Anda di halaman 1dari 5

Umi, Nantikan Abi di Taman Surga Semerbak wangi bunga melati memenuhi kamar

berukuran 4x3m. Saat ini aku sedang duduk termenung sendirian. Asyik memandangi
bulan yang tengah bertengger manja di luasnya cakrawala. Cuaca tengah cerah malam
ini. Bintang-bintang turut bergaya menarik simpati sang rembulan. Berlomba-lomba
memamerkan keindahan cahayanya. Ah...aku begitu romantis hari ini, kata batinku
sambil tersenyum. Assalamu 'alaikum! Suara dari luar mengejutkanku, disusul
beberapa kali ketukan pintu. Aku segera beranjak dari tempat dudukku seraya
menjawab salamnya. Wa 'alamualaikum! saat kubuka pintu, seorang gadis tengah
berdiri di hadapanku dengan wajah tertunduk. Wajahnya yang menggemaskan
memerah tersenyum menahan malu. Masuklah, ajakku sambil membuka pintu lebih
lebar setelah sesaaat terpaku menatapnya. Gadis yang belum genap 21 tahun tadi pagi
resmi menjadi istriku, kelihatan mulai gelisah. Ada bintik-bintik keringat di ujung hidung
dan dahinya yang tak tertutup jilbab. Kuhela nafas dalam-dalam. Ada keraguan
menyeruak dalam hatiku. Sanggupkah ia mengemban tugas-tugas sebagai seorang
istri? Bisakah dia mewujudkan baiti jannatii dalam rumah tangganya? Atau mampukah
dia manjadi madrasah untuk jundi-jundi kami kelak? Ah...desakan pertanyaan demi
pertanyaan menyesakkan dadaku. Wajahnya yang begitu polos, kecantikannya
anugerah lahi. Keraguannya yang sempat kubaca saaat tadi sebelum dia masuk.
Kekikukannya saat ini seakan mendakwa bahwa aku harus sabar dalam mendidiknya
menjadi istri yang shalihah. Kusadari benar usia kami yang terpaut hampir 10 tahun
menciptakan perbedaaan yang mencolok. Tapi kenapa aku terpikat bidadari kecil yang
kukenal lewat proses nadhor beberapa bulan lalu. Setelah mendapat petunjuk dari
Allah, tanpa pikir panjang akupun menyuntingnya. Masih terngiang di telingaku saat
kutanya mahar yang ia inginkan, dengan suara lembut yang bening ia menjawab:
Subhanallah, apapun yang mas berikan dengan hati ikhlas, insyaAllah akan adik terima
dengan hati ikhlas pula. Jawaban indah itulah yang ia hadiahkan. Kekagumanku
bertambah saat ia berkata lagi: Maaf, idealnya mahar itu memenuhi sunnah, namun
adik tidak ingin memberatkan, mas. Yah...kalimat yang tulus menggambarkan jiwa qona
'ahnya .MasyaAllah, sudah berapa jenak aku membiarkan bidadari kaku berdiri di
depanku, ketika sadar ia sudah duduk dihadapanku. Aku membelainya dan berdo 'a: Ya
Allah, aku memohon padaMu dari kebaikannya dan dari kebaikan apa yang Engkau
tetapkan padanya, dan aku berlindung dari kejahatan dan kejahatan yang Engkau
tetapkan padanya. Dia masih menundukkan kepalanya, seakan tak ingin
memperlihatkan kecantikannya padaku. Perlahan kuangkat wajahnya hingga jelaslah
terlihat wajahnya. Kecantikan yang benar-benar sempurna, rembulan pun merasa malu
dan merasa tersaingi hingga menyelinap di balik tebalnya awan. Aku tak sanggup
berkata apa-apa. Anugerah lahi teramat besar untukku. Aku yang merasa tak memiliki
kelebihan apapun ditakdirkan oleh Allah menikah dengan Hanif. Khumaira yang tulus
kupetik dengan doa dan airmata. Sebelum kita melangkah bersama, mengarungi
bahtera rumah tangga berdua, berilah adik peta yang akan menjadi pedoman bagi adik
dalam berkhitmat kepada Mas Aziz. Katakan apa yang mas sukai dan apa yang tidak
mas sukai. nsyaAllah apa yang mas sukai akan adik tunaikan dan apa yang mas tidak
sukai adik akan tepiskan. Subhanallah, begini indahnya pernikahan? Aku menatap
Hanif penuh haru. Tak kusangka dari getar bibirnya mengalir kalimat sebijak itu.
ngatanku melayang pada kisah pernikahan Syuraih Al Qadhi dan Zainab binti Hadiir.
Kalimat yang dulu mengharubirukan hati Syuraih kini tengah menggetarkan hatiku.
Keraguan yang tadi sempat singgah di benakku kini sirna, bahkan berganti keyakinan
bahwa Hanif akan menjadi istri yang shalihah. Kurengkuh Hanif dengan penuh bahagia.
Waktu terus berlalu. Hanif benar-benar telah membuktikan sebagai istri yang shalihah,
istri terbaik dalam penilaianku. Tutur katanya yang begitu lembut dan santun, akhlaknya
yang karimah, qana 'ah memandang dunia dan senyumnya yang senantiasa
berkembang saat berhadapan denganku. Dalam kebahagiaan seperti ini, setahun pun
terlewati tanpa terasa. Rahim Hanif mulai mengembang oleh calon jundi kami.
Kuperhatikan ia begitu sering mengelusnya seraya membisikkan dzikir-dzikir dan do'a-
do'a. Mengajari tentang kebesaran Allah sehingga seakan kebahagiaan ini terasa
begitu lengkap. Adik Hanif, masih ingatkah adik dengan janji kita di malam pertama
dulu? Aku mengajaknya musyawarah tentang rencana keberangkatanku ke negeri anak
benua untuk memperdalam dakwah di sana. Dia mengangguk mantap. Kemudian
mengulang azzam yag diucapkan setahun yang lalu. stri adalah pendorong bagi suami
untuk khuruj fi sabilillah, istri adalah teman bagi suami dalam berbakti kepada kedua
orang tuanya, penunjuk jalan ketika suami silap dan teman yang setia bagi suami dalam
segala keadaan, katanya. Tidakkah adik keberatan atas kepergiaan mas yang lama?
tanyaku. bagimana mungkin adik keberatan sedangkan Allah lebih berhak atas diri
mas. Dialah penyuruh yang sesungguhnya. Senyumnya yang penuh kearifan
berkembang. tu adalah do 'a adik tiap malam agar Allah memilih mas untuk pergi
kesana.Mas akan pergi empat bulan, hanya saja pilihan mas bukan negeri anak benua,
melainkan ke negeri jiran, Malaysia, kataku. Selesai aku mengatakan itu kulihat kabut
dimatanya. Tidak, mas. Mas harus pergi ke negeri anak benua, ucapnya memberi
semangat. Tapi, adik kan paham bahwa biaya ke sana mahal. Apalagi adik sudah
mendekati saat-saat melahirkan, jelasku. Dia tetap menggelengkan kepalanya tanda
tak setuju. a beranjak dari tempat duduknya. Beberapa saat kemudian ia duduk di
hadapanku dan mengangsurkan buku tabungannya. Aku menatapnya dengan
kebingungan. ni hasil dari adik menulis. Adik ikhlas kalau mas memakainya untuk
kepentingan agama. Ah...ingin rasanya aku menangis mendengar ucapannya itu
karena haru. Teringat olehku Khadijah istri Rasulullah yang rela mengorbankan semua
kekayaannya untuk dakwah Rasulullah. ni kan hasil adik sendiri, pakailah untuk
keperluan adik, kataku seakan tak rela atas perlakuannya sambil mengembalikan buku
tabungan itu. Dia menatapku dengan penuh permohonan. Sebentar kemudian air
matanya meluncur deras membasahi pipinya. Tidak bolehkan seorang istri membantu
dakwah suaminya? Mengapa Khadijah mengorbankan seluruh hartanya untuk
Rasulullah, sedangkan mas menolak bantuan adik yang tidak berharga ini? saknya
meluluhkan kalbuku, aku terenyuh. Akhirnya kuterima kembali buku itu dan
mengucapkan jazzakumullah kepadanya. Adik benar-benar siap berjuang sendirian?
tanyaku sesaat sebelum berangkat ke bandara. 70.000 malaikat yang melindungi
keluarga yang ditinggal fi sabilillah, dan lagi penjagaan Allah lebih ketat daripada
banser atau satgas sekalipun. Ah...ia masih bisa bercanda saat menjelang perpisahan.
Saat adik merasa berat, ingat perjuangan Siti Hajar yang ditinggal Nabi brahim di
padang pasir tandus dengan smail yang di gendongnya, kataku sembari memberi
pesan. nsyaAllah, segala sesuatu yang berjalan untuk agama Allah tidak akan pernah
terasa berat. kecintaanNya kepada kita akan melebur segala kesusahan, batinku
menggeraikan do 'a. Akupun berpamitan dengan bakal bayi itu. Abi berangkat,
sayang. Jangan bikin susah umi. Jaga dan temani umi, ya, pamitku kepada bakal
jundiku. Kulihat Hanif lebih tegar menghadapi perpisahan ini. Senyumnya terurai,
senyum yang selalu membuat hatiku bergetar. Kulangkahkan kaki keluar, kupastikan
aku tengah membela agama Allah. Tak lagi sanggup kumenoleh ke belakang. Empat
bulan terlewati sudah, kepulangan yang tertunda dua pekan membuatku gelisah. ni
adalah detik-detik Hanif melahirkan. ngin rasanya aku mendampinginya saat kelahiran.
Begitu sampai di bandara, lham adik iparku memberi tahu bahwa Hanif sedang di
rumah sakit. Tanpa banyak tanya kuseret tangan lham menuju pangkalan taksi. Mbak
Hanif pendarahan, mas. Kemarin bu menemukannya pingsan di kamar mandi, jelas
lham sesaat setelah duduk didalam taksi, membuatku kian gelisah. Aku berharap taksi
ini bisa terbang untuk segera sampai di rumah sakit.Kulihat semua keluarga telah
bekumpul. Belum selesai aku menyalami semuanya, seorang suster memanggilku, stri
Anda? tanyanya, ingin bertemu? Bergegas aku mengikuti langkah suster itu ke ruang
CU. Aku melangkah menuju Hanif yang tengah berbaring dengan dada berdentuman.
Ah, kulihat ia terbaring tanpa daya. Bibirnya membiru, wajahnya nampak pias,
keringatnya mengucur dari seluruh tubuhnya. Subhanallah, ia masih tersenyum saat
melihatku. Senyuman yang berbaur rintihan tersembunyi.
Lailahaillallah...Lailahaillallah...Lailahaillallah... berulangkali ia gumamkan kalimat itu.
Bagimana dakwahnya, bi? tanyanya. Di tengah derita yang begitu hebat, pikir agama
tetap begitu tinggi. ngin rasanya aku sujud syukur di lantai ruang CU, demikian suci
kasih bidadariku, begitu sempurna Allah melukis cintanya. Alhamdulillah banyak ilmu
yang mas dapat. Nanti bisa kita mudzakarahkan bersama, jawabku. Sekarang panggil
adik dengan umi, sarannya. Aku melirik perut Hanif yang telah mengempes pertanda
jundi kami telah lahir.Anak kita telah lahir? tanyaku penasaran. Hanif hanya
menganggguk lemah.smail, dia akan fastabiqul khairat dengan abinya di medan
dakwah dan mujahadah. Aku segera jatuh dalam sujud syukur di lantai CU seketika itu
juga. Kemudian kulihat Hanif lagi sambil memegang tangannya yang lemah. Bi, umi
sedikit letih, izinkan umi sejenak istirah, Ah...tiba-tiba bayang-bayang asing menjenguk
dari balik langit-langit putih, mengirim kabar dari negeri yang tak pernah terlintas dalam
krenteg batin. Rehatlah, sayang, keletihanmu diganti oleh Allah limpahan pahala,
ucapku lirih di telinganya. Penghuni sorga melambaikan tangannya untuk memanggilku.
mendengar kata-katanya itu aku tersentak, tak terasa kugenggam erat tangannya. Ya,
Allah, jangan ambil dia, dialah pelipur hatiku, penyejuk hatiku, dia pendorongku untuk
keluar di jalanMu, jangan ambil dia, jeritku dalam hati.Telah ridhokah abi dengan umi?
Hanif masih bertanya. Tak kuasa kutahan air mata. Tangan Hanif yang dingin
menghapus butiran-butiran air mata yang perlahan jatuh di sudut-sudut mataku. Tidak
pernah abi merasa kecewa dengan umi? Ridhokanlah, bi. Sesungguhnya umi tidak
hendak meninggalkan abi. Tidak pula umi hendak pergi. Umi sekedar ingin segera
menghias taman sorga, tempat umi menanti abi dan juriat tercinta... Abi...abi...abi ridho
dengan kepergian umi, jawabku tersendat-sendat. Bi, ucapkanlah, nantikan abi di
taman sorga Mi, nantikan abi di taman sorga... tak sadar bibirku bergetar menirukan
kalimat terakhir Hanif yang ridho menjemput takdir. Senyumnya berkembang, namun
tak sanggup aku menatap senyum yang selalu menjadi penyejuk hatiku itu. Aku
mencium punggung jemari Hanif, lirih kutalqinkan kalimat thayyibah. Kulihat bibirnmya
turut bergerak meski tak bersuara. Beberapa detik kemudian semuanya berhenti,
tangannya terkulai di genggamanku. Kepergian yang indah. Kepergian bidadariku
sebagai syahidah. Kepergian yang hakikatnya mempercepat pertemuan yang abadan-
abadan. Ya, Allah, aku ikhlas dengan keputusanMu. Gantilah ketaatannya kepadaku
selama ini dengan kebahagiaan di sisiMu, Do 'aku di depan Hanif yang telah pergi. Aku
melangkah keluar, semua mata seakan bertanya bagaimana dengan Hanif. Jangan
ada yang menangisi kepergiannya, pintaku lirih. Kulihat keluargaku beriringan
memasuki kamar rawat Hanif. Sementara aku melihat seorang suster membawa bayi
ke kamar Hanif Dia telah tiada! Cegahku sebelum suster itu sampai di depan pintu.
Kuambil smailku dari tangan suster itu. Ah...dia seperti Hanif. Tersenyum seakan
menghiburku agar tak bersedih. Selamat jalan bidadariku, perjuangan agama ini akan
kuteruskan bersama da 'i yang telah kau lahirkan ke dunia ini, da 'i yang menjadi bukti
syahidmu yang demikian indah.
Love u.....

Anda mungkin juga menyukai