Tugas Cedera Kepala
Tugas Cedera Kepala
OOsI2OO91
CEDERA KEPALA
Definisi
Cedera kepala adalah kekerasan pada kepala yang dapat menyebabkan
kerusakan yang kompleks di kulit kepala, tulang tempurung kepala, selaput otak, dan
jaringan otak itu sendiri. Menurut Brain Infury Assosiation of America cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersiIat kongenital ataupun degeneratiI,
tetapi disebabkan oleh serangan/benturan Iisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitiI dan
Iungsi Iisik.
Menurut data dari ational Health Interview Survey (NHIS), angka kejadian
cedera kepala di Amerika Serikat setiap tahunnya sekitar 500.000 orang pada
kelompok populasi dengan resiko tertinggi pada usia 15-40 tahun yaitu 70-80
cedera kepala ringan, 10 cedera kepala sedang dan 20 cedera kepala berat. Angka
kejadian cedera kepala pada laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan yaitu 2-4:1
Anatomi Kepala
a. ulit epala
ulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit,
connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea
aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan
pericranium.
D|ono Le:tor|
OOsI2OO91
b. ranium
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak
terdiri dari beberapa tulang yaitu Irontal, parietal, temporal dan oksipital.
alvaria khususnya di regio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar
otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak
dasar dibagi atas 3 Iosa yaitu : Iosa anterior tempat lobus Irontalis, Iosa media
tempat temporalis dan Iosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan
serebelum.
c. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu :
Duramater
Terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal.
Merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat Iibrosa yang
melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
Tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat
suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater
dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Jeins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan
perdarahan subdural.
Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus
dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat
mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam
dari kranium (ruang epidural).
raktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri
ini dan menyebabkan perdarahan epidural.
D|ono Le:tor|
OOsI2OO91
e. Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui
Ioramen monro menuju ventrikel III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel
IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid
yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat
menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan
menyebabkan kenaikan takanan intrakranial. Angka rata-rata pada kelompok
populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS
per hari.
I. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial
(terdiri dari Iosa kranii anterior dan Iosa kranii media) dan ruang inIratentorial
(berisi Iosa kranii posterior).
g. Perdarahan otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. eempat
arteri ini beranastomosis pada permukaan inIerior otak dan membentuk circulus
Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang
sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan
bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.
Patofisiologi
ulit kepala, rambut, tulang tengkorak dan tulang muka melindungi otak dari
cedera. Bila cedera dengan tekanan sedang dapat terjadi Iraktur linear, tetapi bila
dengan kekuatan yang tinggi dapat menyebabkan suatu Iraktur depresi. Otak dan
tengkorak memberi respon yang berbeda terhadap kekuatan akselerasi dan deselerasi
yang disebabkan oleh pukulan.
Pergerakan otak pada permukaan tengkorak bagian dalam yang ireguler dan
tajam (seperti permukaan orbita, pada Iossa Irontalis, sphenoid ridge, Ialx dan
tentorium) dapat menyebabkan terjadinya leserasi dan kontusio pada otak, vena
D|ono Le:tor|
OOsI2OO91
serebral yang berhubungan dengan sinus venosus dapat robek sehingga darah akan
masuk ke ruang subdural. raktur juga dapat menyebabkan putusnya arteri meningeal
dan sinus venosus yang besar menyebabkan perdarahan pada ruang epidural.
Setelah cedera otak, cerebral blood flow dapat menurun oleh karena vaso
spasme, sedangkan pada daerah yang lain dapat terjadi dilatasi arteriol akibat
hilangnya mekanisme pengaturan yang otomatis. Akibat daripada vasodilatasi
pembuluh darah disertai dengan edem serebri dan adanya hematoma dapat
meninggikan tekanan intrakranial.
enomena otoregolasi cenderung mempertahankan aliran darah otak (ADO)
stabil bila tekanan darah rata-rata 50-160 mmHg (untuk pasien normotensiI, dan
bergeser kekanan pada pasien hipertensiI dan sebaliknya). Dibawah 50 mmHg ADO
berkurang bertahap, dan diatas 160 mmHg terjadi dilatasi pasiI pembuluh otak
dengan akibat peninggian tekanan intrakranial. Otoregulasi dapat terganggu pada
cedera otak dengan akibat ADO tergantung secara linear terhadap tekanan darah.
Oleh karena hal-hal tersebut, sangat penting untuk mencegah syok atau hipertensi
(perhatikan tekanan darah pasien sebelum cedera).
Volume total intrakranial harus tetap konstan, volume intrakranial sama
dengan jumlah total volume komponen-komponennya. (Doktrin Monro-ellie :
V otak (85-90) V css (3) V darah (10)). Pada orang dewasa volume
intrakranial normal sekitar 1500 ml. ompensasi atas terbentuknya lessi intrakranial
adalah digesernya css dan darah vena hingga batas kompensasi, untuk selanjutnya
tekanan intrakranial akan naik secara tajam. Pada lesi yang membesar cepat seperti
hematoma, perjalanan klinik dapat diprediksi. Bila Iase kompensasi terlewati, tekanan
intrakranial meningkat. Pasien nyeri kepala yang memburuk oleh hal yang
meninggikan TI seperti batuk, membungkuk dan terlentang, kemudian mulai
mengantuk. ompresi atau pergeseran batang otak berakibat peninggian tekanan
darah, sedang denyut nadi dan respirasi menjadi lambat. Pupil sisi massa berdilatasi,
bisa dengan hemiparesisi sisikontralateral massa. Selanjutnya pasien jadi tidak
responsiI, pupil tidak bereaksi dan berdilatasi, serta reIleks batang otak hilang.
D|ono Le:tor|
OOsI2OO91
Akhirnya Iungsi batang otak berhenti, tekanan darah merosot, nadi lambat, respirasi
lambat dan tidak teratur untuk akhirnya berhenti.
Penyebab akhir kegagalan otak adalah iskemia. Peninggian TI
mempengaruhi ADO akibat kompresi arterial, regangan atau robekan arteria dan vena
batang otak serta gangguan perIusi. ADO konstan 50 ml/100 gr/menit pada
otoregulasi normal. Jadi ADO dipengaruhi oleh tekanan darah arterial, tekanan
intrakranial, otoregulasi, stimulasi metabolik serta distorsi atau kompresi pembuluh
darah oleh massa atau herniasi. Pada kenyataannya, banyak akibat klinis dari
peninggian TI adalah akibat pergeseran otak dibanding tingkat TI sendiri.
Edema otak yang terjadi oleh sebab apapun akan meninggikan TI yang
berakibat gangguan ADO yang berakibat memperberat edema sehingga merupakan
lingkaran setan. TI lebih dari 15 mm Hg harus ditindak.
Triad klasik nyeri kepala, edema papil dan muntah ditemukan pada duapertiga
pasien. Sisanya hanya dua gejala. Tidak satupun khas untuk peninggian TI, kecuali
edema papil, namun memerlukan waktu yang lama untuk timbulnya. Simtom lebih
banyak tergantung penyebab dari pada tingkat tekanan. Tidak ada korelasi konsisten
antara tingkat tekanan dengan beratnya gejala.
Penurunan kesadaran adalah ciri cedera otak. Dua jenis cedera otak yaitu
cedera korteks bilateral serta cedera pada sistem pengaktiI retikuler batang otak
disamping peninggian TI dan penurunan ADO dapat menurunkan tingkat
kesadaran.
Klasifikasi Cedera Kepala
Cedera kepala diklasiIikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3
deskripsi klasiIikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morIologi.
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas;
1. Cedera kepala tumpul; biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh
atau pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan
D|ono Le:tor|
OOsI2OO91
deselerasi yang cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan
melakukan kontak pada protuberans tulang tengkorak.
2. Cedera tembus; disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi:
1. raktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak. raktur dapat
berupa garis/ linear, menyebar dari satu titik (stelata) dan dapat juga berupa
Iraktur depress atau nondepress. raktur atap tengkorak dapat berupa Iraktur
tertutup dan terbuka yang mana Iraktur tertutup secara normal tidak
memerlukan perlakuan spesiIik dan Iraktur terbuka memerlukan tindakan
untuk memperbaiki tulang tengkorak.
2. Lesi intrakranial; dapat berbentuk lesi Iokal (perdarahan epidural, perdarahan
subdural, kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi diIus dan terjadi secara
bersamaan.
Secara umum untuk mendeskripsikan beratnya penderita cedera kepala
digunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian ini dilakukan terhadap respon
motorik (1-6), respon verbal (1-5) dan buka mata (1-4), dengan interval GCS 3-15.
Berdasarkan beratnya cedera kepala dikelompokkan menjadi:
1. Cedera epala Ringan
Termasuk didalamnya Laseratio dan Commotio Cerebri
Skor GCS 14-15
Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 10 menit
Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan pada
pemeriksaan neurologist.
2. Cedera epala Sedang
Skor GCS 9-13
Ada pingsan lebih dari 10 menit
Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
Pemeriksaan neurologis terdapat kelumpuhan saraI dan anggota gerak.
3. Cedera epala Berat
D|ono Le:tor|
OOsI2OO91
Skor GCS 8
Gejalnya serupa dengan CS, hanya dalam tingkat yang lebih berat
Terjadinya penurunan kesadaran secara progesiI
Adanya Iraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang terlepas.
Jenis Jenis Cedera epala
a. Simple Head Injury
Diagnosa simple head injury dapat ditegakkan berdasarkan:
Ada riwayat trauma kapitis
Tidak pingsan
Gejala sakit kepala dan pusing
&mumnya tidak memerlukan perawatan khusus, cukup diberi obat
simptomatik dan cukup istirahat.7
b. Commotio Cerebri
Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang berlangsung tidak
lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan
otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah dan
tampak pucat. Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau
terangsangnya pusat-pusat dalam batang otak. Pada commotio cerebri mungkin
pula terdapat amnesia retrograde, yaitu hilangnya ingatan sepanjang masa yang
terbatas sebelum terjadinya kecelakaan. Amnesia ini timbul akibat terhapusnya
rekaman kejadian di lobus temporalis. Pemeriksaan tambahan yang selalu dibuat
adalah Ioto tengkorak, EEG, pemeriksaan memori. Terapi simptomatis,
perawatan selama 3-5 hari untuk observasi kemungkinan terjadinya komplikasi
dan mobilisasi bertahap.
c. Contusio Cerebri
Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam
jaringan otak tanpa adanya robekan jaringanyang kasat mata, meskipun neuron-
neuron mengalami kerusakan atau terputus. ang penting untuk terjadinya lesi
contusion ialah adanya akselerasi kepala yang seketika itu juga menimbulkan
D|ono Le:tor|
OOsI2OO91
Studi pilihan untuk diagnosis dalam evaluasi penderita cedera kepala adalah
CT scan. Idealnya CT scan dilakukan pada semua cedera otak dengan kehilangan
kesadaran lebih dari 5 menit, amnesia, sakit kepala hebat, GCS15 atau adanya
deIisit neurologis Iokal. Diagnosis untuk cedera kepala, CT scan dapat
memperlihatkan tanda terjadinya Iraktur, perdarahan pada otak (hemoragi), gumpalan
darah (hematom), luka memar pada jaringan otak (kontusio), dan udem pada jaringan
otak. Selain itu juga dapat digunakan Ioto rongen sinar X, MRI, angiograIi dan sken
tomograIik terkomputerisasi. Penundaan transportasi penderita cedera kepala berat
karena menunggu CT scan sangat berbahaya karena diagnosis serta terapi yang cepat
sangat penting.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan
untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta
memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit. &ntuk penatalaksanaan penderita cedera kepala,
Adveanced Cedera LiIe Support (2004) telah menepatkan standar yang disesuaikan
dengan tingkat keparahan cedera yaitu ringan, sedang dan berat.
Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan survei
sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara
lain : A (airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E
(exposure/environmental control) yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada
penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer
sangatlah penting untuk mencegah cedera otak skunder dan menjaga homeostasis
otak.
elancaran jalan napas (airway) merupakan hal pertama yang harus
diperhatikan. Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar
dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang
tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal
lidah, atau akibat Iraktur tulang wajah. &saha untuk membebaskan jalan napas harus
D|ono Le:tor|
OOsI2OO91
melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan
ekstensi, Ileksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat
melakukan chin liIt atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar
melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara
membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. &ntuk menjaga patensi jalan
napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa oroIaring. Bila hembusan napas tidak
adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat
bermanIaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang
memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan
napas belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan
sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal.
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran
dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada
tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur
tekanan darah. Denyut nadi periIer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya
menunjukkan status sirkulasi yang relatiI normovolemik. Pada penderita dengan
cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg
untuk mempertahankan perIusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat digunakan
secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat
teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri Iemoralis yang
dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi
hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila
ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka.
Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan
resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9, sebaiknya dengan dua
jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat
hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan keadaan udem otak
akibat pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam
posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat
menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intracranial.
D|ono Le:tor|
OOsI2OO91
Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat menentukan
keluaran penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan penderita sudah
stabil yang berupa pemeriksaan keseluruhan Iisik penderita. Pemeriksaan neurologis
pada penderita cedera kepala meliputi respos buka mata, respon motorik, respon
verbal, reIleks cahaya pupil, gerakan bola mata (doll`s eye phonomenome, reIleks
okuloseIalik), test kalori dengan suhu dingin (reIleks okulo vestibuler) dan reIleks
kornea.
Tidak semua pederita cedera kepala harus dirawat di rumah sakit. Indikasi perawatan
di rumah sakit antara lain; Iasilitas CT scan tidak ada, hasil CT scan abnormal, semua
cedera tembus, riwayat hilangnya kesadaran, kesadaran menurun, sakit kepala
sedang-berat, intoksikasi alkohol/obat-obatan, kebocoran liquor (rhinorea-otorea),
cedera penyerta yang bermakna, GCS15 dan deIisit neurologis lokal.
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk
memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam
terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol,
steroid, Iurosemid, barbitirat dan antikonvulsan.
Indikasi pembedahan pada penderita cedera kepala bila hematom intrakranial
~30 ml, midline shiIt ~5 mm, Iraktur tengkorak terbuka, dan Iraktur tengkorak depres
dengan kedalaman ~1 cm.