Anda di halaman 1dari 8

PERATURAN TATA RUANG SOLUSI KONFLIK PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM

Oleh

RENDY BAYU ADITYA

Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada

Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara dari ujung barat Pulau Sumatera hingga ke bagian timur Pulau Irian Jaya. Negara kesatuan Republik Indonesia memiliki sumberdaya yang sangat besar meliputi potensi lautan seluas 3,1 juta km persegi dan potensi daratan seluas 1,9 juta km persegi. Ditambah lagi pulau-pulau kecil terluar pada kawasan perbatasan negara. Yang tentu saja memerlukan perhatian khusus untuk menjaga kedaulatan negara. Seluruh potensi tersebut merupakan suatu kesatuan dengan letak dan kedudukan yang strategis sebagai negara kepulauan, dengan keanekaragaman ekosistem, merupakan sumber daya alam yang perlu disyukuri, dilindungi, dan dikelola untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan rakyat sesuai dengan amanah konstitusi. Namun disayangkan, potensi Sumber Daya Alam yang dimiliki Indonesia saat ini hanya memberikan kesejahteraan yang fana, dengan eksploitasi besar-besaran yang nyata. Sumber Daya Alam yang seharusnya menjadi public goods justru bergeser menjadi private goods sarat kepentingan (Maria, 2009). Program-program yang dikatakan sebagai program pensejahteraan seperti CSR, pemberdayaan, dan bantuan-bantuan dari perusahaan tak lain dan tak bukan hanya sebagai penggugur kewajiban (Djalong, 2010). Kebijakan otonomi daerah yang diluncurkan membawa sejumlah implikasi dan komplikasi dalam pelaksanaannya di berbagai tingkatan. Reformasi rezim dan perubahan kebijakan secara mendadak dari sentralisasi ke desentralisasi, berlangsung dalam situasi ketidakpastian yang diwarnai krisis ekonomi, konflik sosial dan gejolak politik. Sementara itu ketegangan, perselisihan, konflik kepentingan semakin menyeruak dalam wujud eksploitasi tanpa tanggung jawab sosial (Baiquni dan Rijanta, 2007). Dengan tujuan menghindari adanya ketamakan eksploitasi maka dibentuklah berbagai macam regulasi. Salah satunya Undang-Undang No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Munculnya perencanaan wilayah dalam bentuk tata ruang adalah wujud intervensi positif dalam menanggulangi kagagalan pasar untuk menyediakan kebutuhan masyarakat (Rustiadi, 2009). Tujuan lain yang tak kalah penting dari penataan ruang adalah pembatasan eksploitasi lahan baik di atas dan di bawah permukaan tanah agar keberlanjutan pembangunan (sosial, ekonomi, lingkungan) bisa terjaga. Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan: a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;

b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Dalam tujuan yang terkandung di Undang-Undang No 26 Tahun 2007, regulasi ini menjadi pencerah dan membawa harapan akan keserasian dan sinergitas pembangunan di Indonesia. Setiap daerah dalam skala provinsi hingga kota diwajibkan memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditransformasikan ke dalam Perda agar legalitas dan legitimasinya menjadi kuat. Adanya kekuatan legal-formal tersebut diharapkan bisa menjadi benteng dari adanya pengerukan sumber daya alam yang tidak memerhatikan prinsip-prinsip kelestarian di berbagai aspek. Hingga pada akhirnya akan dicapai pemanfaatan ruang dan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan.

Rumusan Masalah Undang-Undang Penataan Ruang yang diproyeksikan sebagai payung konstitusi agar terciptanya keadilan pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam ternyata masih jauh dari sempurna. Beberapa masalah yang harus diselesaikan dengan segera akan coba dipetakan dalam tulisan ini. Masalah pertama, belum adanya sinkronisasi regulasi. Maksudnya adalah UU No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang belum menjadi acuan ataupun pertimbangan atas regulasi lainya tentang pengelolaan sumber daya alam. Sehingga muncul perbedaanperbedaan istilah yang akhirnya juga memacu perbedaan intepretasi makna (Rustiadi, 2011). Namun ternyata setelah ditelusuri, adanya perbedaan intepretasi makna terjadi karena belum lengkapnya substansi yang dibahas dalam UU No 26 Tahun 2007. Sebagai contoh adalah istilah ...Sumber Daya Alam lainya pada pasal 33 yang belum ditegaskan artinya. Tidak mungkin menyusun PP tentang Penatagunaan SDA Lainnya dengan memberikan interpretasi sendiri tentang yang dimaksud dengan SDA lainnya itu dalam PP, karena UU tidak memberikan penegasannya (Maria, 2009). Serta masih banyak kebocoran-kebocoran lainya. Masalah kedua, konflik yang dihadapi Indonesia dikatakan para ahli ekonomi dan pembangunan terjadi antara kepentingan masyarakat dan kepentingan kapital yang belum bisa di mediasi oleh pemerintah selaku pengambil kebijakan. Sumber Daya Alam tetap menjadi public goods rebutan antara masyarakat dan pemodal, sedangkan pemerintah yang seharusnya memberikan pengawasan dan resolusi kebijakan, malah menambah jejak konflik. Saat ini bukan lagi konflik klasik masyarakat dan pemodal tetapi lebih tajam justru terjadi

pada internal. Antar institusi pemerintah: sektor vs sektor vs .vs sektor vs Pemda (Rustiadi, 2010). Atau dengan kata lain, ego sektoral masih menjadi bumbu-bumbu tak sedap dalam pengambilan kebijakan. Masalah ketiga, adalah tentang kinerja pemda dalam penyelesaian Rencana Tata Ruang Wilayah. Sampai saat ini masih ada 445 pemda yang belum memiliki RTRW (Liputan6, 2011). Maka dari 445 pemda tersebut mungkin saja di salah satunya terjadi konflik-konflik pemanfaat ruang yang terkait dengan eksploitasi sumber daya alam. Potensi itu akan selalu ada dalam tiap wilayah di Indonesia, bahkan untuk pemda yang mungkin sudah mensahkan Perda RTRW. Apalagi pemda-pemda yang belum atau sama sekali tidak memiliki dokumen RTRW.

Pembahasan Bila UU yang tidak konsisten, bahkan tumpang tindih satu sama lain itu kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam PP penatagunaan berbagai UU sektoral tersebut, maka sudah dapat dipastikan bahwa dampak negatif yang ditimbulkan oleh UU sektoral tersebut akan terus berlanjut atau dilanjutkan oleh berbagai PP terkait. Solusi pertama, untuk meminimalkan ketidakkonsistenan antar berbagai UU sektoral itu, perlu didorong upaya untuk segera terbitnya UU tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam, yang berisi prinsipprinsip pengelolaan SDA yang demokratis, adil dan berkelanjutan; yang akan menjadi landasan bagi pengaturan lebih lanjut berbagai peraturan perundang-undangan SDA.

Sumber: Baiquni dan Rijanta, 2007 Paling tidak terdapat 12 UU yang mengatur mengenai SDA yang dapat dipilah menurut lima kelompok besar pengaturan SDA, yaitu: hayati dan hidrologis, hayati air dan perairan laut, lingkungan hidup, kebumian, serta tanah dan ruang (Maria, 2009). Keduabelas UU tersebut sudah sepatutnya memiliki satu payung konstitusi agar sinkronisasi horizontal (UU dengan PP) dan sinkronisasi vertikal (PP dengan PP) bisa diciptakan. Atau setidaknya perlu ada revisi terhadap Undang-Undang Penataan Ruang, merupakan solusi tercepat dalam kasus ini. Sektoralisme yang telah berjalan 4 (empat) dasawarsa itu sudah waktunya diluruskan kembali. Jelaslah bahwa pembangunan hukum SDA yang seharusnya merupakan suatu sistem itu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sebagaimana diketahui, sitem hukum itu

terdiri dari kegiatan yang terkoordinasi; tidak mungkin ada sistem tanpa koordinasi dan keteraturan (Maria, 2009). Rustiadi (2011) menganalisis bahwa ditiap sektor (lembaga pemerintah) memiliki tujan dan kepentingan masing-masing yang sangat subyektif. Kepentingan subyektif tersebut seringkali menimbulkan konflik-konflik internal antar sektor yang memperlambat proses penyelesaian kebijakan. Berikut adalah paparan analisis tersebut:

Sumber: Rustiadi, 2009 Politik Ruang yang tidak kondusif telah menciptakan berbagai bentuk konflik penataan ruang dan ketidakpastian tata kelola ruang. Adanya ketidakpastian pengelolaan ruang mnejadi lahan bagi korupsi, manipulasi dan tindakan-tindakan mengejar keuntungan semata. Oleh karena itu, solusi kedua, perlu sekali untuk ditekankan bahwa Penataan Ruang sudah seharusnya menjadi kokoh dan memimpin di atas semua sektor. Baik itu dari sisi kelembagaan yang mengkordinasi penataan ruang secara nasional, ataupun undang-undang yang mengaturnya. Penataan ruang sudah harus dikordinasikan ke dalam satu lembaga sekarang sudah ada lembaga yang mengordinasi Tata Ruang yaitu BKPRN dan BKPRD, namun fungsi evaluating dan controlling belum diaplikasikan dengan baik. Dengan begitu

tidak akan terjadi ketumpang tindihan baik itu dari sisi regulasi ataupun implementasi teknisnya. Solusi ketiga, yang juga sangat krusial adalah dengan melakukan percepatan penyelesaian Rencana Tata Ruang Wilayah pemda-pemda yang tersebar di Indonesia. Beberapa bulan ini memang akselerasi di tiap daerah sudah dilaksanakan untuk mengejar target bahwa tahun ini setidaknya RTRW Provinsi dan Kabupaten seluruh Indonesia selesai. Namun kembali lagi paradigma dalam penyelesaian RTRW haruslah sesuai dengan konteks demokrasi. Maksudnya adalah penataan ruang dilakukan secara partisipatif dan melibatkan seluruh stakeholders terkait. Kebijakan yang diambil bukan lagi bersifat teknokratik dan otoriter. Melainkan kebijakan yang memediasi kepentingan publik di atas kepentingan

kapital dan golongan. Merubah gaya kebijakan yang top-down menjadi bottom-up secara kongkrit dan tidak hanya retorika birokrasi. Dengan begitu kepentingan masyarakat banyak bisa diinventarisasi secara nyata dan direalisasikan dalam wujud kebijakan-kebijakan yang adil dan mengedepankan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam pemanfaatn ruang dan SDA.

Kesimpulan Sumber Daya Alam sebagai public goods sudah selayaknya memberikan kenikmatan nyata bagi seluruh masyarakat Indonesia selaku tuan rumah kekayaan alam tersebut. Konflik-konflik kontraproduktif seperti regulasi yang tidak sinkron, ego sektoral, serta kinerja teknis pemerintah daerah lambat harus segera diatasi. Hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan memperbaiki kelembagaan penataan ruang dan Undang-Undang Penataan Ruang sebagai regulasi tertinggi di atas semua sektor dan lembaga. Selanjutnya adalah hal teknis terkait penyelesaian target pemerintah agar seluruh pemda di Indonesia memiliki dan meyelesaikan perda RTRW. Dengan penyelesaian masalah-masalah tersebut diharapkan konflik-konflik terkait pemanfaatan ruang dan SDA bisa diatasi. Sesuai dengan tujuan adanya penataan ruang sebagai bentuk intervensi pemerintah dalam mewujudkan keadilan agar mencapai kesejahteraan yang nyata.

Daftar Pustaka Rustiadi E. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. YOI, Jakarta. Rustiadi E. 2011. Lansekap Politik Penataan Ruang. Respent IPB, Bogor. Baiquni dan Rijanta. 2007. Konflik Pengelolaan Lingkungan dan Sumberdaya. PSPPR UGM, Yogyakarta. Djalong, F. 2010. Konflik Pertambangan: Mengelola Paradoks. PSKP UGM, Yogyakarta. Maria. 2009. Kajian Kritis Terkait UU Penataan Ruang dan SDA. Kementrian Lingkungan Hidup, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai