Anda di halaman 1dari 2

Sekinah

Oleh:
Andreo F. Rajagukguk

Peziarah terus berjalan sesuai bimbingan-Nya, menapak langkah ke tempat Allah hadir,
pada akhirnya akan berdiri juga di gunung Sinai. Sebelumnya, peziarah berkata kepada-
Nya “Perlihatkanlah kiranya kemuliaan-Mu kepadaku.” Jawab-Nya, “…Aku akan
memberi kasih karunia kepada siapa yang Kuberi kasih karunia dan mengasihani siapa
yang Kukasihani.” Bukankah Peziarah adalah orang mengikuti petunjuknya?

“Ada suatu tempat dekat-Ku, dimana engkau dapat berdiri diatas gunung batu…,” kata-
Nya kemudian. Tentunya bukanlah keindahan Gunung Sinai yang terasa, begitu pula
dengan keindahan Gunung Karmel dari pendakian St. John of The Cross. Kehadiran
Allah yang dirasakan dalam intuisinya, Demikian gambaran sang peziarah dalam
pendakiannya.

Musa merasakan, begitu pula bangsa Israel, karena seperti perasaan itu yang mengatakan:
“TUHAN, Allah orang Ibrani, telah menemui kami; oleh sebab itu, izinkanlah kiranya
kami pergi ke padang gurun tiga hari perjalanan jauhnya untuk mempersembahkan
korban kepada TUHAN, Allah kami.” Merasakan kehadiran Allah berarti merasakannya
sebagai pribadi yang menjadi, yang bertindak dengan maksud dan kehendak. Inilah bukti
intuisi melewati rangkaian emanasi dari seorang filsuf Yahudi, Judah Halevi. Laksana
baru tanpa interpretasi anthropomorfisme.

Bahasa baru telah muncul (langue) yang bernama Sekinah. Berkembang dari refleksi
teologis (mistisisme) bertransformasi menjadi sistem kultis (bangsa Yahudi). Demikian
juga simbol pelangi sebagai wujud kehadiran Allah, maka sekinah bersinonim
dengannya.

Kehadiran dan Kebersertaan

Esensi sekinah bermula dari sudut pandang hubungan cinta kasih Allah sebagai Pencipta
dengan bangsa Israel sebagai ciptaan; dan sekinah hadir dalam konsep memandang
hubungan cinta kasih Allah tersebut. Kehadiran-Nya adalah bentuk penglokalan dalam
ruang dan waktu yang menandakan Allah diam dan beserta, sehingga sekinah dirasakan
oleh manusia sebagai kedekatan akan kehadiran Allah. Gunung Sinai merupakan
penglokalan atas kehadiran Allah, begitu pula dengan sinagoge sebagai ruang ritual bagi
bangsa Yahudi.

Sekinah berarti “tabernacle” atau sering diartikan sebagai “tenda”, dimana “Allah hadir”
atau “Allah masuk”. Dalam Perjanjian Lama, kehadiran Allah ini dapat dilihat dalam
Keluaran 24: 16; 40: 35; Bilangan 9: 16-18, yang gambarannya jelas menunjuk kepada
aktivitas Allah atau sering digambarkan sebagai Roh Allah. Roh yang turut hadir dan
bekerja memampukan bangsa Israel dalam keahlian, pengertian dan pengetahuan
(Keluaran 31: 3)
Dalam tradisi Kekristenan, sekinah adalah identifikasi dari Roh Kudus sebagai kehadiran
dan aktivitas Allah. Pengosongan diri (kenosis) sebagai wujud kasih setia Allah kepada
manusia adalah bentuk penyertaan Allah kepada manusia dengan memberikan kemurnian
hati, pengetahuan dan kesabaran (II Korintus 6: 6). Disinilah sekinah hadir menjadi tema
penting, dimana ketika kehadiran Roh Kudus adalah bukti kasih sayang Allah kepada
manusia, maka kasih sayang dan penyertaan Allah dirasakan dalam spiritualitas manusia;
dan sekinah hadir agar kepribadian Roh Kudus menjadi nyata dan jelas dalam diri
manusia, demikian Jurgen Moltman melihat hubungan dari sekinah dengan Roh Kudus.
Intinya, gambaran sekinah merupakan gambaran kehadiran Allah yang dapat dirasakan
manusia, tentunya dalam terang spiritualitas manusia.

Sekinah dan Ruang Baru

Sekinah merujuk kepada intuisi transenden manusia dengan kehadiran Allah sebagai
totalitas keberadaan. Kenneth Craig pernah memakai wacana sekinah dalam kaitannya
dengan pluralitas keagamaan. Dengan tema utamanya adalah ‘kemah suci’, Kenneth
Craig membuat titik temu atas keragaman keyakinan manusia dengan analogi kemah
pertemuan. Penggambarannya ini dimaksudkan sebagai dialog spiritualitas dengan
merasakan hubungan antara manusia dengan Tuhan (Bdk. Im. 17: 4); yang kemudian
lahir sebuah mekanisme spiritual dalam pencapaian kebersamaan dan kebebasan.

Perkembangan sekinah memang berasal dari tradisi Yahudi, namun dalam konsepnya
terdapat perjumpaan yang hakiki antara manusia dengan Tuhan. Kehadiran dan
penyertaanNya adalah kasih sayang Allah kepada manusia. Spiritualitas dalam
perjumpaan dengan Allah diyakini akan melampaui fragmentasi ruang manusia.
Kehadiran-Nya sebagai bentuk peng-lokal-an tidak dipandang dalam terang pekhususan
ruang tertentu saja. Artinya, kehadiran-Nya terikat kepada ruang, namun dapat hadir di
ruang mana saja. Perumpamaan tentang domba yang hilang adalah bentuk ruang baru
dari kehadiran Allah tersebut. Ruang tersebut adalah penderitaan manusia yang selalu
menjerit atau dapat juga rusaknya lingkungan akibat olah manusia.

Ketika Allah hadir di Kemah Suci, maka Allah memanggil manusia untuk beribadah.

Ketika Allah hadir di Gunung Sinai, maka Allah memanggil manusia untuk ‘mendaki.’

Ketika Allah hadir di penderitaan manusia maka Allah memanggil manusia untuk
melayani.

Inilah Sekinah

Calon Pendeta melayani


Di Biro Informasi

Anda mungkin juga menyukai