Anda di halaman 1dari 8

Rambut hitamnya dipotong cepak, diminyaki dengan wax dan sengaja ditata

agak berantakan seperti gaya rocker luar negeri. Bentuk tubuhnya yang hampir
sempurna dengan kulit putih Asia dibungkus lagi dengan jaket kulit hitam ketat
dengan retsleting yang seakan membelah dua tubuhnya secara vertikal dari bagian
leher hingga perutnya. Kaki putihnya dibalut dengan celana jeans hitam yang sudah
belel hingga menutupi mata kakinya. Sambil tersenyum tipis di hadapan kaca spion
motornya, Ariana masih meruncing-runcingkan rambutnya dan menatap kagum pada
kantung matanya yang hitam sejak lahir. Tidak perlu menambah polesan tinta wajah
lagi, pikirnya, hanya berjalan-jalan keluar menghirup udara bulan Januari yang sejuk,
mungkin ke bar adalah tujuan yang terbaik. Ariana meraih helm yang ia letakkan di
dasbor motor trailnya dan memasang dengan rapat di kepala setelah merasa sempurna
dengan penampilannya.
Starter gas motor trailnya memang agak rusak. Maklum saja, motor usangnya
itu bersama Ariana sejak ia berusia dua belas tahun, sudah enam tahun yang lalu,
Ariana ingat bagaimana bahagianya dia saat itu. Butuh beberapa menit bagi Ariana
untuk menyalakan gasnya, sampai kamudian ia bisa menikmati pemandangan kota di
atas motornya.
Bar di tengah kota, bar tempat dimana Ariana berkumpul dengan teman-
temannya yang sembilan puluh persen adalah laki-laki, bukan bar terkenal dan ramai
dikunjungi orang. Justru karena kecilnya ruangan yang dibuat, meskipun letaknya
strategis, orang-orang malas datang kesana. Karena itu, Ariana merasa tempat itu
merupakan tempat terbaik baginya yang tidak senang dengan keramaian.
Sebuah mobil Fort Laser dengan cat silver yang sedikit mengelupas di bagian
bempernya diparkir di pelataran bar favoritnya. Mobil yang sangat dikenal Ariana.
Apalagi dengan boneka jepang berbaju kimono berukuran kecil yang digantung di
kaca depan mobilnya.
Ariana memarkir motornya persis di samping kiri mobil silver itu, helmnya ia
gantungkan di kaca spionnya, kemudian sambil melangkah masuk ke dalam bar ia
masih mengamat-amati mobil itu.
Sebelum sempat menelusuri isi bar yang sepi dengan lampu yang berpendar
lemah, hanya sekedar membantu cahaya matahari yang tidak masuk dengan sempurna
ke dalam bar, Ariana mendengar seseorang memanggilnya. Ia segera menoleh ke asal
suara dan mendapati sesosok pria tua dengan rambut yang sudah beruban duduk
sambil memegang lengan cangkir yang berisi kopi. Pria itu berwajah campuran eropa-
asia dengan setelan jas yang rapi dan melambaikan tangan yang tidak memegang
cangkir ke arah Ariana.
“Astaga! Pak? Apa yang anda lakukan disini?!”
Ariana menganga kaget. Tentu saja ia mengenal pria itu, dan juga mobil yang
diparkir di depan itu. Dan pria itu, meskipun adalah pria yang sangat dekat
dengannya, belum pernah sekalipun datang ke bar kecil yang agak kumuh itu,
sekalipun dalam rangka mencari Ariana yang kabur dari pelajarannya. Pria itu adalah
guru privat piano Ariana sejak dua tahun yang lalu.
Pria yang dipanggil Hussein tadi tersenyum hangat, memahami betapa
terkejutnya Ariana, “kemarilah, aku mempunyai kabar yang sangat penting”.
Dengan ragu-ragu Ariana berjalan menuju kursi yang berada di sisi lain dari
meja yang satu sisinya menghadap Hussein, “buruk atau baik?”
“Netral”, jawab Hussein singkat, kemudian ia mengaduk-aduk kopinya.
Ariana mengernyitkan dahinya, tidak mencoba untuk bertanya lagi, tapi hanya
menunggu kelanjutan kata-kata Hussein.
“Aku tidak akan lama, aku tahu kau mempunyai janji dengan teman-teman
genkmu itu kan? Mau merencanakan balapan motor lagi?” Hussein memindahkan
topik.
Ariana lebih bisa mengendalikan keterkejutannya tadi dan dengan tidak sabar
menyahut ucapan guru pianonya, “tidak, tapi entahlah, bukan urusan anda”.
Mood Ariana sedang tidak bagus saat itu. Salah besar telah memancingnya
berbasa-basi, apalagi dirinya memang jarang bersikap sopan pada orang-orang tua.
Tapi tampaknya Hussein mengerti benar sikap Ariana.
“Baiklah. Aku datang kesini memang bukan untuk membeli tiket balapan
motormu, tapi aku datang kesini untuk membicarakan karirmu, eh, terutama sebagai
seorang pianis, bukan sebagai seorang pembalap,” Hussein buru-buru menambahkan.
“Anda ingin saya masuk ke sekolah formal khusus para pemusik?!” ujar
Ariana agak keras, merasakan dirinya terbawa emosi. Hal ini sudah ribuan kali
dibahas dan berakhir dengan Ariana yang keras kepala menolak pendidikan formal
lagi sejak ia mengundurkan diri dari sekolah menengah pertamanya.
“Bukan! Dengar dulu!”
Ariana menghela nafas, menenangkan diri.
“Aku tidak pernah membiarkanmu tampil di atas panggung kan?”
Ariana mengangguk lemah.
“Sudah lima tahun kau belajar denganku, dan kuakui kau sungguh brilian
dalam musik diantara murid-muridku yang lain”, Hussein menatap mata coklat
Ariana, “begini, aku ingin kau tampil di konser besar, konser ajang pencarian bakat
musik yang diselenggarakan lembaga pendidikan seni dari Rusia”
“Tapi...”
“Bukankah kau mencintai bakat musikmu?! Ya! Kau mengatakannya padaku
saat pertama kali kau menyentuh pianomu! Aku ingat dengan jelas!” potong Hussein
sebelum Ariana sempat berkelit, “Dengar, kau memintaku mengajarkanmu piano
bukan hanya karena hobimu kan? Bukan karena kau hanya sekedar senang menekan
tuts-tutsnya kan? Dan bukan hanya karena menuruti perintah Ibumu kan? Kau ingin
hidup dengan pianomu, dan... mungkin dengan motormu. Tapi apa yang bisa kau
lakukan dengan motormu? Hanya balapan iseng-iseng saja yang kau lakukan.
Menghasilkan uang? Tidak. Sedangkan sekolah, kau sudah mengundurkan diri sejak
kau mulai menyewaku. Jadi bekal apa yang kau punya untuk masa depanmu? Jika kau
tidak juga mau ikut konser, memendam bakatmu dalam dirimu sendiri, suatu saat aku
yakin kau akan menjual pianomu hanya sekedar untuk makan”.
Sambil menundukkan kepala, Ariana diam, mengalihkan pandangannya ke
arah cangkir teh Hussein, sama sekali tidak menyangka guru lesnya itu akan
menceramahinya sejauh itu. Tiba-tiba ia teringat akan satu pertanyaan yang tak pernah
ia tanyakan pada guru lesnya itu.
“Lalu mengapa bukan anda saja? Mengapa anda justru menjadi guru les?
Bagaimana jika saya juga menjadi guru les saja?”
Tidak sesuai dengan pemikiran Ariana yang mengira Hussein akan kehabisan
kata-kata dan marah mendengar pertanyaannya, justru tampak mata tua Hussein yang
tadinya menunjukkan semangat yang berapi-api kini menciut, menjadi lembut dan
penuh pengertian. Beberapa menit ia diam seperti menyusun kata-kata untuk
menjawab pertanyaan Ariana.
“Aku pernah berada di atas panggung, melantunkan nada-nada yang ditulis
komposer dunia. Begitu optimis aku melakukannya, jari-jariku dengan hebat menekan
tuts-tuts seperti tanpa perintah apapun, seperti hanya bermain-main”, mata Hussein
beralih ke cairan hitam dalam cangkir yang dipegangnya, menerawang jauh begitu
merindukan masa-masa yang sedang ia ceritakan, “ya, ya, orang-orang memandangku
pianis yang jenius. Berkali-kali aku mengikuti konser besar dan selalu mendapatkan
standing applaus. Kau tahu, betapa bangganya aku pada masa itu. Sampai suatu hari,
suatu hari yang tidak pernah kuduga aku akan kehilangan harapanku, suatu hal kecil
yang tidak berarti, membuatku larut dalam emosi hingga bertahun-tahun dan
meninggalkan pianoku”.
“Hanya karena ada seseorang yang mendapatkan sambutan lebih meriah
dariku saat konser, ya, orang itu jauh lebih muda dariku tapi permainan pianonya jauh
lebih hebat, kau tahu, dia memainkan Flight of The Bumblebee! Itu tidak wajar bagi
pianis seusiaku saat itu...” Hussein menghela napas, kembali mengambil kendali atas
dirinya yang hampir terbawa emosi, “aku cemburu, hanya karena cemburu, aku
merasakan putus asa yang berkepanjangan, bahkan aku enggan menyentuh pianoku
lagi, hingga bertahun-tahun. Banyak orang bertanya ada apa denganku saat itu, tapi
aku hanya menjawab bahwa aku tidak lagi tertarik pada piano, padahal aku
berbohong, hanya rasa iri yang menguasai diriku ketika aku menyentuh tuts-tutsnya,
ketika aku memandang catnya yang hitam berkilau”.
“Aku gila hormat”, Hussein kemudian melemaskan ototnya yang tadi sempat
menegang.
Ariana menunggu sampai gurunya kembali melanjutkan ceritanya tapi
kemudian ia menyadari bahwa tiga kata itu adalah kata penutup yang sangat jujur atas
cerita panjangnya, dengan berhati-hati Ariana menanggapi cerita gurunya, “Anda
melepaskan kegemilangan bakat anda dalam piano”.
Sambil mengangkat cangkirnya untuk kembali menyeruput kopi, Hussein
menatap Ariana, “Cerdas! Dan aku mulai terikat kembali dengan pianoku ketika
emosiku sudah memudar, sangat pudar hingga aku menyesali apa yang kulakukan
pada masa laluku”, Hussein menegak habis sisa kopinya, “Aku takut sifatku itu
kembali menguasaiku, tapi aku tidak ingin meninggalkan piano, karena itu aku
memilih menjadi guru piano. Ketahuilah, kebanggan yang didapat para pianis yaitu
ketika mereka berada di panggung dan mendapatkan sambutan yang meriah,
sedangkan kebanggaan para guru adalah menyaksikan muridnya mendapat sambutan
meriah. Tidak terlalu berbeda kan?”
Ariana mengangguk lemah.
“Mainkan Flight of The Bumblebee dalam enam bulan ini, kau harus
menguasainya, kau harus memainkannya! Maka bulan Juli kau sudah akan berada di
Rusia”, Hussein meletakkan cangkir kopi di atas meja, kemudian mengangkat koper
yang sejak tadi ia biarkan bersandar di bangku sebelahnya, “Aku ada jam mengajar
siang ini”.
“Bagaimana anda begitu yakin bahwa saya pasti diterima?”
“Seseorang yang tidak pernah tampil, akan lebih menarik perhatian daripada
seseorang yang terlihat perkembangannya. Hmm, seperti kau melihat tinggi
seseorang. Jika kau terus bersama seseorang, kau tidak akan menyadari pertambahan
tingginya, tapi jika kau jarang bertemu dengan seseorang, ketika bertemu dengan
orang tersebut beberapa tahun kemudian, kau akan kaget dengan pertambahan
tingginya”, Hussein sudah berdiri kali ini dan mengeluarkan beberapa lembar uang
untuk membayar kopinya, “berikan aku kebanggaan yang telah gagal kudapatkan,
Ariana, aku yakin kau sanggup. Jam sembilan pagi, besok, aku akan mulai mengajar
intensif”.
Ariana hanya mengangguk kembali, semua cerita gurunya itu begitu panjang
dan tidak pernah terbayangkan baginya. Ia pikir, gurunya itu adalah orang bijaksana,
hampir tanpa emosi, dan selalu benar, tetapi penampilannya menipu Ariana. Kali ini
Ariana benar-benar menutup mulutnya hanya memperhatikan Hussein berjalan
menuju meja konter untuk membayar kopi yang telah dihabiskannya, kemudian
melambai sekali pada Ariana dan hilang di balik pintu bar.

Motor trail butut milik Ariana berjalan lemah di jalan komplek perumahannya.
Ariana belum mau pulang. Hanya diterangi lampu-lampu jalan, tak ada bulan malam
itu. Sejak pertemuannya dengan guru pianonya tadi siang, Ariana terus merenung.
Masa depan, kenapa aku begitu bodoh untuk tidak pernah memikirkannya? Aku hanya
memikirkan apa yang terjadi hari ini dan hari setelah hari ini. Dan apa yang telah aku
perbuat dengan masa lalu?
Siapapun yang mengetahui kehidupan Ariana, pasti akan menganggap dirinya
adalah orang yang sangat beruntung. Keluarga kaya yang mengangkatnya anak benar-
benar menyayangi dirinya, Ayah angkatnya seorang pejabat sedangkan Ibu angkatnya
bekerja sebagai wanita karir. Tapi meskipun begitu, pasangan itu memberi kasih
sayang yang cukup bagi Ariana, dan mereka tidak pernah menyembunyikan tentang
pengangkatan Ariana sebagai anak mereka, sehingga tidak ada rasa sakit yang pernah
menyentuh hati Ariana.
Ariana dirawat hingga usia tiga tahun di sebuah panti asuhan yang lumayan
elit. Kemudian, pasangan itu datang, mengambil hak asuh atas dirinya. Tapi sayang,
hanya selama sebelas tahun ia hidup dengan Ibu angkatnya. Ulang tahun kesebelas
Ariana dirayakan dengan duka, Ibu angkatnya meninggal akibat kecelakaan mobil
yang merenggut nyawanya.
Pendidikan formal yang digeluti Ariana tidak berjalan dengan lancar, ia
terpaksa menjalani kelas satu SDnya selama dua tahun. Setelah itu, berkali-kali kedua
orang tua angkatnya itu dipanggil ke sekolah, ancaman-ancaman para dewan guru
agar Ariana mau berusaha lebih keras dalam belajar tidak juga berhasil, sampai suatu
hari, kepala sekolah menyatakan menyerah untuk mendidik Ariana. Pindah dari satu
sekolah ke sekolah lain, kedua orang tuanya, terutama Ibu angkatnya, tetap memaksa
Ariana untuk pergi ke sekolah. Maka, sepeninggal Ibunya, Ariana segera meminta
Ayahnya untuk mengeluarkan dirinya dari sekolah, ia beranggapan dirinya tidak
berbakat dalam pendidikan akademis.
Menganggur selama satu tahun, Ayahnya yang kelewat sibuk menyadari
keterlantaran Ariana di rumah, sehingga Ayahnya menikah lagi, dengan wanita biasa
yang tidak bekerja sehingga dapat menguras seluruh kasih sayangnya untuk Ariana.
Wanita yang satu ini menemukan bakat musik Ariana secara tidak sengaja ketika
memperhatikan Ariana selalu berusaha membaca dan memainkan not-not balok
dengan suling bambu sederhana yang dimilikinya. Ibu tirinya itu kemudian
memanggil guru les, awalnya Ariana diperkenalkan dengan klarinet, tapi ketika
mencoba mempelajarinya, Ariana menyerah, lebih sulit dari yang diperkirakannya.
Kemudian, berbagai alat musik dicobakan ibu tirinya, dari biola, viola, gitar, perkusi,
drum hingga yang terakhir adalah piano.
Guru les yang pernah ditemui Ariana pun ada puluhan jumlahnya, karena
Ariana tidak senang dipaksa belajar seperti di sekolah, sampai ia bertemu dengan
Hussein, Ariana langsung cocok dengannya. Hussein adalah orang yang cukup bijak
dan penampilannya selalu rapi. Pertemuan pertama mereka, sama sekali tidak
melakukan praktik, Hussein hanya mengobrol dengan Ariana selama dua jam. Tetapi
bukan sebuah wawancara, melainkan pertukaran cerita. Kemudian dengan semangat,
Ariana menceritakan ide-idenya, bagaimana ia sangat ingin memainkan jarinya di atas
tuts-tuts piano. Sejak saat itu, Ariana yang berusia tiga belas tahun mulai serius
mempelajari piano dengan guru pianonya Hussein.
Tumbuh dalam lingkungan sendiri, tanpa sosialisasi dengan dunia luar, Ariana
hanya mendapat pelajaran dari apa yang dipublikasikan media-media massa sehingga
membuat dirinya memiliki sebuah kepribadian yang lunak. Menyadari hal itu, ibu
tirinya segera mengambil tindakan yaitu memasukkan Ariana ke dalam lembaga yang
mengasah kepribadian. Ariana tidak pernah diajarkan bagaimana harus bersikap basa-
basi dan sopan santun, sehingga Ariana selalu membuat kericuhan, dan tak lama
kemudian, lembaga tersebut menyatakan menyerah untuk mendidik Ariana.
Akibatnya, Ariana menjadi semakin keras kepala terhadap setiap keputusan yang
dibuat oleh ayah atau ibu tirinya, apalagi menyangkut pemaksaan apa yang
seharusnya dia lakukan. Merasa bosan tidak pernah melihat dunia luar, akhirnya
Ariana mulai belajar mengendarai motornya, hanya dalam waktu sebulan, ia sudah
mengelilingi kota tempat tinggalnya itu.
Suatu hari, secara kebetulan motornya macet di depan sebuah bar kecil dan
terlihat sederhana. Menghindari sengatan matahari siang, Ariana pun mampir ke
dalam bar tersebut dan membiarkan motornya diparkirkan di pelatarannya. Di sanalah
pertama kali bertemu dengan para berandalan yang melakukan trek-trek liar malam
hari, kekaguman para berandalan itu dengan motor trail Ariana membuat Ariana
diterima dengan mudah dalam kelompok tersebut.
Lalu apa yang menjadi pegangan hidupnya di masa depan hanyalah jari-
jarinya. Ariana tidak pernah memikirkan tentang masa depan. Apa yang dikatakan
oleh Hussein siang ini sungguh membuka akalnya. Dia bukanlah orang hebat, dirinya
hanya anak angkat, apa yang bisa dibanggakannya? Nasib baiknya?
Ariana menguap sekali menghasilkan embun pada bagian dalam kaca
helmnya. Sudah larut malam. Ariana pun memutuskan untuk pulang ke rumah, besok
ia harus menyetujui ide guru pianonya. Tinggal di negara lain tidak pernah terpikir
olehnya, tapi kalau ada yang menawarkan, mengapa tidak? Mungkin hidupnya akan
lebih baik disana.

Satu-satunya jendela dalam kamar Ariana yang berukuran sangat besar


membiarkan sinar matahari pagi menerangi kamar Ariana. Tirai-tirai telah disibakkan.
Ariana mengerjap sebentar, memayungi matanya dari silaunya cahaya matahari,
kemudian menguap.
Jam delapan lebih sepuluh menit. Sedikit kesiangan mengingat latihan intensif
yang akan ia laksanakan. Hussein pasti dalam perjalanan menuju kesini. Sesegera
mungkin Ariana bangun dari tidurnya dan berjalan menuju lemari pakaiannya. Kaos
berlengan pendek dengan celana jins, adalah setelan yang selalu dikenakan Ariana.
Tanpa mempedulikan perutnya yang mulai meronta kelaparan, Ariana menuju ke
kamar mandi, mengubur dirinya dalam siraman air dingin yang menyegarkan.
Setengah jam sebelum jam sembilan pagi, Ariana memulai sarapan paginya
seorang diri. Ibu tirinya sedang pergi dan ayahnya sedang bekerja. Nasi, daging,
udang, ikan, sayur-sayuran, sambal, dan omelet terpajang di atas meja makan. Wah,
wah, boros benar ya, pikir Ariana. Setelah mengambil sepiring nasi, ia hanya
menyambar udang. Tidak mau repot-repot menyisihkan duri atau tulang.
Hussein adalah seseorang yang sangat disiplin dengan waktu, sebelum Ariana
sempat menyingkirkan piring bekas makannya ke dapur, suara bel pintu berdering
panjang memekakkan telinga. Ariana menggerutu pelan, kemudian membiarkan
piringnya tetap di atas meja makan dan beralih menuju ke pintu depan rumah
mewahnya.
“Selamat pagi, ah, sudah siap tampaknya”, Hussein tampak berdiri
menyandang kopernya sambil tersenyum memandang Ariana.
“Ah, ya, sebenarnya akan lebih siap jika anda datang sedikit terlambat”, sahut
Ariana malas-malasan.
“Wah, berarti kau menyetujui rencanaku?”
“Tidak ada pilihan lain. Saya pikir, anda memang tidak salah”.
Mereka kemudian menuju ruang tengah. Sebuah piano klasik berukuran besar
dengan cat hitam berkilau terpajang dengan anggun menghiasi ruangan yang kosong
itu. Ruang tengah rumah itu sudah sedikit berubah sejak Ariana berkonsentrasi dengan
pianonya, banyak perabotan yang telah dipindahkan darisana, sehingga ruangan itu
lebih terlihat seperti studio daripada ruang santai.
“Sebentar, saya ambilkan minum, ah, dan jujur saja, saya tadi belum sempat
minum, baru saja selesai sarapan”, Ariana meninggalkan Hussein yang tertawa kecil
mendengar kata-kata jujurnya.
Sambil menanti datangnya kembali murid jeniusnya itu, Hussein
mengeluarkan map dari dalam kopernya yang berisi partitur-partitur piano.
Membolak-balikkan kertas-kertas yang ada dalam mapnya, mencari partitur yang
akan dipelajari muridnya hari ini dan lima bulan ke depan.
Ariana datang membawa gelas yang berbentuk seperti piala berisi cairan
jingga, sirup rasa jeruk, ia meletakkannya di atas meja sebelah piano besarnya.
Melirik ke arah kertas partitur yang dipegang Hussein kemudian menganga kaget.
“I...Itu yang harus saya pelajari

Anda mungkin juga menyukai