Anda di halaman 1dari 11

Aspek Metode Istinbath Hukum

Sebagaimana telah disepakati oleh ulama, meskipun mereka berlainan


mazhab, bahwa segala ucapan dan perbuatan yang timbul dari manusia, baik
berupa ibadah, muamalah, pidana, perdata, atau berbagai macam perjanjian, atau
pembelanjaan, maka semua itu mempunyai hukum di dalam syariat Islam.
Hukum-hukum ini sebagian telah dijelaskan oleh berbagai nash yang ada di
dalam Al-Qur`an dan As Sunnah, dan sebagian lagi belum dijelaskan oleh nash
dalam Al-Qur`an dan As Sunnah, akan tetapi syari`at telah menegakkan dalil
dan mendirikan tanda-tanda bagi hukum itu, dimana dengan perantaraan dalil
dan tanda itu seorang mujtahid mampu mencapai hukum itu dan
menjelaskannya.
Dari kumpulan hukum-hukum syara` yang berhubungan dengan
ucapan dan perbuatan yang timbul dari manusia, baik yang diambil dari nash
dalam berbagai kasus yang ada nashnya, maupun yang diistimbatkan dari
berbagai dalil syar`i lainnya dalam kasus-kasus yang tidak ada nashnya,
terbentuklah Iiqh.70 Berdasarkan penelitian diperoleh ketetapan di kalangan
ulama, bahwa dalil-dalil yang dijadikan dasar hukum syar`iyyah mengenai
perbuatan manusia kembali kepada empat sumber, yaitu: Al-Qur`an, As Sunnah,
Ijma, dan Qiyas. Sedangkan asas dalil-dalil ini dan sumber syari`at Islam yang
pertama adalah Al-Qur`an kemudian As Sunnah yang menaIsirkan terhadap
kemujmalan Al-Qur`an, mengkhususkan keumumannya, dan membatasi
kemutlakannya. As Sunnah merupakan penjelas dan penyempurnaan terhadap
Al-Qur`an.
Kaidah-kaidah pembentukan hukum Islam ini, oleh ulama Ushul
diambil berdasarkan penelitian terhadap hukum-hukum syara, illat-illatnya, dan
hikmah (IilsaIat) pembentukannya. Diantara nash-nash itu pula ada yang
menetapkan dasar-dasar pembentukan hukum secara umum, dan pokok-pokok
pembentukannya secara keseluruhan. Seperti juga halnya wajib memelihara
dasar-dasar dan pokok-pokok itu dalam mengistimbath hukum dari nashnashnya,
maka wajib pula memelihara dasar-dasar dan pokok-pokok itu dalam
hal yang tidak ada nashnya, supaya pembentukan hukum itu dapat merealisir apa
yang menjadi tujuan pembentukan hukum itu, dan dapat mengantarkan kepada
merealisir kemaslahatan manusia serta menegakkan keadilan di antara mereka.71
Tujuan Syari dalam pembentukan hukumnya, yaitu merealisir
kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan pokoknya dan memenuhi
kebutuhan sekunder serta kebutuhan pelengkap mereka. Jadi setiap hukum syara
tidak ada tujuan kecuali salah satu dari tiga unsur tersebut, dimana dari tiga
unsur tersebut dapat terbukti kemaslahatan manusia. %ahsiniyah tidak berarti
dipelihara jika dalam pemeliharaannya itu terdapat kerusakan bagi Hafiyah. Dan
Hafiyah, juga %ahsiniyah tidak berarti dipelihara jika dalam pemeliharaan salah
satunya terdapat kerusakan bagi Dharuriyah.
Kaedah pertama ini menjelaskan tujuan umum Syari` dalam
pembentukan hukum syara. Baik hukum itu bersiIat taklifi (pembebanan yang
wajib) atau wadhii (positiI buat manusia). Dan menjelaskan juga tingkatantingkatan
hukum menurut tujuannya. Mengetahui tujuan umum syari` dalam
pembentukan hukumnya adalah termasuk sesuatu yang amat penting untuk
dijadikan alat penolong mengetahui dengan jelas nash-nash pembentukan hukum
itu. Dan untuk menerapkan nash-nash itu terhadap berbagai peristiwa. Di
samping itu juga untuk mengistimbath hukum dalam peristiwa yang tidak ada
nashnya.
Karena isyarat laIal dan ungkapan pada makna itu terkandung
mengandung beberapa segi, maka yang dapat menguatkan salah satu di antara
beberapa segi ini ialah memperhatikan tujuan Syari`. Dan kerena sebagian nash
itu terkadang lahirnya saling kontradiksi, maka yang dapat menghilangkan
kontradiksi ini, dan dapat mengkompromikan nash-nash itu, atau menguatkan
salah satunya, adalah memperhatikan tujuan Syari`. Dan karena kebanyakan
peristiwa yang timbul itu terkadang tidak dijangkau oleh ungkapan nash. Sedangkan
mengetahui hukum peristiwa itu dengan dalil syara apa saja, sangat
diperlukan. Maka yang dapat memberi petunjuk dalam menentukan dalil ini
(umpamanya) adalah mengetahui tujuan Syari`.72
Karena itu, para penguasa hukum di pemerintahan sekarang,
meletakkan catatan-catatan yang berupa penaIsiran yang dapat menjelaskan
tujuan pembuatan undang-undang secara umum. Dan dapat menjelaskan tujuan
khusus dari setiap pasalnya. Catatan-catatan yang bersiIat penaIsiran dan semua
pembahasan serta penelitian yang terjadi di tengah-tengah menghadirkan
undang-undang dan melaksanakannya adalah bantuan penguasa hukum untuk
memahami undang-undang dan menerapkannya bersama teksnya, jiwanya, dan
pengertiannya.
Begitu juga, nash-nash hukum Syara itu tidak dapat dimengerti
menurut jalannya yang benar kecuali apabila telah diketahui tujuan Syari` dalam
mensyariatkan hukum-hukum itu. Juga telah diketahui bagian-bagian peristiwa
yang lantaran itu diturunkanlah hukum-hukum yang ada di dalam al-Qur`an,
atau yang dengan itu datanglah as-Sunnah. Baik berupa ucapan atau perbuatan.
Kaidah ushuliyyah itu: Bahwa tujuan umum Syari` dalam
mensyariatkan hukum, ialah merealisir kemaslahatan manusia dalam kehidupan
ini, menarik keuntungan untuk mereka, dan melenyapkan bahaya dari mereka.
Karena kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini terdiri dari beberapa hal
yang bersiIat dharuriyah (kebutuhan pokok) hafiyah (kebutuhan sekunder) dan
tahsiniyah (kebutuhan pelengkap). Maka jika dharuriyah, hafiyah dan
tahsiniyah mereka telah terpenuhi, berarti telah nyata kemaslahatan mereka.
Seorang ahli hukum (syari`) yang muslim, tentunya mensyariatkan hukum dalam
berbagai sektor kegiatan manusia untuk merealisir pokok-pokok dharuriyah,
hafiyah dan tahsiniyah bagi perorangan dan masyarakat. Dia tidak akan
membiarkan dharuriyah, hafiyah dan tahsiniyah dengan tanpa mensyariatkan
hukum untuk merealisir dan memelihara dharuriyah, hafiyah dan tahsiniyah itu.
Dia juga tidak mensyariatkan hukum kecuali untuk mewujudkan atau
memelihara salah satu di antara tiga hal itu. Jadi, dia tidak mensyariatkan hukum kecuali
untuk merealisir kemaslahatan manusia. Dan dia tidak membiarkan
maslahatan yang dikehendaki oleh kondisi manusia dengan tidak mensyariatkan
hukum demi maslahat itu.73
Adapun bukti bahwa kemaslahatan manusia itu tidak melampaui tiga
hal tersebut, ialah perasaan dan kenyataan. Karena setiap individu atau
masyarakat itu, kepentingannya terdiri dari hal-hal yang bersiIat primer,
sekunder, dan pelengkap. Contoh: keperluan pokok bagi tempat tinggal manusia,
adalah tempat yang dapat melindungi dari terik matahari, dan cekaman
kedinginan, sekalipun terjadi di gunung. Kebutuhan sekunder, yaitu apabila
tempat tinggal itu memberi kenyamanan untuk ditempati, seperti jika tempat
tinggal itu mempunyai jendela yang bisa dibuka dan ditutup menurut kebutuhan.
Sedangkan kebutuhan pelengkap yaitu apabila tempat tinggal itu diperindah dan
dilengkapi dengan perkakas serta sarana-sarana peristirahatan. Apabila tempat
tinggal itu telah terpenuhi dengan semua itu, berarti telah terlaksana keperluan
(maslahat) manusia dalam soal papannya. Demikian pula dalam hal pangan dan
sandangnya. Juga hal yang menyangkut keperluan hidupnya. Kebutuhannya itu
telah terbukti nyata. Lantaran telah terpenuhinya tiga Iaktor itu padanya begitu
pula dengan masyarakat. Apabila telah terpenuhi bagi individu-individunya, halhal
yang memberi jaminan akan wujud dan terpeliharanya kebutuhan pokok,
sekunder, dan pelengkapnya, berarti telah terpenuhi bagi mereka, hal-hal yang
memberi jaminan kemaslahatannya.
Adapun dalil bahwa setiap hukum Islam itu hanya disyariatkan untuk
mewujudkan salah satu di antara tiga Iaktor tersebut diatas (yakni kebutuhan
primer, sekunder, dan pelengkap) dan memeliharanya, ialah hasil research
terhadap hukum-hukum syara yang bersiIat keseluruhan (global) dan bagianbagian
dalam berbagai peristiwa. Juga hasil research terhadap beberapa illat
(alasan) dan IilsaIat pembentukan hukum yang boleh Syari` dibarengi dengan
berbagai hukum.
Adapun hal yang besiIat dharuri, yaitu sesuatu yang menjadi pokok
kebutuhan kehidupan manusia, dan wajib adanya untuk menegakkan kemaslahatan bagi
manusia itu (primer). Apabila tanpa adanya sesuatu itu, maka
akan terganggu keharmonisan kehidupan manusia, dan tidak akan tegak
kemaslahatan-kemaslahatan mereka. Serta terjadilah kehancuran dan kerusakan
bagi mereka. Hal-hal yang bersiIat primer bagi manusia dalam pengertian ini
berpangkal kepada memelihara lima perkara: agama, jiwa, akal, kehormatan dan
harta. Jadi memelihara salah satu di antara lima perkara itu, adalah merupakan
kepentingan yang bersiIat primer bagi manusia.74
Sedangkan yang bersiIar hafi (sekunder), ialah sesuatu yang
diperlukan oleh manusia dengan maksud untuk membuat ringan dan lapang.
Juga untuk menanggulangi kesulitan-kesulitan beban yang harus dipikul, dan
kepayahan-kepayahan dalam mengarungi kehidupan. Apabila hal itu tidak
terpenuhi, tidak berarti dapat merusak keharmonisan kehidupan manusia dan
tidak akan ditimpa oleh kehancuran. Seperti jika kebutuhan dharuriyah tidak
dapat terpenuhi. Hanya saja manusia akan menerima kepayahan dan kesulitan.
Faktor-Iaktor luar bagi manusia dalam pengertian ini berpangkal kepada tujuan
menghilangkan kepayahan mereka, meringankan dalam menanggulangi
kesulitan-kesulitan beban hidup. Dan mudahlah bagi mereka menempuh caracara
pergaulan, pergantian, dan jalan-jalan menempuh kehidupan.
Dan %ahsini, yaitu sesuatu yang di tuntut oleh norma dan tatanan
hidup, serta berperilaku menurut jalan yang lurus. Apabila hal itu tidak ada,
tidak berarti merusak keharmonisan kehidupan manusia seperti ketika tidak
adanya hal yang bersiIat dharuriyah. Juga tidak ditimpa kepayahan seperti ketika
tidak adanya hal yang bersiIat hajiyah. Hanya saja kehidupan mereka
bertentangan dengan akal sehat dan naluri yang suci. Hal-hal yang bersiIat
membuat elok manusia (tahsini) dalam pengertian ini adalah berpangkal kepada
akhlak mulia, tradisi yang baik dan segala tujuan perikehidupan manusia
menurut jalan yang paling baik.
Memberi Iatwa lebih khusus dibanding ijtihad. Sebab ijtihad adalah
kegiatan istinbath hukum, baik karena ada pertanyaan/persoalan atau tidak,
seperti yang dilakukan Abu HaniIah dalam kegiatan pengkajiannya ketika mencoba meneliti
persoalan-persoalan furu yang beraneka ragam, dan berhasil
menelorkan kewajiban-kewajiban yang banyak . kegiatan itu dilakukan untuk
menguji qiyas-qiyas yang illatnya akan dipakai beristinbath, dan untuk diketahui
kelayakan illat-illat tersebut guna menyusun kerangka qiyas. Sedangkan ifta
hanya dilakukan ketika ada kejadian nyata, dan seorang ahli Iiqh berusaha
mengetahui hukumnya. Fatwa yang baik dari seorang mujtahid, di samping
harus memenuhi semua persyaratan ijtihad, harus memenuhi pula beberapa
persyaratan yang lain, yaitu mengetahui secara persis kasus yang diminta
Iatwanya, mempelajari psikologi peminta Iatwa dan masyarakat lingkungannya,
agar dapat diketahui dampak dari pada Iatwa tersebut, dari segi positiI dan
negatiInya, sehingga tidak membuat agama Allah menjadi bahan tertawaan dan
permainan.
Oleh karena itu, para ulama sangat memperketat persyaratan muIti.
Diceritakan dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa ia mengemukakan beberapa
syarat bagi muIti, yaitu:
'Seseorang seyogianya tidak mengeluarkan Iatwa sebelum memenuhi
lima hal: Pertama, memasang niat. Jika tidak disertai niat, maka ia serta
ucapannya tidak mendapat nur (pencerahan). Kedua, bertindak atas dasar ilmu,
penuh santun, wibawa dan ketenangan. Ketiga, mempunyai kekuatan untuk
menghadapi dan mengetahui persoalan yang akan dikeluarkan Iatwanya.
Keempat, memiliki ilmu yang cukup. Sebab jika tidak didukung dengan ilmu
yang memadai, maka ia akan dilecehkan dan menjadi bahan gunjingan orang.
Kelima, mengetahui kondisi sosiologis masyarakat.
Dari keterangan tersebut, nampaknya Imam Ahmad bin Hanbal
memperhatikan psikologi (kesiapan jiwa) muIti, kerabatnya, serta kehormatan
masyarakat, sebagaimana halnya ia harus mempunyai kemampuan melihat
pengaruh/dampak Iatwanya serta tersebarnya Iatwa tersebut di tengah
masyarakat. Jika ia melihat akan berpengaruh buruk, maka ia harus menahan diri
dari mengeluarkan Iatwa. Jika ia melihat tidak akan membawa dampak buruk,
maka silahkan ia berbicara (berIatwa).
Seorang muIti harus menyadari bahwa dirinya adalah pemberi
petunjuk dan pembimbing umat. Fatwanya harus berorientasi untuk kepentingan
kemaslahatan masyarakat. Dalam hal ini Imam as-Syatiby berkata:
'MuIti yang mencapai tingkat tinggi adalah muIti yang memberikan
Iatwa dengan pendapat tengah-tengah yang dapat diterima mayoritas
masyarakat. Maka, ia tidak menawarkan madzhab dengan pendapat yang berat
dan tidak pula turun kepada pendapat yang ringan.
As-Syatiby memberikan alasan, bahwa mengambil salah satu dari dua
sudut pendapat yang ekstrem akan keluar dari konteks keadilan, menyimpang ke
arah kelaliman. Ia menegaskan, segi yang memberatkan mendatangkan kepada
kerusakan, sedang segi toleransi yang mutlak akan mendatangkan kepada
kelemahan.
Pintu rukhshah (kemurahan) terbuka lebar di depan seoarang muIti.
Dengan rukhshah ia hadir mengobati kondisi masyarakat (penyakit sosial),
apabila ia melihat bahwa menerapkan a:imah (hukum asal) akan mendatangkan
kesulitan dan kesusahan. Sesunguhnya Allah suka bila dijalankan rukhshahrukhshah
nya. Sebagaimana halnya suka bila dilaksanakan a:imah-a:imah nya.
Dalam keadaan dimana a:imah menimbulkan kesusahan, maka rukhshah lebih
disukai Allah daripada a:imah. Sebab Allah menginginkan hambanya
memperoleh kemudahan, tidak menginginkan tertimpa kesusahan.
Apabila seorang muIti tidak mencapai derajat ijtihad semisal belum
memenuhi semua persyaratan ijtihad, maka apakah diperbolehkan memilih
pendapat dari madzhab yang paling mudah (ringan) untuk dijalankan
masyarakat? perbedaan pendapat sahabat terbukti telah berhasil menghilangkan
kesempitan yang dihadapi masyarakat, sebagaimana dikatakan oleh Umar bin
Abdul Aziz:
'Sungguh berkat perbedaan pendapat sahabat Rasulullah saw,
persoalan keledai menjadi mudah bagiku. Seandainya hanya ada satu pendapat,
niscaya masyarakat akan mengalami kesulitan.
Tidak diragukan lagi, bahwa seorang muIti apabila telah mempunyai
kemampuan berijtihad dimana ia mampu menilai kekuatan diantara dalil-dalil
yang digunakan dan mampu menyeleksi pendapat dari berbagai madzhab yang
berbeda-beda atas dasar istidlal, maka dalam berIatwa ia boleh memilih salah
satu pendapat dari berbagai madzhab. Dalam menetapkan pilihannya ia harus
berpegang pada tiga hal:
Pertama, tidak memilih pendapat yang masih simpang siur dalilnya.
Sekiranya orang yang mengeluarkan pendapat itu menyaksikan dalil-dalil yang
dipakai ulama lain, pastilah ia mencabut kembali pendapatnya.
Kedua, Iatwanya membawa kemaslahatan bagi masyarakat luas. Ia
harus membimbing masyarakat dengan mengambil jalan tengah, tidak
mengambil pendapat yang paling berat, tidak pula mengambil pendapat yang
paling ringan.
Ketiga, dalam memilih pendapat, ia harus punya niat dan tujuan yang
baik. Karena itu, ia tidak boleh memilih pendapat demi untuk menyenangkan
pemerintah atau memenuhi keinginan (selera) masyarakat, sementara ia tidak
memperdulikan amarah dan ridha Allah swt. Hendaknya ia jangan sampai
seperti para muIti yang berusaha mengetahui/menangkap keinginan pemerintah
sebelum mengeluarkan Iatwanya. Mereka memberi Iatwa demi kepentingan
pemerintah, bukan demi kebenaran. Mereka itulah kaum yang bejat. Sungguh
masyarakat menyaksikan sebagian muIti memberi peluang kemudahan kepada
pemerintah dan dirinya, dan melemparkan hal-hal yang berat kepada masyarakat
luas. Ia memilih untuk dirinya pendapat yang paling ringan, dan memilih dari
sekian pendapat madzhabnya yang hendak diIatwakan untuk orang lain pendapat
yang paling berat.
Imam as-Syatiby bercerita tentang seorang ahli Iiqh yang memberi
Iatwa di Andalusia, lalu diskors lantaran beberapa hal yang dianggap melanggar
kode etik. Ia terus diskors sampai datang suatu kejadian dimana ia mengeluarkan
sebuah Iatwa yang menguntungkan pemerintah. Ringkas cerita, tepat
bersebelahan di istana an-Nasr, Gubernur (Amir) Andalus, terdapat tanah wakaI
yang merusak pemandangan. Sebab tanah wakaI itu terletak berhadapan dengan
taman, tempat Gubernur bersantai. Lebih-lebih, tanah wakaI itu sangat
mengganggu pemandangan jika dilihat dari atas istananya.
Gubernur menawarkan untuk memberi ganti rugi tanah itu dan
bermaksud menggabungkannya ke dalam tamannya. Ide atau keinginan ini
disampaikan kepada Baqiy bin Mukhallid, seorang ulama dan muIti terkemuka
di negeri itu. Ia lalu mengumpulkan semua ulama guna memperoleh kesepakatan
pendapat. Ternyata mereka sepakat melarang penjualan tanah wakaI, sejalan
dengan pendapat madzhab malik. Nampaknya mereka menyembunyikan sesuatu
dibalik Iatwanya. Yaitu, mereka bermaksud mengekang keinginan hawa naIsu
sang Amir, sehingga mereka sampai mengeluarkan pendapat yang tidak sejalan
dengan keinginan pemerintah. Akibatnya, tatkala Iatwa hasil penemuan ulama
itu diumumkan, sang Amir merasa kurang berkenan, meski ia tetap
mematuhinya.
Muhammad bin Yahya bin Lubabah, ahli Iiqh yang terkena skorsing
diatas, mengetahui peristiwa tersebut, lantas berkirim surat kepada sang Amir
yang isinya memperbolehkan apa yang menjadi keinginannya (membayar ganti
rugi tanah wakaI). Dalam memberi Iatwa, ia mengambil madzhab Abu HaniIah
yang menegaskan bahwa benda wakaI tidak permanen. Ia bisa diwariskan dan
tidak lagi menjadi benda wakaI sepeninggal pewakaI.
Setelah menerima surat itu, sang Amir segera mempertemukan ahli
Iiqh itu dengan ulama-ulama di negerinya untuk berdialog. Para ulama tetap
bersikukuh dengan pendapatnya. Lantas ahli Iiqh yang terkena skorsing (almahfur
alaih) dari menjalankan tugas di pengadilan tersebut berkata kepada para
ulama yang hadir: 'aku bersumpah kepada Allah! Apakah kalian akan merasa
keberatan seandainya dalam kasus tanah wakaI aku mengambil pendapat selain
Malik untuk ku Iatwakan khusus untuk diri kalian. Adakah kalian dengan senang
hati akan mengambil rukhshah tersebut ? para ulama itu dengan serentak
menjawab: ya benar... kalau begitu, kata ahli Iiqh tadi, lebih-lebih Amirul
Muminin. Maka, ambillah pendapat untuk Amirul Muminin pendapat yang
kalian juga bekenan mengambilnya dan berpeganglah kepada pendapat ulama
yang sesuai dengan harapannya. Sebab semua ulama mujtahid adalah panutan.
Para ulama yang hadir hanya bisa diam.
Usai pertemuan, si qadhi segera membuat laporan jalannya
persidangan untuk disampaikan kepada si Amir. Selanjutnya, Amirul Muminin
mengambil Iatwa ahli Iiqh tersebut dan memberikan ganti rugi tanah wakaI
dengan harga yang berlipat ganda.
Wajib bagi ulama yang hendak memilih satu pendapat dari madzhabmadzhab
yang ada untuk memperhatikan tiga hal sebagai berikut:
Pertama, mengikuti pendapat madzhab karena pertimbangan dalilnya.
Sehingga ia tidak memilih satu pendapat dari pendapat-pendapat dalam
madzhab, yang paling lemah dalilnya. Namun sebaiknya, ia memilih pendapat
yang paling kuat dalilnya, dan tidak mengikuti Iatwa yang syad: (aneh). Selain
itu, ia harus menguasai metodologi dari madzhab yang dipilihnya. Ini berarti
menghendaki ulama yang bersangkutan adalah seorang mujtahid yang dengan
kemampuannya menyeleksi dalil tingkatan ijtihadnya tidak turun ke tingkatan
taqlid. Termasuk ke dalam kategori ini, adalah Ibnu Taimiyah. Ia banyak
melakukan seleksi-seleksi terhadap pendapat-pendapat madzhab. Jika yang
bersangkutan tidak memiliki kemampuan tersebut, maka alangkah baiknya
membatasi diri saja dengan mengambil madzhab yang diketahuinya, jika
memang ia telah mencapai derajat muIti.
Kedua, berijtihad sesuai dengan kemampuannya dengan tidak
meninggalkan pendapat yang telah disepakati (mufma alaih) untuk mengambil
pendapat yang masih diperselisihkan (mukhalaf fih). Misalnya, apabila seorang
muIti yang telah menguasai dengan baik madzhab-madzhab Islamiyah, ditanya
tentang kebolehan seorang wanita menjadi wali untuk dirinya sendiri dalam akad
pernikahan, maka hendaknya ia tidak berIatwa dengan menggunakan pendapat
Abu HaniIah yang sendirian. Meski demikian, tidak ada salahnya seandainya ia
menjelaskan kepada penanya mengenai pendapat Abu HaniIah yang tidak
dipakai, sekaligus menjelaskan alasan mengapa ia memilih pendapat fumhur.
Disebutkan misalnya, masalah ini adalah masalah pelik yang menyangkut
hukum haram dan halal. Pendapat Jumhur diambil semata-mata karena kehatihatian
(ikhtiyath).
Jika masalahnya menyangkut masalah khilaIiyah, hendaklah seorang
muIti berhati-hati demi kepentingan syara` dan orang yang meminta Iatwa,
dengan tidak mengambil pendapat yang syad: dan yang keluar dari rel syara`.
Misalnya, jika ia ditanya oleh seorang lelaki yang bermaksud mengawini
seorang wanita yang pernah menyusu dari ibu lelaki itu hanya satu kali isapan,
maka hendaknya ia berIatwa dengan madzhab Abu HaniIah dan Malik yang
menganggap bahwa menyusu meskipun hanya sedikit (satu atau dua kali isapan)
mengakibatkan terjadinya hubungan mahram. Akan tetapi, jika si penanya telah
terlanjur mengawini perempuan yang punya hubungan persusuan yang tidak
mencapai lima kali isapan dan kejadian itu baru diketahui setelah beranak pinak,
maka demi kepentingan anak-anak diperkenankan berIatwa dengan mengambil
pendapat yang menghalalkan. Dengan syarat, hal itu semua telah ditinjau ulang
seluruh dalil yang berhubungan dengan kasus yang dihadapi dan tidak
ditemukan satu dalil pun yang qathiy.
Ketiga, tidak mengikuti selera masyarakat. Tapi, ia harus
mengutamakan kemaslahatan dalil. Maslahat yang mutabar adalah
kemaslahatan umum. Jangan sampai Iatwa yang dikeluarkan menghalalkan yang
haram dan mengharamkan yang halal. Maka, seorang ahli Iiqh yang memilih
pendapat madzhab HanaIi yang memperbolehkan menjual benda wakaI demi
memenuhi keinginan Amir (penguasa) yang merasa terganggu pemandangannya
karena adanya tanah wakaI di depan tamannya, sebaiknya menyarankan kepada
sang Amir agar memperbaiki tanah wakaI itu sehingga pemandangannya
menjadi indah, daripada harus memenuhi selera tingginya.
Para ulama telah sepakat bahwa seorang muIti harus mengamalkan
apa yang telah diIatwakan kepada masyarakat. Seandainya ia mengambil
pendapat yang ringan untuk dirinya, sementara melarang untuk diamalkan
masyarakat luas, berarti ia berlaku tidak adil, kecuali karena ada alasan
kebutuhan yang beresiIat pribadi. Kalau saja hal serupa dihadapi oleh orang lain,
niscaya ia juga berIatwa dengan hukum yang ringan seperti yang ia terapkan
untuk dirinya.
Dalam memecahkan suatu masalah, seorang muIti harus bekerja
pelan-pelan, tidak boleh tergesa-gesa. Ia harus memikirkan dan mendalami betul
kasusnya, dampak dari Iatwanya, serta kondisi orang yang meminta Iatwa. Cara
kerjanya yang pelan-pelan itu tidak akan mengurangi kredibilitasnya sebagai
muIti sepanjang dalam rangka menemukan kebenaran. Pemecahan suatu kasus
tidak ada hubungannya dengan kecepatan dan keterlambatan.
Imam 'bumi hijrah Malik bin Anas tergolong lamban (berhati-hati)
dalam memberikan Iatwa. Sehingga untuk memecahkan satu masalah, ia
memerlukan waktu sampai beberapa hari. Ia berkata: 'Terkadang satu masalah
yang kuhadapi memaksaku lupa makan, minum dan tidur. Ada yang berkata
kepadanya: 'Wahai Abu Abdillah (nama julukan Imam Malik)! Demi Allah,
ucapanmu di tengah-tengah masyarakat bagaikan ukiran di atas batu. Tidak
sekali-kali engkau mengeluarkan pendapat kecuali seluruh masyarakat
menerimanya. Imam Malik menjawab singkat: 'Hal itu adalah wajar.
Maksudnya, masyarakat dapat menerima dengan baik pendapat-pendapatnya,
karena mereka melihat cara kerjanya yang penuh kehati-hatian dan tidak
ngawur.
Yang pasti, seorang muIti yang benar berperan seperti peran yang
dimainkan para nabi. Sebagaimana diketahui, para nabi bertugas menjelaskan
perkara yang halal dan haram kepada manusia. Dengan demikian, ia bertugas
menyampaikan syari`at yang dibawa nabi kepada masyarakat. Ia adalah
pengganti kedudukan dan pewaris nabi dalam menjelaskan syari`at agama
kepada masyarakat umum. Karena itu, tiada tempat baginya untuk memenuhi
hawa naIsunya, berhenti tatkala melangkah terlalu maju dan berbicara demi
kebenaran jika telah didukung oleh bukti-bukti yang kuat serta tidak takut akan
cercaan orang dalam membela agama Allah.
Buku pedoman terperinci untuk mengeluarkan Iatwa diterbitkan oleh
MUI, yang menerangkan bahwa dasar-dasar untuk mengeluarkan Iatwa, menurut
urutan tingkatannya adalah: al-Qur`an, Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Hal ini harus
disusuli dengan penelitian pendapat para imam madzhab yang ada dan fuqaha
yang telah melakukan penelaahan mendalam tentang masalah serupa.75
Jadi, dalam penyusunan dan pengeluaran Iatwa-Iatwa dilakukan oleh
komisi Iatwa MUI. Komisi itu bertugas untuk merundingkan dan mengeluarkan
Iatwa mengenai persoalan-persoalan hukum Islam yang dihadapi masyarakat.
Persidangan-persidangan Komisi Fatwa diadakan menurut keperluan atau bila
MUI telah diminta pendapatnya oleh umum atau oleh pemerintah mengenai
persoalan-persoalan tertentu dalam hukum Islam. Persidangan semacam ini, di
samping ketua dan para anggota komisi, juga dihadiri oleh undangan dari luar, terdiri dari
para ulama bebas dan para ilmuwan sekular, yang ada hubungannya
dengan masalah yang dibicarakan.76

Anda mungkin juga menyukai

  • HTTP 2
    HTTP 2
    Dokumen2 halaman
    HTTP 2
    Roems Hulswema
    Belum ada peringkat
  • HTTP 2
    HTTP 2
    Dokumen2 halaman
    HTTP 2
    Roems Hulswema
    Belum ada peringkat
  • Pewarna
    Pewarna
    Dokumen2 halaman
    Pewarna
    Roems Hulswema
    Belum ada peringkat
  • HTTP
    HTTP
    Dokumen3 halaman
    HTTP
    Roems Hulswema
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen1 halaman
    Kata Pengantar
    Roems Hulswema
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen1 halaman
    Kata Pengantar
    Roems Hulswema
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen1 halaman
    Kata Pengantar
    Roems Hulswema
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi Makalah
    Daftar Isi Makalah
    Dokumen1 halaman
    Daftar Isi Makalah
    Roems Hulswema
    Belum ada peringkat