Anda di halaman 1dari 30

51

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Kualitas Air Pengambilan titik sampel ditentukan berdasarkan karakteristik perairan, yakni Stasiun 1 bagian hulu sungai, Stasiun 2 bagian tengah sungai dan stasiun 3 bagian hilir sungai. Stasiun 1 dan 2 tergolong kepada perairan tawar, sedangkan untuk stasiun 3 tergolong ke pada perairan estuaria. Estuaria merupakan badan air yang kompleks dan aktivitasnya dipengaruhi oleh pergerakan air tawar dan air laut. Pergerakan kedua massa air yang berbeda ini mempengaruhi konsentrasi dan pola penyebaran salinitas serta menentukan tipe estuaria. Estuaria dengan salinitas tinggi menandakan adanya pengaruh air laut yang kuat, sehingga massa air laut mendominasi estuaria, sedangkan estuaria yang memiliki salinitas rendah mengindikasikan pengaruh air tawar yang lebih dominan. Proses pembilasan yang terjadi di estuaria erat kaitannya dengan percampuran massa air tawar yang disebabkan oleh adanya pasang surut. Estuaria yang memiliki pengaruh pasang lebih kuat akan mampu membilas bahan pencemar dan mempengaruhi proses penyebarannya. Estuaria dengan waktu pembilasan yang cepat akan memiliki kemampuan lebih cepat untuk membersihkan diri dari bahan pencemar yang memasukinya. Sebaliknya estuaria dengan waktu pembilasan lebih lambat akan lebih lama mengencerkan pencemar yang masuk ke dalamnya. Berdasarkan analisa di laboratorium dan pengamatan secara langsung (insitu) pada masing-masing stasiun yang dilakukan dengan 3 kali ulangan

diperoleh hasil kualitas air yang hampir mirip pada tiap stasiun pengamatan (Tabel 13).

Tabel 13. Rata-rata kualitas air pada tiap stasiun pengamatan Stasiun 1 2 3 pH 6 5 4,5 Suhu 29 32 30 salinitas 0 0 0,5 TSS 0,010 0,009 0,065

52

5.1.1. SUHU Tiap organisme perairan mempunyai batas toleransi yang berbeda terhadap perubahan suhu perairan bagi kehidupan dan pertumbuhan organisme perairan. Oleh karena itu suhu merupakan salah satu faktor fisika perairan yang sangat penting bagi kehidupan organisme atau biota perairan. Secara umum suhu berpengaruh langsung terhadap biota perairan berupa reaksi enzimatik pada organisme dan tidak berpengaruh langsung terhadap struktur dan disperse hewan air (Nontji, 1984). Hasil pengukuran suhu pada tiap stasiun pengamatan menunjukkan bahwa suhu di perairan Sungai Kampar berkisar antara 29 -300C. Suhu terendah terdapat pada bagian hulu Sungai Kampar dan tertinggi pada muara Sungai Kampar. Tingginya suhu perairan Sungai Kampar ini berhubungan dengan letak geografis dari Provinsi Riau yang berada pada daerah khatulistiwa, sehingga intensitas penyinaran matahari sangat tinggi. Tingginya intensitas penyinaran matahari, menyebabkan tingginya tingkat penyerapan panas ke dalam perairan. Kondisi kisaran suhu perairan Sungai Kampar masih dalam batas nilai toleransi bagi kehidupan organisme perairan pada umumnya. Nybakken (1988) menjelaskan bahwa suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Kaidah umum menyebutkan bahwa reaksi kimia dan biologi air (proses fisiologis) akan meningkat 2 kali lipat pada kenaikan temperatur 100 C, selain itu suhu juga berpengaruh terhadap penyebaran dan komposisi organisme. Kisaran suhu yang baik bagi kehidupan organisme perairan adalah antara 18-300 C. Berdasarkan hal tersebut, maka suhu perairan dilokasi penelitian sangat mendukung kehidupan organisme yang hidup di dalamnya.

5.1.2. pH pH sangat penting sebagai parameter kualitas air karena ia mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan dalam air. Selain itu, ikan dan makhlukmakhluk lainnya hidup pada selang pH tertentu, sehingga dengan diketahuinya nilai pH, kita dapat mengetahui apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk menunjang kehidupan mereka.

53

Nilai pH suatu perairan memiliki ciri yang khusus, adanya keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan yang diukur adalah konsentrasi ion hidrogen. Dengan adanya asam-asam mineral bebas dan asam karbonat menaikkan pH, sementara adanya karbonat, hidroksida dan bikarbonat dapat menaikkan kebasaan air. Nilai derajat keasaman (pH) perairan Sungai Kampar berkisar antara 6 - 4,5. Hal ini menunjukkan bahwa perairan Sungai Kampar cenderung bersifat asam. Hal ini disebabkan di Provinsi Riau masih banyak terdapat daerah rawa yang memiliki derajat keasaman yang cukup rendah. Semakin ke muara sungai semakin banyak daerah rawa, sehingga air yang masuk dari anak sungai ke sungai induk masih memiliki nilai derajat keasamaan yang cukup rendah. Secara umum berdasarkan pengukuran pada setiap pengamatan dan berdasarkan perhitungan nilai derajat keasamannya maka perairan Sungai Kampar tergolong pada kategori layak, baik bagi organisme perairan di dalamnya maupun untuk kegiatan sektor perikanan lainnya. Ada 2 fungsi dari pH yaitu sebagai faktor pembatas, setiap organisme mempunyai toleransi yang berbeda terhadap pH maksimal, minimal serta optimal dan sebagai indeks keadaan lingkungan. Nilai pH air yang normal sekitar netral yaitu antara 6-8, sedangkan pH air yang tercemar beragam tergantung dari jenis buangannya. Batas organisme terhadap pH bervariasi tergantung pada suhu air, oksigen terlarut, adanya berbagi anion dan kation serta jenis organisme. Dengan demikian pH perairan di lokasi penelitian masih dapat mendukung kehidupan yang ada di dalamnya.

5.1.3. SALINITAS Salinitas merupakan gambaran jumlah garam dalam suatu perairan (Dahuri, et al, 1996). Sebaran salinitas di air laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nontji, 1987). Nilai salinitas berdasarkan pengukuran terlihat bahwa pada stasiun 3 yaitu muara Sungai Kampar memiliki nilai salinitas yang rendah sebesar 0,5. Hal ini disebabkan aliran atau pasokan air tawar dari bagian hulu lebih besar daripada pasukan air lautnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sidjabat (1973) yang menyatakan bahwa salinitas minimum terdapat pada daerah sekitar khatulistiwa

54

dan salinitas maksimum terdapat pada lintang 200 LU dan 200 LS, salinitas mengalami penurunan ke arah kutub. Keadaan salinitas yang rendah pada daerah sekitar khatulistiwa disebabkan oleh tingginya curah hujan. Sedangkan untuk stasiun 1 dan 2 merupakan perairan tawar dengan salinitas seperti di perairan tawar lainnya yakni 0.

5.1.4. TSS Padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak dapat langsung mengendap, terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil dari sedimen. Misalnya tanah liat, bahan-bahan organik tertentu, sel-sel mikroorganisme dan sebagainya. Contohnya air permukaan mengandung tanah liat dalam bentuk suspensi yang dapat bertahan sampai berbulan-bulan, kecuali jika keseimbangannya terganggu oleh zat-zat lain sehingga mengakibatkan terjadinya penggumpalan yang kemudian diikuti oleh pengendapan (Kristanto, 2002). Berdasarkan hasil pengukuran pada tiap stasiun menunjukkan bahwa kandungan TSS di perairan Sungai Kampar dalam kriteria sangat baik yaitu bernilai < 4 mg/l menurut Canter dan Hill (1981) (Tabel 14). Rata-rata kandungan TSS di perairan Sungai Kampar sangat rendah. Diantara ketiga stasiun pengamatan terlihat bahwa kandungan TSS di stasiun pengamatan tiga yaitu di muara sungai sangat tinggi dibanding dua stasiun pengamatan lainnya. Hal ini disebabkan karena daerah stasiun pengamatan tiga merupakan daerah muara sungai yang merupakan perairan yang menampung segala proses atau aktifitas yang berada di atasnya dan memungkinkan tingginya padatan tersuspensi. Salah satu aktivitas manusia yang bisa menyebabkan terjadinya padatan tersuspensi adalah kegiatan pembukaan lahan baik untuk pembangunan maupun untuk kegiatan pertanian dan industri. Peningkatan kandungan TSS di lokasi penelitian diduga berhubungan erat dengan aliran air yang membawa bahan-bahan yang terlarut ke perairan yang lebih rendah atau dari hulu ke hilir. Peningkatan nilai TSS ini juga dapat disebabkan oleh banyak faktor salah satunya semakin banyak terjadi

55

penggundulan hutan yang menyebabkan terjadi pengikisan tanah yang masuk ke perairan melalui proses run-off. Tabel 14. Kriteria kualitas perairan berdasarkan kandungan total bahan tersuspensi (Canter and Hill, 1981) Kandungan Total Bahan Tersuspensi (mg/l) <4 4 10 10 15 15 20 20 - 35 5.2. Logam Berat Sebagaimana diketahui pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh adanya bahan pencemar yang mengandung logam berat, membahayakan bagi hidup dan kehidupan, baik secara langsung (ekosistem perairan) maupun tidak langsung (manusia). Keberadaan logam berat di lingkungan perairan sangat perlu diuji keberadaannya baik di badan perairan tersebut maupun bagi organisme yang mendiaminya. Untuk itu maka pengujian kandungan logam berat pada penelitian ini dilakukan terhadap air, sedimen dan ikan sebagai organisme ikan uji. Logam berat yang diamati adalah kadmium (Cd) dan timah hitam/timbal (Pb). Pb dan persenyawaannya dapat berada di dalam badan perairan secara alamiah dan sebagai dampak dari aktivitas manusia. Pb yang masuk ke dalam badan perairan sebagai dampak dari aktivitas kehidupan manusia ada bermacam bentuk. Diantaranya adalah air buangan (limbah) dari industri yang berkaitan dengan Pb, air buangan dari pertambangan bijih timah hitam dan sisa industri baterai. Buangan-buangan tersebut akan jatuh pada jalur-jalur perairan seperti anak-anak sungai untuk kemudian akan dibawa terus menuju lautan. Senyawa Pb yang ada dalam badan perairan dapat ditemukan dalam bentuk ion-ion divalen atau ion-ion tetravalen (Pb2+, Pb4+). Ion Pb tetravalen mempunyai daya racun yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan ion Pb divalen. Akan tetapi dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa ion Pb divalen lebih berbahaya dibandingkan dengan ion Pb tetravelen. Kriteria Kualitas Air Sangat Baik Baik Sedang Miskin Buruk

56

Logam kadmium (Cd) dan bermacam-macam bentuk persenyawaannya dapat masuk ke lingkungan, terutama sekali merupakan efek samping dari aktivitas yang dilakukan manusia. Logam kadmium (Cd) juga akan mengalami proses biotransformasi dan bioakumalasi dalam organisme hidup. Logam ini masuk ke dalam tubuh bersama makanan yang dikonsumsi, tetapi makanan tersebut telah terkontaminasi oleh logam Cd dan atau persenyawaannya. Dalam tubuh biota perairan jumlah logam yang terakumulasi akan terus mengalami peningkatan dengan adanya proses biomagnifikasi di badan perairan. Disamping itu, tingkatan biota dalam rantai makanan turut menentukan jumlah Cd yang terakumulasi.

5.2.1. Kandungan Logam Berat dalam Air dan Sedimen Logam berat yang masuk ke badan perairan dari berbagai macam kegiatan baik secara langsung menggunakan logam berat tersebut dalam kegiatannya maupun merupakan hasil sampingan dari aktivitas tersebut sangat berbeda-beda. Masuknya bahan pencemar berupa kandungan logam berat sangat merugikan bagi kehidupan, baik langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan dampak yang ditimbulkan dari pencemaran oleh logam berat tersebut terutama di badan perairan, maka sangat diperlukan kisaran konsentrasi atau nilai ambang batas dari konsentrasi logam berat yang direkomendasikan untuk masuk dan berada di lingkungan perairan. Hasil analisa kandungan logam berat yaitu Pb dan Cd dalam air dan sedimen secara jelas dapat dilihat pada Tabel 15 dan 16. Berdasarkan Tabel 15 bahwa terlihat jelas bahwa kandungan logam pada sedimen dan air tidak jauh berbeda. Kandungan logam Pb baik pada sedimen dan air secara keseluruhan di Perairan Kampar terjadi penurunan dari stasiun 1 sampai stasiun 3 yaitu 0,028 menjadi 0,011 dengan nilai R2 = 0,8996 untuk sedimen perairan, nilai kandungan Pb dari 0,017 menjadi 0,014 dengan nilai R2 = 0,25 untuk airnya. Perubahan kadar Pb pada masing-masing objek uji yaitu sedimen dan air terlihat jelas pada Gambar 8. Badan perairan yang telah terkontaminasi senyawa atau ion-ion Pb, jumlah Pb-nya akan melebihi konsentrasi yang semestinya, sehingga dapat menyebabkan kematian bagi biota yang terdapat dalam perairan. Bila konsentrasi

57

Pb mencapai 188 mg/l, akan dapat membunuh ikan-ikan yang berada dalam perairan tersebut (Palar, 1994).

Tabel 15. Nilai rata-rata kadar Pb (ppm) pada sedimen dan air Stasiun 1 2 3 1 2 3 Pb (ppm) 0,028 0,014 0,011 0,017 0,011 0,014 Baku Mutu IADC/CEDA 1997 (1000 mg/kg)

Sedimen

Air

Perikanan (0,01 mg/l) EPA (0,065 ppm)

Dari penelitian ini terlihat bahwa kandungan Pb di air pada stasiun dua (sekitar pabrik) menunjukkan nilai kandungan logam Pb yang lebih rendah dibandingkan dengan dua stasiun lainnya yaitu hulu dan hilir. Secara umum hasil penelitian ini menunjukkan kadar logam Pb dalam badan air masih dalam kategori layak berdasarkan ketentuan ambang batas nilai Pb di perairan yakni sebesar 0,01 mg/l. Untuk logam Pb dalam sedimen perairan terlihat bahwa kandungan logam Pb sangat tinggi dibanding dalam badan air. Hal ini terjadi karena sifat dari bahan logam tersebut. Sesuai dengan pendapat Hutagalung (1984) bahwa logam berat yang masuk ke dalam lingkungan perairan akan mengalami pengendapan, pengenceran dan dispersi, kemudian diserap oleh organisme yang hidup di perairan tersebut. Pengendapan logam berat di suatu perairan terjadi karena adanya anion karbonat hidroksil dan klorida. Logam berat mempunyai sifat yang mudah mengikat bahan organik dan mengendap di dasar perairan dan berikatan dengan partikel-partikel sedimen, sehingga konsentrasi logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibanding dalam air (Hutagalung, 1991). Logam berat yang terlarut dalam air akan berpindah ke dalam sedimen jika berikatan dengan materi organik bebas atau materi organik yang melapisi permukaan sedimen, dan penyerapan langsung oleh permukaan partikel sedimen (Wilson, 1988).

58

0.030

0.025

0.020 Kadar Pb (ppm )

0.015

Sedimen Air

0.010

0.005

0.000 I II Stasiun Pengamatan III

Gambar 8. Nilai rata-rata kadar Pb pada sedimen dan air di setiap stasiun Tingginya kadar logam Pb baik dalam badan air ataupun pada sedimen di stasiun satu disebabkan oleh banyak hal, antara lain adanya berbagai aktivitas seperti pertambangan, perkebunan yang menggunakan unsur Pb dalam proses produksinya. Selain itu pada stasiun satu atau bagian hulu Sungai Kampar, perairannya dijadikan sebagai waduk untuk tenaga pembangkit listrik yaitu PLTA Koto Panjang. Hal ini yang memungkinkan bahwa logam Pb lebih tinggi dibanding dua stasiun lainnya, karena aliran airnya terhambat dengan pembentukan waduk sehingga proses pembilasan atau self purification dari perairan terhadap logam Pb menjadi lebih lambat. Untuk stasiun dua dan tiga yang masih terpengaruh pasang surut, pasang surut ini akan ikut membantu proses pembilasan logam berat, sehingga kadar Pb yang ditemukan tidak setinggi bagian Hulu Sungai Kampar. Proses pembilasan yang terjadi di estuaria (stasiun 2 dan 3) erat kaitannya dengan percampuran massa air laut dengan air tawar yang disebabkan oleh adanya pasang surut. Estuaria yang memiliki pengaruh pasang yang lebih kuat, akan mampu membilas bahan pencemar dan mempengaruhi proses penyebarannya. Estuaria dengan waktu pembilasan berlangsung cepat akan memiliki kemampuan lebih cepat membersihkan diri dari bahan pencemar yang memasukinya. Sebaliknya estuaria dengan waktu pembilasan lebih lambat akan lebih lama mengencerkan pencemar yang masuk ke dalamnya.

59

Di perairan tawar, timbal membentuk senyawa kompleks yang memiliki sifat kelarutan rendah dengan beberapa anion, misalnya hidroksida, karbonat, sulfida, dan sulfat. Perairan tawar alami biasanya memiliki kadar timbal < 0,05 mg/l. Pada perairan laut, kadar timbal sekitar 0,025 mg/l. Kelarutan timbal pada perairan lunak (soft water) adalah 0,5 mg/l, sedangkan pada perairan sadah (hard water) sekitar 0,003 mg/l. Berdasarkan batas yang ditetapkan, kadar timbal di perairan Sungai Kampar masih dalam batas aman untuk kehidupan organisme akuatik karena nilainya < 0,05 mg/l. Untuk pengukuran kandungan Cd pada sedimen dan air ditunjukkan pada Tabel 18. Kandungan Logam Cd dalam sedimen pada stasiun dua menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan dua stasiun yang lainnya. Secara keseluruhan dari hulu ke hilir terjadi penurunan kandungan Cd pada sedimen yaitu dari 0,042188 menjadi 0,038422 dengan nilai R2 = 0,0971, sedangkan untuk kandungan logam Cd dalam badan air terjadi peningkatan dari 0,035156 menjadi 0,045573 dengan nilai R2 = 0,75 untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 9.

Tabel 16. Nilai rata-rata kadar Cd (ppm) pada sedimen dan air Stasiun 1 2 3 1 2 3 Cd (ppm) 0,042188 0,030361 0,038422 0,035156 0,035156 0,045573 Baku Mutu IADC/CEDA 1997 (1000 mg/kg)

Sedimen

Air

WHO (0,0002 mg/l) EPA (0,043 ppm) Perikanan (0,01mg/l)

60

0.050 0.045 0.040 0.035 Kadar Cd (ppm) 0.030 0.025 0.020 0.015 0.010 0.005 0.000 I II Stasiun Pengamatan III Sedimen Air

Gambar 9. Nilai rata-rata kadar Cd pada sedimen dan air di setiap stasiun Kadar kadmium pada perairan tawar alami 0,0001-0,01 mg/l, sedangkan pada perairan laut 0,0001 mg/l. Menurut WHO, kadar kadmium maksimum pada air yang diperuntukkan bagi air minum adalah 0,005 mg/l. Pada perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan pertanian dan perternakan, kadar kadmium sebaiknya tidak melebihi 0,05 mg/l. Untuk melindungi kehidupan pada ekosistem akuatik, perairan sebaiknya memiliki kadar kadmium sekitar 0,0002 mg/l. Kadar kadmium yang diperoleh dari hasil penelitian dari ke-3 stasiun pengamatan menunjukkan nilai yang cukup tinggi dibandingkan dengan standar yang ditetapkan yaitu sebesar 0.0002 mg/l. Kadar kadmium di perairan Sungai Kampar sangat tinggi, sehingga bisa membahayakan kehidupan organisme akuatik dan bagi manusia yang mengkonsumsi ikan baung tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar kadmium lebih tinggi dibanding logam timbal di perairan Sungai Kampar. Hal ini berkaitan erat dengan tingkat kelarutan logam tersebut, yakni logam Cd lebih sukar larut dibanding Pb. Selain itu berbagai aktivitas yang terdapat di sepanjang aliran Sungai Kampar secara langsung atau tidak langsung menggunakan logam Cd dalam aktivitasnya baik dalam bentuk ikatan senyawa ataupun unsur. Selain itu yang menjadi masalah di sini adalah konsentrasi logam Cd pada bagian hulu lebih tinggi dibanding bagian tengah dan muara Sungai Kampar. Hal ini disebabkan oleh adanya aktifitas pertambangan yang berada di sekitar bagian hulu dan juga disebabkan oleh

61

aktifitas manusia yang berada di Provinsi Sumatera Barat, karena hulu Sungai Kampar yang mengalir di Provinsi Riau bersumber dari Sumatera Barat. Kapasitas asimilasi didefinisikan sebagai kemampuan air atau sumber air dalam menerima pencemaran limbah tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukannya. Konsentrasi dari partikel polutan yang masuk ke perairan akan mengalami 3 macam fenomena yaitu pengenceran (dillution), penyebaran (dispersi) dan reaksi penguraian (decoy of reaction). Pengenceran terjadi pada arah vertikal ketika air limbah sampai di permukaan air. Peristiwa pengenceran pada permukaan perairan akan tercapai karena gelombang. Romimohtarto (1991) menyatakan bahwa setelah memasuki perairan pesisir dan laut sifat bahan pencemar ditentukan oleh beberapa faktor atau beberapa jalur dengan kemungkinan perjalanan bahan pencemar sebagai berikut 1. terencerkan dan tersebar oleh adukan turbulensi dan arus laut, 2. dipekatkan melalui a. proses biologis dengan cara diserap ikan, plankton nabati atau oleh ganggang laut bentik biota ini pada gilirannya dimakan oleh mangsanya, b. proses fisik dan kimiawi dengan cara absorpsi, pengendapan, pertukaran ion dan kemudian bahan pencemar itu akan mengendap di dasar perairan, 3. terbawa langsung oleh arus dan biota (ikan). Tingkat pencemaran atau pencampuran bahan organik dan anorganik yang masuk ke dalam perairan sungai, danau, estuari dan laut adalah berbeda karena kondisi hidrodinamika yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut berkaitan dengan model percampuran (mixing) dan penyebaran (dispersion) suatu bahan, yang berhubungan dengan kadar bahan pencemar, laju penguraian dan laju reaerasi. (Metclaff and Eddy, 1978) 5.2.2. Hubungan Logam berat dengan Parameter Kualitas Air. Untuk menentukan kualitas air terhadap konsentrasi logam dalam air sangat sulit, karena erat hubungannya dengan partikel tersuspensi yang terlarut di dalamnya. Logam-logam dalam lingkungan perairan umumnya berada dalam bentuk ion. Ion-ion itu ada yang merupakan ion-ion bebas, pasangan ion organik, ion-ion kompleks dan bentuk-bentuk ion lainnya.

62

pH akan mempengaruhi konsentrasi logam berat di perairan, dalam hal ini kelarutan logam berat akan lebih tinggi pada pH rendah, sehingga menyebabkan toksisitas logam berat semakin besar. Nilai pH pada perairan Sungai Kampar menunjukkan bahwa dari hulu sampai hilir terjadi penurunan nilai pH dari 6 4,5.

Kenaikan pH pada badan perairan biasanya akan diikuti dengan semakin kecilnya kelarutan dari senyawa-senyawa logam tersebut. Umumnya pada pH yang semakin tinggi, maka kestabilan akan bergeser dari karbonat ke hidroksida. Hidroksida-hidroksida ini mudah sekali membentuk ikatan permukaan dengan partikel-partikel yang terdapat pada badan perairan. Lama-kelamaan

persenyawaan yang terjadi antara hidroksida dengan partikel-partikel yang ada di badan perairan akan mengendap dan membentuk lumpur. Salinitas juga dapat mempengaruhi keberadaan logam berat di perairan, bila terjadi penurunan salinitas maka akan menyebabkan peningkatan daya toksik logam berat dan tingkat bioakumulasi logam berat semakin besar. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa pada bagian hulu dan sekitar pabrik yang nilai salinitas nya 0 memperlihatkan bahwa kandungan logam berat Pb dan Cd yang tinggi dibandingkan pada perairan disekitar muara Sungai Kampar yang memiliki nilai salainitas 0,5. Suhu perairan mempengaruhi proses kelarutan akan logam-logam berat yang masuk ke perairan. Dalam hal ini semakin tinggi suatu suhu perairan kelarutan logam berat akan semakin tinggi. Pada hulu Sungai Kampar suhu perairan menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan dua stasiun lainnya, sehingga kelarutan akan bahan pencemar di perairan semakin rendah, sehingga kandungan akan logam Pb dan Cd pada hulu Sungai Kampar lebih tinggi dibandingkan di tengah (sekitar pabrik) dan hilir Sungai Kampar. Hal ini sesuai dengan pendapat Darmono (2001) yang menyatakan bahwa suhu yang tinggi dalam air menyebabkan laju proses biodegradasi yang dilakukan oleh bakteri pengurai aerobik menjadi naik dan dapat menguapkan bahan kimia ke udara. Tingkah laku logam-logam di dalam badan perairan juga dipengaruhi oleh interaksi yang terjadi antara air dengan sedimen (endapan). Keadaan ini terutama sekali terjadi pada bagian dasar dari perairan. Dalam hal ini pada dasar perairan, ion logam dan kompleks-kompleksnya yang terlarut dengan cepat akan

63

membentuk partikel-partikel yang lebih besar, apabila terjadi kontak dengan permukiman partikulat yang melayang-layang dalam badan perairan. Partikelpartikel tersebut terbentuk dengan bermacam-macam bentuk ikatan permukaan (Palar, 2004). Sedimen yang terdapat pada perairan Sungai Kampar tergolong pada jenis substrat berpasir dan berlumpur. Pada hulu Sungai Kampar yang memiliki substrat berpasir dan sedikit berlumpur, mengakibatkan logam-logam berat yang masuk ke perairan sangat tinggi. Dalam hal ini pada dasar perairan tersebut tidak terjadi pengikatan antara ion-ion logam dengan substrat berpasir tersebut, dan dengan nilai padatan tersuspensi yang lebih rendah dibanding pada bagian tengah dan hilir Sungai Kampar. Sebaliknya pada muara Sungai Kampar ion-ion logam yang masuk ke badan perairan berikatan dengan partikel-partikel tersuspensi dengan nilai kandungan TSS yang tinggi dibandingkan pada dua stasiun lainnya yang ada dalam badan perairan dan membentuk ikatan kompleks yang terlarut dan mengendap di dasar perairan yang memiliki substrat berlumpur.

5.2.3. Kandungan Logam Berat Pada Insang dan Ginjal Ikan Ikan uji yang diteliti adalah ikan baung. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa jenis ikan baung merupakan jenis ikan yang umum ditemui dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat setempat. Penentuan ikan baung menjadi ikan uji adalah karena diperlukannya suatu keseragaman dalam pengambilan sampel pada setiap stasiun dengan karakteristik yang berbeda dari hulu sampai muara sungai. Sementara itu ikan baung yang hidup di dasar sebagaimana hewan dasar lainnya, dapat digunakan sebagai bioindikator pencemaran limbah B3 (bahan berbahaya beracun) (Riani, 2004). Ikan baung terdapat pada setiap stasiun pengamatan karena ikan baung tergolong ikan potradomous yaitu ikan yang berasal dari daerah hulu sungai yang melakukan pemijahan di daerah muara sungai. Dalam memonitor pencemaran di suatu lingkungan yang dianggap tercemar logam berat, analisis biota air sangat penting artinya daripada analisis kualitas air. Hal ini disebabkan konsentrasi logam berat dalam air akan mengalami perubahan dan sangat tergantung pada lingkungan dan iklim. Konsentrasi logam berat dalam biota air biasanya senantiasa bertambah seiring dengan bertambahnya

64

waktu dan juga karena sifat dari logam yang bioakumulatif sehingga biota air sangat baik digunakan sebagai indikator pencemaran logam dalam suatu lingkungan perairan.

Tabel 17. Nilai rata-rata kadar Pb (ppm) pada organ ikan baung Stasiun 1 2 3 1 2 3 Pb (ppm) 0,0139 0,0102 0,0145 0,0214 0,0098 0,0309 Baku Mutu 2,0 mg/kg (SNI 01-4106-1996)

Insang

Ginjal

Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan dan setelah dilakukan analisis statistik didapatkan bahwa nilai kandungan Pb baik pada organ insang dan ginjal ikan menunjukkan bahwa pada stasiun satu (bagian hulu sungai) nilai ratarata kandungan Pb pada insang sebesar 0,014 ppm pada ginjal 0,021 ppm, namun di stasiun dua terjadi penurunan pada tiap organ masing-masing menjadi 0,010 ppm dan 0,010 ppm dan kadar Pb meningkat lagi pada Stasiun tiga masingmasing sebesar 0,015 ppm dan 0,031 ppm. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 17 dan Gambar 10 dan setelah dilakukan analisis regresi didapatkan bahwa kandungan logam Pb pada insang ikan berkorelasi positif dengan nilai R2 = 0,0222, sedangkan untuk ginjal R2 = 0,2007. Timbal juga dapat menutupi lapisan mukosa pada organisme akuatik dan selanjutnya dapat menyebabkan sufokasi.

65

0.035

0.030

0.025

Kadar Pb (ppm )

0.020 Insang Ginjal 0.015

0.010

0.005

0.000 I II Stasiun Pengamatan III

Gambar 10.

Nilai rata-rata kadar Pb pada organ insang dan ginjal ikan setiap stasiun

Kandungan Cd pada organ insang dan ginjal ikan terjadi penurunan dengan kisaran 0,0276 0,0274 ppm dengan nilai R2 = 0,9895 pada insang ikan, dan pada ginjal ikan juga terjadi penurunan dengan nilai R2 = 0,9954 dari 0,0338 menjadi 0,0257. Secara rata-rata kandungan Cd yang masuk ke insang dan ginjal ikan mengalami penurunan dari hulu sampai hilir sungai. Untuk lebih jelasnya nilai-nilai pengujian kandungan logam Cd pada organ insang dan ginjal ikan terlihat pada Tabel 18 dan Gambar 11.

Tabel 18. Nilai rata-rata kadar Cd (ppm) pada organ ikan baung Stasiun 1 2 3 1 2 3 Cd (ppm) 0,0276 0,0275 0,0274 0,0338 0,0293 0,0257 Baku Mutu 0,2 mg/kg (SNI 19-2896-1992)

Insang

Ginjal

66

0.035

0.030

0.025 Kadar Cd (ppm )

0.020 Insang 0.015 Ginjal

0.010

0.005

0.000 I II Stasiun Pengamatan III

Gambar 11.

Nilai rata-rata kadar Cd pada organ insang dan ginjal ikan setiap stasiun

Berdasarkan analisa terhadap organ ikan yaitu insang dan ginjal, sebagian menunjukkan nilai yang meningkat dari stasiun 1 (hulu) sampai stasiun 3 (hilir), peningkatan pada ginjal lebih besar dibanding insang, hal ini karena pada organisme ikan, bahan pencemar (Cd dan Pb) yang pertama sekali masuk ke dalam tubuh ikan melalui organ pernafasan yaitu insang menyaring bahan pencemar masuk ke dalam tubuh, selanjutnya didistribusikan ke seluruh tubuh melalui aliran darah dan akhirnya terakumulasi di ginjal ikan. Peningkatan kandungan logam Pb dan Cd di ginjal terjadi karena intensitas masuknya logam ke dalam tubuh ikan yang terus menerus, sehingga ginjal mempunyai keterbatasan dalam menganulir bahan pencemar yang terus masuk ke dalam tubuh. Lama kelamaan akan bisa menyebabkan perubahan dalam bentuk morfologi, reproduksi dan genetika bahkan bisa menyebabkan kematian ikan karena keterbatasan organ tubuh untuk mengeliminasi bahan pencemar sangat kecil dibandingkan dengan intensitas atau banyaknya bahan pencemar yang masuk ke dalam tubuh ikan tersebut. Secara umum kandungan logam berat Cd lebih banyak terkandung dalam tubuh ikan, baik insang dan ginjal ikan dibanding logam berat Pb. Hal ini sejalan dengan pendapat Darmono (2001) bahwa jumlah akumulasi logam pada jaringan tubuh organisme adalah dari yang besar ke yang kecil berturut-turut pada ginjal,

67

hati, insang, daging. Hal ini terbukti pada penelitian ini bahwa di dalam tubuh ikan, ginjal yang memegang peranan penting dalam menganulir bahan pencemar yang masuk ke dalam tubuh. Berdasarkan kekuatan penetrasi logam ke dalam Jaringan berturut-turut ialah : Cd, Hg, Pb, Cu, Zn, Ni. Kandungan Logam Cd jelas memiliki kekuatan penetrasi yang kuat untuk masuk ke dalam tubuh organisme ikan dibandingkan Pb. Kadmium juga bersifat toksik dan bioakumulatif terhadap organisme. Toksisitas kadmium dipengaruhi oleh pH dan kesadahan. Selain itu, keberadaan seng dan timbal dapat meningkatkan toksisitas kadmium. Polutan masuk ke dalam tubuh organisme, masuk melalui aliran darah di respiratori epithelia atau permukaan luar dari tubuh ikan. Berdasarkan hasil analisa statistik terlihat bahwa kandungan logam berat Pb (Lampiran 1) menunjukkan interaksi yang nyata dengan nilai P > 0,05 antara faktor air, sedimen, insang dan ginjal ikan terhadap stasiun pengamatan (hulu, tengah dan hilir Sungai Kampar). Perbedaan kandungan logam berat pada masingmasing perlakuan (air, sedimen, insang dan ginjal) dan pada masing-masing stasiun (hulu, tengah, hilir Sungai Kampar) menunjukkan nilai sangat nyata pada taraf P > 0,05. Kandungan logam Cd di perairan Sungai Kampar berdasarkan analisis statistik (Lampiran 2) menunjukkan tidak adanya interaksi antara perlakuan dengan stasiun pengamatan pada taraf p > 0,05. Kandungan logam Cd pada masing-masing stasiun menunjukkan tidak adanya perbedaan pada taraf P > 0,05. Sedangkan untuk masing-masing perlakuan (air, sedimen, insang dan ginjal ikan) menunjukkan adanya perbedaan akan kandungan logam Cd. Namun demikian data-data tersebut masih harus diperkuat oleh analisis yang dapat menggambarkan efek yang ditimbulkan oleh bahan pencemar (logam berat) terhadap ikan. Adapun analisis yang dapat memberi gambaran tersebut adalah analisa histopatologi.

5.3. Analisis Histopatologi Gambaran histopatologi organ ikan baung ini dapat dijadikan indikasi ada atau tidak adanya pencemaran. Hal ini disebabkan analisa histopatologi organ

68

insang dan ginjal ikan akan dapat menunjukkan kerusakan jaringan yang beragam, sehingga dapat dijadikan indikasi terjadinya pencemaran perairan Sungai Kampar oleh logam berat maupun oleh substansi lainnya yang menyebabkan struktur sel mengalami kerusakan.

5.3.1. Analisis Histopatologi Ginjal Ikan Baung (Hemibagrus nemurus) Organ ginjal pada ikan baung yang terdapat di Sungai Kampar mengindikasikan bahwa lokasi penelitian sudah tercemar oleh logam. Hal ini terlihat dari kelainan yang terjadi pada struktur sel ginjal ikan baung tersebut. Dalam hal ini pada ginjal terjadi mineralisasi, nekrosa, infeksi dan radang limfosit. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 19 dan Gambar 12, 13 dan 14 dan sebagai pembanding ginjal ikan normal dapat dilihat pada Gambar 15.

Tabel 19. Perubahan histologi ginjal ikan baung Stasiun Pengamatan I Ginjal A. Bintik hitam (adanya mineralisasi) B. Sel radang (limfosit) C. Nekrosa pada tubulus A. Pendarahan B. Nekrosa pada tubulus C. Glomerulus mengalami infeksi D. Sel radang (limfosit) A. Pendarahan B. Glomerulus mengalami infeksi C. Nekrosa pada tubulus D. Sel radang (limfosit) Keterangan Mineralisasi : indikasi adanya bahan pencemar yang masuk ke dalam organ Nekrosa : kematian sel Pendarahan : sel yang mengalami pendarahan Sel radang limfosit : indikasi pencemaran sudah berlangsung lama pada organ tersebut

II

III

69

B A C

Gambar 12. Analisis histopatologi ginjal ikan baung pada stasiun 1 (hulu sungai kampar). (A) Bintik hitam (adanya mineralisasi), (B) Sel radang (limfosit), (C) Nekrosa pada tubulus (Pembesaran 40x10)

A C
Gambar 13.

Analisis histopatologi ginjal ikan baung pada stasiun 2 (sekitar pabrik) (A) Pendarahan, (B) Nekrosa pada tubulus, (C) Glomerulus mengalami infeksi, (D) Sel radang (limfosit) (Pembesaran 40x10)

70

A D
Gambar 14. Analisis histopatologi ginjal ikan baung pada stasiun 3 (muara sungai kampar), (A) Pendarahan, (B) Glomerulus mengalami infeksi, (C) Nekrosa pada tubulus, (D) Sel radang (limfosit) (Pembesaran 40x10)

Gambar 15. Ginjal ikan normal

71

Secara keseluruhan dari hasil analisa histopatologi menunjukkan bahwa ginjal ikan baung mengalami peradangan (nephritis), pendarahan (hemorage), nekrosa, gomerulus dan tubulus mengalami perusakan, serta terdapat bintik-bintik hitam. Sel yang mengalami peradangan pada organ ginjal ikan baung di perairan Sungai Kampar tersebut adalah sel limfosit. Sel limfosit yang radang tersebut mengindikasikan bahwa pencemaran yang terjadi di Sungai Kampar diduga sudah berlangsung lama.

5.3.2. Analisis Histopatologi Insang Ikan Baung (Hemibagrus nemurus) Dalam menganalisis suatu pencemaran dalam tubuh organisme terutama pada ikan, organ insang memiliki peranan yang penting. Insang merupakan salah satu media masuknya berbagai macam partikel tersuspensi yang ada di perairan, selain melalui kulit dan sistem pencernaan. Semakin lama paparan akan suatu bahan pencemar akan berpengaruh pada kerusakan organ insang ikan yang akan terlihat jelas melalui pengamatan histologi. Berdasarkan hasil analisa histopatologi terhadap organ insang, pada ikan baung terlihat adanya kelainan atau perubahan pada organ tersebut. Perubahan tersebut antara lain adalah adanya perubahan-perubahan yang terjadi pada organ insang ikan baung di perairan Sungai Kampar yakni mengalami degenerasi, deformasi, nekrosis dan hypertrophy seperti yang tercantum pada Tabel 20, Gambar 16 (bagian hulu Sungai Kampar), Gambar 17 (disekitar pabrik) dan Gambar 18 (muara Sungai Kampar).

72

Tabel 20. Perubahan histologi insang ikan baung Stasiun Pengamatan Insang A. Degenerasi sel-sel lamella B. Mineralisasi C. Deformasi sel-sel lamella D. Pembengkakan A. Degenerasi sel-sel lamella B. Mineralisasi C. Nekrosis D. Hypertrophi A. Degenerasi sel-sel lamella B. Mineralisasi C. Pembengkakan Keterangan Degenerasi : lamella insang yang mengalami lisis atau hancur Deformasi : susunan lamella yang tidak teratur Nekrosis : kematian sel Hypertrophi : pembesaran akibat suatu penyakit/pertumbuhan yang berlebihan pada suatu bagian tubuh

II

III

D A

Gambar 16. Analisa histopatologi insang ikan baung pada stasiun 1 (hulu Sungai Kampar) (A) Degenerasi sel-sel lamella, (B) Mineralisasi, (C) Deformasi sel-sel lamella (D) Pembengkakan (Pembesaran 40x10)

73

C
Gambar 17. Analisa histopatologi insang ikan baung pada stasiun 2 (sekitar pabrik) (A) Degenerasi sel-sel lamella, (B) Mineralisasi, (C) Nekrosis, (D) Hypertrophi (Pembesaran 40x10)

A C

Gambar 18. Analisa histopatologi insang ikan baung pada stasiun 3 (muara Sungai Kampar), (A) Degenerasi sel-sel lamella, (B) Mineralisasi, (C) Pembengkakan (Pembesaran 40x10)

74

Dari Tabel 20 dan Gambar 16, 17 dan 18 tersebut dapat dilihat bahwa hampir semua insang ikan baung yang diambil dari perairan Sungai Kampar pada setiap stasiun memperlihatkan terjadinya gejala kerusakan jaringan yaitu degenerasi sel-sel lamella dan mineralisasi. Hal ini disebabkan insang merupakan organ pertama tempat penyaringan air yang masuk ke dalam tubuh ikan, oleh karenanya jika air di suatu perairan mengandung logam berat akan memberikan dampak pada jaringan organ insang tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Darmono (2001) bahwa insang sangat peka terhadap pengaruh toksisitas logam berat. Dengan terakumulasinya bahan pencemar (logam berat) pada insang ikan, akan memberikan gangguan pada fungsi normal metaloenzim dan metabolisme terhadap sel. Jika metaloenzim disubsitusi oleh yang bukan semestinya, maka protein akan mengalami deformasi sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan katalitik enzim tersebut. Mineralisasi yang terdapat pada insang ikan baung secara histologi terlihat dari adanya bintik hitam, merupakan indikasi adanya suatu bahan pencemar yang masuk ke dalam insang ikan melalui media air. Bahan pencemar yang masuk dalam insang ikan diduga berasal dari kandungan logam berat. Sebagai bahan perbandingan antara organ insang ikan yang tercemar dengan organ insang ikan normal dapat dilihat pada Gambar 19 dan 20. Pada organ insang yang masih normal susunan struktur dari lamella-lamella masih sangat teratur, terlihat antara lamella primer dengan lamella sekundernya, jaringan kartilago yang berisi pembuluh darah juga masih terlihat solid.

75

Gambar 19.

Insang ikan normal (1) gill raker (2) mucosal epithelium, (3) basement membrane, (4) submucosa, (5) Bone, (6) adipose tissue, (7) efferent branchial arterioles, (8) afferent branchial artery, (9) primary lamellae, (10) secondary lamellae.

Gambar 20. Histologi insang ikan normal (sumber : Sims, 2005)

5.4. Distribusi Logam Berat Distribusi suatu bahan pencemar dalam tatanan ekosistem sangat penting diperhatikan, karena sangat erat kaitannya dengan keberlanjutan ekosistem tersebut dan dampak yang akan ditimbulkan dari pendistribusian bahan pencemar tersebut tidak terkecuali untuk ekosistem perairan. Sebagaimana diketahui, ekosistem perairan yang terdapat di Provinsi Riau mempunyai peranan penting bagi masyarakat adalah ekosistem perairan Sungai Kampar. Sungai Kampar

76

melewati berbagai daerah yang ada di Provinsi Riau dan dimanfaatkan langsung oleh masyarakat untuk kehidupannya, baik dengan memanfaatkan air sungai tersebut maupun memanfaatkan organisme yang berada di ekosistem Sungai Kampar seperti ikan, krustasea dan organisme lainnya. Distribusi bahan pencemar terutama logam berat menjadi faktor penting dalam penentuan kualitas perairan bagi masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan data yang diperoleh, koefisien distribusi logam terutama logam Pb dan Cd di perairan Sungai Kampar, terlihat bahwa logam lebih banyak terdistribusi di stasiun satu sedangkan pada stasiun dua dan tiga telah mengalami penurunan atau dengan kata lain bahan pencemar sudah mengalami pengenceran. Hal ini dikarenakan karakteristik perairan Sungai Kampar yang mengalami pasang surut dua kali dalam sehari, dan sering terjadinya bono (gelombang besar yang datang dari arah laut pada saat pasang), menjadi penyebab yang mempercepat perairan melakukan purifikasi. Polutan ditransportasikan dengan jarak yang sangat jauh. Jarak perjalanan suatu polutan tergantung pada faktor seperti stabilitas perairan dan sifat fisik dari polutan dan kecepatan aliran dari perairan tersebut. Selain itu faktor densitas dari perairan juga merupakan faktor yang penting. Dalam hal ini densitas akan meningkat jika temperatur dan konsentrasi garam ikut meningkat pula. Untuk lebih jelasnya koefisien distribusi logam Pb dan Cd dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Hasil perhitungan koefisien distribusi dan biokonsentrasi faktor Koefisien Distribusi No 1 2 3 Stasiun I II III Faktor Pb 1,7220 1,3044 0,7706 biokonsentrasi Cd 1,2000 0,8636 0,8431 juga Biokonsentrasi Faktor BCF1 BCF2 Pb Cd Pb Cd 2,1341 1,7460 1,2393 1,4550 1,8155 1,6151 1,3919 1,8703 3,2992 1,1649 4,2816 1,3817 memegang peranan penting dalam

pendistribusian logam. Karena biokonsentrasi faktor melihat distribusi kandungan logam yang terdapat di perairan, baik di badan air itu sendiri maupun di dasar perairan yaitu pada substratnya terhadap organisme uji terutama ikan. Dengan penentuan biokonsentrasi faktor ini, bisa memberikan gambaran dasar seberapa

77

jauh organisme perairan telah tercemar oleh bahan pencemar terutama logam berat. Kandungan Logam Pb yang terdistribusi pada organisme ikan, baik dengan sedimen dan air dari semua stasiun pengamatan terlihat bahwa stasiun tiga telah mengalami pendistribusi kandungan logam dalam tubuh organisme yang paling tinggi. Untuk logam Cd stasiun dua mempunyai nilai biokonsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan stasiun pengamatan lainnya. Semua spesies hewan air sangat dipengaruhi oleh hadirnya logam yang terlarut dalam air, terutama pada konsentrasi yang melebihi normal. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi daya toksisitas logam dalam air terhadap mahluk yang hidup di dalamnya, yaitu sebagai berikut: 1. Bentuk ikatan kimia dari logam yang terlarut 2. Pengaruh interaksi antara logam dan toksikan lainnya. 3. Pengaruh lingkungan seperti suhu, kadar garam, pH dan kadar oksigen yang terlarut dalam air. 4. Kondisi biota, fase siklus hidup, besarnya ukuran organisme, jenis kelamin, dan kecukupan kebutuhan nutrisi. 5. Kemampuan biota untuk menghindar dari pengaruh polusi. 6. Kemampuan organisme untuk beraklimatisasi terhadap bahan toksik logam.

5.5. Korelasi Logam Berat pada sedimen, air dan organ ikan. Hasil uji korelasi logam Pb dari variabel-variabel pengamatan yaitu air, sedimen, insang dan ginjal ikan disajikan pada Tabel 22.

Tabel 22. Korelasi logam Pb pada sedimen, air dan organ ikan Sedimen Sedimen Air Insang Ginjal 1 0,7487 0,1721 -0,1415 Air 1 0,7819 0,5503 Insang Ginjal

1 0,9508

Tabel 22. menunjukkan nilai korelasi antara variabel pengamatan. Penentuan nilai korelasi antar variabel pengamatan bertujuan untuk melihat keeratan antar variabel pengamatan terhadap kandungan logam Pb. Semakin

78

tinggi nilai korelasi atau nilai korelasi mendekati 1 dan -1 berarti keeratan antar variabel makin erat. Berdasarkan hasil perhitungan, nilai korelasi antar variabel terhadap logam Pb bervariasi dari -0,1415 sampai 0,9508. Hubungan keeratan antar variabel yang terlihat sangat erat adalah antar organ insang dan ginjal ikan. Dalam hal ini nilai korelasi mendekati 1 yaitu sebesar 0,9508 berarti bahwa semakin tinggi kandungan logam Pb dalam organ insang, semakin tinggi juga kandungan logam Pb di ginjal ikan. Keeratan hubungan antar insang dan ginjal ini disebabkan oleh adanya proses fisiologis yang terjadi dalam tubuh ikan baung tersebut. Organ insang sebagai filter yang pertama dalam masuknya bahan pencemar akan menyaring bahan pencemar tersebut. Bahan pencemar yang tidak mampu disaring oleh insang akan diekskresikan oleh organ ginjal, karena ginjal berfungsi dalam ekskresi yang akan memfilter dan mengekskresikan bahan yang tidak dibutuhkan oleh tubuh. Keeratan hubungan juga terlihat pada insang dengan media air, dengan nilai korelasi 0,7819. Keeratan hubungan antara air dan organ insang ini sejalan dengan fungsi insang sebagai alat pernafasan bagi ikan. Dalam hal ini organ insang berhubungan langsung dengan air dalam melakukan respirasi. Dalam air yang terkontaminasi oleh bahan pencemar, baik secara langsung maupun tidak langsung bahan pencemar tersebut akan ikut masuk atau terikat pada organ insang pada saat ikan melakukan respirasi. Proses pengendapan logam berat dalam air membutuhkan waktu yang cukup lama dan banyak faktor fisika dan kimia perairan yang ikut mempengaruhi proses pengendapan dan pendistribusian logam berat tersebut di perairan. Oleh karena itu maka nilai korelasi antara sedimen dan air cukup tinggi yang mengandung arti bahwa keduanya berkorelasi cukup erat dengan nilai 0,7487. Tingginya logam berat di perairan juga berkorelasi positif terhadap substrat dasarnya. Pendistribusian logam berat dalam air untuk sampai ke dasar perairan tergantung pada faktor fisika kimia perairan tersebut serta banyaknya dan tingkat intensitas aktivitas manusia yang bisa menyebabkan tingginya logam berat di perairan. Korelasi atau hubungan antara variabel lainnya menunjukkan tingkat keeratan yang tidak terlalu menonjol. Hal ini terlihat pada Tabel 22 yang nilai korelasinya sangat kecil dan tidak mendekati nilai 1 dan -1. Hasil analisis korelasi

79

logam Cd dari variabel-variabel pengamatan yaitu air, sedimen, insang dan ginjal ikan disajikan pada Tabel 23

Tabel 23. Korelasi logam Cd pada sedimen, air dan organ ikan Sedimen Sedimen Air Insang Ginjal 1 0,2052 0,2126 0,3756 Air 1 -0,9127 -0,8300 Insang Ginjal

1 0,98546

Tingkat keeratan antar variabel terhadap logam berat Cd, juga menunjukkan korelasi yang sangat erat antara organ insang dengan ginjal ikan yaitu sebesar 0,98546. Korelasi yang positif antara organ insang dan ginjal ikan terhadap bahan pencemar disebabkan adanya proses fisiologis dalam tubuh ikan itu sendiri yakni terjadinya akumulasi logam-logam berat tersebut pada organ tubuh. Tapi ada beberapa variabel yang menunjukkan nilai korelasi yang mendekati -1, yaitu korelasi antara air dan insang dengan nilai korelasi -0,9127 dan korelasi antara air dan ginjal dengan nilai korelasi -0,8300. Nilai korelasi tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan Cd dalam air maka semakin rendah kandungan Cd dalam organ insang dan ginjal ikan baung yang terdapat di Sungai Kampar. Hal ini mengandung arti bahwa proses masuknya logam Cd pada ikan baung sangat sedikit yang melalui proses respirasi pada insang, hal ini diduga karena logam Cd masuk melalui permukaan kulit ataupun proses metabolisme (dari organisme lain melalui proses rantai makanan). Untuk variabel lainnya tingkat keeratannya sangat rendah dengan nilai antara 0,2126 sampai 0,3756. Sedangkan variabel dengan tingkat keeratan yang rendah adalah antara sedimen dengan air, serta antara insang dengan ginjal ikan.

5.6. Pengelolaan Wilayah Sungai Kampar Pengelolaan wilayah pesisir (estuaria) tidak hanya berdasarkan seberapa jauh pengaruh pasang dan surut suatu ekosistem, tapi sebaiknya lebih dititik beratkan kepada keterkaitan ekosistem pesisir (estuari) dengan ekosistem lainnya dan harus dimulai dari hulu sampai hilir suatu perairan. Konsep pengelolaan

80

wilayah pesisir terpadu adalah keterkaitan ke tiga aspek kehidupan yang ada yaitu aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran dari segi ekologi tentang kondisi perairan Sungai Kampar pada saat ini yang diindikasikan tercemar oleh logam berat akibat berbagai aktivitas yang ada di sekitarnya. Perairan Sungai Kampar yang melintas di Kabupaten Kampar dan Pelelawan mendapat berbagai tekanan dari aktivitas di daratan. Hal ini dapat dilihat dari jenis-jenis ikan yang terdapat di perairan sungai kampar sudah mengalami penurunan baik jumlah maupun jenisnya. Untuk itu sangat diperlukan kajian secara ekologis mengenai ekosistem perairan Sungai Kampar dari hulu sampai hilir, karena tingginya tekanan yang masuk ke perairan Sungai Kampar dapat merusak ekosistem perairan Sungai Kampar tersebut. Hal ini dapat menyebabkan perairan yang tekanan dari luar melebihi kapasitas dari asimiliasi perairan akan mengalami pencemaran, sehingga suatu ekosistem perairan tidak bisa dimanfaatkan lagi sesuai dengan peruntukannya. Khususnya kualitas perairan dengan indikator kualitas air dan organisme yang ada di dalamnya Berdasarkan hasil analisa kandungan logam berat baik pada organisme, air dan sedimen serta analisa histopatologi, dan tingkat pencemaran ke-3 stasiun penelitian ini menunjukkan perbedaan yakni semakin ke hilir tingkat pencemarannya semakin rendah. Berdasarkan data kualitas air memperlihatkan bahwa salah satu pencemar tersebut adalah logam berat yang berasal dari limbah industri. Mengingat bahaya yang ditimbulkan logam berat cukup besar maka industri-industri yang membuang limbahnya ke Sungai Kampar harus mengolah terlebih dahulu limbah yang dihasilkannya sebelum masuk (dibuang) ke Sungai Kampar atau dengan kata lain setiap industri yang ada di sekitar Sungai Kampar harus mempunyai IPAL (instalasi pengolahan air limbah) yang memadai sehingga kelestarian ekosistem Sungai Kampar dapat dipertahankan.

Anda mungkin juga menyukai