Anda di halaman 1dari 30

TINJAUAN PUSTAKA

Aspek Klinis dan Epidemiologis Penyakit Kanker Payudara


MASDALINA PANE Program Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta

Pendahuluan Kanker adalah salah satu penyakit yang banyak menimbulkan kesengsaraan dan kematian pada manusia. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab kematian nomor 2 setelah penyakitpenyakit kardiovaskular (Ama, 1990). Diperkirakan, kematian akibat kanker di dunia mencapai 4,3 juta per tahun dan 2,3 juta di antaranya ditemukan di negara berkembang. Jumlah penderita baru per tahun 5,9 juta di seluruh dunia dan 3 juta di antaranya ditemukan di negara sedang berkembang (Parkin,et al 1988 dalam Sirait, 1996). Di Indonesia diperkirakan terdapat 100 penderita kanker baru untuk setiap 100.000 penduduk per tahunnya. Prevalensi penderita kanker meningkat dari tahun ke tahun akibat peningkatan angka harapan hidup, sosial ekonomi, serta perubahan pola penyakit (Tjindarbumi, 1995). Menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1992, kanker menduduki urutan ke-9 dari 10 penyakit terbesar penyebab utama kematian di Indonesia. Angka proporsi penyakit kanker di Indonesia cenderung meningkat dari 3,4 (SKRT 1980) menjadi 4,3 (SKRT 1986), 4,4 (SKRT 1992), dan 5,0 (SKRT 1995). Data Profil Kesehatan RI 1995 menunjukkan bahwa proporsi kanker yang dirawat inap di rumah sakit di Indonesia mengalami peningkatan dari 4,0% menjadi 4,1%. Selain itu, peningkatan proporsi penderita yang dirawat inap juga terjadi peningkatan di rumah sakit DKI Jakarta pada 1993 dan 1994, dari 4,5% menjadi 4,6%. Kanker payudara sering ditemukan di seluruh dunia dengan insidens relatif tinggi, yaitu 20% dari seluruh keganasan (Tjahjadi, 1995). Dari 600.000 kasus kanker payudara baru yang didiagnosis setiap tahunnya. Sebanyak 350.000 di antaranya ditemukan di negara maju, sedangkan 250.000 di negara yang sedang berkembang (Moningkey, 2000). Di Amerika Serikat, keganasan ini paling sering terjadi pada wanita dewasa. Diperkirakan di AS 175.000 wanita didiagnosis menderita kanker payudara yang mewakili 32% dari semua kanker yang menyerang wanita. Bahkan, disebutkan dari 150.000 penderita kanker payudara yang berobat ke rumah sakit, 44.000 orang di antaranya meninggal setiap tahunnya (Oemiati, 1999). American Cancer Society memperkirakan kanker payudara di Amerika akan mencapai 2 juta dan 460.000 di antaranya meninggal antara 1990-2000 (Moningkey, 2000). Kanker payudara merupakan kanker terbanyak kedua sesudah kanker leher rahim di Indonesia (Tjindarbumi, 1995). Sejak 1988 sampai 1992, keganasan tersering di Indonesia tidak banyak berubah. Kanker leher rahim dan kanker payudara tetap menduduki tempat teratas. Selain jumlah kasus yang banyak, lebih dari 70% penderita kanker payudara ditemukan pada stadium lanjut (Moningkey, 2000). Data dari Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa Case Fatality Rate (CFR) akibat kanker payudara menurut golongan penyebab sakit menunjukkan peningkatan dari tahun 1992-1993, yaitu dari 3,9 menjadi 7,8 (Ambarsari, 1998). Gejala permulaan kanker payudara sering tidak disadari atau dirasakan dengan jelas oleh penderita sehingga banyak penderita yang berobat dalam keadaan lanjut. Hal inilah yang menyebabkan tingginya angka kematian kanker tersebut. Padahal, pada stadium dini kematian akibat kanker masih dapat dicegah. Tjindarbumi (1982) mengatakan, bila penyakit kanker payudara ditemukan dalam stadium dini, angka harapan hidupnya (life expectancy) tinggi, berkisar antara 85 s.d. 95%. Namun, dikatakannya pula bahwa 70--90% penderita datang ke rumah sakit setelah penyakit parah, yaitu setelah masuk dalam stadium lanjut. Pengobatan kanker pada stadium lanjut sangat sukar dan hasilnya sangat tidak memuaskan. Pengobatan kuratif untuk kanker umumnya operasi dan atau radiasi. Pengobatan pada stadium dini untuk kanker payudara menghasilkan kesembuhan 75% (Ama, 1990). Pengobatan pada penderita

kanker memerlukan teknologi canggih, ketrampilan, dan pengalaman yang luas. Perlu peningkatan upaya pelayanan kesehatan, khususnya di RS karena jumlah yang sakit terus-menerus meningkat, terlebih menyangkut golongan umur produktif. Sebagai tolak ukur keberhasilan pengobatan kanker, termasuk kanker payudara, biasanya adalah 5 year survival (ketahanan hidup 5 tahun) (Sirait, 1996). Vadya dan Shukla menyatakan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi prognosis dan ketahanan hidup penderita kanker payudara adalah besar tumor, status kelenjar getah bening regional, skin oedema pembengkakan kulit, status menopause, perkembangan sel tumor, residual tumor burden (tumor sisa), jenis patologinya, dan metastase, terapi, serta reseptor estrogen. Selain itu, ditambahkan pula dengan umur dan besar payudara. Azis FM dkk. menyatakan bahwa ketahanan hidup penderita kanker dipengaruhi oleh pengobatan, ukuran tumor, jenis histologi, ada tidaknya invasi ke pembuluh darah, anemia, dan penyulit seperti hipertensi. Dalam Vadya dikatakan bahwa untuk ukuran tumor < 2 cm, ketahanan hidup 5 tahun sebesar 73%. Hal ini sangat berbeda untuk ukuran tumor 3-6 cm yang angka ketahanan hidupnya sangat rendah, yaitu 24%. Selain itu, ukuran tumor yang lebih besar berhubungan dengan kelenjar limfa. Dalam ukuran kanker yang lebih besar, kelenjar limfa yang melekat (involved) menjadi lebih banyak. Tjindarbumi (1982) melaporkan pengobatan kanker payudara dengan simpel mastektomi tanpa sinar memberikan ketahanan hidup 79% dan mastektomi radikal memberikan ketahanan hidup 5 tahun 70-95%. Informasi tentang faktor-faktor ketahanan hidup memberikan manfaat yang besar. Bukan hanya untuk peningkatan penanganan penderita kanker payudara, tapi juga untuk memberikan informasi yang cukup kepada masyarakat tentang kanker payudara dan perkembangan serta prognosis penyakit tersebut di masa mendatang. Pengertian Kanker Payudara Kanker payudara (Carcinoma mammae) adalah suatu penyakit neoplasma yang ganas yang berasal dari parenchyma. Penyakit ini oleh Word Health Organization (WHO) dimasukkan ke dalam International Classification of Diseases (ICD) dengan kode nomor 174. Penyebab Kanker Payudara Sampai saat ini, penyebab kanker payudara belum diketahui secara pasti. Penyebab kanker payudara termasuk multifaktorial, yaitu banyak faktor yang terkait satu dengan yang lain. Beberapa faktor yang diperkirakan mempunyai pengaruh besar dalam terjadinya kanker payudara adalah riwayat keluarga, hormonal, dan faktor lain yang bersifat eksogen (Soetrisno, 1988). Gejala Klinis Gejala klinis kanker payudara dapat berupa benjolan pada payudara, erosi atau eksema puting susu, atau berupa pendarahan pada puting susu. Umumnya berupa benjolan yang tidak nyeri pada payudara. Benjolan itu mula-mula kecil, makin lama makin besar, lalu melekat pada kulit atau menimbulkan perubahan pada kulit payudara atau pada puting susu. Kulit atau puting susu tadi menjadi tertarik ke dalam (retraksi), berwarna merah muda atau kecoklat-coklatan sampai menjadi oedema hingga kulit kelihatan seperti kulit jeruk (peau d'orange), mengkerut, atau timbul borok (ulkus) pada payudara. Borok itu makin lama makin besar dan mendalam sehingga dapat menghancurkan seluruh payudara, sering berbau busuk, dan mudah berdarah. Rasa sakit atau nyeri pada umumnya baru timbul kalau tumor sudah besar, sudah timbul borok, atau kalau sudah ada metastase ke tulangtulang. Kemudian timbul pembesaran kelenjar getah bening di ketiak, bengkak (edema) pada lengan, dan penyebaran kanker ke seluruh tubuh (Handoyo, 1990). Kanker payudara lanjut sangat mudah dikenali dengan mengetahui kriteria operbilitas Heagensen sebagai berikut: terdapat edema luas pada kulit payudara (lebih 1/3 luas kulit payudara); adanya nodul satelit pada kulit payudara; kanker payudara jenis mastitis karsinimatosa; terdapat model parasternal; terdapat nodul supraklavikula; adanya edema lengan; adanya metastase jauh; serta terdapat dua dari tanda-tanda locally advanced, yaitu ulserasi kulit, edema kulit, kulit terfiksasi pada

dinding toraks, kelenjar getah bening aksila berdiameter lebih 2,5 cm, dan kelenjar getah bening aksila melekat satu sama lain. Faktor Risiko (Moningkey dan Kodim, 1998) Penyebab spesifik kanker payudara masih belum diketahui, tetapi terdapat banyak faktor yang diperkirakan mempunyai pengaruh terhadap terjadinya kanker payudara. Faktor reproduksi Karakteristik reproduktif yang berhubungan dengan risiko terjadinya kanker payudara adalah nuliparitas, menarche pada umur muda, menopause pada umur lebih tua, dan kehamilan pertama pada umur tua. Risiko utama kanker payudara adalah bertambahnya umur. Diperkirakan, periode antara terjadinya haid pertama dengan umur saat kehamilan pertama merupakan window of initiation perkembangan kanker payudara. Secara anatomi dan fungsional, payudara akan mengalami atrofi dengan bertambahnya umur. Kurang dari 25% kanker payudara terjadi pada masa sebelum menopause sehingga diperkirakan awal terjadinya tumor terjadi jauh sebelum terjadinya perubahan klinis. Penggunaan hormon Hormon eksogen berhubungan dengan terjadinya kanker payudara. Laporan dari Harvard School of Public Health menyatakan bahwa terdapat peningkatan kanker payudara yang bermakna pada para pengguna terapi estrogen replacement. Suatu metaanalisis menyatakan bahwa walaupun tidak terdapat risiko kanker payudara pada pengguna kontrasepsi oral, wanita yang menggunakan obat ini untuk waktu yang lama mempunyai risiko tinggi untuk mengalami kanker ini sebelum menopause. Penyakit fibrokistik Pada wanita dengan adenosis, fibroadenoma, dan fibrosis, tidak ada peningkatan risiko terjadinya kanker payudara. Pada hiperplasis dan papiloma, risiko sedikit meningkat 1,5 sampai 2 kali. Sedangkan pada hiperplasia atipik, risiko meningkat hingga 5 kali. Obesitas Terdapat hubungan yang positif antara berat badan dan bentuk tubuh dengan kanker payudara pada wanita pasca menopause. Variasi terhadap kekerapan kanker ini di negara-negara Barat dan bukan Barat serta perubahan kekerapan sesudah migrasi menunjukkan bahwa terdapat pengaruh diet terhadap terjadinya keganasan ini. Konsumsi lemak Konsumsi lemak diperkirakan sebagai suatu faktor risiko terjadinya kanker payudara. Willet dkk., melakukan studi prospektif selama 8 tahun tentang konsumsi lemak dan serat dalam hubungannya dengan risiko kanker payudara pada wanita umur 34 sampai 59 tahun. Radiasi Eksposur dengan radiasi ionisasi selama atau sesudah pubertas meningkatkan terjadinya risiko kanker payudara. Dari beberapa penelitian yang dilakukan disimpulkan bahwa risiko kanker radiasi berhubungan secara linier dengan dosis dan umur saat terjadinya eksposur. Riwayat keluarga dan faktor genetik Riwayat keluarga merupakan komponen yang penting dalam riwayat penderita yang akan dilaksanakan skrining untuk kanker payudara. Terdapat peningkatan risiko keganasan ini pada wanita yang keluarganya menderita kanker payudara. Pada studi genetik ditemukan bahwa kanker payudara

berhubungan dengan gen tertentu. Apabila terdapat BRCA 1, yaitu suatu gen suseptibilitas kanker payudara, probabilitas untuk terjadi kanker payudara sebesar 60% pada umur 50 tahun dan sebesar 85% pada umur 70 tahun. Gambaran Patologi Anatomi Kanker Payudara Stadium Klinik Klasifikasi stadium klinik pada kanker payudara ada beberapa jenis. Mula-mula stadium klinik Stental yang membagi kanker payudara dalam 3 stadium, Portman membagi kanker payudara dalam 4 stadium, Manchester sistem yang juga membagi kanker payudara dalam 4 stadium, dan terakhir yang sekarang digunakan di hampir seluruh pusat ilmu kedokteran adalah klasifikasi TNM yang ditemukan oleh Denoix 1962. Berdasarkan sistem ini, diadakan stadium klinik I, II, III, dan IV dengan formula sebagai berikut: (Tjindarbumi, 1982) 1. Stadium I: T1a/bNoMo T1a/bNoMo 2. Stadium II: ToN1bMo T1a/bNIbMo TIIa/bNo/1aMo TIIa/bN1/bMo 3. Stadium III: TIIINo-1Mo TIIINII-IIIMo TIVwith every Nmo Every T with NII-IIIMo 4. Stadium IV: Tumor yang sudah lanjut Keterangan: TIS: Carcinoma in situ adalah non infiltrating intraductal carcinoma atau paget's disease dimana tak teraba tumor. To: Tumor tak teraba, tetapi dapat dilihat pada mamografi T1: Tumor kurang dari 2 cm T1a: Tidak ada perlengketan dengan fascia pectoralis atau otot T1b: Adanya fixasi dengan fascia pectoralis atau otot T2: Tumor antara 2 sampai dengan 5 cm T2a: Belum adanya perlengketan dengan fascia pectoralis atau otot T2b: Sudah ada fixasi dengan fascia pectoralis atau otot T3: Tumor lebih dari 5 cm penampangnya. T3a: Belum ada perlengketan dengan fascia pectoralis atau otot T3b: Sudah ada fiksasi dengan fascia pectoralis atau otot T4: Tumor dengan segala ukuran dimana extensinya telah mencapai dinding toraks atau kulit (dinding toraks di sini termasuk iga otot-otot intercostal dan musculus serratus anterior tapi belum musculus pectoralis). T4a: Sudah ada fiksasi dengan dinding toraks T4b: Terdapat oedema, infiltrasi atau ulcerasi dari kulit payudara atau satelit nodul pada payudara yang sama. No: Kelenjar getah bening homolateral tak dapat diraba N1: Kelenjar getah bening homolateral dapat digerakkan N1a: Kelenjar getah bening dianggap tidak membesar N1b: Kelenjar getah bening dianggap dapat membesar N2: Kelenjar getah bening homolateral yang melekat satu sama lain atau pada jaringan sekitarnya. N3: Kelenjar getah bening supraclavicular homolateral atau infra claviculer homolateral atau oedema di lengan. Mo: Tidak terdapat metastase jauh M1: Sudah terdapat metastase jauh.

Pengobatan Kanker Ada beberapa pengobatan kanker payudara yang penerapannya banyak tergantung pada stadium klinik penyakit (Tjindarbumi, 1994), yaitu:

1. Mastektomi
Mastektomi adalah operasi pengangkatan payudara. Ada 4 jenis mastektomi (Hirshaut & Pressman, 1992): Modified Radical Mastectomy, yaitu operasi pengangkatan seluruh payudara, jaringan payudara di tulang dada, tulang selangka dan tulang iga, serta benjolan di sekitar ketiak.

a. b. Total (Simple) Mastectomy, yaitu operasi pengangkatan seluruh payudara saja, b. Radical Mastectomy, yaitu operasi pengangkatan sebagian dari payudara. Biasanya
disebut lumpectomy, yaitu pengangkatan hanya pada jaringan yang mengandung sel kanker, bukan seluruh payudara. Operasi ini selalu diikuti dengan pemberian radioterapi. Biasanya lumpectomy direkomendasikan pada pasien yang besar tumornya kurang dari 2 cm dan letaknya di pinggir payudara. 2. Penyinaran/radiasi Yang dimaksud radiasi adalah proses penyinaran pada daerah yang terkena kanker dengan menggunakan sinar X dan sinar gamma yang bertujuan membunuh sel kanker yang masih tersisa di payudara setelah operasi (Denton, 1996). Efek pengobatan ini tubuh menjadi lemah, nafsu makan berkurang, warna kulit di sekitar payudara menjadi hitam, serta Hb dan leukosit cenderung menurun sebagai akibat dari radiasi. 3. Kemoterapi Kemoterapi adalah proses pemberian obat-obatan anti kanker dalam bentuk pil cair atau kapsul atau melalui infus yang bertujuan membunuh sel kanker. Tidak hanya sel kanker pada payudara, tapi juga di seluruh tubuh (Denton, 1996). Efek dari kemoterapi adalah pasien mengalami mual dan muntah serta rambut rontok karena pengaruh obat-obatan yang diberikan pada saat kemoterapi. Ketahanan Hidup Penderita Kanker Menurut Aziz, FM, dkk. (1985), ketahanan hidup penderita kanker dipengaruhi oleh stadium klinik, pengobatan, ukuran tumor, jenis histologi, ada tidaknya metastase ke pembuluh darah, anemia, dan hipertensi (penyakit penyerta). Sedangkan Rusmiyati (1987) menyatakan bahwa hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan ketahanan hidup adalah umur, keadaan umum, fisik, stadium klinik, ciri-ciri histologis sel-sel tumor, gambaran sitologis dari kanker, gambaran makroskopis dari kanker, kemampuan ahli yang menangani, sarana pengobatan yang tersedia, dan status ekonomi. Hack, KD (1994) menyatakan bahwa ketahanan hidup tergantung dari adanya metastase ke kelenjar getah bening, besar lesi, kedalaman infiltrasi, adanya metastase ke parametrium, serta adanya metastase ke pembuluh darah. Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis dan ketahanan hidup penderita kanker payudara adalah (Vadya and Shukla): ukuran tumor, kelenjar getah bening regional, skin oedema (pembengkakan pada kulit), status menopause, pertumbuhan tumor, residual tumor burden (tumor sisa), pengobatan pada tumor awal, faktor-faktor patologi, dan reseptor estrogen. Selain itu, faktor-faktor lainnya yang secara tidak langsung mempengaruhi prognosis adalah ukuran payudara dan jenis kelamin. tetapi bukan kelenjar di ketiak.

Ukuran tumor Ukuran tumor awal berhubungan dengan ketahanan hidup lima tahun pada penderita kanker payudara. Tumor yang lebih kecil lebih tinggi ketahanan hidup lima tahunnya. Hal ini terlihat pada tabel 1. Telah diobservasi bahwa apabila kelenjar getah bening ketiak negatif, insiden ketahanan hidupnya lebih tinggi dibandingkan dengan penderita yang positif kelenjar getah beningnya. Tidak hanya perlekatan dari masalah kelenjar getah bening, tapi juga jumlah kelenjar getah bening yang bermetastase mempunyai pengaruh terhadap prognosis. Titik kritikalnya adalah tingkat tiga perlekatan kelenjar getah bening sampai tiga kelenjar getah bening yang melekat, 5 dan 10 tahun ketahanan hidupnya adalah 62% dan 38%. Sedangkan 4 kelenjar getah bening atau lebih, ketahan hidup 5 tahunnya menjadi 32% dan ketahanan hidup 10 tahunnya 13% . Perlengketan dari kulit kelenjar payudara mengakibatkan pembengkakan yang memberikan pengaruh terhadap prognosis kanker payudara. Pengamatan pada penderita yang kulitnya melekat 0.04 mm, bebas dari lokal requrents sampai 3 tahun. Ketika penderita kulitnya melekat dari 0,08 mm dan 0,12 mm berkembang dari lokal requrentsnya. Ini ditemukan secara signifikan. Status menopouse Gallent meyakinkan bahwa kanker payudara yang ditemukan setelah cessation mensturasi selama regular reimained menimbulkan kesehatan yang baik. Dua kelompok pre- dan postmenoupouse diobati dengan kemoterapi dan plasebo. Hasilnya menunjukkan pada postmenopouse yang diobati dengan kemoterapi recurrence rate (laju kekambuhan) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok premenoupouse. Perkembangan tumor Skipper 1974 mengamati bahwa pada sel tumor yang jumlahnya meningkat lebih dari 10 juta kemudian melekat pada kelenjar getah bening, mempengaruhi 5 dan 10 tahun ketahanan hidup penderita kanker. Residual tumor burden Pada kasus yang sama, residual tumor burden mengikuti pembedahan pada penderita kanker payudara dan mempengaruhi prognosis. Jika residual tumor burdennya tinggi, prognosisnya jelek. Pengobatan pada tumor Haagensen 1951 mengatakan bahwa ketahanan hidup 5 tahun dan 10 tahun pada kasus kanker payudara stadium 1 dan 2 recurrence rates-nya lebih baik pada radical mastectomy bila dibandingkan dengan simple mastectomy. Propilase radiasi ditemukan tidak meningkatkan ketahanan hidup pada penderita setelah pengobatan dan pembedahan. Akibatnya tidak begitu baik setelah propilase radio terapi dilakukan. Faktor-faktor patologi Banyak gambaran yang dapat menentukan prognosis: Tipe histologi tumor. Tipe medulari dan musinos menunjukkan prognosis yang lebih baik dibandingkan duktal karsinoma. Tipe duktal karsinoma 85% di antaranya memiliki prognosis yang buruk. Histofogi dan Nuklear Grading. Hal ini ditentukan dari poin 1,2, dan 3 sampai (i) tubular acinar formation, (ii) nuklear pleomorphism, dan (iii) nuclear serta cytoplasmic ratio. Poin 3-5 prognosis baik, poin 6-7 moderat, 8-9 adalah buruk.

Infiltrasi limfoid. Tanda-tanda infiltrasi limfoid menentukan baik, moderat, intermediat satu dan pertengahan, serta prognosis yang buruk. Reaksi dari kelenjar getah bening regional. Jika kelenjar getah bening regional metastase yang lengkap maka prognosisnya buruk . Invasi limphatik.

Reseptor Estrogen Akhir-akhir ini, status reseptor estrogen dari primari tumor digunakan sebagai prognosis faktor. Strategi Pencegahan Pada prinsipnya, strategi pencegahan dikelompokkan dalam tiga kelompok besar, yaitu pencegahan pada lingkungan, pada pejamu, dan milestone. Hampir setiap epidemiolog sepakat bahwa pencegahan yang paling efektif bagi kejadian penyakit tidak menular adalah promosi kesehatan dan deteksi dini. Begitu pula pada kanker payudara, pencegahan yang dilakukan antara lain berupa: Pencegahan primer Pencegahan primer pada kanker payudara merupakan salah satu bentuk promosi kesehatan karena dilakukan pada orang yang "sehat" melalui upaya menghindarkan diri dari keterpaparan pada berbagai faktor risiko dan melaksanakan pola hidup sehat. Pencegahan sekunder Pencegahan sekunder dilakukan terhadap individu yang memiliki risiko untuk terkena kanker payudara. Setiap wanita yang normal dan memiliki siklus haid normal merupakan populasi at risk dari kanker payudara. Pencegahan sekunder dilakukan dengan melakukan deteksi dini. Beberapa metode deteksi dini terus mengalami perkembangan. Skrining melalui mammografi diklaim memiliki akurasi 90% dari semua penderita kanker payudara, tetapi keterpaparan terus-menerus pada mammografi pada wanita yang sehat merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kanker payudara. Karena itu, skrining dengan mammografi tetap dapat dilaksanakan dengan beberapa pertimbangan antara lain: Wanita yang sudah mencapai usia 40 tahun dianjurkan melakukan cancer risk assessement survey. Pada wanita dengan faktor risiko mendapat rujukan untuk dilakukan mammografi setiap tahun. Wanita normal mendapat rujukan mammografi setiap 2 tahun sampai mencapai usia 50 tahun.

Foster dan Constanta menemukan bahwa kematian oleh kanker payudara lebih sedikit pada wanita yang melakukan pemeriksaan SADARI (Pemeriksaan Payudara Sendiri) dibandingkan yang tidak. Walaupun sensitivitas SADARI untuk mendeteksi kanker payudara hanya 26%, bila dikombinasikan dengan mammografi maka sensitivitas mendeteksi secara dini menjadi 75%. Pencegahan Tertier Pencegahan tertier biasanya diarahkan pada individu yang telah positif menderita kanker payudara. Penanganan yang tepat penderita kanker payudara sesuai dengan stadiumnya akan dapat mengurangi kecatatan dan memperpanjang harapan hidup penderita. Pencegahan tertier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita serta mencegah komplikasi penyakit dan meneruskan pengobatan. Tindakan pengobatan dapat berupa operasi walaupun tidak berpengaruh banyak terhadap ketahanan hidup penderita. Bila kanker telah jauh bermetastasis, dilakukan tindakan kemoterapi dengan sitostatika. Pada stadium tertentu, pengobatan diberikan hanya berupa simptomatik dan dianjurkan untuk mencari pengobatan aiternatif. Daftar Pustaka

1. Ama, Faisol, 1990. Masalah Kanker Payudara dan pemecahannya. Majalah Kesehatan
Masyarakat Indonesia. Tahun XIX. Nomor 1 Maret. Jakarta. 2. Ambarsari, Endang, 1998. Faktor-faktor Risiko Kanker Payudara di RSU Persahabatan, Jakarta pada Juni sampai September 1997. Skripsi. FKM UI. Depok. 3. Goodwin, Tames S, et all, 1998. Geographic Variations in Breast Cancer Mortality: Do Higher Rates Imply Elevated Incidence or Poorer Survival. American Journal of Public Health. March 1998. 4. Grodstein, Francine, et al, 1997. Post Menopausal Hormone Therapy and Mortality. The New England Journal of Medicine VoI 336 No 25. England. 5. Profil Kesehatan Indonesia. Pusat Data Kesehatan. Jakarta, 1997 6. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta. 7. Kvale, Gunnar, et al, 1994. Parity in Relation to Mortality and Cancer Incidence: A Prospective Study of Norwegia Women. International Journal of Epidemiology Vol. 23 No.4. Great Britain. 8. Manuaba, Tjakra Wibawa, 1996. Karsinoma Mamma: Evaluasi Penatalaksanaan Dalam Kurun Waktu Empat Tahun Sesuai dengan Protokol Peraboi. Majalah Ilmiah Universitas Udayana. Lembaga Penelitian Universitas Udayana. Denpasar. 9. Moningkey, Shirley Ivonne, 2000. Epidemiologi Kanker Payudara. Medika; Januari 2000. Jakarta. 10. Palupy, Rini Widyastuty, 2000 Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Praktik Pendeteksian Dini Kanker Payudara pada Karyawati Administrasi Universitas Indonesia tahun 1999, FKM UI. 11. Perez, Carlos A, 1995. Present and Future of Radiation Therapy in Cancer Management and Quality of Life. Book of Procedings Jakarta International Cancer Conference'95. Jakarta. 12. Pratt, William B, et al, 1994. The Anticancer Drugs. Oxford University Press. Oxford New York. 13. Ramli, Muchlis, l995. Epidemiological Review of Breast Cancer in Indonesia. Book of Proceedings Jakarta International Cancer Conference'95. Jakarta. 14. Smith, Jane and Leaper, David J, 1993, Breast Lumps Aguide to Diseases of Breast. Ieadway. Hodder and Stoughon. 15. Srivastata, SK, 1992. Modern Concepts in Surgery. Tata McGraw-HiII Publishing Company Limited. New Delhi. 16. Tjahjadi, Gunawan, 1995, Patologyi Tumor Ganas Payudara, Kursus Singkat Deteksi Dini dan Pencegahan Kanker. 6-8 November. FKUI-POI. Jakarta 17. Tjahjadi ,Gunawan,dkk, 1986 Patologyi Tumor Ganas Payudara. Bagian Patologi Anatomi. FKUI. Jakarta. 18. Tjindarbumi, 1982 Penemuan Dini Kanker Payudara dan Penanggulangannya dalam: Diagnosis Dini Keganasan sertaPenanggulangannya. FKUI. Jakarta. 19. Tjindarbumi, l982 Penanganan kanker Dini dan Lanjut. Bagian Patologi Anatomik. FKUI. Jakarta. 20. Tjindarbumi, 1995. Diagnosis dan Pencegahan Kanker Payudara, Kursus Singkat Deteksi Dini dan Pencegahan Kanker. 6-8 November. FKC.II-POI. Jakarta. 21. Tjindarbumi, 2000. Deteksi Dini Kanker Payudara dan Penaggulangannya, Dalam: Deteksi Dini Kanker. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta 22. Vaidya, M.P, and Shukla, H.S. A textbook of Breast Cancer. Vikas Publishing House PVT LTD. 23. Vorherr, Helmuth, 1980. Breast Cancer, Epidemiology, Endocrinology, Biochemistry, and Pathobiology. Urban & Scharzenberger. Baltimore Munich. 24. Zahl, Per-Henrik and Tretli, Steiner l997, Long term Survival of Breast Cancer in Norway by Age and Clinical Stage. Statistics in Medicine Vol. 16. Oslo. Norway. Di Indonesia, kekerapan (prevalensi) kanker payudara meningkat, jumlahnya mencapai 11,6% dari seluruh keganasan.

PROTOKOL PENATALAKSANAAN KANKER PAYUDARA

PROTOKOL PENATALAKSANAAN KANKER PAYUDARA I. PENDAHULUAN Kanker payudara merupakan kanker dengan insidens tertinggi nomor dua di Indonesia dan terdapat kecenderungan dari tahun ke tahun insidens ini meningkat, seperti halnya di negara barat. Angka kejadian kanker payudara di Amerika Serikat 92/100.000 wanita per tahun dengan mortalitas yang cukup tinggi 27/100 atau 18% dari kematian yang dijumpai pada wanita. Di Indonesia berdasarkan porthological based registration kanker payudara mempunyai insidens relatif 11,5%. Diperkirakan di Indonesia mempunyai insidens minimal 20.000 kasus baru per tahun; dengan kenyataan bahwa lebih dari 50% kasus masih berada dalam stadium lanjut. Di sisi lain kemajuan iptekdok serta ilmu dasar biomolekuler, sangat berkembang dan tentunya mempengaruhi tatacara penanganan kanker payudara itu sendiri dari deteksi dini, diagnostic dan terapi serta rehabilitasi dan follow up. Dalam upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan, Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia (PERABOI) telah mempunyai Protokol Penanganan Kanker Payudara (tahun 1990). Protokol ini dimaksudkan pula untuk dapat: Menyamakan persepsi penanganan dari semua dokter yang berkecimpung dalam kanker payudara atau dari Pusat Pendidikan Onkologi Bertukar informasi dalam bahasa yang sama Digunakan untuk penelitian dalam aspek keberhasilan terapi Mengukur mutu pelayanan Kemajuan iptekdok yang cepat seperti dijelaskan di atas, membuat PERABOI perlu mengantisipasi keadaan ini dengan sebaik-baiknya melalui revisi Protokol Kanker Payudara 1998 dengan Protokol Kanker Payudara PERABOI 2003. II. KLASIFIKASI HISTOLOGI WHO/JAPANESE BREAST CANCLE SOCIETY Untuk kanker payudara dipakai klasifikasi histologi berdasarkan: WHO Histological Classification of Breast Tumors Japanese Breast Cancle Society (1984) Histological Classification of Breast Tumors Molignant (carsinoma): 1. Non invasive carsinoma a. Non invasive ductal carsinoma b. Labular carsinoma in situ 2. Invasive carsinoma a1. Papillabular carsinoma a2. Salid-tubular carsinoma a3. Scirrhous carsinoma b) Special types b1. Mucinous carcinoma b2. Medullary carcinoma b3. Invasive labular carcinoma b4. Adenold cystic carcinoma b5. Squamous cell carcinoma b6. Spindel cell carcinoma b7. Apocrine carcinoma b8. Carcinoma with cartilaginous and or osseous metoplasia

b9. Tubular carcinoma b10. Secretory carcinoma b.11. Others c) Pagets disease Tipe Histopatologi In situ carcinoma NOS (no otherwise specified) Intraductal Pugets disease and intraductal Invasive carinomas NOS Ductal Inflammatory Medulary, NOS Medullary with lymphoid stroma Mucinous Paplllary (predominantly mircropaplllary pattern) Tubular Labular Pagets disease and infiltrating Undifferentlated Squamous cell Adenold cystic Secretory Cribriform G : gradasi histologis Seluruh kanker payudara kecuali tipe medulare harus dibuat gradasi histologisnya. Sistim gradasi histologis yang direkomendasikan adalah menurut The hottingham combined histologic grade (menurut Elston-Ellis yang merupakan modifikasi dari Bloom-Richardson). Gradasinya adalah sebagai berikut: Gx : Grading tidak dapat dinilai G1 : Low grade (rendah) G2 : Intermediate grade (sedang) G3 : High grade (tinggi) III. KLASIFIKASI STADIUM TNM (UICC/AJCC) 2002 Stadium kanker payudara ditentukan berdasarkan TNM system dari UICC/AJCC tahun 2002 adalah sebagai berikut: T = ukuran tumor primer Ukuran T secara klinis, radiologis dan mikroskopis adalah sama. Nilai T dalam cm, nilai paling kecil dibulatkan ke angka 0,1 cm. Tx : Tumor primer tidak dapat dinilai To : Tidak terdapat tumor primer Tis : Karsinoma in situ Tis (DCIS) : Ductal carcinoma in situ Tis (LCIS) : Labural carcinoma in situ Tis (Paget) : Penyakit Paget pada putting tanpa adanya tumor

Catatan: Penyakit Paget dengan adanya tumor dikelompokkan sesuai dengan ukuran tumornya. T1 : Tumor dengan ukuran diameter terbesarnya 2 cm atau kurang T1mic : Adanya mikroinvasi ukuran 0,1 cm atau kurang T1a : Tumor dengan ukuran lebih dari 0,1 cm sampai 0,5 cm T1b : Tumor dengan ukuran lebih dari 0,5 cm sampai 1 cm T1c : Tumor dengan ukuran lebih dari 1 cm sampai 2 cm T2 : Tumor dengan ukuran diameter terbesarnya lebih dari 2 cm sampai 5 cm T3 : Tumor dengan ukuran diameter terbesar lebih dari 5 cm T4 : Ukuran tumor berapapun dengan ekstensi langsung ke dinding dada atau kulit: Catatan: Dinding dada adalah termasuk iga, otot, interkosialis, dan serratus anterlor tapi tidak termasuk otot pektoralis. T4a : Ekstensi ke dinding dada (tidak termasuk otot paktoralis) T4b : Edema (termasuk peau dorange), ulserasi, nodul satelit pada kulit yang terbatas pada 1 payudara T4c : Mencakup kedua hal di atas T4d : Mastitis karsinomatosa N = Kelenjar getah bening regional. Klinis : Nx : Kgb regional tidak bisa dinilai (telah diangkat sebelumnya) N0 : Tidak terdapat metastasis kgb N1 : Metastasis ke kgb aksila ipsilateral yang mobil N2 : Metastasis ke kgb aksila ipsilateral terfiksir, berkonglomerasi, atau adanya pembesaran kgb mamaria interna ipsilateral (klinis, tanpa adanya metastasis ke kgb aksila) N2a : Metastasis pada kgb aksila terfiksir atau berkonglomerasi atau melekat ke struktur lain N2b : Metastasis hanya pada kgb mamaria interna ipsilateral secara klinis dan tidak terdapat metastasis pada kgb aksila N3 : Metastasis pad kgb infraklavikular ipsilateral degan atau tanpa metastasis kgb aksila atau klinis terdapat metastasis pada kgb mamaria interna ipsilateral klinis dan metastasis pada kgb aksila atau metastasis pad kgb supraklavikula ipsilateral dengan atau tanpa metastasis pada kgb aksila/mamaria interna N3a : Metastasis ke kgb infraklavikular ipsilateral N3b : Metastasis ke kgb mamaria interna dan kgb aksila N3c : Metastasis ke kgb supraklavikular Catatan: Terdeteksi secara klinis: terdeteksi dengan pemeriksaan fisik atau secara imaging (diluar unifoscintigrafi). Patologi (pN) pNx : Kgb regional tidak bisa dinilai (telah diangkat sebelumnya atau tidak diangkat) pN0 : Tidak terdapat metastasis ke kgb secara patologi, tanpa pemeriksaan tambahan untuk isolated tumor cells (ITC) Catatan: ITC adalah sel tumor tunggal atau kelompok sel kecil dengan ukuran tidak lebihdari 0,2 mm yang biasanya hanya terdeteksi dengan pewarnaan imunahistokimia (IHC) atau metode molekular lainnya tapi masih dalam pewarnaan H & E. ITC tidak selalu menunjukkan adanya aktifitas keganasan seperti proliferas atau reaksi stromal. pN0(-) : Tidak terdapat metastasis kgb secara histologis, IHC negatif pN0(+) : Tidak terdapat metastasis kgb secara histologis, IHC positif, tidak terdapat kelompok IHC yang lebih dari 0,2 mm

pN0(mol -) : Tidak terdapat metastasis kgb secara histologis, pemeriksaan molekular negatif (RT-PCR) pN0(mol +) : Tidak terdapat metastasis kgb secara histologis, pemeriksaan molekular positif (RT-PCR) Catatan: a :klasifikasi berdasarkan diseksi kgb aksila dengan atau tanpa pemeriksaan sentinelnode. Klasifikasi berdasarkan hanya pada diseksi sentinel node tanpa diseksi kgb aksila ditandai dengan (sn) untuk sentinel node, contohnya: pN0(+) (sn). b : RT-PCR : neverse transcriptase/polymerase chain reaction. pN1 : Metastasis pada 1-3 kgb aksila dan atau kgb mamaria interna (klinis negatif) secara mikroskopis yang terdeteksi dengan sentinel node diseksi pN1mlc : Mikrometastasis (lebih dari 0,2 mm sampai 2,0 mm) pN1a : Metastasis pada kgb aksila 1-3 bulan pN1b : Metastasis pada kgb mamaria interna (klinis negatif) secara mikroskopis terdeteksi melalui diseksi sentinel node pN1c : Metastasis pada 1-3 kgb aksila dan kgb mamaria interna secara mikroskopis melaui diseksi sentinel node dan secara klinis negatif (jika terdapat lebih dari 3 buah kgb aksila yang positif, maka kgb mamaria interna diklasifikasikan sebagai pN3b untuk menunjukkan peningkatan besarnya tumor) pN2 : Metastasis pada 4-9 kgb aksila atau secara klinis terdapat pembesaran kgb mamaria interna tanpa adanya metastasis kgb aksila pN2a : Metastasis pada 4-9 kgb aksila (paling kurang terdapat 1 deposit tumor lebih dari 2,0mm) pN2b : Metastasis pada kgb mamaria interna secara klinis tanpa metastasis kgb aksila pN3 : Metastasis pada 10 atau lebih kgb aksila; atau infraklavikula atau metastasis kgb mamaria interna (klinis) pada 1 atau lebih kgb aksila yang positif; atau pad metastasis mikroskopis kgb mamaria interna negatif; atau pada kgb supraklavikula pN3a : Metastasis pada 10 atau lebih kgb aksila (paling kurangi satu deposit tumor lebih dari 2,00mm), atu metastasis pada kg infraklavikula pN3b : Metastasis kgb mamaria interna ipsilateral (klinis) dan metastasis pada kgb aksila 1 atau lebih; atau metastasis pada kgb aksila 3 buah dengan terdapat metastasis mikroskopis pada kgb mamaria interna yang terdeteksi dengan diseksi sentinel node yang secara klinis negatif pN3c : Metastasis pada kgb supraklavikula ipsilateral Catatan: tidak terdeteksi secara klinis/klinis negatif: adalah tidak terdetek dengan pencitraan (kecuali limfoscinligrafi) atau dengan pemeriksaan fisik. M : Metastasis jauh Mx : Metastasis jauh belum dapat dinilai M0 : Tidak terdapat metastasis jauh M1 : Terdapat metastasis jauh Grup stadium Stadium 0 : Tis N0 M0 Stadium 1 : T1 N0 M0 Stadium IIA : T0 N1 M0 T1 N1 M0 Stadium IIB : T2 N1 M0 T3 N0 M0 Stadium IIIA : T0 N2 M0

T1 N2 M0 T2 N2 M0 T3 N1 M0 T3 N2 M0 Stadium IIIB : T4 N0 M0 T4 N1 M0 T4 N2 M0 Stadium IIIC : Tiap T N3 M0 Stadium IV : TiapT Tiap N M1 Catatan: T1 : termasuk T1 mic Kesimpulan perubahan pada TNM 2002: Mikrometastasis dibedakan antara isolated tumor cells berdasarkan ukuran dan histologi aktifitas keganasan. Memasukkan penilaian sentinel node dan pewarnaan imunohistokimia atau pemeriksaan molekuler Klasifikasi mayor pada status kgb tergantung pada jumlah kgb aksila yang positif dengan pewarnaan H & E atu imunohistokimia. Klasifikasi metastasis pada kgb infraklavikula ditambahkan sebagai N3. Penilaian metastasis pada kgb mamaria interna berdasarkan ad atu tidaknya metastasis pada kgb aksila. Kgb mamaria interna positif secara mikroskopis yang terdeteksi melaui sentinel node dengan menggunakan limfoscintigrafi tapi pada pemeriksaan pencitraan dan klinis negatif diklasifikasikan sebagai N1. metastasis secar makroskopis pada kgb mamaria interna yang terdeteksi secara pencitraan (kecuali limfoskintigrafi) atau melaui pemeriksaan fisik dikelompokkan sebagai N2 jika tidak terdapat metastasis pada kgb aksila, namun jika terdapat metastasis kgb aksila maka dikelompokkan sebagai N3. Metastasis pada kgb supraklavikula dikelompokkan sebagai N3. Stadium klinik (cTNM) harus dicantumkan pada setiap diagnosa KPD atau suspect KPD, pTNM harus dicantumkan pada setiap hasil pemeriksaan KPD yang disertai dengan cTNM. IV. PROSEDUR DIAGNOSTIC A. Pemeriksaan Klinis 1. Anamnesis: a. Keluhan di payudara atau ketiak dan riwayat penyakitnya Benjolan Kecepatan tumbuh Rasa sakit Nipple discharge Nipple retraksi dan sejak kapan Krusta pada areola Kelainan kulit: dimpling, peau dorange, ulsrasi, venektasi Perubahan warna kulit Benjolan ketiak Edema lengan b. Keluhan di tempat lain berhubungan dengan metastasis, antara lain: Nyeri tulang (vertebra, femur) Rasa penuh di ulu hati Batuk

Sesak Sakit kepala hebat dan lain-lain c. Faktor-faktor resiko Usia penderita Usia melahirkan anak pertama Punya anak atau tidak Riwayat menyusukan Riwayat menstruasi Menstruasi pertama pada usia berapa Keteraturan siklus menstruasi Menopause pada usia berapa Riwayat pemakaian obat hormonal Riwayat keluarga sehubungan dengan kanker payudara atau kanker lain Riwayat pernah operasi tumor payudara atau tumor ginekologik Riwayat radiasi dinding dada 2. Pemeriksaan fisik a. Status generalis, cantumkan performance status b. Status lokalis: Payudara kanan dan kiri harus diperiksa Masa tumor: Lokasi Ukuran Konsistensi Permukaan Bentuk dan batas tumor Jumlah tumor Terfiksasi atau tidak ke jaringan sekitar payudara, kulit, m. pektoralis dan dinding dada Perubahan kulit: Kemerahan, dimpling, edema, nodul satelit Pedu dorange, ulserasi Nipple: Tertarik Erosi Krusta Discharge Status kelenjar getah bening: KGB aksila : jumlah, ukuran, konsistensi, terfiksir satu sama lain atau jaringan sekitar KGB infraklavikula : idem KGB supra klavikula : idem Pemeriksaan pada daerah yang dicurigai metastasis: Lokasi organ (paru, tulang, hepar, otak) B. Pemeriksaan Radiodiagnostik/Imaging 1. Diharuskan (recommended) USG payudara dan mamografi untuk tumor <3cm Foto toraks USG abdomen (hepar) 2. Optional (atas indikasi) Bone scanning atau dan bone survey (bilamana sitologi atau klinis sangat mencurigai pada lesi >5cm) CT scan

C. Pemeriksaan Fine Needle Aspiration Blopsy-sitologi Dilakukan pad lesi yang secara klinis dan raiologik curiga ganas Catatan: belum merupakan Gold Standard, Bila mapu, dianjurkan untuk diperiksa TRIPLE DIAGNOSTIC D. Pemeriksaan Histopatologi (Gold Standard Diagnostic) Pemeriksaan histopatologi dilakukan dengan potong beku dan/atau parafin. Bahan pemeriksaan histopatologi diambil melaui: Care blopsy Biopsi eksisional untuk tumor ukuran >3cm Biopsi insisional untuk tumor: operabel ukuran > 3 cm operasi definitif inoperabel Spesimen mastektomi disertai dengan pemeriksaan kgb Pemeriksaan Imunohistokimia: ER, PR, c-erbm-2 (HER-2 nou), cathepsin-D, p53, (situsional) E. Laboratorium Pemeriksaan laboratorium rutin dan pemeriksaan kimia darah sesuai dengan perkiraan metastasis. V. SCREENING Metode : SADARI (pemeriksaan payudara sendiri) Pemeriksaan fisik Mammografi SADARI : Dilaksanakan pada wanita mulai usia subur, setiap 1 minggu setelah hari pertama menstruasi terakhir. Pemeriksaan fisik : Oleh dokter secara lige artis. Mammografi : pada wanita diatas 35 tahun-50 tahun : setiap 2 tahun pada wanita diatas 50 tahun : setiap 1 tahun. Cacatan: Pada daerah yang tidak ada mammogarfi 1 USG, untuk deteksi dini dilakukan dengan SADARI dan pemeriksaan fisik saja. VI. PROSEDUR TERAPI A. Modalitas terapi Operasi Radiasi Kemoterapi Hormonal terapi Molecular targetting therapi (biologi therapi) Operasi : Jenis operasi untuk terapi BCS (Breast Conserving Surgery ) Simpel mastektomi Radikal mastektomi modifikasi Radikal mastektomi Radiasi primer

adjuvan pallatif Kemoterapi harus kombinasi kombinasi yang dipakai CMF CAF, CEF Taxane-Doxorubicin Capecetabin Hormoni Ablative : Bilateral ovarektomi Additive : Tamoxifen Optional : Aromatase Inhibitor GnRH (Gonadotropin Releasing Hormone), dsb. B. Terapi Ad. 1 Kanker payudara stadium 0. Dilakukan: - BCS - Mastektomi simple terapi definitif pada TD tergantung pada pemeriksaan blok parafin, lokasi didasarkan pada hasil pemeriksaan Imaging. Indikasi BCS T: 3 cm Pasien menginginkan mempertahankan payudaranya Syarat BCS Keinginan penderita setelah dilakukan informed consent. Penderita dapat dilakukan kontrol rutin setelah pengobatan. Tumor tidak terletak sentral. Perbandingan ukuran tumor dan volume payudara cukup baik untuk kosmetik pasca BCS. Mamografi tidak memperlihatkan mil rokalsifikasi/tanda keganasan lain yang difus (luas). Tumor tidak multipal. Belum pernah terapi radiasi di dada. Tidak menderita penyakit LE atau penyakit kolagen. Terdapat sarana radioterapi yang memadai. Ad. 2 Kanker payudara stadium dini/operabel : Dilakukan: - BCS (harus memnuhi syarat di atas) - Mastektomi radikal - Mastektomi radikal modifikasi Terapi adjuvant : Dibedakan pada keadaan : Node (-) atau Node (+) Pemberiannya tergantung dari : Node (+) / (-) ER / PR Usia pre menopause atau post menopause Dapat berupa : Radiasi Kemoterapi

Hormonal terapi Adjuvant therapi pada node negative (KGB histopalogi negatif) Menopausal status Hormonal Receptor High Risk Premenopause RT (+) / PR (+) ER (-) / PR (-) Ke + Tam / Ov Ke Post menopause RT (+) / PR (+) ER (-) / PR (-) Ke + Kemo Ke Old Age RT (+) / PR (+) ER (-) / PR (-) Ke + Kemo Ke Adjuvant therapi pada NODE POSITIVE (KGB histopalogi positif) Menopausal status Hormonal Receptor High Risk Premenopause RT (+) / PR (+) ER (-) and PR (-) Ke + Tam / Ov Ke Post menopause RT (+) / PR (+) ER (-) and PR (-) Ke + Tam Ke Old Age RT (+) / PR (+) ER (-) and PR (-) Ke + Kemo Ke High risk group: Umur < 40 tahun High grade ER/PR negatif Tumor progesif (Vascular, Lymph Invasion) High thymidin index Terapi adjuvant: Radiasi Diberikan apabila ditemukan keadaan sebagai berikut: Setelah tindakan operasi terbatas (BSC) Tepi sayatan dekat (T> T2)/tidak bebas tumor Tumor sentral/medial KGB (+) dengan ekstensi ekstra kapsuler Acuan pemberian radiasi sebagai berikut: Pada dasarnya diberikan radiasi lokoregional (payudara dan aksila beserta supraklavikula), kecuali: - Pada keadan T< T2 bila cN = 0 dan pN, maka tidak dilakukan radiasi pada KGB aksila supraklavikula. - Pada keadaan tumor dimedial/sentral diberikan tambahan radiasi pada mamaria interna Dosis lokoregional profilaksis adalah 50Gy, booster dilakukan sebagai berikut: - Pada potensial terjadi residif ditambahkan 10Gy (misalnya tepi sayatan dekat tumor atu post BCS) - Pada terdapat masa tumor atau residu post op (mikroskopik atau makroskopik) maka diberikan boster dengan dosis 20Gy kecuali pada aksila 15Gy Khemoterapi

Khemoterapi : Kombinasi CAF (CEF), CMF, AC Khemoterapi adjuvant : 6 siklus Khemoterapi paliatif : 12 siklus Khemoterapi neoadjuvant : - 3 siklus pra terapi primer ditambah - 3 siklus pasca terapi primer Kombinasi CAF Dosis C : Cyclophgosfamide 500 mg/m2 hari 1 A : Adriamycin = Doxorul in 50 mg/m2 hari 1 F : 5 Fluoro Uracil 500 mg/m2 hari 1 Interval : 3 minggu Kombinasi CEF Dosis C : Cyclophgosfamide 500 mg/m2 hari 1 E : Epirublein 50 mg/m2 hari 1 F : 5 Fluoro Uracil 500 mg/m2 hari 1 Interval : 3 minggu Kombinasi CMF Dosis C : Cyclophgosfamide 100 mg/m2 hari 1 /d 14 M : Melotrexate 40 mg/m2 hari 1 & 8 F : 5 Fluoro Uracil 500 mg/m2 hari 1 & 8 Interval : 3 minggu Kombinasi AC Dosis A : Adriamycin C : Cyclophospamide Optional: Kombinasi Taxan + Doxorubicin Capecitabine Gemcitabine Hormonal terapi Macam terapi hormonal 1. Additive : pemberian tamoxien 2. Abiative : bilateral oophorectoml (ovarektomi bilateral) Dasar pemberian : 1. Pemeriksaan Reseptor ER + PR + ; ER + PR - ; ER PR + 2. Status hormonal Additive : Apabila ERPR + ER+PR (menopause tanpa pemeriksaan ER & PR) ERPR + Abiasi : Apabila Tanpa pemeriksaan reseptor Premenopause Menopause 1-5 tahun dengan efek estrogen (+) Perjalanan penyakit slow growing & intermediateo growing Ad.3 Kanker payudara locally advanced (lokal lanjut) Ad.3.1 Operable Locally advanced Simple mastektomi/mrm + radiasi kuratif + kemoterapi adjuvant + hormonal terapi Ad.3.2 Inoperable Localy advanced Radiasi kuratif + kemoterapi + hormonal terapi

Radiasi + operasi + kemoterapi + hormonal terapi Kemoterapi neo adj + operasi + kemoterapi + radiasi + hormonal terapi Ad.4 Kanker payudar lanjut metastase jauh Prinsip: Sifat terapi palilatif Terapi sistemik merupakan terapi primer (Kemoterapi dan hormonal terapi) Terapi lokoregional (radiasi & bedah) apabila diperlukan VII. REHABILITASI DAN FOLLOW UP A. Rehabilitasi: Pra Operatif - Latihan pernafasan - Latihan batuk efektif Pasca Operatif Hari 1-2 - Latihan lingkup gerak sendi untuk siku pergelangan tangan dan jari lengan daerah yang dioperasi - Untuk sisi sehat latihan lingkup gerak sendi lengan secara penuh - Untuk lengan atas bagian operasi latihan isometrik - Latihan relaksasi otot leher dan toraks - Aktif mobilisasi Hari 3-5 - Latihan lingkup gerak sendi untuk bahu sisi operasi (bertahap) - Latihan relaksasi - Aktif dalam sehari-hari dimana sisi operasi tidak dibebani Hari 6 dan seterusnya - Bebas gerakan - Edukasi untuk mempertahankan lingkup gerak sendi dan usaha untuk mencegah/menghilangkan timbulnya lymphedema B. Follow up kontrol tiap 2 bulan tahun 1 dan 2 tahun 3 s/d 5 kontrol tiap 3 bulan setelah tahun 5 kontrol tiap 6 bulan Pemeriksaan fisik : tiap kali kontrol Thorax foto : tiap 6 bulan Lab, marker : tiap 2-3 bulan Mammografi kontra lateral : tiap tahun atau ada indikasi USG Abdomen/lever : tiap 6 bulan atau ada indikasi Bone scanning : tiap 2 bulan atau ada indikasi

Gejala permulaan kanker payudara sering tidak disadari atau dirasakan dengan jelas oleh penderita sehingga banyak penderita yang berobat dalam keadaan lanjut. Hal inilah yang menyebabkan tingginya angka kematian kanker tersebut.

Epidemiologi Kanker Payudara


inShare0

Seluruh dunia, kanker payudara adalah kanker paling umum pada wanita setelah kanker kulit yang mewakili 16% dari semua kanker wanita. Angka ini lebih dari dua kali lipat dari kanker kolorektal dan kanker leher rahim dan sekitar tiga kali lipat dari kanker paru-paru. Kematian di dunia adalah 25% lebih besar daripada kanker paru-paru pada wanita. Insiden kanker payudara sangat bervariasi di seluruh dunia, yang lebih rendah di negaranegara berkembang dan terbesar di lebih-negara maju. Dalam dua belas wilayah dunia, tingkat kejadian tahunan usia-standar per 100.000 perempuan adalah sebagai berikut: di Asia Timur, 18; Selatan Asia Tengah, 22; sub-Sahara Afrika, 22; Selatan-Asia Timur, 26; Afrika Utara dan Barat asia, 28; Selatan dan Amerika Tengah, 42; Eropa Timur, 49; Eropa Selatan, 56; Eropa Utara, 73; Oseania, 74; Eropa Barat, 78, dan di Amerika Utara, 90.

Kanker payudara sangat terkait dengan umur dengan hanya 5% dari semua kanker payudara terjadi pada wanita di bawah 40 tahun.

Amerika Serikat
Resiko seumur hidup untuk kanker payudara di Amerika Serikat biasanya memberikan sebagai 1 dalam 8 (12,5%) dengan 1 dalam 35 (3%) peluang kematian.

Amerika Serikat memiliki tingkat insiden tertinggi tahunan kanker payudara di dunia; 128,6 per 100.000 pada kulit putih dan 112,6 per 100.000 di kalangan Afrika Amerika. Pada tahun 2007, kanker payudara diperkirakan akan menyebabkan 40.910 kematian di Amerika Serikat (7% dari kematian akibat kanker; hampir 2% dari semua kematian). Angka ini termasuk 450500 kematian per tahun antara laki-laki dari 2000 kasus kanker. Di AS, baik insiden dan angka kematian untuk kanker payudara telah menurun dalam beberapa tahun terakhir di penduduk asli Amerika dan Alaska Pribumi. Namun demikian, sebuah penelitian AS yang dilakukan pada tahun 2005 oleh Masyarakat Penelitian Kesehatan Perempuan menunjukkan bahwa kanker payudara masih penyakit yang paling ditakuti, meskipun penyakit jantung adalah penyebab jauh lebih umum kematian di kalangan perempuan. Banyak dokter mengatakan bahwa wanita membesar-besarkan risiko kanker payudara.

Kesenjangan ras
Beberapa studi telah menemukan bahwa perempuan kulit hitam di AS lebih mungkin untuk meninggal akibat kanker payudara meskipun perempuan kulit putih lebih mungkin didiagnosis dengan penyakit. Bahkan setelah diagnosis, perempuan kulit hitam kurang mungkin untuk mendapatkan pengobatan dibandingkan dengan wanita kulit putih. Para ahli telah beberapa teori canggih untuk kesenjangan, termasuk akses memadai untuk skrining, berkurangnya ketersediaan teknik bedah dan medis paling maju, atau beberapa karakteristik biologis penyakit pada populasi Afrika-Amerika. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perbedaan rasial dalam hasil kanker payudara dapat mencerminkan bias budaya lebih dari perbedaan penyakit biologis. Penelitian sedang berlangsung untuk menentukan kontribusi baik faktor biologis dan budaya.

Inggris
45.000 kasus didiagnosis dan 12.500 kematian per tahun. 60% kasus yang diobati dengan tamoxifen, obat ini menjadi tidak efektif di 35%.

Negara-negara berkembang
Seperti negara-negara berkembang tumbuh dan mengadopsi budaya Barat mereka juga menumpuk penyakit yang lebih yang timbul dari budaya Barat dan kebiasaan nya (lemak / asupan alkohol, merokok, paparan kontrasepsi oral, perubahan pola melahirkan dan menyusui, paritas rendah). Sebagai contoh, Amerika Selatan telah dikembangkan sehingga memiliki jumlah kanker payudara. "Kanker payudara di negara-negara kurang berkembang, seperti di Amerika Selatan, merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama. Ini adalah penyebab utama kematian terkait kanker pada wanita di negara-negara seperti Argentina, Uruguay, dan Brasil. Angkaangka yang diharapkan dari kasus baru dan kematian akibat kanker payudara di Amerika Selatan untuk tahun 2001 adalah sekitar 70.000 dan 30.000 masing-masing. " Namun, karena kurangnya dana dan sumber daya, pengobatan tidak selalu tersedia bagi mereka yang menderita kanker payudara.

Di Indonesia, kekerapan (prevalensi) kanker payudara meningkat, jumlahnya mencapai 11,6% dari seluruh keganasan.

Bacaan lebih lanjut


Apa itu Kanker Payudara? Kanker Payudara Klasifikasi Gejala Kanker Payudara Penyebab Kanker Payudara Patofisiologi Kanker Payudara Diagnosa Kanker Payudara Skrining Kanker Payudara Kanker Payudara Manajemen Prognosis Kanker Payudara Sejarah Kanker Payudara Kanker Payudara Masyarakat dan Budaya

Artikel ini berlisensi di bawah Lisensi Creative Commons Attribution-ShareAlike . Ini menggunakan bahan dari artikel Wikipedia pada " kanker payudara "Semua bahan yang digunakan diadaptasi dari Wikipedia tersedia di bawah persyaratan Lisensi Creative Commons Attribution-ShareAlike . Wikipedia itu sendiri adalah merek dagang terdaftar dari Wikimedia Foundation, Inc

Home Latest News Articles Tags Recommended Foods Foods to Avoid Alphabetical Foods Supplements Free Newsletter Search

Vitamin A may reverse early malignant transformation of breast cells


Posted: April 12, 2011 News type: Breast cancer study Publication: American Association for Cancer Research (AACR) Meeting, April 2011 Study name: Retinoic acid in the reversion of the neoplastic transformation A new study presented at the current annual American Association for Cancer Research (AACR) meeting has reported that retinoic acid, a derivative of vitamin A, is able to reverse the early stages of the tumor development process. The study was designed to investigate the potential of retinoic acid to inhibit or reverse cancer development using a laboratory model of breast cancer progression developed by the authors. Vitamin A, or retinol, is found in animal foods such as liver and whole milk, and in some fortified processed foods. Certain carotenoids such as beta-carotene are also efficiently converted into retinol. Once retinol is converted into its bioactive form, retinoic acid, it plays important roles in cell division, cell death, and cell differentiation. Retinoids such as retinoic acid have been recognized as having potential as anticancer compounds. The actions of retinoids are mediated by retinoic acid

receptors, including retinoic acid receptor (RAR). The cancer progression model used by the authors was comprised of four cell lines: (1) MCF-10F cells, which do not have any invasiveness or tumor formation characteristics and therefore are considered to be similar to normal breast cells; (2) transformed trMCF cells which give rise to solid masses when exposed to carcinogens; (3) invasive bsMCF cells; and (4) caMCFs, which have all the characteristics of fully malignant breast cancer cells. In other words, the four cell types model the transition from normal to invasive to fully malignant breast cancer. When injected into the mammary fat pad of immunodeficient mice, the invasive bsMCF cells induced the development of poorly differentiated tumors that were estrogen receptor negative (ER-), progesterone receptor negative (PR-) and ERBB2 negative (in other words, triple negative). The authors studied the effects of retinoic acid at the different stages of breast cancer progression using cultures of the four cell lines. Cultivating normal breast epithelial cells in collagen causes the cells to polarize and spontaneously differentiate tubular structures. Similarly, MCF-10F cells form tubules resembling the normal mammary gland when cultivated in collagen. The transformed trMCF cells form tubules and spherical masses, which are a marker of cell transformation. One solid trMCF mass was isolated and the cells expanded, resulting in a trMCF clone 11, which only forms solid masses in collagen. The trMCF clone 11 cells were then treated with various concentrations of retinoic acid over a period of 15 days, after which the cells were plated in collagen. A reduction in solid masses and corresponding increase in tubules was observed when trMCF clone 11 cells were treated with retinoic acid. However, retinoic acid did not change the appearance of the invasive bsMCF cells or the malignant caMCF cells even when treated with a compound designed to reactivate the expression of RAR. The authors conclude that retinoic acid can stop early tumor progression. However, at later time points, the genetic changes related to cancer have progressed too far for retinoic acid to alter the invasive or malignant characteristics of the cells. Comments regarding the study To the extent possible, vitamin A, beta carotene and other carotenoids should be obtained through diet rather than supplements. Studies of vitamin A and beta-carotene supplements have not had favorable results, most famously in the case of lung cancer. In one major study, approximately 18,000 men and women who were smokers, former smokers, or workers exposed to asbestos were randomly assigned to take daily supplements of beta-carotene or vitamin A. Unexpectedly, the risk of lung cancer was found to be 16% higher among participants taking either supplement compared to those taking a placebo after a six-year follow-up period. Tags: betaCarotene, breastCancerPrevention, carotenoids, ER-, ER-/PR-, supplements, tripleNegative, vitaminA Publication: American Association for Cancer Research (AACR) Meeting, April 2011 Authors: Rebecca A. Starker, Maria F. Arisi, Ishara Lareef, Sandra V. Fernandez Study summary: The current study was designed to investigate the potential of retinoic acid, a derivative of vitamin A, to inhibit or reverse cancer development using a laboratory model of breast cancer progression developed by the authors. Vitamin A, or retinol, is found in animal foods such as liver and whole milk, and in some fortified processed foods. Certain carotenoids such as beta-carotene are also efficiently converted into retinol. Once retinol is converted into its bioactive form, retinoic acid, it plays important roles in cell division, cell

death, and cell differentiation. Retinoids such as retinoic acid have been recognized as having potential as anticancer compounds. The actions of retinoids are mediated by retinoic acid receptors (RAR, RAR, RAR) and the retinoid X receptors (RXR). The cancer progression model used by the authors was comprised of four cell lines: (1) MCF-10F cells, which do not have any invasiveness or tumor formation characteristics and therefore are considered to be a normal-like breast epithelial cells; (2) transformed trMCF cells which give rise to solid masses when exposed to carcinogens; (3) invasive bsMCF cells; and (4) caMCFs, which have all the characteristics of fully malignant breast cancer cells. In other words, the four cell types model the transition from normal to invasive to fully malignant breast cancer. When injected into the mammary fat pad of immunodeficient SCID mice, the invasive bsMCF cells induced the development of poorly differentiated adenocarcinomas that were estrogen receptor negative (ER-), progesterone receptor negative (PR-) and ERBB2 negative (in other words, triple negative). The authors performed DNA-methylation studies and found that retinoic acid receptor (RAR) was unmethylated in the MCF-10F and trMCF cells but became hypermethylated at the invasive (bsMCF) and tumorigenic (caMCF) stages. DNA methylation is important for normal development but is also associated with cancer development. The authors then studied the effect of retinoic acid at the different stages of their laboratory model of breast cancer progression using 3D-cultures (collagen matrix). Cultivating normal breast epithelial cells in collagen causes the cells to polarize and spontaneously differentiate tubular structures. Similarly, MCF-10F cells form tubules resembling the normal mammary gland when cultivated in collagen. The transformed trMCF cells form tubules and spherical masses, which are a marker of cell transformation. One solid trMCF mass was isolated and the cells expanded, resulting in a trMCF clone 11, which only forms solid masses in collagen. The trMCF clone 11 cells were then treated with various concentrations of retinoic acid over a period of 15 days, after which the cells were plated in collagen. A reduction in solid masses and corresponding increase in tubules was observed when trMCF clone 11 cells were treated with 10-6M or 10-7M retinoic acid and the cells were cultivated in in collagen. However, even when the invasive bsMCF and malignant caMCF cells were treated with 5-aza-dC to reactivate the expression of RAR in combination with retinoic acid, the phenotype of these cells in collagen was not observed to change, suggesting that retinoic acid was not able to alter the invasive or malignant characteristics of these cells. The authors conclude that retinoic acid was able to re-differentiate transformed cells at early stages of the neoplastic process. Tags: betaCarotene, carotenoids, ER-, ER-/PR-, PR-, supplements, tripleNegative, vitaminA Referenced in the following news stories and original articles: Vitamin A may reverse early malignant transformation of breast cells Publication: American Association for Cancer Research (AACR) Meeting, April 2010 Authors: Stefano Rossetti, MingQiang Ren, Giulia Somenzi, Luigina Tagliavacca, Nicoletta Sacchi Study summary: The present study was designed to investigate the role of retinoic acid in the prevention or development of breast cancer. Preformed vitamin A, or retinol, is found in animal foods such as liver and whole milk, and in some fortified processed foods. Certain carotenoids such as beta-carotene are also efficiently converted into retinol. Once retinol is converted into its bioactive form, retinoic acid, it plays important roles in cell division, cell death, and cell differentiation. In the study, retinoic acid was found to regulate a network of tumor suppressor genes governing cell death, proliferation, differentiation, migration, and invasion through retinoic acid receptor alpha. Retinoic acid can exert a double-edged action

according the authors: it can either inhibit or promote the formation of cancer according to the functional status of one of its receptors, retinoic acid receptor alpha. In fact, retinoic acid was found capable of exerting a clear tumor-promoting action (concomitant with epigenetic silencing of the tumor suppressor gene network) due to loss/functional inhibition of retinoic acid receptor alpha. This raises the question whether dietary sources of retinoic acid, or retinoic acid precursors, can also promote can development in cells with impaired retinoic acid receptor alpha. To perform the investigation, athymic female nude mice were implanted with subcutaneous xenograft tumors consisting of one of two clonal lines of estrogen receptor alpha positive (ER+) T47D breast cancer cells: one with a functional retinoic acid receptor alpha-regulated gene network (T47DLXC5) and one without functional retinoic acid receptor alpha (T47DDNC8). The mice were administered a diet with either retinoic acid (5 or 10 mg/kg) or retinol (50 mg/kg) for six weeks. These diets were found to induce opposite effects on xenograft tumor growth, depending on whether the tumor cells had functioning retinoic acid receptor alpha. T47DDNC8 xenograft tumors were stimulated to grow and metastasize to distant sites by both retinoic acid and retinol, whereas the growth of T47DLXC5 xenograft tumors was inhibited by retinoic acid and retinol, and the cells did not become invasive. In breast cancer, retinoic acid receptor alpha function often is impaired due to a variety of upstream causes, including faulty retinoic acid transport by CRABP2 onto the retinoic acid receptor alpha and/or loss of ER, a pivotal retinoic acid receptor alpha transcriptional regulator. The authors comment that early detection of epigenetic silencing of tumor suppressor genes of the retinoic acid receptor alpha network may be used to prevent tumorigenic effects of dietary sources of retinoic acid. A nutrient found in carrots and sweet potatoes may prove key to fighting breast cancer at early stages, according to a new study by researchers at Fox Chase Cancer Center. Sandra Fernandez, PhD, an assistant research professor at Fox Chase, will present the findings at the AACR 102nd Annual Meeting 2011. Retinoic acid, a derivative of vitamin A, could be a promising cancer therapy because it affects cell growth, proliferation, and survival. Although it is being tested in a number of clinical trials, so far its success at combating cancer has been inconsistent. However, Fernandez and her colleagues have now pinpointed critical aspects of retinoic acids mode of actiona potentially important step toward developing successful treatments for patients. Retinoic acid binds to retinoic acid receptor beta (RAR-), and it may be through this action that it can suppress tumors. A decrease in RAR- levels in tumors is associated with cancer progression, and an increase is linked to positive responses to certain clinical interventions. It is thought that the activated receptor limits cell growth by regulating gene expression, but its underlying mechanisms are not completely understood. To identify the specific conditions under which retinoic acid inhibits and even reverses the growth of abnormal masses in the breast, however, Fernandez developed a culture system consisting of four cell lines representing different phases of cancer: normal-like human breast cells; transformed cells (which give rise to solid masses upon exposure to carcinogens); invasive cells (which are capable of breaking through breast tissue barriers and spreading to other parts of the body); and tumor cells (which form when invasive cells are injected into the mammary fat pad of mice and show all of the characteristics of fully malignant breast cancer cells). We found that the RAR- gene was active in the two earliest stages of cancer, but silenced in the final two stages, says Fernandez. These changes in gene activation were caused by a type of chemical modification called methylation, which involves the addition of a methyl group to DNA. In three-dimensional cultures containing a collagen matrix, normal-like cells formed tubules resembling a normal mammary gland, while the transformed cells also gave

rise to solid masses. The cells that produced solid masses in collagen produced tubules when they received retinoic acid for 15 days. By contrast, invasive and tumor cells did not generate tubules in response to treatment with retinoic acid, even in combination with a drug that activates RAR- by inhibiting DNA methylation. The results suggest that retinoic acid can stop tumor progression early on, but not at later timepoints because the genetic changes related to cancer have become too severe. There appears to be no way to revert the tumors with retinoic acid when they become too advanced, Fernandez says. The study also shows that the methylation status of RAR- can act as a biomarker for the early detection of breast cancer. In addition, drugs that reactivate this receptor by decreasing DNA methylation may help breast cancer patients. These medications are already being used to manage a certain type of leukemia, offering hope that it will also be approved to treat other diseases. ### Co-authors on the study include Rebecca A. Starker, Maria F. Arisi, and Ishara Lareefall students who studied at Fox Chase. Fox Chase Cancer Center is one of the leading cancer research and treatments centers in the United States. Founded in 1904 in Philadelphia as one of the nations first cancer hospitals, Fox Chase was also among the first institutions to be designated a National Cancer Institute Comprehensive Cancer Center in 1974. Fox Chase researchers have won the highest awards in their fields, including two Nobel Prizes. Fox Chase physicians are also routinely recognized in national rankings, and the Centers nursing program has received the Magnet status for excellence three consecutive times. Today, Fox Chase conducts a broad array of nationally competitive basic, translational, and clinical research, with special programs in cancer prevention, detection, survivorship, and community outreach. For more information, call 1-888-FOX-CHASE or 1-888-369-2427. Contact: Diana Quattrone Diana.Quattrone@fccc.edu 215-728-7784 Fox Chase Cancer Center

Tags: betaCarotene, ER-, metastasis, vitaminA

Vitamin A can both promote and inhibit breast cancer growth and metastasis
Posted: May 16, 2010 News type: Breast cancer study Conference: American Association for Cancer Research (AACR) Meeting, April 2010 Study name:

The epigenetic basis of the tumorigenic action of retinoic acid A new study recently presented at the annual American Association for Cancer Research (AACR) Meeting in Washington, D.C. has reported that vitamin A can inhibit or promote the formation and metastasis of breast cancer according to the functional status of retinoic acid receptor alpha in the cells. Preformed vitamin A, or retinol, is found in animal foods such as liver and whole milk, and in some fortified processed foods. Certain carotenoids such as betacarotene are also efficiently converted into retinol. Once retinol is in turn converted into its bioactive form, retinoic acid, it plays important roles in cell division, cell death, and cell differentiation. In the study, retinoic acid was found to regulate a network of tumor suppressor genes governing cell death, proliferation, differentiation, migration, and invasion through retinoic acid receptor alpha. Retinoic acid was found to exert a double-edged action: it either inhibited or promoted the formation of cancer according to the functional status of one of its receptors, retinoic acid receptor alpha. To perform the investigation, athymic female nude mice were implanted with subcutaneous xenograft tumors consisting of one of two clonal lines of estrogen receptor alpha positive (ER+) T47D breast cancer cells: one with a functional retinoic acid receptor alpha-regulated gene network (T47DLXC5) and one without functional retinoic acid receptor alpha (T47DDNC8). The mice were administered a diet with either retinoic acid or retinol for six weeks. Retinoic acid was found capable of exerting a clear tumor-promoting action due to the loss or functional inhibition of retinoic acid receptor alpha. Both diets were found stimulate T47DDNC8 xenograft tumors to grow and metastasize to distant sites, whereas the growth of T47DLXC5 xenograft tumors was inhibited and the cells did not become invasive. In breast cancer, retinoic acid receptor alpha function often is impaired due to a variety of upstream causes, including loss of ER, an important retinoic acid receptor alpha transcriptional regulator. This raises the possibility that dietary sources of vitamin A can also promote breast cancer development in cells with impaired retinoic acid receptor alpha. Implications of the study Consumption of vitamin A as part of the diet has been observed to reduce the risk of various cancers. However, studies of vitamin A and beta-carotene supplements have not had favorable results, most famously in the case of lung cancer. In one major study, approximately 18,000 men and women who were smokers, former smokers, or workers exposed to asbestos were randomly assigned to take daily supplements of beta-carotene or vitamin A. Unexpectedly, the risk of lung cancer was found to be 16% higher among participants taking either supplement compared to those taking a placebo after a six-year follow-up period. Previous studies investigating the associations between levels of retinol, beta-carotene and other carotenoids in the blood and the risk of breast cancer have fairly consistently reported a benefit for high versus low levels. However, some previous studies have also found that estrogen receptor negative (ER-) breast cancer cells do not respond at all or not as favorably to retinol and related compounds. According to the study above, this could be because some ER- breast cancer cells have lost retinoic acid receptor alpha functionality. Bottom line: We do not recommend taking vitamin A, beta-carotene, lycopene or other supplements to prevent breast cancer, or during or after treatment for breast cancer. Highcarotenoid foods are for the most part not recommended during radiation and chemotherapy (see the related web pages for lists of recommended foods). Survivors of estrogen receptor

negative (ER-/PR-, ER-/PR+) breast cancer should emphasize the foods that have been shown to inhibit their breast cancer types (which for the most part do not include high levels of carotenoids). On the other hand, since carotenoid-containing foods have been shown to reduce the risk of estrogen receptor positive (ER+/PR+, ER+/PR-) breast cancer and improve survival, they should be a significant part of the diet of women at high risk for breast cancer (since most breast cancer is ER+) and survivors of ER+ breast cancer. Tags: betaCarotene, breastCancerPrevention, ER+, ER+/PR+, ER+/PR-, ER-, ER-/PR+, ER-/PR-, hormoneReceptorNegative, hormoneRecNegativeSubtype, metastasis, mixedHormoneRecSubtypes, supplements, tripleNegative, vitaminA http://foodforbreastcancer.com/tags/vitaminA

Whole-Food Sources of Vitamin A More Effectively Inhibit Female Rat Sexual Maturation, Mammary Gland Development, and Mammary Carcinogenesis than Retinyl Palmitate
Publication: Journal of Nutrition, June 2007 Authors: Shauntae M. McDaniel, Caitlin O'Neill, Richard P. Metz, Elizabeth Tarbutton, Maria Stacewicz-Sapuntzakis, Jerianne Heimendinger, Pamela Wolfe, Henry Thompson, Pepper Schedin Study summary: The current study examined the effects of vitamin A within a human foodbased diet (i.e., whole food diet) on sexual maturation, mammary gland development, and sensitivity to carcinogenesis in laboratory rats. A prior study using an adolescent rat model for breast cancer found an increase in mammary tumor occurrence in animals fed a chemopreventive dose of vitamin A. Animal models for nutrient-cancer interactions using strictly defined diets do not replicate the complexity of the human diet and may not be adequate to investigate food patterns associated with cancer risk in humans. Starting at age 20 days, female rats were fed either a whole-food diet with adequate levels of vitamin A (control diet), a diet with a 5.5-fold increase in vitamin A from fruits and vegetables, or a diet with a 6.2-fold increase in vitamin A provided as retinyl palmitate. The dietary intervention period was from age 20 days to age 63 days in order to determine the effect of the diets on pubertal mammary gland development. On day 66, the rats were injected with the mammary carcinogen 1-methyl-1-nitrosourea. Compared with adolescent rats that consumed the control diet, consumption of the fruits and vegetables and vitamin A diets were found to reduce mammary tumor multiplicity (relative risk 0.7, P 0.002), which was associated with a decrease in alveolar gland development. The fruits and vegetables diet suppressed the onset of sexual maturation (P < 0.001) and inhibited markers of mammary alveologenesis more than the vitamin A diet. The authors conclude that the amount and source of vitamin A consumed by adolescent female rats can influence the onset of puberty, mammary gland alveolar development, and breast cancer risk. The study highlights the relevance of using whole-food diets to evaluate the impact of dietary factors in cancer prevention. Tags: protectingOurChildren, supplements, vitaminA

Referenced in the following news stories and original articles: How can we protect our daughters from breast cancer? - Childhood and puberty Can antioxidant supplements help prevent breast cancer? Some factors under parental control influence age of first period and risk of breast cancer Multivitamin use does not reduce overall risk of cancer, or breast cancer in particular Vitamin A may reverse early malignant transformation of breast cells

Whole-Food Sources of Vitamin A More Effectively Inhibit Female Rat Sexual Maturation, Mammary Gland Development, and Mammary Carcinogenesis than Retinyl Palmitate
Publication: Journal of Nutrition, June 2007 Authors: Shauntae M. McDaniel, Caitlin O'Neill, Richard P. Metz, Elizabeth Tarbutton, Maria Stacewicz-Sapuntzakis, Jerianne Heimendinger, Pamela Wolfe, Henry Thompson, Pepper Schedin Study summary: The current study examined the effects of vitamin A within a human foodbased diet (i.e., whole food diet) on sexual maturation, mammary gland development, and sensitivity to carcinogenesis in laboratory rats. A prior study using an adolescent rat model for breast cancer found an increase in mammary tumor occurrence in animals fed a chemopreventive dose of vitamin A. Animal models for nutrient-cancer interactions using strictly defined diets do not replicate the complexity of the human diet and may not be adequate to investigate food patterns associated with cancer risk in humans. Starting at age 20 days, female rats were fed either a whole-food diet with adequate levels of vitamin A (control diet), a diet with a 5.5-fold increase in vitamin A from fruits and vegetables, or a diet with a 6.2-fold increase in vitamin A provided as retinyl palmitate. The dietary intervention period was from age 20 days to age 63 days in order to determine the effect of the diets on pubertal mammary gland development. On day 66, the rats were injected with the mammary carcinogen 1-methyl-1-nitrosourea. Compared with adolescent rats that consumed the control diet, consumption of the fruits and vegetables and vitamin A diets were found to reduce mammary tumor multiplicity (relative risk 0.7, P 0.002), which was associated with a decrease in alveolar gland development. The fruits and vegetables diet suppressed the onset of sexual maturation (P < 0.001) and inhibited markers of mammary alveologenesis more than the vitamin A diet. The authors conclude that the amount and source of vitamin A consumed by adolescent female rats can influence the onset of puberty, mammary gland alveolar development, and breast cancer risk. The study highlights the relevance of using whole-food diets to evaluate the impact of dietary factors in cancer prevention. Tags: protectingOurChildren, supplements, vitaminA Referenced in the following news stories and original articles: How can we protect our daughters from breast cancer? - Childhood and puberty Can antioxidant supplements help prevent breast cancer? Some factors under parental control influence age of first period and risk of breast cancer Multivitamin use does not reduce overall risk of cancer, or breast cancer in particular

Vitamin A may reverse early malignant transformation of breast cells Referenced in the following food pages: Tomatoes Carrots Apricots

Anda mungkin juga menyukai