Sebagaimana telah disepakati oleh ulama, meskipun mereka berlainan
mazhab, bahwa segala ucapan dan perbuatan yang timbul dari manusia, baik berupa ibadah, muamalah, pidana, perdata, atau berbagai macam perjanjian, atau pembelanjaan, maka semua itu mempunyai hukum di dalam syariat Islam. Hukum-hukum ini sebagian telah dijelaskan oleh berbagai nash yang ada di dalam Al-Qur`an dan As Sunnah, dan sebagian lagi belum dijelaskan oleh nash dalam Al-Qur`an dan As Sunnah, akan tetapi syari`at telah menegakkan dalil dan mendirikan tanda-tanda bagi hukum itu, dimana dengan perantaraan dalil dan tanda itu seorang mujtahid mampu mencapai hukum itu dan menjelaskannya. Dari kumpulan hukum-hukum syara` yang berhubungan dengan ucapan dan perbuatan yang timbul dari manusia, baik yang diambil dari nash dalam berbagai kasus yang ada nashnya, maupun yang diistimbatkan dari berbagai dalil syar`i lainnya dalam kasus-kasus yang tidak ada nashnya, terbentuklah Iiqh.70 Berdasarkan penelitian diperoleh ketetapan di kalangan ulama, bahwa dalil-dalil yang dijadikan dasar hukum syar`iyyah mengenai perbuatan manusia kembali kepada empat sumber, yaitu: Al-Qur`an, As Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Sedangkan asas dalil-dalil ini dan sumber syari`at Islam yang pertama adalah Al-Qur`an kemudian As Sunnah yang menaIsirkan terhadap kemujmalan Al-Qur`an, mengkhususkan keumumannya, dan membatasi kemutlakannya. As Sunnah merupakan penjelas dan penyempurnaan terhadap Al-Qur`an. Kaidah-kaidah pembentukan hukum Islam ini, oleh ulama Ushul diambil berdasarkan penelitian terhadap hukum-hukum syara, illat-illatnya, dan hikmah (IilsaIat) pembentukannya. Diantara nash-nash itu pula ada yang menetapkan dasar-dasar pembentukan hukum secara umum, dan pokok-pokok pembentukannya secara keseluruhan. Seperti juga halnya wajib memelihara dasar-dasar dan pokok-pokok itu dalam mengistimbath hukum dari nashnashnya, maka wajib pula memelihara dasar-dasar dan pokok-pokok itu dalam hal yang tidak ada nashnya, supaya pembentukan hukum itu dapat merealisir apa yang menjadi tujuan pembentukan hukum itu, dan dapat mengantarkan kepada merealisir kemaslahatan manusia serta menegakkan keadilan di antara mereka.71 Tujuan Syari dalam pembentukan hukumnya, yaitu merealisir kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan pokoknya dan memenuhi kebutuhan sekunder serta kebutuhan pelengkap mereka. Jadi setiap hukum syara tidak ada tujuan kecuali salah satu dari tiga unsur tersebut, dimana dari tiga unsur tersebut dapat terbukti kemaslahatan manusia. %ahsiniyah tidak berarti dipelihara jika dalam pemeliharaannya itu terdapat kerusakan bagi Hafiyah. Dan Hafiyah, juga %ahsiniyah tidak berarti dipelihara jika dalam pemeliharaan salah satunya terdapat kerusakan bagi Dharuriyah. Kaedah pertama ini menjelaskan tujuan umum Syari` dalam pembentukan hukum syara. Baik hukum itu bersiIat taklifi (pembebanan yang wajib) atau wadhii (positiI buat manusia). Dan menjelaskan juga tingkatantingkatan hukum menurut tujuannya. Mengetahui tujuan umum syari` dalam pembentukan hukumnya adalah termasuk sesuatu yang amat penting untuk dijadikan alat penolong mengetahui dengan jelas nash-nash pembentukan hukum itu. Dan untuk menerapkan nash-nash itu terhadap berbagai peristiwa. Di samping itu juga untuk mengistimbath hukum dalam peristiwa yang tidak ada nashnya. Karena isyarat laIal dan ungkapan pada makna itu terkandung mengandung beberapa segi, maka yang dapat menguatkan salah satu di antara beberapa segi ini ialah memperhatikan tujuan Syari`. Dan kerena sebagian nash itu terkadang lahirnya saling kontradiksi, maka yang dapat menghilangkan kontradiksi ini, dan dapat mengkompromikan nash-nash itu, atau menguatkan salah satunya, adalah memperhatikan tujuan Syari`. Dan karena kebanyakan peristiwa yang timbul itu terkadang tidak dijangkau oleh ungkapan nash. Sedangkan mengetahui hukum peristiwa itu dengan dalil syara apa saja, sangat diperlukan. Maka yang dapat memberi petunjuk dalam menentukan dalil ini (umpamanya) adalah mengetahui tujuan Syari`.72 Karena itu, para penguasa hukum di pemerintahan sekarang, meletakkan catatan-catatan yang berupa penaIsiran yang dapat menjelaskan tujuan pembuatan undang-undang secara umum. Dan dapat menjelaskan tujuan khusus dari setiap pasalnya. Catatan-catatan yang bersiIat penaIsiran dan semua pembahasan serta penelitian yang terjadi di tengah-tengah menghadirkan undang-undang dan melaksanakannya adalah bantuan penguasa hukum untuk memahami undang-undang dan menerapkannya bersama teksnya, jiwanya, dan pengertiannya. Begitu juga, nash-nash hukum Syara itu tidak dapat dimengerti menurut jalannya yang benar kecuali apabila telah diketahui tujuan Syari` dalam mensyariatkan hukum-hukum itu. Juga telah diketahui bagian-bagian peristiwa yang lantaran itu diturunkanlah hukum-hukum yang ada di dalam al-Qur`an, atau yang dengan itu datanglah as-Sunnah. Baik berupa ucapan atau perbuatan. Kaidah ushuliyyah itu: Bahwa tujuan umum Syari` dalam mensyariatkan hukum, ialah merealisir kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini, menarik keuntungan untuk mereka, dan melenyapkan bahaya dari mereka. Karena kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini terdiri dari beberapa hal yang bersiIat dharuriyah (kebutuhan pokok) hafiyah (kebutuhan sekunder) dan tahsiniyah (kebutuhan pelengkap). Maka jika dharuriyah, hafiyah dan tahsiniyah mereka telah terpenuhi, berarti telah nyata kemaslahatan mereka. Seorang ahli hukum (syari`) yang muslim, tentunya mensyariatkan hukum dalam berbagai sektor kegiatan manusia untuk merealisir pokok-pokok dharuriyah, hafiyah dan tahsiniyah bagi perorangan dan masyarakat. Dia tidak akan membiarkan dharuriyah, hafiyah dan tahsiniyah dengan tanpa mensyariatkan hukum untuk merealisir dan memelihara dharuriyah, hafiyah dan tahsiniyah itu. Dia juga tidak mensyariatkan hukum kecuali untuk mewujudkan atau memelihara salah satu di antara tiga hal itu. Jadi, dia tidak mensyariatkan hukum kecuali untuk merealisir kemaslahatan manusia. Dan dia tidak membiarkan maslahatan yang dikehendaki oleh kondisi manusia dengan tidak mensyariatkan hukum demi maslahat itu.73 Adapun bukti bahwa kemaslahatan manusia itu tidak melampaui tiga hal tersebut, ialah perasaan dan kenyataan. Karena setiap individu atau masyarakat itu, kepentingannya terdiri dari hal-hal yang bersiIat primer, sekunder, dan pelengkap. Contoh: keperluan pokok bagi tempat tinggal manusia, adalah tempat yang dapat melindungi dari terik matahari, dan cekaman kedinginan, sekalipun terjadi di gunung. Kebutuhan sekunder, yaitu apabila tempat tinggal itu memberi kenyamanan untuk ditempati, seperti jika tempat tinggal itu mempunyai jendela yang bisa dibuka dan ditutup menurut kebutuhan. Sedangkan kebutuhan pelengkap yaitu apabila tempat tinggal itu diperindah dan dilengkapi dengan perkakas serta sarana-sarana peristirahatan. Apabila tempat tinggal itu telah terpenuhi dengan semua itu, berarti telah terlaksana keperluan (maslahat) manusia dalam soal papannya. Demikian pula dalam hal pangan dan sandangnya. Juga hal yang menyangkut keperluan hidupnya. Kebutuhannya itu telah terbukti nyata. Lantaran telah terpenuhinya tiga Iaktor itu padanya begitu pula dengan masyarakat. Apabila telah terpenuhi bagi individu-individunya, halhal yang memberi jaminan akan wujud dan terpeliharanya kebutuhan pokok, sekunder, dan pelengkapnya, berarti telah terpenuhi bagi mereka, hal-hal yang memberi jaminan kemaslahatannya. Adapun dalil bahwa setiap hukum Islam itu hanya disyariatkan untuk mewujudkan salah satu di antara tiga Iaktor tersebut diatas (yakni kebutuhan primer, sekunder, dan pelengkap) dan memeliharanya, ialah hasil research terhadap hukum-hukum syara yang bersiIat keseluruhan (global) dan bagianbagian dalam berbagai peristiwa. Juga hasil research terhadap beberapa illat (alasan) dan IilsaIat pembentukan hukum yang boleh Syari` dibarengi dengan berbagai hukum. Adapun hal yang besiIat dharuri, yaitu sesuatu yang menjadi pokok kebutuhan kehidupan manusia, dan wajib adanya untuk menegakkan kemaslahatan bagi manusia itu (primer). Apabila tanpa adanya sesuatu itu, maka akan terganggu keharmonisan kehidupan manusia, dan tidak akan tegak kemaslahatan-kemaslahatan mereka. Serta terjadilah kehancuran dan kerusakan bagi mereka. Hal-hal yang bersiIat primer bagi manusia dalam pengertian ini berpangkal kepada memelihara lima perkara: agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta. Jadi memelihara salah satu di antara lima perkara itu, adalah merupakan kepentingan yang bersiIat primer bagi manusia.74 Sedangkan yang bersiIar hafi (sekunder), ialah sesuatu yang diperlukan oleh manusia dengan maksud untuk membuat ringan dan lapang. Juga untuk menanggulangi kesulitan-kesulitan beban yang harus dipikul, dan kepayahan-kepayahan dalam mengarungi kehidupan. Apabila hal itu tidak terpenuhi, tidak berarti dapat merusak keharmonisan kehidupan manusia dan tidak akan ditimpa oleh kehancuran. Seperti jika kebutuhan dharuriyah tidak dapat terpenuhi. Hanya saja manusia akan menerima kepayahan dan kesulitan. Faktor-Iaktor luar bagi manusia dalam pengertian ini berpangkal kepada tujuan menghilangkan kepayahan mereka, meringankan dalam menanggulangi kesulitan-kesulitan beban hidup. Dan mudahlah bagi mereka menempuh caracara pergaulan, pergantian, dan jalan-jalan menempuh kehidupan. Dan %ahsini, yaitu sesuatu yang di tuntut oleh norma dan tatanan hidup, serta berperilaku menurut jalan yang lurus. Apabila hal itu tidak ada, tidak berarti merusak keharmonisan kehidupan manusia seperti ketika tidak adanya hal yang bersiIat dharuriyah. Juga tidak ditimpa kepayahan seperti ketika tidak adanya hal yang bersiIat hajiyah. Hanya saja kehidupan mereka bertentangan dengan akal sehat dan naluri yang suci. Hal-hal yang bersiIat membuat elok manusia (tahsini) dalam pengertian ini adalah berpangkal kepada akhlak mulia, tradisi yang baik dan segala tujuan perikehidupan manusia menurut jalan yang paling baik. Memberi Iatwa lebih khusus dibanding ijtihad. Sebab ijtihad adalah kegiatan istinbath hukum, baik karena ada pertanyaan/persoalan atau tidak, seperti yang dilakukan Abu HaniIah dalam kegiatan pengkajiannya ketika mencoba meneliti persoalan-persoalan furu yang beraneka ragam, dan berhasil menelorkan kewajiban-kewajiban yang banyak . kegiatan itu dilakukan untuk menguji qiyas-qiyas yang illatnya akan dipakai beristinbath, dan untuk diketahui kelayakan illat-illat tersebut guna menyusun kerangka qiyas. Sedangkan ifta hanya dilakukan ketika ada kejadian nyata, dan seorang ahli Iiqh berusaha mengetahui hukumnya. Fatwa yang baik dari seorang mujtahid, di samping harus memenuhi semua persyaratan ijtihad, harus memenuhi pula beberapa persyaratan yang lain, yaitu mengetahui secara persis kasus yang diminta Iatwanya, mempelajari psikologi peminta Iatwa dan masyarakat lingkungannya, agar dapat diketahui dampak dari pada Iatwa tersebut, dari segi positiI dan negatiInya, sehingga tidak membuat agama Allah menjadi bahan tertawaan dan permainan. Oleh karena itu, para ulama sangat memperketat persyaratan muIti. Diceritakan dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa ia mengemukakan beberapa syarat bagi muIti, yaitu: 'Seseorang seyogianya tidak mengeluarkan Iatwa sebelum memenuhi lima hal: Pertama, memasang niat. Jika tidak disertai niat, maka ia serta ucapannya tidak mendapat nur (pencerahan). Kedua, bertindak atas dasar ilmu, penuh santun, wibawa dan ketenangan. Ketiga, mempunyai kekuatan untuk menghadapi dan mengetahui persoalan yang akan dikeluarkan Iatwanya. Keempat, memiliki ilmu yang cukup. Sebab jika tidak didukung dengan ilmu yang memadai, maka ia akan dilecehkan dan menjadi bahan gunjingan orang. Kelima, mengetahui kondisi sosiologis masyarakat. Dari keterangan tersebut, nampaknya Imam Ahmad bin Hanbal memperhatikan psikologi (kesiapan jiwa) muIti, kerabatnya, serta kehormatan masyarakat, sebagaimana halnya ia harus mempunyai kemampuan melihat pengaruh/dampak Iatwanya serta tersebarnya Iatwa tersebut di tengah masyarakat. Jika ia melihat akan berpengaruh buruk, maka ia harus menahan diri dari mengeluarkan Iatwa. Jika ia melihat tidak akan membawa dampak buruk, maka silahkan ia berbicara (berIatwa). Seorang muIti harus menyadari bahwa dirinya adalah pemberi petunjuk dan pembimbing umat. Fatwanya harus berorientasi untuk kepentingan kemaslahatan masyarakat. Dalam hal ini Imam as-Syatiby berkata: 'MuIti yang mencapai tingkat tinggi adalah muIti yang memberikan Iatwa dengan pendapat tengah-tengah yang dapat diterima mayoritas masyarakat. Maka, ia tidak menawarkan madzhab dengan pendapat yang berat dan tidak pula turun kepada pendapat yang ringan. As-Syatiby memberikan alasan, bahwa mengambil salah satu dari dua sudut pendapat yang ekstrem akan keluar dari konteks keadilan, menyimpang ke arah kelaliman. Ia menegaskan, segi yang memberatkan mendatangkan kepada kerusakan, sedang segi toleransi yang mutlak akan mendatangkan kepada kelemahan. Pintu rukhshah (kemurahan) terbuka lebar di depan seoarang muIti. Dengan rukhshah ia hadir mengobati kondisi masyarakat (penyakit sosial), apabila ia melihat bahwa menerapkan a:imah (hukum asal) akan mendatangkan kesulitan dan kesusahan. Sesunguhnya Allah suka bila dijalankan rukhshahrukhshah nya. Sebagaimana halnya suka bila dilaksanakan a:imah-a:imah nya. Dalam keadaan dimana a:imah menimbulkan kesusahan, maka rukhshah lebih disukai Allah daripada a:imah. Sebab Allah menginginkan hambanya memperoleh kemudahan, tidak menginginkan tertimpa kesusahan. Apabila seorang muIti tidak mencapai derajat ijtihad semisal belum memenuhi semua persyaratan ijtihad, maka apakah diperbolehkan memilih pendapat dari madzhab yang paling mudah (ringan) untuk dijalankan masyarakat? perbedaan pendapat sahabat terbukti telah berhasil menghilangkan kesempitan yang dihadapi masyarakat, sebagaimana dikatakan oleh Umar bin Abdul Aziz: 'Sungguh berkat perbedaan pendapat sahabat Rasulullah saw, persoalan keledai menjadi mudah bagiku. Seandainya hanya ada satu pendapat, niscaya masyarakat akan mengalami kesulitan. Tidak diragukan lagi, bahwa seorang muIti apabila telah mempunyai kemampuan berijtihad dimana ia mampu menilai kekuatan diantara dalil-dalil yang digunakan dan mampu menyeleksi pendapat dari berbagai madzhab yang berbeda-beda atas dasar istidlal, maka dalam berIatwa ia boleh memilih salah satu pendapat dari berbagai madzhab. Dalam menetapkan pilihannya ia harus berpegang pada tiga hal: Pertama, tidak memilih pendapat yang masih simpang siur dalilnya. Sekiranya orang yang mengeluarkan pendapat itu menyaksikan dalil-dalil yang dipakai ulama lain, pastilah ia mencabut kembali pendapatnya. Kedua, Iatwanya membawa kemaslahatan bagi masyarakat luas. Ia harus membimbing masyarakat dengan mengambil jalan tengah, tidak mengambil pendapat yang paling berat, tidak pula mengambil pendapat yang paling ringan. Ketiga, dalam memilih pendapat, ia harus punya niat dan tujuan yang baik. Karena itu, ia tidak boleh memilih pendapat demi untuk menyenangkan pemerintah atau memenuhi keinginan (selera) masyarakat, sementara ia tidak memperdulikan amarah dan ridha Allah swt. Hendaknya ia jangan sampai seperti para muIti yang berusaha mengetahui/menangkap keinginan pemerintah sebelum mengeluarkan Iatwanya. Mereka memberi Iatwa demi kepentingan pemerintah, bukan demi kebenaran. Mereka itulah kaum yang bejat. Sungguh masyarakat menyaksikan sebagian muIti memberi peluang kemudahan kepada pemerintah dan dirinya, dan melemparkan hal-hal yang berat kepada masyarakat luas. Ia memilih untuk dirinya pendapat yang paling ringan, dan memilih dari sekian pendapat madzhabnya yang hendak diIatwakan untuk orang lain pendapat yang paling berat. Imam as-Syatiby bercerita tentang seorang ahli Iiqh yang memberi Iatwa di Andalusia, lalu diskors lantaran beberapa hal yang dianggap melanggar kode etik. Ia terus diskors sampai datang suatu kejadian dimana ia mengeluarkan sebuah Iatwa yang menguntungkan pemerintah. Ringkas cerita, tepat bersebelahan di istana an-Nasr, Gubernur (Amir) Andalus, terdapat tanah wakaI yang merusak pemandangan. Sebab tanah wakaI itu terletak berhadapan dengan taman, tempat Gubernur bersantai. Lebih-lebih, tanah wakaI itu sangat mengganggu pemandangan jika dilihat dari atas istananya. Gubernur menawarkan untuk memberi ganti rugi tanah itu dan bermaksud menggabungkannya ke dalam tamannya. Ide atau keinginan ini disampaikan kepada Baqiy bin Mukhallid, seorang ulama dan muIti terkemuka di negeri itu. Ia lalu mengumpulkan semua ulama guna memperoleh kesepakatan pendapat. Ternyata mereka sepakat melarang penjualan tanah wakaI, sejalan dengan pendapat madzhab malik. Nampaknya mereka menyembunyikan sesuatu dibalik Iatwanya. Yaitu, mereka bermaksud mengekang keinginan hawa naIsu sang Amir, sehingga mereka sampai mengeluarkan pendapat yang tidak sejalan dengan keinginan pemerintah. Akibatnya, tatkala Iatwa hasil penemuan ulama itu diumumkan, sang Amir merasa kurang berkenan, meski ia tetap mematuhinya. Muhammad bin Yahya bin Lubabah, ahli Iiqh yang terkena skorsing diatas, mengetahui peristiwa tersebut, lantas berkirim surat kepada sang Amir yang isinya memperbolehkan apa yang menjadi keinginannya (membayar ganti rugi tanah wakaI). Dalam memberi Iatwa, ia mengambil madzhab Abu HaniIah yang menegaskan bahwa benda wakaI tidak permanen. Ia bisa diwariskan dan tidak lagi menjadi benda wakaI sepeninggal pewakaI. Setelah menerima surat itu, sang Amir segera mempertemukan ahli Iiqh itu dengan ulama-ulama di negerinya untuk berdialog. Para ulama tetap bersikukuh dengan pendapatnya. Lantas ahli Iiqh yang terkena skorsing (almahfur alaih) dari menjalankan tugas di pengadilan tersebut berkata kepada para ulama yang hadir: 'aku bersumpah kepada Allah! Apakah kalian akan merasa keberatan seandainya dalam kasus tanah wakaI aku mengambil pendapat selain Malik untuk ku Iatwakan khusus untuk diri kalian. Adakah kalian dengan senang hati akan mengambil rukhshah tersebut ? para ulama itu dengan serentak menjawab: ya benar... kalau begitu, kata ahli Iiqh tadi, lebih-lebih Amirul Muminin. Maka, ambillah pendapat untuk Amirul Muminin pendapat yang kalian juga bekenan mengambilnya dan berpeganglah kepada pendapat ulama yang sesuai dengan harapannya. Sebab semua ulama mujtahid adalah panutan. Para ulama yang hadir hanya bisa diam. Usai pertemuan, si qadhi segera membuat laporan jalannya persidangan untuk disampaikan kepada si Amir. Selanjutnya, Amirul Muminin mengambil Iatwa ahli Iiqh tersebut dan memberikan ganti rugi tanah wakaI dengan harga yang berlipat ganda. Wajib bagi ulama yang hendak memilih satu pendapat dari madzhabmadzhab yang ada untuk memperhatikan tiga hal sebagai berikut: Pertama, mengikuti pendapat madzhab karena pertimbangan dalilnya. Sehingga ia tidak memilih satu pendapat dari pendapat-pendapat dalam madzhab, yang paling lemah dalilnya. Namun sebaiknya, ia memilih pendapat yang paling kuat dalilnya, dan tidak mengikuti Iatwa yang syad: (aneh). Selain itu, ia harus menguasai metodologi dari madzhab yang dipilihnya. Ini berarti menghendaki ulama yang bersangkutan adalah seorang mujtahid yang dengan kemampuannya menyeleksi dalil tingkatan ijtihadnya tidak turun ke tingkatan taqlid. Termasuk ke dalam kategori ini, adalah Ibnu Taimiyah. Ia banyak melakukan seleksi-seleksi terhadap pendapat-pendapat madzhab. Jika yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan tersebut, maka alangkah baiknya membatasi diri saja dengan mengambil madzhab yang diketahuinya, jika memang ia telah mencapai derajat muIti. Kedua, berijtihad sesuai dengan kemampuannya dengan tidak meninggalkan pendapat yang telah disepakati (mufma alaih) untuk mengambil pendapat yang masih diperselisihkan (mukhalaf fih). Misalnya, apabila seorang muIti yang telah menguasai dengan baik madzhab-madzhab Islamiyah, ditanya tentang kebolehan seorang wanita menjadi wali untuk dirinya sendiri dalam akad pernikahan, maka hendaknya ia tidak berIatwa dengan menggunakan pendapat Abu HaniIah yang sendirian. Meski demikian, tidak ada salahnya seandainya ia menjelaskan kepada penanya mengenai pendapat Abu HaniIah yang tidak dipakai, sekaligus menjelaskan alasan mengapa ia memilih pendapat fumhur. Disebutkan misalnya, masalah ini adalah masalah pelik yang menyangkut hukum haram dan halal. Pendapat Jumhur diambil semata-mata karena kehatihatian (ikhtiyath). Jika masalahnya menyangkut masalah khilaIiyah, hendaklah seorang muIti berhati-hati demi kepentingan syara` dan orang yang meminta Iatwa, dengan tidak mengambil pendapat yang syad: dan yang keluar dari rel syara`. Misalnya, jika ia ditanya oleh seorang lelaki yang bermaksud mengawini seorang wanita yang pernah menyusu dari ibu lelaki itu hanya satu kali isapan, maka hendaknya ia berIatwa dengan madzhab Abu HaniIah dan Malik yang menganggap bahwa menyusu meskipun hanya sedikit (satu atau dua kali isapan) mengakibatkan terjadinya hubungan mahram. Akan tetapi, jika si penanya telah terlanjur mengawini perempuan yang punya hubungan persusuan yang tidak mencapai lima kali isapan dan kejadian itu baru diketahui setelah beranak pinak, maka demi kepentingan anak-anak diperkenankan berIatwa dengan mengambil pendapat yang menghalalkan. Dengan syarat, hal itu semua telah ditinjau ulang seluruh dalil yang berhubungan dengan kasus yang dihadapi dan tidak ditemukan satu dalil pun yang qathiy. Ketiga, tidak mengikuti selera masyarakat. Tapi, ia harus mengutamakan kemaslahatan dalil. Maslahat yang mutabar adalah kemaslahatan umum. Jangan sampai Iatwa yang dikeluarkan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Maka, seorang ahli Iiqh yang memilih pendapat madzhab HanaIi yang memperbolehkan menjual benda wakaI demi memenuhi keinginan Amir (penguasa) yang merasa terganggu pemandangannya karena adanya tanah wakaI di depan tamannya, sebaiknya menyarankan kepada sang Amir agar memperbaiki tanah wakaI itu sehingga pemandangannya menjadi indah, daripada harus memenuhi selera tingginya. Para ulama telah sepakat bahwa seorang muIti harus mengamalkan apa yang telah diIatwakan kepada masyarakat. Seandainya ia mengambil pendapat yang ringan untuk dirinya, sementara melarang untuk diamalkan masyarakat luas, berarti ia berlaku tidak adil, kecuali karena ada alasan kebutuhan yang beresiIat pribadi. Kalau saja hal serupa dihadapi oleh orang lain, niscaya ia juga berIatwa dengan hukum yang ringan seperti yang ia terapkan untuk dirinya. Dalam memecahkan suatu masalah, seorang muIti harus bekerja pelan-pelan, tidak boleh tergesa-gesa. Ia harus memikirkan dan mendalami betul kasusnya, dampak dari Iatwanya, serta kondisi orang yang meminta Iatwa. Cara kerjanya yang pelan-pelan itu tidak akan mengurangi kredibilitasnya sebagai muIti sepanjang dalam rangka menemukan kebenaran. Pemecahan suatu kasus tidak ada hubungannya dengan kecepatan dan keterlambatan. Imam 'bumi hijrah Malik bin Anas tergolong lamban (berhati-hati) dalam memberikan Iatwa. Sehingga untuk memecahkan satu masalah, ia memerlukan waktu sampai beberapa hari. Ia berkata: 'Terkadang satu masalah yang kuhadapi memaksaku lupa makan, minum dan tidur. Ada yang berkata kepadanya: 'Wahai Abu Abdillah (nama julukan Imam Malik)! Demi Allah, ucapanmu di tengah-tengah masyarakat bagaikan ukiran di atas batu. Tidak sekali-kali engkau mengeluarkan pendapat kecuali seluruh masyarakat menerimanya. Imam Malik menjawab singkat: 'Hal itu adalah wajar. Maksudnya, masyarakat dapat menerima dengan baik pendapat-pendapatnya, karena mereka melihat cara kerjanya yang penuh kehati-hatian dan tidak ngawur. Yang pasti, seorang muIti yang benar berperan seperti peran yang dimainkan para nabi. Sebagaimana diketahui, para nabi bertugas menjelaskan perkara yang halal dan haram kepada manusia. Dengan demikian, ia bertugas menyampaikan syari`at yang dibawa nabi kepada masyarakat. Ia adalah pengganti kedudukan dan pewaris nabi dalam menjelaskan syari`at agama kepada masyarakat umum. Karena itu, tiada tempat baginya untuk memenuhi hawa naIsunya, berhenti tatkala melangkah terlalu maju dan berbicara demi kebenaran jika telah didukung oleh bukti-bukti yang kuat serta tidak takut akan cercaan orang dalam membela agama Allah. Buku pedoman terperinci untuk mengeluarkan Iatwa diterbitkan oleh MUI, yang menerangkan bahwa dasar-dasar untuk mengeluarkan Iatwa, menurut urutan tingkatannya adalah: al-Qur`an, Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Hal ini harus disusuli dengan penelitian pendapat para imam madzhab yang ada dan fuqaha yang telah melakukan penelaahan mendalam tentang masalah serupa.75 Jadi, dalam penyusunan dan pengeluaran Iatwa-Iatwa dilakukan oleh komisi Iatwa MUI. Komisi itu bertugas untuk merundingkan dan mengeluarkan Iatwa mengenai persoalan-persoalan hukum Islam yang dihadapi masyarakat. Persidangan-persidangan Komisi Fatwa diadakan menurut keperluan atau bila MUI telah diminta pendapatnya oleh umum atau oleh pemerintah mengenai persoalan-persoalan tertentu dalam hukum Islam. Persidangan semacam ini, di samping ketua dan para anggota komisi, juga dihadiri oleh undangan dari luar, terdiri dari para ulama bebas dan para ilmuwan sekular, yang ada hubungannya dengan masalah yang dibicarakan.76