UNIVERSITAS PADJADJARAN Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Hubungan Internasional Tahun Akademik 2011/2012 Pengantar Politik. Kata ini sudah tidak asing di telinga semua orang. Sejak runtuhnya Orde Baru dan kebebasan berpendapat kembali ditegakkan, kata ini telah disebutkan hampir di semua tempat; baik di kantor pemerintah, maupun di warung kopi. Baik oleh mulut diplomat, maupun oleh mulut tukang becak; tidak peduli kelas sosial atau pekerjaan, pergunjingan mengenai politik sudah lazim diangkat. Tidak peduli apakah orang-orang yang menyebutkan kata ini benar-benar mengerti makna yang dibicarakan atau tidak, kurang dari empat detik, kata ini sudah terucap dengan lantang sebelum biasanya dilanjutkan oleh kecaman atau kritik yang ditujukan kepada para pelaku politik (politisi) atau langsung kepada sebutan kolektiI untuk para politisi (pemerintah). Meskipun masyarakat Indonesia terlihat sudah pandai bersilat lidah mengenai kata ini, apakah mereka benar-benar mengerti deIinisi kata ini? Apakah pengertian masyarakat Indonesia pada umumnya selama ini: "pokoknya, apa aja yang [ada] hubungannya sama pemerintah'" merupakan deIinisi asli kata ini? Sebagai kaum terpelajar yang harus dapat mempertanggungjawabkan kata- katanya lebih dari masyarakat umum, pengertian kata yang pertama kali dicetuskan lebih dari seribu tahun yang lalu ini perlu diperdalam karena politik jauh lebih dalam daripada pengertian awam tadi. efinisi Awal Politik dikemukakan Aristoteles dalam "%he Nicomachean Ethics" sebagai ilmu kebaikan manusia dan seni terotoratiI. Aristoteles melanjutkan bahwa pengetahuan politik merupakan kunci untuk memahami lingkungan sebab politik itu sendiri memengaruhi lingkungan lain dalam kehidupan manusia dan politik berarti mengatur apa yang selayaknya dan yang tidak selayaknya dilakukan. Aristoteles juga berpendapat bahwa politik terjadi karena adanya interaksi antarmanusia di dalam kesatuan masyarakat yang mengakui identitas komunitas mereka dan berwenang mengurus komunitas mereka sendiri (Yunani: polis). Hal ini dikarenakan hanya di dalam polis manusia dapat memperoleh siIat moral yang paling tinggi. Di dalam polis tersebut, urusan-urusan yang berkenaan dengan seluruh masyarakat akan dibicarakan dan diperdebatkan, dan tindakan-tindakan untuk mewujudkan kebaikan bersama akan diambil. Dari kata "polis" tadi, maka kata "politeia" (akar kata "politik" modern) terbentuk setelah disatukan dengan kata "teia" yang berarti urusan. Jadi secara keseluruhan, "politeia" berarti kesatuan masyarakat yang mengurus urusannya sendiri. Pengertian ini dijabarkan kembali oleh Andrew Heywood dalam "Politics" (1997) menjadi aktivitas atau kegiatan dimana manusia membentuk, melestarikan, dan mengubah, atau memperbaiki aturan umum sesuai dengan lingkungan tempat tinggal mereka untuk mencapai tujuannya. Sejauh ini, dapat diartikan bahwa politik adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan sekelompok masyarakat yang mengurus dirinya sendiri untuk mencapai tujuan sekelompok masyarakat tersebut. Awalnya, tujuan ini hanya diartikan sebagai usaha pemenuhan kebahagiaan, tetapi Harold Lasswell kemudian menggeneralisasikan tujuan ini dengan perkataan yang cukup populer dalam "Politics. Who Gets What When How" (1990), "politik adalah siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana 1 "; menyederhanakan kebahagiaan yang merupakan tujuan kaum klasik (Aristoteles) menjadi segala sesuatu yang bisa didapatkan secara distributiI. Dari perbedaan tujuan ini, secara teoritis, politik dibagi menjadi dua, yaitu: politik valutasional dan politik nonvalutasional. Politik valutasional berarti politik berdasarkan moral, norma, dan nilai yang berlaku di dalam masyarakat, seperti yang dikemukakan oleh David Easton: "the authoritative allocation of values for a society," yang berarti alokasi nilai-nilai berdasarkan kewenangan yang mengikat suatu masyarakat dan sekali lagi menekankan perlunya ketaatan masyarakat terhadap otoritas yang mengatur alokasi nilai-nilai di dalam masyarakat tadi. Sementara itu, politik nonvalutasional berarti pendeskripsian dan penyangkutpautan suatu peristiwa ke peristiwa lainnya tanpa menghubungkannya
1 8amlan SurbakLl Memoboml llmo lolltlk (!akarLa Craslndo 1992) h 18 kepada moral, norma, dan nilai yang berlaku. Politik ini kebanyakan mendapatkan dukungan dari aliran politik konIlik dan aliran praktis pragmatis, seperti Paul Conn dan Hannah Arendt, masing-masing. Di Indonesia sendiri, di mana politik telah dipelajari dari zaman kerajaan Hindu-Buddha 2 , politik menyerap dua kata bahasa Inggris yang berbeda, yaitu "Policy" dan "Politics" menjadi satu kata yang sama yaitu politik. "Policy" berkaitan dengan kebijaksanaan suatu penyelenggaraan kekuasaan. Politik dalam konteks "policy" adalah penggunaan pertimbangan tertentu yang dapat menjamin terlaksananya usaha untuk mewujudkan keinginan/cita-cita yang dikehendaki (dalam bahasa militer, taktik). Sedangkan "politics" berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan atau bermakna kepentingan umum anggota kelompok masyarakat. Politik dalam konteks "politics" adalah rangkaian asas/prinsip dan keadaan, disertai dengan jalan, cara, dan alat yang akan digunakan untuk mencapai tujuan atau suatu keadaan yang dikehendaki (strategi). Sesuai dengan pengertian politik di atas, Karl Deutsch mengemukakan dalam "Politics and Government. How People Decide %heir Fate" (1974), "politik adalah pengambilan keputusan melalui sarana umum. 3 " Frase "sarana umum" barusan kemudian dikembangkan oleh Joyce Mitchell dalam "Political Analysis and Public Policy" (1969) menjadi "pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebifaksanaan umum untuk masyarakat seluruhnya. 4 " David Easton kemudian kembali mengukuhkan gagasan "kebijaksanaan umum ini dalam "%he Political System. An Inquiry into the State of Political Science" (1953), "politik adalah studi mengenai terbentuknya kebifaksanaan umum. 5
Demikianlah, sejauh ini secara umum, politik dalam bahasa Indonesia sendiri dapat berarti usaha bersama menuju kepada cita-cita yang dalam
2 ulbukLlkan oleh klLabklLab pollLlk seperLl -eqoto kettoqomo" dan 8oboJ 1ooob Iowl" 3 lblJ 4 lblJ 3 lblJ pelaksanaannya membutuhkan perencanaan yang mengikat dan dituangkan dalam perangkat kebijakan umum. Politik Kelembagaan Akan tetapi pengertian di atas belum dapat memuaskan para IilsuI. Seiring dengan berkembangnya sistem administrasi dan kepemerintahan, dari polis sederhana ke negara dengan sistem kepemerintahan yang beragam, para IilsuI terus mengembangkan pengertian politik hingga melekatkan hidup bernegara dengan kata ini bersama-sama dengan pengambilan keputusan, kebijakan, dan alokasi sumber daya. Pandangan ini didukung oleh J. Barents dalam "Pengantar Ilmu Politik" (1983), "politik adalah ilmu yang mempelafari kehidupan negara. Yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Ilmu politik mempelafari negara- negara itu dalam melakukan tugas-tugasnya, 6 dan oleh Roger Soltau dalam "An Introduction to Politics" (1963), "politik mempelafari negara, tufuan negara, dan lembaga yang akan melaksanakan tufuan itu, hubungan antara negara dengan warga negaranya serta dengan negara lain. 7 " J. K. Bluntschli juga dengan tegas dalam "%he %heory of State" (1885) menyatakan: "...Politik adalah ilmu yang memusatkan perhatian pada negara, yang berusaha mengembangkan pemahaman negara dalam segala eksistensi yang melingkupinya, dalam hakikat sesungguhnya dan mengkafi berbagai bentuk atau manifestasi dan perkembangannya.... 8
Akan tetapi pandangan-pandangan yang memIokuskan politik kepada negara di atas tidak sepenuhnya disetujui oleh IilsuI-IilsuI lain. Harold Lasswell, misalnya, dalam "Power and Society" (1952) berpendapat, "politik mempelafari
6 lblJ 7 lblJ 8 lblJ pembentukan dan pembagian kekuasaan, 9 " seperti halnya Deliar Noer dalam "Pengantar ke Pemikiran Politik" (1926), "politik adalah ilmu yang memusatkan perhatian pada masalah kekuasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat. 10 " Tidak hanya Lasswell dan Noer, IilsuI-IilsuI lain juga mendukung pandangan bahwa Iokus politik adalah kekuasaan. W. A. Robson dalam "%he University %eaching of Social Science" (1994): "...Politik mempelafari kekuasaan dalam masyarakat. Yaitu sifat hakiki, dasar, proses, ruang lingkup dan hasil-hasil. %ertufu pada perfuangan untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan atau pengaruh atas orang lain, atau menentang pelaksanaan kekuasaan itu.... 11
Seperti halnya dengan The Liang Gee dalam "Ilmu Politik" (1969): "...Ilmu politik adalah sekelompok pengetahuan teratur yang membahas gefala-gefala dalam kehidupan masyarakat dengan pemusatan perhatian pada perfuangan manusia mencari atau mempertahankan kekuasaan guna mencapai apa yang diinginkan.... 12
Sementara debat ini terus berlanjut, Ossip K. Flechtheim dalam "Fundamentals of Political Science" (1952) mendeIinisikan politik dalam pengertian baru yang mengintegrasikan pandangan Iokus kekuasaan ke dalam pandangan Iokus kelembagaan: "...Ilmu politik adalah ilmu sosial yang khusus mempelafari hakikat dan tufuan negara dan fuga sefauh mana negara itu merupakan organisasi
9 lblJ 10 lblJ 11 lblJ 12 lblJ kekuasaan, dan hakikat serta tufuan dari gefala-gefala kekuasaan lainnya yang tidak resmi yang mungkin akan memengaruhi negara.. 13
Dengan adanya integrasi Iokus negara dan kekuasaan dalam politik, teori- teori lain pun muncul. Salah satunya Max Weber yang dalam 'Wirtschaft und Gesselschaft (2006) mulai membedakan kesatuan masyarakat atau perhimpunan biasa dengan negara dengan menetapkan poin-poin lain, di antaranya: penegakan hukum yang berkesinambungan, satuan wilayah kedaulatan tertentu, dan penerapan serta ancaman kekerasan Iisik oleh pemerintah. Weber juga berpendapat bahwa negara merupakan kesatuan masyarakat tertinggi dan memiliki siIat-siIat pokok yang tidak dimiliki kesatuan masyarakat lainnya, yang disebut dengan hakikat negara, antara lain: memaksa, monopoli, dan mencakup semua. Negara bersiIat memaksa berarti negara secara sah dapat memaksa rakyatnya untuk tunduk pada aturan yang berlaku; monopoli berarti negara dapat memonopoli dalam menentukan aturan; mencakup semua berarti peraturan yang dibuat negara berlaku untuk semua orang tanpa pengecualian 14 . Lalu untuk mengokohkan hakikat negara, Weber juga mengemukakan bahwa negara memiliki hak monopoli penggunaan kekuatan Iisik (dan kekerasan) secara sah dalam wilayah kedaulatannya. 15
Sejauh ini, debat mengenai deIinisi politik hampir mencapai kesimpulan. Akan tetapi topik lain dengan cepat muncul ke permukaan. Sementara Soltau, Bluntschli, dan Weber, berpendapat bahwa ruang lingkup politik adalah negara, Noer, Gee, dan Barents, terlihat berpendapat bahwa ruang lingkup politik adalah kehidupan sosial. Pandangan mengenai kehidupan sosial sebagai ruang lingkup politik diperkuat oleh Hannah Arendt, yang menekankan aspek praktis pragmatis politik ketimbang IilosoIis, berpendapat bahwa politik merupakan kegiatan sehari- hari yang dilakukan manusia itu sendiri.
13 lblJ 14 Cxley 5lfot Joo noklkot -eqoto" hLLp//ldshvoongcom/soclalsclences/2191792slfaLdan haklkaLnegara/ 17 AgusLus 2011 13 Sarlp Pasan lemlkltoo Mox webet" hLLp//sarlpuddlnwordpresscom/pemlklranmax weber/ 17 AgusLus 2011 Arendt menegaskan bahwa politik merupakan sesuatu yang mendasar, seperti halnya kebebasan dan keadilan, yang merupakan hak-hak manusia yang didapatkan mereka yang termasuk dalam komunitas tempat mereka dilahirkan. Meskipun Arendt tidak menguraikan hak politik ini sebagai sesuatu yang melekat dalam diri manusia atau sebagai Hak Asasi Manusia, Arendt mengemukakan bahwa hak politik tidak terlepas dari kebebasan dan universalitas hak setiap orang dalam sebuah negara. Arendt melanjutkan bahwa negara seharusnya menjamin ruang kebebasan publik agar setiap warga negara dapat mengemukakan ide mereka dalam percaturan politik yang ada dalam negaranya dan upaya penyingkiran atau pemisahan orang-perorangan atau kelompok tertentu merupakan salah satu bentuk penyimpangan terhadap hak politik. Pandangan Arendt ini kemudian dipahami dalam kerangka hak warga negara untuk memiliki identitas kewarganegaraan dan keterlibatan aktiI dalam ruang publik sebuah negaranya. Dari pandangan-pandangan yang berbeda-beda dan debat lintas generasi yang terus berlangsung di atas, dapat dikatakan bahwa politik, dari usaha pengertiannya sendiri, sudah memiliki konIlik. Gagasan ini sedikit-banyak ada benarnya, karena kebahagiaan dan tujuan setiap orang berbeda-beda sehingga gesekan dalam usaha pencapaiannya sering terjadi. Pengamatan ini mendorong Paul Conn mengeluarkan deIinisi lain dari politik. Seperti dalam "onflict and Decision Making, An Introduction to Political Science" (1971), Conn mengatakan, "politik pada dasarnya adalah sebuah konflik. Ini artinya, politik dapat dipahami sebagai ilmu yang mempelafari konflik yang terfadi dalam masyarakat dan lembaga-lembaga politik, seperti negara, pemerintahan, dan partai politik. 16 " Politik: Baik atau Buruk? Seperti yang telah dikemukakan di atas, pergunjingan mengenai politik biasanya diikuti oleh kecaman atau kritik. Dapat dikatakan masyarakat modern telah terjebak di dalam paradigma bahwa politik adalah sesuatu yang kotor.
16 8amlan SurbakLl loc clt Paradigma ini sudah lama melekat dalam konsep politik sehingga dalam kamus dalam jaringan 'Websters Unabridged Dictionary edisi tahun 1913, dapat ditemukan bahwa salah satu bagian deIinisi kata politik adalah 'dalam makna buruk, manafemen yang tidak fufur untuk mengamankan kesuksesan kandidat atau partai politis, kelicikan politis. 17
Padahal seperti yang telah dicantumkan sebelumnya, politik berhubungan erat dengan kepemerintahan dan juga perbuatan manusia sehari-hari dalam hidup bernegara. Apabila perbedaan manusia dan hewan dalam pandangan Aristoteles adalah bahwa manusia berpolitik, apakah itu berarti manusia sendiri adalah makhluk kotor dan binatang lebih mulia daripada manusia? Apabila ditelusuri sampai ke masa perumusan dan pembelajaran politik, Aristoteles dalam "%he Nicomachean Ethics", berpendapat bahwa kebaikan manusia yang tertinggi terwujud dalam kebahagiaan, yang dapat dicapai melalui: kenikmatan sensual (jenis kehidupan yang digerakkan sepenuhnya oleh hasrat), pencapaian politik (jenis kehidupan yang aktiI berkontribusi dalam masyarakat), dan kontemplasi intelek (jenis kehidupan yang seimbang antara kebijaksanaan praktis dan IilosoIis), dan kemudian (meskipun Aristoteles sendiri kemudian menarik pendapat ini 18 ) pengejaran harta. 19 Aristoteles juga berpendapat bahwa kebaikan manusia yang tertinggi ini harus tersusun dalam sebuah "perbuatan" (bukan "keadaan" seorang manusia) dan harus dapat berdiri sendiri dan tidak kekurangan apapun, atau dalam kata-kata Aristoteles sendiri, "perbuatan rasional yang selaras dengan kebafikan kesempurnaan" 20 . Kata "kebahagiaan" (Yunani: eudaimonia) sendiri lebih tepat diartikan sebagai "pemenuhan".
17 ulLer[emahkan darl WebsLer1913 hLLp//everyLhlng2com/lndexpl?node_ld303434 17 AgusLus 2011 1403 Wl8 18 ArlsLoLeles kemudlan menarlk pendapaLnya bahwa penge[aran harLa adalah salah saLu [enls kehldupan yang dapaL membahaglakan manusla karena penge[aran harLa dllakukan unLuk mendapaLkan eooto yooq lolo bukan unLuk bol lto eoJltl 19 ArlsLoLeles 1be -lcomocbeoo tblc dlLer[emahkan oleh uavld 8oss dan dlrevlsl oleh Lesley 8rown dengan [udul 1be -lcomocbeoo tblc kevleJ Jltloo OxfotJ wotlJ clolc (new ?ork Cxford unlverslLy ress 2009) h 6 20 lblJ h 7 Hal di atas cukup membingungkan konsep dasar umum yang biasanya mengungkapkan kebahagiaan sebagai keadaan psikis manusia yang subyektiI. Aristoteles mengkaji lebih dalam dan mengemukakan bahwa kebahagiaan hanya tersedia bagi orang-orang yang usia, jenis kelamin, dan status sosialnya membisakan mereka untuk menjalani hidup sepenuhnya bukan semata-mata bagi orang-orang yang hidup secara moral sebaik-baiknya. Pendapat ini kemudian mengantarkan Aristoteles kepada pertanyaan, apakah kehidupan yang sesuai dengan kebajikan moral tidak sebaik kehidupan yang kontemplatiI atau kontributiI? Aristoteles menjawab dengan mengatakan bahwa kebajikan moral sebenarnya muncul melalui repetisi perbuatan yang saling berkaitan dan mengemukakan lebih lanjut bahwa apa yang baik menurut moral seorang bangsawan, belum tentu baik menurut moral seorang penjahat (bd. Thrasymachus 21 ), juga kebajikan moral sendiri dipengaruhi oleh banyak aspek (pilihan, tujuan, kegunaan, dan hirarki tujuan). Untuk menengahi masalah ini, Aristoteles mengemukakan bahwa para pendengarnya perlu mempelajari jenis ilmu yang mengatasi dan mengungguli etika (malahan etika merupakan bagian dari politik); yang berakhir pada kemuliaan dan mempelajari serta mengatur apa yang disebut tindakan terpuji dan adil, dan apa yang harus kelas masyarakat tertentu lakukan, hindari, pelajari (dan sampai batas apa pembelajaran mereka) dalam sebuah negara, juga pada akhirnya menyangkut kepentingan dan kebaikan tertinggi orang banyak; yang Aristoteles sebut sebagai ilmu kebaikan manusia dan seni terotoritatiI. Ilmu ini adalah politik, yang dipelajari lebih dalam di dalam buku "Politics", di mana Aristoteles membuat model undang-undang ideal untuk mengembangkan moral dan kebahagiaan masyarakat secara optimal. Tidak hanya dari zaman perumusannya, dalam perkembangan politik, Harold Lasswell yang menyakini bahwa politik muncul karena adanya keinginan
21 1hrasymachus karakLer dalam buku kepobllc karangan laLo yang memu[a kehldupan lmoral dan keLldakadllan (mlsalnya memanfaaLkan dan mengunggull orang laln) dan menyebuL keLldakadllan sebagal keba[lkan yang raslonal dan kuallLas sempurna yang perlu dlmlllkl manusla manusia untuk mewujudkan sesuatu yang disebut "nilai". Keinginan inilah yang menjadi dasar pernyataan populer Lasswell yang di atas telah menggeneralisasikan tujuan politik. Selain itu, Lasswell juga mengemukakan trilogi nilai Lasswell: martabat, pendapatan, dan keamanan. Trilogi ini kemudian Lasswell kembangkan menjadi delapan nilai tujuan politik yang terbagi menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama menekankan salah satu nilai dalam trilogi awal, yaitu martabat, dan di dalamnya termasuk kekuasaan, kasih sayang, kejujuran, keseganan. Sedangkan kelompok kedua menekankan nilai pendapatan dalam trilogi awal dan berisikan nilai-nilai yang menyangkut kekayaan, pendidikan, kesehatan, dan keterampilan. Bersama-sama, kedua kelompok ini akan membangun nilai terakhir, yaitu nilai keamanan. Ketika nilai keamanan terpenuhi, dapat dikatakan bahwa manusia yang berpolitik itu telah terpuaskan dalam memenuhi nilai-nilai yang diinginkannya. Dari paragraI-paragraI di atas dapat disimpulkan bahwa, politik adalah hal yang baik dan dibuat di atas nilai-nilai luhur untuk mengembangkan kehidupan manusia, baik untuk berkontribusi kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya, maupun untuk hidup sesuai dengan moral yang ditetapkan oleh hukum. Demikian juga apabila praktek politik dilakukan dengan benar, maka politik sebenarnya adalah hal yang baik bagi kehidupan manusia. Pengertian Umum Melalui pembahasan di atas, dapat dilihat bahwa pengertian politik telah berubah dari waktu ke waktu dan dipengaruhi oleh banyak Iaktor. Mulai dari perhimpunan masyarakat hingga negara, dari usaha pengejaran kebahagiaan hingga hak partisipasi dalam kehidupan bernegara. Dengan mengambil irisan- irisan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan secara sederhana bahwa politik adalah semua aktivitas manusia yang melibatkan interaksi sosial antarmanusia untuk memenuhi keinginan pribadi di balik keinginan public dalam kehidupan bernegara. AFTAR PUSTAKA Administrator, Redaktur. 2010. Pengantar Ilmu Politik, (online), (http://www.gudangmateri.com/2010/10/pengantar-ilmu-politik.html, diakses 17 Agustus 2011) Aristoteles. %he Nicomachean Ethics Revised Edition. Oxford Worlds lassics. Terjemahan oleh David Ross. 2009. New York: OxIord University Press Budiardjo, Miriam 1996. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Hasan, Sarip. Pemikiran Max Weber, (online), (http://saripuddin.wordpress.com/pemikiran-max-weber/, diakses 17 Agustus 2011) Heywood, Andrew. 1997. Politics. London: Macmillan Press Kurniawan, Agustinus Nanang Aris. 2011. Perampasan Kekebasan Politik Kaum %ionghoa di Indonesia Menurut Filsafat Politik Hannah Arendt, (online), (http://lumensophie.blogspot.com/2011/05/perampasan-kekebasan- politik-kaum.html, diakses 16 Agustus 2011) Macauley, David. 1996. Minding Nature. %he Philosophers of Ecology. New York: GuildIord Press Oxley. 2011. Sifat dan Hakikat Negara, (online), (http://id.shvoong.com/social- sciences/2191792-siIat-dan-hakikat-negara/, diakses 17 Agustus 2011) Ruhcitra. 2008. Pengertian Politik, (online), (http://ruhcitra.wordpress.com/2008/11/21/pengertian-politik/, diakses 16 Agustus 2011) Princeton University. 2010. Politics. WordNet (online), (http://wordnetweb.princeton.edu/perl/webwn?spolitics&subSearchW ordNet&o2&o01&o81&o11&o7&o5&o9&o6&o3&o4&h, diakses 17 Agustus 2011) Putra, G. Danistya Kaloka. 2007. Apa Itu Politik, (online), (http://danistyakalokaputra.blogspot.com/2007/12/g.html, diakses 16 Agustus 2011) Smith, Firnando Weldan. 'Sifat dan Arti Ilmu Politik. Sumatera Selatan: Kantor Wilayah Kementrian Agama Provinsi Sumatera Selatan. Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo Varma, S. P. 1987. %eori Politik Modern. Jakarta: Rajawali Webster, Noah. 1913. Politics. Websters Unabridged Dictionary, (online), (http://everything2.com/index.pl?nodeid303454, diakses 17 Agustus 2011)