Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam kerangka berpikir modern, ilmu dan agama masing-masing mempunyai dasar sudut
pandangan berbeda. Dalam kenyataan, antara keduanya bahkan bisa terasa saling menaIikan,
misalnya adalah mengapa keduanya kami perlu dipertemukan, yang melarat belakangi
disusunnya makalah ini untuk mengaitkan antara ilmu dan agama.
Pada awalnya, sebenarnya ilmu selalu berkaitan erat dengan kepercayaan tertentu, pada abad
ke 6 SM, kepercayaan itu berbentuk sistem-sistem metaIisika. Antara ilmu dan agama
sebenarnya ada perbedaan cukup mendasar yang perlu dipertimbangkan sebelum kita
membicarakan tentang kemungkinan korelasi antara keduanya.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari ilmu dan agama?
2. Apa perbedaan dari ilmu dan agama?
3. Apa yang menjadi keterkaitan keduanya?
%ujuan
1. &ntuk mengetahui pengertian ilmu dan agama
2. &ntuk mengetahui perbedaan antara ilmu dan agama
3. &ntuk mengetahui keterkaitan keduanya.
BAB II
PEMBAHASAN
Ilmu, Agama dan Persentuhan Keduanya
Pertama, mengenai agama. Agama mencakup banyak hal. Jika kita mau sistematis, dalam
bidang kajian agama (religious studies) ada banyak cara yang digunakan orang untuk
mengurai dimensi-dimensi agama. Sekedar sebagai salah satu contoh amat baik, Ninian
Smart (2000) menggunakan analisis pandangan dunia untuk mengali dimensi-dimensi agama,
yang dipandang sebagai suatu pandangan dunia. Ada enam dimensi pandangan dunia (1)
dimensi doctrinal atau IilosoIis (2) negatiI atau mistis (3) etis dan legal (4) praktik atau ritual
(5) eksperiensial atau emosional dan (6)dimensi sosial atau organisasional.
Perbedaan Mendasar Antara Ilmu Dan Agama
Antara ilmu dan agama sebenarnya ada perbedaan cukup mendasar yang perlu
dipertimbangkan sebelum kita bicarakan tentang kemungkinan korelasi antara keduanya.
Pertama, Mind-set dasarnya berbeda. Ilmu bersandar pada etos otomomi pemahaman. Seperti
ditekankan Francis Bacon dan Newton, sikap ilmiah sejati berangkat dari keberanian berpikir
dan mengamati sendiri tanpa bersandar pada otoritas pendapat orang lain atau instansi
supranatural apapun. Newton menekankan sikap keraguan lebih radikal. Misalnya, meskipun
normalnya air mengalir ke bawah, seorang ilmuwan sejati meski melihat kemungkinan lain,
bahwa air bisa saja mengalir ke atas, atau api membeku dan sebagainya. Pendeknya, sikap
skeptis dan tak mudah percaya adalah kodrat seorang ilmuwan, sementara agama tentu saja
kebalikannya. Sikap dasarnya adalah percaya dan kepasrahan pada kehendak otoritas lain,
terutama otoritas Tuhan. Jadi jika dalam dunia keilmuan ketidak kepercayaan sebelum
terbukti adalah sebuah keutamaan, dalam dunia keagamaan, kepercayaan inilah yang menjadi
keutamaan.
Kedua, ilmu relatiI lebih terbuka terhadap pandangan-pandangan baru asalkan masuk akal
dan ditunjang bukti Iaktual yang memadai. Agama agak sebaliknya, meski umumnya
diyakini bahwa manusia wajib menggunakan akalnya untuk memahami wahyu atau kitab
suci, dalam kenyataannya agama-agama cenderung sangat deIensiI terhadap pemahaman-
pemahaman baru, bahkan agak tabu untuk memerkarakan dirinya sendiri. Tidaklah
mengherankan jika dibandingkan dengan perkembangan ilmu yang sangat pesat, agama
sering terasa tertinggal jauh. Bisa saja seorang ilmuwan yang sangat intelektual dalam
ilmunya, tetapi dalam hal agama tetap kekanak-kanakkan.
Ketiga, sebenarnya ranah utama wacana agama-agama adalah ranah misteri-misteri terdalam
kehidupan serta makna-makna pengalaman, yang sesungguhnya di luar wilayah atau diluar
batas jangkauan ilmu-ilmu empirik. Bahasa yang digunakannya pun berbeda. bahasa agama-
agama lebih berupa bahasa mitos, penuh metaIora dan retorika, sementara bahasa ilmu adalah
bahasa Iaktual, lugas dan literal. Tentu ilmu bisa memperlihatkan Iakta-Iakta yang memberi
isyarat pada pemahaman misteri terdalam itu, tetapi sesungguhnya ihwal misteri dan makna
eksistensial adalah di luar kewenangan ilmu. Tidaklah mengherankan jika pencampuradukan
antara Iakta dan makna itu sering melahirkan ketegangan-ketegangan yang sulit. Ihwal
'evolusi misalnya, jika kitab suci dianggap sebagai laporan lugas Iaktual tentang proses
evolusi, maka akan muncullah di sana berbagai viksi dengan wacana Iaktual tentang avolusi
dan sudut ilmu.
Meskipun demikian, selain memperhatikan berbagai perbedaan mendasar itu, tentu busa pula
kita melihat berbagai kemungkinan korelasi antara keduanya. Pertama-tama akan kita lihat
dahulu persoalan-persoalan zaman yang dihadapi baik oleh ilmu maupun oleh agama.
Persoalan Zaman
Sebetulnya ada begitu banyak hal terjadi dalam perkembangan zaman pada abad ke 21 ini
telah memaksa ulang ilmu maupun agama untuk melihat dirinya kembali secara baru, dalam
wilayah keilmuan misalnya, bisa disebutkan berbagai macam persoalan. Pertama, berbagai
kritik mendasar terhadap dunia ilmu, terutama dari sudut IilsaIat Ilmu, telah kian tegas
memperlihatkan bahwa ilmu sesungguhnya mengandung persoalan-persoalan serius, baik
pada tingkat asumsi-asumsi dasar metodologis maupun implikasi epistemologis dan
ontologisnya. Feyerabend telah menunjukkan bahwa pada kenyataannya, ilmu pengetahuan
dan perkembangannya tidak bergantung pada metodologi umum atau hukum tertentu. De
Iacto situasi perkembangan ilmu itu kompleks dan anarkistik. Pretentsi kesahihan
metodologis telah pula menyebabkan ilmu pula menjadi ideologis dan bersikap tidak adil
terhadap berbagai jenis pengetahuan lain. Thomas Kuhn memperlihatkan bahwa diterima
atau tidaknya suatu paradigma dalam dunia ilmu ternyata tak sepenuhnya ditentukan oleh
alasan logis. Dan sejak munculnya teori relativitas, Iisika kuantum, dan teori ketidak pastian,
konsep tentang 'objektivitas dan 'observasi pun menjadi problematis, sebab menjadi jelas
di sana bahwa dalam kegiatan ilmiah itu pun peran subjek maupun perspektiI teoretis
sangatlah menentukan pula.
Kemungkinan %itik %emu
Setelah kita melihat beberapa perbedaan mendasar antara ilmu dan agama, serta berbagai
persoalan zaman yang meski mereka hadapi bersama, kini ada baiknya kita melihat
kemungkinan titik temu antara keduanya. Sebenarnya, Ilmu maupun membantu agama
merevitalisasi diri dengan berbagai cara. Pertama, kesadaran kritis dan sikap realistis yang
dibentuk oleh ilmu sangatlah berguna untuk mengelupaskan sisi-sisi ilusoris agama, bukan
untuk menghancurkan agama, melainkan untuk menemukan hal-hal yang lebih esensial dari
agama. Dalam praksisnya, banyak hal dalam kehidupan beragama yang mungkin saja bersiIat
ilusoris, yang membuat agama-agama oversentiI sehingga mudah menimbulkan konIlik yang
akhirnya justru menggerogoti martabat agama sendiri tanpa disadari. Kedua, kemampuan
logis dan kehati-hatian mengambil kesimpulan yang dipupuk di dalam dunia ilmiah
menjadikan kita mampu menilai secara kritis segala bentuk taIsir baru yang kini mungkin
menjadi hiruk-pikuk dan membingungkan. Ketiga, lewat temuan-temuan terbarunya, ilmu
dapat merangsang agama untuk senantiasa tanggap memikirkan ulang keyakinan-keyakinan
secara baru dan dengan begitu menghindarkan agama itu sendiri dari bahaya stagnasi dan
pengaratan. Ke empat, temuan-temuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi pun dapat memberi
peluang-peluang baru bagi agama untuk makin mewujudkan idealisme-idealismenya secara
konkret, terutama menyangkut kemanusiaan umum.
Pandangan %homas Kuhn Mengenai Paradigma Ilmu
Menurut Kuhn, IilsaIat ilmu sebaiknya berguru pada sejarah ilmu yang baru. Katanya, popper
yang sudah di sebut di atas, membalikkan kenyataan dengan terlebih dahulu menguraikan
terjadinya ilmu empiris melalui jalan hipotesis yang disusul upaya IalsiIikasi. Padahal,
perubahan-perubahan mendalam selama sejarah ilmu justru tidak pernah terjadi berdasarkan
upaya empiris untuk membuktikan salah satu teori atau sistem, melainkan terjadinya melalui
revolusi-revolusi ilmiah. Kemajuan ilmu adalah bersiIat revolusioner, dan tidak seperti
anggapan sebelumnya, yaitu bersiIat kumulatiI, dengan kata lain evolusioner. Mengapa tidak
disadari bahwa kemajuan itu bersiIat revolusioner? Sebab siIat revolusioner hanya terasa bagi
mereka yang terkena dampaknya, atau lebih baik, mereka yang paradigmanya terkena
dampak dari perubahan revolusioner ini. Paradigma menjadi konsep sentral dalam pemikiran
Kuhn.|1|
BAB III
PENU%UP
Kesimpulan
Ada beberapa perbedaan mendasar antara ilmu dan agama, (1) kesadaran kritis dan sikap
realistis yang dibentuk oleh ilmu sangatlah berguna untuk mengelupaskan sisi-sisi ilusoris
agama, bukan untuk menghancurkan agama, melainkan untuk menemukan hal-hal yang lebih
esensial dari agama. (2), kemampuan logis dan kehati-hatian mengambil kesimpulan yang
dipupuk di dalam dunia ilmiah menjadikan kita mampu menilai secara kritis segala bentuk
taIsir baru yang kini mungkin menjadi hiruk-pikuk dan membingungkan. (3), lewat temuan-
temuan terbarunya, ilmu dapat merangsang agama untuk senantiasa tanggap memikirkan
ulang keyakinan-keyakinan secara baru dan dengan begitu menghindarkan agama itu sendiri
dari bahaya stagnasi dan pengaratan. Ke empat, temuan-temuan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi pun dapat memberi peluang-peluang baru bagi agama untuk makin mewujudkan
idealisme-idealismenya secara konkret, terutama menyangkut kemanusiaan umum.
Saran
Penyusun menghimbau kepada teman-teman, khususnya kepada semua pihak yang membaca
makalah kami, agar kiranya makalah ini dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan yang
siIatnya membangun dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Orang bijak mengatakan
bahwa, kita perlu berpikir agar kita mengetahui siapa diri kita, dan kemana arah tujuan
perjalanan hidup kita.
DAF%AR PUS%AKA
Hought. John F. 1995. Silence And Religion From ConIlict To Conversation, Paulist Press,
New York Mahmali New Jersey (terjemahan Perjumpaan Sains dan Agama dari KonIlik
ke Dialog, Mizan Pustaka, CRCR dan ICAS, 2004).
Moosa, Ebrahim. 2002. Dalam peters, red; MuzuIIar Iqbal dan syed Nomunul Haq, (eds);
God, LiIe, And The Cosmos Christian and Islamic Perspective, Ahli Gate, hh. 329-356
Smith, Huston. 2001. Why Religion Matters (Terjemahan Asal Agama Di Tengah
Kedikdayaan Sains?, Mizan Pustaka, 2003), Harpersan Francisco, 2001.

Anda mungkin juga menyukai