Anda di halaman 1dari 6

PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM SECARA OPTIMAL

Sebagai tanggapan terhadap TAP MPR No.IX dan No.X Tahun 2001 dan sebagai masukan untuk Rencana Perubahan Undang-Undang Pertambangan
Oleh Ir. Subandoro

Dalam tulisan ini akan disajikan suatu uraian singkat mengenai pentingnya pemanfaatan Sumberdaya Mineral bagi pembangunan nasional di Indonesia. Sesuai dengan isi Ketetapan MPR tersebut diatas, potensi sumberdaya mineral di Indonesia harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dalam mengelola potensi alam tersebut diperlukan suatu Kebijaksanaan Nasional yang tegas mengenai skala prioritas pengembangan Sumberdaya Alam, karena secara alamiah kehadiran sumberdaya alam hampir selau berimpitan atau tumpang-tindih (overlapping) antara yang satu dengan lainnya. Misalnya di daerah daratan (onshore area) potensi sumberdaya mineral yang terletak di perut bumi tertutup oleh kawasan hutan, sedangkan yang di lepas-pantai tertutup oleh lautan. Berdasarkan TAP MPR, arah kebijaksanaan dalam pengelolaan sumberdaya alam antara lain adalah dengan menyusun strategi pemanfaatan sumberdaya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan masyarakat dan kondisi daerah maupun nasional. Seluruh aktivitas yang menyangkut sumberdaya-alam harus didasarkan pada hasil pengkajian yang menyeluruh. TUMPANGTINDIH UNDANGAN PERATURAN PERUNDANG-

PENDAHULUAN Dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No.IX/MPR/2001 yang sesuai dengan Ayat 3 Pasal 33 dari Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa sumberdaya alam yang meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai Rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan nasional yang wajib disyukuri. Oleh karena itu harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Salah satu bagian dari sumberdaya alam yang potensial di negara kita adalah sumberdaya mineral yang penyebarannya meluas dari Sabang sampai Merauke, baik yang terletak di darat maupun di daerah lepas pantai. Selain endapan batubara, minyak bumi dan gas alam, sumberdaya mineral tersebut merupakan bahan galian logam, bahan galian industri dan bahan bangunan. Sebagian dari bahan galian mineral logam seperti emas, perak, timah, nikel, tembaga dan sebagainya telah ditambang, tetapi masih banyak potensi yang belum dieksploitasi, bahkan belum dselidiki atau dieksplorasi. Secara umum, penyebaran bahan galian logam terdapat didaerah pegunungan karena berkaitan dengan kegiatan intrusi dan ekstrusi magma di daerah-daerah pegunungan yang terangkat karena gerakan tektonik akibat benturan antara Lempeng Benua. Misalnya, penyebaran mineral logam di sepanjang Pegunungan Bukit Barisan di Sumatra, Pegunungan Selatan Pulau Jawa - Nusatenggara, Pegunungan Meratus di Kalimantan, Pegunungan yang memanjang dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah sampai Sulawesi Utara, Pegunungan di Kepulauan Maluku, dan Pegunungan di Irian Jaya. Deretan pegunungan-pegunungan tersebut terbentuk karena terjadinya benturan antara Lempeng Benua. Lempeng yang merupakan dasar Samudra Hindia bergerak kearah utara sehingga membentur Paparan Sunda yang stabil. Sebagai akibatnya terjadilah pengangkatan daratan yang membentu pegunungan di daerah Sumatra dan Jawa. Di wilayah Indonesia bagian timur terjadi benturan antara tiga lempeng benua, yaitu antara Lempeng Samudra Pasifik, Lempeng Benua Australia dan Paparan Sunda. Peta-1.

Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 mengenai Pokok-pokok Pertambangan, meskipun sekarang sudah waktunya untuk diubah untuk disesuaikan dengan perkembangan jaman, telah berhasil dengan baik mengantarkan Bangsa dan Negara Indonesia dalam memberikan dasar hukum bagi pengembangan sektor pertambangan di Tanah Air. Kontribusi sektor pertambangan kepada keuangan negara, pengembangan daerah, lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat telah dibuktikan selama ini, yaitu melalui jalur perijinan Kuasa Pertambangan (KP) dan Kontrak Karya (KK) di bidang pertambangan Umum, Kontrak Bagi Hasil di bidang minyak dan gas bumi, dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Kepastian hukum dan keadaan sosial-ekonomi yang kondusif pada waktu itu telah menarik investor dari Luar negeri dalam jumlah yang sangat besar. Mereka tertarik karena Indonesia memiliki potensi sumbardaya mineral yang besar berdasarkan hasil kajian geologi regional maupun sejarah pertambangan di Indonesia. Oleh negara-negara berkembang lainnya, peraturan perundangan kita telah dijadikan contoh bagi kepentingan negara mereka masing-masing. Tetapi, keadaan yang baik tersebut tidak dapat dipertahankan lebih lama karena munculnya berbagai peraturan perundangan baru di sektor sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang telah dan akan menghambat pengembangan pertambangan nasional. Sebagai conto adalah: 1. Undang-Undang kehutanan. No. 41 Tahun 1999 mengenai

Dengan dikeluarkannya undang-undang ini, maka banyak kegiatan penyelidikan umum dan eksplorasi yang terpaksa dihentikan karena sukar sekali, bahkan tidak mendapatkan ijin dari Departemen Kehutanan. Sebanyak 99 perusahaan pertambangan yang telah memiliki ijin eksplorasi (KP, KK atau PKP2B) sebelum dan sesudah dikeluarkannya UU-41 pada saat ini tidak dapat melakukan kegiatan eksplorasi karena belum mendapatkan ijin memasuki wilayah hutan lindung. Pasal 38 UU 41/1999 bahkan melarang adanya kegiatan pertambangan terbuka (open cut mining) diwilayah Hutan Lindung. Selain dari pada itu, kegiatan pertambangan nikel di Pulau Gag, Propinsi Irian Jaya, yang telah melaksanakan eksplorasi selama dua tahun dengan dana sebesar US$70 juta tidak dapat dilanjutkan karena perubahan status hutan produksi menjadi Hutan Lindung tanpa alasan jyang jelas pada tahun 1999. Karena perubahan ini, maka rencana investasi sebesar 2 milyar dollar As untuk tahap konstruksi menjadi batal. 2. Peraturan mengenai Lingkungan Hidup. Tersiar adanya ketentuan penambangan tidak boleh dilakukan dalam sebuah pulau yang luasnya kurang dari 200 km2. Hal-hal tersebut menunjukkan fakta adanya tumpang-tindih peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam sebagai yang disebutkan dalam konsideran TAP-MPR No.IX/MPR/2001. Jelas sekali bahwa keadaan ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut karena akan merugikan kepentingan umum, terutama bagi Indonesia yang sangat memerlukan perbaikan dan pemulihan sektor ekonomi. Iklim investasi yang kondusif di sektor pertambangan sangat diperlukan agar semua kegiatan pertambangan dapat berjalan normal kembanli. Dengan diundangkannya UU 41 / 1999 tentang Kehutanan seperti tersebut diatas, maka banyak sekali kegiatan pertambangan di Indonesia yang ditangguhkan (suspensi). Penangguhan kegiatan pertambangan ini terpaksa dilakukan karena sejak dikeluarkannya UU Kehutanan tersebut, perusahaan pertambangan belum mendapatkan ijin dari Departemen Kehutanan untuk melakukan kegiatan didalam wilayah kerjanya karena terdapat dalam wilayah Hutan Konservasi, terutama Hutan Lindung. Suspensi telah berjalan lebih dari 2 tahun. Selama suspensi perusahaan tidak dapat melakukan kegiatan apapun dilapangan, tetapi kewajiban kepada pemerintah masih tetap harus dipenuhi sesuai dengan ketentuan dalam Kontrak Karya, seperti Iuran Tetap (deadrent), dan PBB. Sebagian investor telah menghentikan kegiatan, tidak memperpanjang kontrak dan investasi baru terhenti. Keadaan yang tidak baik ini jelas bertentangan dengan TAP MPR IX/2001 tersebut diatas. PENYEBARAN SUMBERDAYA MINERAL Secara umum penyebaran sumberdaya mineral tergantung dari keadaan geologi, karena terbentuknya suatu endapan

bahan galian ditentukan oleh proses geologi. Penyebaran mineral dapat terjadi karena proses magmatik atau karena proses non-magmatik seperti proses sedimentasi. Berdasarkan teori Lempeng Benua, kegiatan magmatik yaitu terjadinya proses intrusi dan ekstrusi magama dari dalam perut bumi disebabkan karena terjadinya benturan antara dua atau lebih Lempeng Benua yang mengakibatkan kenaikan dan penurunan permukaan bumi. Sebagai contoh adalah terjadinya tabrakan antara Lempeng Samudra Indonesia yang bergerak kearah utara dengan Pulau Jawa yang merupakan bagian dari Paparan Sunda. Benturan kedua lempeng ini telah mengangkat permukaan Pulau Jawa bagian Selatan, sehingga terjadi deretan Pegunungan Selatan yang memanjang dari Bagian Selatan Jawa Barat sampai ke Jawa Timur, dan berlanjuta di kepulauan Nusa Tenggara. Pengangkatan daratan ini disertai oleh kegiatan magmatik, yaitu intrusi dan ekstrusi batuan magmatik dari dalam bumi. Kegiatan magmatik ini disertai terjadinya mineralisasi berbagai jenis mineral didalam maupun disekitar tubuh intrusi. Misalnya terjadinya cebakan emas dan mineral pengikutnya didaerah Pegunungan Selatan Jawa Barat, di Cikotok, Jampang Kulon dan sebagainya. Melalui proses magmatik seperti diuraikan diatas, maka terjadilah penyebaran mineral di kepulauan Indonesia, yaitu mengikuti busur-busur magmatik. Berdasarkan umur geologinya, busur - busur magnetik tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga jalur (Lihat Gambar 1, Sumber: Carlile and Mitchel,1994), yaitu: 1. Busur Miosin Atas dan Pliosin: Busur Sunda Banda (melalui daratan Sumatra, Jawa, Nusatenggara), Busur Sulawesi Mindano Timur, Busur Halmahera dan Busur Irian Jaya bagian Tengah. Busur Palaegin dan Tersier Tengah: Busur Kalimantan Tengah. Busur Kapur Atas : Busur Sumatra Meratus.

2. 3.

Selain daripada itu, di wilayah bagian timur Indonesia terdapat penyebaran mineral yang menyertai batuan ultrabasa yang berasal dari lempeng dasar Laut, seperti penyebaran nikel di Sulawesi dan beberapa pulau di Maluku dan Irian Jaya. Pada beberapa lokasi yang terletak didalam busur penyebaran sumberdaya mineral logam tersebut telah dilakukan penambangan seperti di Tambang Lebong Tandai dan Lebong Donok di Sumatra (Au), Gunung Pongkor di Jawa Barat (Au), Batu Hijau di Sumbawa (Cu), Kelian dan Muro di Kalimantan (Au), Tambulilato dan Mesel di Sulawesi Utara (Au) dan Ertsberg di Irian Jaya (Au, Cu). Lihat Gambar 2. Banyak tempat lainnya yang pernah ditambang sejak jaman sebelum perang Dunia II, sperti Cikotok, Rejang-Lebong, Meulaboh dsb. Selain lokasi penambangan tersebut, di dalam daerah yang terletak dalam busur-busur magmatik tersebut diatas masih banyak tempat lainnya yang secara geologi mempunyai

potensi yang masih perlu diselidiki untuk dikembangkan lebih lanjut. Disamping potensi sumberdaya mineral logam yang terdapat dalam daerah busur magnetik, Indonesia dikaruniai kekayaan alam bahan galian tambang lainnya yaitu minyak dan gas bumi, batubara, bahan galian industri dan bahan galian untuk bangunan sepert batu dan pasir. Sumberdaya mineral bukan logam ini terbentuk karena proses pengendapan atau sedimentasi dalam waktu geologi yang cukup panjang. Sebagai contoh di daerah dataran rendah Sumatra bagian timur, terutama di daerah Sumatra bagian Selatan, terdapat banyak potensi batubara didalam batuan sedimen yang berumur tersier. Demikian pula di Kalimantan Selatan dan Timur banyak endapan batubara yang sedang ditambang dan masih banyak potensi yang belum dikembangkan. Adapun batu gamping, batu pasir dan bahan galian lainnya, termasuk batuan volkanik yang berasal dari gunung api, banyak terdapat dalam penyebaran yang sangat luas diseluruh Indonesia. PENYEBARAN KAWASAN HUTAN Kawasan Hutan merupakan wilayah tertentu yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Berdasarkan fungsinya, menurut Undang-Undang 41 / 1999 hutan di Indonesia dibedakan dalam beberapa macam, yaitu: Hutan Produksi, Hutan Lindung, Hutan konservasi, Hutan Suaka Alam, Hutan Pelestarian Alam, dan Hutan Taman Buru. Berdasarkan statusnya (hubungannya dengan hak kepemilikan tanah), dibedakan antara Hutan Negara, Hutan Hak dan Hutan Adat. Hutan Lindung dan Hutan Taman Nasional. Dalam Peta Gambar-2 diperlihatkan penyebaran kawasan hutan di Indonesia, yaitu Kawasan Hutan Taman Nasional dan Hutan Lindung. Kedua jenis hutan ini sengaja diperlihatkan secara khusus karena pemakaian wilayah kedua jenis hutan terhadap bidang pertambangan adalah sangat ketat. Ayat 4 Pasal 38 dari UU 41 / 1999 menyebutkan bahwa pada kawasan Hutan Lindung dilarang menlakukan penembangan dengan pola pertambangan terbuka, apalagi di dalam hutan yang mempunyai fungsi lebih tinggi seperti Hutan Konservasi, Taman Suaka Alam, Taman Nasional dsb. Kawasan Hutan Lindung dan Taman Nasional sebagian besar terletak di daerah pegunungan, seperti di sepanjang Bukit Barisan, Pegunungan Selatan Jawa, Pegunungan Meratus, Pegunungan di Kalimantan bagian Tengah (Pegunungan Schwaner, Muller), Pegunungan Sulawesi Selatan Utara, Pegunungan Irian Jaya. Juga pada sebagian daerah dataran rendah Sumatra, Kalimantan, Maluku dan Irian Jaya. TUMPANG TINDIH ANTARA DAERAH POTENSI SUMBERDAYA MINERAL DAN KAWASAN HUTAN Berdasarkan penyebarannya, Kawasan Hutan ternyata terletak secara tumpang tindih dengan daerah yang secara

geologi merupakan daerah potensi Sumberdaya mineral, terutama sumberdaya mineral logam. Lihat Gambar-2. Ini berarti bahwa Kawasan Hutan menutupi daerah penyebaran sumberdaya mineral yang terletak pada atau dibawah permukaan tanah, terutama di daerah pegunungan seperti tersebut diatas. Didaerah tumpang tindih tersebut, siapapun yang akan menyelidiki potensi sumberdaya mineral harus menembus atau melaui wilayah hutan. Hal ini seringkali menimbulkan permasalahan, karena Departemen Kehutanan dengan bertumpu pada Undang-Undang 41 / 2001 tidak mudah mengeluarkan ijin untuk memberikan ijin penyelidikan pertambangan didalam wilayah Hutan Lindung dan hutanhutan lain yang mempunyai fungsi lebih tinggi. Apabila ditinjau secara cermat isi dari Pasal 3 Ayat 33 Undang-Undang Dasar 1945, maka baik Hutan maupun Bahan Galian Tambang kedua-duanya merupakan kekayaan nasional : Bumi, air, udara dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat . Masaalah tumpang tindih adalah masalah alamiah, suatu masalah yang tidak dapat dihindari karena penyebaran hutan dan penyebaran sumberdaya mineral keduanya adalah proses alam. Manusia tidak dapat mengatur lokasi pembentukan bahan galian tambang dan juga tidak dapat mengatur pembentukan jenis tanaman hutan dan satwa yang tinggal di dalamnya. Kita hanya menerima apa adanya, tetapi kita harus dapat memanfaatkan seoptimal mungkin untuk kemakmuran rakyat. Oleh karena itu harus diciptakan peraturan perundangan yang dapat mengakomodasi semua kepentingan sektoral dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup. PERMASALAHAN PERTAMBANGAN ANTARA KEHUTANAN DAN

Karena sifatnya yang tumpang tidih secara alamiah, maka sejak awal telah terjadi permasalahan antara sektor kehutanan dan pertambangan karena perbedaan kepentingan. Dari Sektor Kehutanan dipegang prinsip untuk mempertahankan seluruh kawasan hutan agar tetap tidak berubah. Hutan akan dikelola untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Sebaliknya, Sektor Pertambangan menghendaki agar semua wilayah yang mengandung potensi sumberdaya mineral dapat diselidiki, diinventarisasi dan kalau mungkin dieksploitasi. Pengelolaan pertambangan juga bertujuan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Dari uraian diatas yang telah dituangkan dalam undangundang dari masing-masing sektor terlihat bahwa pengelolaan terhadap kedua sektor tersemut mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Yang berbeda dan yang menjadi masalah adalah bahwa letak kedua sumberdaya alam tersebut berimpitan atau saling tumpang

tindih. Sumberdaya hutan terdapat diatas tanah yang secara alamiah selalu terletak diatas penyebaran sumberdaya mineral, sehingga daerah penyebaran mineral banyak tertutup oleh wilayah hutan. Lihat Gambar-3. Prosentasi daerah potensi sumberdaya mineral yang tertutup oleh Hutan Lindung dan Cagar Alam dari berbagai pulau di Indonesia adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Sumatra Kalimantan Sulawesi Jawa Bali Nusa Tenggara Maluku Irian Jaya : : : : : : : 44 % 19 % 26 % 6% 43 % 7% 68 %

Kalau dilihat secara keseluruhan, maka isi Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah mengenai hutan semata yang berdasarkan sifat dan karakteristiknya terletak diatas permukaan tanah Undang-undang ini belum memuat pemikiran mengenai maanfaat lain dari sumberdaya alam lainnya, terutama potensi sumberdaya mineral yang keberadaannya terletak dibawah permukaan tanah yang sebagian besar tertutup oleh hutan. Karena hutan bukanlah satu-satunya kekayaan alam milik bangsa dan negara, dan Undang-Undang Kehutanan menghalangi kesempatan pengembangan sektor pertambangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya mineral yang terletak dibawah permukaan tanah dan sebagian tertutup oleh hutan, maka Ketetapan MPR dalam Pasal 6 tersebut diatas perlu segera dilaksanakan. PENGKAJIAN KEMBALI POTENSI SUMBERDAYA ALAM Perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan mengenai pengelolaan sumberdaya alam harus didasarkan kepada azas manfaat, yaitu agar semua kekayaan alam yang merupakan Rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan bangsa dan negara untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Pengelolaan sumberdaya alam harus mempertimbangan lingkungan hidup dan kelangsungan hidup masyarakat menuju kepada kehidupan yang lebih baik. Dengan memperhatikan sifat alamiah mengenai penyebaran, sifat dan karakteristik dari masing-masing jenis sumberdaya alam tersebut, maka perlu diambil langkah-langkah konkri dalam waktu secepatnya agar dapat dibuat suatu pegangan yang baik dalam pengelolaan sumberdaya alam secara nasional. Untuk mendapatkan data dan informasi yang akurat mengenai penyebaran dua potensi sumberdaya alam yang pengelolaannya sering berbenturan, yaitu sumberdaya mineral dan hutan, langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:

Jika hanya dilihat dari posisinya terhadap satu sama lain, maka posisi wilayah hutan lebih baik dari posisi wilayah pertambangan, karena hutan terletak dipermukaan bumi, sedangkan bahan galian tambang terletak dibawah permukaan. Jika wilayah Hutan Lindung dan Cagar alam akan dipertahankan luasnya dan tidak dapat digunakan untuk maksud lain, maka akan banyak sekali daerah potensi sumberdaya mineral yang tidak dapat diselidiki untuk dimanfaatkan bagi kepentingan bangsa dan negara. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang 41 Tahun 1999, maka benturan antara kepentingan Sektor Kehutanan dan Sektor Pertambangan menjadi semakin besar dan meluas. Hal ini tidak memberikan keuntungan kepada siapapun, kecuali menghambat pencapaian masyarakat adil makmur yang dicita-citakan oleh seluruh Bangsa Indonesia. Dilain pihak Undang-Undang Pokok Pertambangan No.11 Tahun 1967 dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi pada saat sekarang. Benturan kepentingan ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut, perlu dicarikan jalan keluar secepatnya, kecuali kalau kita puas oleh harapan dan pujian bahwa Indonesia memerlukan paru-paru dunia, sehingga luas kawasan hutan harus dipertahankan tanpa melihat kepentingan manfaat lain. KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT Dalam Sidang Tahunan Tahun 2001, Majelis Permusawaratan Rakyat telah mengeluarkan ketetapan mengenai Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Dalam pertimbangannya, MPR telah mengakui peraturan dan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya agraria/sumberdaya alam saling tumpang tindih dan bertentangan, tentunya termasuk pertentangan antara kepentingan sektor kehutanan dan sektor pertambangan. Dalam Pasal 6, MPR telah memerintahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia bersama dengan Presiden Republik Indonesia untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan MPR tersebut.

1.

Inventarisasi Penyebaran Potensi Sumberdaya Mineral.

Peta mengenai penyebaran sumberdaya mineral telah dibuat oleh berbagai lembaga pemerintah, seperti Direktorat Sumberdaya Mineral, LIPI dan lembaga lain. Pete-peta tersebut sudah memadai untuk dijadikan dasar untuk evaluasi potensi sumberdaya mineral. Meskipun demikian, pengkajian dan kegiatan inventarisasi mengenai sumberdaya mineral di Indonesia perlu dilanjutkan untuk memutakhirkan data dan informasi. Lokasi atau distribusi sumberdaya mineral pada setiap daerah Kabupaten / Kota sangat diperlukan untuk digunakan sebagai dasar pembuatan Rencana Tata Ruang dari setiap Kabupaten/Kota, agar keberadaan potensi mineral dapat diketahui untuk dikembangkan se-optimal mungkin.

2.

Pengkajian ulang Kawasan Hutan.

Kawasan Hutan telah ditetapkan oleh Pemerintah, baik sebelum dan setelah Kemerdekaan Republik Indonesia. Sesuai dengan sifat alamiahnya, Kawasan Hutan menutupi

wilayah daratan, termasuk menutupi daerah-daerah yang mengandung potensi sumberdaya mineral. Yang sangat menarik ialah adanya kenyataan bahwa banyak sekali daerah, terutama di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya yang oleh Pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu ditetapkan sebagai daerah Hutan tertutup yang menutupi daerah penyebaran sumberdaya mineral. Hal ini perlu dipertanyakan, apakah penetapan itu masih sesuai dengan Ketetapan MPR tahun 2001. Apakah wilayah hutan yang ada sudah sesuai dengan kriteria kehutanan yang objektif atau ada maksud lain untuk menutupi daerah potensi bahan galian untuk maksud strategis jangka panjang Pemerintah Hindia Belanda. Pertanyaan ini timbul karena kita selamanya tidak akan dapat mengembangkan potensi sumberdaya mineral disuatu daerah kalau tertutup oleh Hutan yang ditetapkan kelestariannya tanpa mementingkan kepentingan makro dari sumberdaya alam. Demikian pula perlu ditinjau kembali penetapan Kawasan Hutan yang dibuat secara sektoral setelah proklamasi Kemerdekaan RI. Menurut beberapa sumber resmi dinyatakan bahwa UU 41 /1999 mengenai Kehutanan mempunyai cacat hukum karena dalam proses pemibuatannya tanpa mendapatkan masukan dari sektor pertambangan, sehingga bersifat sepihak dan sektoral.

development). Dengan adanya program pemberdayaan masyarakat, maka setelah tambang ditutup, masyarakat disekitar lokasi tambang telah menjadi masyarakat mandiri yang lebih maju, lebih sejahtera dan dapat mengembangkan dirinya dari hasil atau manfaat penambangan di daerah mereka. Dengan demikian, maka pembangunan yang diawali dengan kegiatan pertambangan dapat diteruskan secara berkesinambungan sampai kepada generasi berikutnya (pembangunana yang berkesinambungan). b. Sumberdaya hutan. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sifat sumberdaya hutan berbeda dengan sumberdaya mineral. Secara umum sumberdaya hayati , misalnya pepohonan merupakan sumberdaya yang terbarukan (renewable resources). Artinya secara teoritis, pohon yang ditebang dapat diganti pohon baru melalui proses penanaman kembali. Kecuali ada beberapa species pohon atau tanaman yang hanya dapat hidup didaerah tertentu yang memerlukan persyaratan khusus, seperti bunga raksasa Rafflesia Arnoldi. Secara umum hutan mempunyai penyebaran yang sangat luas, apalagi di Indonesia yang merupakan hutan tropis. Investasi di bidang kehutanan memiliki resiko yang relatif lebih kecil daripada investasi di sektor pertambangan, teknologi terbatas, dapat dikelola dengan cara padat karya, cepat memberikan hasil, wktu persiapan sebelum produksi singkat, terbarukan dan nilai suatu lahan untuk kehutanan lebih kecil daripada nilai lahan yang sama luasnya yang diperuntukan bagi pertambangan. Berdasarkan sifat kehutanan yang lebih mudah dikelola tersebut, maka pengelolaan hutan lebih dapat ditangani secara lebih fleksible dengan tidak mengurangi fungsi hutan secara mendasar, pelestarian hutan dapat dilaksanakan, pelestarian species dapat diusahakan. Dengan memperhatikan segala aspek, tentunya negara yang menguasai sumberdaya alam (Ayat 3, UUD 45) dapat mengatur sumberdaya hutan, mengatur tata ruangnya agar semua sumberdaya yang dimiliki negara dapat dikelola dan dimanfaatkan seoptimal mungkin. BEBERAPA HAL PERTAMBANGAN MENGENAI UNDANG-UNDANG

3.

Kebijaksanaan Pengelolaan Sumberdaya Alam

Untuk menghindari masalah yang timbul antara sektor pertambangan dan kehutanan yang ditimbulkan karena terjadinya tumpang tindih secara alamiah antara kedua sektor ini, maka perlu dirumuskan dan ditetapkan peraturan perundangan baru mengenai Pengelolaan Sumberdaya alam yang bersifat padu (integratif). a. Sumberdaya mineral memiliki sifat yang khusus : lokasi penyebaran dan ukurannya terbatas, terdapat didalam bumi mulai dari permukaan tanah sampai kedalaman tertentu, hanya dapat ditambang satukali karena tak terbarukan (non-renewable resources), waktu pemanfaatannya terbatas (hanya beberapa tahun), resiko investasi sangat tinggi, padat modal dan teknologi, persiapan sebelum penambangan lama (lebih kurang 5 tahun). Karena letak potensi sumberdaya mineral pada umumnya didaerah pedalaman (remote areas), maka pembukaan suatu tambang akan menjadi pemicu pembangunan dan pengembangan daerah tertinggal dan memberikan dampak ganda yang positif dalam berbagai sektor (multiplier effects). Oleh karena sifat-sifatnya tersebut, maka penambangan suatu bahan galian di suatu tempat harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Selain perhitungan cost benefit ratio agar memberikan manfaat kepada semua fihak, yang perlu dipertimbangkan adalah agar kegiatan penambangan tersebut bermanfaat pula bagi generasi mendatang. Untuk itu pada setiap pembukaan tambang baru perlu disiapkan proses pemberdayaan masyarakat setempat (community

Dari uraian yang sederhana seperti tersebut diatas, dan berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.IX dan No.X tahun 2001, maka kedalam rencana perubahan Undang-Undang No 11 Tahun 1967 mengenai

Pokok-Pokok Pertambangan perlu dimasukkan dasar kebijaksanaan mengenai semua sumberdaya alam agar dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat secara adil berdasarkan pemikiran yang komprehensif serta berwawasan lingkungan, baik untuk kepentingan sekarang maupun untuk kepentingan generasi yang akan datang. Untuk memperbaiki Undang- Undang Pertambangan, perlu dikaji secara mendalam beberapa hal yang sangat mendasar mengenai pengelolaan sumberdaya mineral sebagai berikut: 1. Karena memiliki sifat alamiah yang khusus (penyebaran terbatas, dipermukaan dan didalam tanah, nilai tinggi, memerlukan investasi padat modal dan teknologi, tak terbarukan, umumnya di daerah terpencil, bermanfaat sebagai pemicu pembangunan di daerah dengan efek ganda / multiplier effect yang positif, dan dapat dikelola dengan dampak lingkungan terkendali), maka pengelolaan sumberdaya mineral harus diberi prioritas pertama daripada sumberdaya lainnya. Sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, pemerintah berhak dan wajib melakukan inventarisasi terhadap potensi sumberdaya mineral diseluruh wilayah kedaulatan Republik Indonesia, termasuk seluruh Wilayah Kehutanan di dalamnya. Dalam pengelolaan sumberdaya mineral harus dimasukkan perihal mengenai peranan, hak dan kewajiban masyarakat stempat secara luas dalam bidang sosial, ekonomi dan budaya / adat setempat. Semua fihak yang akan mengusahakan sumberdaya mineral, baik pemerintah maupun swasta, diwajibkan membuat dan melaksanakan program pemberdayaan masyarakat, bersama dengan Pemerintad Daerah setempat. Hal ini diperlukan agar pembangunan di sektor pertambangan merupakan kegiatan yang berkesinambungan, baik untuk generasi sekarang, maupun untuk generasi yang akan datang. Setiap usaha pertambangan harus dilakukan dalam wawasan Lingkungan Hidup.

Jakarta, 4 Desember 2001.

2.

3.

4.

5.

Mengingat kebutuhan yang sangat mendesak untuk memperbaiki keadaan negara pada saat ini yang mengalami krisis disegala sektor, maka perlu segera dibentuk Kelompok Kerja yang terdiri dari para ahli dari berbagai bidang ilmu dan teknologi terkait dengan menyertakan instansi pemerintah dan non-pemerintah, tokoh masyarakat, pemuka adat, dan berbagai fihak yang perlu diikut sertakan dalam menetapkan kebijaksanaan negara di bidang sumberdaya alam. Sebelum terbentuknya Undang-Undang yang baru mengenai Pertambangan dan Kehutanan, perlu diambil langkah-langkah strategis agar pembangunan dalam kedua sektor ini tidak terhambat. Untuk itu perlu dibuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang mengenai Pertambangan.

Anda mungkin juga menyukai