.
Ia masih merasa pemuda itu terlalu muda untuk memimpin pasukan
sebanyak ini. Kecerdasan pemuda itu memang patut diberi pujian tetapi
pemuda itu terlalu yakin dengan pikirannya.
Kakyu terlalu yakin dengan pendiriannya sementara Adna khawatir
keyakinan Kakyu itu salah.
Bila keyakinan itu salah, bisa jadi Kerajaan Aqnetta kehilangan Jenderal-
66
Jenderal terbaiknya yang dikirim ke sana untuk menanggulangi serangan
Kirshcaverish.
Dari Kolonel Abel dan para Kapten itu, Adna tahu Kakyu sangat pendiam
dan hanya berbicara bila perlu saja. Selebihnya ia akan diam dan tampak
dingin dalam ketenangannya.
Tapi itulah yang menyebabkan ia tampak semakin menarik.
Sikapnya yang dingin-dingin tenang kadang-kadang tampak misterius. Di
balik semua itu pemuda itu menyimpan keramahannya. Seperti ia menyimpan
ketangguhan dan kecerdasannya di balik tubuh mudanya.
Untuk sementara waktu ini, Adna merasa lebih baik membiarkan pemuda
itu menjalankan rencananya.
Pikiran Kakyu memang tidak salah, tetapi pikiran Adna juga tidak salah.
Mana yang benar antara keduanya akan terbukti bila mereka telah tiba di
Naullie.
Apakah pasukan Kerajaan Aqnetta di Naullie tetap utuh ataukah pasukan
itu telah habis ketika mereka tiba?
Saat ini tidak ada yang dapat menebaknya.
Kakyu yang sangat yakinpun tidak dapat menebaknya.
Pasukan kavaleri yang dibawahi Kakyu sendiri masih tetap tinggal di
tempat itu sampai satu jam lamanya.
Ketika akhirnya Kakyu memerintahkan pasukan kavalerinya bersiap-siap,
matahari baru terbit.
Pukul tujuh pagi Kakyu dan pasukannya baru meninggalkan tempat itu.
Pasukan kavaleri sudah tidak terlalu kebingungan lagi. Mereka telah
mengetahui rencana Kakyu dan mereka percaya seperti tadi, mereka juga akan
bertemu pasukan lainnya.
Mereka terus berjalan seperti itu.
Setelah satu jam atau lebih pasukan pejalan kaki berjalan, pasukan
kavaleri juga berangkat dengan santai.
Hingga mereka mendekati Chnadya, hubungan antara pasukan itu
dengan Kakyu semakin dekat. Pasukan itu mulai mengenal sifat Kakyu.
Ternyata tidak semua yang mengerti Kakyu. Masih ada yang tidak
percaya apa yang dikatakan semua orang mengenai diri Kakyu. Yang paling
tampak jelas adalah Adna.
Adna tidak percaya Kakyu setenang itu.
Entah berapa kali ia menguji Kakyu. Segala macam usaha mulai dari
berbicara biasa sampai yang mengajak bertengkar dilakukannya untuk
membuyarkan ketenangan Kakyu.
Tetapi Adna tidak tahu sejak kecil Kakyu telah dilatih untuk menjaga
ketenangan sikap maupun perasaannya.
“Sebaiknya engkau berhenti berusaha menganggu ketenangan Perwira,”
67
Abel memberi nasehat.
“Putri Eleanor yang cantikpun tidak dapat membuat ketenangan Perwira
buyar apalagi engkau,” kata Perrier, “Perwira Kakyu terlalu tenang untuk
diganggu gadis manapun.”
“Tidak heran kalau ia tetap dapat menjalankan tugasnya dengan baik
walau setiap hari gadis-gadis di Istana Vezuza berusaha menganggunya.
Mereka semua diperlakukan Perwira Kakyu hanya sebatas kawan, tidak lebih.
Bahkan kepada Putri Eleanorpun sikapnya tetap sangat sopan,” tambah
Simpsons.
Walaupun telah mendapat nasehat itu, Adna tetap tidak berhenti
berusaha meruntuhkan ketenangan Kakyu.
Dari pagi sampai malam Adna terus berusaha meruntuhkan ketenangan
Kakyu.
Kakyu sendiri tidak mempedulikannya. Ia hanya peduli pada perjalanan
mereka yang semakin mendekati Farreway.
Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai Chnadya ternyata lebih singkat
dari yang diperhitungkan Kakyu.
Kakyu tahu itu semua karena pasukannya yang tidak sabar ingin segera
membanatu kawan mereka.
Di pagi hari mereka berangkat pukul empat bahkan kurang dari pukul
empat pagi. Mereka terus berjalan dan baru berhenti hanya bila kedua pasukan
yang waktu keberangkatannya berbeda itu bertemu.
Setelah berhenti satu jam atau lebih, mereka kembali melanjutkan
perjalanan.
Setelah langit gelap mereka baru berhenti untuk beristirahat.
Melihat semangat pasukannya, Kakyu yang telah menentukan tempat-
tempat mereka untuk beristirahat di malam hari, terpaksa mencari tempat
baru yang lapang untuk mendirikan tenda.
Semakin mendekati Farreway, kedua ribu pasukan itu semakin tidak
sabar menghadapi pertempuran mereka walau mereka juga ngeri
membayangkan pertempuran yang akan terjadi.
Sebaliknya Kakyu tetap tampak tenang. Dan itu membuat Adna semakin
heran.
Di saat pasukannya semakin tidak sabar sekaligus khawatir, Kakyu
sebagai pemimpinnya tetap tampak tenang.
Walaupun Kakyu ingin memberi contoh kepada pasukannya, tetapi
sikapnya itu tampak sangat tidak wajar di mata Adna.
Bagi orang yang belum pernah bertempur, pasti pertempuran yang
pertama kalinya akan membuatnya bersemangat sekaligus gugup.
Tapi Kakyu yang masih muda sama sekali tidak tampak gugup. Ia tetap
tampak tenang.
68
Adna percaya pemuda itu juga tampak gugup tetapi ia tidak mau
menunjukkannya. Sama seperti dirinya yang juga tidak mau menunjukkan
kekhawatirannya akan keadaan di Naullie.
Tak heran ketikat melihat Kakyu berjalan sendirian di lapangan tempat
mereka mendirikan tenda di sekitar Chnadya, Adna mengikuti pemuda itu.
Adna ingin tahu apa yang akan dilakukan pemuda itu. Tepatnya apa yang
dilakukan pemuda itu untuk mengatasi kegugupannya menghadapi perang
pertamanya.
Melihat pemuda itu berdiri di bayang-bayang sebatang pohon besar
sambil menatap langit, Adna heran.
Pemuda itu tampak tenang. Tidak tampak kegugupan di wajahnya.
Matanya menatap langit seolah-olah ia mengagumi bintang-bintang yang
bertaburan di sana.
Kakyu segera berbalik ketika mendengar langkah-langkah yang
mencurigakan.
“Jangan khawatir ini aku,” kata Adna sambil mengangkat kedua
tangannya.
Tanpa berkata apa-apa, Kakyu kembali melihat langit malam.
“Apakah ada yang kaupikirkan?” tanya Adna.
“Tidak.”
“Lalu mengapa engkau menatap langit seperti sedang berpikir?” kata
Adna, “Apakah engkau gugup seperti pasukan lainnya?”
Sekali lagi Kakyu membantah Adna.
“Lalu mengapa engkau di sini?”
“Tidak ada apa-apa,” kata Kakyu tenang.
“Apakah engkau selalu setenang ini?” tanya Adna, “Engkau tidak jauh
lebih tua dari adikku dan aku sangat yakin ini pertempuran pertamamu.
Walaupun Raja sering mengujimu tetapi tetap saja engkau masih muda. Kalau
adikku yang berada dalam situasi ini, ia pasti sudah akan gugup bahkan
ketakutan.”
“Percaya atau tidak, aku sama sekali tidak mengkhawatirkan diriku.”
“Lalu mengapa engkau di sini?”
“Aku sudah mengatakannya.”
“Apakah engkau tidak mengkhawatirkan keselamatanmu?”
“Aku lebih mengkhawatirkan keselamatan yang lain.”
“Bagaimana dengan ayahmu? Apa yang akan terjadi pada keluarga
Quentynna bila engkau sebagai satu-satunya anak laki-laki mereka,
meninggal?” pancing Adna, “Engkau tahu engkau satu-satunya penerus
ayahmu.”
Tak sepatah katapun yang keluar dari mulut Kakyu.
Kediaman itu membuat Adna menduga ia telah berhasil meruntuhkan
69
ketenangan Kakyu walau hanya sedikit.
“Apakah ada alasan lain?” tanya Adna senang.
“Sebaiknya engkau pergi tidur.”
Mata Adna menyipit karenanya. “Engkau mengusirku?”
Kakyu diam saja.
“Kalau engkau ingin mengusirku, engkau harus berpikir dua kali,” Adna
memperingatkan, “Tidak mudah menyuruhku.”
“Engkau tahu besok kita akan berangkat pagi-pagi. Dan bila aku tidak
salah menghitung, kita akan tiba di Farreway pada sore hari.”
“Jangan menasehati orang lain sebelum engkau melakukannya.”
Tanpa berkata apa-apa, Kakyu meninggalkan pohon itu beserta Adna.
Adna segera menyusul Kakyu.
“Engkau marah padaku?” tanyanya sambil menarik lengan Kakyu.
Seperti dulu, Kakyu menyentakkan tangannya dari pegangan Adna.
“Tidak,” katanya tenang.
“Sikapmu persis seperti adikku kalau ia sedang marah,” Adna
memberitahu.
“Aku harus kembali ke tendaku,” kata Kakyu.
“Mungkin sebaiknya begitu,” kata Adna.
Tanpa banyak bicara lagi, Kakyu meninggalkan Adna menuju tendanya.
Paginya Kakyu mengubah sedikit rencananya. Mereka tetap berangkat
pagi seperti biasanya, tetapi kali ini pasukan infanteri dan pasukan kavaleri
berjalan bersama.
Seperti perhitungan Kakyu, mereka tiba di Farreway pada sore hari.
Dengan sedikit khawatir dan senang, pasukan itu semakin mempercepat
jalan mereka menuju Hutan Naullie.
Kakyu yang memimpin di depan bersama Kolonel Abel dan Kapten
lainnya, juga mempercepat jalan mereka.
Ketika tenda-tenda pasukan Kerajaan Aqnetta mulai terlihat di kejauhan,
Kakyu mendengar para prajurit di belakangnya bersorak senang.
Adna merasa setiap pasukan senang telah berhasil mencapai Hutan
Naullie dengan selamat. Ia sendiri juga merasa sangat senang. Tak heran kalau
ia merasa heran melihat Kakyu tetap tampak tenang.
“Jangan kebingungan seperti itu,” kata Kapten Gwen, “Semua orang
mengatakan Perwira Kakyu tidak mudah terbawa suasana.”
Adna menghiraukan perkataan itu dan terus melihat wajah tenang Kakyu
walau mereka semakin mendekati perkemahan.

70
6

“Bala bantuan tiba!” seru prajurit yang menjaga di puncak menara


pengintai, “Bala bantuan tiba!”
Seruan itu membangkitkan semangat para prajurit yang semakin hari
semakin merasa kewalahan menghadapi pemberontak dalam Hutan Naullie.
Beberapa prajurit segera membuka gerbang kayu yang melindungi
perkemahan mereka dari serangan Kirshcaverish.
Melihat pasukan yang datang dalam jumlah banyak itu, mereka bersorak
senang.
Seruan itu membuat para Jenderal yang sibuk berunding, meninggalkan
tenda tempat mereka berunding.
“Apa yang terjadi?” tanya Jenderal Decker pada seorang prajurit.
“Bala bantuan telah tiba, Jenderal,” jawab prajurit itu.
“Akhirnya mereka datang juga,” kata Jenderal Erin.
“Di mana mereka?” tanya Jenderal Decker.
“Mereka masih dalam perjalanan, Jenderal,” kata prajurit itu, “Tak lama
lagi mereka akan tiba.”
“Buka pintu gerbang,” Jenderal Erin memberi perintah, “Aku ingin
menyambut mereka.”
Seperti para prajurit lainnya, para Jenderal yang sangat mengharapkan
kedatangan bala bantuan itu sangat senang.
Mereka bergegas menuju pintu gerbang yang telah terbuka dari tadi dan
ikut menyaksikan bala bantuan itu mendekat.
Semakin mereka mendekat, jumlah mereka semakin terlihat.
Para Jenderal itu senang sekaligus terkejut melihat jumlah pasukan yang
datang itu.
“Banyak sekali!”
Komentar itu terdengar dari antara kerumunan para prajurit yang ikut
menyambut datangnya bala bantuan itu.
“Mereka datang dalam jumlah banyak!”
Komentar itu juga terdengar.
“Kita tidak akan kalah lagi!”
Keyakinan itupun terdengar di antara pasukan yang semakin bersorak
senang.
Sorak sorai itu bersaing dengan suara derap kaki kuda pasukan kavaleri
yang dibawa Kakyu.
Pasukan kavaleri yang muncul kemudian itu membuat para prajurit itu
71
semakin bersorak sorai. Rupanya dari tadi yang terlihat hanya pasukan
infanteri yang berjalan di depan pasukan kavaleri.
“Mereka membawa pasukan kavaleri!”
Seruan itu menggema di antara pasukan yang seakan-akan ingin
memberi tahu setiap pasukan di sana yang tidak dapat melihat kedatangan
teman mereka.
Prajurit yang menjaga menara pengintai berseru – memberi tahu kawan-
kawannya yang tidak dapat melihat jelas kedatangan bala bantuan itu,
“Mereka datang dalam jumlah banyak! Mereka membawa banyak pasukan
pejalan kaki dan sejumlah pasukan berkuda.”
Jenderal Tertinggi Decker, terkejut melihat jumlah bala bantuan yang
datang itu.
“Siapakah yang mengusulkan pasukan sebanyak itu?” tanyanya ingin
tahu.
“Aku tidak tahu,” kata Jenderal Erin, “Tapi orang itu pasti telah
mengetahui kesulitan kita.”
“Apakah jumlah mereka tidak terlalu banyak?” tanya Pangeran Reinald.
“Saya rasa tidak, Pangeran,” kata Jenderal Erin, “Anda telah melihat
sendiri pasukan yang kita bawa dengan mudah dihancurkan oleh
Kirshcaverish.”
“Sampai sekarang aku ingin tahu berapakah jumlah mereka. Mereka
dengan mudah menyerang kita walau jumlah pasukan kita cukup banyak.”
“Lihat saja keadaan kita sekarang,” kata Jenderal Decker, “Pasukan yang
dibawa Erin dulu ditambah pasukan yang kubawa, seluruhnya kurang lebih 600
orang. Tapi kini yang masih hidup tidak lebih dari 150 orang. Aku yakin jumlah
mereka sangat banyak, Reyn.”
Bala bantuan itu semakin dekat.
Ketika melihat seseorang yang pakaian seragamnya lain dari pasukan
lainnya, mereka tidak merasa heran. Seperti para prajurit, perhatian para
Jenderal itu tidak tertuju pada pemimpin pasukan itu tetapi pada pasukannya.
Tak heran kalau mereka sangat terkejut ketika melihat Kakyu mendekat.
“KAKYU!” seru Jenderal Reyn.“Mengapa ia yang datang?”
Begitu mereka mendekat, Kakyu segera turun dari kudanya diikuti
Kolonel Abel. Yang lain juga tidak mau tinggal diam.
“Mengapa engkau datang?” tanya Jenderal Reyn.
“Bagaimana dengan Istana Vezuza?” tanya Jenderal Erin pula.
“Bagaimana dengan Paduka?”
“Keamanan Istana saat ini bukan terancam dari sana tetapi dari sini,”
jawab Kakyu tenang, “Aku telah menyelesaikan semuanya sebelum aku
berangkat ke sini. Walau aku tidak ada di sana, keamanan Istana akan tetap
terjaga.”
72
“Lalu siapa yang mengusulkan engkau ke sini?” tanya Jenderal Reyn.
“Tidak ada,” jawab Kakyu singkat.
“Raja menyetujui?” tanya Jenderal Decker tak percaya.
“Kalau beliau tidak menyetujui, ia takkan membiarkanku membawa
kedua ribu pasukannya.”
“Dua ribu?” seru kaget Jenderal Decker.
“Apa yang engkau pikirkan, Kakyu?” tanya Jenderal Reyn, “Engkau
datang ke sini meninggalkan tugasmu. Kemudian engkau ‘merampok’ pasukan
Kerajaan Aqnetta.”
“Aku tahu apa yang kulakukan, Papa,” kata Kakyu, “Aku telah memikirkan
semuanya.”
“Sudahlah, Reyn,” kata Jenderal Erin, “Biarkan saja dia. Raja Alfonso tidak
akan mengirimnya ke sini kalau ia tidak mempercayainya.”
“Erin benar, Reyn,” Jenderal Decker turut membujuk kawannya, “Raja
sangat mengagumi putramu. Ia pasti tidak akan merelakan kepergiannya ke
sini kecuali ada alasan kuat yang mendukungnya.”
“Engkau dan Joannie sama saja,” kata Jenderal Reyn, “Kalian memang
anak-anakku yang paling bandel yang tidak pernah mendengarkan kata-
kataku.”
“Joannie?” ulang Kakyu tidak mengerti.
Jenderal Reyn sangat menyayangi putri tertuanya itu dan sangat
memanjakannya. Joannie juga sangat mencintai ayahnya dan selalu menuruti
segala kata-katanya.
Kakyu tidak mengerti mengapa ayahnya mengatakan kakaknya itu nakal.
“Engkau tidak tahu, Kakyu?” tanya Jenderal Decker, “Kakakmu itu ada di
sini?”
Karena terkejutnya, Kakyu terdiam.
Kakyu tidak menduga kakaknya yang mengatakan ingin ke rumah Bibi
Mandy di Hymman, berada di sini. Kakyu tidak tahu bagaimana kakaknya bisa
berada di sini. Tetapi Kakyu yakin kakaknya telah berada di sini sebelum ayah
mereka tahu.
Kakyu tidak tahu apa yang akan terjadi ibu mereka bila ia mengetahui
Joannie berada di medan pertempuran ini sejak dulu.
Tiba-tiba saja Kakyu teringat, kakak-kakaknya yang lain berniat
menjemput Joannie di Hymman. Kakyu yakin mereka pasti telah mengetahui
kalau Joannie tidak ada di Hymman.
Bila kakak-kakaknya tahu apa yang sebaiknya mereka lakukan, tentu
mereka tidak akan memberitahu ibu mereka kalau Joannie tidak ada di rumah
Bibi Mandy.
“Besok, engkau dan Joannie harus kembali ke Chiatchamo,” kata Jenderal
Reyn.
73
“Tidak, Papa,” bantah Kakyu.
“Engkau telah melaksanakan tugasmu, Kakyu,” kata Jenderal Reyn, “Dan
engkau tidak boleh melalaikan tugasmu di Chiatchamo.”
“Aku akan sangat melalaikan tugasku kalau aku tidak membantu kalian di
sini,” kata Kakyu tenang, “Aku tahu kelemahan kalian dan aku tidak dapat
membiarkannya terus menerus seperti ini. Kalian membutuhkan orang yang
mengenal persis Hutan Naullie.”
Tanpa memberi kesempatan pada ayahnya untuk mengulangi
perintahnya, Kakyu berkata,
“Kirshcaverish yang ada di dalam Hutan Naullie sangat mengetahui
medan ini sedangkan kalian tidak mengetahuinya. Bagi mereka hal ini adalah
kekuatan mereka sedangkan bagi kita ini adalah kelemahan terbesar kita.
Berapapun pasukan yang dikirim, tidak akan dapat menghancurkan
Kirshcaverish kalau tidak ada yang tahu bagaimana menguasai hutan lebat
ini.”
Mereka terdiam mendengar kenyataan yang diucapkan Kakyu itu.
“Kakyu benar, Reyn,” kata Jenderal Decker, “Kita memang membutuhkan
orang yang tahu bagaimana keadaan Hutan Naullie.”
Menyadari Kakyu maupun Jenderal Decker benar, Jenderal Reyn hanya
berkata, “Terserah padamu, Kakyu. Aku tahu percuma melarangmu.”
Sebagai jawabannya, Kakyu tersenyum.
“Sekarang kita harus memikirkan di mana akan kita tempatkan pasukan
yang kaubawa ini,” kata Jenderal Erin.
“Jangan khawatir, saya telah memikirkannya,” kata Kakyu, “Kami akan
mendirikan perkemahan sendiri tepat di samping perkemahan kalian.”
Tanpa diperintah, Kolonel Abel segera memerintahkan pasukan
mendirikan tenda dibantu ketiga Kapten.
“Saya harus mengatur pasukan,” Kakyu mengundurkan diri.
Prajurit yang lain membantu kawan mereka mendirikan tenda mereka.
Dengan kesigapannya, Kakyu memberikan perintah-perintahnya.
Melihat kesigapan Kakyu dalam mengatur pasukannya, Jenderal Decker
berkata, “Sepertinya ia dapat mengatur mereka. Sebaiknya kita pergi saja,
masih ada yang harus kita lakukan.”
“Ya, ia tidak membutuhkan bantuan kita,” Jenderal Erin setuju.
Lain halnya dengan Jenderal Reyn yang masih ragu pada putranya yang
harus mengatur 2000 orang ditambah pasukan yang telah ada.
Tapi melihat Kakyu yang sama sekali tidak kesulitan mengatur pasukan
yang banyak itu, Jenderal Reyn akhirnya mengikuti Jenderal lainnya yang telah
memasuki perkemahan.
Semua begitu sibuknya hingga tak memperhatikan Adna yang menarik
Pangeran Reinald ke tempat yang sepi.
74
“Maafkan saya, Pangeran. Saya tidak tahu harus berbuat apa selain
mengaku sebagai diri Anda. Ketika saya tiba, mereka semua segera
menyambut saya sebagai Anda. Saya sudah berusaha menjelaskan, tetapi
mereka terlalu sibuk. Ketika kami di sinipun, kami terlalu sibuk memikirkan
Kirshcaverish sehingga saya tidak sempat menjelaskan semuanya pada
mereka.” Pemuda itu terdiam beberapa saat.
“Walau sebenarnya saya juga punya alasan lain,” tambahnya dengan
nada bersalah.
“Lupakan dulu masalah ini,” kata Pangeran Reinald, “Sebaknya keadaan
kita tetap seperti ini.”
“Maksud Anda, Pangeran?” tanya Adna tidak mengerti.
“Biarkan mereka tetap mengenalku sebagai engkau dan engkau sebagai
aku,” Pangeran Reinald memberi penjelasan.
“Saya mengerti akan hal itu, Pangeran. Yang saya ingin ketahui adalah
untuk apa semua ini.”
“Kau tahu Perwira Muda yang menjadi Kepala Keamanan Istana?”
“Maksud Anda Perwira Tinggi yang termuda itu?”
“Benar,” sahut Pangeran Reinald.
“Saya pernah mendengarnya beberapa kali. Para prajurit sering
membicarakannya bahkan sampai berandai-andai bila ia ada di sini.”
“Bagaimana menurutmu tentang dia?”
“Ia memang setangguh yang mereka bicarakan, Pangeran. Tidak mudah
bagi seorang yang belum berpengalaman seperti dia memimpin 2000 pasukan
sendirian apalagi ia masih sangat muda.”
“Justru itulah yang kupermasalahkan,” kata Pangeran Reinald, “Aku tidak
percaya ayahku mengangkatnya sebagai Kepala Keamanan Istana.”
“Itu tidak aneh, Pangeran,” Adna membela Kakyu, “Kata Jenderal Decker,
pemuda itulah yang mengetahui keberadaan pemberontak ini. Ia
mengetahuinya ketika ia mengikuti Putri dan Paduka ke hutan ini untuk
berburu. Jenderal Decker juga mengatakan ia berhasil menangkap dua orang
anggota pemberontak itu. Ia juga berhasil menyelamatkan sebuah keluarga
dari kekejian pemberontak itu.”
Pangeran Reinald masih tidak menyetujui sikap Raja Alfonso, “Tetapi
mengapa sampai harus mengangkat pemuda seaneh itu menjadi Kepala
Keamanan Istana?”
Adna tidak mengerti apa yang dikatakan Pangeran. “Aneh?”
“Ia sangat tenang dan sangat pendiam. Aku yakin ia tak jauh lebih tua
dari Eleanor tapi ia bisa setenang itu. Ia sama sekali tidak tampak gugup atau
apapun ketika kami semakin mendekati tempat ini. Ia terlalu tenang untuk
ukuran pemuda semuda dirinya.”
“Lady Joannie mengatakan Kakyu memang selalu tenang seperti itu,”
75
kata Adna, “Katanya, Kakyu telah dilatih dengan sangat keras oleh teman
ayahnya.”
“Joannie?”
“Ia putri Jenderal Reyn yang sekarang berada di sini,” kata Adna.
Perubahan suara itu membuat Pangeran Reinald tertarik untuk
mengetahui lebih jauh, “Ia pasti sangat cantik.”
“Ia tidak hanya cantik, Pangeran. Ia juga pemberani,” kata Adna, “Saya
belum pernah menjumpai wanita yang seberani dia walau melihat peperangan
di depannya.”
“Ia pasti tampak tenang seperti adiknya.”
“Tidak, Pangeran,” bantah Adna, “Ia tidak mau disuruh diam sehingga
membuat Jenderal Reyn kewalahan. Lady Joannie selalu ingin membantu
ayahnya. Karena itu Jenderal Reyn terpaksa memerintahkan beberapa pasukan
mengawalnya dengan ketat dan tidak mengijinkannya meninggalkan
tendanya.”
“Pantas saja aku tidak melihatnya,” kata Pangeran Reinald.
“Karena itu engkau tidak mengatakan yang sebenarnya pada mereka?”
selidik Pangeran Reinald.
“Maafkan saya, Pangeran,” Adna merasa bersalah, “Saya tahu saya tidak
boleh melakukannya tetapi saya tidak dapat melawan keinginan saya untuk
membuatnya kagum.”
“Tidak apa-apa, Adna,” kata Pangeran Reinald, “Sementara waktu ini
biarkan keadaan ini tetap seperti ini.”
“Tetapi …”
Pangeran Reinald memberikan alasannya. “Aku ingin menyelidiki Kakyu.”
“Mengapa?”
“Jangan khawatir,” hibur Pangeran Reinald, “Aku hanya ingin tahu
mengapa adik wanita yang kaucintai itu menjadi Kepala Keamanan Istana.”
“Apakah itu aneh, Pangeran?” kata Adna, “Menurut saya hal itu sama
sekali tidak aneh. Kakyu memang tangguh dan harus diakui ia cukup mampu
memimpin pasukan Istana.”
“Aku tahu ia memang mempunyai kemampuan itu, Adna. Tapi apakah
engkau tidak dapat merasakannya, Adna?” kata Pangeran Reinald heran.
“Merasakan apa, Pangeran?”
“Entahlah. Tapi aku merasa pemuda itu tidak cocok menjadi Perwira
apalagi Kepala Kemanan Istana.”
“Karena ia masih muda?” selidik Adna.
“Ya,” Pangeran Reinald membenarkan.
“Walaupun masih muda, ia sangat cerdas. Ia tidak pernah gentar
walaupun Raja Alfonso juga Putri sering mengujinya dengan tugas yang aneh-
aneh bahkan di luar bayangan kita. Tetapi Perwira selalu mengerjakannya
76
dengan baik.”
Pangeran Reinald tidak mengerti. “Tugas aneh apalagi yang
kaumaksudkan?”
“Tugas yang tidak mungkin dilakukan orang lain, Pangeran,” jelas Adna,
“Kata mereka, sebelum Perwira Muda itu menjadi pengawal pribadi Putri
Eleanor, Raja menyuruhnya mencuri mahkota kerajaannya.”
Pangeran terkejut mendengarnya. “APA!?”
“Tentu saja tidak semudah itu, Pangeran,” kata Adna, “Paduka menyuruh
pemuda itu memasuki Istana yang belum pernah dimasukinya di malam hari.
Kemudian Paduka menantikan kedatangannya dengan strategi perang.”
“Dan Kakyu berhasil mencurinya,” tebak Pangeran Reinald.
“Benar, Pangeran,” kata Adna, “Tidak seorangpun dari mereka yang
menduga Kakyu akan menyusup ke dalam Istana melalui atap.”
“Ini benar-benar gila,” kata Pangeran Reinald, “Setelah itu apalagi yang
dilakukan ayahku sampai menyuruhnya yang lebih pantas menjadi adikku,
untuk mengawalku ke sini?”
“Banyak sekali, Pangeran,” kata Adna, “Paduka juga pernah menyuruh
pemuda itu menembus strategi perangnya di kawasan pelatihan pasukan
Kerajaan Aqnetta.”
“Sudahlah,” kata Pangeran Reinald pada akhirnya, “Jangan
membicarakan Kakyu lagi. Sampai aku melihat sendiri ketangguhannya yang
dibicarakan orang itu, aku tidak akan percaya ia mampu menjadi Kepala
Keamanan Istana.”
“Baik, Pangeran,” kata Adna sambil tersenyum dalam hati. Adna tahu ia
takkan dapat menghilangkan kecurigaan itu. Pangeran sendiri yang dapat
menghilangkannya.
“Katakan padaku keadaan di sini akhir-akhir ini?”
“Peperangan kecil yang biasanya selalu terjadi setiap hari, akhir-akhir
tidak ada lagi. Kami memanfaatkan kesempatan itu untuk memulihkan
keadaan perkemahan ini,” kata Adna melaporkan, “Perwira Kakyu benar.
Keadaan kita tidak menguntungkan. Jenderal Erin yang sejak tahun lalu
diperintahkan Paduka untuk mengawasi keadaan di sini, sampai sekarang tidak
berhasil mengetahui dengan pasti letak pemberontak itu.”
“Aku yakin merekalah yang berusaha mencegah kepulanganku.”
“Saya juga yakin akan hal itu, Pangeran. Apalagi kalau mengingat
mereka telah lama berada di Hutan Naullie.”
Pangeran Reinald terdiam.
Adna bertanya ragu-ragu, “Pangeran, apakah tidak sebaiknya kita
mengatakan kebenaran ini pada mereka?”
“Sebaiknya tidak, Adna,” jawab Pangeran Reinald, “Dan engkau jangan
sekali-kali mengatakan apapun pada wanita yang kaucintai itu tentang hal ini.”
77
“Tentu, Pangeran. Saya tidak akan berani melanggar perintah Anda.”
“Memang sebaiknya begitu, Adna,” kata Pangeran Reinald, “Engkau tahu
bagaimana aku kalau marah.”
Adna tersenyum. “Tentu, Pangeran. Selama mengikuti Anda ke Inggris,
saya tidak mungkin tidak mengenal watak Anda.”
“Engkau memang sahabat dan pengawalku yang paling baik dan paling
kupercaya,” kata Pangeran Reinald, “Sampai aku yakin pada Kakyu, aku tidak
ingin siapapun tahu Pangeran yang sebenarnya adalah aku.”
“Apakah Anda tidak merasa lebih mudah menyelidiki pemuda itu kalau
Anda sebagai Pangeran bukan sebagai diri saya?”
“Engkau sendiri yang mengatakan pemuda itu sangat sopan,” kata
Pangeran Reinald, “Dapatkah kaubayangkan sikapnya kalau aku berbicara
padanya sebagai Pangeran? Sebagai dirimu saja, aku sudah kesulitan
membuatnya berbicara banyak, apalagi sebagai Pangeran yang pasti akan
dihormatinya. Lebih mudah menyelidiki Kakyu bila aku tetap mengaku
bernama Adna daripada menjadi diriku yang sebenarnya.”
“Terserah Anda, Pangeran,” kata Adna – berhenti membujuk, “Saya yakin
Anda terlalu keras kepala untuk saya bujuk.”
Pangeran Reinald tersenyum senang.
“Sebaiknya aku membantu Kakyu.”
“Bukankah Anda ingin mengujinya, Pangeran?” goda Adna.
“Engkau sudah gila rupanya, Adna,” kata Pangeran Reinald kesal, “Ia tak
jauh lebih tua dari Eleanor dan ia pasti tidak akan dapat mengatur pasukan
sebanyak itu sendirian. Aku yang lebih pantas menjadi kakaknya ini
seharusnya membantunya.”
“Anda melakukannya demi Putri Eleanor?” pancing Adna.
“Demi adikku?” tanya Pangeran Reinald tak mengerti, “Untuk apa? Aku
melakukannya karena aku merasa ia patut dibantu.”
“Anda belum tahu, Pangeran?” tanya Adna, “Adik Anda menyukai Kakyu.”
“Eleanor mencintai Kakyu?” tanya Pangeran Reinald tak percaya.
“Benar, Pangeran,” kata Adna, “Lady Joannie menceritakan banyak hal
tentang pemuda itu kepada saya.”
“Apalagi yang dikatakannya tentang Kakyu?”
“Mengapa Anda berbicara seperti cemburu padanya, Pangeran?” kata
Adna menggoda Pangeran Reinald yang sangat akrab dengannya, “Anda
cemburu padanya?”
“Aku cemburu padanya?” tanya Pangeran Reinald tak mempercayai
pendengarannya.
“Jangan konyol seperti ayahku, Adna,” kata Pangeran Reinald,
“Bagaimana mungkin aku cemburu pada pemuda itu? Lagipula untuk apa aku
cemburu padanya.”
78
“Jangan khawatir, Pangeran,” hibur Adna, “Anda pasti akan terkenal di
kalangan gadis-gadis seperti Perwira Kakyu setelah masyarakat tahu Anda
telah pulang.”
“Aku bisa gila kalau aku terus mendengar celotehmu, Adna,” kata
Pangeran Reinald, “Sebaiknya aku cepat-cepat menjauhimu yang sedang
dimabuk cinta.”
Giliran Adna yang dibuat kesal. “Pangeran!”
“Sampaikan salamku pada wanita yang kaucintai itu.”
Adna palsu alias Pangeran Reinald asli segera mendekati Kakyu yang
masih sibuk mengatur pasukan yang mulai mendirikan tenda.
Beberapa tenda telah berdiri di samping perkemahan yang ada.
“Tampaknya perkemahan baru ini akan segera selesai,” kata Adna.
Kakyu terlalu sibuk untuk memperhatikan ucapan pemuda itu.
Kertas yang dibawa Kakyu menarik perhatian Adna. Adna melihat gambar
sketsa yang rapi.
“Rupanya engkau telah mempersiapkan perkemahan ini juga,” katanya.
“Maaf,” kata Kakyu, “Dapatkah engkau agak menepi?”
Walau tidak mengerti keinginan Kakyu, Adna tetap berkata, “Tentu.”
Adna terdiam ketika beberapa prajurit menancapkan tiang penyangga
tenda yang besar tepat di tempat ia berdiri semula.
“Tiang penyangga telah siap, Perwira,” Kolonel Abel melaporkan.
“Dirikan tenda besar di sini,” kata Kakyu sambil menunjuk gambar di
tangannya, “Di sekitar sini kita akan mendirikan beberapa tenda besar juga.
Kemudian kita akan mendirikan tenda-tenda kecil di sekeliling tenda besar ini.”
“Baik, Perwira.”
Kolonel Abel segera melaksanakan perintah Kakyu.
Melihat kecerdasan Kakyu mengatur pasukannya, Adna mau tidak mau
merasa kagum juga pada Kakyu.
Kakyu membagi dua ribu pasukan lebih itu menjadi beberapa kelompok
yang memiliki tugas masing-masing.
Setiap kelompok mendirikan tenda seperti yang diminta Kakyu.
Sesekali pemimpin kelompok mereka mendatangi Kakyu untuk
melaporkan kerja mereka dan meminta petunjuk dari Kakyu.
Kakyu dengan sabar terpaksa harus mengulangi beberapa kali sketsa
yang telah dipersiapkannya. Dengan sabar ia mengatur pasukan yang kadang
bandel itu.
Sesekali Kakyu juga tampak akan ikut dalam pendirian tenda, tetapi
pasukan yang lain melarangnya.
Adna yang memang berniat membantu Kakyu, meminta pemuda itu
menjelaskan rencana perkemahannya padanya. Kemudian ia membantu Kakyu.
Karena jumlah mereka yang banyak juga karena kerja sama mereka,
79
seluruh perkemahan baru itu hampir selesai sebelum hari menjelang tengah
malam.
Kegelapan malam tidak membuat mereka menghentikan pekerjaan
mereka.
Semua ingin segera merampungkan perkemahan baru mereka dan
bersiap-siap menghadapi serangan Kirshcaverish yang bisa datang sewaktu-
waktu.
Adna mengakui Kakyu bukan pemuda yang ceroboh.
Tidak semua pasukan diperintahkannya mendirikan tenda.
Dari keseluruh pasukan yang dibagi dalam 20 kelompok kecil itu, lima
kelompok di antaranya diperintahkannya untuk berjaga-jaga di sekitar Hutan
Naullie.
Dua atau tiga jam sekali Kakyu memerintahkan lima kelompok lainnya
menggantikan lima kelompok yang berjaga-jaga itu.
Adna sempat memprotes strategi Kakyu itu. “Apa yang kaulakukan,
Kakyu? Engkau ingin kita hancur sebelum perkemahan ini berdiri? Bagaimana
mungkin engkau memerintahkan pasukan yang telah lelah mendirikan tenda
menggantikan pasukan yang berjaga-jaga?”
“Mereka tidak akan menyerang kita untuk sementara waktu ini,” jawab
Kakyu tenang, “Saat ini mereka tentu memusatkan perhatian mereka pada
rencana baru mereka. Dengan pergiliran seperti ini, pasukan kita tidak akan
terlalu lelah. Mereka akan beristirahat sambil berjaga-jaga.”
“Engkau sangat yakin sekali, Kakyu,” kata Adna.
“Apakah yang akan kaulakukan bila rencana semulamu gagal, Adna?”
tanya Kakyu kemudian pemuda itu kembali memusatkan perhatiannya pada
pasukan yang masih mendirikan tenda.
Adna mengerti apa yang dimaksud Kakyu.
Kirshcaverish tentu sekarang mempersiapkan strategi baru setelah
mengetahui strategi mereka gagal.
Lima kelompok yang keseluruhannya kurang lebih berjumlah 500 orang
itu, berjaga-jaga sambil memulihkan tenaga mereka. Mereka di sana seakan-
akan untuk menakut-nakuti Kirshcaverish.
Jenderal Decker yang tahu pendirian perkemahan itu tidak berhenti
walau hari telah gelap, tidak berusaha menghentikan pemuda itu.
Jenderal Decker percaya Kakyu tahu apa yang dilakukannya.
Sebenarnya sebelum pukul sepuluh malam itu, seluruh tenda telah
berdiri. Namun mereka terus melanjutkan pekerjaan mereka. Mereka
mendirikan dinding kayu di sekitar perkemahan baru mereka.
Inilah pekerjaan yang membutuhkan waktu lama.
Mereka harus menebang pohon sebelum menancapkannya di sekitar
perkemahan mereka.
80
Walaupun jumlah mereka cukup banyak, pekerjaan itu membutuhkan
waktu yang lama. Selain harus menebang kayu itu, mereka juga harus
menggotongnya ke perkemahan.
Ide membatasi perkemahan mereka dengan hutan ini bukan dari Kakyu.
Dalam rencana perkemahan Kakyu, tidak ada dinding pembatas yang
akan didirikannya.
Para Jenderal itulah yang menyuruh Kakyu mendirikan dinding pembatas
yang juga akan melindungi perkemahan mereka.
Untung saja tempat itu sangat luas.
Walau di perkemahan baru itu berdiri lebih dari empat tenda besar yang
masih dikelilingi tenda-tenda kecil, pinggir hutan itu masih tampak luas.
Tenda-tenda besar itu akan digunakan Kakyu sebagai tempat tidur
sejumlah besar pasukan agar tidak terlalu banyak tenda yang berdiri.
Pasukan lainnya akan menempati tenda-tenda kecil.
Lewat tengah malam, perkemahan baru selesai dibangun.
Melihat perkemahan baru mereka telah selesai, mereka sangat senang
dan puas dengan hasil jerih payah mereka.
Dengan berdirinya perkemahan baru yang lebih besar di samping
perkemahan lama, pasukan dari perkemahan lama pindah ke perkemahan
baru.
Karenanya, Kakyu yang semua merencanakan menempati tenda di
antara pasukannya, terpaksa pindah ke perkemahan lama.
Entah siapa yang mula-mula mengusulkan hal ini. Semua terjadi begitu
saja. Pasukan menempati perkemahan baru yang lebih besar dan para
pemimpin mereka menempati perkemahan lama.
Tidak seorangpun yang menganggap hal itu sebagai usaha pemecahan
hubungan antara pasukan dengan pimpinan.
Semua pasukan yang kelelahan itu segera terlelap dalam tenda masing-
masing. Hanya pasukan yang bertugas menjaga saja yang tidak tidur.
Kakyu segera membawa barangnya ke tenda yang diperuntukkan
baginya setelah mengurus tugas akhirnya.
Baru saja Kakyu selesai menata barangnya ketika seseorang memasuki
tendanya.
“Kakyu.”
Kakyu menatap kakaknya, “Mengapa engkau di sini, Joannie?”
“Aku ingin meminta bantuanmu.”
“Bukan itu yang ingin kuketahui, Joannie,” kata Kakyu, “Aku ingin tahu
mengapa engkau berada di sini, di tempat ini bukannya di Hymman?”
“Engkau tahu aku tidak dapat meninggalkan Papa. Aku tidak tega melihat
Papa pergi medan pertempuran sendirian,” kata Joannie.
“Tapi engkau membuat Papa khawatir, Joannie,” kata Kakyu, “Mama juga
81
akan khawatir kalau ia tahu engkau ada di sini.”
“Lalu apakah Mama tahu engkau ada di sini?”
“Ketika aku pergi, Mama tidak tahu,” kata Kakyu tenang.
“Kalau begitu kita sama, Kakyu.”
“Tidak, Joannie,” kata Kakyu, “Kita tidak sama. Engkau pamit kepada
Mama akan ke Hymman sedangkan aku pamit hanya kepada Vonnie, Marie dan
Lishie.”
“Mengapa engkau seperti Papa, Kakyu?” Joannie merujuk, “Kalian semua
mengatakan aku tidak seharusnya berada di sini.”
“Memang seharusnya seperti itu.”
“Engkau juga seharusnya tidak, Kakyu,” kata Joannie, “Kita sama-
sama…”
“Tidak, Joannie,” Kakyu cepat-cepat memotong perkataan kakaknya,
“Kita berbeda. Aku dilatih untuk menghadapi situasi seperti ini sedangkan
engkau tidak.”
“Aku tahu. Tapi aku yakin aku bisa membantu.”
“Engkau akan sangat membantu kalau engkau menuruti Papa.”
Joannie terdiam. “Apa yang dapat kulakukan, Kakyu? Aku tidak dapat
membiarkan Papa pergi ke sini sendirian. Kini aku juga tidak dapat merepotkan
kalian lagipula aku tidak ingin pulang.”
“Aku tahu.”
“Tidak. Engkau tidak tahu, Kakyu,” bantah Joannie.
Kakyu mengacuhkan kakaknya.
“Aku menemukannya, Kakyu,” kata Joannie tiba-tiba.
“Siapa?” tanya Kakyu tak mengerti.
“Tentu saja orang yang sekuat Papa,” kata Joannie senang.
Kakyu tak percaya.
Joannie tersenyum senang. “Aku telah menemukannya dan aku tidak
akan mau meninggalkan tempat ini sebelum aku berkenalan dengannya.”
“Bagaimana engkau bisa berbicara dengannya kalau Papa mengurungmu
di tendamu?”
“Karena itu engkau harus membantuku, Kakyu,” kata Joannie, “Aku tidak
dapat meninggalkan tendaku kalau tidak diam-diam seperti ini.”
“Apa yang dapat kulakukan, Joannie? Menjadi perantaramu?” kata Kakyu,
“Aku tidak bisa, Joannie. Engkau tahu aku juga akan sangat sibuk.”
Joannie tertunduk sedih. Tapi semangatnya segera bangkit kembali ketika
ia menemukan ide. “Engkau dapat membuat Papa tidak mengurungku.”
“Aku tidak yakin akan bisa melakukannya, Joannie.”
“Engkau bisa menjadi pengawalku. Aku yakin Papa akan setuju.”
“Aku tidak yakin tetapi akan kucoba,” kata Kakyu.
Joannie tersenyum senang.
82
“Sebaiknya engkau tidur, Joannie,” kata Kakyu.
“Engkau juga, Kakyu. Engkau lebih membutuhkan banyak istirahat
dibandingkan aku.”
Joannie meninggalkan tenda Kakyu dengan pesan, “Tidurlah yang
nyenyak.”
Pesan itu tidak berhasil membawa Kakyu ke alam mimpi yang nyenyak
seperti yang diharapkan Joannie.
Suara-suara dari Hutan Naullie membuat Kakyu selalu terjaga.
Suasana di luar yang selalu membuat Kakyu merasa cemas, membuat
pemuda itu memikirkan keinginan kakak tertuanya.
Entah siapa yang menjadi pria pilihan kakaknya itu, tapi Kakyu tidak tahu
apakah besok ayahnya akan menyetujui permintaannya.
Meminta membiarkan Joannie keluar dari tendanya dengan jaminan ia
yang akan menjaganya, tidak akan semudah yang dibayangkan.
Jenderal Reyn pasti akan berpikir berulang kali sebelum memutuskan
putranya yang paling dibanggakan dan diandalkannya, mengawal kakaknya.
Kakyu tahu saat ini ia lebih dibutuhkan dalam perlawanan terhadap
Kirshcaverish daripada menjadi pengawal Joannie.
Tapi kalau Kakyu tidak mau mencobanya berarti ia telah membuat
kakaknya sedih bahkan kecewa terhadapnya.
Seluruh keluarga Quentynna tahu sejak dulu Joannie selalu mencari pria
yang kuat seperti Jenderal Reyn tetapi ia tidak pernah menemukannya. Karena
itu pula ia tidak mau mendekati pria manapun yang tidak sesuai dengan pilihan
hatinya. Kini ia menemukannya.
Sungguh kejam bila Kakyu tidak mau membantu kakaknya mewujudkan
khayalannya sejak kecil.
Tapi…
Kalaupun Jenderal Reyn mengabulkan permintaan itu, Kakyu tidak dapat
membiarkan dirinya tidak melibatkan diri dalam penumpasan Kirshcaverish ini.
Ia datang ke tempat ini bukan untuk bersenang-senang tetapi untuk membantu
ayahnya, untuk membantu mengatasi kelemahan pasukan Kerajaan Aqnetta
yang menjadi kekuatan utama Kirshcaverish.
Itulah kesulitan Kakyu.
Setelah lama berpikir, Kakyu mendapatkan cara mengatasi semua ini.
Kakyu akan tetap membantu Joannie. Setelah keduanya akrab, Kakyu
akan mulai melibatkan diri dalam penumpasan ini. Kakyu berharap setelah
dekat dengan pria idamannya, Joannie tidak akan merepotkannya lagi.
Pria itu pasti mau menggantikan dirinya menjadi pengawal Kakyu.
Tiba-tiba Kakyu teringat sesuatu yang sangat penting sebelum ia
menjalankan rencananya itu.
Siapa pria yang menjadi pilihan Joannie itu?
83
Kakyu tidak yakin kakaknya belum tidur saat ini. Saat ini sudah hampir
pukul setengah dua. Tetapi Kakyu tidak dapat menunda hal ini. Pertanyaan
sederhana ini sangat penting sebelum rencana itu dijalankan.
Bila pria itu seorang prajurit biasa, tentu tidak akan menjadi masalah.
Tetapi bagaimana kalau ternyata pria itu seorang Kapten bahkan mungkin saja
pria itu Jenderal.
Pentingnya pertanyaan sederhana ini, membuat Kakyu meninggalkan
tendanya.
Untung saja Joannie masih belum tidur saat Kakyu menyelinap ke dalam
tendanya.
Joannie terkejut ketika melihat adiknya itu masuk diam-diam.
Kakyu cepat-cepat menutup mulut Joannie sebelum kakaknya
mengeluarkan suara apapun.
“Ini aku, Joannie,” bisiknya.
“Oh, engkau Kakyu,” kata Joannie lega, “Kukira siapa.”
Kakyu ingin membuat kakaknya pulih dari kagetnya sebelum ia
memberikan pertanyaan yang pasti akan membuat kakaknya itu memerah.
“Engkau mengira aku salah seorang anggota Kirshcaverish?”
Joannie membenarkan pertanyaan itu.
“Jangan khawatir,” Kakyu menenangkan, “Mereka tidak akan kemari
dalam beberapa hari ini. Saat ini mereka pasti sibuk menyusun rencana baru
untuk menghadapi kita.”
Joannie terdiam. Tiba-tiba ia berkata, “Mengapa engkau ke sini, Kakyu?”
Kakyu merasa ini saatnya. “Siapa pria itu?” tanya Kakyu langsung ke
pokok permasalahan.
“Pria mana?” tanya Joannie tidak mengerti.
Tanpa mengulur waktu lagi, Kakyu segera berkata, “Yang kaucintai.”
Seperti dugaan Kakyu, wajah Joannie memerah.
Tenda yang remang-remang itu tidak membuat Kakyu tidak dapat
melihat perubahan wajah kakaknya.
Dulu Kenichi juga telah mengajarinya untuk melihat ke dalam kegelapan.
“Siapa?” desak Kakyu.
“Ia mungkin tidak pantas denganku, Kakyu,” Joannie berkata perlahan
dan ragu-ragu.
Kakyu tidak tertarik untuk mengetahui hal itu. Ia hanya ingin tahu siapa
pria itu, tidak lebih.
“Dia…,” Joannie berkata tersipu-sipu, “Dia Pangeran Reinald.”
Kakyu terperanjat. “Pangeran Reinald? Bukankah ia seharusnya berada di
Inggris?”
“Ia ada di sini, Kakyu,” kata Joannie meyakinkan, “Sungguh.”
Kakyu diam saja.
84
7

Sekarang semua sudah jelas. Rencana Kakyu itu tidak dapat


dilaksanakan.
Kakyu harus membuat rencana baru.
Rencana yang bertujuan sama. Membantu Joannie tanpa membuat
dirinya meninggalkan tujuannya datang ke Pegunungan Alpina Dinaria ini.
Semua telah jelas bagi Kakyu malam itu.
Joannie menceritakan semuanya dari awal keberangkatannya hingga ia
berada di tempat ini.
Pada malam Joannie mengajukan keinginannya untuk ke rumah Bibi
Lishie di Hymman kepada keluarganya itu, Joannie memang meminta langsung
diantar malam itu juga. Seluruh keluarga Quentynna malam itu tidak ada yang
melarang. Semua tahu Joannie tidak dapat dihentikan apalagi bila
keinginannya itu menyangkut Jenderal Reyn. Tidak seorangpun yang menduga
malam itu Joannie tidak pergi ke Hymman seperti yang seharusnya.
Joannie menyuruh kusir kereta keluarga mereka menghentikan kereta di
sebuah penginapan. Kepadanya, Joannie beralasan ia ingin bermalam di sana.
Kemudian ia menyuruh kusir kuda itu pulang.
Tanpa mencurigai apapun, kusir kuda itu kembali ke Quentynna House
malam itu juga.
Tidak ada yang menyangka bila keesokan paginya, Joannie menyelinap
ke dalam kereta yang khusus mengangkut barang-barang keperluan mereka
selama berada di Naullie.
Baru ketika mereka membongkar muatan di tepi Hutan Naullie itulah,
Joannie ketahuan.
Jenderal Reyn tentu saja sangat marah dan terkejut saat itu. Jenderal
Reyn yang biasanya selalu sabar terhadap putra-putrinya terutama Joannie itu
hingga memarahi putri kesayangannya itu.
“Apa yang kaulakukan di sini?” kata Jenderal Reyn waktu itu, “Apakah
engkau sudah gila?”
Kata-kata kasar yang tidak pernah diucapkan Jenderal Reyn sebelumnya
itu hampir saja membuat Joannie menangis. Tapi Joannie tahu ayahnya benar,
ia seharusnya tidak boleh berada di sini.
Tetapi Joannie tetap memaksa dirinya berada di tempat ini tak lain
karena ayahnya.
Cinta Joannie kepada Jenderal Reyn sangat besar hingga gadis itu tidak
tega membiarkan ayahnya berperang sendirian. Walaupun banyak Jenderal
85
yang mendampingi ayahnya, Joannie tetap ingin mendampingi ayahnya.
Joannie yang merasa bersalah tidak dapat berkata apa-apa karenanya.
Jenderal Reyn sangat marah hingga tidak tahu harus berbuat apa lagi.
Joannie terus menunduk bersalah di hadapan ayahnya tanpa
mengatakan apa-apa seolah-olah menantikan hukuman.
Untung saja Pangeran Reinald meredakan kemarahan itu dan
mengijinkan Joannie tetap di sana. Bila tidak mungkin Jenderal Reyn akan terus
marah hingga saat ini.
Melihat Kakyu datang dengan pasukan bala bantuan saja, Jenderal Reyn
yang tidak ingin anaknya maju ke medan pertempuran yang berbahaya ini,
sangat marah. Apalagi kalau kemarahan yang dulu belum dipadamkan.
Mungkin karena bantuan itulah, Joannie menganggap pria itu mirip
ayahnya.
Joannie menyukai pria yang baik hati itu.
Tetapi apa yang dapat dilakukan Joannie?
Sejak saat itu ia memang boleh tetap berada di Naullie tetapi ia tidak
boleh meninggalkan tendanya apalagi menemui ayahnya yang jelas semakin
sibuk tiap harinya.
Pertempuran yang kadang terjadi di dekat perkemahan mereka, memang
membuat Joannie takut. Tetapi Joannie telah berjanji kepada dirinya sendiri
untuk membantu ayahnya dan ia ingin menunjukkan kepada Pangeran kalau ia
bukan wanita lemah.
Tetapi betapapun Joannie ingin membantu, Jenderal Reyn dan semua
orang di sana tetap menganggapnya lemah.
Hanya Pangeran Reinald saja yang menghargai keinginannya untuk
membantu itu. Walaupun Pangeran Reinald tidak pernah mengatakannya
secara langsung, Joannie dapat merasakannya. Dan itu tentu saja membuat
Joannie merasa senang.
Joannie sering melihat kepiawaian Pangeran ketika memimpin pasukan.
Dan Joannie semakin menganggap Pangeran gagah seperti ayahnya.
Dari Joannie juga, Kakyu tahu Pangeran Reinald baru tiba ketika pasukan
yang dipimpin Jenderal Decker, Jenderal Reyn dan beberapa Jenderal lainnya
akan berangkat.
Joannie tidak dapat mendengar apa yang dibicarakan Pangeran dengan
para Jenderal itu tetapi Joannie tahu Pangeran Reinald segera bergabung
dengan pasukan itu. Dan sejak saat itu pula Pangeran Reinald berada di Naullie
untuk membantu menumpas Kirshcaverish.
Kenyataan yang dihadapi ini membuat Kakyu benar-benar pusing.
Belum lagi tuntas masalah Kirshcaverish, sekarang Kakyu dihadapkan
pada masalah kakaknya lagi.
Kakyu tidak tahu harus berbuat apa.
86
Hingga hari menjelang pagi, Kakyu masih tidak tahu harus berbuat apa
untuk ‘membebaskan’ Joannie dari tendanya.
Kalau kakak-kakak Kakyu yang lain, pasti tahu bagaimana melakukannya.
Mereka pandai membujuk Jenderal Reyn, tetapi Kakyu tidak.
Kakyu lain dari mereka.
Kakak-kakak Kakyu sangat dimanja ayahnya terutama Joannie.
Sedangkan Kakyu sebagai satu-satunya harapan dalam keluarga Quentynna,
sejak kecil telah diajarkan hidup mandiri. Berusaha dengan kekuatannya
sendiri.
Sekarang tidak ada Vonnie, Marie maupun Lishie yang dapat membantu
Kakyu ‘membebaskan’ Joannie dari tendanya yang dijaga ketat.
Semalaman tidak tidur, tidak membuat Kakyu lelah.
Udara pagi yang masih segar membuat Kakyu melupakan sedikit
masalah pelik yang dihadapinya.
Kakyu memanfaatkan udara yang membuat hati sejuk itu untuk
mengosongkan pikirannya.
Kenichi pernah berkata, “Kosongkan pikiranmu dan bersatulah dengan
alam. Maka engkau akan mengerti apa yang harus kaulakukan.”
Dan itulah yang akan dilakukan Kakyu.
Pagi yang masih remang-remang ditambah udara sejuk yang
menyejukkan hati, mendukung Kakyu.
Sekarang yang diperlukan Kakyu hanyalah mencari tempat yang sesuai
untuk melakukan kegiatannya itu.
Kalau dulu Kakyu pasti akan memilih Hutan Naullie yang sepi dan dekat
alam, sebagai tempat berlatihnya. Tetapi sekarang hutan itu sudah tidak aman
lagi. Maka Kakyu harus mencari tempat baru.
Kakyu melihat menara pengintai yang menjulang di sudut-sudut
perkemahan mereka.
Tempat itu cukup sepi dan cukup dekat dengan alam terutama angin.
Kakyu menuju salah satu menara yang letaknya paling dekat dengan
Hutan Naullie.
“Beristirahatlah,” kata Kakyu pada prajurit yang menjaga menara itu.
Perintah pendek itu segera dilaksanakan oleh prajurit itu.
Setelah kepergian satu-satunya prajurit yang menjaga menara pengintai
itu, Kakyu mengamati sekitarnya sebelum ia duduk bersila di lantai menara
tinggi itu dan ia memejamkan matanya.
Kesunyian pagi ditambah angin pagi yang dingin, membuat Kakyu benar-
benar merasakan kedamaian di dalam hatinya. Segala macam pikiran yang
semula berbaur jadi satu dalam benaknya, seolah-olah hilang semuanya.
Namun sayangnya ketenangan yang didapat Kakyu itu tidak dapat
bertahan lama.
87
Kakyu memang dapat mengatasi suara pagi yang mulai muncul di
perkemahan, tetapi ia tidak dapat mengatasi panggilan seseorang yang sangat
jelas di telinganya itu.
Panggilan itu mau tidak mau membuat Kakyu terpaksa menghentikan
tapanya.
Kakyu hanya berdiri kembali tanpa menyahut orang yang memanggilnya
itu walau ia tahu pemuda itu sejak tadi berdiri di dekatnya.
“Kukira engkau sudah mati,” kata Adna, “Apa yang kaulakukan di sini?”
“Tidak ada.”
“Itukah caramu menjaga ketenanganmu?” tanya Adna ingin tahu.
Kakyu mengacuhkan pertanyaan itu dengan mengamati Hutan Naullie
yang mulai tampak terang oleh sinar matahari yang muncul di langit
seberangnya.
Tiba-tiba Kakyu teringat cerita Joannie yang lain.
Ketika pergi ke Inggris, Pangeran Reinald tidak sendirian. Raja
memerintahkan seorang pengawal yang lebih tua beberapa tahun dari
Pangeran, untuk menemani Pangeran di negeri perantauan.
Ketika berangkat, mereka pergi bersama. Tetapi ketika kembali, mereka
terpisah.
Karena apa, Joannie tidak tahu jelas. Ia hanya tahu keduanya terpisah
dan Pangeran Reinald tiba lebih dulu sebelum pengawalnya itu.
Joannie juga menjelaskan pengawal Pangeran Reinald itu bernama Adna.
Kakyu sangat yakin pemuda yang Paduka jadikan syaratnya itu adalah
pengawal Pangeran Reinald. Dan tentu saja tugasnya kali ini selain mengawal
Pangeran, ia juga harus membantu Pangeran.
Pikiran itu membuat Kakyu mendapatkan sebuah akal.
Mungkin Kakyu memang tidak dapat memperkenalkan Pangeran Reinald
kepada Joannie secara langsung. Tetapi ia bisa membantu Joannie untuk
semakin mengenal pemuda pujaan hatinya itu.
Tentu saja Kakyu tidak bertanya langsung pada Pangeran. Kakyu akan
menanyakannya pada Adna.
Kalau dalam keadaan biasa Kakyu mungkin tidak mau berbicara banyak,
tetapi kali ini keadaannya lain.
Demi kakaknya, Joannie, Kakyu harus mau membuka mulutnya dan
melakukan apa yang selama ini paling diengganinya.
“Jadi, engkau pengawal Pangeran,” Kakyu membuka percakapan.
Adna palsu itu pura-pura terkejut. “Dari mana engkau tahu?”
Kakyu tidak mau mengatakan yang sebenarnya, maka ia berkata, “Di sini
banyak telinga dan banyak mulut.”
“Ya,” Adna menyetujui, “Di mana-mana selalu ada yang namanya gosip.”
Walaupun tahu kebenarannya, Kakyu tetap berkata, “Engkau tidak
88
membantahnya?”
“Untuk apa membantahnya kalau itu memang benar?” Adna balik
bertanya.
Karena memang tidak tahu yang manakah Pangeran Reinald itu, Kakyu
bertanya, “Seperti apakah Pangeran?”
Adna heran mendengarnya. “Engkau tidak mengenalnya?”
Kakyu mulai jengkel pada Adna yang seperti ingin mengajaknya
berbicara panjang lebar tanpa langsung menuju pokok permasalahan. “Kalau
aku tahu, aku tidak akan bertanya.”
“Bagaimana mungkin engkau menjadi Kepala Keamanan Istana tanpa
mengetahui orang yang seharusnya kaulindungi?” ejek Adna.
Kakyu lelah menghadapi Adna. Ia tahu ia tidak akan pernah bisa
membuat Adna langsung ke pokok permasalahan yang dihadapinya ini.
Mungkin Kakyu harus mencobanya lagi suatu saat tetapi tidak saat ini.
Hampir seluruh penghuni perkemahan telah bangun dan tiba saatnya
bagi Kakyu untuk mulai sibuk.
Tanpa mengatakan apa-apa, Kakyu meninggalkan pemuda itu sendirian
di menara.
Adna cemas melihatnya. Ia merasa baru saja Kakyu menunjukkan
keramahannya padanya dan kini ia mulai bersikap tenang yang dingin. Hal itu
dapat menghambat penyelidikannya terhadap diri pemuda itu.
“Engkau marah?” tanyanya khawatir.
Kakyu membantahnya dengan tenang.
“Mengapa engkau pergi seperti seorang gadis yang sedang marah?”
“Memulai kesibukanku,” jawab Kakyu singkat.
Adna tidak tahu bagaimana mengembalikan pemuda itu kepada
keramahannya yang sesaat lalu.
“Baiklah, aku akan memberitahumu,” kata Adna pada akhirnya.
Sesaat Adna ragu gambaran Pangeran yang manakah yang harus
dikatakannya kepada Kakyu.
Kalau ia mengatakan tentang dirinya yang memang Pangeran yang asli,
Kakyu pasti akan curiga kalau tidak mendapatkan ciri-ciri itu pada Pangeran
palsu.
Tetapi kalau ia memberikan gambaran Adna, kelak bila tiba saatnya
kekeliruan dibenarkan, akan muncul masalah.
Entah mengapa Adna menganggap Kakyu patut dicurigai.
Mungkin karena usianya yang terlalu muda untuk menjadi Perwira yang
mengepalai seluruh pasukan pengawal Istana. Mungkin juga karena tubuh kecil
pemuda itu yang tidak mendukung ketangguhannya yang sering dibicarakan
orang.
Adna sendiri tidak tahu sebabnya. Tapi ia tahu pemuda itu tidak dapat
89
dianggap remeh. Baik oleh pemuda lain seusianya maupun ia yang lebih tua
darinya.
Dalam satu hal Adna yang asli benar.
Pemuda itu patut dikagumi. Kakyu tidak seperti pemuda lain seusianya.
Kakyu bukan pemuda yang ceroboh dan bertindak tanpa dipikirkan dulu. Kakyu
pemuda yang penuh perhitungan dan penuh persiapan.
Hanya itu yang diakui Adna, tidak yang lain. Adna palsu belum mau
mengakui ketangguhan Kakyu.
Kakyu tidak mau menunggu terlalu lama di menara itu.
Tidak perlu dikhawatirkannya apa yang akan dikatakan pemuda itu nanti.
Ia memang tidak merasa marah dan ia tidak bohong ketika ia mengatakan ia
ingin memulai kesibukannya.
Kakyu menuruni tangga kayu dengan tenang.
Adna yang masih sibuk menimbang, terkejut melihat dirinya telah
ditinggal sendirian di menara itu oleh Kakyu. Cepat-cepat ia menyusul Kakyu.
Bila ia ingin mengetahui segala gerak-gerik pemuda itu yang dimatanya
terasa mencurigakan itu, ia tidak boleh kehilangan pemuda itu.
Pemuda itu harus selalu dapat dilihatnya agar ia dapat terus mengawasi
gerak-geriknya.
Kakyu baru meninggalkan tangga kayu itu ketika Adna hampir mencapai
ujungnya.
“Tunggu aku,” Adna mengejar Kakyu yang berjalan tenang namun cepat.
Sekali lagi Adna mengulangi pertanyaannya, “Engkau marah?”
“Tidak,” jawab Kakyu singkat.
“Lalu mengapa engkau tidak mau mendengar jawabanku?”
“Aku mempunyai tugas.”
“Jadi, engkau tidak mau tahu jawabannya?” tanya Adna hati-hati.
Adna tahu ia akan sangat lega bila Kakyu tidak jadi menanyakan jawaban
pertanyaannya itu. Dengan demikian ia tidak perlu repot-repot memikirkan
jawabannya.
Namun sayang sekali harapan Adna itu tidak terkabul. Kakyu berkata,
“Katakan saja sambil berjalan.”
Untuk menghindari kecurigaan Kakyu, Adna tidak mau berpikir terlalu
lama lagi.
Ia segera berkata, “Pangeran orang yang gagah.”
Kakyu telah mendengarnya dari Joannie.
“Ia banyak dikagumi wanita karena ketampanannya.”
Kakyu diam saja. Ia tahu banyak wanita yang pasti akan menyukai
Pangeran yang gagah dan tampan seperti yang diungkapkan Joannie
kepadanya semalam dengan seluruh perasaan cintanya.
“Tapi selama ini ia tidak memperhatikan mereka. Pangeran tahu ia
90
berada di Inggris bukan untuk bersenang-senang tetapi untuk belajar,” Adna
terus bercerita tanpa menyadari Kakyu yang sama sekali tidak nampak
memperhatikan ceritanya itu.
Kakyu mendengarkan cerita Adna sembari memperhatikan sekelilingnya
dan sesekali mengangguk pada prajurit yang memberi salam kepadanya.
“Pangeran orang yang bertanggung jawab. Ia orang setia dan
menyenangkan. Aku yakin engkaupun akan menyukainya kalau engkau telah
mengenalnya. Pangeran orang yang penuh pengertian dan sabar. Bagiku
sangat sulit membuatnya marah. Tetapi kuperingatkan kepadamu. Jangan
sekali-kali membuatnya marah. Kalau ia sudah marah, ia akan sangat
menakutkan.”
“Dan kejam,” tambah Adna pula.
“Tetapi Pangeran juga unik. Ia kadang seperti anak kecil yang senang
menggoda,” kata Adna, “Entah berapa kali aku digodanya sampai aku dibuat
jengkel olehnya.”
Kakyu tidak menanggapi apapun atas jawaban yang panjang lebar itu.
Pangeran Reinald akan sesuai untuk Joannie yang kadang tampak manja
itu.
Kakyu merasa Joannie bukan memerlukan seorang pria yang kuat seperti
yang diinginkannya tetapi lebih dari itu. Joannie membutuhkan orang yang
penuh pengertian untuk mengatasi sikapnya yang kadang sangat manja, tetapi
tidak jarang pula ia tampak sangat pemberani.
“Dari tadi aku merasa telah bercerita banyak seperti seekor burung beo
tetapi engkau tetap diam,” kata Adna tiba-tiba, “Menanggapi pun tidak.”
Kakyu hanya menatap wajah Adna tanpa mengatakan apa-apa karena ia
memang tidak tahu harus mengatakan apa.
Tiba-tiba Adna merasa curiga, “Apakah engkau sejak tadi
memperhatikanku?”
Sebagai jawabannya, Kakyu mengangguk.
“Mengapa engkau tidak berkomentar apapun?”
“Karena aku tidak tertarik,” jawab Kakyu singkat.
Mulanya Adna berharap pertanyaannya akan membuka suatu
percakapan baru di antara mereka tetapi rupanya memang sulit mengajak
Kakyu berbicara.
Pemuda satu ini benar-benar tampak aneh di mata Adna yang belum
pernah melihat pemuda yang lebih memilih diam dan menyendiri daripada
harus berbicara banyak. Pemuda ini hanya berbicara banyak kalau memang
sangat perlu dan penting.
Kalau memang hanya masalah yang sangat penting yang dapat
membuat Kakyu berbicara panjang lebar, maka Adna harus memikirkan
masalah penting apa yang akan digunakannya untuk membuat pemuda itu
91
bercerita banyak.
Adna mendapat ide untuk menggunakan Kirshcaverish sebagai pembuka
percakapan baru. “Menurutmu kapan Kirshcaverish akan memulai serangannya
kepada kita?”
Sayangnya ide yang semula dianggap bagus oleh Adna itu hanya
mendapat jawaban singkat dari Kakyu.
Pemuda itu dengan ringannya berkata, “Entahlah.”
Adna kesal sendiri menyadari dirinya seperti orang bodoh yang sedang
berbicara dengan angin. Tetapi ia tidak mau menyerah begitu saja apalagi
kepada Kakyu yang lebih muda darinya.
“Apa rencanamu untuk menghadapi mereka?”
Untuk kesekian kalinya di pagi hari ini, Kakyu mengecewakan Adna.
Adna tahu Kakyu seharusnya menjawab banyak walau ia tidak punya
rencana.
Kalau Kakyu memang seorang Perwira yang sangat diunggulkan Raja
Alfonso, tentu ia tidak akan menjawab ‘Entahlah’ semudah dan seringan itu.
Setidak-tidaknya Kakyu bisa menjelaskan apa yang mungkin dilakukannya
kalau saat ini ia memang belum mempunyai rencana yang pasti.
Adna semakin curiga dibuatnya. Dan ia semakin ingin tahu bagaimana
cara pemuda ini mendapatkan kedudukan yang paling penting di Istana Vezuza
di usianya yang masih muda ini.
Apakah ia membohongi ayahnya atau mungkin karena campur tangan
orang lain? Mungkin juga karena keinginan Jenderal Reyn.
Hal itu tidak mustahil. Jenderal Reyn juga salah satu dari sekian Jenderal
tangguh Kerajaan Aqnetta. Kenalan Jenderal Reyn yang telah lama terjun ke
dalam militer ini tentu tidak sedikit lagi.
Bisa saja pemuda ini menjadi seorang Perwira Tinggi yang termuda
karena usaha ayahnya dan para Jenderal teman Jenderal Reyn. Entah
bagaimana mereka membuat Raja Alfonso mengangkat Kakyu menjadi Kepala
Keamanan Istana.
Tanpa mengatakan apapun, Kakyu mengawasi setiap prajurit yang telah
memulai tugasnya.
Beberapa prajurit yang kemarin malam telah ditugasi Kakyu untuk
memeriksa kekuatan benteng mereka, mulai mengerjakan tugas itu.
Dengan teliti mereka memeriksa setiap ikatan antara dua batang pohon
dan memastikan ikatan itu cukup kuat untuk menyangga batang yang besar.
Kemarin malam, mereka memang telah mengerjakannya dengan teliti
tetapi saat itu hari sudah larut malam.
Satu-satunya cahaya yang menerangi pekerjaan mereka hanyalah api
obor dan sinar bulan di langit.
Demi keselamatan penghuni benteng ini, Kakyu tidak mau mengambil
92
resiko apapun.
Tak sengaja pandangan mata Kakyu tertuju pada tenda yang menjadi
Ruang Perundingan para Jenderal.
Kakyu merasa tertarik untuk melihat isi tenda itu.
Adna menyadari sikap Kakyu itu. Dengan perasaan ingin tahu dan curiga,
Adna mengikuti Kakyu memasuki Tenda Perundingan itu.
Walau tahu Adna tetap mengikutinya, Kakyu tidak mengatakan apa-apa.
Adna tidak perlu mengkhawatirkan perbuatan Kakyu maupun curiga pada
pemuda itu, Kakyu memasuki tenda Perundingan itu hanya untuk melihat
apakah Jenderal Erin telah mengetahui letak Kirshcaverish. Selain itu Kakyu
ingin memeriksa peta sekitar Farreway dan Hutan Naullie.
Kakyu tahu suatu saat nanti ia akan memerlukan peta itu dan sejak saat
ini ia harus mempelajarinya.
Sebelum meninggalkan tenda, Kakyu mengamati peta yang penuh
coretan itu dengan seksama.
Adna curiga melihat Kakyu begitu tekun mempelajari peta itu.
Seperti ketika ia masuk, ketika keluarpun, Kakyu tidak mengatakan
apapun pada Adna. Kakyu seolah-olah menganggap Adna sebagai angin lalu.
Kakyu tidak menyadari tindakannya itu membuat Adna merasa jengkel.
Kalaupun Kakyu sadar, pemuda itu tidak akan berbuat apapun untuk
menghilangkan kejengkelan itu. Kakyu pasti akan merasa ia tidak melakukan
apapun yang membuat pemuda itu jengkel.
Begitu meninggalkan tenda Perundingan, Kakyu melanjutkan kembali
perjalanannya mengelilingi benteng sambil mengawasi setiap prajurit.
Belum jauh Kakyu berjalan, seseorang memanggilnya.
Jenderal Decker yang baru keluar dari tendanya segera menghampiri
Kakyu.
“Selamat pagi, Jenderal,” sapa Kakyu.
“Selamat pagi, Kakyu,” balas Jenderal Decker, “Apa yang kaulakukan
sepagi ini?”
“Berkeliling,” jawab Kakyu singkat.
“Engkau melihat mereka?” tanya Jenderal Decker.
“Tidak,” sekali lagi Kakyu menjawab singkat.
Adna yang mendengar percakapan itu merasa aneh. Ia ingin tahu
mengapa Jenderal Decker tampak tidak terganggu sama sekali oleh jawaban-
jawaban singkat Kakyu.
Jenderal Decker yang merupakan Jenderal Tertinggi Kerajaan Aqnetta,
tentu tahu sebagai seorang Perwira, Kakyu seharusnya tidak memberikan
jawaban singkat. Kakyu harus menjelaskan dengan terperinci setiap laporannya
apalagi di medan pertempuran seperti ini.
“Menurutmu, apakah ini saatnya bagi kita untuk menyerang mereka?”
93
“Belum saatnya,” jawab Kakyu.
Adna sudah tidak sabar lagi. “Mengapa engkau berkata seperti itu?
Bukankah ini saat yang tepat bagi kita? Kita masih dalam keadaan segar dan
Kirshcaverish pasti tidak menduga akan menerima serangan mendadak seperti
ini.”
“Kita terutama pasukan yang baru datang, belum mengenal medan
pertempuran ini,” kata Kakyu tenang, “Sulit bertempur di hutan tanpa
persiapan terlebih dulu.”
“Kalau kita menyerang mereka saat ini, mereka tentu tidak akan
menduganya dan kita akan memenangkan pertempuran ini,” Adna bersikeras
dengan pendapatnya.
“Sebaliknya kita yang akan hancur terlebih dulu sebelum mereka
hancur,” Kakyu berkata tetap dengan ketenangannya, “Walaupun mereka tidak
siap, mereka lebih mengenal hutan ini daripada kita. Itu satu kelemahan kita.
Kelemahan kita yang lain adalah kita tidak mengetahui secara pasti di mana
markas mereka sedangkan kita tidak dapat menyerang asal tebak begitu saja.”
Adna memikirkan kembali kata-kata itu.
“Kurasa engkau benar,” Adna mengakui, “Kita harus mengetahui terlebih
dulu posisi mereka sebelum kita menyerangnya. Akan sangat sulit bagi kita
untuk menyerang asal tebak. Bila salah perhitungan, kita bisa hancur sebelum
menghancurkan mereka.”
“Kakyu tidak pernah salah,” Jenderal Decker memuji, “Apa yang
dikatakannya benar. Kita harus mengetahui posisi mereka. Sayangnya hingga
saat ini kita belum mengetahui posisi mereka secara pasti.”
“Beberapa waktu yang lalu, aku telah mengirimkan sejumlah pasukan
penyusup untuk mencari markas mereka di Hutan Naullie tetapi mereka semua
diserang terlebih dulu oleh Kirshcaverish dan hanya dua orang yang selamat.
Luka mereka sangat parah akibatnya hingga sekarang luka mereka belum
sembuh.”
“Kami juga kesulitan menentukan secara pasti posisi mereka. Mereka
tidak pernah menyerang dari tempat yang sama. Mereka selalu berpindah-
pindah bahkan mereka selalu terpencar-pencar bila menyerang. Itulah yang
membuat pasukan kita kalah.”
Penjelasan panjang dari Jenderal Decker itu membawa ide baru kepada
Kakyu.
Kakyu tahu apa yang harus dilakukan dengan menguntungkan dua pihak.
Kakaknya dan pasukan yang telah siap maupun belum siap perang ini.
“Kita bisa mengadakan pembenahan sambil menentukan posisi
Kirshcaverish dengan lebih tepat,” kata Kakyu.
“Pembenahan?” tanya Jenderal Decker tidak mengerti, “Pembenahan apa
yang kaumaksud? Benteng ini atau pasukan kita?”
94
“Kedua-duanya,” jawab Kakyu, “Pasukan yang luka, kita rawat dan
benteng ini kita perkuat.”
Jenderal Decker tersenyum. “Engkau benar. Mengapa hal itu tidak
terpikirkan sebelumnya olehku?”
“Untuk itu kita harus membiarkan Joannie meninggalkan tendanya.”
“Tidak bisa!”

95
8

Seruan tegas itu membuat mereka berpaling pada Jenderal Reyn yang
entah sejak kapan telah berdiri di dekat mereka.
“Tapi…”
Belum sempat Kakyu menyelesaikan kata-katanya, Jenderal Reyn telah
berkata tegas, “Sekali aku mengatakan ‘Tidak!’ selamanya tetap ‘Tidak!’.”
Kakyu tidak mau berhenti berusaha demi kakaknya, Joannie. “Kita
memerlukan seorang wanita untuk merawat luka prajurit yang terluka
sementara kita memperkuat benteng kita.”
“Kakyu benar,” baru kali ini Adna mendukung Kakyu, “Kita memang
membutuhkan seorang wanita. Kita tidak mungkin bisa merawat mereka
setekun para wanita. Joannie bisa membantu tugas itu.”
“Tidak bisa!” Jenderal Reyn tetap berpegang pada keputusan awalnya,
“Keadaan di luar terlalu bahaya bagi Joannie.”
“Jangan khawatir, Reyn,” Jenderal Decker yang telah berjanji tidak
mencampuri urusan Jenderal Reyn dengan putrinya selama berada di sini, turut
membujuk, “Di dalam benteng ini kita mempunyai lebih dari dua ribu seratus
pasukan. Ditambah benteng yang kuat, Joannie akan tetap aman.”
“Saya mengerti kekhawatiran Anda, Jenderal,” Adna memperkuat kata-
kata Jenderal Decker, “Kita tidak mungkin tidak dapat melindungi seorang
wanita dengan pasukan sebanyak ini.”
Kakyu merasa tidak perlu berusaha membujuk ayahnya lagi. Adna dan
Jenderal Decker telah membuat ayahnya bingung menentukan keputusannya.
“Aku telah berjanji padamu untuk tidak mencampuri segala keputusan
yang kaubuat untuk Joannie selama berada di sini,” kata Jenderal Decker,
“Tetapi kali ini pikirkan permintaan ini. Aku mengerti engkau mengkhawatirkan
keselamatan putrimu, tetapi tenaga putrimu diperlukan untuk merawat prajurit
yang terluka.”
Kakyu mendapatkan gagasan lain. “Kalau Papa mau, kita bisa menyuruh
beberapa prajurit membantu Joannie sekaligus menjaganya.”
Jenderal Reyn menatap lekat-lekat wajah putranya.
Ide menyuruh Joannie merawat pasukan yang terluka memang tepat.
Joannie bisa merawat mereka dengan bantuan beberapa prajurit lain yang juga
akan menjaganya. Sementara itu prajurit lainnya akan memperkuat benteng
mereka.
Bila mereka telah siap menyerbu Kirshcaverish atau mungkin juga
sebaliknya, Kirshcaverish menyerbu benteng mereka, mereka telah siap dan
96
benteng mereka akan cukup kuat untuk menahan serangan musuh.
Di samping itu, bila Jenderal Reyn tetap bersikeras dengan keputusannya
itu, ia tidak pantas disebut Jenderal yang tangguh. Demi keselamatan putrinya,
ia membiarkan para prajurit yang terluka tetap terluka.
Tidak ada yang dapat dilakukan Jenderal Reyn selain menyetujui usul itu.
Jenderal Reyn tahu itu. “Baiklah, aku setuju.”
Jenderal Decker tersenyum puas. “Aku akan memilih beberapa prajurit
yang akan membantu sekaligus menjaga Joannie.”
Sepeninggal Jenderal Decker, Jenderal Reyn berkata, “Aku tidak tahu
apakah gagasanmu ini benar atau tidak, tetapi aku yakin engkau
melakukannya dengan penuh perhitungan.”
“Tentu,” kata Kakyu sambil tersenyum.
Kakyu tidak tahu akan seperti apakah kakaknya nanti bila mengetahui
berita gembira ini.
“Kurasa engkau pasti ingin memberitahu berita ini kepada kakakmu.”
Kakyu tahu kakaknya akan lebih gembira kalau ayahnya yang
mengatakannya sendiri. “Lebih baik Papa sendiri,” katanya.
“Baiklah.”
Setelah Jenderal Decker, Jenderal Reyn pun meninggalkan Kakyu dan
Adna.
Kakyu tidak tahu sampai kapankah Adna akan mengikutinya. Ia hanya
tahu ia merasa terganggu karenanya.
Selama ini tidak ada orang yang selalu mengikuti Kakyu dan menganggu
ketenangannya. Kalaupun ada, Kakyu tidak merasa terganggu. Tetapi orang ini
lain. Entah apa yang diinginkannya, Kakyu tidak tahu tetapi sejak tadi ia
merasa tidak enak terus diikuti Adna. Kakyu tidak tahu apakah perasaannya
benar atau salah, tetapi sejak tadi ia merasa Adna mencurigainya.
Kakyu berharap itu hanya dugaannya saja. Mengenai Joannie, Kakyu
berharap dugaannya benar.
Dan memang itulah yang terjadi.
Sejak diijinkan meninggalkan tendanya, Joannie sangat senang.
Kakyu yang semula berniat menemui Joannie setelah mendengar berita
itu, ternyata tidak perlu melakukannya karena Joannie sendiri yang telah
menemuinya di tendanya.
“Aku senang sekali, Kakyu,” kata Joannie begitu melihat Kakyu, “Papa
mengijinkanku meninggalkan tenda.”
“Engkau keluar bukan untuk bersenang-senang,” Kakyu mengingatkan,
“Engkau harus merawat prajurit-prajurit yang terluka.”
“Aku mengerti, Kakyu,” kata Joannie, “Aku tidak akan lupa.”
Kakyu menyibukkan diri dengan barang-barang bawaannya.
“Aku sangat berterima kasih padamu, Kakyu.”
97
Kakyu pura-pura tidak mengerti. “Untuk apa?”
“Engkau telah membujuk Papa untuk merubah keputusannya.”
“Bukan aku yang melakukannya,” kata Kakyu, “Jenderal Decker dan
Adnalah yang membujuk Papa.”
Joannie membantahnya. “Kata Papa, engkaulah yang mula-mula
membujuknya.”
“Kuharap engkau senang.”
“Tentu saja. Aku tidak sabar membayangkan bisa bercakap-cakap dengan
Pangeran,” kata Joannie senang.
Kakyu melihat wajah Joannie semakin berseri-seri ketika membicarakan
Pangeran. Dan ia diam saja menekuni pekerjaannya – membersihkan panah
peraknya.
Hari-hari selanjutnya, Kakyu tetap menjadi pendengar yang baik bagi
cerita Joannie.
Setiap ada waktu, Joannie selalu menemui Kakyu dan menceritakan
segala sesuatu yang dilakukannya selama sehari itu. Tetapi tetap saja yang
paling banyak laporannya adalah perjumpaannya dengan Pangeran. Joannie
sering mengatakan Pangeran sering mengunjungi tenda Perawatan untuk
menanyakan keadaan para prajurit.
Dengan setianya, Kakyu mendengarkan kata-kata Joannie yang
semuanya diucapkannya dengan penuh perasaan cintanya. Bahkan di antara
kesibukannya, Kakyu masih mau mendengarkan cerita kakaknya, Joannie.
Kakyu mengerti selain dirinya, tidak ada lagi yang menjadi teman
Joannie.
Kalau di Quentynna House, tidak perlu diragukan lagi siapa yang menjadi
kawan Joannie. Dalam segala hal, Joannie selalu bersama Vonnie, Marie juga
Lishie. Keempat gadis itu selalu bermain bersama, bercanda bersama, bahkan
saling bercerita tentang segala hal.
Hanya Kakyu sendiri yang tidak pernah terlibat dengan kegiatan kakak-
kakaknya itu.
Kini tanpa Vonnie, Marie dan Lishie yang selalu menjadi teman bicara
Joannie, Joannie merasa kesepian. Hanya Kakyu satu-satunya teman bicaranya.
Jenderal Reyn, ayah mereka, tidak dapat diharapkan untuk menjadi
teman bicara yang baik di saat seperti ini. Kalau mereka di rumah, Jenderal
Reyn akan menjadi seorang ayah yang baik dan penuh pengertian. Tetapi tidak
demikian halnya di medan pertempuran seperti ini.
Dari setiap cerita Joannie, Kakyu mengetahui hubungan kakaknya
dengan Pangeran semakin dekat. Joannie juga mengatakan Pangeran tidak
hanya menanyakan keadaan prajurit yang terluka tetapi ia mulai bertanya
tentang keluarga mereka. Joannie dengan perasaan senang selalu menjawab
setiap pertanyaan Pangeran Reinald.
98
Melihat cara Joannie menceritakan Pangeran Reinald, Kakyu tahu
kakaknya sangat mencintai Pangeran Reinald.
Melihat kakaknya semakin hari tampak semakin bahagia, Kakyu merasa
senang. Kakyu merasa senang dapat membantu kakaknya yang disayanginya
itu.
Keadaan di sekitar benteng dan hutan Naullie yang tenang selama
beberapa hari terakhir ini memberikan angin baru bagi pasukan mereka.
Setiap hari Kakyu menerangkan keadaan Hutan Naullie kepada pasukan
dan menyusun rancangan benteng yang kuat.
Dengan banyaknya orang di benteng, dalam waktu singkat benteng
menjadi semakin kuat dibandingkan sebelumnya. Demikian pula pasukan
Kerajaan Aqnetta.
Pada benteng yang menghadap Hutan Naullie, menara pengintai
diperbanyak dan dilengkapi dengan pasukan pemanah. Pasukan pemanah itu
sendiri baru dibentuk beberapa hari terakhir ini.
Dengan bahan-bahan dari hutan, Kakyu dibantu prajurit lain, membuat
panah lengkap dengan anak panahnya.
Para Jenderal juga ambil bagian. Selain membantu Kakyu mengatur
pasukan, mereka juga terus menyusun rencana pembaharuan benteng di
samping rencana penyerbuan Kirshcaverish.
Kesibukan itu melupakan Kakyu pada perasaan tidak enak yang
ditimbulkan pemuda yang selalu mengikutinya itu.
Tetapi tidak demikian halnya dengan Adna. Pemuda itu tidak melupakan
kecurigaannya kepada Kakyu walau ia sendiri juga sibuk. Matanya selalu
mengawasi gerak-gerik Kakyu untuk mencari sesuatu yang salah pada Kakyu.
Adna tidak dapat memastikan apa itu. Tetapi ia tidak dapat mengingkari,
setiap melihat Kakyu, ia selalu merasa ada sesuatu yang salah pada pemuda
itu yang menyebabkannya tampak tidak cocok menjadi Perwira.
Adna yang asli telah mengatakan apa yang salah itu tetapi Adna palsu
tidak puas.
Berulang kali Adna asli mengatakan Kakyu tampak tidak cocok menjadi
Perwira karena tubuhnya yang lebih kecil dibandingkan pemuda lain seusianya.
Tapi tetap saja si Pangeran asli tidak puas.
Apa yang dapat dilakukan pengawal itu selain membiarkan majikannya
mencari sendiri jawaban kecurigaan-kecurigaannya itu?
Ketenangan yang muncul dalam beberapa hari terakhir ini, buyar pada
suatu pagi.
Entah apa yang menjadi sebabnya, tiba-tiba orang-orang di Tenda
Perawatan berteriak-teriak.
Mulanya tidak ada yang mencurigai hal itu hingga muncul seorang pria
sambil menodongkan sebilah pisau di leher Joannie.
99
Pasukan yang tidak siap menghadapi hal ini tidak dapat berbuat apa-apa
apalagi saat itu Joannielah yang digunakan sebagai tameng pria itu.
Sambil berjalan mundur, pria itu berseru, “Kalau kalian maju, aku akan
membunuhnya.”
Tidak ada yang berani berbuat apa-apa. Semua takut menghadapi
Jenderal Reyn kalau tahu putrinya terluka.
Kakyu yang sibuk membersihkan panah peraknya, mendengar keributan
itu dan segera keluar tendanya. Pandangan mata Kakyu segera menangkap
kekacauan yang terjadi di sekitar Tenda Perawatan.
Pria tak dikenal itu terus menodongkan pisaunya kepada Joannie yang
ketakutan sambil berjalan mundur.
Hingga pria itu semakin mendekati pintu benteng yang menuju Hutan
Naullie, tidak ada yang berani berbuat apa-apa. Semua mengkhawatirkan
keselamatan Joannie.
Melihat pria itu, Kakyu sadar kedatangan pria itu adalah karena
kecerobohannya.
Ketenangan yang terjadi dalam beberapa hari terakhir ini, membuat
pasukan Kerajaan Aqnetta menjadi lengah.
Walau Kakyu tetap waspada di tengah kesibukannya, ia tidak mengira ia
akan kecurian seperti ini.
Kakyu sangat yakin pria itu adalah anggota Kirshcaverish yang bertugas
memata-matai kegiatan mereka.
Entah bagaimana mata-mata itu masuk dan siapa yang pertama kali
membongkar identitas mata-mata itu, Kakyu tidak tahu. Ia hanya tahu saat ini
juga ia harus bertindak.
Tak sedetikpun yang dilewatkan Kakyu lagi.
Sementara semua sibuk mengawasi pria yang terus menyekap Joannie
itu, Kakyu perlahan-lahan mendekati pria itu dan mencari posisi yang tepat.
“Lepaskan dia,” seru Pangeran Reinald khawatir.
“Tidak!” balas pria itu, “Aku tidak akan melepaskannya sebelum aku
meninggalkan benteng ini dengan selamat.”
“Kami jamin engkau dapat meninggalkan benteng ini,” Pangeran Reinald
berjanji, “Asal engkau melepaskan wanita itu.”
Kakyu memanfaatkan kesempatan ini.
Secepat mungkin Kakyu membidikkan panah yang terus dibawanya sejak
ia meninggalkan tendanya.
Sesuatu berkilau yang melesat cepat, menyahut tangan pria yang
sedang menghadapi Pangeran Reinald itu dan membuat pria itu melepaskan
pisaunya.
Melihat pria itu sedang meringis kesakitan, Pangeran Reinald cepat-cepat
menarik Joannie menjauh.
100
Dengan meremas persendian pundaknya yang terkena panah, pria itu
berlari menerobos pintu benteng yang menghadap Hutan Naullie.
Secepat mungkin Kakyu menyahut seekor kuda dan meninggalkan
benteng untuk mengejar pria itu.
Kakyu yakin pria itu tidak dapat pergi jauh dengan pundak yang terluka
parah seperti itu.
Tak jauh dari tepi Hutan Naullie, Kakyu melihat pria tadi terbaring di
bawah sebatang pohon.
Kakyu menduga pria itu pingsan karena pendarahannya yang cukup
parah.
Dengan ketenangannya, Kakyu turun dari kuda dan mendekati pria itu.
Perlahan-lahan Kakyu mendekati pria yang terbaring itu. Kakyu sangat terkejut
ketika pria itu tiba-tiba menyabetkan pisaunya.
Untung Kakyu sempat menghindar sehingga yang kena hanya lengan
kanannya. Tapi luka itu cukup dalam dan membuat darah segar segera
mengalir cukup deras.
Kakyu yang semula berniat mencabut panah peraknya yang menancap di
pundak pria itu, tidak menanti apa-apa lagi.
Kakyu tahu hanya itu yang dapat membuat pria itu tidak dapat pergi
jauh.
Dengan menahan rasa sakitnya sendiri, Kakyu mencabut panah itu kuat-
kuat.
Seperti dirinya, pria itu juga tidak menduga akan mendapat serangan
mendadak seperti ini.
Dengan tercabutnya panah dari pundaknya, darah semakin mengalir
deras dan membuat pria itu semakin kesakitan.
Pria itu menjerit-jerit menahan sakit yang luar biasa di persendian
pundaknya.
Kakyu mendengar derap kaki kuda di belakangnya tapi ia tetap tidak
berbuat apa-apa.
Tanpa berkata apa-apa, ia menatap wajah pria yang terus menjerit
kesakitan itu.
“Engkau tidak apa-apa?” tanya Adna sambil menatap lengan baju Kakyu
yang sobek dan kemerah-merahan.
“Aku tidak apa-apa,” kata Kakyu, “Kuserahkan dia padamu.”
Kakyu segera meninggalkan mereka sebelum Adna juga prajurit yang
datang kemudian mengetahui lukanya.
Karena sejak terluka, Kakyu sama sekali tidak menyentuh lukanya,
lengan baju Kakyu tidak tampak terlalu merah.
Kalaupun mereka melihat noda darah di lengan baju seragam Kakyu,
mereka hanya akan menduga itu darah mata-mata itu.
101
Tanpa menanti pasukan membawa pria itu ke benteng, Kakyu
meninggalkan tepi Hutan Naullie dan segera menuju tendanya.
Sebelum memasuki tendanya, Kakyu melihat masih banyak prajurit yang
mengelilingi Joannie di depan Tenda Perawatan.
Kakyu hanya dapat menghela napas melihatnya.
Sebagai satu-satunya Joannie wanita di benteng, pasukan Kerajaan
Aqnetta yang semuanya pria itu tentu saja memuja Joannie. Joannie bukan
hanya cantik di mata mereka tetapi juga tampak penuh kasih sayang.
Kakyu sendiri sering tersenyum kalau mengetahui hal itu.
Andaikata mereka tahu apa yang membuat Joannie mau melakukan
tugas yang sebelumnya tidak pernah dilakukannya itu.
Kakyu meletakkan panahnya di tanah yang telah dialasi kain kemudian
duduk di sampingnya.
Kakyu melihat panah perak yang baru saja digunakannya itu.
Dulu sebuah anak panah telah digunakannya untuk menyelamatkan Raja
Alfonso dan Putri Eleanor. Kini sebuah panah perak lagi digunakan untuk
menyelamatkan. Kali ini bukan Raja Alfonso dan Putri Eleanor yang
diselamatkan, melainkan Kerajaan Aqnetta.
Kakyu menyadari bahaya apa yang dapat menimpa mereka andaikata
mata-mata itu berhasil menemui kelompoknya.
Dengan tangan kirinya, Kakyu mengamati panah perak itu.
Panah perak yang telah dikotori darah itu tidak akan dapat kembali
seperti semula. Demikianlah yang terjadi pada panah perak yang dulu.
Walaupun Kakyu telah berusaha keras untuk membersihkan panah itu, tetapi
noda darahnya tetap ada.
Dari sebelas panah perak yang ada, kini hanya tinggal sembilan buah
yang tetap bersinar indah. Dua lainnya sedikit memudar karena darah yang
tidak dapat hilang dapi permukaannya.
Ketika hendak menyentuh panah perak itu dengan kedua tangannya,
tangan kanan Kakyu membuat pemuda itu kesakitan. Kakyu sadar ia harus
segera mengobati lukanya sebelum terlalu banyak darah yang keluar.
Kakyu meletakkan panahnya kemudian mencari kemeja seragam yang
lain sebelum ia membuka kemeja yang telah kotor itu.
Gerakan Kakyu semakin perlahan ketika ia melepaskan lengan baju
kanannya. Kakyu tidak ingin darahnya terlalu banyak mengotori seragam putih
kebiru-biruan itu.
Tengah Kakyu sibuk membuka kemejanya perlahan-lahan, seseorang
menerobos masuk.
Kakyu terkejut. Sama terkejutnya dengan pria itu.

102
9

Melihat tubuh Kakyu yang tidak tertutup kemejanya itu, Adna terpana.
Matanya terpaku pada buah dada Kakyu yang dililit kain putih untuk
membuatnya tampak sedatar mungkin.
Adna tidak pernah menduga bahkan tidak pernah sedikitpun terlintas
dalam benaknya bahwa Kakyu bukan seorang pria.
Kakyu adalah seorang gadis. Gadis yang mengenakan pakaian pria.
Kakyu menyadari apa yang terjadi.
Cepat-cepat ia menutupi dadanya dengan kemejanya. Tanpa melewatkan
waktu sedekitpun, Kakyu meraih pedangnya dan mengarahkan sisinya yang
tajam di leher Adna.
“Jangan kaukatakan pada siapapun,” ancamnya.
Adna yang masih belum pulih dari kagetnya, semakin terkejut dengan
tindakan tiba-tiba itu.
“Aku janji,” Adna berjanji.
Kakyu diam. Tak bergerak juga tidak bersuara.
Tanpa menghiraukan jarak mereka yang dekat, Kakyu terus mencari
kesungguhan di mata Adna.
Adna menjauhkan sisi pedang itu dari lehernya.
“Aku telah berjanji padamu dan aku tidak akan mengingkarinya,” kata
Adna.
Tiba-tiba saja Adna merasa serba salah. Ia tidak tahu harus bersikap
seperti apa menghadapi kenyataan yang baru terbongkar ini.
Apakah ia harus semakin curiga pada Kakyu yang menjadi Perwira Muda
di usia muda? Ataukah ia harus curiga dengan sikap Kakyu yang baru saja?
Atau ia harus menghakimi Kakyu juga Jenderal Reyn atas penipuan besar ini?
Adna bingung.
Kakyu berjalan menjauh dan kembali duduk. Kakyu meletakkan
pedangnya di sampingnya, di antara panahnya.
Dengan tenang Kakyu berkata, “Pergilah.”
Tetapi Adna tidak mau disuruh pergi begitu saja. Ia datang bukan untuk
diusir tetapi untuk mengobati luka Kakyu.
Kakyu tidak tahu sejak awal ia meninggalkan tenda, Adna terus
mengawasinya.
Ketika semua orang terkejut melihat sebuah panah perak menancap di
pundak pria itu, Adna menatap kagum Kakyu.
Tidak ada yang menduga Kakyu akan melakukan hal itu di tengah
103
keributan.
Adna menyadari kalau Kakyu bukan pemuda yang tenang, pemuda itu
tidak akan dapat melakukan sesuatu dengan begitu cepat dan penuh
perhitungan.
Bila tadi Kakyu kurang cepat, panahnya bisa mengenai orang lain.
Demikian pula bila ia tidak membidikkan panahnya dengan tepat, ia tentu akan
melukai kakaknya sendiri.
Ketika Kakyu mengejar pria itu, Adnalah orang yang paling cepat
mengikuti tindakan Kakyu. Tak heran kalau ia sempat melihat lengan Kakyu
dilukai pria itu.
Adna tidak menduga ia akan membongkar suatu kenyataan yang selama
ini disembunyikan justru pada saat ia merasa perlu membantu Kakyu dengan
mengobati lukanya.
Adna mendekati Kakyu. “Aku tidak dapat pergi sebelum melakukan
tujuanku datang kemari.”
“Nanti saja,” kata Kakyu tenang.
“Tidak bisa,” sahut Adna, “Kali ini aku datang bukan untuk mengajukan
berbagai macam pertanyaan. Aku datang untuk mengobati lukamu.”
“Mengobati?” tanya Kakyu tak percaya.
Adna jengkel mendengar nada tidak percaya itu. “Kaukira aku tidak
punya rasa kasihan!?”
“Berikan saja obat itu padaku. Aku akan mengobati sendiri lukaku.”
Adna memicingkan matanya – mengawasi Kakyu yang tetap tenang
walau rahasianya telah terbongkar.
Pria itu tidak tahu Kakyu merasa ketenangannya hilang.
Kakyu memang sengaja tidak menunjukkannya. Kakyu tidak mau pria itu
melihatnya.
Bagaimana mungkin ketenangan Kakyu tidak hilang setelah rahasia yang
selama ini disimpan keluarganya bocor karena kesalahannya sendiri?
Entah apa yang akan dikatakan Jenderal Reyn kalau ia tahu. Tapi yang
pasti ia akan sangat kecewa sama kecewanya dengan saat ia menyadari putra
bungsunya juga seorang gadis, bahkan mungkin lebih kecewa.
Kakyu hanya dapat berharap Adna memenuhi janjinya.
“Tidak,” Adna bersikeras, “Aku yang akan melakukannya.”
Sebelum Kakyu sempat berbuat apa-apa, Adna menarik lengan Kakyu
yang terluka.
Melihat luka yang cukup parah itu, Adna tidak berkata apa-apa. Ia hanya
menatap wajah Kakyu yang sama sekali tidak menunjukkan kesakitan.
Kemudian ia merawat luka itu.
Kakyu memalingkan wajahnya ketika Adna merawat lukanya dengan
penuh kelembutan.
104
Sejak kecil, Kakyu dididik sebagai seorang anak laki-laki. Sejak kecil pula,
Kakyu melupakan dirinya sebagai seorang gadis.
Kini Kakyu tidak mau dirinya yang selama ini berada dalam
ketenangannya sebagai gadis yang bertingkah laku seperti pria, menjadi kacau
hanya karena seorang pria yang secara tidak sengaja mengetahui ia bukan
pria.
Tapi debar jantung Kakyu sebagai seorang gadis tidak dapat dilawan.
Jantung itu terus berdebar kencang ketika merasakan tangan-tangan Adna
dengan lembut merawat lengannya.
Kakyu tidak tahu apa yang dipikirkan pria itu tentang dirinya.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia ingin tahu apa yang
dipikirkan orang lain tentang dirinya.
Sambil merawat luka itu, Adna sesekali menatap wajah Kakyu.
Sekarang Adna sadar apa yang membuat Kakyu tidak nampak pantas
menjadi Kepala Pengawal Istana.
Selain karena rambut ikalnya yang merah seperti api. Wajah Kakyu juga
tidak tampak seperti pria umumnya. Wajah itu memberi kesan lembut. Belum
lagi tubuhnya yang terlalu kecil untuk ukuran pemuda seusianya.
Sekarang Adna menyadari mengapa Kakyu tampak sangat kurus
dibandingkan pemuda lain. Juga mengapa pemuda itu penuh perhatian kepada
setiap prajurit walau ia tampak acuh.
Adna ingin tahu mengapa Kakyu bertingkah sebagai anak laki-laki hingga
sampai memiliki berbagai keahlian sebagai prajurit tangguh.
Tetapi apakah ia akan mendapatkan jawaban yang memuaskan dari
Kakyu yang pendiam itu?
Jelas Adna tidak dapat bertanya pada orang lain karena ia telah berjanji
pada Kakyu untuk tidak mengatakan apapun tentang kejadian ini pada
siapapun.
Adna tahu ia harus mencobanya.
“Mengapa engkau mengaku sebagai pria?” tanya Adna hati-hati.
Kakyu sudah menduga adanya pertanyaan itu tetapi ia tidak mau
menjawab banyak juga tidak menjelaskan masalah yang sebenarnya.
“Tidak apa-apa.”
“Tidak mungkin tidak apa-apa, Kakyu. Tidak pernah ada gadis segila
engkau yang bertingkah sebagai laki-laki bahkan sampai terjun ke dunia laki-
laki pula.”
Kakyu memilih diam daripada berbohong.
“Kalau engkau tidak mau mengatakannya saat ini, tidak apa-apa. Tetapi
lain kali engkau akan menjelaskannya kepadaku bukan?”
Kakyu terkejut mendengar pertanyaan lembut itu. Biasanya Adna tidak
pernah mau bersikap lembut seperti ini kepadanya.
105
Apakah karena mengetahui ia bukan seorang pria, lantas ia bersikap
lebih lembut?
Kakyu menatap wajah Adna dengan curiga. Tetapi pemuda itu
menghiraukannya.
Dengan santai, Adna membalut luka Kakyu.
Kakyu mengawasi tangan Adna yang terus bergerak-gerak membalut
lukanya dengan kain perban yang dibawanya juga dari Tenda Perawatan.
“Selesai,” Adna memberitahu.
Kakyu cepat-cepat menutup kembali tubuhnya dengan kemeja.
“Aku akan pergi sehingga engkau bisa berganti baju,” kata Adna sambil
beranjak bangkit.
Ketika sampai di pintu tenda, Adna menoleh.
“Mengenai janjiku, jangan khawatir,” Adna meyakinkan Kakyu, “Aku tidak
akan mengatakan kepada siapa-siapa juga kepada Pangeran.”
Kakyu segera mengenakan kemeja yang telah disiapkannya.
“Kakyu!”
Kakyu terkejut. Ia segera memalingkan kepala ke arah datangnya suara
itu.
Hatinya terasa lega ketika melihat yang datang bukan Adna tetapi
kakaknya, Joannie.
Joannie melihat lengan Kakyu yang belum dilindungi kemejanya dan
bertanya cemas, “Apa yang terjadi padamu?”
“Tidak ada apa-apa,” kata Kakyu sambil membenahi kemejanya.
Joannie mendekat.
Melihat kemeja lain yang telah sobek dan di sekitar sobekannya
memerah oleh darah, Joannie tidak percaya tetapi ia tidak mau mendesak
Kakyu lagi. Ia tahu Kakyu tidak akan memberitahu apapun kepadanya.
Sebagai kakak yang telah tinggal serumah dengan Kakyu, tidak mungkin
Joannie tidak mengenal watak adiknya.
“Ada apa, Joannie?” giliran Kakyu yang bertanya.
“Aku ingin mengucapkan terima kasih padamu,” kata Joannie, “Engkau
telah menyelamatkanku.”
“Berterima kasihlah pada Pangeran,” kata Kakyu.
Dengan perkataan itu, Joannie tahu adiknya ingin mengatakan bukan
dirinya yang menyelamatkannya tadi.
“Kalau engkau tidak melukai tangan pria itu, aku pasti sudah dibawanya
entah ke mana,” kata Joannie.
“Mengapa engkau yang disandera?”
“Aku tidak tahu,” kata Joannie, “Aku juga tidak tahu kalau ia itu mata-
mata.”
“Ia sedang berada di Tenda Perawatan ketika aku di sana. Melihat
106
pasukan yang belum pernah kulihat di Tenda Perawatan itu, aku menjadi ingin
mengetahui mengapa ia di sana. Aku sama sekali tidak menduga ia akan
menodongkan pisaunya di leherku sebagai jawabannya. Selanjutnya, engkau
tahu sendiri apa yang terjadi.”
“Untung Pangeran Reinald segera menarikmu,” Kakyu mengganti topik
pembicaraan.
“Ya, aku sangat terkejut tadi waktu Pangeran tiba-tiba menarikku,”
Joannie mulai melupakan ketakutannya yang sesaat lalu timbul lagi, “Ia
menenangkanku.”
“Ia sungguh-sungguh baik hati dan penuh pengertian,” tambah Joannie,
“Dengan lembut ia menghiburku dan membuat aku melupakan ketakutanku.”
“Aku sangat bahagia, Kakyu,” Joannie menunjukkan kata-katanya baik
dalam suaranya maupun sikapnya, “Aku yakin tidak akan ada pria yang sebaik
dia. Ia benar-benar seperti pria idamanku. Sayang tadi kami tidak bisa
berduaan, banyak prajurit yang mengelilingi kami.”
“Mereka mencemaskanmu,” Kakyu memberitahu.
“Aku tahu tetapi tidakkah mereka tahu aku juga ingin berduaan dengan
Pangeran,” kata Joannie manja.
Melihat kakaknya yang semakin tampak menggemaskan dengan sikap
lugunya, Kakyu yakin tidak akan ada pria yang tidak senang melihatnya.
“Mereka tidak tahu engkau mencintai Pangeran,” sekali lagi Kakyu
memberitahukan apa yang tidak diketahui kakaknya sebelumnya.
Hingga kini tidak ada orang lain yang tahu kalau Joannie jatuh cinta
kepada Pangeran Reinald. Jenderal Reynpun tidak tahu. Hanya Kakyu yang
mengetahuinya.
Dengan wataknya yang tenang dan tidak mau mencampuri urusan orang
lain, tentu saja Kakyu tidak memberitahukan hal itu kepada siapapun.
Kepada Adna yang sering ditanyai berbagai macam pertanyaan tentang
Pangeran pun, Kakyu tidak memberitahu.
Kakyu membiarkan pemuda itu memikirkan kemungkinan yang aneh-
aneh dengan sikapnya yang seperti ingin tahu segala sesuatu tentang
Pangeran Reinald.
“Pangeran sepertinya tidak menyukaiku,” kata Joannie tiba-tiba.
Kakyu tidak tertarik mendengarnya, tetapi untuk mengibur kakaknya, ia
bertanya, “Mengapa?”
“Pangeran tadi segera mengantarku ke tendaku sendiri ketika melihat
pasukan datang dengan pria itu. Lalu ia sendiri segera meninggalkanku.”
Kakyu mengerti mengapa Pangeran berbuat seperti itu tetapi Joannie
tidak. Karena itu Kakyu merasa ia harus memberitahu Joannie. “Kau harus
mengerti, Joannie, Pangeran juga harus memeriksa orang itu.”
“Gara-gara pria itu semuanya kacau,” kata Joannie mengeluh.
107
Kakyu diam saja mendengar keluhan itu. “Berkat dia pula Pangeran
menunjukkan perhatiannya padamu,” Kakyu mengingatkan Joannie.
“Andaikan saja tadi pria itu lolos…”
“Kita yang akan hancur,” sahut Kakyu.
Joannie terdiam.
Sebagai seorang wanita yang tidak pernah mengenal kerasnya sebuah
pertempuran, Joannie sama sekali tidak pernah memikirkan apa yang akan
terjadi bila mereka salah bertindak. Juga bila ada mata-mata yang memasuki
benteng mereka.
“Sekarang Pangeran ada di mana?”
“Aku tidak tahu,” jawab Joannie, “Tapi tadi aku melihat Adna pergi ke
Tenda Perundingan.”
Kakyu berdiri.
“Engkau mau ke mana?” tanya Joannie.
“Mencari tahu apa yang terjadi,” jawab Kakyu santai sambil berlalu dari
hadapan kakaknya.
Di luar, Kakyu melihat pasukan telah bersiaga penuh setelah kejadian
pagi ini.
Memang seharusnya sejak dulu itu yang mereka lakukan tetapi mereka
terlalu sibuk dengan benteng mereka sehingga melupakan Kirshcaverish.
Untung saja kecerobohan itu tidak membahayakan mereka.
Apa yang akan terjadi bila mata-mata itu berhasil menemui pimpinannya
di dalam Hutan Naullie, sudah sangat jelas.
Kakyu cepat-cepat menuju Tenda Pertemuan.
Tidak nampak mata-mata Kirshcaverish di sana, yang ada hanya para
Jenderal serta Pangeran dan tentu saja Adna.
Mereka tengah sibuk berunding hingga tidak memperhatikan kedatangan
Kakyu.
Tanpa bersuara Kakyu mendengarkan perundingan mereka.
“Kita tidak dapat berdiam diri di sini,” kata seorang Jenderal, “Kita harus
segera menumpas mereka.”
“Aku setuju,” kata Jenderal Erin, “Sudah terlalu lama kita membiarkan
Kirshcaverish. Sekarang saatnya kita menyerang kembali.”
“Kita mempunyai masalah,” Jenderal Reyn mengingatkan, “Kita tidak
tahu di mana markas mereka. Kita hanya tahu mereka berkedudukan di Hutan
Naullie.”
“Saat ini pasukan kita lebih banyak dari mereka. Kita tidak perlu khawatir
akan kalah,” kata Adna, “Kita bisa membagi pasukan ke dalam beberapa
kelompok kemudian kita melakukan serangan yang terpencar.”
“Benar,” Pangeran Reinald setuju, “Kalau kita menyebarkan pasukan di
Hutan Naullie, kita pasti dapat menemukan mereka.”
108
“Sepertinya usul itu sangat bagus,” kata Jenderal Decker, “Sekarang kita
harus menyempurnakan usul itu.”
Mulanya Kakyu berharap Jenderal Decker sebagai Jenderal Tertinggi di
Kerajaan Aqnetta, akan menghentikan keinginan yang terburu-buru itu. Tetapi
harapan itu tidak terkabul.
Sebagai gantinya, Kakyu sendiri yang menyatakan ketidaksetujuannya,
“Tidak! Kalian tidak dapat bertindak sejauh itu.”
“Apa maksudmu?” tanya Jenderal Decker terkejut mendengar bantahan
Kakyu yang lantang itu – melebihi lantangnya suara para Jenderal yang setuju
untuk menggempur Kirshcaverish sesegera mungkin.
“Kalian pasti akan hancur,” kata Kakyu cemas, “Kalian sama sekali tidak
mengenal Hutan Naullie. Kalian bahkan tidak tahu cerdiknya Kirshcaverish.”
“Tidak akan, Kakyu,” Jenderal Erin menenangkan, “Pasukan kita lebih
banyak dari mereka.”
“Tapi mereka lebih mengenal hutan ini daripada kita sendiri,” bantah
Kakyu.
“Berapapun pasukan kita, kita pasti akan hancur sebelum mengetahui
kedudukan mereka,” Kakyu memberitahukan apa yang terlintas di benaknya
saat mendengar keputusan itu, “Di luar Hutan Naullie, kita memang lebih
unggul daripada mereka. Tetapi di dalam hutan, merekalah yang lebih unggul.”
Adna yang selalu curiga kepada Kakyu – semakin curiga karenanya.
“Apa maksudmu, Kakyu?” kecurigaan Adna sangat nampak dalam
suaranya, “Sejak dulu engkau selalu terkesan melindungi mereka.”
“Tidak,” bantah Kakyu.
“Lalu mengapa sejak dulu engkau seperti mengulur waktu. Mengapa
tidak sejak awal engkau menyerang mereka di saat keadaan mereka lemah?
Apakah engkau ingin mereka pulih dulu sebelum kita menyerang mereka
dengan kekuatan baru kita?”
Adna tidak memberi kesempatan pada Kakyu untuk membantahnya.
“Sekarang mereka telah pulih dan mereka telah mengirimkan mata-
matanya. Untung saja mata-mata itu tertangkap. Apakah engkau ingin mata-
mata mereka berhasil mengetahui segala sesuatu tentang kita sebelum kita
menyerang mereka?”
“Engkau tidak mengerti,” kata Kakyu, “Kalian sama sekali tidak tahu
sulitnya. Kalian tidak tahu bahaya apa yang akan menimpa kalian bila kalian
bertindak terburu-buru seperti ini.”
“Apakah ini yang kaukatakan terburu-buru?” Adna mulai menampakkan
kemarahannya, “Sudah cukup lama kita membiarkan mereka. Sudah cukup
lama waktu yang kita berikan pada mereka untuk memulihkan diri. Kalau
engkau ingin kita mengulur waktu lagi, secara langsung engkau menunjukkan
jati dirimu yang sebenarnya.”
109
“Jati diri yang sebenarnya?” Kakyu khawatir Adna akan mengingkari
janjinya.
“Mengakulah, Kakyu, engkau mata-mata mereka bukan?”
Kakyu terkejut mendengar tuduhan itu. Begitu pula mereka yang sejak
tadi mendengarkan pertengkaran itu.
“Bagaimana mungkin Kakyu mengkhianati negaranya sendiri?” Jenderal
Decker membela Kakyu.
“Kalau tidak mengapa ia begitu membela mereka? Apa lagi yang ia
inginkan selain melindungi mereka?”
“Engkau tidak mengetahui masalah yang sebenarnya, Adna,” kata Kakyu
tenang, “Engkau tidak tahu kesulitan apa yang akan kita dapat dengan
menyerang mereka sebelum kita mengetahui dengan pasti kedudukan mereka
dan situasi sekitar markas mereka.”
“Jadi, beritahu kami,” kata Adna tegas, “Aku yakin engkau tahu.”
“Aku tidak tahu.”
“Sudahlah, Kakyu. Percuma engkau membohongiku. Sejak awal aku
memang mencurigai sikapmu yang aneh itu.”
“Sebaiknya engkau mengatakan apa yang kauketahui pada kami,
Kakyu,” bujuk Jenderal Decker, “Aku yakin seperti kata Adna, engkau
mengetahui sesuatu tentang mereka.”
“Katakan saja, Kakyu,” Jenderal Erin turut membujuk, “Katakan agar ia
percaya engkau bukan mata-mata seperti yang kami percayai.”
Kakyu tahu ia bisa saja mengatakan semua yang diketahuinya tetapi
masalahnya, ia tidak tahu pasti apakah markas Kirshcaverish masih tetap di
tempat dulu ataukah sudah pindah.
Bagus kalau mereka tetap di sana, tetapi akan sebaliknya kalau mereka
sudah pindah.
Para Jenderal yang mempercayainya pasti menjadi tidak percaya
kepadanya. Jenderal Reyn akan kecewa pada putra yang dibanggakannya dan
yang pasti Adna senang dengan tebakannya yang tepat.
“Aku tidak pasti benar,” kata Kakyu jujur.
“Ia pasti ingin melindungi kelompoknya,” Adna mengejek.
Pangeran Reinald yang sejak tadi diam saja, tahu ia harus membela
Kakyu. Seperti para Jenderal lainnya yang mengenal Kakyu, Pangeran percaya
pada pemuda itu.
“Sebaiknya kalian tidak menghiraukan Adna,” kata Pangeran Reinald, “Ia
memang mempunyai masalah pribadi dengan Kakyu.”
Adna yang merupakan Pangeran asli itu menatap tajam pria di
sampingnya itu.
“Ia sudah berada di dalam Istana sebelum keberadaan Kirshcaverish
diketahui,” Pangeran Reinald memberitahu kenyataan pada Pangeran yang asli,
110
“Kalau ia memang mata-mata mereka, ia tentu tidak akan membiarkan kita
mengetahui keberadaan mereka di Hutan Naullie.”
Adna tidak mau mendengarkan, ia malah bertanya dengan nada
menuduh, “Mengapa engkau membelanya?”
“Aku telah menjelaskannya padamu.”
Merasa telah menimbulkan keributan, Kakyu memilih mengundurkan diri
dari Tenda Perundingan.
Kedatangan Kakyu tadi bukan dengan tujuan mengacaukan keadaan
tetapi untuk mengetahui hasil pemeriksaan para Jenderal terhadap mata-mata
Kirshcaverish.
Kakyu membiarkan mereka yang ada di Tenda Perundingan itu memilih
sendiri siapa yang dipercayainya. Ia juga membiarkan mereka berpikir sendiri
sebab ia meninggalkan Tenda Perundingan di saat Pangeran Reinald
membelanya.
Kakyu kembali ke tendanya.
Sekarang semua terserah mereka. Apakah mereka akan menyerang
Kirshcaverish atau menunda lebih lama lagi hingga mereka tahu posisi
Kirshcaverish.
Setelah beberapa kali gagal menyerang Kirshcaverish, para Jenderal itu
masih kurang mengerti kelemahan pasukan mereka.
Walaupun jumlah Kirshcaverish lebih sedikit dibandingkan mereka,
mereka selalu kalah. Sebabnya tak lain adalah posisi mereka yang kurang
menguntungkan.
Setelah mengetahui berdirinya benteng pasukan Kerajaan Aqnetta di tepi
Hutan Naullie, Kirshcaverish tentu mulai memanfaatkan hutan lebat itu sebagai
penghalang jalan pasukan Kerajaan Aqnetta.
Di antara lebatnya semak-semak yang sebagian besar berduri itu, pasti
banyak jebakan yang telah dipasang. Ranjau darat yang tersembunyi di dalam
tanah, pasti juga turut meramaikan suasana.
Belum ditambah bahaya alam Hutan Naullie sendiri.
Di Hutan Naullie masih banyak binatang buas yang sewaktu-waktu bisa
menyerang mereka tanpa mengenal waktu.
Hutan Naullie yang masih lebat, tentu tidak membuat penghuninya
merasa perlu menjaga jarak dengan manusia. Mereka, terutama hewan
pemakan dagingnya, pasti menganggap manusia sebagai mangsa mereka.
Di hutan sekitar kaki Pegunungan Alpina Dinaria, labih banyak hewan
buasnya daripada hewan pemakan tumbuh-tumbuhan. Karena itu di sekitar
Pegunungan Alpina Dinaria jarang dijumpai pedesaan.
Kakyu mengerti benar hal ini tetapi tidak demikian halnya dengan para
Jenderal terutama Adna.
Terlalu banyak resiko yang harus dihadapi pasukan Kerajaan Aqnetta bila
111
menyerbu Hutan Naullie tanpa mengenal Hutan Naullie.
Andaikan pepohonan di Hutan Naullie tidak rapat, pasukan Kerajaan
Aqnetta masih dapat mengatasi keadaan.
Tetapi pada kenyataannya, selain pepohonannya rapat, dalam Hutan
Naullie juga banyak semak-semaknya hingga hampir tidak ada tanah kosong.
Semua permukaan hutan tertutup oleh hijaunya daun.
Hutan Naullie yang gelap dan selalu lembab itu juga bukan tempat yang
baik untuk dimasuki. Di dalam sana tentu banyak ular dan entah hewan
berbisa apa lagi.
Kirshcaverish yang telah mengenal Hutan Naullie, tentu dapat mengatasi
keadaan itu.
Kakyu menatap panahnya yang belum disimpannya.

112
9

Sekarang Kakyu tahu apa yang harus dilakukannya.


Kakyu mengeluarkan berbagai perlengkapannya yang dibawa dari
Chiatchamo.
Dalam kepergiaan kali ini, Kakyu telah siap dengan segala sesuatunya.
Baju hitam ninja pemberian Kenichi ada di dalam sebuah bingkisan
lengkap dengan perlengkapannya.
Kakyu memeriksa kembali isi bingkisan itu.
Setelah mengucapkan segala tuduhannya, mungkin saja Adna
menggeledah kamarnya. Situasi yang sudah berbahaya dengan tahunya Adna
kalau ia seorang gadis, semakin berbahaya bila Adna menemukan
perlengkapan ini.
Adna tidak akan mengetahui apa gunanya semua perlengkapan ini.
Dengan adanya senjata rahasia yang berupa sebilah pedang yang tidak
sama dengan pedang Kerajaan Aqnetta umumnya, Adna akan semakin
mencurigai dirinya. Sedangkan saat ini yang dibutuhkan Kakyu untuk
melengkapi rencananya adalah kepercayaan dari para Jenderal.
Kakyu merapikan kembali bingkisannya dan membawanya ke tenda
Joannie.
“Ada apa, Kakyu?” tanya Joannie.
“Aku ingin menitipkan ini padamu,” jawab Kakyu.
Joannie menerima bingkisan itu.
Melihat pedang panjang yang menyembul dari bingkisan, Joannie
berkata, “Ini perlengkapan ninjamu yang diberi Kenichi?”
Kakyu mengangguk.
“Engkau tidak bermaksud melakukan hal yang berbahaya bukan?” tanya
Joannie cemas.
“Jangan khawatir,” kata Kakyu, “Jangan kautunjukkan pada siapapun,
Joannie. Termasuk Pangeran.”
“Mengapa?” Joannie ingin tahu.
“Mereka tidak akan mengenal alat-alat ini dan mereka akan berpikir yang
tidak-tidak,” kata Kakyu menjelaskan, “Aku tidak ingin itu terjadi.”
“Baiklah,” kata Joannie, “Di mana aku harus menyimpannya?”
“Di tempat yang aman.”
Joannie melihat sekeliling tendanya.
“Kuletakkan di sini saja. Pasti tidak akan ada yang menduganya.”
“Terserah.”
113
Joannie meletakkan bingkisan itu di dalam tas yang berisi gaun-gaunnya.
Setelah melihat kakaknya menutup kembali tasnya, Kakyu membalikkan
badan – siap untuk meninggalkan tenda itu.
“Engkau mau ke mana?” tanya Joannie.
“Melihat keadaan.”
“Hati-hati, Kakyu,” pesan Joannie.
Kemudian Kakyu meninggalkan tenda Joannie.
Tidak ada yang curiga ketika Kakyu mengambil seekor kuda dan melesat
meninggalkan benteng.
Kakyu tidak terburu-buru. Ia tahu perundingan para Jenderal itu tidak
akan mudah.
Ia masih mempunyai banyak waktu sebelum menemui Pangeran di tenda
Pangeran sendiri.
Hanya Pangeran Reinaldlah satu-satunya harapan Kakyu.
Jenderal lain terutama Adna pasti tidak akan mau mendengarkannya
tetapi Pangeran mungkin mau.
Bila Kakyu berhasil membuat Pangeran setuju mengundurkan saat
penyerangan mereka, ia tentu dapat membantu mengurangi jatuhnya korban
di pihak pasukan Kerajaan Aqnetta.
Sesampainya di Farreway, Kakyu segera menuju toko terlengkap di
Farreway, tempat setahun lalu ia membeli perlengkapan mendadaknya.
Sepanjang perjalanan, Kakyu mendengar banyak orang yang
membicarakan keberadaan pasukan Kerajaan Aqnetta di tepi Hutan Naullie.
Juga suara letusan senapan yang dalam beberapa hari ini tidak ada.
Penduduk yang jauh dari Hutan Naullie, dapat dengan mudah
mempercayai alasan kepergian pasukan Kerajaan Aqnetta dalam jumlah besar
ke Hutan Naullie. Tetapi penduduk Farreway tidak.
Mereka sering melihat sendiri pertempuran antara pasukan Kerajaan
Aqnetta dengan sekelompok orang yang bukan lagi tampak seperti latihan
perang tetapi perang sungguhan. Mereka juga telah sering melihat korban
berjatuhan.
Untung Kakyu sempat mengganti pakaian seragamnya dengan pakaian
biasa sebelum ia ke Farreway.
Bila Kakyu masih mengenakan pakaian seragamnya, pasti banyak orang
yang semakin curiga. Dan banyak pula yang bertanya macam-macam
kepadanya.
“Selamat datang, Tuan,” sapat pemilik toko ketika Kakyu tiba, “Ada yang
dapat saya bantu, Tuan?”
Kakyu lega pria itu tidak mengenalnya walau sekitar satu tahun yang lalu
ia pernah membeli sejumlah perlengkapan mendadak di sini.
“Saya membutuhkan beberapa helai kertas dan pena.”
114
Pemilik toko itu segera mengambilkan apa yang diminta Kakyu.
Seperti tahun lalu, sambil menghitung barang, pria itu bertanya, “Untuk
apa barang-barang ini, Tuan?”
Kakyu tidak perlu menjawab karena seorang wanita yang juga ada di
sana menggantikannya menjawab pertanyaan itu.
“Untuk menulis surat,” kata wanita itu sambil menatap lekat-lekat wajah
Kakyu, “Kalau tidak untuk apa lagi?”
Tanpa banyak berbicara, Kakyu membayar barang-barang yang dibelinya
sambil berkata, “Terima kasih.”
Kakyu meninggalkan pemilik toko yang berbincang-bincang dengan
wanita tadi.
Seperti keberangkatannya, Kakyu tidak terburu-buru ketika kembali ke
benteng.
Dengan tenang, Kakyu mengembalikan kuda itu ke tempatnya semula
yaitu di bagian belakang benteng.
Kemudian ia kembali ke tendanya.
Pasukan yang melihat kepergian Kakyu, tidak bertanya apapun padanya.
Mereka tidak memikirkan yang lain selain Kirshcaverish. Semua khawatir
Kirshcaverish akan menyerang sewaktu-waktu.
Kakyu tidak mendengar suara apapun dari Tenda Perundingan ketika ia
melewati tempat itu.
Kakyu segera menuju tenda Joannie. Ia yakin kakaknya itu tahu ke mana
perginya para Jenderal itu dan Pangeran.
“Kakyu!” Joannie terlihat sangat lega ketika melihat adiknya, “Ke mana
saja engkau?”
“Mengawasi keadaan,” kata Kakyu singkat.
“Engkau sudah tahu, Kakyu?” tanya Joannie, “Papa dan para Jenderal
lainnya merencanakan untuk menyerbu Kirshcaverish besok lusa. Besok
mereka akan mempersiapkan pasukan dan mematangkan rencana yang
mereka susun hari ini. Lalu esok lusa pagi-pagi sekali mereka akan berangkat
ke dalam Hutan Naullie.”
Joannie mengenggam kedua tangan Kakyu erat-erat.
“Aku sangat cemas, Kakyu,” katanya cemas, “Aku tidak ingin terjadi
sesuatu pada Papa.”
“Tenanglah, Joannie,” Kakyu menenangkan kakaknya. “Engkau tahu di
mana Pangeran?”
“Aku tidak tahu,” kata Joannie, “Ada apa, Kakyu?”
“Tidak ada apa-apa,” kata Kakyu, “Aku hanya ingin menanyakan rencana
penyerbuan ini kepadanya.”
“Mungkin ia ada di tendanya,” kata Joannie, “Kata Papa setelah
perundingan itu selesai, semua Jenderal kembali ke tenda masing-masing
115
untuk menyiapkan tugas yang mereka terima.”
“Aku sangat khawatir, Kakyu.” Kembali Joannie mengatakan
kekhawatirannya.
Kakyu tahu kakaknya benar-benar mengkhawatirkan ayah mereka.
“Jangan khawatir, Joannie,” hibur Kakyu, “Sekarang biarkan aku menemui
Pangeran.”
Joannie melepaskan tangan Kakyu dan membiarkan pemuda itu pergi.
Kakyu bergegas menuju tenda Pangeran Reinald yang berada di antara
tenda Jenderal lainnya.
“Engkau sudah gila, Adna?”
Kakyu yang mendengarnya, memutuskan untuk pergi. Tetapi ia segera
mengubah keputusannya ketika ia mendengar suara yang sama berkata,
“Mengapa engkau membelanya?”
Kakyu bukan seorang gadis yang senang mendengarkan pembicaraan
orang, tetapi pembicaraan itu membuatnya tertarik.
“Maafkan kelancangan saya, Pangeran. Tetapi apa yang saya katakan itu
benar.”
“Aku tahu engkau ingin membela adik wanita yang kaucintai itu tetapi
aku tidak dapat menerima pembelaanmu itu.”
“Seperti yang telah saya katakan, Pangeran, Perwira Kakyu bukan
seorang mata-mata. Kalau ia mata-mata, setahun yang lalu, ia tidak akan
melaporkan keberadaan Kirshcaverish kepada Raja Alfonso. Ia juga akan
membiarkan Halberd membunuh Raja Alfonso. Tetapi Perwira Kakyu tidak
melakukannya. Malahan Perwira memimpin sekelompok pasukan untuk
menangkap dua kawanan pemberontak itu.”
“Apakah engkau tidak pernah memikirkan kejanggalan yang ada pada
dirinya, Adna?” tanya Pangeran.
“Kejanggalan apa, Pangeran?”
“Ia terlalu muda untuk menjadi Kepala Keamanan Istana,” jawab
Pangeran, “Dan, ia terlalu ceroboh untuk pekerjaan sepenting itu.”
“Masuknya mata-mata itu sepenuhnya bukan karena kesalahannya,
Pangeran,” Adna membela Kakyu, “Lagipula Perwira telah menebus
kesalahannya dengan bertindak cepat justru di saat kita semua kebigungan
menghadapi mata-mata yang menyandera Lady Joannie.”
“Tidakkah engkau pernah berpikir mengapa semudah ini ia dapat
menjadi Perwira?”
“Karena ia seorang prajurit tangguh, Pangeran,” kata Adna, “Dan ia telah
menunjukkannya pada kita tadi pagi. Tadi pagi, kalau ia salah perhitungan
walau hanya sedikit, ia bisa melukai kakaknya sendiri juga pasukan lainnya,
tetapi ia tidak. Hanya orang yang benar-benar tangguh yang dapat melakukan
hal itu dengan cepat.”
116
“Ya,” Pangeran Reinald setuju, “Tetapi ia itu seorang…” Pangeran Reinald
segera berhenti sebelum ia melanggar janjinya.
“Kalau Anda ingin Perwira Kakyu mengatakan segalanya pada Anda,
mengapa kita tidak kembali ke posisi kita semula?” usul Adna.
“Itu ide yang gila, Adna,” Pangeran Reinald menyatakan
ketidaksetujuannya, “Bayangkan apa yang akan ia katakan kalau ia tahu aku
bukan Adna melainkan Pangeran Reinald yang asli. Selama aku menjadi dirimu
saja, ia tidak mau berbicara banyak apalagi kalau ia tahu siapa aku yang
sebenarnya. Ia pasti hanya berkata ‘Ya, Yang Mulia’, ‘Tidak, Yang Mulia’. Kalau
sudah demikian bagaimana aku dapat mengetahui segalanya dari dia?”
Tidak ada yang dapat dilakukan Adna selain mengangkat bahunya.
“Terserah Anda, Pangeran. Saya hanya dapat menuruti perintah Anda,
Pangeran.”
Kakyu tertegun mendengar pembicaraan itu.
Pemuda yang selama ini dikenalnya sebagai Adna ternyata Pangeran
Reinald yang sesungguhnya. Sedangkan Pangeran Reinald yang selama ini
adalah Adna yang sesungguhnya.
Keadaan Kakyu dan Pangeran Reinald yang asli sekarang seri. Kakyu
mengetahui rahasia Pangeran Reinald dan Pangeran Reinald mengetahui
rahasia Kakyu.
Perlahan-lahan Kakyu meninggalkan tempat persembunyiannya.
Untunglah tidak ada orang yang tampak di sekitar tenda Pangeran. Para
Jenderal sepertinya juga tidak ada di sana.
Sekarang tidak ada lagi yang dapat diharapkan Kakyu.
Adna yang saat ini mereka kenal sebagai Pangeran Reinald, tentu tidak
dapat berbuat apa-apa kalau Pangeran yang asli tidak mau menerima usulnya.
Kakyu kambali ke tendanya sebelum menemui Joannie.
“Apa yang kaudapatkan, Kakyu?” tanya Joannie begitu melihat adiknya
datang.
Kakyu hanya memandang wajah cantik Joannie tanpa mengatakan apa-
apa.
Melihat wajah cantik itu, Kakyu memikirkan apa yang akan dilakukan
kakaknya kalau mengetahui pemuda yang dicintainya membohonginya.
“Joannie, bagaimana kalau Pangeran Reinald bukan Pangeran yang asli?”
tanyanya perlahan.
Joannie tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan Kakyu. “Apa yang
kaumaksudkan?”
“Tidak ada,” Kakyu cepat-cepat berdalih, “Aku membutuhkan
bantuanmu.”
“Katakan saja, Kakyu.”
Kakyu mengambil bingkisan yang beberapa saat lalu dititipkannya pada
117
Joannie.
Joannie menjadi cemas melihat adiknya mengambil bingkisan yang berisi
perlengkapan ninja itu. Baru saat itulah Joannie menyadari adiknya membawa
busur panahnya. “Engkau ingin melakukan apa, Kakyu?”
“Mencegah sesuatu yang buruk terjadi pada Papa,” kata Kakyu tenang
sambil mengeluarkan kertas dan pena dari sakunya.
“Engkau membahayakan dirimu sendiri, Kakyu,” kata Joannie cemas,
“Apa yang harus kukatakan kalau Papa mencarimu.”
“Karena itu aku perlu bantuanmu.”
Kakyu mengganti bajunya dengan pakaian ninjanya yang serba hitam.
Dan melengkapi diri dengan topeng ninja serta busur dan anak panahnya di
punggung.
Kakyu menyanggah buntelan perlengkapan lainnya itu dengan pedang
ninjanya yang disebut ninjaken itu.
Melihat adiknya memanggul barangnya dengan pedang di tangan kiri
dan busur panah disandang di punggung, Joannie berkata, “Engkau tampak
seperti seorang pemburu, Kakyu.”
“Itu yang akan kulakukan,” kata Kakyu sambil membetulkan letak anak
panah di punggungnya.
“Apa yang kaumaksudkan?” tanya Joannie kaget, “Apa yang harus
kukatakan pada Papa kalau ia mencarimu?”
“Katakan aku pergi sebentar,” kata Kakyu, “Jangan katakan apapun
selain itu.”
“Kalau ia bertanya ke mana pergimu?”
“Katakan engkau tidak tahu.”
“Jangan kaulakukan itu, Kakyu,” cegah Joannie.
Kakyu menggelengkan kepalanya. “Aku harus.”
“Kumohon, Kakyu,” Joannie memohon, “Jangan pergi. Jangan
membahayakan dirimu sendiri.”
Kakyu tetap tidak terpengaruh oleh bujukan itu.
“Ingat, Joannie,” Kakyu mengingatkan, “Jangan katakan yang sebenarnya
pada siapapun termasuk Pangeran kalau engkau ingin Papa selamat.”
“Tapi, Kakyu.”
Kakyu menggelengkan kepalanya dengan tegas.
“Selamat tinggal, Joannie.”
“Kakyu!”
Percuma saja Joannie mencoba mencegah adiknya.
Kakyu telah melesat pergi sebelum Joannie sempat mencegahnya.
Suasana di luar yang masih penuh kewaspadaan kepada situasi di Hutan
Naullie, menguntungkan Kakyu.
Hampir semua prajurit sibuk memandang Hutan Naullie. Tidak
118
seorangpun yang melihat kepergian Kakyu yang dengan mengendap-endap
seperti pencuri itu.
Joanniepun tidak dapat melihat adiknya lagi setelah pemuda itu
meninggalkan tendanya. Joannie tidak tahu harus berbuat apa.
Mungkin satu-satunya yang dapat dilakukannya hanya menuruti apa kata
adiknya itu walau hatinya terus bergejolak cemas.
Entah apa yang akan dikatakan ayah mereka kalau ia tahu Kakyu yang
paling dibanggakannya justru pergi sehari sebelum penyerbuan itu.
Yang pasti ayahnya tidak akan senang mendengar kepergian Kakyu yang
diam-diam itu. Joannie tidak dapat membayangkannya. Tetapi ia harus
menghadapinya.
Setelah kepergian Kakyu, Joannie masih dapat bernapas lega. Semua
orang masih sibuk dengan rencana penyerbuan mereka dan tidak seorangpun
yang mencari mereka. Tetapi tidak keesokan paginya.
Pagi-pagi Jenderal Reyn mencari Kakyu yang menghilang. Setelah
mencari ke sana kemari, tetapi tetap tidak menemukan Kakyu, Jenderal Reyn
menuju Tenda Perawatan tempat Joannie berada.
“Joannie, engkau melihat Kakyu?” tanyanya begitu melihat putri
tertuanya.
Joannie terlihat ragu-ragu sebelum berkata, “Ia pergi, Papa.”
“Pergi?” ulang Jenderal Reyn, “Pergi ke mana?”
“Aku…,” Joannie ragu-ragu tapi ia tetap melakukan apa yang diminta
Kakyu, “Aku tidak tahu, Papa.”
“Ke mana perginya anak satu itu?” kata Jenderal Reyn heran, “Mengapa
ia pergi justru saat kuperlukan seperti ini?”
“Ia pasti akan segera kembali, Papa.”
“Ia pasti memberitahu kelompoknya tentang rencana kita ini,” kata Adna.
Joannie menatap tajam wajah Adna. “Tidak! Ia tidak melakukan itu. Ia…”
Hampir saja Joannie melanggar permintaan Kakyu.
“Ia apa? Ia menemui Kirshcaverish?” Adna tidak berhenti mengutarakan
kecurigaannya.
“Tidak!” bantah Joannie.
“Tenanglah,” kata Pangeran, “Katakan kepada kami ke mana perginya
Kakyu.”
“Ia pergi ke Farreway untuk mencari informasi tentang Kirshcaverish dari
penduduk,” Joannie meyakinkan Adna tanpa melanggar permintan Kakyu.
“Kalau begitu ia pasti akan segera muncul,” kata Pangeran Reinald.
“Engkau membutuhkannya untuk apa, Reyn?” tanya Pangeran Reinald
ingin tahu.
“Saya ingin memintanya menerangkan keadaan Hutan Naullie,” jawab
Jenderal Reyn.
119
“Ya, ia pasti tahu persis setiap sudut Hutan Naullie.”
“Kalau benar kenapa?” tantang Joannie yang semakin jengkel mendengar
tuduhan yang dilontarkan Adna kepada adiknya.
“Ia pasti mata-mata Kirshcaverish,” kata Adna santai.
“Salah,” bantah Joannie, “Kakyu tahu setiap sudut hutan ini karena ia
sering ke sini.”
“Kalau begitu dugaanku tidak salah,” kata Adna, “Sebelum masuk Istana,
ia telah mengetahui keberadaan Kirshcaverish,”
Joannie bertindak bodoh. Ia membuat keyakinan Adna semakin kuat yang
kemudian berakibat kepercayaan para Jenderal kepada Kakyu menjadi goyah.
Beberapa di antara mereka yang sangat mengenali Kakyu, tidak
mempercayai kecurigaan Adna itu tetapi yang belum lama mengenal Kakyu
memihak Adna.
Gejolak itu kemudian berakibat lebih buruk.
Jenderal Reyn yang sangat mempercayai putranya terus membela Kakyu.
Joannie juga demikian.
Pangeran saat ini yang bukan Pangeran asli, tidak tahu harus memihak
siapa.
Sementara Pangeran yang asli menuduh Kakyu mata-mata, ia tidak
mungkin dapat memihak Joannie walau ia juga yakin pemuda itu tidak akan
mengkhianati negaranya sendiri.
Joannie tidak tahu apakah ia harus mengatakan yang sebenarnya kepada
mereka untuk menghapus kecurigaan mereka terhadap Kakyu ataukah ia tetap
berpegang pada janjinya.
Teringat Kakyu yang dengan keras melarangnya mengatakan apapun
kepada orang lain tentang kepergiannya juga mengenai seni membunuh yang
dipelajarinya dari Kenichi, Joannie menguatkan hati untuk tidak mengatakan
hal itu.
Lagipula tidak akan ada yang percaya kalau Joannie mengatakan sejak
kecil Kakyu sering ke Hutan Naullie untuk dilatih Kenichi menjadi seorang ninja
yang hebat.
Kakyu benar tidak akan ada yang percaya kepadanya. Seni membunuh
rahasia itu tidak dikenal di Kerajaan Aqnetta.
Keluarga Quentynna pun baru tahu saat Kenichi mengatakan seni ninjitsu
itu.
Dengan tidak adanya barang yang dapat membuat mereka percaya
Kakyu belajar seni membunuh rahasia Jepang itu, Joannie hanya akan
memperburuk keadaan yang sudah buruk ini.
Karena kecerobohannya, Joannie membuat penyerangan ditunda.
Seluruh Jenderal kembali sibuk menyiapkan rencana penyerangan baru
mereka.
120
Sementara itu para prajurit yang mendengar kecurigaan itu, juga
terpisah menjadi dua. Antara yang percaya pada Kakyu dan tidak.
Joannie tidak tahu justru itulah yang diharapkan Kakyu untuk saat ini.
Dengan mengendap-endap, Kakyu mendekati markas Kirshcaverish.
Kakyu lega melihat markas mereka belum pindah.
Walau kedua teman mereka telah tertangkap sejak setahun yang lalu,
Kirshcaverish sepertinya tidak khawatir markas mereka akan ketahuan.
Keadaan di dalam markas itu sendiri tidak berubah dari yang dulu. Keadaan itu
semakin menguntungkan Kakyu. Dan Kirshcaverish tidak mengetahuinya.
Dengan kelincahannya, Kakyu melompat ke sebatang pohon tinggi di
dekat markas Kirshcaverish dan mulai mengeluarkan perlengkapannya.
Sejak meninggalkan benteng, Kakyu terus menyusuri setiap jalan di
Hutan Naullie hingga menuju markas Kirshcaverish.
Seperti dugaan Kakyu, Kirshcaverish memasang banyak ranjau darat di
sekitar tepi Hutan Naullie.
Untung saja Kakyu seorang ninja. Kalau tidak ia pasti sudah mati
sebelum mencapai markas Kirshcaverish.
Kakyu kembali menggambar peta dari tepi hutan hingga ke markas
Kirshcaverish.
Itulah yang dilakukan Kakyu sejak meninggalkan benteng.
Di saat hari gelap, Kakyu memeriksa setiap sudut Hutan Naullie dengan
teliti dan menandai tempat yang berbahaya di peta buatannya.
Di saat matahari menyinari bumi, Kakyu terus menggambar peta dengan
teliti.
Sesekali Kakyu memeriksa kembali petanya sebelum berpindah ke
tempat yang lain.
Sudah dua hari lamanya Kakyu berada di dalam Hutan Naullie, tetapi ia
tidak melihat tanda-tanda pasukan Kerajaan Aqnetta akan menyerang.
Kakyu tahu ia berhasil memanfaatkan kecurigaan Adna kepada dirinya
untuk menghambat penyerangan mereka.
Kemungkinan besar, saat ini para Jenderal tengah menyusun rencana
baru.
Dan Kakyu dapat menyelesaikan pembuatan petanya dengan cepat
namun tetap dengan teliti.
Dengan adanya peta yang menuntun pasukan Kerajaan Aqnetta langsung
ke markas Kirshcaverish, Kakyu yakin tidak akan banyak korban yang
berjatuhan di pihak Kerajaan.
Di hari kedua ini, penggambaran peta Kakyu telah sampai pada markas
Kirshcaverish di lembah sungai.
Semakin mendekati markas Kirshcaverish, semakin sedikit bahaya yang
ada. Baik itu dari alam sendiri maupun bahaya yang memang disiapkan oleh
121
Kirshcaverish. Bahkan di sekitar markas Kirshcaverish, suasana benar-benar
aman.
Kirshcaverish yang terlindung di balik perkemahan mereka yang hanya
dilindungi pagar kayu, tidak akan menduga seandainya pasukan Kerajaan
Aqnetta tiba-tiba muncul dari antara semak-semak yang tinggi.
Mereka tampak sangat santai di dalam sana.
Tidak mengherankan melihatnya.
Kirshcaverish sangat yakin pasukan Kerajaan Aqnetta tidak akan dapat
mencapai mereka. Pasukan Kerajaan Aqnetta sudah hancur terlebih dulu oleh
jebakan mereka sebelum mencapai markas mereka. Sekarang Kirshcaverish
tidak akan dapat bersantai-santai seperti itu.
Tetapi mereka tidak akan tahu seorang ninja wanita telah mengetahui
markas mereka dan tengah menggambar jalan teraman dan tercepat menuju
markas mereka untuk pasukan Kerajaan Aqnetta.
Khusus untuk daerah sekitar markas, Kakyu menggambar lebih teliti.
Setiap semak belukar tinggi digambarkannya dengan teliti dengan
harapan para Jenderal yang menerima peta itu akan memanfaatkan semak
yang tinggi itu.
Di sekitar tepi Hutan Naullie, Kakyu menggambarkan tempat setiap
ranjau dengan teliti. Tetapi Kakyu tidak mengeluarkannya dari dalam tanah.
Kakyu tidak ingin Kirshcaverish tahu seseorang telah memasuki Hutan
Naullie.
Dengan teliti, Kakyu menghabiskan siangnya di atas pohon dekat
perkemahan Kirshcaverish untuk menggambar situasi sekitar markas
Kirshcaverish.
Dari atas pohon, Kakyu dapat melihat setiap tenda dalam perkemahan
Kirshcaverish, dan ia dapat menggambarkannya dengan teliti. Tetapi Kakyu
tidak melakukannya.
Peta yang menggambarkan keadaan di dalam markas Kirshcaverish
dengan teliti bukannya menghilangkan kecurigaan Adna kepadanya melainkan
akan memperkuatnya.
Peta yang menggambarkan jalan ke markas itu saja, mungkin masih
diragukan kebenarannya oleh mereka. Apalagi peta markas Kirshcaverish
sendiri.
Bisa-bisa yang terjadi para Jenderal akan mengabaikan peta itu dan
semakin menganggapnya mata-mata Kirshcaverish.
Cukup Kakyu sendiri yang mengetahui seluk beluk markas Kirshcaverish.
Setelah menyelesaikan bagian terakhir dari petanya, Kakyu menunggu
hari gelap di atas pohon.
Sambil menanti matahari terbenar, Kakyu beristirahat.
Sejak meninggalkan benteng, Kakyu tidak berhenti menggambar. Kini ia
122
merasa sangat lelah dan memutuskan untuk beristirahat.
Begitu langit gelap, Kakyu segera turun. Dan dengan mengendap-endap,
ia memasuki markas Kirshcaverish.
Sekarang Kakyu mempunyai persiapan cukup untuk memasuki markas
Kirshcaverish. Dan bila ketahuan, ia dapat meloloskan diri dengan mudah.
Pertama-tama Kakyu memeriksa tenda penyimpanan senjata
Kirshcaverish.
Kakyu terkejut melihat jumlah senjata di sana berkali lipat dari yang
dilihatnya setahun lalu. Entah dari mana Kirshcaverish mendapatkan senjata
itu. Yang pasti bukan dari dalam Kerajaan Aqnetta.
Sejak setahun yang lalu Jenderal Erin telah mengawasi setiap sudut tepi
Hutan Naullie dan tidak pernah ada seorangpun dari dalam Hutan Naullie yang
terlihat keluar dari Hutan Naullie.
Kemungkinan besar Kirshcaverish mendapatkan senjata itu dari negara
tetangga mereka.
Pegunungan Alpina Dinaria merupakan perbatasan sebelah barat
Kerajaan Aqnetta. Sebagai perbatasan, hanya Pegunungan Alpina Dinaria yang
tidak dijaga.
Keadaan di dalam Hutan Naullielah penyebabnya.
Dan Kirshcaverish memanfaatkan keadaan itu.
Kakyu menyesal menyadari kecerobohannya.
Dulu ia pikir dengan adanya sejumlah pasukan Kerajaan Aqnetta di
sekitar Hutan Naullie, Kirshcaverish tidak akan berkembang tetapi ia
melupakan negara tetangga mereka.
Ini berarti walaupun pasukan Kerajaan Aqnetta dapat mencapai tempat
ini, bukan berarti mereka akan dapat menghancurkan Kirshcaverish dengan
mudah.
Kakyu yang tidak ingin jatuh banyak korban, harus melakukan sesuatu
untuk mencegahnya.
Memang tidak sekarang tetapi Kakyu pasti akan melakukan sesuatu
sebelum pasukan Kerajaan Aqnetta tiba di lembah sungai ini.
Tetap dengan hati-hati, Kakyu memeriksa setiap sudut tenda.
Ketika hampir mencapai tenda terbesar di perkemahan Kirshcaverish,
Kakyu melihat dua orang sedang berjalan ke arahnya.
Kakyu cepat-cepat bersembunyi di balik tenda yang gelap.
“Menurutmu apakah Bleriot akan berhasil menguasai kerajaan ini?” tanya
seorang pria.
“Aku yakin,” kata pria yang lain, “Pemimpin kita itu sangat cerdik. Ia pasti
dengan mudah mengalahkan mereka.”
“Tetapi pasukan Kerajaan Aqnetta yang baru datang jumlahnya sangat
banyak.”
123
“Mengapa engkau ragu-ragu seperti itu?” kata pria yang lain, “Kita telah
mengirimkan Geinn ke sana. Aku yakin ia pasti dapat mengetahui kelemahan
pasukan Kerajaan Aqnetta.”
“Mengapa ia belum kembali? Biasanya ia sudah kembali.”
“Geinn mata-mata terbaik kita. Ia tidak mungkin tertangkap,” pria itu
meyakinkan temannya, “Ia pasti sedang mencari kelemahan pasukan Kerajaan
Aqnetta mungkin juga mencari cara untuk menghancurkan Istana Vezuza.”
“Engkau benar,” pria yang lain setuju, “Bayangkan kalau kita berhasil
menguasai kerajaan ini. Kita bukan hanya akan makmur tetapi kita dapat hidup
enak. Pemimpin kita pasti akan memberi hadiah besar kepada kita kalau kita
berhasil.”
“Pasti, Bleriot telah menjanjikannya kepada kita.”
Kakyu tetap diam di tempatnya walau kedua pria itu telah berlalu.
Sekarang Kakyu tahu siapa pemimpin mereka.
Bleriot!
Kakyu pernah mendengar nama itu. Setahu Kakyu, Bleriot yang menjadi
Kepala Keamanan Istana sebelum Jenderal Erin, pernah mempunyai masalah
dengan Raja Alfonso.
Jenderal itu sering membantah perintah Raja sehingga membuat Raja
murka. Jenderal Bleriot juga sering meninggalkan tugasnya tanpa
sepengetahuan Raja.
Gara-gara kecerobohannya pula, keselamatan penghuni Istana pernah
terancam.
Ketika melihat sekelompok orang yang mencurigakan memasuki Istana
Vezuza, Jenderal itu sama sekali tidak bertindak apa-apa.
Untung saja Jenderal Erin yang saat itu menjadi wakil Jenderal Bleriot
segera bertindak.
Akibatnya, Jenderal Bleriot dipecat dari jabatannya dan Jenderal Erin
diangkat untuk menggantikannya.
Rupanya sejak awal mula Jenderal yang haus kekuasaan itu ingin
mengambil alih kekuasaan Kerajaan Aqnetta.
Ketika diangkat menjadi Raja, Jenderal Bleriot telah menjabat sebagai
Kepala Kemanan Istana.
Jenderal tua itu memang mempunyai reputasi bagus di medan
pertempuran tetapi ia mempunyai segudang reputasi buruk di kalangan
masyarakat.
Kalau bukan karena ketangguhannya, Jenderal yang tidak disukai banyak
orang itu takkan pernah menjadi Kepala Kemanan Istana.
Setelah dipecat, tidak terdengar kabar berita lagi dari Jenderal Bleriot.
Dan pasti tidak seorangpun mengira Jenderal Bleriot yang mengincar
kekuasaan tertinggi di Kerajaan Aqnetta itu mengumpulkan sejumlah orang
124
dan merencanakan pemberontakan.
Setelah mengetahui segala sesuatunya tentang markas Kirshcaverish,
Kakyu meninggalkan tempat itu.
Kakyu tidak mengulur waktu lagi.
Saat ini para Jenderal mungkin sudah siap menyerang Hutan Naullie. Dan
Kakyu tidak ingin mereka memasuki Hutan Naullie sebelum mereka mendapat
peta yang telah dibuatnya.

125
10

Ketika tiba di benteng, Kakyu melihat tenda ayahnya terang.


Dengan mengendap-endap, Kakyu memasuki tenda ayahnya.
Jenderal Reyn sangat terkejut melihat bayangan hitan memasuki
tendanya dengan cepat.
Kakyu cepat-cepat melepas topengnya sambil berkata, “Ini aku, Papa.”
“Ke mana saja engkau?” selidik Jenderal Reyn. “Tidak tahukan engkau
apa yang kautimbulkan dengan kepergianmu itu? Semua orang sekarang
mencurigaimu sebagai mata-mata Kirshcaverish.”
“Aku tahu, Papa,” kata Kakyu, “Aku baru saja dari Hutan Naullie.”
“Hutan Naullie!?” Jenderal terkejut mendengarnya, “Apa yang kaulakukan
di sana?”
“Aku berhasil mengetahui letak markas mereka dan aku telah
menggambarkan jalan ke sana,” kata Kakyu sambil menyerahkan peta
buatannya.
Jenderal Reyn memeriksa peta itu dengan teliti. Kemudian menatap
putrinya dengan curiga.
“Percayalah, Papa,” kata Kakyu, “Aku bukan seorang dari mereka. Aku
menelusuri sendiri setiap sudut Hutan Naullie sebelum aku
menggambarkannya.”
“Aku percaya padamu, Kakyu,” kata Jenderal Reyn, “Baru kali ini aku
merasakan ajaran yang diberikan Kenichi padamu bermanfaat.”
“Papa, engkau tahu Bleriot?”
“Bleriot?” kata Jenderal Reyn, “Tentu saja aku tahu. Ia seorang Jenderal
tua yang buruk. Mengapa engkau tiba-tiba menanyakannya?”
“Ialah pemimpin Kirshcaverish,” kata Kakyu.
“APA!!?” Jenderal Reyn tidak percaya.
“Ketika berada di sana, aku mendengar seseorang menyebut Bleriot
sebagai pemimpin mereka,” kata Kakyu menjelaskan.
“Jadi, selama ini ialah dalang pemberontakan ini,” Jenderal Reyn
merenung, “Pantas saja kita selalu kesulitan menghadapi Kirshcaverish.”
“Mereka memasang banyak ranjau darat di sekitar tepi Hutan Naullie,”
kata Kakyu, “Tetapi aku tidak mengeluarkannya. Aku hanya
menggambarkannya dalam peta.”
Jenderal Reyn mengamati sejumlah tanda silang di peta sekitar tepi
Hutan Naullie.
Jenderal Reyn mengangguk melihatnya.
126
“Aku juga telah menggambarkan semak-semak sekitar markas mereka
yang cukup tinggi untuk tempat persembunyian mereka.”
Sekali lagi Jenderal Reyn hanya mengangguk berulang kali sambil
mengamati peta buatan Kakyu.
“Aku akan memberitahu Jenderal Decker,” kata Jenderal Reyn.
“Aku ikut,” kata Kakyu.
“Tidak!” larang Jenderal Reyn, “Engkau sebaiknya tetap di sini hingga
Jenderal lainnya percaya engkau bukan mata-mata mereka.”
“Bukankah lebih baik aku menemui Jenderal Decker dan menjelaskan
masalah yang sebenarnya?”
“Apa lagi yang akan kaujelaskan padanya?” tanya Jenderal Reyn, “Joannie
telah memperburuk keadaan dengan mengatakan engkau sering keluar masuk
Hutan Naullie.”
“Joannie mengatakannya?” Kakyu tidak percaya.
“Ya, dan ia membuat Adna semakin mencurigaimu.”
“Aku akan menjelaskannya pada Jenderal Decker.”
“Ia tidak akan mempercayaimu, Kakyu.”
“Setidaknya aku telah mengatakan masalah yang sebenarnya
kepadanya,” kata Kakyu, “Aku yakin Jenderal Decker akan mempercayaiku.
Lagipula apa yang akan Papa katakan kalau Jenderal Decker bertanya dari
mana asal peta itu?”
Jenderal Reyn terdiam karenanya. “Terserah engkau,” katanya mengalah.
“Sebaiknya Papa pergi dulu, aku akan menyusul,” kata Kakyu sambil
menyelinap keluar.
Sebelum menemui Jenderal Decker, Kakyu menyempatkan diri untuk
menemui Joannie.
Joannie sangat senang melihat adiknya muncul.
“Aku mencemaskanmu, Kakyu,” kata Joannie sambil memeluk Kakyu erat-
erat.
“Bagaimana keadaanmu, Joannie?”
“Buruk sejak engkau pergi,” kata Joannie, “Aku terus menerus
mengkhawatirkanmu. Dan semua orang di sini mencurigaimu sebagai mata-
mata Kirshcaverish.”
“Jangan khawatir, Joannie,” kata Kakyu, “Mereka akan mengubah
pendapat mereka setelah ini.”
“Apa yang akan kaulakukan, Kakyu?” tanya Joannie curiga.
“Aku akan menemui Jenderal Decker.”
“Kakyu!”
Lagi-lagi Kakyu telah pergi sebelum Joannie sempat mencegahnya.
Jenderal Reyn telah berada di tenda Jenderal Decker ketika Kakyu tiba.
Seperti Jenderal Reyn, Jenderal Decker juga terkejut ketika bayangan
127
hitam tiba-tiba memasuki tendanya dengan cepat.
“Selamat malam, Jenderal Decker,” sapa Kakyu.
“Selamat malam, Kakyu,” kata Jenderal Decker, “Kata ayahmu engkau
baru saja menyelidiki Kirshcaverish di dalam hutan dan mendapatkan posisi
mereka.”
Kakyu mengangguk.
“Saya tahu semua orang mencurigai saya dan kedatangan saya di sini
hanya untuk menjelaskan apa yang dikatakan kakak saya, Jenderal.”
“Aku mempercayaimu, Kakyu,” Jenderal Decker meyakinkan Kakyu.
“Sejak kecil saya memang sering keluar masuk Hutan Naullie, tetapi
bukan untuk berhubungan dengan Jenderal Bleriot.”
“Bleriot?” tanya Jenderal Decker.
“Kata Kakyu, ialah pemimpin Kirshcaverish.”
Jenderal Decker termenung. “Pasti ia yang dulu merencanakan masuknya
sekelompok orang ke dalam Istana,” katanya tiba-tiba.
“Aku juga berpikir begitu,” kata Jenderal Reyn, “Ia tidak mungkin
membiarkan sekelompok orang bersenjata memasuki Istana kalau bukan ia
yang merencanakannya.”
“Saya berharap Anda mempercayai peta yang saya buat itu, Jenderal
Decker,” kata Kakyu, “Saya tidak pernah berhubungan dengan Kirshcaverish
walau saya sering keluar masuk Hutan Naullie. Selama bertahun-tahun saya
keluar masuk hutan, saya tidak pernah melihat adanya orang yang tinggal di
sana. Baru sekitar setahun yang lalu, saya melihat mereka. Saya dan Kenichi
tidak pernah melihat adanya kehidupan manusia di dalam Hutan Naullie
sebelumnya.”
“Kenichi?” tanya Jenderal Decker ingin tahu.
Jenderal Reyn membiarkan putrinya menjelaskan sendiri masalah yang
sebenarnya.
“Ia adalah guru saya,” kata Kakyu, “Ia sering mengajak saya ke Hutan
Naullie untuk menurunkan ilmunya kepada saya.”
“Ilmu apa?” Jenderal Decker semakin ingin tahu.
“Seni membunuh rahasia dari Jepang, nin-jitsu,” jawab Jenderal Reyn.
“Apa itu?” tanya Jenderal Decker, “Aku tidak pernah mendengarnya.”
“Aku juga baru mendengarnya saat Kenichi mengatakannya,” kata
Jenderal Reyn, “Tetapi ilmu itu benar-benar luar biasa. Siapapun yang
mempelajarinya bisa membunuh musuhnya tanpa meninggalkan banyak jejak.
Tetapi untuk mempelajari seluruh ilmu itu dibutuhkan waktu yang lama. Kakyu
sejak kecil telah dididik olehnya.”
“Jadi karena itu Kakyu lebih tangguh daripada pemuda lain seusianya,”
gumam Jenderal Decker.
“Saya tidak dapat berlama-lama di sini,” kata Kakyu sambil mengenakan
128
kembali topengnya.
“Engkau mau ke mana lagi?” tanya Jenderal Reyn.
“Menyelesaikan tugas akhirku,” kata Kakyu.
Kakyu segera meninggalkan tenda Jenderal Decker sebelum seorang di
antara mereka sempat mencegahnya.
Ketika Jenderal Decker dan Jenderal Reyn mengejar Kakyu, mereka hanya
bisa terperangah melihat tidak tampakya bayangan Kakyu di sekitar tempat
itu. Mereka juga tidak bisa menemukan Kakyu di sekitar tenda.
“Nin-jitsu memang benar-benar...,” Jenderal Decker tidak dapat
mengutarakan kekagumannya.
“Tak heran ia bisa masuk Kirshcaverish seorang diri,” Jeneral Reyn
sependapat.
“Benar-benar luar biasa!”
Tetap dengan mengendap-endap, Kakyu menuju tenda tempat Geinn
disekap.
Kakyu segera menyelinap ke belakang tenda itu sebelum prajurit yang
menjaga pintu tenda melihatnya.
“Geinn!”
Pria di dalam tenda itu terkejut mendengarnya. Dengan berbisik pula ia
berkata, “Siapa itu?”
“Aku disuruh oleh Bleriot untuk mendapatkan informasi yang berhasil
kaudapatkan,” kata Kakyu.
“Tuan Bleriot,” Geinn terdengar senang mendengarnya.
“Tetapi sebelumnya, ia ingin engkau menyebutkan kata sandimu,” kata
Kakyu yang telah melihat setiap orang yang ingin memasuki markas
Kirshcaverish, ditanyai kata sandi mereka oleh pria yang mengawasi sekitar
pintu masuk.
“Tentu,” kata Geinn tanpa curiga.
Geinn segera menyebutkan kata sandinya kepada Kakyu. Tanpa curiga
sedikitpun, pria itu mengatakan pula hasil yang telah didapatkannya.
“Aku akan memberitahu Bleriot secepat mungkin,” kata Kakyu, “Ia pasti
akan segera mengirimkan orang untuk melepaskanmu.”
“Katakan pada Tuan Bleriot, aku tidak mengatakan apapun tentang kita
kepada mereka.”
“Tentu,” kata Kakyu sambil tersenyum.
Kakyu segera meninggalkan tenda itu dan kembali ke dalam Hutan
Naullie.
Untung saja Geinn tidak sempat kembali ke markasnya setelah berhasil
memata-matai mereka.
Seperti yang dikatakan pria anggota Kirshcaverish itu, Geinn memang
mata-mata yang tangguh.
129
Geinn mengetahui jumlah seluruh pasukan Kerajaan Aqnetta. Ia juga
mengatakan kepada Kakyu tentang kekuatan benteng pasukan Kerajaan
lengkap dengan menara-menara pengintainya yang diperkuat pasukan
pemanah. Tak lupa ia mengatakan tentang adanya Tenda Perawatan di dalam
benteng serta perawatnya yang cantik.
Geinn juga menambahkan Bleriot akan menyukai perawat itu.
Pria itu tidak sadar ia telah membuat Kakyu mengetahui kelemahan
pemimpinnya.
Rupanya Bleriot menyukai perempuan cantik, dan Kakyu bisa
memanfaatkannya untuk mengacaukan suasana di dalam markas
Kirshcaverish sebelum pasukan Kerajaan Aqnetta datang.
Begitu melihat markas Kirshcaverish di depannya, Kakyu segera
bersembunyi di antara semak-semak sebelum mencari kesempatan untuk
memasuki markas itu.
Tiba-tiba Kakyu mendengar suara dahan pohon yang patah di
belakangnya.
Kakyu segera memalingkan kepala melihatnya.
Ia terkejut melihat Adna atau Pangeran yang asli berdiri tak jauh di
belakangnya.
Melihat seorang anggota Kirshcaverish yang mengarahkan senapannya
ke arah Pangeran yang berdiri di tempat terbuka itu, Kakyu menjadi cemas.
Tanpa menanti apa-apa, Kakyu melompat ke arah Pangeran sambil
melempar shurikennya ke arah sang penembak.
“Awas!” serunya.
Akibat tindakannya yang terburu-buru itu, lengan kanan Kakyu yang
belum sembuh terkena akar pohon yang menggelantung.
Pangeran terlalu terkejut untuk menyadari suara kesakitan yang keluar
dari bibir Kakyu.
Kakyu segera bangkit dan membantu Pangeran berdiri. Kemudian ia
menariknya ke semak-semak yang tinggi.
Tak lama setelahnya, terdengar keributan di dalam markas Kirshcaverish
dan terdengar desingan senapan.
Untung saja Kakyu cepat-cepat menjauhkan Pangeran dari tempat
terbuka yang berbahaya itu.
“Pangeran bodoh,” kata Kakyu sambil menatap tajam wajah Pangeran
Reinald.
Kakyu mengeluarkan busurnya dari punggungnya kemudian menarik
sebatang panah kayu dari tempat anak panah.
Rencana Kakyu terpaksa dirubah karenanya.
Kakyu yang semula berniat mengacaukan perhatian Kirshcaverish
dengan memasuki tempat itu sebagai seorang gadis, kini tidak dapat
130
melakukannya lagi.
Pangeran Reinald pasti mengikutinya sejak tadi dan ia tidak membawa
persiapan apapun.
Memang demikianlah yang terjadi pada Pangeran Reinald itu.
Ketika keluar dari tenda pengawalnya yang untuk sementara mengaku
sebagai dirinya, Pangeran Reinald melihat bayangan hitam meninggalkan
tenda Jenderal Decker yang terang.
Pangeran Reinald yang mudah curiga, menjadi curiga karenanya.
Ia terus mengikuti pemuda yang berpakaian serba hitam itu.
Tanpa mengatakan apa-apa, ia melihat pemuda itu bercakap-cakap
dengan mata-mata Kirshcaverish yang ditawan dalam sebuah tenda yang
dijaga ketat.
Melihat busur perak yang disandang pemuda itu, Pangeran Reinald yakin
pemuda itu tak lain adalah Kakyu.
Kecurigaannya semakin memuncak dan ia memutuskan untuk mengikuti
Kakyu.
Hingga tempat persembunyian markas Kirshcaverish, Pangeran berhasil
tidak membuat Kakyu curiga. Tetapi setelahnya, ia bertindak ceroboh.
Ia ingin segera menangkap Kakyu sebelum gadis itu memasuki markas
kelompoknya, hingga ia melupakan dahan-dahan yang berserakan. Akibatnya
Kakyu menjadi tahu keberadaannya.
Melihat gadis itu menatap tajam di balik topengnya, Pangeran Reinald
menduga gadis itu akan menangkapnya. Tetapi ia salah gadis itu melompat ke
atasnya dan membuat mereka berdua terjatuh di tanah.
Kakyu mengeluarkan panah kayu khusus yang telah dibuatnya. Kakyu
menghidupkan api di ujung panah yang telah dibuat sedemikian rupa hingga
menyerupai obor.
Dengan menahan rasa sakit di lengan kanannya, dari antara dedaunan
Kakyu mengarahkan panah api itu ke tenda tempat Kirshcaverish menyimpan
senjata mereka.
Kakyu tidak berhenti dengan satu panah. Ia melakukannya berulang-
ulang walau tangannya terasa semakin sakit.
Andaikan luka di lengan Kakyu itu tidak dekat dengan pundaknya,
mungkin gadis itu tidak akan kesakitan.
Walau setiap kali menarik panah, lengan kanannya terasa sakit dan
semakin sakit tiap detiknya, Kakyu terus membidikkan panahnya ke tenda-
tenda Kirshcaverish yang penting.
Pangeran diam saja melihat gadis itu terus membidikkan panahnya. Ia
tidak tahu harus berbuat apa. Kakyu telah menyelamatkannya. Sedangkan ia
terus menuduh gadis itu sebagai mata-mata.
Pangeran mengawasi wajah Kakyu yang tampak dari topengnya. Wajah
131
itu tetap menunjukkan ketenangannya walau keadaan tiba-tiba berubah. Wajah
itu juga tidak menampakkan kecemasan.
Walaupun Kakyu lebih kuat dari gadis lain seusianya, ia tetap seorang
gadis.
Kakyu memang dapat menahan rasa sakitnya tetapi lama kelamaan, ia
kehilangan tenaganya juga. Kakyu memaksakan dirinya untuk melawan rasa
sakitnya juga kelelahannya.
Pangeran Reinald melihat tangan Kakyu gemetar ketika ia menarik panah
api yang keenam kalinya.
Pangeran Reinald sadar, ia harus membantu Kakyu.
Biar bagaimanapun kuatnya gadis itu, gadis itu pasti lelah setelah terus
menerus membidikkan panahnya dengan cepat.
“Biar aku saja,” kata Pangeran Reinald sambil mengambil panah itu dari
tangan Kakyu.
“Tidak.” Kakyu tetap mempertahankan busur itu.
“Tanganmu sudah gemetar seperti itu,” kata Pangeran Reinald sambil
menarik panah itu.
Kakyu yang sudah tidak mempunyai kekuatan, tidak dapat berbuat apa-
apa selain membiarkan Pangeran meneruskan pekerjaannya.
Melihat Pangeran Reinald juga ahli menggunakan panah, Kakyu duduk
diam.
Baru kali ini Kakyu benar-benar merasakan sakit di lengan kanannya.
Dengan tangan kirinya, Kakyu menutupi luka yang kembali mengeluarkan
darah itu.
Untung pakaian Kakyu berwarna hitam. Kalau tidak, darah yang mengalir
deras itu pasti akan membuat Pangeran Reinald tahu keadaannya.
Walaupun Kakyu duduk diam dan kesakitan, bukan berarti gadis itu
berhenti memperhatikan Kirshcaverish di depannya.
Kakyu melihat Pangeran gerakan Pangeran yang terburu-buru membuat
dedaunan yang melindungi mereka, tersikap. Sebagian oleh gerakan tangan
Pangeran, sebagian oleh api dari panah api.
Seorang penjaga menara melihat cahaya api di antara semak-semak dan
segera mengarahkan senapan ke arah itu.
Kakyu menyadari hal itu dan segera mendorong Pangeran.
Lagi-lagi Kakyu membuat mereka berdua terjatuh di tanah.
Tanpa merasa malu melihat wajah Pangeran yang sangat dekat dengan
wajahnya sendiri, Kakyu berkata lirih di antara sakitnya, “Anda sangat ceroboh,
Pangeran.”
Pangeran Reinald terkejut mendengarnya.
“Kau!?”
Kakyu mengabaikannya. “Sebaiknya kita mundur,” katanya sambil
132
bangkit perlahan-lahan.
“Bagaimana engkau tahu?” tanya Pangeran Reinald curiga.
Menyadari Pangeran tengah memperhatikan dirinya, Kakyu mencegah
tangan kirinya yang ingin menutup luka di lengan kanannya.
Dengan memaksakan diri, Kakyu mengambil busur dan anak panahnya
yang terjatuh di dekatnya.
Pangeran Reinald mengikuti gerakan Kakyu.
Ketika membantu Kakyu memungut anak panahnya, Pangeran melihat
lengan bajunya memerah.
Kakyu tidak sadar ketika mendorong Pangeran hingga terjatuh, ia
membuat baju putih Pangeran menjadi merah dengan tangannya yang
memerah oleh darah.
Pangeran terkejut melihat kemejanya memerah.
Dengan curiga, Pangeran melihat lengan kanan Kakyu yang tampak
terjuntai lemah di samping tubuhnya.
Kakyu meninggalkan tempat itu melalui pepohonan tinggi di
belakangnya.
Pepohonan itu melindunginya dari senapan Kirshcaverish, tetapi tidak
dari kecurigaan Pangeran.
Melihat tangan kiri gadis itu juga memerah, Pangeran segera mendekati
Kakyu. Tanpa mengulur waktu, ia segera menarik tangan kiri Kakyu.
“Apa yang terjadi padamu?”
Kakyu melepaskan tangannya. “Tidak ada apa-apa,” katanya tenang.
Pangeran Reinald menatap lengan kanan Kakyu yang tertutup oleh
pakaian hitam. Dengan sinar remang-remang yang menerangi hutan, Pangeran
Reinald melihat warna di sekitar lengan atas Kakyu lebih gelap daripada yang
lain.
Pangeran Reinald menarik Kakyu ke sebatang pohon besar.
“Lenganmu terluka lagi,” katanya menuduh.
“Tidak apa-apa.”
“Apanya yang tidak apa-apa?” Pangeran Reinald jengkel melihat Kakyu
tetap terlihat tenang, “Lukamu yang belum sembuh terbuka lagi, tetapi engkau
tetap tenang. Malah memaksakan diri untuk memanah.”
“Jangan khawatir,” kata Kakyu tenang.
“Apanya yang jangan khawatir?” kata Pangeran Reinald cemas, “Engkau
ini seorang gadis, Kakyu, bukan pria. Siapa yang tidak cemas melihatmu
menahan sakit seperti ini.”
Pangeran Reinald menarik lengan Kakyu yang terluka.
Gerakannya yang tiba-tiba membuat Kakyu meringis kesakitan.
Pangeran menatap mata Kakyu yang tidak tertutup topengnya.
“Pakaian apalagi yang kaukenakan ini?” katanya, “Engkau tampak seperti
133
pencuri.”
Dengan lembut, Pangeran meletakkan tangan kanan Kakyu di pangkuan
gadis itu kemudian ia melepas topeng Kakyu.
Dengan keadaannya yang lemah, Kakyu tidak dapat berbuat apa-apa
untuk mencegah pemuda itu.
Pangeran Reinald melihat sesuatu berwarna hitam terjulur dari pundak
Kakyu, dan menariknya.
“Pedang apa lagi yang kaubawa ini?” katanya, “Engkau benar-benar ingin
mencari mati. Sendirian masuk Hutan Naullie dengan perlengkapan yang aneh
pula.”
Pangeran Reinald menyandarkan Kakyu di pohon sebelum kembali
memeriksa lengan gadis itu.
“Bukankah saya salah satu dari mereka?” kata Kakyu lemah.
Pangeran memandang wajah Kakyu dengan sejumlah perasaan bersalah,
“Maafkan aku. Aku seharusnya tidak menuduhmu seperti itu.”
“Aku masih sangat terkejut ketika itu. Aku bingung memikirkan mengapa
engkau yang seorang gadis ini mengaku sebagai laki-laki hingga menjadi
Kepala Keamanan Istana. Aku tidak tahu darimana datangnya tuduhan itu
ketika engkau menolak usulku. Tetapi kemudian aku tahu lebih mudah
mempercayai engkau mau melakukannya karena engkau mata-mata
Kirshcaverish. Daripada membayangkan caramu menjadi Kepala Kemanan
Istana.”
Pangeran terkejut ketika menyadari lengan kanan Kakyu basah oleh
darah. “Sepertinya lukamu terbuka karena aku.”
Kakyu terkejut ketika Pangeran Reinald ingin melepaskan pakaian
ninjanya. Dengan tangan kirinya yang terbebas, ia mendorong Pangeran
menjauh.
“Tidak apa-apa, Kakyu,” katanya, “Aku hanya ingin memeriksa
lenganmu.”
“Saya bisa melakukannya sendiri.”
“Dengan apa, Kakyu? Dengan tangan kirimu?” tanya Pangeran Reinald,
“Tidak, Kakyu. Engkau tidak dapat melakukannya sendiri.”
“Tidak perlu,” cegah Kakyu.
Pangeran melihat wajah itu memerah.
“Aku tidak akan melakukan apa-apa. Aku hanya akan memeriksa
lenganmu kemudian membalutnya lagi,” kata Pangeran Reinald lembut, “Aku
janji tidak akan melihat yang lain selain lenganmu.”
Kakyu tidak ingin untuk kedua kalinya, Pangeran melihat tubuh gadisnya.
“Saya akan melakukannya sendiri,” cegah Kakyu.
“Tidak, Kakyu,” kata Pangeran lembut.
Kakyu heran melihat sikap Pangeran Reinald yang berubah total setelah
134
tahu ia bukan mata-mata Kirshcaverish.
Tanpa memberi kesempatan pada Kakyu untuk menghindar, Pangeran
menarik tubuh Kakyu ke dalam pelukannya dan dengan perlahan, ia
melepaskan baju atasan gadis itu.
Kakyu tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tahu saat ini ia terlalu lemah
untuk melawan. Perlawanannya terhadap rasa sakitnya, telah menghabiskan
tenaganya.
Sebagai seorang gadis, Kakyu merasa malu karena sikap Pangeran
Reinald.
Pangeran Reinald memenuhi janjinya, selama melepas baju gadis itu, ia
sama sekali tidak melihat gadis itu. Pandangan matanya terus terarah pada
batang pohong di belakang gadis itu hingga baju itu terlepas dari tubuh Kakyu.
Pangeran Reinald menyampirkan baju itu di pundak Kakyu dan
memeriksa lengan kanan Kakyu.
Dengan tangan kirinya, Kakyu menutup rapat-rapat tubuhnya dengan
bajunya dan membiarkan Pangeran Reinald melepas perban lukanya.
Pangeran Reinald terkejut melihat luka itu kembali terbuka hingga perban
putih itu menjadi merah.
Pangeran mengawasi wajah Kakyu yang lebih terkesan malu daripada
menahan sakit.
Baru kali ini Pangeran menjumpai gadis seperti Kakyu yang mampu
menahan luka separah itu. Bahkan tanpa membuat orang lain curiga, ia
menggunakan tangannya yang terluka untuk memanah.
Sementara tangan kirinya memegang lengan Kakyu, tangan Pangeran
yang lain mengambil kain penutup wajah Kakyu.
“Apa yang Anda lakukan?” tanya Kakyu cemas.
“Aku harus mengganti perban lukamu,” kata Pangeran, “Perban ini sudah
harus diganti.”
Kakyu tidak ingin Pangeran menggunakan kain penutup wajahnya
sebagai perban apalagi kain itu termasuk salah satu perlengkapan ninja yang
diberikan Kenichi padanya. Tetapi...
Kakyu tahu, Pangeran Reinald benar.
Kakyu membiarkan pemuda itu membalut lengannya. Dan ia tetap tidak
bergerak ketika Pangeran Reinald membantu mengenakan pakaiannya.
Tetap dengan kelembutan yang dimilikinya, Pangeran menyandarkan
punggung Kakyu di batang pohon.
“Beristirahatlah.”
Kakyu memegang lengannya yang terluka dan bertanya, “Mengapa Anda
mengaku sebagai Adna?”
“Aku tidak tahu harus berbuat apa selain itu. Aku dan Adna terpisah
dalam perjalanan. Dan ketika aku tiba, aku mendapat kabar Adna telah pergi
135
ke sini. Aku menduga Jenderal-Jenderal itu salah mengenali Adna. Mereka akan
menduga Adna sebagai aku,” Pangeran Reinald menjelaskan, “Selain itu aku
curiga kepadamu.”
“Curiga?”
“Engkau terlalu muda untuk menjadi Kepala Keamanan Istana, Kakyu.
Kecurigaanku semakin memuncak ketika secara tidak sengaja, aku mengetahui
engkau seorang gadis,” kata Pangeran Reinald, “Karena itu aku menuduhmu
sebagai mata-mata.”
Kakyu tidak mengucapkan apapun.
Kecurigaan itu memang tidak salah, Kakyu menyadari ia memang terlalu
muda untuk menjadi Kepala Keamanan Istana.
Sesaat sebelum menerima jabatan ini, Kakyu telah menolaknya tetapi
semua orang memaksanya untuk menerimanya dan apalagi yang dapat
dilakukan Kakyu saat itu selain menerimanya dengan setengah hati. Tetapi
tidak ketika ia melaksanakan tugasnya.
Seluruh perhatiannya tercurah ketika ia mengatur keamanan Istana dan
tidak pernah ada yang dilewatkan olehnya. Demi penghuni Istana Vezuza,
Kakyu melaksanakan tugasnya dengan baik.
“Aku minta maaf. Tidak seharusnya aku menuduhmu seperti itu.”
“Anda tidak salah,” kata Kakyu, “Saya memang terlalu muda untuk
jabatan sepenting ini.”
“Setelah melihat sendiri ketangguhanmu yang sering dibicarakan orang,
aku yakin ayahku tidak memilihmu dengan sembarangan,” kata Pangeran
Reinald, “Aku ingin tahu mengapa engkau bisa setangguh ini. Jauh lebih kuat
dari pemuda seusiamu. Aku yakin engkau tidak belajar dari ayahmu.
Dibandingkan dia, engkau lebih lincah dan lebih cepat dalam segala hal.”
Kakyu tidak ingin memuaskan keingintahuan Pangeran Reinald.
“Setelah ini apakah Anda tetap mengaku sebagai Adna?”
“Aku tidak tahu,” kata Pangeran Reinald, “Adna jatuh cinta pada kakakmu
dan ia ingin membuat Joannie kagum padanya. Menurutmu, bagaimana sikap
Joannie kalau ia mengetahui masalah ini?”
“Joannie mencintai Adna bukan karena gelarnya,” kata Kakyu tenang,
“Bagi Joannie, Adna adalah pria impiannya. Seumur hidupnya Joannie selalu
mencari pria yang seperti Papa. Saya yakin ia tidak akan mempermasalahkan
hal ini.”
Pangeran Reinald diam saja.
Kakyu mengambil buntelannya yang diikatkannya pada pedangnya.
Kakyu mengeluarkan senjata di dalamnya satu per satu.
Pangeran Reinald yang terus memperhatikan Kakyu, memungut salah
satu benda yang berbentuk seperti skop kecil untuk berkebun itu dan berkata,
“Senjata apa ini?”
136
Kakyu tidak menjawab pertanyaan itu. Ia terus menyibukkan diri dengan
senjata-senjata itu.
Setelah mengeluarkan semuanya dan menyelinapkan beberapa di balik
baju ninjanya, Kakyu melipat kain pembungkus itu.
Kakyu merintih sakit ketika ia mengangkat lengan kanannya.
Pangeran Reinald menatap tajam wajah Kakyu yang tetap terlihat
tenang. “Gadis bodoh,” katanya, “Gerakanmu hanya akan membuat lukamu
terbuka kembali.”
Pangeran Reinald mengambil kain itu dari tangan Kakyu dan membantu
Kakyu mengikat rambut panjangnya dengan kain itu.
“Engkau tidak terlalu pintar untuk mengaku sebagai pria,” katanya
sambil mengikatkan kain itu di rambut Kakyu, “Tidak ada pria yang berambut
panjang, engkau tahu itu?”
“Mama tidak setuju saya memendekkan rambut,” kata Kakyu.
“Lalu mengapa ia membiarkan engkau bertingkah laku seperti pria?”
Kembali Kakyu tidak menjawab keingintahuan Pangeran.
Kakyu berdiri dan perlahan-lahan, ia mengintai markas Kirshcaverish.
Markas Kirshcaverish masih terbakar oleh api terutama api yang berasal
dari tenda penyimpanan senjata.
Pangeran Reinald mengikuti Kakyu.
“Sekarang apa yang akan kita lakukan?” tanya Pangeran.
“Kita harus memanfaatkan keadaan,” kata Kakyu, “Kita akan menyerang
mereka di saat mereka sibuk seperti ini.”
“Kita berdua?”
“Tidak,” Kakyu terus mengawasi markas yang terbakar itu, “Salah
seorang dari kita harus kembali ke benteng dan memanggil pasukan untuk
menyerbu saat ini juga. Dan yang lain terus mengacaukan Kirshcaverish.”
“Engkau yang akan pergi,” Pangeran Reinald memutuskan.
“Tidak,” Kakyu menolak.
“Engkau terluka, Kakyu,” kata Pangeran Reinald, “Aku tidak ingin engkau
terluka lebih parah lagi.”
“Anda lupa, mereka mencurigai saya sebagai mata-mata?”
Kebenaran yang diucapkan dengan tenang itu membuat sebuah kata
kasar terlompat dari mulut Pangeran.
“Ini semua gara-gara aku,” katanya menyesal, “Kalau saja aku tidak
menuduhmu sedemikian rupa.”
“Pergilah,” kata Kakyu, “Saya akan memecahkan perhatian mereka.”
Pangeran memincingkan matanya dan bertanya tajam, “Apa yang dapat
kaulakukan dengan lengan terluka seperti ini?”
Kakyu tersenyum. Ia mengetahui apa yang tidak diketahui Pangeran.
“Jangan khawatir,” katanya tenang, “Mereka tidak akan dapat melukai
137
saya.”
“Benar, mereka tidak akan melukaimu,” kata Pangeran jengkel melihat
ketenangan Kakyu, “Engkau juga tidak dapat melukai mereka dengan tangan
terluka seperti ini.”
“Saya masih bisa menggunakan tangan kiri,” kata Kakyu.
“Jangan berharap aku akan setuju, Kakyu,” Pangeran Reinald
menegaskan keputusannya, “Engkau ini seorang gadis, Kakyu. Hingga
kapanpun aku tidak akan membiarkan engkau menantang bahaya sendirian.”
“Anda lupa tugas saya adalah melindungi setiap penghuni Istana?” kata
Kakyu, “Walaupun sekarang kita tidak berada di Istana Vezuza, Anda tetap
harus saya lindungi.”
“Lupakan tugas itu,” perintah Pangeran, “Saat ini engkau harus menuruti
perintahku sebelum mereka mendapatkan kita.”
“Anda yang harus pergi,” Kakyu tetap bertahan dengan keinginannya,
“Saya lebih mengenal setiap sudut hutan ini daripada Anda. Berhati-hatilah
ketika Anda semakin mendekati benteng, banyak ranjau darat di sana.”
Pangeran Reinald memanfaatkan pesan Kakyu itu. “Pergilah, Kakyu. Aku
tidak dapat menjamin aku akan selamat. Joannie mengatakan engkau sering
keluar masuk hutan ini, aku yakin engkau lebih dapat menjaga diri daripada
aku. Aku lebih aman di sini daripada harus kembali ke benteng. Aku tahu
Jenderal Decker masih mempercayaimu. Adna juga sangat mempercayaimu.”
Kakyu tahu Pangeran Reinald benar.
Kemungkinan Pangeran Reinald untuk menghindari dari ranjau darat,
lebih kecil dibandingkan Kakyu yang telah mengetahui letak ranjau-ranjau itu.
“Baiklah,” Kakyu mengalah.
“Bagus,” Pangeran Reinald puas, “Sekarang berikan panahmu padaku.
Aku akan mengacaukan mereka.”
Kakyu tidak yakin Pangeran hanya akan mengacaukan Kirshcaverish dari
jauh apalagi mengingat sifat tidak sabar Pangeran.
“Tidak,” Kakyu tidak ingin Pangeran menerobos markas Kirshcaverish
sendirian.
Sebelum Pangeran mengatakan apa-apa, Kakyu segera menerobos
kegelapan Hutan Naullie dan meninggalkan suara yang menggema di sekitar
tempat itu, “Saya akan segera kembali.”
Tindakan Kakyu itu tentu saja membuat Pangeran Reinald yang ingin
menyerbu masuk ke dalam markas Kirshcaverish, menjadi jengkel. Kini tanpa
sebuah senjatapun, Pangeran Reinald tidak dapat berbuat apa-apa selain
menanti kedatangan Kakyu.

138
11

Dugaan Kakyu tepat.


Seluruh pasukan semua masih terjaga walau saat ini sudah hampir
tengah malam. Semua mengkhawatirkan Kirshcaverish yang bisa sewaktu-
waktu muncul.
Tetap dengan mengendap-endap, Kakyu memasuki benteng.
Kakyu terlalu lincah untuk dilihat pasukan Kerajaan Aqnetta.
Walaupun di setiap sudut benteng, ada sejumlah pasukan, tidak
seorangpun yang melihat masuknya Kakyu ke dalam benteng.
Ketika melihat Kolonel Abel berpatroli sendirian di sekitar tenda Pangeran
Reinald, Kakyu memutuskan untuk menemuinya sebelum menemui Jenderal
Decker.
“Kolonel!” panggilnya.
Kolonel Abel terkejut. Ia mencari asal suara itu di sekelilingnya.
Kakyu menuju tempat yang terang di sekitar tempat itu.
“Perwira,” kata Kolonel Abel, “Ke mana saja Anda? Banyak yang terjadi di
sini sejak Anda pergi.”
“Aku tahu,” kata Kakyu, “Sekarang aku ingin engkau menyiapkan semua
pasukan. Kita akan menggempur Kirshcaverish malam ini juga.”
Kolonel Abel kaget. “Malam ini?”
“Cepat!” kata Kakyu lalu ia kembali bersembunyi di kegelapan.
Kolonel Abel terperangah melihat Kakyu telah menghilang. Ia sadar ini
bukan saatnya ia terpesona. Walaupun tidak mengerti, ia tetap melaksanakan
perintah singkat Kakyu.
Kakyu menyelinap ke dalam tenda Jenderal Decker sambil memanggil
Jenderal itu.
Jenderal Decker terlonjak kaget melihat Kakyu tiba-tiba muncul.
“Ada apa, Kakyu?”
“Kita harus menyerang mereka malam ini juga.”
“Malam ini?” tanya Jenderal Decker, “Kami belum menyiapkan strategi
perang apapun.”
“Saya kira itu tidak perlu, Jenderal.”
“Apa maksudmu, Kakyu?”
“Kirshcaverish dalam keadaan kacau saat ini dan saya rasa kita tidak
akan kesulitan menghadapi mereka yang sedang sibuk.”
“Apa yang kaulakukan pada mereka?” tanya Jenderal Decker ingin tahu,
“Yang pasti engkau membuat mereka kewalahan bukan?”
139
Kakyu tersenyum. “Siapkan pasukan saat ini juga, Jenderal. Saya
menunggu Anda di sana. Dan jangan lupa untuk memperhatikan setiap
langkah pasukan.”
Seperti yang dilakukannya pada Kolonel Abel, Kakyu segera
meninggalkan Jenderal Decker sebelum Jenderal Decker sempat bertanya apa-
apa.
Sekarang yang perlu dilakukan Kakyu adalah menemui Adna yang
menyamar sebagai Pangeran Reinald.
Tidak mungkin tidak ada yang terkejut melihat Kakyu yang tiba-tiba
muncul dengan pakaian hitam.
“Adna,” kata Kakyu, “Perintahkan setiap Jenderal untuk mengatur
pasukan saat ini juga.”
Adna terkejut mendengarnya. “Apa yang terjadi, Kakyu? Engkau tahu di
mana Pangeran?”
“Pangeran aman,” kata Kakyu, “Dengan kekuasaanmu saat ini, engkau
harus memerintahkan penyerbuan ke Hutan Naullie saat ini juga. Pangeran
ingin engkau tetap menjaga rahasia di antara kalian hingga ia sendiri yang
memutuskan kapan untuk membenarkan kekeliruan ini.”
Adna yang sudah cemas sejak Pangeran Reinald menghilang, segera
berkata, “Aku mengerti.”
Kakyu merasa ia tidak perlu memberitahu banyak orang dengan
rencananya.
Tiga orang itu pasti dapat menyiapkan pasukan secepat mungkin.
Sambil menunggu pasukan Kerajaan Aqnetta tiba di markas
Kirshcaverish, Kakyu harus mengacaukan markas itu.
Seperti janjinya kepada Pangeran Reinald, Kakyu segera muncul di
tempat itu.
Pangeran Reinald tampak sangat jengkel ketika melihat Kakyu muncul
dari antara kegelapan malam.
“Engkau benar-benar gadis yang menyebalkan, Kakyu,” kata Pangeran
begitu melihat Kakyu.
Dengan tenang, Kakyu menanggapi, “Anda terlalu ceroboh untuk saya
biarkan mengacaukan mereka sendirian.”
“Engkau sudah memberitahu mereka?”
Kakyu mengangguk.
Tanpa banyak berbicara lagi, Kakyu mengeluarkan busurnya.
Pangeran Reinald bertindak cepat. Ia segera mengambil alih busur dan
anak panahnya itu sambil berkata, “Biar aku.”
Kakyu membiarkan Pangeran Reinald melakukannya.
Hanya itu yang dapat dilakukan untuk mencegah Pangeran Reinald
bertindak lebih jauh.
140
Terlalu bahaya membiarkan Pangeran yang tidak sabar itu menyerbu
markas Kirshcaverish. Bisa-bisa yang terjadi bukan mereka yang berhasil
mengacaukan Kirshcaverish malah Kirshcaverish yang berhasil mengacaukan
mereka.
Selagi Pangeran Reinald mengacaukan Kirshcaverish dengan panah api,
Kakyu bisa memanfaatkan keadaan itu.
Dengan menahan rasa sakitnya, Kakyu memaksa dirinya untuk melepas
ikat rambutnya dan menggenakannya sebagai topeng barunya.
Pangeran Reinald terlalu sibuk dengan apa yang dilakukannya untuk
memperhatikan Kakyu.
Ketika gadis itu sudah siap memasuki Kirshcaverish, Pangeran Reinald
masih tidak tahu apa yang direncanakan Kakyu.
Baru ketika melihat sesuatu berwarna hitam yang hampir tidak kentara
dalam kegelapan malam, menuruni lembah menuju markas Kirshcaverish,
Pangeran Reinald sadar.
Siapa lagi yang dapat bergerak sedemikian cepat dan tanpa
menimbulkan suara selain Kakyu yang diketahuinya sebagai gadis yang dapat
bergerak cepat dan penuh perhitungan.
Cepat-cepat Pangeran Reinald mengejar Kakyu yang berjalan sangat hati-
hati hingga tidak menimbulkan suara maupun gerakan apapun yang akan
membuat Kirshcaverish curiga.
“Apa yang kaulakukan?” tanya Pangeran Reinald begitu berhasil
menangkap lengan Kakyu.
Kakyu terkejut.
Kakyu tidak mengharapkan Pangeran Reinald tahu apa yang akan
dilakukannya, tetapi rupanya ia kurang hati-hati hingga Pangeran Reinald
dapat melihatnya dalam kegelapan malam.
“Melakukan apa yang ingin saya lakukan sebelum Anda mengejutkan
saya,” kata Kakyu.
“Tidak!” kata Pangeran tegas, “Engkau tidak akan ke mana-mana sampai
mereka datang.”
“Tidak,” Kakyu balas menentang, “Saya harus melakukannya.”
“Apa yang harus kaulakukan saat ini adalah membuat perhatian
Kirshcaverish terpecah,” kata Pangeran Reinald.
“Itulah yang akan saya lakukan,” sahut Kakyu dengan ketenangannya.
Ketenangan Kakyu tidak membuat Pangeran Reinald kehilangan cara
untuk menghalangi niat gadis itu, “Engkau juga harus melindungiku. Jangan
lupa itu.”
Percuma saja Pangeran Reinald mencoba mencegah Kakyu yang telah
memikirkan semuanya sebelum ia memutuskan untuk mengacaukan
Kirshcaverish dari dalam markas mereka.
141
Tetap dengan ketenangannya, Kakyu berkata, “Di atas sana, Anda akan
aman hingga pasukan datang.”
“Tidak!” untuk kesekian kalinya Pangeran Reinald melarang Kakyu
dengan tegas.
Pangeran teringat setiap orang mengatakan padanya Kakyu seorang
Perwira yang patuh. Walau diberi tugas sesulit apapun, ia tetap menerimanya
dan melaksanakannya dengan sebaik-baiknya.
Pangeran Reinald memanfaatkannya, “Aku memerintahkan kepadamu
untuk tetap tinggal di atas.”
Kakyu bukanlah gadis yang selalu patuh. Kakyu tahu kapan ia harus
patuh dan kapan ia boleh menentang perintah yang diberikan padanya.
Sebelum Pangeran mempererat pegangan di lengannya, Kakyu
melepaskan lengannya dengan cepat. Dan dengan cepat ia menghilang di balik
bom asap yang dilemparkannya dan hanya meninggalkan suara menggema.
Pangeran Reinald tidak tahu Kakyu telah dilatih untuk menghadapi situasi
seperti ini. Untuk segera menghilang sebelum musuh menangkapnya dan
menghindari musuh melihatnya.
Itulah yang dilakukan Kakyu setelah membuat pandangan Pangeran
Reinald terganggu oleh asap tebal yang seperti kabut itu.
Secepat kilat, Kakyu menyelinap di antara semak-semak tinggi dan
perlahan-lahan menuruni lembah itu.
Pangeran Reinald jengkel ketika akhirnya asap itu hilang. Dan ia semakin
jengkel ketika melihat Kakyu tidak berada di depannya lagi. Gadis itu telah
menghilang dibalik asap putih.
Seperti tadi, tidak ada yang dapat dilakukan Pangeran selain menunggu
Kakyu di atas.
Anak panah yang ada tinggal sedikit dan itu adalah panah api bukan
panah biasa. Sedangkan untuk memasuki markas, Pangeran Reinald
membutuhkan senjata yang cukup menahan mereka.
Pangeran Reinald bisa mengikuti Kakyu walau ia tidak bersenjata tetapi
Pangeran tidak mau melakukannya. Bukan karena ia tidak berani. Ia berani
bahkan ia bisa saja segera menyusul Kakyu tetapi ia tidak ingin membuat
Kakyu mengkhawatirkan dirinya yang kemudian berakibat Kakyu menjadi
ceroboh.
Memasuki sarang musuh memerlukan perhitungan yang tepat. Sedikit
kesalahan saja bisa menimbulkan masalah tidak hanya bagi yang tertangkap
tetapi juga bagi kelompok yang tertangkap.
Pangeran Reinald tidak ingin itu terjadi apalagi mengingat dirinya adalah
Putra Raja Alfonso yang diharapkan kelak menggantikan Raja Alfonso.
Seandainya ia tertangkap dan Kirshcaverish tahu yang ditangkapnya
adalah Putra Mahkota, Kirshcaverish akan semakin mudah mencapai
142
tujuannya. Sedangkan kedatangan Pangeran Reinald ke sini bukan untuk itu.
Beberapa saat sebelum menyelesaikan sekolahnya di Oxford, Pangeran
Reinald menerima surat dari ayahnya yang meminta ia segera pulang setelah
sekolahnya selesai.
Pangeran Reinald mulanya tidak tahu ada maksud lain di balik
permintaan itu.
Ketika dalam perjalanan, beberapa orang berusaha menghentikan
kepulangannya. Adna yang bertugas mengawalnya selama ia tidak berada di
Kerajaan Aqnetta, terus berusaha melindunginya. Mulanya mereka memang
terus dapat bersama tetapi keadaan tidak dapat bertahan lama.
Karena orang-orang itu, mereka berdua terpencar dan akhirnya Pangeran
Reinald tiba lebih lambat dari Adna.
Baru ketika itulah Pangeran Reinald tahu permintaan untuk segera
pulang bukan hanya karena kerinduan yang telah lama terpendam tetapi juga
untuk menguji hasil yang telah didapat Pangeran selama ia berada di Inggris.
Raja Alfonso memerintahkan Pangeran Reinald menunjukkan apa yang
telah dipelajarinya dengan membantu para Jenderal menumpas Kirshcaverish
di Hutan Naullie.
Pangeran Reinald akan gagal menunjukkan hasil belajarnya selama
bertahun-tahun di Inggris bila ia sampai tertangkap Kirshcaverish. Lagipula
Pangeran tahu yang harus dilakukannya saat ini adalah membantu Kakyu
mengacaukan perhatian Kirshcaverish sambil menanti datangnya pasukan
Kerajaan Aqnetta.
Pangeran hanya dapat berharap gadis dapat menjaga dirinya. Walaupun
semua orang mengatakan Kakyu seorang pemuda yang tangguh, Pangeran
Reinald yang telah mengetahui Kakyu bukan seorang pria, tetap
mengkhawatirkannya.
Hingga pasukan tiba, Pangeran Reinald berharap Kakyu memang
setangguh yang dikatakan orang-orang.
Sementara Pangeran Reinald mengkhawatirkan Kakyu, Kakyu sendiri
tidak mengkhawatirkan dirinya.
Gadis itu percaya ia dapat mengatasi Kirshcaverish bila ia ketahuan
mereka. Tetapi melihat keadaan di dalam markas Kirshcaverish yang kacau
balau seperti ini, Kakyu yakin tidak seorangpun dari mereka yang akan
melihatnya.
Walaupun begitu Kakyu tetap berhati-hati memasuki markas
Kirshcaverish lebih dalam.
Kemarin Kakyu telah mengetahui siapa pemimpin Kirshcaverish. Dan
sekarang ia akan mencari tempat Bleriot serta memastikan pria itu tidak
meninggalkan tempat ini baik sekarang maupun nanti bila pasukan telah tiba.
Kakyu menduga tenda Bleriot adalah tenda terbesar di tempat ini.
143
Orang-orang yang berlalu lalang di kegelapan malam itu sambil
membawa ember berisi air, tidak memperhatikan Kakyu yang mengendap-
endap memeriksa tenda-tenda besar satu demi satu.
Seseorang muncul dari sebuah tenda di dekat tempat persembunyian
Kakyu dan di samping kanannya berdiri pria yang lain.
“Menurutmu ini hasil pekerjaan siapa?” tanya salah seorang pria itu pada
pria yang lain dengan geram.
Kakyu menajamkan inderanya untuk mendengarkan percakapan mereka
dengan jelas di antara keributan anggota Kirshcaverish yang lain.
“Kurasa bukan pasukan Kerajaan Aqnetta,” kata pria yang lain, “Selama
ini tidak seorangpun pasukan Kerajaan Aqnetta yang berhasil memasuki
daerah sekitar tempat ini.”
“Lalu siapakah orang ini, Orleando?”
“Aku tidak tahu, Bleriot,” kata pria yang dipanggil Orleando itu, “Orang ini
sangat ahli. Dan ia tahu pasti letak-letak tenda penting kita. Kurasa ia telah
memasuki markas kita sebelumnya. Ia telah membakar tenda-tenda penting
kita dan yang lebih parah, tenda tempat penyimpanan senjata kita habis
terbakar. Siapapun dia, ia pasti bukan pasukan Kerajaan Aqnetta. Mungkin Raja
Alfonso yang menyuruh orang ini?”
“Tidak mungkin!” bantah Bleriot, “Selama bertahun-tahun aku bekerja
pada Raja Alfonso, aku telah mengenal sifatnya. Raja Alfonso bukan orang yang
dengan mudah menyuruh orang lain di luar kerajaannya untuk membantu
masalah dalam negerinya.”
“Maksudku, orang ini pasti penduduk Kerajaan Aqnetta yang kemudian
oleh Raja disuruh menemukan letak markas kita dan mengacaukan kita.”
“Itu lebih tidak mungkin lagi,” kata Bleriot tajam, “Sebelum aku
mengumpulkan kalian di sini, aku telah menyelidiki terlebih dulu siapa saja
yang bisa menjadi musuh terkuatku. Dan selain para Jenderal yang sudah tua,
aku tidak menemukan orang lain, tidak juga rakyat biasa. Sejak saat itu aku
tidak pernah berhenti mencari orang-orang yang dapat menjadi lawan
terkuatku dan aku tetap tidak pernah menemukannya.”
“Aku tidak tahu lagi,” kata Orleando, “Aku belum pernah menemukan
orang yang sedemikian ahlinya.”
Kakyu melihat Bleriot termenung. Sambil menggelengkan kepalanya,
Bleriot berkata, “Tidak. Tidak mungkin dia.”
“Dia siapa, Bleriot?” tanya Orleando tidak mengerti.
Bleriot menepuk bahu Orleando sambil berkata, “Sudah. Lupakan saja.
Sekarang kita harus berharap pasukan Kerajaan Aqnetta tidak menyerbu saat
ini. Kalau tidak, kita pasti akan hancur.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?”
“Berharap siapapun pria itu, tidak dapat melewati ranjau-ranjau darat
144
kita,” kata Bleriot geram, “Juga pasukan Kerajaan Aqnetta tidak akan dapat
menerobos ranjau-ranjau yang telah kita tanam. Siapapun dia, dia telah
mengacaukan rencanaku dan ia akan membayarnya bila aku sampai
menangkapnya. Gara-gara dia sekarang kita harus membeli senjata baru lagi.
Kita harus segera mengirimkan daftar permintaan kita ke mereka secepatnya.”
Kakyu semakin menyembunyikan dirinya ke tenda ketika kedua pria itu
lewat di dekatnya.
Sekarang Kakyu tahu seperti apakah pemimpin Kirshcaverish. Dan ia
tidak akan membiarkan pria itu lolos bila pasukan Kerajaan Aqnetta datang
nanti. Pria itu harus membayar apa yang dilakukannya pada Kerajaan Aqnetta
juga pada keluarga Halberd.
Dalam persembunyiannya, Kakyu tidak melepaskan sedikitpun
pandangannya dari Bleriot. Kakyu yakin tak lama lagi pasukan Kerajaan
Aqnetta akan tiba.
Perjalanan dari benteng ke markas Kirshcaverish tidak akan memakan
waktu lebih dari tiga jam sekalipun mereka berjalan lambat. Tetapi Kakyu tahu
Jenderal Decker juga Adna tidak akan membiarkan pasukan Kerajaan Aqnetta
berjalan lambat.
Pangeran Reinald telah melaksanakan tugasnya di atas sana dan
sekarang Kakyu harus melaksanakan tugasnya sendiri. Mereka tidak boleh
tertangkap sampai pasukan Kerajaan Aqnetta tiba.

145
12

Pangeran Reinald tidak sabar menanti pasukan.


Sementara ia mengkhawatirkan Kakyu yang sampai sekarang tidak
segera kembali, pasukan Kerajaan Aqnetta tidak segera datang.
Berulang kali Pangeran Reinald ingin menyusul Kakyu tetapi ia terus
menahan diri. Ia tidak tahu hingga kapan ia mampu bertahan sementara
kekhawatirannya semakin bertambah tiap menitnya.
Cukup lama Pangeran Reinald bertahan di tempatnya hingga ia akhirnya
tidak sabar lagi.
Di saat itulah kedatangan pasukan Kerajaan Aqnetta terdengar di
kejauhan.
Untung saja pasukan Kerajaan Aqnetta segera tiba di saat itu, bila tidak
Kakyu tidak hanya harus memperhatikan Bleriot tetapi juga Pangeran Reinald
yang tidak pernah sabar. Dan Kakyu pasti kesulitan karenanya.
Pangeran Reinald lega juga semakin tidak sabar mendengar suara itu.
Ketika akhirnya Adna muncul pertama kali dari kegelapan malam,
Pangeran Reinald berkata tajam, “Mengapa kalian lama sekali?”
“Maafkan saya, Pangeran,” kata Adna, “Kami telah berusaha datang
secepat mungkin tetapi kami harus berhati-hati kalau tidak kami akan terkena
ranjau.”
Jenderal Decker yang datang kemudian, tidak mendengar percakapan itu.
Kepada Pangeran Reinald yang dikenalnya sebagai Adna, ia bertanya, “Di mana
Kakyu?”
“Di sana,” kata Pangeran Reinald sambil menunjuk markas Kirshcaverish
yang terbakar.
Jenderal Decker kaget melihat markas itu dan lebih kaget lagi melihat
markas itu terbakar. Bukan hanya kebakaran kecil tetapi sudah menjadi
kebakaran yang sangat parah.
“Cepat!” kata Pangeran Reinald, “Apalagi yang kalian tunggu! Serang
saja mereka di saat mereka kacau balau seperti ini.”
Adna yang menyamar sebagai Pangeran Reinald segera berkata, “Cepat
serang mereka!”
“Kita belum melakukan persiapan apapun, Pangeran,” kata Jenderal Erin.
“Tidak perlu,” jawab Jenderal Decker, “Kakyu mengatakan kalian tidak
perlu menyusun rencana apapun selain menyerang mereka dari segala
penjuru.”
“Saat ini juga!” tambah Pangeran Reinald dengan tegas.
146
“Sebaiknya kalian menuruti apa katanya,” kata Adna.
“Engkau tidak perlu khawatir, Erin,” kata Jenderal Decker, “Kakyu telah
membuatkan peta tempat ini lengkap dengan strateginya.”
“Kakyu?” tanya Jenderal Erin tak mengerti.
“Tidak ada waktu untuk menjelaskan itu. Sekarang kita harus segera
menyerang Kirshcaverish seperti strategi yang dibuat Kakyu,” Jenderal Decker
menegaskan.
Bersama Jenderal Reyn yang telah mempelajari peta itu, Jenderal Decker
mengatur pasukan seperti strategi yang terlukis dalam selembar kertas
bersama-sama peta itu.
Sementara pasukan bersiap-siap mengambil posisi di tempat mereka
masing-masing, Pangeran Reinald menarik Adna menjauh.
“Kakyu tahu,” katanya memberitahu.
“Tahu apa, Pangeran?” tanya Adna.
“Tahu aku bukan engkau dan engkau bukan aku.”
“Saya tidak terkejut,” kata Adna jujur, “Ia memang bukan prajurit biasa.
Entah kemampuan apa yang dimiliknya sampai ia bisa muncul tiba-tiba
sehingga membuat saya terkejut.”
“Juga menghilang tiba-tiba,” tambah Pangeran Reinald.
“Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanya Adna, “Apakah kita harus
tetap seperti ini atau kita mengatakan semuanya?”
“Apakah tidak apa-apa bagimu?” selidik Pangeran Reinald.
Adna tampak ragu-ragu. “Saya tidak tahu, Pangeran. Tetapi kalau Anda
memerintahkan kita kembali ke posisi semula, saya akan menurut.”
“Tidak, Adna,” kata Pangeran Reinald, “Aku tahu hubunganmu dengan
Joannie semakin dekat. Aku tidak ingin merusaknya.”
“Tetapi bagaimana dengan Kakyu?”
“Jangan mengkhawatirkan dia,” kata Pangeran Reinald yang masih tidak
mau mengatakan Kakyu itu seorang gadis, “Ia juga telah menanyakan hal ini
kepadaku. Kurasa sampai kita akan kembali ke Chiatchamo, tidak akan terjadi
apa-apa kalau kita tetap seperti ini.”
“Apakah kita akan menang, Pangeran?” tanya Adna cemas, “Selama ini
pasukan kita tidak pernah menang bila bertemu mereka.”
Pangeran Reinald terlihat ragu-ragu juga. “Aku juga tidak yakin. Tetapi
Kakyu sangat yakin.”
“Mungkin Perwira Kakyu benar,” kata Adna, “Ia bukan pemuda yang
ceroboh. Ia pasti telah memperhitungkan segalanya.”
“Aku juga berharap seperti itu,” kata Pangeran Reinald, “Sekarang
kembalilah ke barisan sebelum seorangpun curiga.”
“Baik, Pangeran.”
Adna segera meninggalkan Pangeran Reinald.
147
Dengan cemas, Pangeran Reinald mengikuti Adna tak lama kemudian.
Matanya terus tertuju pada markas Kirshcaverish yang terlihat memerah di
kegelapan malam itu. Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi ketika akhirnya
semua pasukan telah siap di posisi masing-masing.
Pangeran Reinald tidak ingin hanya berdiri diam di puncak lembah sambil
terus membakar perkemahan Kirshcaverish sementara pasukan lain menyerbu
Kirshcaverish selain itu mengkhawatirkan Kakyu. Tetapi seseorang harus terus
mengacaukan perhatian Kirshcaverish sementara pasukan Kerajaan Aqnetta
mendekati markas mereka dengan perlahan-lahan.
Ketika melihat seorang prajurit yang sering dilatih memanah oleh Kakyu,
Pangeran Reinald segera memerintahkannya untuk menggantikannya
kemudian ia sendiri mengikuti pasukan yang telah berangkat lebih dulu.
Sementara pasukan yang lain menuruni lembah itu dengan berlindung di
balik semak-semak tinggi, Pangeran yang tidak punya posisi tetap, berjalan
lebih cepat ke tempat Kirshcaverish. Ia ingin mencari Kakyu di perkemahan itu
dan melihat apa yang dilakukan gadis itu sebelum kekhawatirannya berubah
menjadi kecurigaan.
Satu-satunya tempat Kakyu berada yang terpikirkan oleh Pangeran
Reinald hanya pusat perkemahan Kirshcaverish. Kakyu mengatakan ia akan
mengacaukan perhatian Kirshcaverish dan kemungkinan ia besar mengacau
perhatian para pemimpin yang berada di pusat perkemahan itu.
Dugaan Pangeran Reinald tidak salah. Kakyu memang berada di pusat
perkemahan Kirshcaverish tetapi ia tidak mengacaukan perhatian pimpinan
Bleriot. Dengan tenangnya, ia bersembunyi di balik tirai gelap yang
memisahkan tenda besar itu menjadi ruang tidur dan ruang kerja.
Cahaya lilin yang menerangi tenda besar itu menguntungkan Kakyu.
Bleriot yang sibuk di meja kerjanya menjadi tidak tahu Kakyu yang
bersembunyi di balik tirai tepat di belakangnya.
Kirshcaverish yang sibuk tidak melihat kedatangan pasukan Kerajaan
Aqnetta di puncak lembah, tetapi Kakyu yang mengintip melalui pintu belakang
tenda, melihatnya. Walaupun begitu Kakyu tidak bergerak dari tempatnya, ia
terus mengawasi gerak-gerik Bleriot di dalam tendanya.
Kakyu tidak ingin tahu bagaimana penyerbuan itu terjadi dan ia tidak
senang mengetahuinya. Ia hanya tahu tugasnya untuk saat ini adalah
mengawasi Bleriot agar pria itu tidak sempat melarikan diri sebelum pasukan
Kerajaan Aqnetta menangkapnya.
Seperti yang diduga Kakyu, pria tua itu segera bersiap-siap melarikan diri
ketika mendengar suara tembakan di antara keributan yang terjadi di luar.
Bleriot sudah tahu senjatanya sama sekali tidak bersisa. Tetapi ia tidak
tahu siapa yang menghancurkan senjata sisa itu. Seperti ia tidak tahu ia sudah
diawasi Kakyu sejak tadi.
148
Malang sekali bagi Bleriot, sebelum ia kabur, pasukan Kerajaan Aqnetta
dipimpin Pangeran Reinald sendiri sudah menyerbu masuk.
“Berhenti!” seru Pangeran Reinald.
Sesaat kemudian muncul juga Jenderal Decker yang segera berseru,
“Engkau tidak dapat ke mana-mana lagi, Bleriot.”
Beberapa prajurit lainnya menyusul masuk termasuk para Jenderal.
Bleriot tertawa mengejek melihatnya. “Kalian jangan harap dapat
menangkapku,” katanya mengejek, “Orang yang kalian kirimpun tidak akan
dapat menangkapku.”
“Orang yang kami kirim?” tanya Jenderal Decker kebingungan.
“Jangan bohong,” kata Bleriot, “Kalian semua pengecut. Kalian tidak
mengakui kekalahan kalian malah menyuruh orang lain menyerbu tempat ini.”
“Tetapi baik kalian maupun dia tidak akan dapat menangkapku,” Bleriot
tersenyum mengejek, “Tidak ada. Tidak ada yang dapat menangkap Jenderal
Besar sepertiku.”
Bleriot mundur perlahan-lahan sambil terus tertawa mengejek.
Pasukan Kerajaan Aqnetta tidak mengetahui ada pintu belakang di tenda
itu yang letaknya di ruang tidur. Mereka juga tidak tahu kain gelap di belakang
Bleriot bukan batas tenda melainkan tirai pemisah. Semua mengira Bleriot
mundur karena ketakutan dan tidak seorangpun yang curiga karenanya.
Sesaat sebelum Bleriot memasuki ruang tidurnya, Kakyu membuka tirai
itu dan menampakkan dirinya.
Bleriot terkejut melihat Kakyu di belakangnya. Tiba-tiba wajahnya
memucat melihat Kakyu yang berdiri memantung – tidak bergerak juga tidak
berbicara – itu.
“Kau?” katanya antara terkejut dan heran, “Kenichi?”
Kakyu terkejut mendengar nama itu.
Bagaimana Bleriot mengenal Kenichi? Apakah gurunya itu berada di sini?
Sekitar lima tahun lalu, Kenichi berpamitan pada keluarga Quentynna
untuk berlatih di Hutan Naullie, tetapi sejak saat itu tidak pernah terdengar
kabar berita darinya.
Kakyupun telah mencari sendiri pria tua itu di dalam Hutan Naullie.
Berhari-hari ia menelusuri hutan lebat ini tetapi ia tidak menemukannya.
Mengingat Kenichi bukan orang biasa, Kakyu hanya dapat yakin gurunya
selamat walau ia terus mencemaskannya. Kemudian timbul pikiran dalam diri
Kakyu kalau gurunya kembali ke tanah airnya, Jepang.
Tidak aneh kalau Kenichi kembali ke tanah airnya. Tahun-tahun telah
berlalu, sejak ia ditemukan pingsan di tepi pantai oleh Jenderal Reyn.
Ketika Jenderal Reyn menemukannya pingsan di tepi pantai, Kakyu masih
belum lahir. Beberapa hari setelah kedatangannya di Quentynna House, Kakyu
lahir.
149
Kenichi yang hanya mengerti sedikit bahasa Inggris yang digunakan di
Kerajaan Aqnetta, sangat menyukai gadis kecil yang baru lahir itu. Kenichi
senang melihat rambut gadis kecil itu bersinar terang seperti api yang terus
membara.
Dari ucapannya yang tidak dimengerti sama sekali oleh keluarga
Quentynna, keluarga Quentynna mendengar Kenichi terus menerus
mengatakan ‘Kakyu’ dan akhirnya kata itu mereka gunakan sebagai nama
gadis kecil yang baru lahir itu.
Sejak kedatangan Kenichi di Quentynna House, pria tua itu telah menjadi
kakek bagi putri-putri keluarga itu tetapi tidak ada yang sedekat Kakyu.
Sejak kecil Kakyu sangat dekat dengan Kenichi. Hampir setiap saat bayi
mungil itu berada di gendongan Kenichi.
Lady Xeilan yang melihatnya sampai berkata, “Kakyu seperti cucu
kandung Kenichi saja. Setiap hari mereka selalu lekat.”
Akhirnya di antara keluarga Quentynna, hanya Kakyu yang mengerti apa
yang diucapkan Kenichi. Setiap hari mereka berbicara dalam bahasa Jepang
yang terdengar aneh di telinga keluarga Quentynna lainnya.
Sejak kecil Kakyu menguasai dua bahasa. Satu bahasa Inggris yang
dipakai dalam kehidupan sehari-hari Kerajaan Aqnetta dan yang lain adalah
bahasa Jepang yang diperolehnya dari Kenichi.
Ketika Kenichi masih ada di Quentynna House, Kakyu sering
menggunakannya tetapi sejak pria itu menghilang, Kakyu tidak pernah
menggunakannya lagi.
Orang tuanya juga kakak-kakaknya tidak ada yang mengerti bahasa itu.
Tetapi Kakyu tidak pernah melupakan bahasanya itu seperti ia tidak pernah
melupakan Kenichi yang dianggapnya telah kembali ke tanah airnya.
“Tidak,” kata Bleriot tak percaya, “Tidak mungkin engkau masih hidup.
Aku melihat sendiri tubuhmu dibuang di lembah.”
Kakyu terkejut mendengarnya tetapi ia tetap tidak bergerak. Matanya
terus mengawasi muka Bleriot yang sesaat lalu memucat.
Jenderal Reyn juga Jenderal Decker terkejut mendengarnya.
“Siapa engkau? Engkau pasti bukan Kenichi, aku yakin aku telah
membunuhnya empat tahun yang lalu.”
Kakyu terus menatap Bleriot dari balik penutup wajahnya sebelum ia
bertanya, “Engkau yang membunuh Kenichi?”
Di tempat itu tidak ada yang lebih mengenali Kakyu daripada Jenderal
Reyn. Jenderal Reyn tahu suara tenang itu berbahaya, berbahaya bagi Bleriot.
Jenderal Reyn tahu seorang ninja membunuh musuhnya dengan
ketenangannya yang tajam itulah.
“Benar,” kata Bleriot bangga – tanpa menyadari bahaya yang
mengancamnya, “Engkau tidak menduga bukan? Aku dapat membunuh
150
seorang ninja sepertinya. Dan engkau bocah, engkau tidak akan dapat
menangkapku.”
Kakyu diam saja. Matanya terus menatap tajam wajah Bleriot yang
tertawa mengejek itu. Sementara itu dalam hatinya terus bergolak perasaan
marah dan sedih.
“Kau ingin tahu bagaimana aku membunuh ninja itu?” tanyanya, “Aku
maracuninya dan akhirnya aku membuangnya ke lembah terdalam di
pegunungan ini. Ia tidak akan dapat hidup di sana.”
Bleriot tertawa puas. Tujuannya adalah menakuti Kakyu tetapi ternyata
tujuannya itu justru membuat Kakyu semakin tajam menatapnya.
Gejolak dalam diri Kakyu semakin bertambah besar karenanya.
Sementara di satu sisi Kakyu ingin membalas dendam, di sisi lain Kakyu ingin
mematuhi tugasnya.
Kakyu terus berdiam diri. Dalam hatinya terus terjadi pergolakan yang
luar biasa antara dendam dan tugas.
Teringat Kenichi yang baik hati dan selalu disiplin, Kakyu tahu pria itu
tidak akan senang melihatnya mengabaikan tugasnya hanya karena masalah
pribadi.
Dosa Bleriot lebih besar kepada Kerajaan Aqnetta dibandingkan kepada
Kenichi. Kakyu tahu Bleriot harus menerima hukumannya dari Kerajaan
Aqnetta.
“Jangan khawatir,” katanya, “Tak lama lagi aku akan mengirimkanmu ke
tempatnya agar kau dapat berkenalan dengannya. Juga kalian semuanya.”
Sambil tertawa penuh keyakinan akan menang, Bleriot menepuk
tangannya tiga kali.
Tiba-tiba Kakyu merasakan keberadaan beberapa orang di bawahnya.
Bersamaan dengan itu dari sekitar tenda itu, beberapa pintu bawah tanah yang
tersamar oleh tanah, terbuka.
Sekitar lima orang yang juga mengenakan pakaian seperti Kakyu muncul
dari lubang bawah tanah itu.
Jenderal Reyn terkejut melihat mereka. Ia tahu bahaya bila berhadapan
dengan mereka. “Mundur!” perintah Jenderal Reyn.
Pasukan Kerajaan Aqnetta segera melaksanakan perintah itu. Tetapi
Kakyu tidak.
Jenderal Reyn khawatir melihatnya. “Kakyu, mundur!”
Seruan itu membuat prajurit-prajurit terkejut. Kegaduhan muncul di
antara mereka tetapi Kakyu tetap tidak bergerak.
“Hadapi dia dulu,” perintah Bleriot pada para pengawal ninjanya.
Satu yang tidak diketahui Bleriot adalah Kakyu sudah tahu para pengawal
berbaju hitam itu bukan ninja sejak mereka muncul. Gerakan mereka sama
sekali tidak mirip seorang ninja.
151
Kalau Bleriot berniat membuat Kakyu takut dengan pengawal ninjanya, ia
tidak akan berhasil. Tetapi kalau orang lain, ia akan berhasil.
Kakyu yang sudah lama belajar menjadi ninja dari Kenichi, tidak mungkin
tidak dapat membedakan ninja yang asli dengan meraka yang hanya berbaju
selayaknya seorang ninja.
Kelima orang itu segera mengelilingi Kakyu yang tetap tidak bergerak.
Pangeran Reinald benar-benar cemas karenanya. Ia ingin membantu
Kakyu tetapi pengawalnya menghalanginya. Sedangkan Jenderal Reyn yang tak
kalah cemasnya, tidak dapat dapat berbuat apa-apa. Demikian pula Jenderal
Decker yang belum tahu benar kehebatan seorang ninja.
Tetapi tidak demikian halnya dengan prajurit lainnya. Mereka ingin
membantu Kakyu.
Beramai-ramai mereka maju dan segera menyergap kelima orang itu.
Kelima pria berbaju hitam itu segera bertindak ketika banyak pasukan yang
menyerang mereka.
Gerakan mereka semakin membuat Kakyu yakin mereka tidak seperti
dirinya. Tetapi Kakyu tidak akan membiarkan seorangpun di antara mereka
melukai pasukan Kerajaan Aqnetta.
Karena tidak ingin ada korban yang jatuh, Kakyu segera mengeluarkan
apa yang selama ini tidak boleh dilakukannya. Tanpa memejamkan matanya
walau hanya sebentar, Kakyu terus menatap kelima pria itu dari tempatnya.
Bleriot kebingungan melihat kelima pengawalnya tiba-tiba seperti
ketakutan sehingga pasukan Kerajaan Aqnetta dapat meringkus mereka
dengan mudah.
“Satu yang tidak kauketahui adalah aku sama seperti Kenichi,” kata
Kakyu memberitahu dalam bahasa Jepangnya yang fasih, “Kau tidak akan
dapat mengalahkanku juga tidak ninjamu itu. Mereka cukup bagus menyamar
menjadi ninja tetapi sayang sekali mereka tidak tahu siapa yang mereka
hadapi.”
Bleriot tidak mengerti apa yang dikatakan Kakyu, tetapi ia tetap tidak
mau menunjukkannya. “Apa yang kaulakukan pada mereka?” tanya Bleriot
geram.
“Kobadera,” jawab Kakyu singkat.
Wajah Bleriot memucat mendengarnya.
Dengan bahasa Jepang yang fasih pula Kakyu berkata, “Sekarang
saatnya untukmu.”
Jenderal Reyn yang mengerti sedikit apa yang dikatakan Kakyu terkejut
mendengarnya. Ia khawatir Kakyu akan melakukan sesuatu pada pria itu.
“Jangan, Kakyu!” pintanya.
Jenderal Reyn tidak perlu khawatir Kakyu akan membunuh pria yang
memucat itu sebagai pembalasan dendamnya.
152
“Apalagi yang kautunggu?” tanya Bleriot mengejek, “Engkau tidak cukup
berani untuk membunuhku, bukan?”
Pancingan itu mempengaruhi Kakyu. Kembali rasa marah, benci, dendam
dan kesedihan menguasai perasaannya. Benar-benar perjuangan yang berat
bagi Kakyu yang biasanya selalu dapat menguasai perasannya, untuk memilih
di antara perasaannya dan tugasnya.
Dengan kemampuannya Kakyu tahu ia bisa membunuh pria itu dengan
mudah tetapi ia tidak akan melakukan itu. Kakyu tahu pria itu lebih senang
mati daripada harus menjalani hukuman tetapi Kakyu ingin pria itu menebus
semua kesalahan yang telah dilakukannnya.
Dengan perjuangan yang berat, Kakyu akhirnya memilih menghilangkan
perasaannya demi tugasnya. Kenichi sering berkata kepadanya untuk selalu
menguasai perasaannya dan tidak membiarkan perasaan pribadinya
mencampuri pekerjaannya.
Kenichi akan tidak senang melihat Kakyu mencampurkan perasaan
pribadinya dengan tugasnya. Tugas yang sangat penting bagi Kerajaan
Aqnetta.
“Baiklah kalau itu keinginanmu,” katanya berbohong.
Jenderal Reyn terkejut mendengarnya.
Tetapi Kakyu tetap tidak berpindah dari tempatnya juga tidak bergerak.
Matanya terus tertuju pada pria itu.
Jenderal Reyn semakin khawatir melihatnya.
Mata Kakyu yang terus menatap tajam, membuat Bleriot ketakutan tetapi
ia tidak mau menampakkannya.
Kakyu sendiri juga tidak mau menanti lebih lama lagi. Semakin ia melihat
pria itu, semakin ingin ia membunuh pria itu.
Sebelum segalanya terlambat untuknya, Kakyu segera bertindak cepat.
Masih dengan bahasa asingnya, Kakyu berkata, “Kenichi tidak akan
senang melihatmu masih hidup, tetapi ia lebih tidak akan senang lagi bila aku
membunuhmu.” Bersamaan dengan itu, Kakyu meninggalkan Bleriot yang
sudah ketakutan dan tidak dapat melawan lagi.
“Cepat tangkap dia!” seru Jenderal Reyn begitu Kakyu meninggalkan
tenda secepat angin.
Tanpa perlu disuruh dua kali, pasukan segera bertindak. Menangkap
Bleriot yang sudah ketakutan oleh Kakyu, lebih mudah daripada menangkap
kelima pria itu. Dengan mudah mereka mengikat Bleriot dan membawanya
pergi.
Pasukan telah meninggalkan tenda tetapi para pemimpin mereka belum.
“Apa yang dia katakan tadi?” tanya Jenderal Decker.
“Jangan tanya aku,” kata Jenderal Reyn, “Aku sendiri tidak mengerti apa
yang dia katakan itu.”
153
“Di mana dia mempelajari bahasa itu?” tanya Pangeran Reinald dengan
wajah pucatnya karena terkejut dan tidak percaya.
“Dari Kenichi,” jawab Jenderal Reyn.
“Engkau seharusnya juga dapat mengerti apa yang ia katakan,” kata
Jenderal Decker, “Bukankah Kenichi guru Kakyu?”
“Itulah masalahnya. Walaupun aku dan Kenichi tinggal serumah tetapi
saja Kakyu yang paling dekat dengannya yang mengerti bahasa Jepang.
Dibandingkan siapapun di Quentynna House, Kakyu lebih mahir menguasai
bahasa itu. Sejak lahir, ia sudah dekat dengan Kenichi.”
“Kalau rambut Perwira Kakyu berwarna hitam, aku yakin ia akan seperti
seorang pemuda Jepang,” Pangeran Reinald palsu menanggapi. Sedangkan
Pangeran Reinald yang asli hanya diam saja.
Gadis itu tampak semakin penuh misteri baginya. Banyak sekali
pertanyaan yang muncul dalam diri Pangeran tampan itu dengan kejadian yang
baru saja terjadi.
“Akhirnya masalah ini selesai juga,” kata Jenderal Erin, “Sekarang kita
hanya perlu menggeledah tempat ini dan memeriksanya kemudian kembali ke
Chiatchamo.”
“Tak pernah kubayangkan pertempuran terakhir ini lebih mudah dari
pertempuran-pertempuran sebelumnya,” tambah Jenderal yang lain.
“Seharusnya memang begitu,” Jenderal Decker puas, “Apa gunanya kita
mendapatkan bantuan dari Kakyu kalau tidak seperti ini hasilnya.”
Adna menatap Pangeran Reinald.
Segala keputusan ada di tangan Pangeran itu, apakah tetap membiarkan
kesalahpahaman ini atau membenarkan? Apakah mereka harus memeriksa
Hutan Naullie dengan teliti atau mereka dapat segera pulang setelah ini?
Pangeran Reinald sendiri tidak memikirkan masalah yang lain selain
Kakyu.
Pangeran pernah mendengar temannya yang memang berasal dari
Jepang menggunakan bahasa itu dan ia ingin penjelasan atas semua ini
langsung dari Kakyu sendiri.
Sebelumnya Pangeran harus tahu ke mana perginya gadis itu tetapi ia
tidak yakin akan dapat menemukan gadis itu. Gadis itu seperti angin yang
datang dan pergi tiba-tiba serta tidak ada yang dapat menduganya juga
mengikutinya.
Ke manapun perginya gadis itu, yang pasti gadis itu akan selamat. Gadis
itu memang bukan seorang gadis biasa. Ia tidak hanya setangguh pemuda lain
tetapi juga cepat.
Pangeran Reinald yang ketika berada di Inggris sering dipuji cepat baik
dalam mengambil keputusan maupun bertindak, tidak dapat mengalahkan
Kakyu.
154
Kakyu masih terlalu cepat untuknya.
Pangeran Reinald segera meninggalkan tenda itu untuk mencari Kakyu.
Walau telah mencari di sekeliling markas Kirshcaverish, ia tetap tidak
dapat menemukan gadis itu. Ia ingin mencari Kakyu di benteng, tetapi ia tidak
dapat meninggalkan pasukan Kerajaan Aqnetta di sini.
Sampai sekarang ia memang belum menukar kembali posisinya dengan
Adna bahkan belum memberi tanda-tanda untuk melakukan itu, tetapi
Pangeran tahu Adna tidak tahu harus berbuat apa tanpa dirinya. Kalaupun
tahu, belum tentu pria itu tahu apa yang ingin dilakukannya.
Pangeran Reinald terus berkeliling markas Kirshcaverish sambil mencari
Kakyu.
Sejak Bleriot dan seluruh anggotanya tertangkap semua – tanpa ada
yang lolos, pasukan mulai memeriksa markas Kirshcaverish.
Segala barang bukti mereka kumpulkan sebagai bahan pengadilan bagi
Bleriot dan kelompoknya.
Mereka juga membersihkan lembah ini dari sisa-sisa tempat tinggal
Kirshcaverish untuk memastikan tidak ada lagi kelompok pemberontak yang
muncul di tempat ini.
Untung tidak ada korban jiwa yang jatuh sehingga tugas prajurit Kerajaan
Aqnetta menjadi mudah.
Seluruh pasukan tampak tidak sabar lagi untuk segera pulang ke
keluarga mereka masing-masing.
Mereka semua telah berjasa bagi kedamaian kerajaan mereka dan
sebentar lagi tiba saatnya bagi mereka untuk menikmati apa yang telah
mereka lakukan bagi Kerajaan Aqnetta.
Tidak seorangpun dari mereka yang mengharapkan penghargaan yang
tinggi dari Raja Alfonso setelah mereka tiba di Chiatchamo. Mereka lebih
mengharapkan kembali pada keluarga mereka dan melepas rindu serta
kecemasan yang ada.
Perang telah usai.
Kirshcaverish telah tertumpas. Pemimpinnya pun dapat tertangkap.
Tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Kedamaian Kerajaan Aqnetta
telah kembali. Tetapi bersamaan dengan itu muncul tugas baru bagi Kerajaan
Aqnetta.
Dengan adanya pemberontak ini, Kerajaan Aqnetta harus semakin
memperkuat pasukannya bukan hanya di daerah yang lapang tetapi juga di
hutan.
Di darat maupun di laut pasukan Kerajaan Aqnetta harus kuat agar tidak
ada satu kerajaanpun yang dapat menguasai kerajaan kecil yang makmur dan
kaya hasil bumi ini.
Malam semakin larut dan pagi semakin dekat tetapi Pangeran Reinald
155
belum dapat menemukan Kakyu.
Tidak ada seorangpun di antara mereka yang melihat kepergian Kakyu.
Prajurit yang berjaga-jaga di sekitar perkemahan Kirshcaverish pun tidak.
Pangeran sejak tadi ingin menerobos Hutan Naullie dan mencari Kakyu
lebih dalam tetapi sayangnya Pangeran Reinald tidak dapat pergi tanpa
membuat seorangpun terutama Adna khawatir.
Pangeran tidak mengenal Hutan Naullie ini sebaik Kakyu. Andai ia
mengenal hutan ini dengan baik, tentu tak seorangpun yang akan khawatir ia
tersesat.
Pangeran Reinald benar-benar jengkel menyadari ia tidak dapat berbuat
banyak selain mondar-mandir dengan cemas di sekitar perkemahan
Kirshcaverish. Ia tidak dapat meninggalkan Hutan Naullie juga tidak dapat
memasuki Hutan Naullie lebih dalam lagi.
Kalau ia nekat melakukannya, ia tahu sendiri apa yang akan terjadi. Ia
bukan hanya membuat Adna khawatir, lebih celaka lagi kalau kemudian
pengawalnya itu karena sangat khwatirnya, mengatakan segalanya.
Sedangkan Pangeran untuk saat ini masih belum mau membenarkan
kekeliruan ini. Pangeran masih ingin memiliki banyak waktu untuk
mendapatkan segala yang ingin ia ketahui dari Kakyu.
Sejak kemarin, Kakyu telah membuat Pangeran Reinald jengkel dan
sekarang Pangeran tidak dapat lagi menahan kejengkelannya itu. Pangeran
Reinald benar-benar marah. Hampir setiap orang yang mengganggunya
mendapatkan amarahnya.
Untung saja Adna yang mengenal sikap Pangeran, menyarankan kepada
setiap orang di sana untuk tidak mengusik Pangeran.
Pangeran terus mencari Kakyu.
Sang ayah, Jenderal Reyn sendiri tidak mengkhawatirkan putranya.
Jenderal Reyn tahu Kakyu akan selamat apalagi dengan kekuatan yang
dimilikinya. Walaupun sedang dalam keadaan sedih, Jenderal Reyn yakin Kakyu
masih dapat menguasai dirinya.
Kemarahan dan kesedihan yang tadi menguasai hatinya tidak
membuatnya salah bertindak. Kakyu melawan semua perasaannya demi
tugasnya. Itu sudah cukup bagi Jenderal Reyn untuk tidak mengkhawatirkan
Kakyu.
Di manapun Kakyu berada saat ini, ia tidak akan melakukan hal bodoh
apapun.
Dengan kesal Pangeran Reinald terus mencari di sekitar lembah.

156
13

Menjelang pagi, Pangeran Reinald yang berjalan di tepi sungai yang


mengalir di lembah itu, melihat seseorang dalam pakaian hitam duduk
termenung di batang pohon dekat sungai.
Tanpa ragu sedikitpun, Pangeran segera menghampirinya.
“Ke mana saja engkau?” tanya Pangeran geram.
Kakyu yang sejak tadi masih sibuk merenung, terkejut. Ia tidak
menyadari kedatangan Pangeran hingga Pangeran meremas kedua lengannya
dan mengguncangkan tubuhnya dengan geram – tak kalah dengan suaranya.
Lengan kanannya yang belum sembuh, membuat gadis itu kembali
kesakitan tetapi ia tidak mau menunjukkannya. Malah dengan sikap
tenangnya, ia berkata, “Tidak dari manapun.”
Pangeran Reinald tidak segera melepaskan Kakyu, malahan ia menarik
gadis itu hingga berdiri dan mengguncangkan tubuhnya semakin keras.
“Jangan bohong kepadaku! Semalaman aku mencarimu tetapi aku tidak
menemukanmu di sekitar sini.”
Kakyu tidak merasa ia berbohong. Sejak meninggalkan tenda utama
Kirshcaverish, ia memang duduk termenung di tepi sungai ini dan membiarkan
pikirannya terus mengalir seperti aliran sungai itu.
Semalaman Kakyu memikirkan Kenichi. Kenangan-kenangannya bersama
Kenichi hingga kesedihannya tatkala mengetahui pria tua itu telah
meninggalkannya, bukan kembali ke Jepang seperti yang diduganya.
Kediaman Kakyu membuat Pangeran Reinald jengkel. “Jawab aku!”
perintahnya sambil mempererat genggamannya.
Sikap Pangeran itu membuat Kakyu tidak mampu menahan sakit lagi.
Suara kesakitan yang muncul dari bibir gadis itu membuat Pangeran
Reinald menyadari sikap kasarnya.
Pangeran Reinald segera melepaskan lengan Kakyu. “Maafkan aku,”
katanya, “Aku sangat marah hingga aku lupa pada lukamu.”
Kakyu hanya menggeleng dengan memegang lukanya yang kembali
terasa nyeri.
Melihatnya, Pangeran Reinald menjadi cemas. “Engkau tidak apa-apa?”
tanyanya khawatir.
“Tidak,” jawab Kakyu singkat – tanpa menunjukkan rasa sakitnya.
Pangeran Reinald tidak percaya. “Duduklah.”
Dengan kedua tangan Pangeran yang memegang kedua pundaknya,
Kakyu tidak dapat berbuat apa-apa selain menuruti perintah itu.
157
Kemudian Pangeran memeriksa lengan Kakyu dengan teliti.
“Untunglah,” katanya lega, “Lukamu tidak terbuka kembali. Aku tidak
tahu harus berbuat apa kalau lukamu sampai terbuka kembali gara aku lagi.”
Kakyu kembali memandangi aliran sungai seperti sebelum Pangeran
datang.
Pangeran duduk di samping Kakyu. “Ke mana saja engkau semalam?”
tanyanya dengan nada yang jauh berbeda dengan sebelumnya.
“Di sini.”
“Mengapa aku tidak dapat menemukanmu?” tanya Pangeran Reinald
tetap dengan sabar, “Aku telah mencarimu di sekitar lembah ini.”
“Entahlah.”
Pangeran Reinald menyadari gadis di sampingnya itu telah kembali
menjadi seorang gadis tenang yang sangat pendiam. Tetapi ia bukan Pangeran
Reinald yang keras hati kalau ia menyerah semudah ini.
“Mungkin karena pakaianmu yang hitam itu, aku tidak melihatmu.
Pakaianmu pasti telah menyamarkanmu di kegelapan malam.”
“Mungkin,” kata Kakyu singkat – hanya untuk kesopanan.
Pangeran Reinald melihat Kakyu yang terus menatap lurus pada aliran
sungai.
Entah mengapa Pangeran tiba-tiba merasa Kakyu akan tampak sangat
cantik kalau ia mengenakan gaun selayaknya gadis lain. Mungkin karena
semua orang di Kerajaan Aqnetta berpendapat putri Jenderal Reyn semuanya
cantik dan memiliki keunikan tersendiri.
Tetapi bagi Pangeran Reinald, hanya Kakyu yang paling unik.
“Aku turut sedih,” kata Pangeran tiba-tiba, “Aku telah mengetahui dari
ayahmu kalau Kenichi itu gurumu.”
Tidak ada jawaban apapun dari Kakyu.
“Aku tahu engkau sedih tetapi engkau tidak boleh terus menerus seperti
ini. Kenichi pasti tidak senang kalau ia melihatmu terus bersedih seperti ini.”
“Saya tahu.”
“Kalau engkau tahu, mengapa engkau terus duduk di sini? Masih banyak
yang harus kaulakukan selain duduk termenung di sini.”
Kakyu kembali diam seribu kata.
“Engkau juga masih harus menjelaskan ini semua kepadaku.”
“Menjelaskan apa?” tanya Kakyu.
Kakyu tidak merasa ia telah menyembunyikan sesuatu dari Pangeran
Reinald. Pangeran Reinald sendiri telah tahu ia bukan seorang pria seperti
anggapan orang lain. Ia hanya seorang gadis yang menyamar sebagai pria.
Pangeran sendiri juga tahu apa yang dilakukannya sebelum pasukan Kerajaan
Aqnetta datang.
“Semuanya,” kata Pangeran Reinald, “Mulai dari engkau menjadi seorang
158
pria hingga Kenichi. Siapa Kenichi? Mengapa engkau menjadi seorang pria?
Tidak satupun yang boleh terlewat.”
“Anda telah mengetahuinya.”
“Aku tidak tahu, Kakyu. Karena aku tidak tahu itulah, aku bertanya.
Segera jawab sebelum aku mulai marah.”
Kakyu terus menatap aliran sungai di depannya. Ia tidak takut pada
kemarahan Pangeran, tetapi ia tahu ia tidak bisa terus menerus dalam keadaan
seperti ini.
Sejak dulu Kenichi telah berkata pasti akan ada saatnya bagi Kakyu untuk
menjadi dirinya sendiri bukan seorang pemuda seperti yang diinginkan
ayahnya.
“Kenichi seorang Jepang.”
“Aku tahu. Aku pernah mendengar temanku menggunakan bahasa yang
kaupakai tadi itu. Aku mengerti sedikit tentang Jepang juga bahasanya, tetapi
aku belum pernah mendengar tentang ninja.”
“Engkau harus menjelaskan tentang itu juga,” tambah Pangeran, “Tidak
dengan singkat.”
“Ninja seperti seni bela diri tetapi sebenarnya ia seni membunuh. Seni
yang sangat berbahaya bila digunakan untuk kejahatan tetapi bila digunakan
untuk kebaikan, akan menjadi kekuatan tersendiri. Kekuatan yang tak
terkalahkan.”
“Sangat menakutkan,” komentar Pangeran.
Kakyu mengangguk.
“Seorang ninja dapat menjadi pembunuh bayaran yang menakutkan
tetapi di Jepang, ninja ini sangat terorganisir dan tidak sembarangan mereka
membunuh. Hanya untuk keperluan tertentu saja, mereka muncul. Seperti
seorang samurai, ninja memiliki hukum. Mereka tidak boleh mengajarkan ilmu
ini kepada orang lain di luar Jepang. Seseorang yang ketahuan mengajarkan
ilmu ini pada orang lain, akan dihukum mati.”
“Mengapa Kenichi mengajarimu?”
Kakyu termenung.
Dengan perlahan, ia berkata, “Papa menemukan Kenichi di tepi pantai
dalam keadaan pingsan. Karena kasihan padanya, Papa membawanya ke
Quentynna House dan memintanya tinggal di sana.”
“Hingga saya lahir, tidak seorangpun yang dapat mengerti kata-kata
Kenichi. Kenichi sendiri hanya mengerti sedikit bahasa Inggris. Mungkin karena
saya lahir beberapa hari setelah ia berada di Quentynna House, ia sangat
menyayangi saya.”
Kakyu berhenti sesaat. Kesedihan kembali memenuhi hatinya, kenangan-
kenangan bersama Kenichi masih terbayang jelas dalam dirinya.
Pangeran Reinald menyadari kesedihan Kakyu. Ia tidak ingin Kakyu
159
menjadi semakin sedih dan ia ingin menghentikan gadis itu tetapi Kakyu telah
melanjutkan ceritanya,
“Ia seperti kakek bagi saya,” kata Kakyu menahan perasaan sedihnya,
“Karena setiap hari terus bersamanya, saya menjadi mengerti bahasanya. Dia
bercerita banyak kepada saya.”
Kakyu teringat pada cerita-cerita Kenichi. Tentang legenda-legenda
Jepang, tentang kebudayaan Jepang hingga bagaimana ia bisa terdampar di
perairan Kerajaan Aqnetta.
Kenichi mengatakan ia sedang dalam perjalanan kembali ke Jepang
ketika kapalnya diserang badai. Badai itu begitu ganasnya hingga
menyebabkan kapalnya karam. Ia tidak tahu bagaimana keadaan yang lain
hingga saat itu. Ia hanya tahu ia telah terdampar di sini. Dan ia tidak tahu
apakah ia bisa kembali ke Jepang, negeri timur yang jauh.
Darinya Kenichi pula Kakyu tahu banyak tentang ninja dengan keempat
simbolnya dan senjata-senjata rahasianya.
Ninja memiliki banyak senjata rahasia di antaranya shurikiken, saie,
surigama. Tetapi yang paling terkenal dan merupakan tanda seorang ninja
adalah shurikiken.
Senjata berwarna hitam dan berbentuk berbentuk bintang empat.
Keempat sisi bintang yang menonjol sangat runcing seperti pedang dan akan
sangat mematikan musuh.
Sedangkan Saie bentuknya seperti trisula dewa laut Yunani, Poseidon,
tetapi saie lebih kecil dan pendek.
Di samping itu masih ada senjata lain yang juga dimiliki seorang samurai.
Bedanya, pedang seorang samurai tidak berbentuk kotak pada ujungnya
sedangkan pedang seorang ninja yang disebut ninja-to itu berbentuk kotak
pada ujung pegangannya – antara mata pedang dan pegangannya.
Dalam nin-jitsu, seni membunuh rahasia itu dikenal simbol-simbol yang
menyatukan kekuatan utama. Jen, Ritsu, Saie, dan Szeng.
Dalam seni ini juga dikenal adanya sihir yang disebut kobadera. Sihir
untuk menimbulkan halusinasi pada musuh. Juga ada ‘Ing tong jiutsu’ yang
merupakan kemampuan menghilang serta membuat musuh takut dan lumpuh.
“Mengapa engkau diam saja?”
“Tidak apa-apa,” Kakyu cepat-cepat menyahut. “Saya sudah mengatakan
semuanya pada Anda” tambahnya.
“Belum. Belum semuanya.”
Semua yang perlu dikatakan telah dikatakan oleh Kakyu dan tidak ada
yang terlewat. Kalau Pangeran Reinald ingin mengetahi lebih banyak lagi,
Kakyu tidak dapat mengatakannya. Demi ayahnya juga demi orang lain.
Kakyu dapat membayangkan seperti apa sikap orang-orang kepadanya
bila mereka tahu ia menguasai seni yang sangat berbahaya yang juga memiliki
160
unsur sihir.
Selama ini Kakyu telah sangat berhati-hati untuk tidak menggunakannya.
Tadi Kakyu terpaksa menggunakan ilmu Kobadera-nya untuk membuat
halusinasi pada kelima ninja palsu Bleriot juga pada Bleriot sendiri.
Kakyu mempengaruhi pikiran mereka untuk membuat mereka seakan-
akan melihat sesuatu yang menakutkan.
Tadi Kakyu menggunakannya dalam keadaan kacau saat pasukan yang
lain sibuk dengan sisa-sisa pemberontak itu hingga tidak seorangpun dari
mereka yang menyadarinya. Andai mereka menyadarinya, mereka pasti ikut
ketakutan seperti Bleriot.
Bleriot pasti telah mengetahui tentang seni nin-jitsu itu dari Kenichi
tetapi ia tidak akan mengetahui lebih banyak dari Kakyu.
Kakyu yakin Kenichi tidak akan semudah itu menceritakan segalanya
kepada Bleriot. Kenichi tidak akan melanggar aturan untuk kedua kalinya.
Walau begitu Bleriot sepertinya cukup tahu tentang Kobadera.
Mendengarnya saja, tadi ia sudah pucat pasi. Bleriot sepertinya pernah melihat
ilmu sihir itu.
Apa yang dilakukan Kakyu pada Bleriot tentu tidak sebaik Kenichi tetapi
setidaknya ia dapat membuat Bleriot ketakutan hingga tidak dapat berbuat
apa-apa.
Walaupun begitu, Kakyu tetap bertanya, “Apa yang terlewatkan?”
Ketenangan gadis itu yang menunjukkan ia tidak merasa melewatkan
apapun, membuat Pangeran Reinald jengkel, “Engkau belum mengatakan
mengapa engkau menjadi seorang pria?”
Kakyu kembali terdiam.
Apakah baik mengatakan kesedihan ayahnya ketika mengetahui putra
bungsunya yang diharapkannya seorang laki-laki ternyata seorang bayi
perempuan. Bayi dengan tangisannya yang keras seperti pria dan rambut
merah yang bersinar seperti api.
“Wajah bayi yang baru lahir itu menampakkan kekuatan,” demikian yang
dikatakan Kenichi pada keluarganya sesaat setelah Kakyu lahir dengan bahasa
Inggrisnya yang terbata-bata dan agak kacau.
“Jawablah,” desak Pangeran. “Tidak seorang gadispun yang tanpa alasan
mau menjadi laki-laki apalagi sampai muncul di garis depan medan perang
sebagai Perwira.”
“Maafkan saya,” kata Kakyu sambil menjauh.
Kakyu masih belum dapat mengatakan segalanya kepada Pangeran
Reinald. Ia masih merasa berat untuk mengatakan kesedihan ayahnya setelah
harapan terakhirnya untuk mempunyai putra, hilang.
Tindakan Kakyu itu tentu saja membuat Pangeran Reinald jengkel tetapi
Pangeran itu tidak dapat berbuat apa-apa untuk menghentikan Kakyu yang
161
telah menghilang di balik semak-semak itu.
Setelah meninggalkan Pangeran, Kakyu segera menemui ayahnya.
Atas ijin ayahnya, ia kembali ke benteng untuk menemui Joannie. Ada
suatu urusan yang harus diselesaikannya dengan kakaknya.
Pertama-tama ia harus menghilangkan kecemasan Joannie lalu ia akan
menanyakan perasaan kakaknya pada Adna.
Tanpa kesulitan, Kakyu mencapai benteng dan segera mencari Joannie di
tendanya.
“Kakyu!” seru Joannie senang, “Ke mana saja engkau? Bagaimana
keadaan ayah? Bagaimana dengan Pangeran? Kirshcaverish bagaimana?”
Kakyu sudah terbiasa mendengar pertanyaan yang seperti peluru tiada
henti itu. “Kami semua baik-baik saja dan Kirshcaverish telah tertumpas.
Sekarang kami masih membersihkan tempat itu.”
“Pangeran bagaimana?”
“Pangeran juga baik-baik saja,” Kakyu memberitahu, “Tidak ada korban
jiwa yang jatuh. Pasukan kita hanya terluka demikian pula Kirshcaverish.
Mereka semua dapat tertangkap.”
“Untunglah,” kata Joannie lega, “Aku ingin ke sana. Bawalah aku ke
sana.”
“Tidak,” Kakyu mencegah, “Papa memerintahkanmu untuk tetap di sini.”
“Tetapi aku ingin menemani Papa,” Joannie merajuk.
Kakyu menatap lekat-lekat Joannie. Ia tidak dapat membayangkan
bagaimana sikap kakaknya kalau tahu Pangeran Reinald yang dikenalnya
selama ini bukan Pangeran asli.
Apakah Joannie akan bersikap manja seperti ini atau bersikap dewasa?
“Aku ingin ke sana, Kakyu,” desak Joannie.
“Mereka tak lama lagi akan datang,” kata Kakyu.
Joannie semakin merajuk seperti anak kecil karena penolakan Kakyu.
“Joannie,” kata Kakyu hati-hati, “Bagaimana perasaanmu pada Pangeran
Reinald?”
Perhatian Joannie teralihkan karenanya, “Engkau sudah tahu, Kakyu, aku
sangat mencintai Pangeran.”
“Andaikata Pangeran membohongimu, bagaimana?”
“Pangeran tidak mungkin melakukannya padaku, Kakyu. Ia pria yang
jujur.”
“Aku tahu,” kata Kakyu.
Kakyu bukan hanya sekali atau dua kali saja menanyakan tentang pria itu
pada Pangeran Reinald yang asli. Dan tidak hanya sekali saja, Kakyu memuji
pria itu di depan sang Pangeran yang asli. Dari semua perkataan Pangeran,
Kakyu tahu Adna memang pria yang baik dan penuh pengertian.
Adna tentu sudah mengenal sifat Joannie tetapi Joannie belum tentu
162
dapat menerima kenyataan bahwa Adna selama ini telah menyamar sebagai
Pangeran Reinald.
Walau penyamaran itu bukan karena kesalahan Adna sendiri, kalau
Joannie menerimanya dengan sikap kekanak-kanakannya, Joannie bisa menjadi
sangat marah dan akan fatal akibatnya bagi Adna yang juga mencintai Joannie.
“Andaikan, Joannie,” kata Kakyu.
“Andaikan ia membohongiku, ia tentu punya alasan sendiri,” kata Joannie
bijaksana, “Aku pasti akan mendengarkannya.”
Walau kakaknya telah mengatakan sikapnya dengan penuh keyakinan,
Kakyu tidak yakin sikap Joannie akan seperti yang dikatakannya kalau ia tahu
yang sebenarnya.
Demi hubungan kedua orang itu, Kakyu memilih untuk tidak mengatakan
apapun kepada Joannie. Adna harus menjelaskan sendiri masalah ini pada
Joannie.
Kakyu bukan apa-apa di antara mereka. Ia hanya orang yang membantu
Joannie mendapatkan ijin untuk meninggalkan tendanya dan mencari informasi
tentang pria itu.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Kakyu?” tanya Joannie cemas.
Kakyu menjawab singkat, “Aku hanya bertanya.”
“Engkau memang aneh, Kakyu,” komentar Joannie.
Kakyu tidak menanggapi.
“Kapan mereka datang, Kakyu?”
“Tidak tahu.”
“Aku ingin ke sana.”
Untuk kesekian kalinya, Joannie mendesak Kakyu. Dan untuk kesekian
kalinya pula, Kakyu menolak keinginan Joannie.
“Aku akan menanti mereka.”
Kakyu segera pergi tanpa memberi kesempatan pada Joannie untuk
mencegahnya.
“Jangan biarkan ia meninggalkan tempat ini,” perintahnya pada prajurit
yang diperintahkan untuk menjaga Joannie.
“Baik,” jawab mereka.
Kakyu segera menuju tendanya dan mengganti pakaian hitamnya
dengan seragam ketentaraannya.
Dengan pakaian seragam pengawal Istananya, Kakyu kembali
meninggalkan benteng. Kali ini Kakyu tidak menuju perkemahan Kirshcaverish.
Ia menuju lembah terdalam di Hutan Naullie yang dikatakan Bleriot.
Kakyu hanya berdiri di ujung lembah itu tanpa melakukan apa-apa.
Matanya terus menatap dasar lembah yang tertutup lebatnya pepohonan di
kanan kiri kaki lembah.
Di dasar yang tidak tampak itulah Bleriot membuang tubuh Kenichi yang
163
sebelumnya telah diracuninya.
Kakyu tidak tahu bagaimana cara Bleriot meracuni Kenichi yang sangat
tangguh itu. Tetapi Kakyu tahu Bleriot melakukannya dengan kelicikannya.
Kelicikan pria itu patut dicurigai mulai saat ini hingga mereka tiba di
Chiatchamo. Bleriot tidak boleh lepas dari pengadilan yang akan meminta
pertanggung jawabannya atas semua kesalahannya.
Kakyu berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak membiarkan pria itu
meloloskan diri.
Tidak ada air mata kesedihan yang tampak di wajah Kakyu.
Kakyu telah dididik baik oleh ayahnya maupun Kenichi untuk menjadi
seorang pemuda yang tegar. Sesedih apapun dirinya, sesulit apapun rintangan
yang dihadapinya, Kakyu harus tegar.
Pangeran Reinald benar tidak ada gunanya ia terus bersedih seperti ini.
Kenichi telah pergi untuk selama-lamanya dan tidak ada yang dapat
mengembalikannya. Bleriot telah merampas Kenichi dari Kakyu tetapi Kakyu
telah memiliki kenangan indah bersama Kenichi yang tidak dapat dirampas
siapapun.
Kenangan itu akan terus hidup dalam diri Kakyu dan menghidupkan
kembali Kenichi dalam diri Kakyu. Kenichi akan terus hidup dalam diri Kakyu.
Kakyu diam – menikmati angin yang di puncak lembah yang membelai
tubuhnya.
Berapa lama ia berada di sana, Kakyu tidak peduli. Ia hanya ingin
merasakan kehadiran Kenichi di tempat ini terutama dalam hatinya.
Sinar matahati siang yang menyinarinya, membuat Kakyu menyadari ia
sudah lama meninggalkan benteng.
Sebelum ada yang mencarinya, Kakyu segera kembali ke benteng.
Ketika Kakyu tiba, pasukan juga sudah kembali bersama semua tahanan
mereka.
“Perwira!” panggil Kolonel Abel.
Kakyu yang baru saja memasuki pintu masuk benteng, segera berhenti.
“Jenderal Decker mencari Anda,” katanya.
“Terima kasih.”
Kakyu segera menuju tenda Jenderal Decker.
“Selamat siang, Jenderal,” sapa Kakyu.
“Rupanya engkau sudah datang,” kata Jenderal Decker senang.
Kakyu diam menanti Jenderal Decker mengatakan keperluannya.
“Menurutmu kita membawa Kirshcaverish yang jumlahnya banyak itu
dengan diikat atau kita naikkan ke kereta?”
“Terserah Anda, Jenderal.”
“Bantulah aku, Kakyu,” kata Jenderal Decker, “Dua-duanya sama-sama
merepotkan. Kalau kita menaikkan mereka ke kereta, kita tidak punya banyak
164
kereta untuk menampung mereka. Tetapi kalau kita membiarkan mereka
berjalan, kita akan kesulitan kalau mereka tiba-tiba berontak.”
“Maafkan saya, Jenderal Decker. Sebaiknya Anda merundingkannya
dengan Jenderal yang lain atau dengan Pangeran Reinald sendiri,” kata Kakyu.
“Aku juga hendak melakukan itu,” kata Jenderal Decker, “Tetapi
sebelumnya aku ingin tahu pendapatmu.”
“Maafkan saya, Jenderal.”
“Baiklah, aku mengerti,” kata Jenderal Decker sambil tersenyum.
“Engkau kalau tidak diperlukan membuat masalah tetapi kalau diperlukan diam
saja.”
Kakyu membalas senyuman itu kemudian meninggalkan tempat itu.
Tidak baik kalau Kakyu terus menerus banyak mengambil keputusan.
Masih banyak Jenderal yang lebih kuat darinya dan masih banyak di antara
mereka yang tahu apa yang harus mereka lakukan.
Bagi Jenderal yang telah mengenal Kakyu, tidak masalah kalau Kakyu
terus yang mengambil peran. Tetapi Jenderal lain akan berkata lain. Kakyu
tidak ingin menimbulkan perselisihan di antara dirinya dengan Jenderal-
Jenderal itu.
Ayahnya juga tidak akan senang bila tahu ia membuat perselisihan.
Selama ini ia telah menarik diri dari umum juga dan tidak manampakkan
apapun. Sekarang ia juga tidak akan melakukannya.
Kakyu ingin terus berada dalam dunianya yang tenang.
Tetapi saat ini ia harus meninggalkan dunianya itu demi Joannie.
Kakyu menuju tenda Adna.
“Mau ke mana lagi engkau?” tanya Pangeran Reinald geram.
Kakyu diam saja melihat Pangeran Reinald masih marah kepadanya.
Dengan tenang ia berkata, “Menemui Adna.”
“Ia tidak ada di sana.”
Kakyu menduga Adna sedang berbicara dengan Joannie. Dan ia akan
memberi kesempatan padanya untuk menyelesaikan masalahnya dengan
Joannie.
Kembali sebelum Pangeran Reinald mencegahnya, Kakyu segera pergi.
Tetapi kali ini Pangeran Reinald telah bersiap-siap untuk mengikuti Kakyu.
Dengan langkahnya yang lebar, ia mengikuti Kakyu yang terus berjalan seolah-
olah tidak ada apa-apa.
Kakyu ingin kembali ke lembah.
Pangeran Reinald terkejut ketika Kakyu tiba-tiba berhenti.
“Ada apa?”
Kakyu tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya berbalik kembali.
Pangeran Reinald melihat Adna sedang berbicara Joannie di dekat tepi
Hutan Naullie. Ia memalingkan kepalanya pada Kakyu yang telah berjalan
165
menjauh dan segera mengikuti Kakyu sebelum kehilangannya.
“Engkau cemburu?” tanya Pangeran Reinald menyelidik.
“Tidak,” jawab Kakyu singkat.
Pangeran Reinald tidak berhenti menyelidik. Tidak setelah Kakyu sering
menanyakan tentang Adna kepadanya. “Lalu mengapa engkau pergi seperti
gadis yang sedang cemburu?”
“Hormatilah mereka,” katanya singkat.
Pangeran Reinald menghadang Kakyu. “Jawab dengan jujur,” perintahnya
tegas.
“Untuk apa,” kata Kakyu.
Pangeran Reinald tidak menangkap maksud Kakyu dengan perkataannya,
“Engkau harus mengatakannya.”
“Untuk apa saya cemburu?”
“Karena engkau juga mencintainya, bukan?”
Kakyu tidak ingin menjelaskan apapun pada Pangeran. “Sudahlah,
Pangeran. Lebih baik Anda menemui Jenderal Decker. Ia membutuhkan
bantuan Anda.”
“Tidak bisa,” kata Pangeran Reinald keras kepala, “Selama ini engkau
terus menerus berkelit. Sekarang engkau harus menjelaskan semuanya. Tadi
pagi engkau belum menjelaskan semua yang ingin kuketahui.”
Seseorang melalui mereka.
Walau tidak melihat wajah Joannie, tetapi melihat cara berjalan
kakaknya, Kakyu yakin Joannie sedang gembira. Entah apa yang membuat ia
sangat gembira hingga tidak menyadari keberadaannya dan Pangeran Reinald
yang asli.
Kakyu menjadi curiga karenya. Ia yang sangat mengenali watak
kakaknya tahu Joannie tidak mungkin sesenang itu setelah mengetahui dirinya
telah dibohongi.
Kakyu melepaskan diri dari cengkeraman Pangeran Reinald dan segera
menemui Adna.
“Engkau belum mengatakannya?”
Adna yang sibuk berpikir terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia segera
membalikkan badan.
“Selamat siang, Perwira, Pangeran,” sapanya.
Kakyu kembali mengulangi pertanyaannya tetapi kali ini dengan tajam.
Kakyu melihat keragu-raguan dan kebimbangan di wajah Adna.
“Saya tidak dapat melakukannya,” jawabnya, “Pangeran masih belum
mengijinkan saya membenarkan kekeliruan ini.”
Kakyu ganti menatap Pangeran Reinald. “Apa lagi yang ingin kauselidiki?”
“Banyak,” jawab Pangeran santai.
“Semuanya telah kukatakan padamu.”
166
“Tidak. Belum semuanya. Engkau selalu segera menghilang sebelum
selesai menjawab pertanyaanku.”
Kakyu hanya dapat menghela napasnya melihatnya. Ia tidak dapat
memberitahu apa-apa lagi pada Pangeran dan ia akan tetap pada
pendiriannya.
Dengan mengacuhkan Pangeran, Kakyu kembali memperhatikan Adna.
“Joannie tidak akan marah kalau engkau mengatakannya. Walau kadang ia
kekanak-kanakan, ia tahu apa yang harus dilakukannya.”
“Saya mengerti.”
“Selesaikan masalah ini.”
“Saya juga ingin segera menyelesaikan kesalahpahaman ini sebelum
Lady Joannie mengetahuinya. Saya tidak ingin Lady Joannie semakin marah
kalau saya terlalu lama membohonginya tetapi Pangeran belum mengijinkan
saya.”
“Kalian tidak bisa selamanya seperti ini.”
“Saya tahu, Perwira. Saya juga telah mengatakannya pada Pangeran,
tetapi Pangeran tidak mau membenarkan kesalahpahaman ini,” kata Adna,
“Kesalahpahaman ini memang bukan masalah yang kecil tetapi keputusan
tetap di tangan Pangeran.”
“Terserah kalian.”
Kakyu segera berlalu.
Adna terlalu patuh pada Pangeran Reinald. Hingga Pangeran Reinald
sendiri yang memutuskan untuk membenarkan semua ini, Adna pasti tidak
akan berani mengatakan apapun pada Joannie.
Entah hingga kapan Adna akan membohongi Joannie. Dan Pangeran
Reinald yang menjadi penyebabnya.
Pangeran Reinald heran melihat Kakyu pergi begitu saja tanpa berusaha
membujuk lagi.
“Adna, apakah engkau benar-benar ingin memberitahu semuanya pada
Joannie?” tanya Pangeran.
“Benar, Pangeran,” jawab Adna jujur, “Saya tidak ingin terlalu lama
membohongi Lady Joannie. Ia sangat cantik dan saya khawatir akan ada pria
lain yang merebutnya dari saya. Tetapi saya tidak dapat bertindak sekehendak
saya dalam keadaan seperti ini. Citra Anda akan rusak kalau sampai saya salah
berbuat sesuatu.”
Semalamam Pangeran Reinald tidak dapat tidur. Ia terus merenungkan
kemarahan Kakyu setelah meninggalkannya dan Adna. Juga kata-kata Adna.
Kalau Joannie sampai marah kepada Adna, tentu ia akan merasa sangat
bersalah kepada pengawalnya itu. Tetapi kalau semua telah menyadari
kesalahpahaman ini, belum tentu ia memiliki banyak waktu untuk berbicara
dengan Kakyu. Juga belum tentu gadis itu mau berbicara banyak.
167
Sejak Kirshcaverish tertumpas, Kakyu telah kembali menjadi seorang
gadis yang tenang dan pendiam.
Sekarang saja sudah sulit membuatnya berbicara banyak apalagi nanti.
Tetapi semudah apapun sekarang, Kakyu tetap tidak akan berbicara apa-apa.
Tidak ada bedanya.
Dengan banyak pertimbangan akhirnya Pangeran Reinald memutuskan
untuk menuruti keinginan Kakyu juga Adna.
Begitu fajar menyingsing, Pangeran Reinald segera menemui Adna.
“Adna, lakukan apa yang ingin kaulakukan. Engkau boleh mengatakan
segalanya pada Joannie juga kepada yang lain.”
“Benarkah, Pangeran?” tanya Adna senang.
“Kapan aku pernah berbohong?” kata Pangeran Reinald jengkel.
Adna sangat senang karenanya. Orang yang pertama kali diberitahu
kebenaran itu adalah Joannie.
Dengan harap-harap cemas, ia memberitahu Joannie. Tetapi seperti yang
telah diduga Kakyu, Joannie tidak tampak marah.
Mula-mula wanita itu terkejut hingga tidak dapat berbuat apa-apa.
Perlahan-lahan ia mulai memahami masalah yang sebenarnya dan ia tidak
menyalahkan Adna atas semua ini.
Setelah Joannie tahu, seluruh orang di benteng juga tahu.
Orang yang paling terakhir tahu adalah Kakyu.
Gadis itu sejak dini hari telah ke lembah tempat tubuh Kenichi dibuang.
Dengan karangan bunga di tangannya, Kakyu menatap lembah itu. Lama
ia berdiri terpaku di sana sebelum akhirnya ia mengucapkan selamat tinggal
pada Kenichi.
Kakyu tidak tega membiarkan Kenichi terus berada di dasar lembah yang
curam itu tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia memang bisa turun ke
dasar lembah tetapi untuk naik, ia harus berusaha keras. Kakyu sendiri tidak
yakin apakah ia berhasil naik bila ia berada di dasar lembah itu.
Hingga pagi menjelang Kakyu hanya berdiri terpaku di sana – tak ada
yang dilakukannya selain menatap dasar lembah yang curam sambil
mengenang Kenichi kembali.
Kakyu tahu hingga kapanpun ia tidak akan dapat melupakan
kesedihannya atas kepergian Kenichi. Kakyu menyesal dulu ia tidak memaksa
ikut ketika Kenichi meminta ijin pada keluarganya untuk ke Hutan Naullie.
Kalau dulu Kakyu juga bersamanya, Kakyu tentu dapat membantu
Kenichi. Tetapi waktu itu Kakyu hanya menuruti perintah Kenichi untuk tetap
tinggal di Quentynna House tanpa memaksa Kenichi sebelumnya.
Penyesalan itu sudah terlambat, sekarang Kenichi sudah pergi dan tidak
akan kembali lagi.
Kakyu teringat pesan Pangeran Reinald untuk tidak selalu bersedih.
168
Kenichi pasti tidak akan senang melihat Kakyu terus bersedih dan terus merasa
bersalah.
Lima tahun lalu ketika pergi ke Hutan Naullie, Kenichi tampak senang.
Dengan keras, ia melarang Kakyu untuk ikut.
Kenichi telah meninggalkan Quentynna House dengan perasaan senang
dan Kakyu tidak boleh membuat pria tua itu menjadi sedih karena ia terus
menerus seperti ini.
Dengan menahan perasaan sedihnya, Kakyu berkata lirih, “Selamat
tinggal, Kenichi.”
Suara lirih itu segera terbawa angin bersamaan dengan bunga yang
Kakyu lemparkan ke dasar lembah.
Selesai mengucapkan selamat tinggal pada Kenichi, Kakyu masih belum
bergerak dari tempatnya. Ia masih merasa berat untuk meninggalkan guru,
juga kakek yang disayanginya.
Angin yang terus menerpa tubuh Kakyu seakan-akan ingin mengingatkan
Kakyu pada pasukan Kerajaan Aqnetta yang ingin segera pulang.
Sejak kemarin pasukan Kerajaan Aqnetta telah bersiap-siap pulang. Hari
ini mereka akan selesai membongkar tenda dan siap meninggalkan benteng
lengkap dengan tahanan mereka.
Dengan berat hati, Kakyu meninggalkan tempat itu.

169
14

Ketika Kakyu tiba, hari sudah siang.


Pasukan Kerajaan Aqnetta yang telah mengetahui semua kebenaran
yang selama ini terselubung, tampak gembira dan semakin gembira karena tak
lama lagi mereka dapat kembali kepada keluarga mereka masing-masing.
Suasana gembira di benteng tidak membuat Kakyu ikut merasa senang.
Gadis itu masih terlarut dalam kesedihannya atas kematian Kenichi.
“Perwira!” seru seseorang memanggil, “Perwira!”
Seruan riang itu membuat Kakyu berhenti.
“Anda sudah mengetahuinya, Perwira?” tanya Kapten Gwen, “Pangeran
yang selama ini kita kenal bukan Pangeran Reinald yang asli. Adnalah Pangeran
yang asli.”
Kakyu diam saja mengetahui Pangeran Reinald akhirnya memutuskan
untuk membenarkan kekeliruan besar ini. Dan ini berarti Joannie juga telah
mengetahuinya.
Apapun yang dilakukan Joannie ketika mendengar kebenaran ini
tampaknya tidak terlalu buruk. Kegembiraan pasukan yang bukan hanya
karena mereka akan pulang, cukup memberikan tanda pada Kakyu.
Joannie dapat menerima kenyataan ini dengan bijaksana.
Apapun yang telah terjadi selama ia tidak ada, Kakyu tidak tertarik untuk
tahu. Ia hanya tahu sekarang semua tampak senang dan tidak ada yang
tampak terganggu oleh kebenaran yang terungkap itu.
“Kami mengucapkan selamat pada Anda, Perwira,” kata Kapten senang,
“Tak lama lagi Anda akan mempunyai kakak ipar.”
Kakyu diam saja. Ia sudah menduga Joannie akan segera menemui orang
lain setelah mengetahui yang sebenarnya. Karena ia tidak ada, Joannie pasti
telah menemui Jenderal Reyn.
“Jenderal Reyn juga tampak senang sekali dengan berita ini,” tambah
Kapten Gwen.
“Di mana Jenderal Reyn?” tanya Kakyu tiba-tiba.
Kapten itu menduga Kakyu akan menanyakan lebih terperinci pada
ayahnya tetapi ia tidak tahu tujuan Kakyu yang sebenarnya.
“Sejak tadi Jenderal Reyn berbicara dengan Adna dan Lady Joannie.”
Kakyu tidak tertarik untuk mengetahui lebih banyak lagi. Ia hanya ingin
meminta ijin ayahnya bukan untuk yang lain.
“Terima kasih,” katanya singkat.
Tanpa menghiraukan prajurit yang mengucapkan selamat atas
170
pertunangan kakaknya dan Adna di hadapan Jenderal Reyn dan para Jenderal
lainnya, Kakyu terus berjalan ke tenda Joannie.
Melihat tenda Joannie ramai, Kakyu merasa ragu-ragu.
Kakyu tahu untuk saat ini sebaiknya ia tidak menemui Jenderal Reyn
hanya untuk mengatakan keinginannya. Tetapi Kakyu tetap memasuki tenda itu
untuk mengucapkan selamat pada Joannie.
Seperti biasa, Joannie berseru memanggil adiknya begitu melihatnya
muncul.
Tanpa memberi kesempatan pada Kakyu, Joannie segera memeluk
adiknya.
“Selamat, Joannie,” kata Kakyu perlahan. “Ini hadiah terbesar bagi
Mama.”
“Ya, Mama pasti senang,” Joannie setuju, “Mama pasti tidak percaya
dengan semua ini. Aku sendiri juga hampir tidak percaya dengan ini semua. Ini
bagai keajaiban bagiku.”
Seperti biasa, Kakyu diam saja.
“Aku tidak percaya ia juga mencintai aku, Kakyu. Padahal selama ini ia
tidak pernah memperhatikan aku.”
“Ia selalu memikirkanmu, Joannie.”
Joannie masih belum melepaskan pelukannya, “Aku harus berterima
kasih padamu, Kakyu. Kalau bukan karena engkau, Pangeran… oh bukan Adna,
tidak akan mengatakan segalanya padaku.”
Kakyu tersenyum.
Joannie akhirnya melepaskan Kakyu. Dengan tersenyum bahagia, ia
berkata, “Pasti tidak ada yang menduga aku berada di sini dan akhirnya aku
menemukannya.”
Kakyu beralih pada ayahnya yang juga tampak sangat senang kemudian
pada Adna.
“Akhirnya engkau mengatakannya,” katanya singkat.
“Semua berkat Anda,” Adna merendah, “Kalau Anda tidak memarahi
saya dan Pangeran waktu itu, Pangeran tidak akan mengambil keputusan ini.”
“Kakyu marah?” tanya Joannie tak percaya, “Ia bisa marah?”
“Benar, ia marah tetapi tidak seperti yang kaubayangkan,” kata Adna
sambil tersenyum, “Kalau ia marah, ia tidak seperti Pangeran. Ia mempunyai
cara yang lembut untuk menunjukkan kemarahannya.”
Seperti biasa, tidak ada tanggapan dari Kakyu.
“Terima kasih, Kakyu,” kata Joannie senang, “Kalau engkau tidak
memarahi Pangeran keras kepala itu, Adna tidak akan berani membenarkan
kesalahpahaman ini.”
“Pangeran tidak seperti itu, bukankah demikian Perwira?”
Kakyu hanya mengangkat bahunya.
171
Jenderal Reyn yang sejak tadi memperhatikan ucapan Adna berkata,
“Sebaiknya mulai sekarang engkau berhenti memanggilnya Perwira, Adna.
Bukankah tak lama lagi ia akan menjadi adikmu?”
“Sebaiknya memang begitu, Adna,” timpal Joannie.
“Sudahlah, sekarang kita bukan membicarakan itu,” kata Jenderal Erin,
“Sekarang kita harus memberi selamat pada kedua orang ini.”
Kakyu tahu ia tidak dapat berlama-lama di tempat ini sementara pasukan
Kerajaan Aqnetta yang lain juga lengah. Dengan kelicikannya, Bleriot bisa saja
memanfaatkan kelengahan ini untuk kabur.
Kakyu mendekati Jenderal Reyn dan berbicara sepelan mungkin, “Aku
ingin mengawasi Bleriot.”
“Untuk apa, Kakyu?” tanya Jenderal Reyn, “Ia sudah terikat dan tidak
akan dapat meloloskan diri.”
Kakyu terpaksa berbohong, “Aku hanya ingin menemuinya sebentar.”
Kakyu bukannya tidak senang oleh kegembiraan kakaknya, tetapi ia tahu
ia tidak dapat berada di sana. Dunia yang ramai seperti itu bukan dunia yang
disukainya. Ia lebih suka menyendiri daripada berada di keramaian.
Jenderal Reyn mengerti keinginan Kakyu. “Aku tahu engkau tidak senang
dengan keramaian,” katanya, “Pergilah.”
Joannie mendengar percakapan itu tetapi ia tidak mengatakan apa-apa.
Seperti ayahnya, ia mengetahui sifat Kakyu.
Tanpa mempedulikan orang-orang yang melihatnya pergi, Kakyu berlalu
dari tenda itu.
Seperti yang dikatakannya pada ayahnya, ia ke tempat Bleriot berada.
Kakyu tidak menemui pria itu, ia hanya berada dalam jarak yang cukup jauh
untuk mengawasi pria tua itu.
Sementara pasukan lain dengan bersemangat membongkar tenda-tenda,
Kakyu terus berdiri di tempatnya – memperhatikan Bleriot yang mengumpat
marah.
Karena semangat para prajurit yang meluap-luap itu, pekerjaan
membongkar tenda berlangsung tidak lama. Dengan segera, tepi Hutan Naullie
tampak kosong lagi. Yang tersisa hanyalah tembok-tembok kayu yang menjadi
batas benteng mereka lengkap dengan menaranya.
Pasukan Kerajaan Aqnetta semakin tidak sabar karenanya.
Ketika akhirnya Jenderal Tertinggi Kerajaan Aqnetta memerintahkan
kepada para prajurit untuk berangkat ke Chiatchamo, semua tampak senang.
Tanpa diperintah dua kali, semua prajurit telah meninggalkan tempat mereka
masing-masing dan kembali ke Chiatchamo.
Atas ijin ayahnya, Kakyu berangkat lebih cepat dari yang lain. Kakyu ingin
menemui keluarga Halberd dulu sebelum menuju Chiatchamo.
Ketika berangkat, Kakyu menyadari tidak ada orang yang mengikutinya
172
tetapi semakin mendekati Parcelytye, ia semakin merasakan keberadaan orang
lain yang mengikutinya. Tetapi Kakyu tidak mau berhenti untuk memeriksa
siapakah yang mengikutinya itu.
Kakyu yakin tidak akan ada orang yang mau repot-repot mengikutinya
selain Pangeran Reinald yang selalu ingin mencari sesuatu pada dirinya.
Entah apa yang ingin dicari Pangeran itu pada Kakyu. Ia telah
menemukan jawaban atas kecurigaannya dan ia juga telah mengetahui sedikit
tentang Kakyu.
Apakah ia ingin Kakyu bercerita lebih banyak lagi? Kalau memang itu
yang diinginkannya, Pangeran sudah tahu ia takkan mendapatkan lebih banyak
dari saat ini. Kakyu telah mengatakannya.
Apapun yang diinginkan pemuda itu, Kakyu tidak peduli. Ia juga berpura-
pura tidak tahu akan keberadaannya di belakangnya.
Pangeran Reinald cukup pandai mengikuti orang tetapi tidak untuk
Kakyu.
Seolah-olah tidak mengetahui apa-apa, Kakyu terus memacu kudanya
dengan santai ke Parcelytye.
Kakyu tidak peduli apakah nanti ia akan terlambat atau tidak.
Jenderal Reyn telah memberinya ijin dan ia pasti mengerti kalau ia nanti
datang lebih lambat dari mereka. Raja Alfonsopun pasti mengerti kalau ia
datang terlambat.
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi saat ini.
Semua masalah telah selesai.
Kirshcaverish telah tertumpas. Joannie telah menemukan pria impiannya
dan ia sendiri telah mengetahui dengan pasti mengenai hilangnya Kenichi.
Yang ingin dilakukan Kakyu saat ini hanya menemui keluarga Halberd
untuk memberitahukan berita baik ini.
Kalau Pangeran Reinald curiga, itu semua terserah padanya. Kakyu tahu
ia tidak melakukan kesalahan apapun dan tidak ada yang perlu disalahkan dari
perbuatannya ini.
Tanpa kesulitan, Kakyu menemukan rumah baru Halberd di Parcelytye.
Kakyu tidak mungkin salah mengenali rumah itu. Dulu ia dan Putri
Eleanorlah yang mengantar keluarga Halberd ke rumah baru mereka.
Ketika semakin mendekati rumah Halberd, beberapa anak terlihat
bermain di halaman rumah kecil itu.
Kakyu turun dari kudanya dan mendekati anak-anak itu.
“Apakah Halberd ada?” tanyanya pada seorang anak yang dikenalinya
sebagai putra tertua Halberd.
Tanpa menjawab pertanyaan Kakyu, anak itu berlari ke dalam rumah dan
berteriak, “Ayah, ada prajurit yang mencari Ayah.”
Kakyu tersenyum mendengarnya.
173
Anak itu sepertinya telah lupa pada dirinya dan menyebutnya prajurit.
Entah bagaimana reaksi Halberd ketika mendengar anaknya berkata
seperti itu. Yang pasti pria itu pasti terkejut dan ketakutan.
Selama ini ia tidak pernah didatangi seorang prajuritpun juga setelah ia
pindah ke Parcelytye, kini tiba-tiba ada seorang prajurit yang datang.
Seperti dugaan Kakyu, Halberd datang dengan wajah ketakutan. Begitu
juga istrinya yang keluar menyusul.
“Selamat sore,” sapa Kakyu.
Halberd terkejut melihat yang datang ternyata Kakyu. “Selamat sore,
Tuan.”
“Di mana aku dapat menambatkan kudaku?”
“Berikan pada saya, Tuan.”
Halberd mengambil tali kendali kuda itu dari Kakyu kemudian
mengikatnya pada pagar kayu yang mengelilingi kebunnya.
“Saya tidak menduga Anda akan datang, Tuan.”
Kakyu hanya tersenyum. Tidak ada yang perlu dijelaskan mengenai
kedatangannya yang mendadak ini.
“Masuklah, Tuan,” ajak Imma.
Kakyu mengikuti wanita itu masuk ke dalam rumah.
“Silakan duduk,” kata Halberd yang baru masuk.
“Anda mau minum apa, Tuan?”
“Terima kasih, Imma, tetapi saya tidak lama. Saya hanya ingin
menyampaikan tentang tertumpasnya Kirshcaverish.”
Yang pertama kali terkejut mendengar berita itu di antara suami istri itu
adalah Halberd.
“Benarkah itu?” tanyanya tak percaya.
Kakyu mengangguk.
“Akhirnya kita bisa tenang,” kata Imma, “Kita tidak perlu khawatir
mereka akan menyerang kerajaan ini sewaktu-waktu.”
“Bagaimana dengan kami, Tuan?” tanya Halberd cemas, “Apakah kami
dapat kembali ke Farreway?”
“Aku tidak tahu,” jawab Kakyu jujur. “Semua keputusan ada pada
Paduka.”
“Farreway sudah aman. Apakah Paduka masih tetap tidak mengijinkan
kami kembali?” tanya Halberd cemas, “Sudah beberapa generasi keluarga saya
yang menempati tanah keluarga itu.”
“Kalau kita pindah ke sana, bagaimana dengan rumah ini?” tanya Imma.
Halberd menatap istrinya dengan bingung. “Aku tidak tahu.”
Kakyu memutuskan untuk membantu keluarga ini. “Aku akan
membicarakannya dengan Paduka.”
“Ya, itu yang paling baik,” sahut Imma.
174
“Apakah tidak apa-apa, Tuan?”
Kakyu tersenyum dan dengan penuh pengertian ia berkata, “Jangan
khawatir.”
“Kami benar-benar merepotkan Anda. Dulu Anda yang mengurus
kepindahan kami ke sini sekarang Anda pula yang mengurus kepindahan kami
ke tanah leluhur kami.”
“Kami tidak tahu bagaimana harus berterima kasih pada Anda, Tuan.
Anda banyak membantu kami,” tambah Imma, “Kalau dulu Anda tidak
menyelamatkan kami, mungkin kami tidak ada di sini saat ini.”
“Sudahlah.”
Jawaban singkat itu membuat mereka tersenyum. Walau lama tidak
berjumpa ternyata Kakyu tetap seorang pemuda yang pendiam – pemuda itu
tidak terpengaruh oleh kecerewetan Putri Eleanor juga saudara-saudaranya.
Kakyu berdiri.
“Anda akan pergi?” tanya Imma.
Kakyu mengangguk.
“Mengapa Anda tidak menginap di sini saja?” bujuk Halberd, “Sebentar
lagi hari mulai gelap.”
“Maafkan saya,” kata Kakyu singkat.
Dengan diantar kedua suami istri itu, Kakyu meninggalkan rumah
Halberd yang jauh lebih besar dari rumahnya yang di Farreway.
Sebelum menaiki kudanya, Kakyu menyempatkan diri untuk melihat
kebun Halberd.
Kebun Halberd sudah mulai menguning di awal musim gugur ini.
Dulu ketika pindah ke tempat ini, tempat ini masih merupakan lahan
kosong. Tetapi sekarang tempat ini telah terlihat penuh tanaman.
Halberd memang petani yang rajin namun sayang ia terpaksa
meninggalkan lahan pertaniannya yang subur di Farreway hanya karena
Kirshcaverish. Tetapi Halberd sudah dapat mengatasi kehidupan sulitnya di
Parcelytye.
Dengan bantuan Raja Alfonso, Halberd mengolah lahan kosong itu
menjadi tanah pertanian yang subur dan menghasilkan hasil panen yang cukup
untuk menghidupi keluarganya.
Kalau Halberd pindah ke Farreway, berarti lahan pertanian di Parcelytye
akan tak terurus dan berarti pula Halberd harus memulai awal dari lagi
sebelum ia bisa menikmati hasil panennya.
Sejak ditinggalkan pemiliknya, lahan pertanian Halberd di Farreway, tidak
ada yang mengolahnya. Para prajurit yang menggunakan tempat itu sebagai
base mereka sebelum Kirshcaverish mulai mengganas, juga tidak ada yang
merawat tempat itu.
Ketika pergi ke Farreway, Kakyu menyempatkan diri untuk melalui rumah
175
Halberd. Dan Kakyu melihat lahan itu kelihatan tandus di awal musim panas ini
dan tak terurus.
Apapun nanti yang terjadi pada keluarga Halberd, semuanya serba
merepotkan. Tidak kembali ke Farreway berarti meninggalkan tanah leluhur.
Kembali ke Farreway berarti harus memulai segalanya dari awal lagi.
Kakyu tidak tahu bagaimana keputusan Raja Alfonso pada masalah ini
tetapi ia tahu Raja Alfonso akan memikirkan jalan keluar yang terbaik.
Dari Parcelytye, Kakyu memacu kudanya ke arah barat ke sisi Hutan
Naullie di kaki Pegunungan Alpina Dinaria yang memanjang di barat laut
perbatasan Kerajaan Aqnetta.
Apapun yang ada di pikiran Pangeran Reinald yang terus mengikutinya,
Kakyu tidak peduli. Bukan ia yang meminta Pangeran untuk mengikutinya
tetapi Pangeran sendiri yang mengikutinya.
Sebagai orang yang mengikuti, Pangeran mau tidak mau harus mengikuti
orang yang diikutinya tak peduli ke manapun perginya ia.
Tanpa mempedulikan hari yang semakin gelap, Kakyu terus menuju
Hutan Naullie. Kakyu ingin bermalam di sana sebelum besok pagi mengejar
pasukan Kerajaan Aqnetta.
Kakyu yakin dengan kecepatan mereka serta tahanan yang mereka
bawa, pasukan Kerajaan Aqnetta malam ini belum mencapai sepertiga
perjalanan. Kemungkinan besar mereka akan tiba dalam dua hari bahkan bisa
lebih.
Walau semangat mereka untuk segera tiba sangat besar, mereka masih
harus mengawasi Kirshcaverish yang tentu akan mempersulit perjalanan.
Dengan hambatan itu, pasukan Kerajaan Aqnetta mau tidak mau tidak dapat
berjalan lebih cepat dari yang mereka harapkan. Dan Kakyu masih mempunyai
banyak waktu untuk pergi ke tempat yang ingin ia datangi.
Ketika Kakyu meninggalkan benteng tadi pagi, pasukan masih belum
bersiap-siap.
Saat itu waktu masih menunjukkan pukul setengah sembilan pagi dan
pasukan masih belum selesai membongkar tenda-tenda yang jumlahnya cukup
banyak itu. Mereka juga belum mempersiapkan tahanan mereka.
Ketika melewati Vjaya, Kakyu tidak melihat adanya pasukan di sana. Dan
itu memperkuat keyakinan Kakyu.
Vjaya merupakan kota yang sering dilalui orang-orang. Kota itu sangat
ramai karena letaknya yang di tengah-tengah wilayah Kerajaan Aqnetta.
Jalan terdekat dari Chiatchamo ke Farrewaypun melalui kota kecil yang
ramai itu. Demikian pula dari Parcelytye ke sisi Hutan Naullie terdekat.
Tanpa mempedulikan Pangeran Reinald yang terus mengikutinya, Kakyu
mempercepat laju kudanya. Kakyu tidak ingin kemalaman di jalan.
Ketika akhirnya ia tiba di Hutan Naullie, Kakyu terus menerobos
176
kelebatan Hutan Naullie dengan kudanya.
Kakyu tidak hanya mengenal Hutan Naullie yang berada di dekat
Farreway saja, ia telah mengenal seluruh hutan itu. Dan ia tahu Hutan Naullie
di sisi inilah yang paling jarang semak-semaknya. Yang sering dijumpai hanya
pohon tinggi dan batu-batu besar. Di antara batu-batu itu ada sebuah gua yang
cukup besar untuk tempat berteduh.
Gua itu letaknya tak jauh dari tepi hutan.
Kakyu semakin memperlambat kudanya ketika ia semakin mendekati
tempat gua itu berada.
Tanpa kesulitan, Kakyu menemukan gua itu.
Ia menambatkan kudanya pada sebatang pohon sebelum ia
mengumpulkan kayu dan membuat api di dalam gua.
Dengan cahaya itu, Kakyu yakin Pangeran Reinald tidak akan tersesat
dan dapat menemukannya.
Sambil menanti kedatangan Pangeran, Kakyu melepaskan tas
perlengkapannya dari pelana kudanya dan membawanya masuk.
Lama Kakyu menanti Pangeran, tetapi ia tidak muncul juga. Kakyu yakin
Pangeran tidak tersesat tetapi untuk memastikannya, ia melihat keadaan di
luar gua.
Kakyu tersenyum ketika inderanya mengatakan ada orang di sekitar situ.
Rupanya Pangeran Reinald benar-benar ingin mengikuti Kakyu tanpa
membuatnya tahu. Sayangnya Pangeran tidak tahu Kakyu telah mengetahui
keberadaannya.
Karena tidak ingin Pangeran sakit oleh angin malam musim panas yang
dingin, Kakyu mendekati Pangeran dengan perlahan. Walaupun tahu Pangeran
tidak akan senang bila mengetahui rencananya gagal.
Kakyu memanjat pohon kemudian mencari tempat Pangeran.
Dari tempatnya berada, Kakyu dapat melihat Pangeran duduk di atas
kudanya tanpa melepaskan mata dari gua tempat ia bermalam yang terang.
Kakyu ragu-ragu apakah ia sebaiknya tetap pura-pura tidak tahu atau ia
harus mengajak Pangeran masuk ke dalam gua.
Pangeran yang harga dirinya tinggi itu pasti akan marah bila kali ini ia
gagal mengelabuhi Kakyu. Berulang kali Kakyu telah menyinggung harga
dirinya dan membuatnya kesal. Kali ini pasti Kakyu akan membuatnya marah
bila ia menampakkan wujudnya.
Kalau Pangeran Reinald dibiarkan dalam udara dingin seperti ini, ia bisa
sakit.
Kakyu ragu tindakan apa yang harus dilakukannya. Meninggalkan atau
mengajak masuk Pangeran.
Demi kesehatan Pangeran, Kakyu memutuskan untuk membuatnya
jengkel untuk kesekian kalinya.
177
“Selamat malam, Pangeran.”
Pangeran Reinald terkejut. Ia mengenali suara itu tetapi ia tidak tahu di
mana gadis itu berada.
“Di mana engkau?” tanya Pangeran.
Sebagai jawabannya, Kakyu melompat turun dari atas pohon.
Pangeran Reinald kaget melihat Kakyu yang tiba-tiba muncul di
depannya itu. “Bagaimana engkau tahu?”
Untuk membuat Pangeran tidak marah, Kakyu terpaksa berbohong,
“Saya tidak sengaja melihat Anda.”
Pangeran Reinald memincingkan matanya. “Benarkah?” tanyanya tak
percaya.
“Kalau Perwira sepertimu tidak sengaja melihatku, aku tidak percaya,”
kata Pangeran Reinald sambil tersenyum, “Aku lebih percaya kalau engkau
mengatakan sejak tadi engkau telah tahu bahwa aku mengikutimu.”
Kakyu diam saja.
“Aku benar, bukan?”
Tidak ada jawaban dari Kakyu.
“Kurasa diammu itu berarti ya,” kata Pangeran Reinald, “Aku tahu engkau
menyalakan api cukup besar itu untuk tidak membuatku tersesat. Engkau juga
menanti aku muncul, bukan?”
Kakyu masih tidak menjawab.
“Karena aku telah ketahuan, kurasa tidak ada gunanya lagi aku
bersembunyi,” kata Pangeran Reinald sambil turun dari kudanya.
Kakyu berjalan tanpa mengatakan apa-apa diikuti Pangeran.
Pangeran menambatkan kudanya di samping kuda Kakyu kemudian
mengikuti gadis itu ke dalam gua yang hangat.
“Ternyata di dalam sini memang sehangat dugaanku.”
Kakyu duduk di salah satu sudut gua. Kakyu menyibukkan diri dengan
barang-barangnya.
“Lenganmu bagaimana?”
Kakyu menengadahkan kepalanya. Wajah Pangeran yang sangat dekat
itu membuat Kakyu terkejut. Entah kapan Pangeran Reinald mendekatinya.
“Tidak apa-apa,” jawab Kakyu singkat.
“Sungguh?” tanya Pangeran tak percaya, “Setelah memacu kuda secepat
itu, lenganmu tidak apa-apa?”
Kakyu mengangguk.
Dalam menghadapi Kakyu, Pangeran Reinald tidak pernah mudah
percaya. Entah mengapa ia tidak tahu. Pangeran Reinald memegang lengan
Kakyu.
Kakyu terkejut tetapi ia tidak dapat melepaskan lengannya dari
pegangan yang kuat itu.
178
Seperti yang sering dilakukannya akhir-akhir ini, Pangeran Reinald
memeriksa luka Kakyu dengan teliti. Melihat tidak ada yang perlu
dikhawatirkan, Pangeran melepaskan lengan gadis itu.
“Kurasa engkau memang benar.”
Kakyu tidak menanggapi suara lega itu.
“Siapa mereka?”
“Siapa?” tanya Kakyu pura-pura tidak tahu.
“Orang yang kaudatangi itu.”
“Halberd.”
Jawaban singkat itu tidak memuaskan Pangeran, tetapi sekarang
Pangeran sudah tahu percuma ia terus mendesak Kakyu. Pangeran bukan
orang yang mudah putus asa. Ia masih punya cara lain untuk mengetahui apa
yang ingin diketahuinya.
“Mengapa engkau ke sana?”
Lagi-lagi Kakyu menjawab singkat. “Berbicara.”
“Tentang?”
“Kirshcaverish.”
Pangeran terkejut tetapi ia tidak menampakkannya, “Bahwa mereka
sudah berhasil ditumpas?”
Kakyu hanya mengangguk.
“Apa hubungan mereka dengan Kirshcaverish?” tanya Pangeran Reinald
ingin tahu.
Kakyu tahu pertanyaan itu tidak mengharapkan jawaban darinya, tetapi
ia memutuskan untuk menjawabnya walau dengan singkat.
“Korban Kirshcaverish.”
Jawaban itu membuat Pangeran Reinald teringat pada cerita Adna.
Pengawalnya itu pernah menceritakan tentang kehebatan Kakyu saat ia untuk
pertama kalinya mengetahui keberadaan Kirshcaverish.
Kedatangan Kakyu di rumah baru Halberd pasti untuk memberitahukan
kabar baik ini bagi mereka.
“Sekarang lebih baik Anda berisitirahat.” Kakyu memecahkan perhatian
Pangeran Reinald.
“Engkau sendiri juga harus beristirahat,” kata Pangeran.
Sebagai jawabannya, Kakyu menyandarkan kepalanya di dinding gua
yang dingin. Kakyu tahu Pangeran tidak akan berisitirahat kalau ia tidak tidur.
Dengan pura-pura tidur, Kakyu berharap Pangeran lekas tidur.
Sejak mengetahui kematian Kenichi yang disayanginya, Kakyu selalu
bersedih walau ia tidak pernah menampakkannya. Setiap malam, ia selalu
membayangkan saat menyenangkan bersamanya.
Saat-saat menyebalkan ketika dulu ia dilatih dengan keras, kini menjadi
kerinduan tersendiri bagi Kakyu. Tidak ada lagi orang yang dapat memberikan
179
latihan sekeras Kenichi.
Dulu bagi Kakyu, berlatih dengan Kenichi adalah suatu tantangan
terbesar yang kadang terasa menyebalkan dan ingin membuatnya lari tetapi
kini semuanya berubah. Saat-saat itu menjadi suatu kenangan yang paling
menyenangkan.
Kakyu tidak tahu kapan ia tertidur, tetapi ketika ia membuka matanya, ia
melihat langit mulai tampak kelabu – pertanda hari semakin menjelang pagi.
Melihat Pangeran Reinald masih tertidur di mulut gua, Kakyu
memutuskan untuk keluar tanpa membuatnya terbangun.
Perlahan-lahan Kakyu meninggalkan gua menuju sungai yang mengalir
tak jauh dari tempat itu.
Setelah membersihkan diri dengan air jernih yang menyejukkan itu,
Kakyu duduk termenung di sebuah batu di tepi sungai.
Melihat air yang terus mengalir itu, Kakyu teringat kata-kata Kenichi.
“Kehidupan ini bagaikan air yang mengalir. Ada susah, ada senang, ada
ketenangan, ada riak. Seperti air, suatu saat hidup ini akan mencapai batasnya
tetapi ia akan berputar kembali.”
Kenichi percaya adanya reinkarnasi dan ia sering yakin orang baik akan
bereinkarnasi sebagai manusia dan orang jahat bereinkarnasi sebagai
binatang. Kakyupun percaya.
Bagaimanapun juga kehidupan Kenichi setelah ini, Kakyu percaya ia tetap
akan menjadi orang yang baik hati dan penuh kasih sayang.
Seperti yang telah sudah-sudah, Kakyu segera berhenti memikirkan
Kenichi sebelum ia menjadi semakin sedih. Untuk menghilangkan kesedihan
hatinya, Kakyu memikirkan sikap yang harus dilakukannya setelah semua
kejadian ini.
Yang pasti sebentar lagi keluarga mereka akan mengadakan pesta
perkawinan antara Joannie dan Adna.
Mengenai dirinya sendiri, Kakyu tidak tahu. Apakah ia tetap melanjutkan
tugasnya sebagai Kepala Pengawal Istana setelah Pangeran Reinald tahu ia
seorang gadis ataukah ia akan menjelaskan kepada semua orang terutama
ayahnya bahwa ia tidak dapat melanjutkan semua ini.
Tetapi Kakyu tidak dapat melakukan pilihan kedua itu. Jenderal Reyn akan
menjadi sedih karenanya. Sejak Kakyu lahir, ia telah dididik menjadi seorang
pemuda dan Jenderal Reyn sendiri sepertinya lupa Kakyu adalah seorang gadis
bukan anak laki-laki.
Keputusan Pangeran setelah ini, hingga kini belum terlihat. Pangeran
Reinald pun tidak tampak memikirkannya. Ia seperti sudah melupakan masalah
besar ini. Atau mungkin ia hanya menganggap masalah ini masalah kecil?
Kakyu tidak tahu dan ia bingung pada tindakan yang harus dilakukannya
setelah ini.
180
Kalau ia tetap meneruskan menjadi Kepala Keamanan Istana, ia akan
tampak canggung kalau bertemu Pangeran yang telah mengetahui segalanya.
Tetapi kalau ia melepaskannya, belum tentu Raja Alfonso membiarkannya.
Belum lagi sikap ayahnya.
“Berpikirlah dengan tenang, maka masalahmu akan terpecahkan.”
Pesan Kenichi yang tiba-tiba bergaung di telinganya itu membuat Kakyu
tahu apa yang sebaiknya dilakukan olehnya.
Selama ini ia bersikap tenang seolah-olah berada dalam dunianya sendiri
yang sepi, mengapa kali ini ia harus kebingungan hanya karena terbongkarnya
rahasia yang telah terpendam selama delapan belas tahun lebih ini?
Sebaiknya memang begitu. Tetap melakukan tugasnya dan bersikap
tenang seperti biasanya. Bukankah Pangeran Reinald telah berjanji untuk tidak
mengatakannya pada siapapun?
Seorang Pangeran tidak mungkin mengingkari janjinya semuda itu. Kakyu
yakin.
Tetapi kemudian Kakyu merasa ragu kembali.
“Apakah aku terus bisa setenang ini?” pikirnya. Kakyu ragu, setelah apa
yang terjadi, ia masih sering merasa malu pada Pangeran Reinald. Kadang
walau ia tidak menampakkannya, ketenangannya tiba-tiba hilang.
Kakyu merasakan ia bukan lagi ia yang dulu. Dirinya yang sekarang
sangat mudah hilang ketenangannya dan yang lebih parah ketenangan itu
lebih mudah hilang kalau Pangeran yang dihadapannya. Kakyu tahu sikap
Pangeran Reinald yang lembutlah yang menyebabkannya. Sikap itu telah
membangkitkan jiwa gadis yang selama ini tertidur.
Kakyu tidak tahu pasti apakah dengan yang ia rasakan ini dapat
dikatakan ia mempunyai perasaan lebih pada Pangeran. Tetapi jiwa gadisnya
yang mulai bangkit itu, membenarkan pernyataan itu.
Kenichi pernah berkata, “Cinta dapat menghancurkan orang tetapi juga
dapat membuat orang bahagia.” Saat itu Kakyu baru saja membacakan sebuah
berita yang berisi seorang pemuda nekat mencuri demi cintanya pada gadis
yang sangat menyukai kemewahan.
Kakyu ingin tahu apakah benar cinta yang menyebabkan ketenangannya
mudah hilang akhir-akhir ini.
Matahari mulai menyinari bumi. Dan artinya Kakyu harus segera
mengejar pasukan Kerajaan Aqnetta yang lain.
Pangeran masih tertidur ketika Kakyu memasuki gua.
Perlahan-lahan, Kakyu merapikan tempat itu dan mengikatkan tasnya ke
pelana kudanya.
Kuda-kuda terus merumput tanpa menghiarukan Kakyu yang sibuk.
Mereka tampak asyik dengan sarapan pagi mereka.
“Mau ke mana engkau pagi-pagi seperti ini?”
181
Kakyu yang sibuk merapikan pelana kudanya, segera memalingkan
kepalanya.
“Selamat pagi, Pangeran,” katanya tanpa melepaskan tangannya yang
terus sibuk membenarkan tali kekang kudanya.
“Mau ke mana engkau?” Pangeran mengulangi pertanyaannya.
“Mengejar yang lain.”
“Mengejar yang lain?” ulang Pangeran dengan keheranan, “Engkau ini
sebenarnya ingin berbuat apa? Engkau meninggalkan pasukan yang lain lalu
sekarang ingin mengejar mereka?”
Kakyu menanggapi kebingungan Pangeran.
“Kalau engkau telah menyelesaikan masalah pribadimu, kukira tidak ada
masalah lagi yang harus kukhawatirkan,” kata Pangeran sambil lalu.
Kakyu mendengar kata-kata itu, tetapi ia tidak memikirkannya.
Tanpa diberitahu Kakyu, Pangeran menuju arah datangnya suara air
mengalir. Tak lama kemudian, ia telah duduk di punggung kudanya.
Kakyu tidak berbicara apa-apa sepanjang jalan. Pikirannya hanya
terpusat pada pandangan matanya yang terus memperhatikan sekeliling kalau-
kalau pasukan Kerajaan Aqnetta terlihat.
Pangeran sendiri pagi itu tidak tertarik untuk mengajak Kakyu bicara.
Baginya Kakyu tampak masih sulit diajak bicara pagi itu. Tetapi rasa ingin tahu
yang terus mendorongnya, tidak dapat membuatnya bertahan diam lagi.
“Engkau masih sakit hati?” tanyanya tiba-tiba
“Sakit hati?” tanya Kakyu kebingungan.
“Engkau juga mencintai Adna juga bukan?”
Kakyu terkejut hingga tidak dapat berbuat apa-apa. Ia terus menatap
wajah Pangeran Reinald yang penuh rasa ingin tahu.
Kediaman Kakyu membuat Pangeran sadar ia telah berbuat salah. Ia
memang tahu bagaimana menghadapi seorang gadis tetapi tidak untuk gadis
satu ini, yang menyamar sebagai laki-laki.
Tiba-tiba Kakyu tertawa geli.
Pangeran kebingungan melihatnya.
“Jadi inikah yang ada dalam pikiran Anda sejak tadi?” kata Kakyu tanpa
dapat menahan senyum gelinya.
Pangeran jengkel melihat senyum yang seperti mengejek itu, “Apakah
aku salah?”
Kakyu tahu perasaan Pangeran dan ia berusaha keras menahan rasa
gelinya. Dengan tenang, ia menjelaskan, “Walaupun dalam beberapa hal kami
berbeda, tetapi saya tidak cukup bodoh untuk tahu siapa yang baik untuk
siapa.”
“Maksudmu engkau rela Adna bertunangan dengan Joannie?”
“Tepatnya hampir seperti itu,” kata Kakyu, “Sejak awal, saya hanya tidak
182
jatuh cinta pada Adna. Joannie yang jatuh cinta padanya bukan saya.”
Sekarang giliran Pangeran Reinald yang dibuat kebingungan, “Lalu
mengapa engkau segera keluar setelah mengetahui Adna dan kakakmu baru
bertunangan?”
Kakyu ingat kejadian itu. Ia sempat melihat wajah curiga Pangeran
Reinald saat itu tetapi ia tidak pernah memikirkannya lebih jauh terutama
sampai pada hal ini.
“Tidak ada alasan bagi saya untuk tidak menyukai keduanya,” kata
Kakyu tanpa memberikan alasan yang sebenarnya.
Pangeran Reinald tidak percaya dan ia tidak berhenti mencari tahu
kebenarannya. “Lalu apa yang kaupikirkan tadi pagi di tepi sungai?”
Kakyu tidak dapat memberitahukannya tetapi ia tahu ia harus agar
kesalahpahaman ini hilang. “Kenichi.”
“Bukankah telah kukatakan padamu untuk tidak memikirkannya terus
menerus?” suara menyelidik Pangeran berubah menjadi kelembutan, “Ia
memang telah pergi tetapi ia akan terus hidup dalam dirimu.”
“Saya mengerti.”
“Lalu apa lagi yang kaupikirkan?” Pangeran kembali menyelidik, “Aku
yakin engkau tidak hanya memikirkan Kenichi.”
Kakyu tidak menjawab.
“Mengapa engkau tidak mengatakan yang sebenarnya padaku?”
Pangeran membujuk Kakyu, “Engkau mencintai Adna bukan?”
Kakyu kembali memperhatikan wajah Pangeran Reinald. Untuk kedua
kalinya ia tidak dapat menahan tawa gelinya mendengar kesalahpahaman itu.
“Mengapa engkau tertawa? Apakah ada yang lucu?”
“Tidak ada,” Kakyu cepat-cepat menanggapi suara jengkel itu, “Anda
harus mengerti Pangeran, setelah apa yang selama ini saya lakukan untuk
mereka.”
“Setahuku yang kaulakukan untuk mereka hanya satu yaitu memarahiku
untuk mengembalikan posisiku dan Adna. Selain itu engkau hanya sering
bertanya untuk dirimu sendiri.”
Kakyu kembali diam dan Pangeran semakin tidak sabar. Pangeran
menghentikan kudanya kemudian menarik tali kekang kuda Kakyu sehingga
kuda itu juga ikut berhenti.
“Aku tidak tahu bagaimana membuatmu berbicara tetapi aku ingin
engkau mengatakannya segalanya.”
“Sekarang juga!” tambahnya dengan tegas.
Kalimat yang bernada perintah itu membuat Kakyu mau tidak mau harus
menjelaskan semuanya.
“Saya sering menanyakan Adna kepada Anda bukan untuk diri saya
tetapi untuk Joannie,” Kakyu kembali tersenyum geli, “Kalau Anda mengira
183
saya jatuh cinta pada Adna, maafkan saya.”
Pangeran memandang tajam wajah Kakyu. Matanya yang menyipit
menyelidik ke dalam senyum geli yang menghiasi wajah cantik Kakyu.
“Sudahlah, Pangeran,” kata Kakyu, “Jangan menghukum saya seperti ini.”
“Menghukum?” tanyanya keheranan.
“Jangan membuat saya sakit perut hanya karena harus menahan tawa.”
Mata menyipit itu terus menatap tajam wajah Kakyu.
“Saya benar-benar tidak mempunyai perasaan apa-apa kepada Adna
selain rasa sayang kepadanya sebagai kakak,” Kakyu meyakinkan Pangeran
Reinald, “Apakah mungkin seorang pemuda seperti saya mencintai pemuda
yang lain?”
“Tetapi engkau seorang gadis bukan laki-laki,” sahut Pangeran Reinald.
Senyum yang menghiasi wajah Kakyu hilang karenanya.
“Hingga kapan engkau akan terus seperti ini? Engkau tidak bisa menjadi
laki-laki seumur hidupmu.”
Kakyu sendiri tidak tahu hingga kapan ia harus terus seperti ini dan
selama ini ia tidak menyesali kehidupannya. Ia menyukai kehidupannya yang
penuh tantangan ini.

184
15

Kakyu tidak terlihat di Ruang Besar yang menjadi tempat keluarga


Quentynna mengadakan pesta itu. Dan sepertinya tidak ada yang
menyadarinya.
Semua yang hadir dalam pesta pernikahan itu, tampak sibuk dengan
Joannie dan Adna yang baru menikah pagi tadi.
Pernikahan ini memang cukup mengejutkan karena penyelenggaraannya
tak lama setelah Raja Alfonso mengumumkan segala sesuatu tentang
Kirshcaverish kepada rakyat. Tetapi tidak ada yang bisa menentang keinginan
Lady Xeilan untuk segera melihat putrinya bahagia.
Mungkin satu-satunya wanita yang tidak peduli pada tertumpasnya
kelompok pemberontak itu hanya Lady Xeilan seorang.
Sejak mengetahui segala yang terjadi, Lady Xeilan memang terkejut
tetapi ia lebih bahagia dan menjadi tidak sabar untuk menyelenggarakan
pernikahan putrinya. Karena sikapnya itu, Lady Xeilan bukan hanya membuat
semua orang di Quentynna House sibuk tetapi juga menghebohkan Raja
Alfonso.
Raja Alfonso yang ingin menyelenggarkan pesta untuk menyambut
kemenangan melawan Kirshcaverish ini terpaksa mengundurkan niatnya. Raja
yang bijaksana itu mengerti dibandingkan tertumpasnya Kirshcaverish, Lady
Xeilan lebih bahagia dengan berita pertunangan Joannie. Raja tahu Lady Xeilan
akan mengundangnya ke pernikahan mereka, dan ia cukup bijaksana untuk
tidak menyelenggarakan pesta kemenangan di dekat pesta perkawinan
mereka.
Di tengah kebahagiaan itu, hanya Pangeran Reinald yang tampak gelisah.
Beberapa saat yang lalu ia melihat Kakyu tetapi sekarang ia tidak tampak lagi.
Di manapun gadis itu berada, yang pasti ia berada di tempat yang tak terduga.
Kegelisahan Pangeran Reinald menarik perhatian Raja Alfonso.
“Mengapa engkau gelisah?”
“Tidak ada apa-apa.”
“Aku tidak terlalu tua untuk mengetahui kegelisahanmu, Reinald.”
Pangeran tidak punya pilihan lain selain mengaku. “Aku tidak melihat
Kakyu.”
Seperti baru menyadari, Raja bergumam, “Benar…. Aku juga baru sadar
aku tidak melihatnya sejak tadi. Kakak-kakaknya yang lain ada di sini tetapi ia
sendiri yang tidak nampak. Ke mana perginya?”
Pangeran juga tidak tahu ke mana perginya Kakyu.
185
“Kalian melihat Kakyu?”
Kedua pria yang sibuk mencari Kakyu di keramaian pesta, terkejut
karenanya.
“Kalian melihat Kakyu atau tidak?” Putri Eleanor berkata dengan tidak
sabar.
“Tidak,” jawab Raja Alfonso, “Engkau ada perlu dengannya?”
“Banyak,” jawab Putri Eleanor yakin, “Aku ingin ia mengantarku
berkeliling Quentynna House. Kalian tahu bukan aku belum pernah ke sini?”
“Biar saya yang mengantarkan Anda, Tuan Puteri,” Lady Xeilan yang
kebetulan mendengar percakapan itu menawarkan bantuan.
“Tidak… tidak perlu,” Putri Eleanor cepat-cepat menolak, “Saya tidak
ingin merepotkan Anda.”
“Sama sekali tidak, Tuan Puteri,” kata Lady Xeilan sambil tersenyum,
“Saya akan senang sekali mengantarkan Anda mengelilingi rumah ini.”
“Tidak perlu, Lady Xeilan,” kata Raja Alfonso, “Anda jangan semakin
merepotkan diri Anda dengan putri saya. Lagipula Eleanor tidak akan mau
selain Kakyu sendiri yang mengantarnya.”
“Kakyu,” ulang Lady Xeilan, “Aku akan mencarinya.”
“Tidak perlu, Lady Xeilan.”
Percuma saja Raja Alfonso ingin menahan Lady Xeilan yang sudah
menerobos keramaian orang-orang itu.
“Lihatlah hasil perkerjaanmu, Eleanor,” kata Pangeran Reinald, “Engkau
memang senang membuat siapa saja repot.”
“Aku tidak tahu kalau Lady Xeilan juga mendengarkan tadi,” kata Putri
Eleanor manja.
“Semakin kuperhatikan, engkau semakin terlihat manja,” kata Pangeran
Reinald, “Aku heran bagaimana Kakyu tetap tenang walaupun engkau cerewet
seperti ini?”
“Ia memang hebat,” Putri Eleanor mengakui dengan bangga, “Cuma ia
yang bersikap tenang kepadaku.”
“Kukira, Eleanor, hanya Kakyu seorang yang dapat bertahan dengan
kemanjaanmu itu,” kata Raja Alfonso.
“Aku juga tidak meragukannya,” Pangeran Reinald menambahi dengan
yakin.
Dalam perjalanan pulang ke Chiatchamo, seperti ayah dan adiknya,
Pangeran Reinald juga tergoda untuk meruntuhkan ketenangan Kakyu tetapi
gadis itu tetap tenang dalam dunianya. Sepertinya gadis itu akan selalu begitu
walaupun ada meriam yang meletus di depannya.
Semakin melihat Kakyu bertahan dalam dunianya, Pangeran Reinald
semakin tergoda untuk meruntuhkan ketenangannya.
Untung saja Ratu Ylmeria belum mengetahui hal ini. Kalau ia tahu, entah
186
apa yang akan dilakukannya. Suami dan kedua anaknya ternyata senang
mempermainkan Kakyu.
“Mama di mana?”
“Sedang berbicara dengan Adna dan Joannie,” jawab Pangeran.
“Aku akan ke sana.”
“Ya, pergilah ke sana dan jangan menganggu kami,” Pangeran Reinald
pura-pura mengusir adiknya.
Seperti yang diharapkan Pangeran, Putri Eleanor jengkel mendengarnya.
“Engkau jahat,” katanya manja lalu ia berlalu pergi.
“Jangan kaugoda terus dia.”
“Tidak apa-apa, Papa. Aku senang melihatnya seperti ini. Tak pernah
kukira ia akan menjadi semakin manja setelah kepergianku.”
“Adikmu itu semakin manja sejak engkau pergi dan aku hampir dibuat
pusing karenanya. Ylmeria sendiri juga tidak tahu bagaimana mengajari
Eleanor bersikap sebagai Lady.”
“Dapat kutebak Eleanor sangat jengkel ketika Kakyu bersikap tenang
terhadapnya.”
Raja tersenyum. “Tepat sekali. Dan kurasa bukan hanya ia saja yang
jengkel tetapi juga aku. Seumur hidupku belum pernah aku melihat pemuda
setenang dia. Aku berbicara panjang lebar, tetapi ia hanya menanggapinya
dengan dua tiga patah kata. Aku heran melihatnya.”
“Dan akan semakin heran kalau tahu ia bukan permuda seperti yang
Papa kira, tetapi seorang gadis,” tambah Pangeran Reinald dalam hatinya.
“Aku heran mengapa sejak tadi Kakyu belum muncul juga.”
Pangeran tidak menjawabnya. Matanya terus mencari Kakyu dalam
keramaian pesta itu.
Pangeran tidak mengerti mengapa Kakyu tidak hadir dalam pesta
perkawinan kakaknya. Bukankah ia sendiri yang mengatakan ia tidak jatuh
cinta pada Adna? Atau mungkin saat itu Kakyu berbohong padanya?
Tidak henti-hentinya Pangeran memikirkan hal itu. Hingga pesta yang
seharusnya dinikmatinya, membuatnya gelisah. Dan tetap gelisah ketika
akhirnya ayahnya memutuskan untuk pulang.
Tak heran kalau keesokan paginya Pangeran sudah menanti kedatangan
Kakyu di depan teras.
Begitu melihat Kakyu datang, Pangeran Reinald segera menghampirinya.
“Selamat pagi, Pangeran,” sapa Kakyu yang baru datang.
“Pagi,” sahut Pangeran Reinald singkat.
Suara yang mengandung maksud itu tidak membuat Kakyu merasa
terganggu.
“Ke mana engkau kemarin malam?”
“Rumah,” jawab Kakyu dengan tenangnya.
187
Pangeran Reinald menarik lengan Kakyu sehingga Kakyu mau tidak mau
harus berhenti dan menatap wajah Pangeran yang geram.
Kakyu tidak mengerti mengapa wajah itu seperti itu. Ia tidak merasa
telah melakukan kesalahan.
“Engkau bohong,” tuduh Pangeran, “Kemarin aku tidak melihatmu.”
Kemarin malam Kakyu memang berada di Quentynna House bahkan
ketika pesta itu diselenggarakan tetapi ia tidak berada di Ruang Besar.
Keluarganya mengerti ia tidak menyukai keramaian dan tidak berusaha
menahannya dalam pesta itu.
Kakyu telah menunjukkan kegembiraannya dengan mengikuti jalannya
pernikahan Joannie di Gereja. Dalam pesta itupun, Kakyu juga hadir walau
hanya sebentar.
Setelah merasa cukup lama berada di pesta di mana ia disibukkan oleh
para wanita yang berusaha menganggunya, Kakyu menyendiri di Ruang
Perpustakaan di lantai dua. Dan Kakyu terus berada di sana sampai pesta itu
selesai.
Kakyu merasa ia harus menjelaskan masalah ini. “Kemarin saya berada di
Ruang Perpustakaan.”
“Engkau bohong!”
“Tidak,” kata Kakyu tenang.
“Engkau bohong,” Pangeran bersikeras dengan tuduhannya, “Aku tahu
engkau juga jatuh cinta pada Adna. Engkau tidak perlu membohongiku karena
aku tahu aku tidak salah.”
Untuk kedua kalinya Pangeran mengutarakan hal itu dan seperti dulu,
Kakyu tersenyum geli karenanya.
Kakyu tidak mengerti dari mana Pangeran mendapat kesimpulan itu dan
mengapa Pangeran terganggu dengannya. Kalau ia memang mencintai Adna –
seperti yang dikatakan Pangeran Reinald – Pangeran Reinald tidak perlu
merasa terganggu. Bukankah ia tetap melakukan tugasnya dengan baik?
Bahkan ketika semua pasukan yang kembali dari Pegunungan Alpina
Dinaria, sibuk menceritakan pengalaman mereka, Kakyu tetap menjalankan
tugasnya dengan baik.
Kakyu memang sering mendapat pertanyaan seperti “Apa yang terjadi di
sana?”; “Engkau tidak apa-apa bukan?” juga berbagai macam permintaan
untuk menceritakan pengalamannya selama berada di garis depan. Tetapi
Kakyu tidak pernah menjawabnya. Satu-satunya jawaban yang diberikannya
atas semua pertanyaan itu hanyalah, “Tanyalah yang lain.”
Tidak perlu diragukan lagi jawaban itu membuat semua orang yang
bertanya padanya menjadi jengkel. Dan tanpa ditebakpun setiap orang tahu
Kakyu tetap tenang.
Bagi Kakyu tidak ada gunanya lagi menceritakan apa yang sudah
188
diceritakan orang lain. Bukankah banyak dari mereka yang sudah tahu apa
yang terjadi?
Tidak sesaatpun Kakyu melalaikan tugasnya yang telah dilalaikan
olehnya dengan pergi ke Pegunungan Alpina Dinaria.
Tetapi herannya Kakyu tidak berusaha mengatakan alasannya
menyendiri dalam Ruang Perpustakaan ketika pesta itu berlangsung. Kakyu
malah bertanya, “Berapa kali saya harus mengatakannya pada Anda,
Pangeran? Saya hanya menyayangi Adna sebagai kakak, tidak lebih dari itu.”
“Hentikan!” Pangeran tiba-tiba mengurung Kakyu pada dinding dengan
kedua tangannya, “Sudah kukatakan jangan membohongiku.”
Kakyu tidak mengerti di mana letak kesalahannya. “Mengapa Anda
marah, Pangeran?” tanya Kakyu tenang, “Bukankah hal ini tidak ada
hubungannya dengan Anda?”
Pertanyaan tenang itu tepat hingga membuat Pangeran tidak dapat
menjawabnya. Pangeran melepaskan tangannya dari dinding dan membiarkan
Kakyu melaluinya.
Kakyu benar. Ia seharusnya tidak marah seperti ini. Masalah ini bukan
urusannya. Tetapi dirinya tidak berhenti memikirkan hal itu.
Pangeran Reinald merasa seperti orang gila karenanya. Ia telah
mencampuri masalah yang di luar wewenangnya. Dan celakanya masalah ini
adalah masalah Kakyu, gadis yang selalu tenang.
Apakah Adna memang benar, ia cemburu pada gadis itu atau lebih
tepatnya pada Adna?
Pangeran pusing memikirkannya tetapi ia bukan orang yang mudah
menyerah. Ia akan terus memikirkan sebabnya walau ia menjadi gila karena
perasaan dan pikirannya yang kacau.
Tetapi Pangeran tidak dapat melakukannya seperti harapannya. Belum
lama ia berjalan-jalan di halaman sambil berpikir keras, seorang prajurit
menyampaikan panggilan ayahnya.
Pangeran Reinald tahu kedatangannya di Ruang Baca sangat diharap
oleh ayahnya, dan ia segera berangkat walau pertanyaan itu masih terus
bergaung di dalam kepalanya.
Melihat Kakyu juga berada di sana, Pangeran Reinald menjadi ingin tahu
masalah penting apakah yang akan dibicarakan ayahnya dengannya.
“Ada apa, Papa?”
“Aku hanya ingin bertanya bagaimana pendapat kalian kalau aku
mengadakan pesta kemenangan.”
“Kurasa tidak ada masalah. Bagaimana denganmu Kakyu?”
“Tidak ada masalah.”
“Bagus,” kata Raja Alfonso sambil tersenyum, “Sekarang bagaimana
pendapatmu tentang masalah ini, Reinald?”
189
“Masalah apa, Papa?”
“Aku baru saja mendengar permintaan Eleanor dan aku telah
memikirkannya masak-masak. Kurasa tidak ada salahnya menyetujui
permintaannya.”
“Permintaan apa, Papa? Jangan berteka-teki.”
Raja Alfonso mengacuhkannya. “Bagaimana pendapatmu tentang
Eleanor, Kakyu?”
“Ia putri yang cantik,” kata Kakyu jujur, “Sikapnya yang manja pasti
membuat pria manapun menyukainya.”
Raja tersenyum puas. “Rupanya keputusanku ini tidak salah.”
“Keputusan apa, Papa?” Pangeran Reinald tidak sabar dengan teka-teki
ini.
“Aku memutuskan untuk memberikan hadiah istimewa kepada Kakyu
sebagai penghargaanku atas keberhasilannya menumpas Kirshcaverish,” Raja
masih berteka-teki.
Kakyu mulai dapat melihat apa yang hendak dikatakan Raja. Sebelum
Raja mengatakan maksudnya, Kakyu cepat-cepat berkata, “Maafkan saya,
Paduka. Saya tidak dapat.”
“Mengapa tidak, Kakyu?” tanya Raja Alfonso heran, “Bukankah engkau
juga menyukai Eleanor? Kurasa engkau dan Eleanor akan menjadi pasangan
yang cocok.”
“Tidak mungkin, Papa,” daripada Kakyu, Pangeranlah yang lebih gencar
menolaknya. “Papa tidak mungkin melakukan hal itu.”
“Ada apa, Reinald?” Raja Alfonso kebingungan, “Mengapa engkau seperti
ini? Bukankah engkau sendiri yang kemarin berkata hanya Kakyu yang dapat
mengatasi kemanjaan Eleanor.”
“Tetapi masalahnya lain,” Pangeran Reinald bersikeras.
“Aku heran, Reinald, engkau tidak berhubungan dengan masalah ini
tetapi engkau menolaknya. Kakyu sendiri belum menanggapinya.”
“Saya tidak dapat, Paduka.”
Raja Alfonso heran. Mengapa keduanya tidak menyetujui keputusannya.
“Mengapa tidak, Kakyu? Bukankah engkau yang berjasa atas
tertumpasnya Kirshcaverish?”
“Bukan saya, Paduka, tetapi para Jenderal.”
“Mereka mengatakan engkaulah yang paling berjasa dan aku melihat
tidak ada salahnya kalau aku menyerahkan putriku kepadamu sebagai
penghargaanku atas jasamu.”
“Maafkan saya, Paduka.”
Pangeran Reinald heran melihat Kakyu tetap tenang walau tahu ia tidak
akan mungkin bisa menikah dengan Eleanor. Akan aneh sekali kalau seorang
gadis menikah dengan gadis.
190
Melihat ayahnya tidak akan berhenti membujuk Kakyu, Pangeran Reinald
merasa ia harus membantu Kakyu.
Pangeran mengajak Raja Alfonso menjauh.
Melalui tirai merah yang memisahkan Ruang Baca dengan Ruang
Perpustakaan kecil, Pangeran Reinald mengintip Kakyu yang tetap berdiri
tenang.
“Papa tidak mungkin melakukan hal gila ini.”
“Hal gila apa, Reinald?” Raja Alfonso kebingungan, “Bukankah Kakyu dan
Eleanor memang cocok?”
Pangeran Reinald merasa ia harus melanggar janjinya demi
menyelesaikan masalah ini. “Ia tidak bisa menikah dengan Eleanor dan tidak
akan pernah bisa.”
Raja Alfonso hanya dapat menatap putranya dengan kebingungan.
“Kakyu tidak seperti yang Papa kira. Ia…,” Pangeran ragu-ragu tetapi
akhirnya ia mengucapkannya juga, “Ia itu seorang gadis.”
“Gadis!?” Raja terkejut mendengarnya. Prajurit yang selama ini dipujinya
ternyata seorang gadis.
“Benar, ia bukan seperti yang kita semua kira.”
“Bagaimana engkau mengetahuinya?”
“Aku waktu itu tidak sengaja melihat tubuh gadisnya. Aku sama sekali
tidak tahu sebelumnya.”
Raja memandang curiga sehingga Pangeran harus meyakinkannya.
“Sungguh. Aku sama sekali tidak sengaja. Waktu itu aku datang untuk
mengobati lengannya yang baru terluka tetapi aku sama sekali tidak mengira
akan…”
“Akan melihat dadanya,” sahut Raja Alfonso.
Pangeran mengangguk.
Raja Alfonso terdiam sambil terus menatap wajah putranya yang
menahan perasaan malu. Dapat dibayangkan Raja bagaimana perasaan
Reinald ketika itu.
“Engkau menyukai Kakyu?” tanya Raja Alfonso penuh selidik.
“Aku? Aku menyukai gadis tenang-tenang dingin sepertinya? Jangan
berpikir yang aneh-aneh. Mana mungkin aku menyukai gadis setenang itu
hingga berkesan dingin.”
“Kakyu tidak seperti itu, Reinald. Walaupun ia tampak tenang dan tidak
senang keramaian, ia seorang yang ramah.”
“Tidak senang keramaian?”
“Benar, Kakyu tidak pernah menyukai keramaian.”
Pangeran diam – sibuk berpikir.
“Mengapa ia menjadi laki-laki?”
“Aku tidak tahu. Kakyu tidak pernah mau mengatakannya walau aku
191
sering bertanya,” kata Pangeran Reinald, “Tetapi kurasa ini ada hubungannya
dengan Jenderal Reyn.”
“Jenderal Reyn?”
“Jenderal Reyn tidak punya anak laki-laki. Dapat dibayangkan betapa
kecewanya dirinya.”
Raja Alfonso heran. “Lalu mengapa ia memilih Kakyu?”
“Aku tidak tahu. Sekarang kumohon jangan mengatakan hal ini pada
Kakyu juga kepada yang lain. Aku telah berjanji padanya untuk tidak
mengatakannya pada siapapun.”
“Tetapi engkau baru saja melanggar janjimu.”
“Aku terpaksa melakukannya. Aku tidak mungkin membiarkan seorang
gadis menikah dengan gadis.”
“Sepertinya aku juga harus memegang janjimu.”
Pangeran Reinald mengangguk. “Hingga semua pertanyaan ini terjawab,
aku tidak ingin Kakyu marah kepadaku hanya karena aku melanggar janjiku.”
“Jangan khawatir, Reinald. Aku juga tidak akan mengatakannya pada
siapapun,” Raja mengintip Kakyu di balik tirai, “Aku heran mengapa gadis
sepertinya bisa menjadi setangguh itu bahkan lebih tangguh dari pemuda lain
seusianya.”
“Aku juga ingin tahu,” Pangeran Reinald mengakui, “Papa tidak marah
pada Kakyu juga keluarga Parcelytye bukan?”
“Marah? Mengapa aku harus marah?”
“Karena mereka telah membohongi Papa.”
Raja tersenyum sambil melirik pada Kakyu. “Untuk apa aku marah kalau
seorang gadis bisa setangguh itu? Sepertinya mulai saat ini aku tidak boleh
menganggap remeh wanita.”
Pangeran Reinald lega mendengarnya. Ia tidak perlu mengkhawatirkan
keselamatan gadis yang dicintainya.
“Apa!?” Pangeran Reinald terkejut menyadari kenyataan itu. Ini sangat
aneh beberapa saat yang lalu ia masih mengatakan tidak mungkin ia jatuh
cinta pada Kakyu yang tenang-tenang dingin, tetapi beberapa detik yang lalu ia
baru saja mengatakannya. Ini benar-benar aneh, tetapi keanehan selalu terjadi
dalam cinta. Bukankah demikian?
Belum selesai masalah yang ada, sekarang malah muncul masalah yang
lain. Tetapi karenanya Pangeran tahu ia marah kepada Kakyu karena ia
cemburu. Benar, ia cemburu pada Adna.
“Apa katamu tadi?”
“Tidak…,” elak Pangeran Reinald, “Tidak ada.” Kemudian untuk
mengalihkan perhatian ayahnya, ia berkata, “Aku hanya berpikir apa yang akan
kita katakan pada Eleanor. Kita tidak mungkin mengatakan tentang ini.”
Raja terdiam. Dalam diamnya ia sibuk berpikir. “Entahlah,” katanya
192
menyerah, “Yang pasti Eleanor tidak akan senang mengetahui hal ini.”
“Pasti.”
“Ia pasti akan menuntut alasan dariku sedangkan aku sendiri tidak tahu
apa yang harus kukatakan selain kebenaran ini. Tetapi jangan khawatir, aku
tidak akan mengatakannya. Bukankah aku telah berjanji padamu?”
“Katakan saja aku tidak setuju. Nanti ia akan minta penjelasan dariku,”
usul Pangeran Reinald.
“Apa engkau benar-benar bersedia dibuat repot oleh Eleanor?” selidik
Raja Alfonso.
“Ia adikku, Papa. Mana mungkin aku keberatan?”
“Baiklah,” Raja Alfonso menganggap masalah ini telah selesai, “Sekarang
bagaimana denganmu?”
“Aku?”
“Aku tidak terlalu tua untuk mengetahuinya, Reinald. Jangan lupa aku
juga pernah muda,” Raja Alfonso berkata dengan nada memperingati.
“Aku yakin engkau sedikit banyak tertarik padanya,” kata Raja sambil
melirik Kakyu yang tetap tenang menanti, “Kalau aku masih muda, aku juga
pasti akan tertarik pada gadis hebat sepertinya. Ia cerdas, tenang, juga lincah.
Yang pasti ia bukan gadis yang mudah terkalahkan.”
“Aku ingin semuanya jelas. Aku ingin tahu mengapa ia menjadi laki-laki.
Aku ingin tahu siapa Kenichi. Aku ingin tahu segalanya tentang dia.”
“Kurasa kita akan membuatnya curiga kalau kita terlalu lama di sini,”
kata Raja Alfonso.
Bersama-sama mereka keluar dari tempat itu ke hadapan Kakyu yang
berdiri dengan tenangnya.
“Baiklah, Kakyu,” kata Raja, “Aku tidak akan memaksamu lagi. Reinald
telah membujukku.”
“Terima kasih, Paduka.”
“Sekarang kita hanya perlu merundingkan pesta itu,” tiba-tiba Raja
Alfonso merasa ragu-ragu, “Kalian setuju bukan?”
“Tentu,” kata Pangeran Reinald.
Raja melihat Kakyu.
Sebagai jawabannya, Kakyu berkata, “Tidak ada alasan untuk tidak
setuju.”
“Kakyu, dapatkah engkau meninggalkan kami?” kata Pangeran Reinald,
“Aku ingin berunding dengan Papa. Nanti aku akan memberitahumu kapan
pesta itu diadakan sehingga engakau bisa mulai mengaturnya.”
Kakyu memandang curiga kepada Pangeran Reinald tetapi ia tidak
mengatakan apa-apa. Kakyu tidak tahu apakah Pangeran Reinald mengingkari
janjinya atau tidak, tetapi ia berterima kasih atas bantuannya.
Kakyu tersenyum padanya.
193
Segera setelah Kakyu mengundurkan diri dari ruangan itu, Pangeran
berkata, “Ada yang ingin kubicarakan, Papa.”
Raja duduk dengan sikap mendengarkan.
“Menurutku Kakyu tidak bisa selamanya seperti ini. Bagaimana menurut
Papa?”
“Aku berpikir juga tidak baik kalau Kakyu terus menerus menjadi laki-laki.
Ia tidak akan dapat menemukan kebahagiaannya juga tidak dapat menjadi
dirinya sendiri.”
“Aku sering mengatakannya pada Kakyu, tetapi ia tidak pernah
menjawabnya. Menurut Papa, apakah mungkin Kakyu akan tetap menjadi laki-
laki sampai Jenderal Reyn sendiri yang membebaskannya dari tugasnya ini?”
“Kurasa memang demikian. Kakyu sangat berbakti pada orang tuanya
terutama ayahnya. Engkau tahu sendiri bukan bagaimana dia berusaha keras
untuk dapat berangkat ke Hutan Naullie? Aku akan membujuk Jenderal Reyn.”
“Kita tidak bisa membujuk Jenderal Reyn, Papa. Aku khawatir, Jenderal
Reyn tidak akan senang mengetahui hal ini.”
“Kukira tidak, Reinald. Jenderal Reyn itu perwira yang berjiwa besar,
tentu ia akan memahami masalah ini. Yang penting, engkau tidak perlu
mengkhawatirkan hal ini. Aku yang akan menyelesaikannya. Yang perlu
kauurus hanya adikmu dan Kakyu.”
Pangeran tidak tahu apakah benar ini jalan yang terbaik untuk membuat
Kakyu kembali ke kehidupannya yang seharusnya. Tetapi ayahnya tidak
mungkin melakukannya tanpa yakin akan hasilnya.
“Jangan lupa janjimu, Reinald,” Raja Alfonso mengingatkan.
“Janji?” tanya Pangeran Reinald keheranan.
“Engkau berjanji pada Kakyu akan memberitahu kapan pesta
kemenangan ini akan diadakan.”
“Tentu. Kapan Papa akan mengadakannya?”
“Aku juga belum sempat memikirkannya. Kurasa tiga atau empat minggu
lagi. Waktu itu cukup untuk mempersiapkan pesta ini bukan?”
“Kalau Kakyu yang menanganinya, aku yakin dalam waktu seminggupun
pesta ini siap dilaksanakan.”
“Aku juga tidak ragu,” kata Raja sambil tersenyum.
Sekarang semua masalah dengan pertunangan Kakyu dan Eleanor yang
ditawarkan Raja Alfonso telah selesai. Masalah terbesar Pangeran Reinald saat
ini hanya bagaimana membuat Kakyu menghentikan semua penyamarannya
ini.
Setiap ada kesempatan, Pangeran Reinald selalu berusaha mendekati
Kakyu untuk membuatnya mengatakan segalanya juga membujuknya. Tetapi
kesempatan yang benar-benar bermanfaat itu tidak pernah ada.
Setiap hari mereka sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.
194
Entah Kakyu yang sibuk mengatur keamanan Istana Vezuza atau Pangeran
Reinald yang sibuk dengan kemarahan Putri Eleanor.
Kalaupun mereka bertemu, percakapan yang terjadi hanya sebentar.
Kakyu juga segera pergi ketika mendengar pertanyaan yang selalu sama.
Seperti sore ini ketika ia bertemu Pangeran di koridor Istana.
“Hingga sekarang engkau belum mengatakannya padaku, Kakyu.”
Kakyu diam saja.
“Kumohon, Kakyu, untuk kali ini saja jangan terlalu pendiam,” bujuk
Pangeran Reinald lembut, “Aku ingin engkau menjawab semua pertanyaan-
pertanyaanku yang belum engkau jawab.”
Kakyu hanya memandang Pangeran. “Saya tidak bisa.”
“Engkau bisa, Kakyu. Aku tahu engkau bisa hanya engkau saja yang tidak
mau mengatakannya.”
Kakyu kembali diam.
“Katakan kepadaku mengapa engkau memilih menjadi laki-laki? Aku tahu
engkau juga tidak ingin selamanya seperti ini.”
Kalau dulu Pangeran Reinald mengatakannya, hal itu salah. Dari dulu
Kakyu senang menjadi laki-laki yang bebas bergerak daripada wanita yang
tidak bebas. Tetapi sekarang hal itu benar.
“Katakanlah padaku, Kakyu. Mengapa engkau menjadi laki-laki? Aku ingin
tahu semuanya.”
Kali ini Pangeran tidak berusaha menekan Kakyu. Ia membujuk Kakyu
dengan lembut dengan harapan bisa membangkitan jiwa gadis yang terkubur
dalam penyamarannya selama bertahun-tahun.
Tanpa perlu dibujukpun, jiwa seorang gadis Kakyu telah muncul. Jiwa itu
muncul sejak Pangeran bersikap lembut padanya di malam menegangkan di
Hutan Naullie. Malam di mana Pangeran memeriksa luka Kakyu dengan penuh
kelembutan dan sikap hati-hati.
Seperti yang sudah-sudah, Kakyu tidak menjawab pertanyaan-
pertanyaan itu. Ia hanya berlalu pergi setelah berkata, “Maafkan saya.”
Pangeran yang telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap bersikap
sabar dalam menghadapi Kakyu, tak urung jengkel juga. Pangeran tahu hingga
kapanpun ia tetap merasa jengkel oleh sikap Kakyu yang seperti ini, tetapi
anehnya ia menyukainya. Bagi Pangeran, sikap ini seakan-akan menjadi
tantangan tersendiri yang harus dipecahkannya di samping sikap tenang gadis
itu.
Pangeran Reinald melanjutkan perjalanannya dengan perasaan gemas.
Entah bujukan apa lagi yang harus dilakukannya untuk membuat Kakyu
berbicara banyak seperti saat ia sibuk memikirkan Kirshcaverish.
Seperti mereka yang lebih lama mengenal Kakyu, Pangeran Reinald
hanya pernah sekali mendengar Kakyu berbicara banyak. Hanya sekali yaitu
195
saat ia mengkhawatirkan keberadaan pasukan di Hutan Naullie. Hanya itu dan
setelahnya Kakyu kembali menjadi gadis yang pendiam dan tenang.
Yang lebih parah dari yang pernah diketahui Pangeran, Kakyu telah
menjadi gadis tenang yang sangat dingin. Tak heran kalau di saat semua orang
mengatakan Kakyu adalah pemuda yang dingin-dingin tenang, Pangeran
mengatakan sebaliknya Kakyu adalah gadis yang tenang-tenang dingin.
Sudah berulang kali ia mencoba membujuk Kakyu tetapi Kakyu tetap
keras kepala. Segala cara mulai dari yang bernada perintah sampai bujukan
lembut tidak berhasil mempengaruhi gadis itu. Andaikan Pangeran Reinald tahu
betapa ia telah membuat Kakyu merasa kacau, ia pasti tidak akan melepaskan
kesempatan itu.
Kejengkelan Pangeran itu terus tampak di wajah tampannya ketika ia
menuju Ruang Rekreasi yang khusus untuk keluarga kerajaan.
Begitu melihat ayahnya berada di sana, Pangeran segera berkata,
“Bagaimana membuat Kakyu berbicara banyak?”
“Percuma saja, Reinald. Lebih baik engkau melupakan keinginanmu itu.
Aku, Alfonso, juga Eleanor telah mencobanya ratusan kali tetapi ia tetap tidak
bisa berbicara sebanyak yang kita harapkan.”
Jawaban itu membuat Pangeran Reinald menyadari keberadaan ibunya di
ruangan itu. Rupanya karena Ratu Ylmeria duduk di pojok dinding sisi pintu,
Pangeran yang langsung masuk itu tidak melihatnya.
“Ada yang perlu kautanyakan padanya?”
“Tidak,” Pangeran Reinald berbohong pada Ratu Ylmeria. Cukup sekali
Pangeran Reinald mengingkari janjinya.
“Katakan saja, Reinald. Ylmeria sudah mengetahuinya juga.”
“Mama?” ulang Pangeran Reinald sambil menatap tak percaya pada Raja
dan Ratu bergantian.
Ratu Ylmeria membenarkan kalimat itu dengan berkata, “Aku juga
terkejut ketika mengetahui ia itu seorang gadis.”
“Telah kukatakan padamu, Reinald, Kakyu sangat berbakti kepada orang
tuanya. Dan hanya Jenderal Reyn saja yang membuatnya mengatakan segala-
galanya,” kata Raja Alfonso, “Aku akan membicarakannya dengan Reyn nanti.
Lagipula nanti aku ada pertemuan dengan para Jenderal itu untuk
membicarakan masalah Kirshcaverish dan hukuman yang harus diberikan pada
mereka.”
“Masalah itu belum selesai?” tanya Pangeran Reinald tak percaya.
“Bukankah sudah sebulan lebih berlalu sejak kedatangan kami?”
Sejak tiba di Istana Vezuza, Pangeran Reinald memang tidak pernah tahu
lagi secara persis apa yang terjadi pada Bleriot dan kelompoknya. Pangeran
bukannya tidak mau mengurusi masalah itu, tetapi Raja Alfonso tidak
mengijinkannya untuk ikut.
196
“Engkau sudah banyak berusaha,” kata Raja Alfonso waktu itu, “Sisanya
biar aku yang mengerjakannya.”
“Jangan kaukira semudah itu menyelesaikan masalah sebesar ini,” Raja
Alfonso merasa jengkel mendengar suara yang lebih mirip ejekan daripada tak
percaya itu, “Butuh bukti-bukti yang cukup dan kuat sebelum mengajukan
mereka ke pengadilan.”
“Apakah kejahatan mereka selama ini belum cukup?”
“Belum cukup untuk membuktikan mereka itu pemberontak. Apa yang
mereka lakukan seperti pada keluarga Halberd dapat digolongkan dalam
tindakan ancaman.”
Pangeran Reinald tidak puas dengan penerangan itu. “Tetapi itu sudah
cukup untuk membawa mereka ke pengadilan, bukan?”
Ratu Ylmeria yang sejak tadi diam mendengarkan, menghela napas
melihatnya. “Kurasa Kakyu memang cocok untukmu yang tidak pernah
bersabar.”
Perhatian Raja Alfonso teralihkan karena perkataan yang tulus dari lubuk
hati seorang ibu. “Maksudmu, Ylmeria?”
“Reinald sangat cepat marah dan ia tidak pernah mau bersabar
sedangkan Kakyu gadis yang sangat tenang. Kalau Kakyu yang harus
menghadapi Reinald, kurasa mereka tidak akan banyak bertengkar. Kakyu pasti
dapat dengan sabar dan tetap tenang menenangkan Reinald,” kata Ratu
Ylmeria sambil menatap lekat-lekat wajah putranya, “Kurasa kalau mereka
menikah, kita tidak perlu khawatir, Reinald akan banyak bertengkar dengan
istrinya. Terlebih lagi dalam memerintah kerajaaan ini, ia tidak akan bersikap
sembrono dengan Kakyu sebagai pendampingnya.”
Raja Alfonso ikut menatap lekat-lekat wajah Pangeran yang pura-pura
jengkel untuk menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya.
“Jangan berpikir yang tidak-tidak. Tidak mungkin itu terjadi antara aku
dan gadis yang tenang-tenang dingin itu,” Pangeran Reinald mengelak.
“Jangan membohongi aku, Reinald,” Ratu memperingatkan, “Seorang ibu
tidak mungkin salah melihat perasaan anaknya. Engkau tahu bukan seorang
ibu mempunyai hubungan batin yang sulit dijelaskan, dengan anak-anaknya.”
“Tidak perlu mengelak, Reinald,” Raja Alfonso ikut menggoda Pangeran
Reinald, “Kakyu memang cantik walau ia memakai pakaian seragam Kepala
Pengawal Istana.”
“Sebaiknya kalian tidak mengatakannya pada Eleanor,” kata Pangeran
Reinald memperingati juga untuk mengalihkan perhatian kedua orang tuanya.
“Bukankah sebaiknya Eleanor diberitahu juga?”
“Tidak, Mama. Aku tahu Eleanor tidak akan tinggal diam setelah
mengetahuinya. Ia pasti akan segera menanyakannya langsung pada Kakyu
dan itulah yang ingin kuhindari.”
197
“Ia akan semakin sedih kalau ia tahu,” kata Ratu Ylmeria sendu, “Aku
tidak dapat membayangkan seperti apa rupanya kalau tahu ini semua.”
“Sekarang ataupun nanti ia diberitahu, ia pasti sedih dan kecewa,
Ylmeria.”
“Sekarang bukan itu masalahnya,” kata Pangeran Reinald, “Masalah
utamanya adalah bagaimana membuat Kakyu benar-benar menyadari ia bukan
laki-laki tetapi wanita? Bagaimana membuat ia menyadarinya?”
Ratu Ylmeria diam menatap putranya. Tanpa diberitahupun, jiwa
keibuannya telah berkata putranya mengharapkan itu demi dirinya sendiri.
Dengan tersenyum, ia berkata, “Semua tergantung padamu juga, Reinald.”
Pangeran Reinald hanya dapat menatap ibunya dengan bingung.
“Bagaimanapun juga Kakyu itu seorang gadis. Sedikit banyak ia
mempunyai jiwa seorang gadis. Hanya bagaimana engkau memanfaatkan jiwa
yang selama ini tersembunyi dan membuatnya muncul lebih besar dari yang
sebelumnya.”
“Aku telah mencobanya tetapi Kakyu terlalu keras kepala untuk dibujuk.”
“Aku merasa telah berulang kali mengatakan padamu Kakyu itu sangat
berbakti pada orang tuanya. Walau apapun yang terjadi, ia tidak mungkin mau
mengatakan sesuatu yang membuat segala ini menjadi jelas. Terutama
padamu yang seorang Pangeran. Ia pasti tidak mau mencelakakan keluarga
juga kedua orang tuanya.”
“Tetapi Papa tidak akan menghukum mereka bukan?”
“Benar, aku tidak akan melakukannya. Dan aku telah berjanji padamu.”
“Bagaimanapun juga hal ini dapat dikatakan sebagai suatu penipuan,
Reinald. Bukan hanya kepada seorang Raja tetapi juga kepada rakyat Kerajaan
Aqnetta.”
Raja Alfonso mengangguk membenarkan.
“Kalian tidak akan menghukum mereka bukan? Walaupun berbohong,
Kakyu banyak berjasa.”
Pangeran Reinald tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukan
kedua orang tuanya dengan pernyataan itu. Tetapi ia dapat membayangkan
bukan hanya membayangkan tetapi juga sangat yakin pada tindakan yang
akan dilakukannya bila kekhawatirannya itu terjadi. Ia akan menentang kedua
orang tuanya dan itu tidak perlu diragukan lagi.
Raja Alfonso tersenyum melihat kekhawatiran itu. “Jangan khawatir.
Harus berapa kali aku mengatakan hal itu padamu, Reinald? Aku tidak akan
menghukum mereka. Apakah aku harus menghukum seorang gadis yang telah
berjasa begitu besar pada Kerajaan Aqnetta? Seorang gadis saja bisa
setangguh itu. Bayangkan kalau semua gadis juga seperti Kakyu. Kerajaan kita
pasti akan menjadi semakin kuat.”
Pangeran Reinald tidak tahu apakah ia harus diam dengan keyakinan
198
ayahnya atau harus memberitahunya. Yang paling baik memang tidak
memberitahunya sehingga Kakyu tetap aman. Tetapi kalau tidak diberitahu,
ayahnya akan kecewa di kemudian hari kalau tahu yang sebenarnya.
“Masalahnya, Papa tidak menyadari perbedaan antara ketangguhan
Kakyu dengan Jenderal Reyn.”
“Aku telah melihatnya, Reinald. Aku yakin Kakyu lebih tangguh daripada
ayahnya sendiri waktu seusia dirinya. Aku tidak tahu bagaimana Jenderal Reyn
mengajari putrinya tetapi ia benar-benar tangguh dan memiliki kemampuan
yang tidak dapat diduga seberapa batasnya.”
Pangeran Reinald merasa hal itu sudah cukup untuk saat ini. Ia sendiri
belum tahu banyak tentang ilmu yang dipelajari Kakyu. Dan pasti ia tidak tahu
harus menjelaskan apa pada ayahnya yang pasti akan banyak bertanya.

199
16

Kakyu duduk di depan meja kerjanya dan mulai menulis surat untuk
Halberd.
Hingga saat ini ia belum dapat melakukan janjinya pada keluarga
Halberd. Kakyu belum dapat menambahi kesibukan itu dengan masalah
Halberd. Kakyu tahu banyak yang dipikirkan Raja Alfonso saat ini antara lain
tentang Kirshcaverish juga pesta kemenangan yang akan diadakannya.
Kakyu mengakhiri surat singkat itu dengan namanya di sudut kanan.
Kemudian dilipatnya surat itu dengan rapi dan dimasukkan ke dalam amplop.
Tengah Kakyu menuliskan alamat tujuan surat itu, seseorang memanggil.
Kakyu segera menghentikan pekerjaannya begitu mendengar suara
ayahnya.
“Ada apa, Papa?”
Jenderal Reyn memasuki kamar Kakyu. Jenderal Reyn mengambil kursi
dan duduk di depan Kakyu.
“Aku ingin bertanya,” suara Jenderal Reyn terdengar seperti penuh
perasaan bersalah dan ragu-ragu, “Bagaimana perasaanmu?”
Kakyu tidak mengerti apa yang dimaksudkan ayahnya. Saat ini ia
memang sedang merasa galau dengan perasaannya yang campur aduk antara
keinginan untuk terus menjadi laki-laki dan keinginan untuk bebas mencintai.
Tetapi Kakyu tidak akan mengatakannya.
“Biasa-biasa saja.”
“Bukan itu maksudku,” Jenderal Reyn tampak kacau.
Entah apa yang tengah dipikirkannya, Kakyu tidak tahu tetapi baru kali
ini ia melihat ayahnya merasa bingung dan kacau.
Jenderal Reyn menggenggam tangan Kakyu. Matanya mengawasi lekat-
lekat wajah tenang Kakyu, “Aku ingin tahu bagaimana perasaanmu selama ini?
Selama ini engkau terus menjadi laki-laki, seperti keinginanku. Engkau begitu
tampak senang menjalankannya hingga aku lupa engkau ini seorang gadis
seperti kakak-kakakmu yang lain. Aku begitu bodoh tidak pernah memikirkan
ini semua.”
“Aku tidak merasa terpaksa melakukannya, Papa,” kata Kakyu
menghibur.
“Aku tahu, Kakyu. Aku tahu. Engkau selalu senang melakukan semua ini,”
kata Jenderal Reyn mengakui, “Tetapi aku yakin engkau pasti pernah
memikirkan keinginanmu sendiri. Engkau oasti mempunyai keinginan-
keinginan sebagai seorang gadis yang telah aku aabikan selama ini.”
200
“Jangan terlalu dipikirkan apa yang dikatakan Mama. Aku senang
melakukannya dan aku sama sekali tidak merasa terpaksa.”
“Bukan hanya Xeilan yang mengatakannya padaku, Kakyu,” Jenderal
Reyn memberitahu, “Xeilan memang sering memberitahuku tetapi itu dulu
sebelum engkau kumasukkan menjadi seorang pengawal Istana.”
Kakyu curiga mendengarnya. Ia khawatir Pangeran Reinald mengingkari
janjinya.
“Mengapa Papa harus memikirkannya?”
“Karena aku ingin melihatmu bahagia, Kakyu,” kata Jenderal Reyn penuh
pengertian, “Raja Alfonso benar kalau engkau terus menjadi laki-laki, engkau
tidak akan dapat mencapai kebahagiaanmu sendiri seperti Joannie. Engkau
pasti ingin bahagia seperti Joannie bukan?”
Kakyu kebingungan mendengarnya.
“Dari mana Raja Alfonso mengetahuinya?” pikirnya, “Apakah mungkin
Pangeran Reinald yang mengatakannya?”
Jenderal Reyn mengetahui apa yang dipikirkan Kakyu, “Tidak perlu
menyalahkan dirimu, Kakyu. Aku sendiri juga tidak tahu darimana Raja Alfonso
mengetahuinya, tetapi ia benar. Aku tidak bisa terus membuatmu menjadi
seorang laki-laki. Bagaimanapun juga aku juga ingin melihatmu bahagia?”
Kakyu berhenti memikirkan pertanyaan yang terus berkecamuk dalam
benaknya.
“Kakyu,” Jenderal Reyn seolah-olah ingin membangunkan Kakyu dari
dunianya yang kacau, “Jangan kaupikirkan aku lagi. Aku sudah tidak
memaksamu. Engkau bebas menentukan langkahmu sendiri. Engkau boleh
meninggalkan segala hal yang berhubungan dengan militer dan memulai hidup
seperti yang dijalani kakak-kakakmu.”
“Itu tidak mungkin, Papa,” kata Kakyu.
“Apalagi yang kaukhawatirkan, Kakyu? Aku sudah tidak ingin menekanmu
menjadi laki-laki. Raja Alfonso juga tidak marah, bahkan ia berulang kali
mengatakan, “Kalau seorang gadis saja bisa seperti ini, bayangkan kalau
semua gadis menjadi prajurit.” Mengenai keamanan Istana Vezuzapun engkau
tidak perlu mengkhwatirkannya, pasti ada penggantimu yang dapat melakukan
tugas sebaik dirimu. Tidak ada yang perlu kaukhawatirkan. Ibumu, kakak-
kakakmu pasti senang kalau engkau mau meninggalkan segala yang tidak
seharusnya kaulakukan sebagai seorang gadis.”
Kakyu tidak tahu harus berkata apa.
Kurang lebih sebulan yang lalu ia menetapkan untuk terus pada
pekerjaannya tetapi kini ayahnya seperti seorang prajurit yang menyerah
kalah. Kakyu benar-benar bingung.
Jenderal Reyn mengerti kebingungan Kakyu.
“Aku akan meninggalkanmu agar engkau dapat berpikir. Tetapi berjanjilah
201
padaku, Kakyu, engkau benar-benar akan memikirkannya.”
“Aku janji.”
Jenderal Reyn meninggalkan Kakyu yang terus duduk dengan pikiran
yang semakin kacau.
“Bagaimana?” tanya Lady Xeilan yang telah menanti di depan pintu.
“Aku tidak tahu. Ia tampaknya bingung sekali.”
“Tentu saja. Selama ini ia terbiasa menjadi laki-laki, lalu engkau tiba-tiba
menyuruhnya kembali menjadi seorang gadis.”
Jenderal Reyn memeluk istrinya, “Untunglah engkau menasehatiku tadi,
kalau tidak aku tidak tahu apakah yang harus kulakukan. Aku begitu bodoh
selama ini. Tak pernah sekalipun aku memikirkan perasaan gadisnya. Aku
terlalu memaksanya menjadi laki-laki seperti yang kuharapkan.”
“Sudahlah, yang penting engkau telah melakukan apa yang kukatakan
bukan?” kata Lady Xeilan sambil tersenyum menghibur rasa bersalah
suaminya, “Mari kita tinggalkan tempat ini. Biar Kakyu memikirkannya dengan
tenang.”
Mereka kemudian berjalan meninggalkan tempat itu.
Seperti keinginan Lady Xeilan, tidak ada yang berani menganggu Kakyu
sepanjang hari itu. Bahkan ketika pada malam harinya Kakyu tidak turun untuk
makan, tidak ada yang memanggilnya. Hanya pelayan yang mengantarkan
makan malam, yang memasuki kamar Kakyu.
Yang lain ingin memberi ketenangan bagi Kakyu untuk berpikir. Mereka
tetap diam juga ketika keesokan paginya Kakyu tidak berangkat ke Istana
Vezuza seperti biasanya. Mereka mengerti Kakyu sangat bingung saat ini.
Seharian Kakyu tidak beranjak dari kamarnya. Ia terus duduk merenung
di serambi depan kamarnya. Pikirannya terus melayang tak menentu arahnya.
Kadang pada perasaannya akhir-akhir ini, kadang pada tanggung jawabnya,
kadang pada kekecewaan ayahnya, tak jarang pula pikirannya menuju
Pangeran Reinald.
Belum pernah Kakyu merasa sedemikian kacau seperti hari ini. Kemarin
malam ia sampai tidak dapat tidur sejenakpun karena terus memikirkan
keputusannya.
Kakyu hanya tinggal memilih antara dua pilihan, terus menjadi laki-laki
atau kembali menjadi gadis. Hanya di antara dua pilihan itu, tidak lebih. Tetapi
ia terus berpikir dan berpikir tiada henti untuk menentukan pilihannya.
Menjadi seorang gadis, akhir-akhir ini memang menarik perhatian Kakyu
terutama sejak jiwa gadisnya bangkit. Tetapi ia juga tidak sanggup
meninggalkan dunia yang selama ini ditekuninya. Ia sendiri tidak tahu
bagaimana harus bersikap kalau nanti ia menjadi seorang gadis. Kalau
meneruskan pekerjaannya sebagai Kepala Pengawal Istana, ia tidak perlu
repot-repot memikirkan itu. Tetapi ia juga ingin menjadi gadis.
202
Semua serba membingungkan. Tiap kali Kakyu mulai memutuskan selalu
ada kata ‘tetapi’ dan itu membuat pikiran Kakyu kembali menjadi kacau.
Udara pagi yang biasanya mampu membuat pikiran Kakyu menjadi
tenang, pagi ini tidak lagi mampu. Pikiran Kakyu benar-benar bagaikan benang
yang tidak terbentuk lagi dan tiada ujung pangkalnya.
Karena begitu bingungnya Kakyu, sampai-sampai ia tidak mendengar
suara ketukan di pintu kamarnya.
“Kakyu!”
Sekali kakak Kakyu berseru memanggil Kakyu tetapi gadis itu tetap diam
memandang langit biru dengan pikiran yang kacau.
Vonnie menjadi jengkel karenanya. Dengan menggoyangkan tubuh
adiknya, ia berseru, “Kakyu! Kau mendengarku atau tidak!?”
Walaupun sedang bingung, Kakyu masih mampu menjawab dengan
tenang, “Ada apa?”
“Heran aku melihatmu,” kata Vonnie tanpa berhenti menggelengkan
kepalanya, “Apa yang engkau pikirkan sepanjang malam sampai-sampai
engkau tidak dengar aku mengetuk pintu.”
“Maaf,” kata Kakyu dengan tenangnya.
“Begitu tenangnyakah dirimu sampai-sampai walau sedang bingung
engkau tetap dapat bersikap tenang?”
Pandangan Kakyu beralih pada pria yang berdiri di belakang Vonnie.
Melihat Pangeran Reinald berdiri di sanapun, Kakyu tetap berkata tenang,
“Ada apa Anda mencari saya, Pangeran?”
“Begitukah caramu menyambutku yang mengkhawatirkanmu?” Pangeran
Reinald memincingkan matanya tanpa melepaskan matanya dari Kakyu.
“Bagiku engkau sama sekali tidak nampak seperti orang yang sedang
bingung.”
Vonnie merasa ia tidak selayaknya berada di sana. “Sebaiknya saya
meninggalkan kalian berdua. Saya yakin antara kalian ada yang harus
dibicarakan.”
Tidak ada yang menghiraukan kepergian Vonnie.
Tiba-tiba Pangeran Reinald berlutut di depan Kakyu. “Aku minta maaf.”
Kakyu hanya memandang Pangeran dengan bingung.
“Papa sudah tahu semuanya dariku.”
Hanya satu yang dilakukan Kakyu. Dan itu sama sekali jauh dari dugaan
Pangeran Reinald. Kakyu sama sekali tidak menuntut jawaban juga tidak
marah, ia hanya tersenyum tipis.
“Lupakan saja.”
Ungkapan singkat yang jauh berbeda dengan yang dibayangkannya itu
membuat Pangeran Reinald menatap Kakyu dengan bingung.
“Apakah engkau memang selalu tenang dan dingin seperti ini?”
203
Untuk menjawab keheranan itu, Kakyu berkata, “Saya telah dilatih untuk
tetap tenang dalam keadaan apapun, Pangeran.”
“Sekalipun engkau sedang bingung seperti ini?” tanya Pangeran Reinald
ingin tahu.
Kakyu tidak menjawabnya karena ia memang tidak tahu apakah ia tetap
tenang atau tidak. Mungkin dari luar ia terlihat sangat tenang tetapi hati dan
pikirannya tidak tenang terlebih dengan keberadaan Pangeran Reinald yang
sangat dekat itu.
Pangeran Reinald mengerti Kakyu sedang bingung dan ia tidak ingin
menambahi lagi kebingungan gadis itu. “Aku mengerti engkau sedang bingung.
Tetapi kuharap engkau tidak terus mengurung dirimu di sini. Kakak-kakakmu
mengatakan sejak ayahmu memintamu untuk memikirkan kembali masa
depanmu, engkau mengurung diri di sini. Engkau bisa sakit kalau engkau terus
mengurung diri di sini.”
Kakyu hanya diam menatap Pangeran.
“Engkau bisa menceritakan kebingunganmu itu padaku. Lebih mudah
memecahkan kebingungan itu kalau engkau mengatakannya pada orang lain.
Kalau engkau tidak bisa mengatakannya padaku, katakan saja pada yang lain.”
Kakyu tahu hal itu benar, tetapi masalahnya adalah semua kebingungan
ini bersumber dari satu masalah yang ia sendiri belum ketahui apakah itu.
Suatu masalah yang menjadi kunci dari segala kebingungan ini. Kebingungan
ini sulit dijelaskan pada orang lain bahkan kadang ia sulit menjelaskannya pada
dirinya sendiri.
“Dengarkan aku, Kakyu,” kata Pangeran Reinald perlahan, “Aku tidak
akan memaksamu memilih menjadi gadis, tetapi menurutku akan lebih mudah
bagimu kalau engkau bukan anak laki-laki. Engkau bebas mencintai pria
manapun ketika engkau menjadi seorang gadis.”
Kakyu tetap diam.
“Aku tahu engkau pasti merasa berat untuk meninggalkan pekerjaan
yang telah kaucintai itu, tetapi engkau tidak perlu khawatir meninggalkannya,
Kakyu.”
Kakyu dibuat bingung karenanya. Bagaimana mungkin ia menjadi
seorang gadis sekaligus Kepala Keamanan Istana? Jelas hal ini tidak mungkin.
Tidak pernah ada seorang gadis yang menjadi prajurit dalam sejarah Kerajaan
Aqnetta.
“Ketika Papa mengetahui engkau seorang gadis, ia sangat terkejut tetapi
ia sama sekali tidak marah. Bahkan dengan tersenyum ia berkata engkau
sangat hebat dan ia tidak boleh menganggap remeh wanita. Dari
perkataannya, aku bisa menangkap Papa mempunyai rencana untuk
menjadikan engkau panutan bagi gadis-gadis lain yang ingin menjadi prajurit.”
“Itu tidak mungkin,” Kakyu akhirnya berkata juga.
204
“Mengapa?”
“Gadis lain tidak mungkin bisa seperti saya.”
Pangeran Reinald terus mendesak Kakyu. “Mengapa?”
“Kalaupun mereka menjadi seorang prajurit, mereka tidak akan seperti
yang Anda harapkan. Apa yang saya pelajari tidak sama dengan yang akan
mereka pelajari. Saya ini lebih tepat dikatakan sebagai pembunuh bayaran
dibandingkan seorang prajurit.”
“Selama ini engkau seorang prajurit, bukan?”
Kakyu menggelengkan kepalanya, “Itu hanya pekerjaan. Tetapi ilmu yang
saya kuasai ini bukan ilmu perang seorang prajurit tetapi seorang pembunuh,
ninjit-su. Ninjit-su adalah seni membunuh rahasia Jepang di mana setiap orang
yang mempelajarinya disebut ninja. Dalam ninjit-su dikenal berbagai macam
ilmu yang paling tinggi adalah Kobadera, ilmu sihir ninja. Juga ada Ing tong
jiutsu yang memungkinkan seorang ninja muncul tiba-tiba dan melemahkan
musuh antara lain dengan menciptakan halusinasi pada lawan. Selain itu masih
banyak senjata rahasia lain yang sangat ampuh.”
Pangeran Reinald hanya terpana mendengar keterangan singkat itu.
“Engkau menguasai semuanya?”
“Tidak. Saya telah mengatakan pada Anda, dalam ninja ada larangan
untuk menyebarkan ilmu ini pada orang lain di luar orang Jepang. Di Jepang
sendiri hanya sedikit orang yang bisa.”
“Kenichi itu orang Jepang bukan?” Pangeran Reinald memanfaatkan
kesempatan ini untuk memuaskan rasa ingin tahunya.
Kakyu menganggukan kepalanya dengan lemah. Sampai sekarang masih
sulit ia melupakan kematian Kenichi.
“Ia orang Jepang asli. Kenichi menurunkan ilmunya pada saya karena ia
sangat menyayangi saya. Kami bagaikan kakek dan cucu. Belum lama sejak
Kenichi memasuki rumah ini, saya lahir. Dialah yang menamakan saya Kakyu,
dari bahasa Jepang yang artinya Bola Api. Kata Kenichi, ketika saya lahir,
rambut saya yang merah bersinar seperti nyala api.”
“Bola Api,” ulang Pangeran Reinald sambil termangu-mangu, “Nama itu
memang pantas kalau melihat rambutmu tetapi kalau melihat sifatmu yang
tenang, nama itu tidak pantas. Engkau sama sekali tidak mudah marah seperti
bola api, engkau sangat tenang dan dingin seperti es. Tetapi sekarang aku
tahu, semua orang benar. Walaupun terlihat dingin, engkau tetap orang yang
hangat. Bola apimu mencairkan esmu. Kuharap ia juga mencairkan
masalahmu.”
Teringat kembali pada masalah yang dihadapi Kakyu, Pangeran Reinald
berkata, “Engkau lebih baik segera mengatakan masalahmu kepada orang lain
sebelum engkau jatuh sakit. Aku tidak ingin melihat satu-satunya Perwira
wanita ini sakit gara-gara memikirkan masalah mudah seperti ini.”
205
Bagi orang lain masalah ini memang mudah. Hanya tinggal memilih satu
di antara dua pilihan, tetapi bagi Kakyu tidak.
“Mungkin aku harus membiarkanmu berpikir lagi,” kata Pangeran Reinald
sambil bangkit, “Aku telah lama mengganggumu. Jangan terlalu lama berpikir,
Kakyu, aku khawatir gadis-gadis di Istana Vezuza terutama Eleanor kehilangan
semangatnya karena engkau.”
Kakyu hanya tersenyum.
“Kalau ada masalah, katakan saja. Ingat tidak perlu kaupikirkan masalah
lain selain pilihanmu, semuanya pasti baik-baik saja.”
Entah berapa kali Pangeran Reinald mengatakan hal itu tetapi Kakyu
tetap mengangguk mendengarnya.
“Mengapa Anda mengkhawatirkan saya?”
Pangeran Reinald terkejut oleh pertanyaan yang tak terduga itu. Jelas ia
tidak dapat mengatakan alasannya. Kalau ia mengatakannya, ia hanya akan
membuat Kakyu semakin bingung.
“Karena engkau gadis yang bertanggung jawab pada keamanan Istana.
Selain itu aku tidak ingin melihat semangat gadis-gadis di Istana Vezuza hilang
karenamu.”
Kakyu diam saja.
“Sudahlah, jangan pikirkan hal ini. Pikirkan saja masalahmu sekarang,”
kata Pangeran Reinald, “Aku tidak akan menganggumu lagi.”
Kakyu mengikuti kepergian Pangeran Reinald dengan pandangannya.
Setelah Pangeran menghilang di balik pintu, Kakyu kembali melayangkan
pandangannya ke depan.
Pegunungan Alpina Dinaria tampak jelas dari kamar Kakyu di lantai dua
itu. Hijaunya hutan menyelimuti gunung demi gunung. Pegunungan itu tampak
seperti benteng Kerajaan Aqnetta dari ancaman dunia luar.
Kesunyian Hutan Naullie yang tampak dari serambi kamarnya, membuat
Kakyu tahu apa yang harus dilakukannya. Ia lebih baik menghindari segala
yang berhubungan dengan masalah ini agar ia dapat berpikir dengan lebih
tenang.
Kakyu masuk dan mulai menulis secarik surat pendek. Kemudian ia
menyiapkan segala yang diperlukannya dan meninggalkan kamar.
Ketika menuruni tangga, Kakyu samar-samar mendengar suara dari
Ruang Tamu.
“Apakah Anda yakin?” terdengar suara Vonnie penuh ingin tahu.
“Benar,” suara tegas Pangeran Reinald meyakinkan Vonnie, “Ia hanya
memerlukan waktu untuk berpikir.”
“Kira-kira kapankah Kakyu memutuskan pilihannya?” Lishie pun ingin
tahu.
“Saya tidak tahu.”
206
“Kakyu menghadapi masa-masa tersulit dalam hidupnya,” suara
bijaksana Lady Xeilan menghentikan keingintahuan kedua putrinya, “Selama ini
ia menjadi laki-laki dan tidak pernah memikirkan dirinya sebenarnya seorang
gadis. Kita semuapun memperlakukannya sebagai anak laki-laki dan
melupakan ia adalah seorang gadis. Kini tiba-tiba ia harus menjadi seorang
gadis kembali. Ini pasti sangat sulit baginya. Ia telah terbiasa menjadi laki-laki.
Kalian harus mengerti itu.”
“Tetapi kami ingin segera tahu keputusannya, Mama,” rujuk Marie.
“Baru kali ini aku melihat engkau terburu-buru, Marie. Biasanya engkau
sangat lamban.”
“Siapa yang tidak ingin segera tahu, Lishie?” kata Vonnie, “Aku juga ingin
segera tahu.”
“Kalau engkau aku tidak heran.” Marie menyahut.
Kakyu tidak sengaja mendengar percakapan mengenai dirinya itu dan ia
tidak tertarik untuk mendengarkannya. Mendengarkan percakapan itu, hanya
membuat dirinya semakin bimbang.
Kakyu terus berjalan ke halaman belakang ke kandang kuda.
Segera Kakyu menunggangi kuda kesayangannya dan melaju ke Hutan
Naullie.
Di sanalah Kakyu bisa mendapatkan ketenangan yang diharapkannya, di
sana pula Kenichi yang bijaksana terbaring. Kakyu tahu bila ia dekat dengan
Kenichi, ia akan lebih mudah mendapatkan ketenangan yang akhirnya akan
membantunya menentukan pilihannya.
Kakyu memacu kudanya secepat mungkin. Tanpa mempedulikan
matahari yang terus meninggi maupun waktu yang terus berlalu, Kakyu terus
memacu kudanya ke Farreway. Ketika malam menjelangpun Kakyu tidak
berhenti di penginapan. Saat ini Kakyu tidak ingin melakukan yang lain selain
tiba secepat mungkin di Hutan Naullie.
Sehari semalam, Kakyu berkuda ke Farreway. Baru pada keesokan
harinya ia tiba di Farreway.
Perjalanan panjang yang ditempuhnya tidak membuat Kakyu lelah. Tanpa
menghiraukan apa-apa lagi, Kakyu menerobos Hutan Naullie ke lembah tempat
Kenichi terbaring.
Walaupun penduduk yang tinggal di sekitar Hutan Naullie tidak mengenal
Kakyu, mereka tidak banyak bertanya ketika Kakyu menerobos hutan yang
pernah menjadi sarang pemberontak itu. Mereka membiarkan Kakyu
menerobos hutan.
Kalaupun mereka mencoba menghentikan Kakyu, gadis itu tidak akan
menghiraukannya. Ia sudah terlalu sering menerobos Hutan Naullie.
Tiba di lembah yang penuh angin itu, Kakyu bukannya beristirahat malah
duduk di tepi lembah.
207
Kakyu duduk bersila dan memejamkan matanya – mencoba
mendapatkan ketenangan yang diinginkannya.
Benarlah dugaan Kakyu. Di tempat yang sangat sepi dan tenang itu, ia
lebih cepat mendapatkan ketenangan hati maupun pikiran. Tak lama setelah
duduk di sana, segala kebingungan Kakyu hilang. Dan membuat gadis itu
merasa tenang.
Dalam ketenangannya, Kakyu mencoba mendengarkan suara angin yang
selalu bertiup di lembah itu.
Tidak ada yang dipikirkan Kakyu di sepanjang siang itu. Kakyu hanya
bertapa di tepi lembah sambil terus mengosongkan pikirannya.
Sementara Kakyu duduk dengan tenangnya di lembah, seisi Quentynna
House tidak dapat tenang.
Kemarin saat pelayan yang mengantar makan siang Kakyu, turun dengan
sehelai surat pendek Kakyu yang berbunyi “Aku pergi sebentar. Jangan
khawatir” tidak ada yang mengkhawatirkan gadis itu. Semua mengira Kakyu
pergi berjalan-jalan untuk mengurangi kebingungannya. Bahkan ketika Kakyu
belum pulang malam itu, semua tidak khawatir.
Yang ada di pikiran mereka malam itu hanya satu yaitu Kakyu pergi ke
suatu tempat dan menginap di sana. Esok pagi ia akan pulang.
Tetapi ketika siang ini Kakyu belum juga muncul, semua mulai khawatir.
Berbagai hal mulai dari yang baik sampai yang buruk terus bermunculan dalam
benak mereka. Di antara mereka hanya Jenderal Reyn yang tenang, Jenderal
Reyn percaya Kakyu baik-baik saja apalagi bila mengingat ketangguhannya.
Seperti biasa, pagi itu Jenderal Reyn pergi ke pelatihan prajurit dan
memulai tugasnya di sana. Sementara itu, Lady Xeilan dan ketiga putrinya
khawatir dan semakin khawatir tiap menitnya.
“Bagaimana ini, Mama?” tanya Lishie khawatir, “Mengapa Kakyu belum
pulang juga?”
“Aku tidak tahu,” kata Lady Xeilan cemas, “Aku mengkhawatirkannya.”
“Aku ingin tahu di mana ia berada sekarang.”
“Kalau engkau memang selalu ingin tahu, Vonnie,” kata Marie.
“Apakah sebaiknya kita meminta bantuan Adna untuk mencarinya?”
“Jangan tolol, Lishie,” kata Vonnie, “Mereka baru saja menikah sudah
ingin kauganggu dengan masalah ini. Biarkan kita saja yang mengkhawatirkan
si Kakyu. Kalau ia ada di sini, akan kumarahi dia. Dia pergi tanpa berpamitan
dan hanya meninggalkan secarik surat yang tidak jelas.”
“Sudahlah,” Lady Xeilan menenangkan putri-putrinya, “Ayah kalian benar,
Kakyu tidak seperti kalian. Ia bisa menjaga dirinya sendiri. Pasti ia baik-baik
saja saat ini. Ia pasti akan pulang dalam waktu dekat.”
“Tetapi ia benar-benar keterlaluan, Mama. Pergi tanpa pamit.”
“Apakah mungkin ia merasa tertekan oleh masalah ini dan ia…”
208
“Jangan berpikir yang tidak-tidak, Lishie!” seru Marie terkejut, “Kakyu
tidak mungkin bunuh diri gara-gara masalah sepele seperti ini.”
“Percayalah, ia akan baik-baik saja,” kata Lady Xeilan lebih untuk
menenangkan kekhawatirannya.
Kekhawatiran itu terus memenuhi Quentynna House yang biasanya
terlihat ceria dan penuh canda tawa. Sejak Kakyu menghilang tiba-tiba,
kegembiraan itu berubah menjadi kecemasan. Baru setelah tiga hari
menghilangnya Kakyu, Quentynna House bisa tenang.
Pada hari keempat itulah Kakyu muncul.
Semula saat mendengar pintu depan terbuka, mereka tidak beranjak dari
Ruang Makan. Mereka mengira Jenderal Reyn pulang karena ada yang
tertinggal. Tetapi saat mereka mendengar seorang pelayan berkata lega
“Syukurlah Anda sudah pulang, Tuan Muda” mereka segera berhamburan
keluar dari Ruang Makan.
Lishie yang keluar paling awal, segera menyambut kedatangan adiknya
dengan pelukan.
“Aku kira engkau sudah mati, Kakyu.”
Kakyu hanya tersenyum.
Vonnie yang berjanji akan memarahi Kakyu bila ia datang, tidak dapat
marah karena senangnya. Baginya saat ini terlalu melegakan untuk marah-
marah. “Dari mana saja engkau?” tanyanya penuh ingin tahu.
“Menemui Kenichi,” jawab Kakyu singkat.
“Kenichi?” tanya Vonnie keheranan, “Bukankah ia telah meninggal?”
“Pasti yang dimaksudkannya mengunjungi makamnya,” kata Marie.
“Kenichi meninggal di Hutan Naullie bukan? Dan ia tidak mempunyai
makam selain hutan itu,” kata Vonnie kemudian sambil menatap curiga pada
Kakyu ia berkata, “Aku khawatir engkau ke sana.”
Kakyu tersenyum membenarkan. Kemudian ia berpaling pada ibunya.
“Maafkan aku, Mama.”
“Tidak apa-apa, Kakyu. Tetapi kuharap lain kali engkau tidak seperti ini,
engkau membuat kami cemas,” kata Lady Xeilan sambil tersenyum, “Sekarang
berisitirahatlah. Aku yakin engkau telah menghabiskan waktu seharian untuk
berkuda dari Farreway ke sini.”
“Tidak, Mama,” kata Kakyu, “Aku harus segera berangkat ke Istana
Vezuza.”
“Ke Istana Vezuza?” tanya ketiga kakak Kakyu keheranan, “Jadi engkau
telah memutuskannya?”
Kakyu hanya tersenyum tanpa mengatakan apa-apa.
“Apa keputusanmu?” tanya Vonnie ingin tahu.
Kakyu tetap tidak menjawab pertanyaan itu. “Aku harus segera bersiap-
siap,” katanya tenang.
209
“Apa keputusanmu, Kakyu?” desak ketiga kakak beradik itu.
Seperti tadi, Kakyu hanya tersenyum. Kemudian ia menuju kamarnya.
Vonnie, Marie juga Lishie hanya dapat berpandang-pandangan dengan
penuh ingin tahu.
“Apapun keputusan Kakyu, kita harus menghormatinya,” kata Lady
Xeilan.
“Tetapi kami ingin tahu, Mama,” kata Vonnie, “Aku yakin ia telah
memutuskannya.”
“Hanya saja ia tidak mau mengatakannya pada kami,” tambah Lishie.
Lady Xeilan sendiri mengakui ia juga ingin mengetahui apa yang dipilih
Kakyu. Meninggalkan jabatannya dan menjadi seorang gadis biasa atau tetap
menjadi prajurit wanita. “Ia pasti mempunyai alasan sendiri,” kata Lady Xeilan.
Tak lama kemudian Kakyu telah tiba kembali di tempat mereka.
“Aku pergi, Mama,” katanya sambil mencium pipi Lady Xeilan.
Seperti biasa, Lady Xeilan berpesan, “Hati-hati, Kakyu.”
Kakyu tersenyum kemudian meninggalkan Quentynna House lagi tetapi
kali ini bukan ke Hutan Naullie melainkan ke Istana Vezuza.
Seperti kakak-kakaknya, semua prajurit di Istana Vezuza juga ingin tahu
mengapa ia tidak muncul selama empat hari dan pada hari kelima ini
terlambat. Kakyu hanya menjawab pertanyaan itu dengan tersenyum.
Bukan hanya para prajurit saja yang diperlakukan Kakyu seperti itu.
Semua yang menanyakan masalah hilangnya dia di Istana Vezuza selama
empat hari, juga mendapat jawaban sebuah senyuman tipis.
Pagi itu Kakyu memulai tugasnya seperti biasa seperti tidak pernah
terjadi apa-apa.
Selama sehari berada di Hutan Naullie, Kakyu memang telah
mendapatkan ketenangan. Dan dalam ketenangannya itu, ia mendapat
jawaban yang cukup mengejutkannya. Ternyata dugaannya beberapa bulan
yang lalu benar, ia jatuh cinta. Karena itulah jiwa gadisnya yang selama ini
tertidur bangkit.
Mereka yang tidak tahu apa-apa, menganggap hal itu biasa. Tetapi lain
halnya bagi Pangeran Reinald yang tahu apa yang telah terjadi. Melihat Kakyu
begitu tenang pagi ini, Pangeran Reinald menjadi curiga.
Ketika melihat Pangeran Reinald, Kakyu menyapa dengan tenangnya,
“Selamat pagi, Pangeran.”
Tanpa mempedulikan orang-orang yang melihat mereka, Pangeran
Reinald segera menarik Kakyu ke dalam ruangan yang berada di dekat mereka.
“Jadi…” kata Pangeran.
“Jadi?” ulang Kakyu keheranan.
“Jangan mencoba menipuku, Kakyu. Aku tahu engkau telah memutuskan
pilihanmu,” kata Pangeran Reinald gemas.
210
“Lalu?” Kakyu bertanya pura-pura tidak tahu.
Pangeran semakin gemas mendengar keluguan itu. “Aku ingin tahu apa
pilihanmu.”
“Anda juga akan mengetahuinya nanti,” kata Kakyu sambil tersenyum.
“Mengapa engkau tidak mau memberitahuku sekarang? Nanti atau
sekarang sama saja.”
“Sekarang saya harus memikirkan pesta kemenangan yang kurang
seminggu lagi.”
Pangeran menyipitkan matanya sambil mengawasi Kakyu.
“Jadi itu keputusanmu?” kata Pangeran Reinald kecewa, “Mengapa
engkau memutuskan untuk tetap menjadi prajurit, Kakyu? Mengapa?”
Kakyu keheranan melihat kekecewaan Pangeran. “Apakah salah,
Pangeran?”
“Jelas salah sekali, Kakyu!” kata Pangeran Reinald tidak sabar,
“Bagaimana mungkin engkau terus menerus menjadi laki-laki?”
“Apakah itu menganggu Anda, Pangeran?” tanya Kakyu ingin tahu, “Saya
tetap berperan sebagai laki-laki maupun menjadi diri saya sendiri, tidak ada
bedanya.”
“Jelas ada bedanya, Kakyu,” kata Pangeran Reinald geram, “Apakah
engkau tidak menyadarinya, Perwira?”
Kakyu hanya menatap Pangeran.
“Apakah engkau sedemikian bodohnya, Perwira?” Pangeran Reinald
terlihat sangat geram dengan sikap Kakyu yang lugu, “Kalau engkau terus
menjadi laki-laki, jelas aku yang akan kewalahan.”
Kakyu semakin kebingungan oleh sikap Pangeran. “Mengapa, Pangeran?
Bukankah Paduka juga telah mengetahui saya tidak mungkin menikah dengan
Tuan Puteri?”
“Bukan itu masalahnya, Kakyu.”
Kakyu menatap Pangeran dalam-dalam. “Katakan, Pangeran,” katanya
hati-hati, “Apakah Anda khawatir saya akan merebut posisi Anda di hati para
gadis?”
“Aku tidak peduli dengan itu!” Pangeran menatap tajam Kakyu, “Aku
mencintaimu. Apakah engkau tidak mengerti itu?”
Kakyu tersentak kaget. Ini adalah suatu kenyataan yang tak pernah
diduganya. Saat ia menyadari perasaannya, ia juga tidak mengharapkannya
karena ia tahu itu tidak mungkin. Tetapi apa yang baru saja dikatakan Pangeran
Reinald sangat nyata.
“Bagaimana mungkin aku menunjukkan cintaku padamu kalau engkau
terus menjadi laki-laki?”
Pangeran Reinald tidak melepaskan Kakyu dari pandangan matanya,
“Jadi, apa yang akan kaulakukan Kakyu?”
211
“Bagaimana mungkin itu terjadi?” tanya Kakyu tidak mengerti, “Itu tidak
mungkin.”
“Apa yang tidak mungkin Kakyu?” tanya Pangean Reinald lembut, “Aku
telah jatuh cinta padamu. Apa yang tidak mungkin?”
Hati Kakyu yang sedang senang, tahu apa yang akan dikatakannya.
Tetapi Kakyu tidak melakukannya, ia masih ingin tahu lebih banyak.
“Bagaimana mungkin Anda jatuh cinta pada saya, Pangeran?” kata Kakyu
tenang untuk menyembunyikan kegembiraan hatinya, “Anda jatuh cinta pada
saya ketika saya menjadi prajurit, kalau saya menjadi seorang gadis, apakah
Anda akan mengatakan itu?”
“Aku tidak mengerti engkau memang bodoh atau engkau sedang
mempermainkanku,” kata Pangeran Reinald jengkel, “Sekarang dengar baik-
baik apa yang akan kukatakan. Aku mencintaimu dan akan selalu mencintaimu.
Aku mencintaimu karena engkau memang patut dicintai, itu yang pertama.
Tetapi yang lebih penting bagiku, engkau memiliki kecantikkan yang tidak
mungkin kutemukan pada wanita manapun. Wajah cantikmu yang tenang itu
telah mengangguku sejak aku bertemu denganmu, tetapi yang harus
kauketahui aku mengagumimu sebagai satu-satunya wanita tertangguh yang
pernah kujumpai.”
“Pasti hanya saya satu-satunya prajurit wanita yang pernah Anda temui,”
kata Kakyu sambil tersenyum bahagia.
Pangeran Reinald memincingkan mata melihat senyum yang jarang
dilihatnya itu. “Seingatku hanya sekali aku melihat engkau tersenyum senang
seperti ini yaitu saat aku menuduhmu jatuh cinta pada Adna. Setelah itu aku
tidak pernah melihatmu tersenyum seperti ini apalagi tertawa.”
Kakyu hanya diam saja.
“Jadi, apakah engkau masih tetap memutuskan untuk menjadi laki-laki?”
“Sebenarnya, Pangeran, saya telah memutuskan sesuatu sebelum saya
ke sini,” kata Kakyu, “Dan keputusan itu tidak akan saya katakan saat ini.”
“Tetapi aku memaksamu untuk mengatakannya,” desak Pangeran
Reinald, “Saat ini juga.”
“Saya mengerti, Pangeran,” kata Kakyu sambil tersenyum, “Saya
memutuskan untuk meninggalkan Istana Vezuza.”
“APA!!?” kata Pangeran Reinald terkejut, “Engkau tidak boleh
meninggalkan Istana. Tidak, karena aku melarangmu. Aku benar-benar akan
gila kalau engkau meninggalkan aku. Ketahuilah, Kakyu, aku bukan orang yang
mau bersabar. Aku tidak akan mau melepaskan engkau karena aku sangat
mencintaimu.”
Kakyu merasa sebaiknya ia juga memberitahu segalanya pada Pangeran
sebelum ia semakin marah, “Saya ingin meninggakan Istana karena saya tidak
dapat terus berada di dekat Anda…”
212
“Mengapa?” Pangeran Reinald memutus perkataan Kakyu dengan gusar,
“Apakah aku telah bersalah padamu? Apakah aku membuatmu benci padaku?”
“Pangeran,” kata Kakyu memohon, “Saya mohon dengarkan saya.”
“Baik. Baik,” kata Pangeran menenangkan diri.
Pangeran Reinald melihat sekeliling ruangan kemudian menarik Kakyu ke
sebuah kursi. Setelah mendudukan Kakyu di kursi itu, ia berlutut di depan gadis
itu dengan sikap mendengarkan seorang anak kecil yang menanti dongeng
pengasuhnya.
“Empat hari yang lalu setelah Anda meninggalkan saya di kamar saya,
saya menuju Hutan Naullie. Di sana saya menyadari saya tidak dapat terus
berada di Istana sementara hati saya terus kesakitan.”
Pangeran Reinald tidak sabar mendengarnya, “Mengapa?”
“Saya juga mempunyai perasaan yang sama seperti Anda dan saya tidak
dapat membiarkan hati saya sakit karena terus menerus melihat Anda di
sekeliling wanita-wanita cantik.”
“Maksudmu?” kata Pangeran Reinald dengan senyum mengembang,
“Katakan padaku, Kakyu. Aku ingin engkau mengatakannya.”
“Saya mencintai Anda, Pangeran.”
Pangeran Reinald sangat senang karenanya. Sebagai perwujudan rasa
senangnya, ia memeluk Kakyu erat-erat dan membuat gadis itu sulit bernapas.
“Jadi engkau memutuskan untuk menjadi dirimu sendiri,” kata Pangeran
Reinald senang.
“Benar. Dan saya berniat mengatakan keputusan saya itu setelah pesta
kemenangan ini.”
“Andaikan engkau mengatakan sejak tadi,” kata Pangeran Reinald, “Aku
tentu tidak akan merasa khawatir seperti ini.”
Pangeran bukannya melepaskan Kakyu malah memeluk Kakyu semakin
erat sehingga Kakyu terpaksa mendorong tubuh Pangeran.
“Ada apa?” tanya Pangeran keheranan.
“Tidak. Tidak ada apa-apa,” kata Kakyu. Kakyu tidak sanggup
mengatakan pada Pangeran kalau ia belum terbiasa diperlakukan sebagai
seorang gadis.
Pangeran Reinald melihat wajah Kakyu agak bersemu merah. Dengan
tersenyum ia berkata, “Engkau tidak terbiasa diperlakukan sebagai seorang
gadis rupanya.”
“Tentu saja,” sahut Kakyu, “Selama ini saya menjadi anak laki-laki.”
“Berarti aku yang pertama memperlakukanmu seperti ini.”
Kakyu mengangguk.
“Engkau belum menceritakan kepadaku mengapa engkau menjadi laki-
laki,” Pangeran Reinald mengingatkan.
“Anda tentu mengerti bagaimana perasaan seorang ayah yang
213
mengharapkan anak laki-laki tetapi tidak mendapatkannya,” Kakyu memulai
ceritanya, “Papa sangat sedih dan kecewa waktu saya lahir. Ketika saya lahir,
Papa mendengar suara tangisan saya yang keras dan menduga saya anak laki-
laki ternyata saya sama seperti kakak-kakak saya, perempuan. Karena suara
tangisan saya yang keras, Papa percaya saya dapat menjadi seorang yang
tangguh asalkan saya bukan anak perempuan. Kemudian Papa merawat saya
sebagai anak laki-laki.”
Sebenarnya Kenichi juga tidak setuju Jenderal Reyn ‘merubah’ Kakyu
menjadi anak laki-laki. Tetapi ia mengerti bagaimana perasaan Jenderal Reyn
ketika mengetahui kelima anaknya adalah perempuan. Tak satupun dari
mereka yang dapat menggantikannya.
Ia pernah berkata pada Kakyu, “Suatu hari nanti engkau harus kembali
menjadi dirimu sendiri. Engkau bukan anak laki-laki dan engkau tidak bisa
terus menerus hidup sebagai anak laki-laki.”
Perkataan itulah yang membuat Kakyu menyadari ia seharusnya
melupakan semua jiwa laki-lakinya untuk menyelesaikan masalahnya. Dengan
ketenangannya sebagai seorang gadis, Kakyu mulai menyadari perasaannya
satu-satu. Ia mulai memikirkan mengapa jiwa yang selama ini seperti mati tiba-
tiba bangkit setelah Pangeran Reinald muncul dalam hidupnya. Dengan
mengingat satu per satu kejadian yang telah dilaluinya bersama Pangeran,
Kakyu sadar ia tidak salah lagi. Ia memang jatuh cinta pada Pangeran dan
itulah yang membuat ketenangannya mudah hilang di saat ia berada dekat
Pangeran juga mengapa jiwa gadisnya bangkit.
Tetapi kemudian Kakyu menyadari Pangeran Reinald tidak mungkin
mencintainya. Ketakutan seorang gadis akan penolakan cintanya itulah yang
membuat Kakyu bingung saat ia harus memilih menjadi laki-laki atau menjadi
gadis.
Dengan ditemukannya kunci itu, Kakyu mulai mengerti mengapa ia
bingung. Dengan tetap menjadi seorang laki-laki, ia tidak tidak perlu khawatir
akan ditolak. Tetapi jiwa gadisnya ingin mencintai Pangeran. Itulah kuncinya.
Perlahan-lahan Kakyu menyadari kalau ia terus menjadi laki-laki yang
berarti terus menjadi Kepala Keamanan Istana, ia harus bisa menahan
perasaannya setiap kali melihat wanita-wanita cantik yang berlalu lalang di
Istana. Jelas itu tidak mungkin dilakukan Kakyu. Kakyu mungkin tetap dapat
bersikap tenang, tetapi hatinya takkan mampu terus menerus membayangkan
di antara wanita-wanita itu kelak ada yang akan menikah dengan Pangeran.
Dengan pikiran itu, Kakyu akhirnya memutuskan untuk menjadi dirinya
sendiri. Dengan meninggalkan Istana dan Pangeran, perlahan-lahan Kakyu
pasti dapat melupakan Pangeran.
“Jadi itu sebabnya Jenderal Reyn memilihmu menjadi laki-laki bukan
kakak-kakakmu yang lain,” kata Pangeran Reinald.
214
Kakyu mengangguk.
“Dan Kenichi yang katamu seorang ninja itu, menurunkan ilmunya
kepadamu untuk mempertangguh engkau sebagai seorang prajurit.”
Kakyu mengangguk lagi.
“Jadi Kenichi setuju dengan keinginan ayahmu itu.”
“Tidak,” Kakyu cepat-cepat membantah, “Sebenarnya ia tidak setuju,
tetapi karena ia mengerti bagaimana perasaan Papa, ia menyetujuinya.”
Pangeran Reinald tersenyum tanpa melepaskan pandangannya dari
Kakyu. “Aku ingin tahu bagaimana rupamu kalau engkau mengenakan gaun
yang indah,” gumamnya.
“Saya tidak dapat membayangkannya, Pangeran,” kata Kakyu, “Yang
pasti saya akan nampak lucu dan aneh sekali.”
Pangeran memincingkan matanya mendengarnya, “Bisakah engkau
membuang kata ‘Pangeran’ itu? Itu sangat mengangguku. Juga bisakah engkau
tidak bersikap sangat sopan kepadaku?”
“Tidak, Pangeran,” kata Kakyu tenang.
“Aku memaksamu, Kakyu.”
“Tidak bisa, Pangeran,” Kakyu bersikeras, “Saya menghormati Anda.”
Pangeran Reinald kehilangan kesabarannya tetapi ia tidak kehilangan
cara untuk membuat Kakyu berhenti menghormatinya.
Kakyu sangat terkejut ketika Pangeran tiba-tiba menciumnya. Ia sama
sekali tidak menyangkanya.
Sambil tersenyum nakal, Pangeran Reinald berkata, “Sekarang engkau
masih menghormatiku?”
“Pangeran, Anda…”
Kata ‘Pangeran’ yang diucapkan Kakyu itu membuat Pangeran mengeluh.
“Bagaimana membuatmu berhenti memanggilku Pangeran, Kakyu? Aku tidak
ingin engkau memanggilku Pangeran apalagi bersikap sangat sopan padaku.
Kalau demikian jadinya dulu seharusnya aku tidak bertukar kedudukan dengan
Adna.”
“Pangeran….”
Suara sedih itu membuat Pangeran cemberut, “Aku memang
menyedihkan, bukan? Aku mengharapkan gadis yang kucintai tidak terlalu
menghormatiku tetapi ternyata tidak bisa.”
Kakyu tersenyum, “Mengapa tidak bisa?”
Semangat Pangeran Reinald bangkit lagi, “Engkau mau?”
Kakyu mengangguk.
“Kalau begitu panggil aku dengan namaku,” katanya bersemangat, “Aku
ingin mendengarmu memanggil namaku.”
Kakyu ragu-ragu, tetapi akhirnya ia mengucapkannya juga. “Reinald.”

215
17

“Aku heran.”
Kakyu mengawasi ketiga kakaknya dan ibunya yang terus berkeliling
Quentynna House. Entah apa yang mereka cari, sebentar mereka masuk ke
kamar Joannie, sebentar lagi ke kamar Vonnie. Sejak tadi pagi mereka terus
keluar masuk kamar tiada henti hingga Kakyu yang melihatnya menjadi pusing.
“Aku yang akan pergi tetapi mengapa kalian yang sejak tadi terlihat
sangat bersemangat?”
“Tentu,” kata Vonnie, “Ini pertama kalinya engkau mengenakan gaun,
kami ingin engkau tampil paling cantik.”
“Aku pasti terlihat aneh.”
“Tidak mungkin, Kakyu,” kata Lishie, “Kita, kakak-kakakmu ini semua
cantik-cantik, mengapa engkau tidak?”
“Sudahlah, Kakyu, engkau pasti tampak cantik,” Marie turut meyakinkan
Kakyu. “Sayang Joannie tidak ada di sini. Kalau ia ada di sini, ia pasti dapat
membantu kita.”
“Ia pasti akan terkejut kalau nanti melihat Kakyu di pesta.”
“Benar, Lishie. Aku ingin tahu bagaimana pendapatnya tentang ini.”
“Kalian sudah menyiapkan semuanya?”
“Sudah, Mama,” jawab ketika gadis itu serempak.
“Bagus. Sekarang kita harus mendandani Kakyu.”
“Tunggu dulu. Mengapa aku harus bersiap-siap sepagi ini? Pesta itu baru
akan berlangsung tiga jam lagi.”
“Sudahlah, Kakyu,” kata Lishie, “Kata Mama, pasti akan sulit
mendandanimu, jadi sebaiknya engkau menurut saja.”
Ketiga kakak beradik itu menarik Kakyu ke dalam Kamar Rias dan
memulai pekerjaan mereka. Sementara ketiga kakaknya dan ibunya terus
menyibukkan diri dengan dandanannya, Kakyu hanya menuruti mereka. Ia
tidak tahu apa-apa selain tahu ia pasti akan tampak aneh.
Ternyata dugaan Kakyu salah. Kakyu tampak cantik sekali setelah
didandani cukup lama oleh Vonnie, Marie juga Lishie. Tak ketinggalan pula ibu
mereka, Lady Xeilan.
“Engkau cantik sekali, Kakyu. Lihatlah bayanganmu di cermin.”
Hanya Kakyu yang merasa aneh melihat dirinya yang sekarang
mengenakan gaun yang indah. Rambut merah yang biasanya dibiarkan terurai
hingga bahu atau dimasukkan ke dalam topi, kini disanggul rapi.
Kakyu merasa aneh melihatnya, tetapi tidak keempat wanita lainnya.
216
“Engkau cantik sekali,” ulang Lady Xeilan.
“Benar, Mama. Tak kusangka ternyata Kakyu juga bisa tampak cantik
kalau didandani.”
“Lishie, jangan bercanda,” sergah Vonnie kemudian ia bertanya pada
Kakyu, “Bagaimana pendapatmu, Kakyu?”
“Aku merasa aneh.”
“Tentu saja,” kata Lady Xeilan, “Engkau terlalu lama mengenakan
pakaian laki-laki lalu kini engkau mengenakan gaun. Pasti engkau merasa
aneh.”
“Engkau telah siap, Kakyu. Sekarang giliran kami mempersiapkan diri
kami.”
“Benar, Marie,” kata Lishie, “Aku akan membantumu. Kalau sudah
selesai, engkau harus membantuku.”
“Kalian jangan melupakan aku.”
Ketiga gadis itu bergegas meninggalkan Kamar Rias.
“Engkau cantik sekali, Kakyu.” Untuk kesekian kalinya Lady Xeilan
mengucapkan kalimat itu, “Aku senang akhirnya bisa melihatmu mengenakan
gaun.”
“Apakah aku tidak nampak aneh?”
“Tidak, Kakyu. Engkau cantik. Lihatlah sendiri bayanganmu di cermin.”
Kakyu juga telah melihatnya dan semakin melihatnya, ia semakin merasa
dirinya yang sekarang lucu.
“Mulai sekarang engkau harus mengenakan gaun-gaun seperti ini.
Karena itu engkau harus membiasakan diri.”
Kakyu mengangguk.
“Aku akan meninggalkanmu di sini. Aku juga harus mempersiapkan
diriku.”
Kamar Rias menjadi sepi setelah kepergian Lady Xeilan. Kakyu hanya
duduk memandangi wajah barunya di cermin.
Ketika memaksa Kakyu mengenakan gaun bukan pakaian seragam
Kepala Keamanan Istana dalam pesta kemenangan itu, Pangeran Reinald
berkata, “Engkau pasti akan semakin cantik kalau mengenakan gaun.”
Kakyu ingin tahu apakah Pangeran masih berkata seperti itu kalau
melihatnya nanti.
Kakyu berdiri. Ia harus mulai membiasakan diri berjalan dalam gaun ini.
Mulanya Kakyu memang kesulitan berjalan dengan gaun panjang yang
membatasi gerak kakinya, tetapi lama kelamaan Kakyu mulai terbiasa berjalan
dengan gaun panjang itu. Setelah berhasil mengelilingi Kamar Rias berulang
kali tanpa kesulitan, Kakyu meninggalkan Kamar Rias dan menuju kamarnya.
Di sana, Kakyu duduk di serambi. Kakyu melihat Pegunungan Alpina
Dinaria di kejauhan. Ia berharap Kenichi dapat melihatnya saat ini.
217
“Kakyu!” seseorang berteriak memanggil.
Kakyu segera beranjak dari serambi.
“Ada apa?”
Lishie tampak lega melihat adiknya di ujung tangga. “Aku khawatir
engkau menghilang lagi. Engkau benar-benar membuat kami cemas.”
“Aku di kamarku.”
“Sudahlah. Sekarang cepat turun, Kakyu, kita akan segera berangkat.”
“Mama belum keluar, Marie.”
“Mengapa Mama lama sekali?” tanya Vonnie penuh rasa ingin tahu.
Kakyu turun perlahan-lahan menuju tempat kakak-kakaknya berada.
Lishie tersenyum melihat adiknya tampak serba hati-hati dalam setiap
langkahnya. “Engkau harus berjalan dengan hati-hati, Kakyu, kalau engkau
tidak ingin menginjak gaunmu sendiri.”
Vonnie tertawa. “Bagaimana perasaanmu setelah sekian lama
mengenakan seragam prajurit?”
“Aneh.”
“Kami juga merasa aneh melihatmu mengenakan gaun setelah sekian
lama engkau mengenakan pakaian seragam, Kakyu. Tetapi percayalah engakau
tampak sangat cantik.”
“Apa yang dikatakan Marie benar. Joannie pasti juga berkata seperti itu.”
“Apa yang akan dikatakan Joannie kalau ia melihat Kakyu?”
“Juga Adna,” tambah Lishie, “Aku yakin ia belum tahu kalau Kakyu itu
perempuan. Kalian masih ingat bukan, pada saat hari pernikahannya, ia
meminta Kakyu menjadi pengiringnya tetapi Kakyu menolak dan akhirnya
Pangeran Reinald yang menggantikan Kakyu. Adna waktu itu sangat kecewa,
Kakyu. Joannie tidak mau menceritakan apapun tentang rahasia kita ini kepada
Adna dan membiarkan suaminya kecewa. Engkau harus berterima kasih pada
Joannie, Kakyu.”
“Kalau waktu itu Joannie mengatakannya pada Adna, kita tidak bisa
membuat kejutan untuk Adna. Tetapi untung Joannie tidak mengatakannya.
Aku yakin hingga kini ia belum mengatakan apa-apa tentang rahasia ini dan
kita bisa membuat Adna terkejut.”
“Aku setuju denganmu, Marie. Kira-kira bagaimana reaksi Adna kalau
melihatmu, Kakyu?”
“Bukan hanya Adna, Kakyu, tetapi juga semua orang terutama Putri
Eleanor,” Lishie mengingatkan, “Kalian ingat Putri Eleanor menyukai Kakyu. Ia
pasti sangat sedih kalau tahu Kakyu bukan seorang pria tetapi seorang gadis.”
“Sudah… sudah. Kalau kalian berkumpul seperti ini, aku yakin kita tidak
akan berangkat walau hari sudah malam.”
Ketiga gadis itu segera memalingkan kepala ke Jenderal Reyn yang
sedang menuruni tangga. Lady Xeilan yang berjalan di sampingnya, tersenyum
218
pada mereka.
“Kalian kalau sudah berkumpul, tidak akan berhenti berbicara kalau tidak
menjelang waktu tidur.”
“Kita akan berangkat sekarang?”
“Heran aku melihatmu, Marie. Biasanya engkau tidak suka terburu-buru
bukan? Mengapa kali ini engkau terburu-buru?”
“Biarkan saja. Aku memang ingin segera melihat apa yang terjadi kalau
semua orang tahu Kakyu adalah seorang gadis. Engkau tidak ingin tahu,
Lishie?”
“Aku ingin tahu.”
“Kalau engkau aku tidak bertanya, Vonnie. Tetapi aku yakin saat ini kita
semua ingin tahu apa yang akan terjadi. Benarkan, Papa?”
Jenderal Reyn menatap Kakyu lekat-lekat. Mulai dari atas hingga bawah
kemudian dengan tersenyum ia berkata, “Benar, Lishie. Aku juga ingin tahu
apa yang dikatakan Jenderal Decker kalau melihat Perwira yang selama ini
dibanggakannya ternyata seorang gadis yang sangat cantik.” Kemudian
dengan nada bersalah yang kental, Jenderal Reyn berkata, “Aku sungguh
menyesal, Kakyu. Aku terlalu memaksamu menjadi laki-laki tanpa menyadari
engkau sebenarnya seorang gadis yang sangat cantik.”
“Sudahlah, Papa.”
Lishie tiba-tiba tersenyum geli. “Kakyu sudah berubah dari seorang
Perwira yang tangguh menjadi seorang gadis yang cantik, tetapi ia tetap
dingin-dingin tenang.”
“Apakah engkau tidak lelah terus menjaga ketenanganmu, Kakyu?” tanya
Vonnie ingin tahu.
“Sudahlah. Aku sudah berkata berkali-kali kalau kalian sudah berkumpul
seperti ini, tidak akan ada kata selesai bagi kalian,” sela Lady Xeilan, “Kalian
ingin berangkat atau tidak?”
“Tentu,” jawab ketiga kakak Kakyu serempak.
“Kereta sudah siap?” tanya Lady Xeilan pada seorang pelayan yang
membawakan mantel mereka dan topi bagi Jenderal Reyn.
“Sudah.”
Ketiga gadis itu tidak sabar ingin segera tiba di pesta. Mereka berlari-lari
menuju halaman tempat kereta kuda menanti mereka.
“Mereka tidak berubah,” kata Lady Xeilan sambil menggelengkan
kepalanya.
“Yang berubah hanya Kakyu,” kata Jenderal Reyn, “Engkau berubah
menjadi seorang gadis yang sangat cantik, Kakyu. Aku yakin semua orang yang
melihatmu akan jatuh cinta.”
“Tetapi apa yang dikatakan Vonnie benar, engkau masih tetap tenang
dan pendiam.”
219
Kakyu hanya tersenyum.
“Mari, Kakyu,” Lady Xeilan mengulurkan tangannya pada Kakyu.
Kakyu menyambut tangan ibunya dan berjalan ke kereta kuda.
Dari dalam kereta, kakak-kakak Kakyu yang sudah tidak sabar lagi,
berteriak, “Cepat! Cepat nanti kita terlambat!”
Lady Xeilan hanya tersenyum mendengarnya. Seperti biasa, Kakyu tidak
menanggapi dalam bentuk apapun. Ia terus berjalan dengan tenang di
samping ibunya sementara ayahnya sudah berlari ke kereta kuda – seperti
keinginan ketiga putrinya yang lain.
“Lambat sekali kalian,” keluh Lishie saat akhirnya Lady Xeilan dan Kakyu
tiba di sisi kereta.
Mereka hanya tersenyum tanpa perasaan bersalah.

-----0-----

“Mama! Papa! Vonnie! Marie! Lishie!”


Mereka yang baru memasuki Hall Pesta, berpaling ke arah datangnya
suara itu.
Joannie berlari mendekat. “Aku rindu pada kalian,” katanya sambil
memeluk mereka satu per satu.
Joannie melihat keluarganya satu per satu. “Kakyu di mana?”
“Ia di luar untuk memeriksa keadaan.”
“Dasar, Kakyu! Sampai kapanpun ia tidak akan berhenti memikirkan
tugasnya.”
“Tetapi itulah kelebihan Kakyu dibandingkan kalian,” Adna membela
Kakyu. Kemudian sambil tersenyum, ia berkata, “Selamat sore, semuanya.”
“Adna!” seru Lishie senang, “Lama tidak berjumpa.”
“Benar. Tak heran kalau Joannie tiba-tiba berlari menjauhiku ketika
melihat kalian.”
Suara suaminya yang seperti anak kecil yang sedang marah membuat
Joannie tersenyum. “Jangan seperti itu. Aku tidak berlari kepada laki-laki lain.
Aku hanya berlari pada keluargaku.”
Lady Xeilan tersenyum mendengarnya. “Tampaknya engkau sudah lebih
dewasa setelah menikah, Joannie.”
“Tentu, Mama,” Joannie mengakui, “Aku harus lebih dewasa mulai saat
ini.”
“Aku senang mendengarnya,” kata Jenderal Reyn.
“Bagaimana bulan madu kalian?”
“Vonnie! Tidak bisakah engkau berhenti ingin tahu!?”
“Aku hanya ingin tahu, Marie. Apakah itu salah?”
Seseorang yang memasuki Hall Pesta membuat Lishie tidak jadi
220
memarahi kakaknya, sebaliknya ia berkata dengan senang, “Itu Kakyu!”
Joannie terbelalak karenanya. “Itu Kakyu?” tanyanya tak percaya.
“Benar,” jawab ketiga adiknya serempak.
“Ia cantik bukan?”
“Benar, Mama. Ia sangat cantik.”
Adna kebingungan melihat gadis yang mendekati mereka. Siapa gadis itu
ia tidak tahu. Walaupun keluarganya telah mengatakan itu adalah Kakyu, ia
tidak percaya.
Joannie berlari mendekati Kakyu dan menyambutnya dengan pelukan.
“Aku senang akhirnya bisa melihatmu mengenakan gaun, Kakyu.”
Joannie melepaskan pelukannya dan menatap Kakyu lekat-lekat. “Engkau
benar-benar cantik, Kakyu. Aku yakin semua orang akan terpesona
melihatmu.”
“Mereka pasti tertawa.”
“Siapa yang akan berkata seperti itu? Engkau sangat cantik bahkan aku
sendiri merasa kalah cantiknya denganmu.”
Joannie menggandeng Kakyu ke tempat keluarganya menanti. “Kalian
benar, ia sangat cantik.”
“Tentu saja. Kalau tidak percuma aku mendandaninya dengan susah
payah.”
“Bukan hanya engkau saja, Lishie. Aku, Vonnie juga Mama yang
mendandani Kakyu.”
“Tunggu dulu,” sela Adna, “Apa maksud semua ini? Bukankah Kakyu itu
seorang pria?”
Vonnie, Marie juga Lishie tersenyum geli sambil saling memandang.
“Bukan, Adna.”
“Apa maksudmu, Joannie?”
“Ia dilahirkan sebagai anak perempuan tetapi aku dengan egoisnya
membuat dia menjadi laki-laki,” jawab Jenderal Reyn, “ Sejak lahir, ia kudidik
menjadi seorang prajurit dan akhirnya jadilah ia seorang Perwira Tinggi yang
termuda juga tertangguh.”
Adna hanya dapat memandangi Kakyu dengan tak percaya.
Kakyu tidak dapat melakukan apa-apa untuk meyakinkan Adna. Ia hanya
tersenyum tipis yang membenarkan perkataan ayahnya.
“Aku tidak yakin dapat mempercayai ini,” Adna berterus terang.
“Percayalah, Adna. Inilah kenyataannya, Kakyu adalah satu-satu Perwira
Tinggi yang termuda, tertangguh juga satu-satunya prajurit wanita. Ia prajurit
wanita pertama di Kerajaan Aqnetta.”
Walau Jenderal Reyn telah meyakinkannya, Adna masih sulit
mempercayainya. Ia menatap lekat-lekat wajah gadis di samping istrinya itu
sampai akhirnya ia melihat gadis itu benar-benar mirip dengan Kakyu. Bukan
221
hanya mirip tetapi gadis itu adalah Kakyu.
“Aku tidak tahu harus berkata apa,” kata Adna, “Tetapi aku sangat
terkejut melihatmu, Kakyu. Siapapun tidak akan ada yang percaya kalau
engkau adalah Kakyu si Perwira Muda yang terkenal itu.”
Kakyu hanya tersenyum.
Seseorang tiba-tiba memegang pundak Kakyu sambil berkata, “Tidak ada
yang menduganya, bukankah demikian Adna?”
“Pangeran!” seru mereka terkejut.
Kakyu hanya menengadahkan kepalanya pada Pangeran Reinald yang
tersenyum padanya sambil berbisik, “Engkau cantik sekali.”
“Aku pinjam Kakyu,” kata Pangeran Reinald. Sebelum seorangpun di
antara mereka menjawab pertanyaan itu, Pangeran Reinald telah
menggandeng Kakyu menjauh.
“Apa yang ingin dikatakan Pangeran Reinald pada Kakyu?”
“Jangan mulai ingin tahu lagi, Vonnie, karena kita semua memang tidak
tahu.”
“Baiklah,” kata Vonnie kecewa.
“Pangeran sudah tahu?” tanya Adna keheranan. “Dari mana ia tahu?”
“Aku tidak tahu. Aku juga baru memikirkannya sekarang. Dari mana Raja
Alfonso tahu Kakyu seorang gadis,” kata Jenderal Reyn.
“Aku yakin Kakyu tidak mungkin mengatakan apa-apa pada Raja
Alfonso.”
“Aku juga yakin, Xeilan. Sesuatu pasti telah terjadi sehingga mereka
mengetahuinya.”
Kakyu yang belum jauh dari tempat orang tuanya berada, masih dapat
mendengar percakapan itu dan ia tersenyum. Bagaimana mungkin ia
menceritakan kejadian itu pada orang tuanya?
Pangeran juga mendengarnya tetapi ia tidak berkata apa-apa. Ia terus
membawa Kakyu menjauhi keramaian.
Di bawah pilar penyangga langit-langit yang besar yang terpencil dari
keramaian, Pangeran Reinald baru berhenti.
“Mengapa Anda di sini?”
“Jangan dingin seperti itu, Kakyu. Aku datang untuk menyambutmu.”
“Tetapi Anda seharusnya menanti orang tua Anda.”
“Jangan kauminta aku menanti Eleanor. Gara-gara dia, aku khawatir
engkau dibawa pria lain sebelum aku datang. Jangan mengkhawatirkan
apapun, tidak akan ada yang marah karena sikapku ini.”
“Tidak akan ada yang membawaku.”
“Benar, karena sekarang ada aku. Tetapi kalau aku tidak ada, aku yakin
tak lama lagi seorang pria akan membawamu. Engkau sangat cantik, Kakyu,
aku sendiri tidak menduga engkau akan secantik ini – jauh lebih cantik dari apa
222
yang dapat kubayangankan.”
Pangeran Reinald tiba-tiba mencium Kakyu dan membuat ketenangan
gadis itu hilang.
“Untuk menyambut dirimu yang cantik,” katanya sambil tersenyum tak
bersalah.
Kakyu ingin memarahi Pangeran Reinald, tetapi belum sempat ia
melakukannya, penjaga pintu telah berseru, “Paduka Raja Alfonso dan Ratu
Ylmeria tiba.”
“Mari,” kata Pangeran Reinald sambil menarik Kakyu.
Pangeran Reinald menyelip di antara orang-orang yang memberi jalan
pada Raja Alfonso dan Ratu Ylmeria tetapi ia tidak mengikuti kedua orang
tuanya. Seperti tamu yang lain, ia menyambut kedatangan orang tuanya
dengan membungkuk hormat.
Raja Alfonso dan Ratu Ylmeria terus berjalan ke depan podium tempat
yang telah disediakan untuk mereka. Raja Alfonso tidak duduk di kursi
kerajaannya, tetapi ia berdiri di sana dan menghadap para tamunya.
“Aku senang sekali melihat kalian dapat berkumpul di sini dalam pesta
kemenangan ini. Sebelum memulai pesta ini, aku ingin menyampaikan
beberapa hal,” Raja Alfonso memulai pidatonya, “Seperti yang kalian ketahui
pesta ini aku selenggarakan untuk merayakan kemenangan kita atas
tertumpasnya Kirshcaverish. Mereka telah mendapatkan hukuman atas
tindakan mereka. Ini semua bisa terwujud karena jasa-jasa para Jenderal. Tetapi
dari mereka aku mendengar yang paling berjasa adalah Perwira Tinggi yang
termuda sekaligus satu-satunya Perwira wanita kita.”
Kakyu terkejut. Ia memandang Pangeran.
“Aku yang memintanya pada Papa,” bisiknya.
“Untuk itu aku mengucapkan kekagumanku padanya. Sebagai satu-
satunya Perwira wanita, ia mampu menumpas Kirshcaverish yang telah lama
bersarang di Hutan Naullie. Berkat dia, pasukan kita mampu menerobos Hutan
Naullie dan mencapai sarang musuh,” Raja Alfonso melajutkan pidatonya,
“Kupersilahkan Perwira Muda kita yang cantik maju.”
Lagi-lagi Kakyu melihat Pangeran Reinald dengan bingung.
“Ayolah, Kakyu,” desak Pangeran Reinald.
Kakyu tidak mungkin menghindar lagi apalagi pandangan mata Raja
Alfonso jelas-jelas tertuju padanya dan semua yang hadir di pesta itu tahu
siapa yang dilihat Raja Alfonso.
Dengan dibimbing Pangeran Reinald, Kakyu maju ke podium tempat Raja
Alfonso mengucapkan pidatonya.
Dengan tenangnya, Kakyu menatap Raja Alfonso.
Raja Alfonso tersenyum padanya, “Aku benar-benar mengagumimu,
Kakyu. Engkau satu-satunya gadis yang paling tangguh yang pernah kutemui.”
223
Kakyu tahu ia diharapkan untuk berbicara pada mereka yang terkejut
dengan kenyataan ini.
“Saya tidak tahu harus berkata apa, tetapi inilah saya.”
Begitulah Kakyu. Ia memang pendiam dan tenang. Tak heran kalau
pidatonyapun hanya sesingkat itu. Tetapi pidato singkat itu cukup padat, jelas,
dan yang pasti membuat siapapun yang ada di sana mengerti apa yang
dikatakan Raja Alfonso adalah benar.
Raja Alfonso tersenyum pada Kakyu kemudian pada tamu-tamunya.
“Demikianlah pidato tersingkat dari Perwira cantik kita. Tak perlu heran kalau
pidatonya singkat sekali, ia memang tidak banyak bicara.”
Kakyu mengawasi sekeliling ruangan.
Pangeran Reinald menyadari hal itu. “Ada apa, Kakyu? Engkau
mencemaskan keamanan Istana?”
“Bukan.”
“Sudahlah, tidak ada yang perlu kaucemaskan. Semua telah diatur oleh
Phil. Sekarang dengarkan bagian terpenting dari pidato ini.”
“Baiklah, sekarang kita kembali pada pokok permasalahan,” Raja Alfonso
melanjutkan pidatonya, “Atas jasa-jasanya itu juga atas keinginan putraku,
keinginanku dan keinginan Ratu, maka hari ini pula aku meresmikan Perwira
cantik ini sebagai tunangan Pangeran Reinald.”
“Pangeran?”
“Bukan Pangeran tapi Reinald,” bisik Pangeran Reinald dengan
tersenyum nakal.
“Baiklah, apa maksud dari ini semua?”
“Akan kujelaskan nanti,” katanya masih dengan tersenyum, “Dengarkan
dulu pidato ini sampai selesai.”
“Kurasa Paduka tidak akan selesai sebelum nanti waktu makan malam
tiba,” kata Kakyu, “Itu berarti kita harus mendengarkan selama kurang lebih
satu jam lagi.”
“Engkau bosan? Bukankah engkau terbiasa dengan hal ini?”
“Aku hanya ingin segera mengetahui apa maksud semua ini sesegera
mungkin.”
“Jangan khawatir, aku akan mengatakannya padamu. Aku takkan lupa
karena ini sangat penting.”
Raja Alfonso melirik keduanya dan membuat mereka diam.
“Karena Kakyu akan menikah dengan Reinald dalam waktu dekat ini,
jabatannya sebagai Kepala Keamanan Istana akan diserahkan pada Phil.”
Kali ini Kakyu tidak melihat Pangeran Reinald, yang dilihatnya adalah Phil
yang terkejut mendengar pemberitahuan ini.
Seperti Kakyu, ia juga tidak tahu kalau akan ditunjuk menjadi Kepala
Keamanan Istana. Kalau Phil terkejut mendengarnya, maka Kakyu tidak. Kakyu
224
tahu dengan kemampuannya saat ini, Phil memang pantas menjadi Kepala
Keamanan Istana.
“Karena tidak ada lagi yang harus kusampaikan pada kalian, maka aku
mengakhiri pidato ini sampai di sini,” kata Raja Alfonso dengan tak terduga,
“Silakan kalian memulai acara dansa.”
“Baru kali ini Papa berpidato sesingkat ini,” kata Pangeran Reinald sambil
tersenyum pada Kakyu, “Kurasa ia tertular sikap diammu.”
“Kurasa tidak. Engkau tahu aku selalu diam karena apa.”
Pangeran Reinald memang tahu mengapa Kakyu lebih senang diam.
Gadis itu telah mengatakan, “Suaraku ini sangat berbeda dengan laki-
laki. Kalau aku sering berbicara, akan banyak yang curiga padaku. Karenanya
aku lebih banyak berdiam diri dan lama-kelamaan hal ini menjadi sifatku yang
tidak mungkin berubah lagi.”
Pangeran Reinald kembali membimbing Kakyu menuruni tangga podium
yang hanya terdiri dari dua anak tangga itu.
“Aku merasa seperti anak kecil kalau engkau menggandengku seperti
ini.”
“Aku khawatir engkau jatuh,” kata Pangeran Reinald sambil mempererat
kedua tangannya yang memegang siku Kakyu.
“Aku sudah terbiasa dengan gaun ini.”
“Apakah aku tidak boleh menggandeng gadis yang paling kucintai?”
Kakyu tersenyum sebagai jawabannya dan membiarkan Pangeran
Reinald terus membawanya ke lantai dansa.
Harapan Pangeran untuk segera berdansa dengan Kakyu tidak terkabul.
Begitu mereka berada di antara tamu-tamu yang lain, banyak yang datang
mengerumuni mereka. Kebanyakan adalah para prajurit mulai dari prajurit
biasa sampai Jenderal.
Jenderal Decker tampak ragu-ragu menghadapi Kakyu. “Aku tidak tahu
harus mengatakan apa. Tetapi aku benar-benar tidak menyangka engkau
adalah Kakyu. Engkau benar-benar cantik, Kakyu.”
Kakyu sudah terbiasa dengan pujian semacam itu. Ia tersenyum yang
menambah kecantikkannya sambil berkata, “Terima kasih.”
“Saya rasa Anda sangat beruntung, Pangeran. Anda bukan hanya
mendapatkan gadis yang cantik, tenang tetapi juga pandai dalam militer,”
tambah Jenderal Erin.
“Ia juga sangat pandai memainkan pedang,” tambah Jenderal Decker,
“Aku sering bertanding dengannya tetapi berapa kalipun aku bertanding. Aku
selalu kalah, karena tiap kali kemampuannya selalu meningkat.”
“Anda benar-benar beruntung, Pangeran. Perwira tidak hanya akan
menjadi istri Anda tetapi juga pelindung Anda,” goda yang lain.
Pangeran Reinald tersenyum sambil melihat Kakyu.
225
“Saya tidak percaya ini adalah Anda, Perwira,” kata Phil tidak percaya,
“Tetapi saya percaya kalau Anda bertunangan dengan Pangeran Reinald. Anda
memang sangat cantik.”
“Kalian tidak menduganya, bukan?”
Decker berpaling pada Raja Alfonso yang baru tiba di sana, “Tidak,
Paduka. Tidak seorangpun di antara kami yang menduga gadis cantik yang
sejak tadi berada di sisi Pangeran ini adalah Kakyu.”
“Tetapi ia sangat cocok untuk putraku yang satu ini, bukan?”
“Benar, Paduka,” jawab Jenderal Decker.
Phil tiba-tiba berkata, “Saya merasa tidak pantas untuk menggantikan
Perwira, Paduka.”
“Sudahlah, Phil,” kata Jenderal Decker, “Terima saja. Siapa tahu engkau
nanti seperti Kakyu. Dengan dipaksa baru menerima jabatan ini lalu membuat
banyak kejutan. Tetapi ini adalah kejutan terbesarnya.”
Kakyu yang dilirik Jenderal Decker hanya diam sambil terus mengawasi
sekeliling Hall Pesta.
“Satu yang tidak berubah padanya adalah ia tetap tenang dan pendiam,”
kata Pangeran Reinald sambil tersenyum.
“Mengapa kalian masih di sini?” tanya Ratu Ylmeria terkejut, “Mengapa
kalian tidak berdansa seperti yang lainnya?”
“Benar, kita tidak boleh menghalangi kalian lagi,” kata Jenderal Decker,
“Kita tidak boleh menganggu pasangan yang sedang berbahagia ini.”
“Mari, Kakyu,” kata Raja Alfonso sambil mengulurkan tangannya.
“Alfonso, apa yang kaulakukan?” tanya Ratu Ylmeria terkejut, “Mengapa
tidak kaubiarkan mereka berdua?”
“Aku ingin menjadi pria pertama yang berdansa dengan Perwira cantik
ini,” kata Raja Alfonso sambil tersenyum, “Kalau aku masih muda, Reinald, aku
pasti akan merebutnya darimu.”
Pangeran Reinald tersenyum, “Tetapi sayang sekarang aku adalah
tunangannya.”
“Engkau tidak membiarkan ayahmu berdansa dengan tunanganmu?”
“Kalau aku tidak membiarkannya berdansa dengan pria lain, maka aku
juga tidak akan membiarkannya berdansa dengan Papa,” kata Pangeran
Reinald sambil melarikan Kakyu ke lantai dansa.
Raja kecewa karenanya.
“Tak heran kalau Reinald begitu terburu-buru ingin segera menikah
dengan Kakyu,” kata Ratu Ylmeria sambil tersenyum, “Kakyu baru saja muncul
sebagai dirinya sendiri tetapi sudah diperebutkan oleh anak dan ayah.”
“Kakyu memang cantik, Paduka Ratu. Ia memiliki apa yang tidak mungkin
kita temukan pada gadis lain,” kata Kapten Gwen, “Kalau ia belum
bertunangan dengan Pangeran Reinald, saya yakin banyak pria yang akan
226
berusaha merebut hatinya.”
“Tindakan Pangeran Reinald memang benar,” tambah Jenderal Erin,
“Saya juga tidak akan melepaskan Kakyu kepada pria lain kalau saya yang
menjadi tunangannya.”
“Rupanya Kakyu selalu dikagumi orang,” kata Ratu Ylmeria sambil
tersenyum, “Sebagai pria, ia banyak dikagumi para gadis. Sebagai gadis, ia
banyak dikagumi oleh para pria.”
“Ia memang akan selalu dikagumi setiap orang, Ylmeria,” kata Raja
Alfonso, “Sekarang maukah engkau menemaniku berdansa?”
Ratu Ylmeria menyambut tangan suaminya. Ia tahu keinginan suaminya
adalah mendekati putra mereka dan Kakyu.
Tetapi sayang, ketika Raja dan Ratu tiba di lantai dansa, keduanya telah
menepi. Bukan karena mereka lelah, tetapi karena Kakyu tiba-tiba teringat lagi
pada Putri Eleanor.
“Bagaimana keadaan Putri?” tanyanya cemas sambil terus melihat
sekeliling Hall Pesta.
Pangeran Reinald yang sejak tadi merasakan kecemasan Kakyu berkata,
“Jadi sejak tadi itukah yang kaucemaskan?”
Kakyu mengangguk.
“Jangan khawatir, ia baik-baik saja.”
“Engkau yakin? Aku tidak tahu apakah ia dapat menerima kenyataan ini.”
“Jadi engkau tahu ia mencintaimu?”
“Tentu saja aku tahu, Reinald. Sikapnya benar-benar menunjukkan
perasaannya padaku.”
Walaupun berdiri di belakang Kakyu, Pangeran Reinald dapat melihat
kecemasan Kakyu. Ia mengerti gadis itu benar-benar mencemaskan adiknya. Ia
melingkarkan tangannya di sekeliling pinggang Kakyu.
Kakyu memalingkan kepalanya ke belakang.
“Jangan cemas. Mama telah mempersiapkannya untuk menghadapi hal
ini.”
“Mengapa aku tidak melihatnya?”
“Ia pasti terlambat. Ketika aku menuju ke tempat ini, ia masih sibuk
berdandan. Kurasa ia sudah ada di sini, hanya saja kita tidak melihatnya.”
Pangeran tiba-tiba tersenyum ketika melihat seorang gadis berusaha
menerobos orang-orang yang sibuk berdansa di lantai dansa. “Lihat saja. Kita
baru saja membicarakannya, sekarang ia sudah menuju ke sini.”
“Di mana?” Kakyu mencari-cari.
“Di sana,” kata Pangeran Reinald, “Ia pasti akan segera tiba di sini.”
Setelah mencari dan mencari, Kakyu akhirnya melihat Putri Eleanor yang
terus berjalan mendekat.
Wajah ceria Putri Eleanor membuat Kakyu lega. Wajah itu tidak
227
menunjukkan perasaan sedih yang mendalam, Kakyu tahu keceriaan di wajah
itu bukan keceriaan yang dibuat-buat. Ia telah mengenali sifat Putri Eleanor
dengan baik.
“Dari mana saja engkau?” tanya Pangeran Reinald begitu adiknya dekat.
“Aku baru saja berbicara dengan keluarga Quentynna,” kata Putri
Eleanor, “Mereka sangat terkejut dengan pertunangan kalian. Engkau belum
memberitahu mereka, Kakyu?”
“Bagaimana ia bisa memberitahu keluarganya kalau ia sendiri tidak
tahu?”
“Pantas saja,” kata Putri Eleanor, “Begitu mendengar Papa
mengumumkan pertunangan kalian, Vonnie ingin tahu mengapa engkau
menyembunyikan hal ini dari mereka. Marie juga Lishie hingga saat ini tidak
berhenti membicarakan kalian berdua. Aku kasihan melhat Lady Xeilan. Ia
berusaha keras menenangkan ketiga putrinya juga Joannie. Adna sendiri
sampai kerepotan berusaha menghentikan keempat kakak beradik itu.
Sebaiknya kalian melakukan sesuatu terhadap mereka, mereka terus berbicara
tiada henti.”
“Seperti engkau,” sahut Pangeran Reinald.
“Reinald, aku bersungguh-sungguh,” kata Putri Eleanor jengkel, “Kurasa
semua orang membicarakan kalian saat ini sampai-sampai aku pusing
mendengarnya.”
Kakyu lega mendengar perkataan Putri Eleanor yang sama sekali tidak
menunjukkan ia patah hati. Tetapi ia kembali cemas ketika Putri Eleanor tiba-
tiba berkata, “Andaikan saja engkau benar-benar seorang pria, Kakyu.”
“Putri…”
“Jangan khawatir,” kata Putri Eleanor sambil tersenyum, “Aku tidak apa-
apa. Aku memang sangat terkejut ketika Mama mengatakannya. Tetapi
sekarang aku sudah tidak apa-apa. Aku berjanji aku akan menemukan pria
yang setangguh dirimu.”
“Kalian di sini rupanya,” kata Raja Alfonso.
“Mengapa kalian tidak berdansa?”
“Kakyu mengkhawatirkan Eleanor, Mama. Tetapi sekarang sudah tidak
lagi.”
“Mengapa kalian tampak…,” Putri Eleanor tidak dapat mengungkapkan
wajah kedua orang tuanya yang tampak pusing dan lelah, “Tampak…”
“Pusing dan lelah, maksudmu?” sahut Ratu Ylmeria.
“Benar.”
“Aku pusing mendengar setiap orang membicarakan kalian, kakakmu dan
Kakyu. Mereka tiada henti-hentinya bertanya padaku,” keluh Raja Alfonso,
“Kalau aku tahu kalian akan menimbulkan masalah seperti ini, aku tidak akan
mengumumkan apapun tentang kalian.”
228
“Aku benar, bukan,” kata Putri Eleanor, “Semua orang membicarakan
kalian. kalian harus melakukan sesuatu.”
“Apa yang harus kulakukan, Eleanor?” tanya Pangeran Reinald, “Aku
yakin judul utama dalam koran esok, ‘Perwira Muda Kakyu yang cantik
membuat hati setiap gadis hancur’.”
“Reinald,” Kakyu menghentikan gurauan Reinald.
“Aku mengerti, Kakyu. Tetapi apa yang dapat kulakukan? Aku tidak
mungkin menghentikan mereka, yang bisa kulakukan hanya membawamu
pergi.”
Pangeran membuktikan kata-katanya dengan menarik Kakyu menjauh
keluarganya. “Selamat malam,” katanya sambil tersenyum.
Pangeran Reinald membawa Kakyu ke taman Istana yang sepi.
“Akhirnya aku bisa benar-benar berdua denganmu tanpa ada yang harus
dikhawatirkan lagi.”
“Engkau membuat orang tuamu jengkel, Reinald.”
“Engkau juga sering membuat mereka jengkel dengan sikap diammu.
Sekarang kita tidak perlu memikirkan mereka semua selain kita sendiri.”
“Hanya kita, tidak ada orang lain,” Pangeran menegaskan.
“Baiklah,” kata Kakyu kemudian ia mengingatkan Pangeran pada
pertanyaan yang belum dijawabnya, “Mula-mula aku ingin engkau
menerangkan arti semua ini.”
“Tidakkah engkau menyadarinya setelah apa yang dikatakan Eleanor?”
“Menyadari apa?”
Pangeran Reinald memeluk Kakyu, “Engkau benar-benar harus dijaga
ketat, Kakyu. Engkau sedemikian cantiknya hingga semua orang langsung
membicarakanmu begitu tahu siapa engkau. Aku dapat membayangkan apa
yang akan terjadi kalau aku tidak segera meminta Papa mengumumkan
pertunanganku denganmu. Aku tidak mungkin membiarkan engkau jatuh ke
tangan pria lain.”
Kakyu tersenyum. “Aku tidak mungkin mencintai orang lain, Reinald.”
“Benar?”
“Benar,” Kakyu meyakinkan Pangeran Reinald, “Engkau orang pertama
yang menemukanku dan selamanya akan kucintai. Selamanya.”
Pangeran Reinald menyambut kata-kata Kakyu dengan ciuman panjang
yang tiada pernah berakhir seperti cinta mereka.

229

Anda mungkin juga menyukai